TUGAS UU
-
Upload
kustian-pramudita -
Category
Documents
-
view
58 -
download
0
Transcript of TUGAS UU
BAB I
PENDAHULUAN
Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis dari waktu ke waktu,
kian menarik untuk disimak. Hal tersebut dapat kita ketahui pada makin maraknya pengaduan
demi pengaduan kasus malpraktik yang diajukan oleh masyarakat kepada Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) atas profesi dokter yang dianggap merugikan hak-hak pasien.
Dr. Broto Wasisto mengatakan MKEK Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak tahun 1997
hingga 2003 menerima laporan pengaduan kasus pelanggaran disiplin kedokteran/malpraktek di
Propinsi DKI Jakarta sebanyak 92 kasus. Berarti rata-rata per tahun 13 kasus, dengan rincian 10
kasus pada 1997, 11 kasus pada 1998, 18 kasus pada 1999, 14 kasus pada 1999, 10 kasus pada
2001, 14 kasus pada 2002 dan 15 kasus pada 2003
. Sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran
harus mendapatkan prioritas penanganan lebih saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi
akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan
perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang
serta sanksi-sanksi hukum yang tegas. Dahulu profesi kedokteran sering dianggap sebagai
sebuah profesi yang terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali.
Namun doktrin-doktrin usang tersebut kini seakan tidak berlaku lagi karena menurut
hukum, tidak terdapat suatu tingkat superioritas kelas di dalam masyarakat, semua dianggap
sama dihadapan hukum (equality before the law). National Health Service (NHS) menyebutkan
bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian
medik yang lain. Oleh karena itu instrumen hukum sebagai salah satu kekuatan untuk
melindungi hak-hak dasar pasien perlu ditegaskan kembali sesuai dengan ruang lingkup serta
batasannya.
Dalam menjalankan rangkaian diagnosa (menentukan kriteria penyakit serta obat yang
harus dipergunakan oleh pasien), seorang dokter dituntut untuk selalu berhati-hati, karena satu
insiden pelanggaran medis saja mampu menimbulkan kerugian fisik hingga resiko hilangnya
nyawa pasien. Dalam hal seperti inilah seringkali dokter terjebak dalam problematika
medis.Semua itu harus disesuaikan dengan standard operasional prosedur yang telah digariskan
oleh organisasi profesi kedokteran. Karena sebagai seorang pekerja profesional, tidak dibenarkan
1
memiliki suatu sikap batin yang ceroboh mengenai standar profesinya sendiri. Sikap batin seperti
demikianlah yang sangat berbahaya serta dapat mengancam kelangsungan kesehatan pasien.
Leenen dan Van Der Mijn seorang ahli hukum kesehatan Belanda berpendapat bahwa dalam
melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada tiga ukuran umum,
yaitu :
a. kewenangan ;
b. kemampuan rata-rata , dan ;
c. ketelitian yang umum1
Tiga unsur pokok inilah yang menjadi landasan primer pada standar profesi kedokteran.
Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Apabila terbukti secara sah dan meyakinkan
seorang praktisi kesehatan melakukan kelalaian medis, maka seorang dokter bisa diberi
peringatan, skors, ditunda sampai dicabut izin prakteknya.
2
BAB II
URAIAN KASUS
2.1 Kronologi Kasus
Seorang atlet berkuda wanita , AY , 35 tahun datang ke dokter spesialis tulang (orthopedi)
di suatu RS swasta 1 minggu setelah terjatuh dari latihan berkuda, bulan November 2012 .
Awalnya pasien tidak mengeluh rasa sakit , namun atas saran keluarga, pasien diminta untuk
memeriksakan diri ke RS. Di RS tersebut pasien dianjurkan menjalani berbagai pemeriksaan .
Ketika itu pasien mendapatkan serangkaian tindakan medis , mulai penyinaran dengan X-Ray
dan CT Scan , hingga penyuntikan dan infus. Sayangnya pada saat itu tanpa melihat hasil X-Ray
dan CT Scan terlebih dahulu , dokter tersebut langsung memvonis pasien telah mengalami patah
tulang rusuk dan tulang ekor.
Akhirnya dokter tersebut langsung menawarkan obat yang dikatakannya sebagai
penghilang rasa nyeri. Setelah menjalani serangkaian pengobatan ± 3 minggu , pasien
merasakan wajahnya membengkak dan mati rasa, tumbuh gundukan, daging pada punuk, badan
biru-biru. Dia juga mengalami tremor, sakit kepala yang luar biasa, berat badan naik secara
drastis, serta ngilu pada tulang dan otot. Akhirnya pasien dan keluarga datang kembali untuk
mempertanyakan keanehan yang terjadi pada pasien kepada dokter dan pihak RS namun mereka
tidak mendapat jawaban yang memuaskan.
Lalu pada bulan Januari 2013 pasien dibawa keluarga berobat ke RS di Singapura , disana
pasien menjalani serangkaian pemeriksaan termasuk salah satunya tes darah khusus yang tidak
ada di Indonesia. Semua hasil tes darah berada jauh di atas batas normal. Beberapa dokter
spesialis endokrinologi di Singapura memvonis pasien terkena penyakit "Iatrogenic Cushing
Syndrome" .
Munculnya Iatrogenic Cushing Syndrome ini diduga akibat
serangkaian tindakan penyuntikan secara intra-articular atau intramuscular injections dan infus
Aclasta, yang mengandung zat-zat dosis tinggi TCA (Triamcinolone Acetonide) atau pengobatan
steroid, obat anastesi lokal Lidocaine dan pain killer Tramal, sebanyak 15 kali suntikan dalam 7
hari . Jenis steroid TCA ini berbeda dengan dopling atlet yakni anabolic steroid.2
3
BAB III
TINJAUAN KASUS
1. ANALISIS MASALAH
Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar
profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum
kriminal dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal :
(1) Tanggung jawab criminal
(2) Malpraktik secara etik
(3) Tanggung jawab sipil
(4) Tanggung jawab publik
Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan
lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang
ditimbulkan, (4) penyebabnya, dan (5) antisipasi yang dilakukan.
Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon
perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung
tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut
menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup dihadirkan di depan
pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama
berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang
dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter
atau rumah sakit) lalu memberikan bukti – bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan
kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah
cukup. Namun, terdapat sanggahan – sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya
lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan
telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui
dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada
4
terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar
pantangan – pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak
ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis
tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap
sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat
dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini
merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang
berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam
menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah
praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang
berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka
badan hukum mulai menyelidiki tagihan – tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan
penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan
terhadap prosedur – prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan
secara hati – hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan
tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan
dan persetujuan dokter – pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya
peraturan – peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran
yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta
dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.
Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani
sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai
tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh
Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran,
kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam
sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit
secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar
karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki
batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana
yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak
5
dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien
maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak
malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal
pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini
menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan
tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh
membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia
juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak
boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap
kesehatan pasien.
Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan
pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan
pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya),
yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana
kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.
Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat
mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar
hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau
keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi.
Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak
mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal
akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit
dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.
Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan
prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh
dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka
melaksanakan kewajiban rumah sakit.
6
Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga
pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan
menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait
dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada
terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian
dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak
terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi
keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan
reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien
karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang
dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan
komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan
praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin
praktek.
Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a) duty, (b) adanya
penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan
kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage).
a. Duty (kewajiban)
Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada
hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka
implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan
standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.
Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
Adanya indikasi medis
Bertindak secara hati-hati dan teliti
Bekerja sesuai standar profesi
Sudah ada informed consent.
7
Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29
tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada
bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan
bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga
menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar
pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus
diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.
Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional
attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat
melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi
profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana
Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi
yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK
Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan
kesehatan dan situasi setempat.
Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap
tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus
diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana
penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik
kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek
kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima
8
pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang
memberikan pelayanan atau tindakan.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus
bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan
penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan
menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu
penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian
perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya,
sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin “ Res ipsa
Loquitur”. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar
dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi,
yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan
perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi
bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.
Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus
ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage)
yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan
penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan
tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga
sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara
edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah
cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.
d. Damage (kerugian)
9
Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.
Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai
menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat
dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga
termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi
pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.
II. Ditinjau dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran
Pasal 45
1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis
b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan
c) Alternatif tindakan lain dan resikonya
d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun
lisan.
5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan
6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan peraturan Menteri.3
Pembahasan:
10
Dalam kasus ini dokter memang telah meminta persetujuan kepada pasien dan keluarga
pasien, namun dokter tidak menjelaskan secara lengkap mengenai penyuntikan tersebut
sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dan ayat (3). Terutama dalam penegakkan diagnosis,
dimana pasien diberitahukan mengalami patah tulang sebelum dokter melihat hasil foto
rontgen, kemudian dokter langsung memberikan terapi berupa penyuntikan, dimana pasien
tidak mendapatkan penjelasan yang jelas tentang isi obat tersebut, efek samping dari
pengobatan tersebut dan fungsi penggunaan dari obat yang disuntikan tersebut. Dokter pun
tidak memberikan penjelasan megenai resiko jangka panjang dari pengobatan menggunakan
kortikosteroid tersebut.
Pasal 51
a) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis.3
Pembahasan:
Bila dihubungkan dengan standar prosedur opersional, tatalaksana dapat dilakukan setelah
mendapatkan diagnosis pasti. Pada kasus ini dokter belum membaca hasil foto rontgen
namun, dokter telah mengatakan bahwa pasien mengalami patah tulang rusuk dan tulang ekor,
sehingga dokter harus memberikan beberapa kali penyuntikan.
III. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Ada berbagai jenis malpraktek, salah satunya adalah malpraktek pidana.Malpraktek
dalam segi pidana ada tiga bentuk, yaitu:
1. Mal praktek pidana karena kesengajaan (intensional)
Misalnya pada kasus – kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,
membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal
diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat
keterangan dokter yang tidak benar.
2. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)
Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi
serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
3. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)
11
Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang
kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga
tubuhpasien.4
Pembahasan :
Pada kasus ini, tindakan malpraktek yang dilakukan dokter bisa disebut dalam
malprakek pidana karena kecerobohan. Karena dokter tidak memberikan informasi
mengenai diagnosis pasien, terapi yang akan diberikan, jenis obat yang diberikan, indikasi,
prosedur pemberian terapi, efek samping, komplikasi, dan resiko apabila tidak diberikan
terapi pada pasien.
Di luar sepengetahuan Adinda, dokter tersebut ternyata melakukan tindakan medis
berupa rangkaian suntikan secara intra-articular atau intramuscular injections dan infus
Aclasta yang mengandung zat-zat dosis tinggi TCA (Triamcinolone Acetonide) atau
pengobatan steroid, obat anastesi lokal Lidocaine dan pain killer Tramal.
Ada 3 syarat yang harus terpenuhi dalam hal malpraktek dalam segipidana, yaitu
1. Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolusatau culpa)pasal 359-360 KUHP
Malpraktek bidang medis dalam kajian hokum pidana, merupakan kealpaan yang dilakukan
dalam proposal medik. Dokter sebagai pelaksana profesi medic dipertanggungjawabkan
karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia atau luka-luka, pasal KUHP
yang dilanggar adalah pasal 359 dan 360 KUHP.
Pasal 359 KUHP
“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya oranglain, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Pasal 360 KUHP
(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun.
(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian
rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau
pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama
12
Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga
ratus juta rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan
malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan
hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
Pembahasan :
Pada kasus ini, dokter melakukan pelanggaran terhadap pasal 360 KUHP. Dokter
melakukan kecerobohan/kealpaan sehingga timbul penyakit/halangan dalam menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama kurun waktu tertentu.
2. Syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari
standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum
oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien.
Pembahasan :
Pada kasus ini, dokter diduga belum melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan
medis pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan di rumah sakit di Singapura, ternyata Adinda
tidak mengalami patah atau retak tiga tulang rusuk dan tulang ekor, juga tidak menderita
osteoporosis sehingga semestinya tidak memerlukan tindakan medis seperti yang telah
diberikan oleh dr. Guntur yang dikatakannya sebagai Anti Inflamatory (suntikan) dan
suplemen tulang (infus)
3. Untuk dapat menempatkan malpraktek medic dengan hokum pidana adalah syarat akibat,
yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau
kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsur tindak pidana.
Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti:
13
- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
- Tidak mampu terus-menerus untuk menjalan kan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian;
- Kehilangan salah satu pancaindera;
- Mendapat cacat berat;
- Menderita sakit lumpuh;
- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
- Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pembahasan :
Pada kasus ini, dokter diduga telah melanggar pasal 90 KUHP. Yang dimaksud
dengan luka berat pada pasien mengakibatkn ketidak mampuan terus-menerus untuk
menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.
IV. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Transaksi terapeutik merupakan bentuk perjanjian sebagaimana diatur dalam
pasal 1313 KUHPerdata . Adanya perjanjian antara dokter dan pasien
menimbulkan perikatan diantara kedua belah pihak. Pasien yang datang ke
dokter agar dokter melakukan tindakan medik yang bertujuan menyembuhkan
sakit yang ia derita disebut perikatan inspanning verbintenis, sehingga dokter
berkewajiban untuk berusaha secara maksimal dalam melakukan tindakan medik
untuk kesembuhan pasiennya.
Apabila dokter lalai dalam melakukan kewajibannya, maka dokter dapat dikatakan
melakukan wanprestasi. Tindakan wanprestasi dokter menimbulkan kerugian bagi pasien baik
secara materiil maupun immateriil, sehingga dokter dapat dituntut untuk membayar biaya, rugi,
dan bunga kepada pasien yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal
1243 KUHPerdata. Pasien dapat menuntut ganti rugi pada dokter baik berupa
biaya yang termasuk juga biaya pengobatannya, rugi dan bunga dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan mengajukan bukti-bukti
otentik adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter terhadap dirinya dan alat-alat
14
bukti ini sebagaimana diatur dalam pasal 1866 KUHPerdata berupa bukti
tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan
sumpah.
Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada
seorang mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian
tersebut.
Pasal 1366 KUH Perdata : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-
hatinya.
Pasal 1367 KUH Perdata : Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya sendiri,tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-
orang yang menjadi tanggungannya.
Pasal 1371 KUH Perdata: Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja
atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-
biaya penyembuhan, menurut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau catat
tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah
pihak dan menurut keadaan.5
Pembahasan :
Pada kasus ini , bila dokter benar dianggap telah melakukan wanprestasi dengan bukti-bukti yang
sesuai maka wajib dikenakan hukum yang telah diatur dalam KUHPerdata yang dirinci dalam
pasal-pasal diatas, yaitu mengganti kerugian baik secara material dan immaterial.
V. Ditinjau dari UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 6
15
Pasal 1
Ayat 3 : “Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitative
Pembahasan :
Berdasarkan pasal diatas disebutkan bahwa pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit,pada
kasus ini rumah sakit tidak melakukan preventif pada pasien dari keadaan yang
buruk,sehingga merugikan pasien
Pasal 2
“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai
kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi
sosial.”
Pembahasan :
Pada kasus ini rumah sakit tidak berdasarkan etika dan profesionalitas dan tidak memberi
perlindungan dan keselamatan pasien
Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah
sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan Rumah Sakit.
Pembahasan :
16
Pada kasus ini rumah sakit tidak memberi perlindungan dan keselamatan pasien
Pasal 4
“Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.”
Pembahasan :
Pada kasus ini pasien tidak diberikan pelayanan yang paripurna
Pasal 5
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit
mempunyai fungsi:
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit;
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang
paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika
ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan Rumah Sakit.
Pembahasan :
“Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar
pelayanan rumah sakit”.
Pada kasus ini pengobatan dan pemulihan tidak sesuai standar, dengan memberikan suntikan
kortikosteroid dalam dosis tinggi
Pasal 13
17
Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat
Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika
profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan :
Disebutkan : Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai
dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Pada kasus ini tidak bekerja sesuai standar profesi
P asal 29
Setiap Rumah Sakit mempunyai Kewajiban :
• Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat
• Memberi pelayanan kesehatan yg aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan
mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit
• Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan
pelayanannya
• Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan
kemampuan pelayanannya
Kewajiban Rumah Sakit (Lanjutan) :
• Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat yang tidak mampu atau miskin
• Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak
mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban
bencana dan kejadian liar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan
18
• Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit
sebagai acuan dalam melayani pasien
• Menyelenggarakan rekam medis
• Menyediakan sarana dan prasarana yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang
tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, usia lanjut.
• Melaksanakan sistem rujukan.
• Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta
peraturan perundang-undangan.
• Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak & kewajiban pasien
• Menghormati dan melindungi hak-hak pasien
• Melaksanakan etika Rumah Sakit
•Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana
• Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan secara regional maupun nasional
• Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan
tenaga kesehatan lainnya.
• Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (Hospital By Laws)
• Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam
melaksanakan tugas, dan
• Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan Tanpa Rokok (KRT).
Pembahasan :
Pada kasus ini,informasi tentang foto rotgen tidak diberitahukan kepada pasien,tindakan
langsung dilakukan,tanpa menunggu hasil foto rotgen
Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik
dan materi;
19
mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;
Pembahasan :
Disebutkan : memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari
kerugian fisik dan materi
Pada kasus ini pasien mengalami kerugian
Pasal 37
Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya.
Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembahasan :
Pasien langsung dilakukan tindakan pemberian infus tanpa meminta persetujuan pasien
tentang obat yang diberikan
P asal 43
20
1) Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.
2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui
pelaporan insiden, menganalisa, & menetap-kan pemecahan masalah dalam rangka
menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan
3) Rumah Sakit melaporkan sebagaimana diamksud pada ayat (2) kepada komite yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetap-kan oleh Menteri.
4) Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara
anonim dan ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan
pasien.
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
VI. Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999
Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). 5,7
Pasal 1
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
Pasal 4
Hak Konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /
atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
21
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlinndungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f.hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Pembahasan :
Terjadi pelanggaran pasal 4, yaitu terlanggarnya hak konsumen. Seperti hak yang
disebutkan dalam poin a, b, c. Pasien sebagai konsumen tidak mendapatkan informasi yang
benar dan jelas dari dokter mengenai diagnosis dan rencaa terapi yang akan diberikan pada
pasien, tidak diberikan pilihan untuk mendapatkan jenis terapi yang akan diberikan, tidak
mendapatkan kenyamanan dan keselamatan atas jasa yang diberikan oleh dokter.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
22
g. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
Pembahasan:
Terjadi pelanggaran pasal 7 poin b, dimana dokter tidak menjelaskan mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan pada pasien.
Pasal 62
1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,
ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku Terhadap sanksi pidana sebagaimana
dimaksud dalam
Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti fugi;
d. perintah penghenlian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Pembahasan:
23
Terjadi pelanggaran pasal 62 poin 3, dimana terjadi sebuah pelanggaran yang
mengakibatkan adanya luka berat, sakit berat dan dapat dijatuhkan hukuman sesuai undang-
undang yang berlaku.
BAB IV
24
KESIMPULAN DAN SARAN
Malpraktek adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau petugas
pelayanan kesehatan. Bila ditinjau maka titik kelalaian tersebut berdasarkan pada rumah sakit
dimana rumah sakit tersebut tidak menetapkan standar dalam pelayanan serta peningkatan mutu.
Rumah sakit dan profesi dokter tersebut dapat terjerat hukum berdasarkan undang undang
tentang kesehatan, tentang praktik kedokteran, KUHP, KUHPer, undang undang tentang rumah
sakit, dan undang undang perlindungan konsumen. Apabila terbukti secara pidana dapat
dihukum berdasarkan hukuman tahanan, apabila berdasarkan perdata dapat diberikan sanksi
berupa uang ganti rugi dan berdasarkan undang undang yang mengatur kesehatan dan praktik
kedokteran dapat memberikan sanksi kepada rumah sakit dan profesi dokter sesuai dengan
MKDKI.
Bagi semua orang yang akan berkecimpung dalam dunia pelayanan kesehatan serta
penulis, diharapkan dapat memberikan pelayanan seusai standar-standar yang jelas dan baku
serta pemberian mutu yang berkualitas. Selain itu diharapkan tenaga medis dan kesehatan dapat
melakukan tindakan yang hati hati dan meningkatan ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya
masing masing.
DAFTAR PUSTAKA
25
1. Chazawi A. Malpraktik Kedokteran. 1st ed. Malang : Bayumedia ; 2007. p. 29
2. Rizal M, Dimas. Kasus Gugatan Malpraktik Setelah Jatuh dari Kuda. Available at :
http://majalah.detik.com/cb/fe12712f5f85d34418f39ace78f3aa65/2013/20130826_MajalahDetik
_91.pdf . Accessed 25 November 2013.
3. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Available at :
http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf.
Accessed 25 November 2013
4. Muldadi. Malpraktek Ditinjau Dalam Segi Hukum Pidana. Semarang : Fakultas Hukum
UNDIP ; 1995.
5. Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban
Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2006.
6. UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Available at :
www.depkes.go.id/downloads/UU_No._44_Th_2009_ttg_Rumah_Sakit.pdf. Accessed 25
November 2013.
7. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Available at :
http://litbang.pu.go.id/sni/data/sni/upload/legalaspek/UU%20no%208%20Thn
%201999%20tentang%20perlindungan%20konsumen.pdf . Accessed 25 November 2013.
26