tugas_mo1

5

Click here to load reader

description

ffffff

Transcript of tugas_mo1

Page 1: tugas_mo1

Tugas IManajemen Operasi

Dosen: Kusdhianto Setiawan

Belajar dari Kasus C59

Berjalan tanpa metodologi produksi modern, C59 akhirnya tersandung. Bagian produksinya tak sanggup mengimbangi permintaan. Apa yang dilakukan untuk mengatasinya?

Memasuki akhir 1990-an, PT. Caladi Lima Sembilan (C59), produsen kaos ternama di Indonesia, berada di titik kritis yang bila salah penanganannya akan berakibat semakin buruk. Memang C59 kian populer, bahkan hingga ke tanah Eropa. Akan tetapi, semintara permintaan meningkat dan bagian pemasaran makin aktif menggunakan beragam wahana untuk menarik konsumen (termasuk pemesanan lewat internet), awak produksi ternyata tidak bisa mengimbanginya.

Semula, papar Benny Januar P., Direktur Manufacturing, masalah ini berusaha dipecahkan dengan menambah mesin serta buruh. Sayang, hasilnya tidak menjawab persoalan secara tuntas; produksi tetap keteter memenuhi permintaan 600 gerai yang tersebar hingga Jerman, Ceko dan Slovakia. Akibatnya, C59 terancam sulit bersaing dalam harga dan delivery time.

Pada penghujung tahun 1990-an, Marius Widyarto (Wiwied), Direktur Utama C59 makin gundah. Ia tak ingin nasibnya mengikuti toko Aseli dan Christy Collection, para perintis usaha kaos sablon di Bandung yang semula melejit tapi kemudian meredup. Maka, dicarinya proses produksi yang optimal plus efektif. Wiwied akhirnya menyewa sebuah perusahaan konsultan lokal, PT. Transform Bhakti Persada (TBP).

Setelah meneken kontrak, mulai September2001 TBP mengemban tugas dari Wiwied: mencari solusi terbaik atas lambannya bagian produksi. Untuk mengatasi persoalan tersebut, TBP menetapkan tiga fase. Fase pertama, dilakukan tiga studi; (1) statistical study, (2) behaviour study, (3) operational study. Studi pertama melihat data historis, studi kedua berisi wawancara dengan karyawan, sementara studi ketiga adalah aktivitas observasi langsung di pabrik yang terletak di Cigadung, Bandung.

Selama tiga minggu, sistem produksi dibedah. Bagian demi bagian di produksi seperti penjahitan, finishing, serta quality ditelisik secermat mungkin. Intinya ingin melihat dimana letak persoalannya. Lewat tiga studi yang melibatkan semua pihak di produksi – dari kepala regu (firstline supervisor) hingga tingkat manajemen – terlihat bahwa produktivitas karyawan produksi hanya di kisaran 52%. Ini jelas sangat merugikan, karena berarti tingkat produktivitasnya setara dengan 6 bulan dalam kurun setahun bekerja. Lalu tercipta ketidakseimbangan proses produksi. Contohnya pada proses jahit yang harus melalui tahap A, B, C, dan D. Pada tahap A dan B, target 50 potong bisa tercapai. Namun dari C hingga D, hanya dihasilkan 20 potong. Problem mesinkah?

Page 2: tugas_mo1

Bukan, karena mesin oke. Ternyata seperti kebanyakan pabrikan di Indonesia, problem capacity idle di C59 muncul akibat lemahnya kontrol pada firstline supervisor) alias persoalan leadership. “Mereka umumnya memang lebih rajin dibanding karyawan lain, sebab sebelumnya pernah menjadi operator. Namun karena biasa sebagai doers (pekerja), tidak biasa men-supervisi bawahannya,” ujar Sambas Sunardi, Direktur Pemasaran TBP. Contoh kelemahan kepala regu adalah membiarkan bawahan bekerja sambil ngobrol, melakukan kegiatan diluar tugasnya, hingga berlama-lama di WC atau saat mengambil minum. Ujungnya otomatis target tak terkejar, kecuali dengan lembur. “Bahkan, banyak orang produksi yang tidak tahu apa sih profit dan buat apa.” Jelas Sambas.

Maka setelah penyakit ditemukan, dijabarkanlah tentang metodologi sistem produksi modern yang selayaknya ditempuh. Mulai dari apa sasaran yang ingin dicapai pemilik hingga yang mesti dilakukan pelaksana paling bawah. Contohnya, berapa potong pakaian per jam kerja yang harus dihasilkan oleh seorang operator, barang reject dan barang hilang yang dianggap normal. Dibuat juga catatan untuk karyawan seputar apa dan berapa yang mesti mereka lakukan.

Awam mungkin kaget betapa C59 yang kesohor sebagai Raja Kaos dari Bandung itu ternyata masih terbata-bata dalam proses produksinya. Namun menurut Benny yang bergabung dengan perusahaan ini sejak berdiri, sejatinya ini bukanlah hal yang mengejutkan. Proses produksi di perusahaannya, katanya, memang belum menerapkan sitem modern. ”Produksi cenderung terbiasa dengan sistem order, ” katanya. Tak heran, Wiwied sering disebut menjalankan manajemen model warteg (warung tegal) untuk merujuk pada pola penanganan yang sifatnya tradisional – padahal tidak sedikit warteg yang penanganannya tidak tradisional lagi.

Kembali ke fase pertama. Selain penjabaran juga diberikan rekomendasi yang diharap bisa mengatasi persoalan. Disini setidaknya ada dua rekomendasi berhawa radikal yang dihembuskan; (1) dari sistem kerja harian menjadi per jam; dan (2) di bagian finishing, diubah cara kerjanya, dari kerja duduk jadi berdiri.

Rekomendasi pertama muncul karena ternyata, dengan menggunakan pola target harian, hasilnya kurang memuaskan. Contoh, ditargetkan 1.000 kaos, yang tercapai hanya 900. Maklum, kontrol kerap dilakukan hanya di sore hari. Dengan target per jam, diharapkan kondisi membaik karena pengawasan dilakukan setiap jam untuk melihat sejauh mana pencapaian target terealisasi. Hal ini muncul karena aspek lemahnya pengawasan para kepala regu, sedangkan yang kedua muncul karena pertimbangan teoritis. Berpatok pada teori ergonomis (kenyamanan kerja) serta time study, kerja duduk akan membuat karyawan lebih cepat merasa capai dan tidak nyaman.

Khusus usulan kedua, ini mirip yang terjadi pada PT. Sony Electronics Indonesia perusahaan yang belum lama ini hengkang. Dengan alasan yang sama, cara kerja karyawan diubah dari duduk menjadi berdiri. Hasilnya perubahan ini menuai badai: 900 dari 1.500 buruh melancarkan aksi mogok karena merasa pegal-pegal. Lantas bagaimana dengan C59?

Page 3: tugas_mo1

Sebetulnya, manajemen C59 menghadapi kekhawatiran serupa, dan tidak saja pada pelaksanaan rekomendasi kedua, tapi juga usulan pertama. Kecemasan itu terutama datang dari potensi keengganan para “pejuang kemerdekaan” mengikuti resep TBP. Siapa mereka? “Karyawan yang tergabung sejak awal, yang jumlahnya tak kurang dari 200 orang,” jelas Agus. Dikhawatirkan, karyawan lama sulit beranjak dari ritme kerja tanpa target. Mengapa mereka tidak diganti saja dengan yang baru, yang siap dengan perubahan yang ada? “Kami yakin mereka masih bisa optimal,” lanjutnya. (agaknya, manajemen C59 tak ingin menerapkan prinsip habis manis sepah dibuang).

Sumber: Majalah SWA, No.03/X/X/ 6-19 Februari 2003

Pertanyaan untuk Diskusi:1. Menurut anda, apa penyebab utama dari permasalahan yang dihadapi oleh

C59?2. Salahkan C59 untuk berekspansi sampai menggarap pasar luar negeri, namun

tidak cukup memiliki kemampuan produksi yang baik? Apa yang menurut anda tidak benar, ambisi meraih pasar yang lebih luas atau tidak adanya core competency?

3. Dapatkan dari kasus diatas anda merumuskan apa sebenarnya primary task dari C59, core competency yang harus dimiliki, order qualifier dan order winner untuk produk kaos saat ini, dan positioning strategy yang harus ditonjolkan (dikomunikasikan dengan customer-nya). Jika informasi yang ada anda anggap kurang, silahkan mencari informasi dari sumber lainnya atau berdasarkan perasaan atau pengalaman anda.

Instruksi:1. Kerjakan dan jawablah pertanyaan diatas dengan kelompok anda. Laporan

kemudian di kirim ke [email protected] cukup satu kali melalui ketua kelompok atau salah satu anggota kelompok masing-masing.

2. E-mail harus mencantumkan subjek: TUGAS MO (bagi mahasiswa program ekstensi: TUGAS MO-EXT). E-mail dengan subjek berbeda dari yang ditentukan di atas berisiko tidak terbacanya dan tidak dinilainya laporan kelompok anda.

3. Wajib juga mencantumkan Nama anggota dan nomor mahasiswa untuk setiap pengumpulan tugas.

4. Teliti dan pelajari pekerjaan anda, karena bisa dijadikan bahan untuk presentasi dan diskusi di kelas.