TUGAS UU

39
BAB I PENDAHULUAN Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis dari waktu ke waktu, kian menarik untuk disimak. Hal tersebut dapat kita ketahui pada makin maraknya pengaduan demi pengaduan kasus malpraktik yang diajukan oleh masyarakat kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) atas profesi dokter yang dianggap merugikan hak-hak pasien. Dr. Broto Wasisto mengatakan MKEK Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak tahun 1997 hingga 2003 menerima laporan pengaduan kasus pelanggaran disiplin kedokteran/malpraktek di Propinsi DKI Jakarta sebanyak 92 kasus. Berarti rata-rata per tahun 13 kasus, dengan rincian 10 kasus pada 1997, 11 kasus pada 1998, 18 kasus pada 1999, 14 kasus pada 1999, 10 kasus pada 2001, 14 kasus pada 2002 dan 15 kasus pada 2003 . Sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran harus mendapatkan prioritas penanganan lebih saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang serta sanksi-sanksi hukum yang tegas. Dahulu profesi kedokteran sering dianggap sebagai sebuah profesi yang terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali. 1

Transcript of TUGAS UU

BAB I

PENDAHULUAN

Maraknya pemberitaan tentang dugaan kelalaian pelayanan medis dari waktu ke waktu,

kian menarik untuk disimak. Hal tersebut dapat kita ketahui pada makin maraknya pengaduan

demi pengaduan kasus malpraktik yang diajukan oleh masyarakat kepada Majelis Kehormatan

Etik Kedokteran (MKEK) atas profesi dokter yang dianggap merugikan hak-hak pasien.

Dr. Broto Wasisto mengatakan MKEK Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sejak tahun 1997

hingga 2003 menerima laporan pengaduan kasus pelanggaran disiplin kedokteran/malpraktek di

Propinsi DKI Jakarta sebanyak 92 kasus. Berarti rata-rata per tahun 13 kasus, dengan rincian 10

kasus pada 1997, 11 kasus pada 1998, 18 kasus pada 1999, 14 kasus pada 1999, 10 kasus pada

2001, 14 kasus pada 2002 dan 15 kasus pada 2003

. Sebagai fenomena gunung es (iceberg phenomenon), dugaan malpraktek kedokteran

harus mendapatkan prioritas penanganan lebih saat ini. Tingginya kasus malpraktek yang terjadi

akibat kelalaian dokter, memaksa pemerintah untuk turut serta secara pro-aktif memberikan

perlindungan kepada masyarakat selaku pihak yang dirugikan berupa ketentuan undang-undang

serta sanksi-sanksi hukum yang tegas. Dahulu profesi kedokteran sering dianggap sebagai

sebuah profesi yang terkesan terisolir dan tidak pernah mendapat sentuhan hukum sama sekali.

Namun doktrin-doktrin usang tersebut kini seakan tidak berlaku lagi karena menurut

hukum, tidak terdapat suatu tingkat superioritas kelas di dalam masyarakat, semua dianggap

sama dihadapan hukum (equality before the law). National Health Service (NHS) menyebutkan

bahwa dari satu saja kelalaian medik yang dilaporkan, diperkirakan telah terjadi 25 kelalaian

medik yang lain. Oleh karena itu instrumen hukum sebagai salah satu kekuatan untuk

melindungi hak-hak dasar pasien perlu ditegaskan kembali sesuai dengan ruang lingkup serta

batasannya.

Dalam menjalankan rangkaian diagnosa (menentukan kriteria penyakit serta obat yang

harus dipergunakan oleh pasien), seorang dokter dituntut untuk selalu berhati-hati, karena satu

insiden pelanggaran medis saja mampu menimbulkan kerugian fisik hingga resiko hilangnya

nyawa pasien. Dalam hal seperti inilah seringkali dokter terjebak dalam problematika

medis.Semua itu harus disesuaikan dengan standard operasional prosedur yang telah digariskan

oleh organisasi profesi kedokteran. Karena sebagai seorang pekerja profesional, tidak dibenarkan

1

memiliki suatu sikap batin yang ceroboh mengenai standar profesinya sendiri. Sikap batin seperti

demikianlah yang sangat berbahaya serta dapat mengancam kelangsungan kesehatan pasien.

Leenen dan Van Der Mijn seorang ahli hukum kesehatan Belanda berpendapat bahwa dalam

melaksanakan profesinya, seorang tenaga kesehatan perlu berpegang pada tiga ukuran umum,

yaitu :

a. kewenangan ;

b. kemampuan rata-rata , dan ;

c. ketelitian yang umum1

Tiga unsur pokok inilah yang menjadi landasan primer pada standar profesi kedokteran.

Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Apabila terbukti secara sah dan meyakinkan

seorang praktisi kesehatan melakukan kelalaian medis, maka seorang dokter bisa diberi

peringatan, skors, ditunda sampai dicabut izin prakteknya.

2

BAB II

URAIAN KASUS

2.1 Kronologi Kasus

Seorang atlet berkuda wanita , AY , 35 tahun datang ke dokter spesialis tulang (orthopedi)

di suatu RS swasta 1 minggu setelah terjatuh dari latihan berkuda, bulan November 2012 .

Awalnya pasien tidak mengeluh rasa sakit , namun atas saran keluarga, pasien diminta untuk

memeriksakan diri ke RS. Di RS tersebut pasien dianjurkan menjalani berbagai pemeriksaan .

Ketika itu pasien mendapatkan serangkaian tindakan medis , mulai penyinaran dengan X-Ray

dan CT Scan , hingga penyuntikan dan infus. Sayangnya pada saat itu tanpa melihat hasil X-Ray

dan CT Scan terlebih dahulu , dokter tersebut langsung memvonis pasien telah mengalami patah

tulang rusuk dan tulang ekor.

Akhirnya dokter tersebut langsung menawarkan obat yang dikatakannya sebagai

penghilang rasa nyeri. Setelah menjalani serangkaian pengobatan ± 3 minggu , pasien

merasakan wajahnya membengkak dan mati rasa, tumbuh gundukan, daging pada punuk, badan

biru-biru. Dia juga mengalami tremor, sakit kepala yang luar biasa, berat badan naik secara

drastis, serta ngilu pada tulang dan otot.  Akhirnya pasien dan keluarga datang kembali untuk

mempertanyakan keanehan yang terjadi pada pasien kepada dokter dan pihak RS namun mereka

tidak mendapat jawaban yang memuaskan.

Lalu pada bulan Januari 2013 pasien dibawa keluarga berobat ke RS di Singapura , disana

pasien menjalani serangkaian pemeriksaan termasuk salah satunya tes darah khusus yang tidak

ada di Indonesia. Semua hasil tes darah berada jauh di atas batas normal.   Beberapa dokter

spesialis endokrinologi di Singapura memvonis pasien terkena penyakit "Iatrogenic Cushing

Syndrome" .

Munculnya Iatrogenic Cushing Syndrome ini diduga akibat

serangkaian tindakan penyuntikan secara intra-articular atau intramuscular injections dan infus

Aclasta, yang mengandung zat-zat dosis tinggi TCA (Triamcinolone Acetonide) atau pengobatan

steroid, obat anastesi lokal Lidocaine dan pain killer Tramal, sebanyak 15 kali suntikan dalam 7

hari . Jenis steroid TCA ini berbeda dengan dopling atlet yakni anabolic steroid.2

3

BAB III

TINJAUAN KASUS

1. ANALISIS MASALAH

Malpraktek adalah praktek kedokteran yang salah atau tidak sesuai dengan standar

profesi atau standar prosedur operasional. Untuk malpraktek dokter dapat dikenai hukum

kriminal dan hukum sipil. Malpraktek kedokteran kini terdiri dari 4 hal :

(1) Tanggung jawab criminal

(2) Malpraktik secara etik

(3) Tanggung jawab sipil

(4) Tanggung jawab publik

Malpraktek secara Umum, seperti disebutkan di atas, teori tentang kelalaian melibatkan

lima elemen : (1) tugas yang mestinya dikerjakan, (2) tugas yang dilalaikan, (3) kerugian yang

ditimbulkan, (4) penyebabnya, dan (5) antisipasi yang dilakukan.

Pada saat tuntutan malpraktek diajukan, akan menjadi sebuah tugas bagi sang pemohon

perkara (pasien maupun anggota keluarganya) untuk mencari sendiri bukti yang mendukung

tuntutannya tersebut. Hal ini akan terus dilakukan oleh pemohon sampai perkara tersebut

menjadi sebuah kasus yang prima fasie dengan bukti – bukti yang cukup dihadirkan di depan

pengadilan dan di hadapan juri yang memungkinkan hakim memberikan putusan secara seksama

berdasar bukti itu sendiri. Setelah bukti tersebut diajukan oleh pemohon, maka bukti yang

dibawa pemohon tersebut akan dihadapkan kepada orang yang disangkakan. Tertuduh (dokter

atau rumah sakit) lalu memberikan bukti – bukti yang menyanggah tuduhan yang dikenakan

kepadanya. Sanggahan yang dikemukakan oleh tertuduh (dokter) terhadap kasusnya itu tidaklah

cukup. Namun, terdapat sanggahan – sanggahan yang dapat diterima yang dapat membuatnya

lepas dari tanggung jawabnya tersebut. Hal ini termasuk (1) resiko perawatan yang dilakukan

telah diketahui oleh pemohon dan ia setuju untuk tetap melanjutkan perawatan (resiko diketahui

dengan informed consent / surat tanda persetujuan tindakan), (2) Pemohon memiliki andil pada

4

terjadinya luka atau sakitnya itu sendiri dengan tidak mematuhi instruksi dokter atau melanggar

pantangan – pantangan yang ada, atau (3) Bahwa luka atau kerugian disebabkan oleh pihak

ketiga dan bukan merupakan dampak dari instruksi yang diberikan dokter. Penegakkan diagnosis

tanpa bantuan pemeriksaan penunjang yang tersedia dapat membawa kesalahan. Hal ini dianggap

sebagai kelalaian dokter dalam melakukan sesuatu yang mestinya ia lakukan contohnya saat

dokter lalai dalam menjalankan tugas yang akhirnya menyebabkan kerugian pada pasien. Hal ini

merupakan dasar dan alasan yang penting dalam kaitan terhadap standar praktik kedokteran yang

berlaku. Pengadilan akan memberikan pengertian terhadap hal tersebut. Kegagalan dalam

menggunakan standar dan uji diagnostik yang tersedia pada kenyataannya merupakan sebuah

praktik kedokteran yang substandar. Di lain pihak, penggunaan standar dan uji diagnostik yang

berlebihan pada masa mendatang harus diwaspadai. Sebelum hal ini terjadi lebih lanjut, maka

badan hukum mulai menyelidiki tagihan – tagihan yang diberikan rumah sakit, dokter dan

penyedia layanan kesehatan lain dengan lebih seksama. Penyelidikan seksama diberikan

terhadap prosedur – prosedur yang tidak dapat dibenarkan secara medis, namun dikerjakan

secara hati – hati baik sehingga dapat membedakan hal tersebut dari tindakan yang melecehkan

tanggung jawab medikolegal. Tagihan yang tidak lazim, pembayaran tagihan yang berlebihan

dan persetujuan dokter – pasien yang tidak lazim dapat menjadi dasar bagi diusulkannya

peraturan – peraturan yang lebih baik di masa depan. Nampaknya kelanjutan praktik kedokteran

yang bersifat defensif akan segera menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menarik serta

dapat dilakukan koreksi terhadap hal tersebut.

Malpraktek Kriminal. Malpraktek kriminal terjadi ketika seorang dokter yang menangani

sebuah kasus telah melanggar undang-undang hukum pidana. Malpraktik dianggap sebagai

tindakan kriminal dan termasuk perbuatan yang dapat diancam hukuman. Hal ini dilakukan oleh

Pemerintah untuk melindungi masyarakat secara umum. Perbuatan ini termasuk ketidakjujuran,

kesalahan dalam rekam medis, penggunaan ilegal obat – obat narkotika, pelanggaran dalam

sumpah dokter, perawatan yang lalai, dan tindakan pelecehan seksual pada pasien yang sakit

secara mental maupun pasien yang dirawat di bangsal psikiatri atau pasien yang tidak sadar

karena efek obat anestesi.Peraturan hukum mengenai tindak kriminal memang tidak memiliki

batasan antara tenaga profesional dan anggota masyarakat lain. Jika perawatan dan tata laksana

yang dilakukan dokter dianggap mengabaikan atau tidak bertanggung jawab, tidak baik, tidak

5

dapat dipercaya dan keadaan - keadaan yang tidak menghargai nyawa dan keselamatan pasien

maka hal itu pantas untuk menerima hukuman. Dan jika kematian menjadi akibat dari tindak

malpraktik yang dilakukan, dokter tersebut dapat dikenakan tuduhan tindak kriminal

pembunuhan. Tujuannya memiliki maksud yang baik namun secara tidak langsung hal ini

menjadi berlebihan. Seorang dokter dilatih untuk membuat keputusan medis yang sesuai dan

tidak boleh mengenyampingkan pendidikan dan latihan yang telah dilaluinya serta tidak boleh

membuat keputusan yang tidak bertanggung jawab tanpa mempertimbangkan dampaknya. Ia

juga tidak boleh melakukan tindakan buruk atau ilegal yang tidak bertanggung jawab dan tidak

boleh mengabaikan tugas profesionalnya kepada pasien. Dia juga harus selalu peduli terhadap

kesehatan pasien.

Criminal malpractice sebenarnya tidak banyak dijumpai. Misalnya melakukan

pembedahan dengan niat membunuh pasiennya atau adanya dokter yang sengaja melakukan

pembedahan pada pasiennya tanpa indikasi medik, (appendektomi, histerektomi dan sebagainya),

yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, jadi semata-mata untuk mengeruk keuntungan pribadi.

Memang dalam masyarakat yang menjadi materialistis, hedonistis dan konsumtif, dimana

kalangan dokter turut terimbas, malpraktek diatas dapat meluas.

Civil Malpractice adalah tipe malpraktek dimana dokter karena pengobatannya dapat

mengakibatkan pasien meninggal atau luka tetapi dalam waktu yang sama tidak melanggar

hukum pidana. Sementara Negara tidak dapat menuntut secara pidana, tetapi pasien atau

keluarganya dapat menggugat dokter secara perdata untuk mendapatkan uang sebagai ganti rugi.

Tanggung jawab dokter tersebut tidak berkurang meskipun pasien tersebut kaya atau tidak

mampu membayar. Misalnya seorang dokter yang menyebabkan pasien luka atau meningggal

akibat pemakaian metode pengobatan yang sama sekali tidak benar dan berbahaya tetapi sulit

dibuktikan pelangggaran pidananya, maka pasien atau keluarganya dapat menggugat perdata.

Pada civil malpractice, tanggung gugat dapat bersifat individual atau korporasi. Dengan

prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh

dokter-dokternya asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka

melaksanakan kewajiban rumah sakit.

6

Malpraktik secara Etik, Kombinasi antara interaksi profesional dan aktivitas tenaga

pendukungnya serta hal yang sama akan mempengaruhi anggota komunitas profesional lain dan

menjadi perhatian penting dalam lingkup etika medis. Panduan dan standar etika yang ada terkait

dengan profesi yang dijalaninya itu sendiri. Panduan dan standar profesi tersebut mengarah pada

terjadinya inklusi atau eksklusi orang – orang yang terlibat dalam profesi tersebut. Kelalaian

dalam menjalani panduan dan standar etika yang ada secara umum tidak memiliki dampak

terhadap dokter dalam hubungannya dengan pasien. Namun, hal ini akan mempengaruhi

keputusan dokter dalam memberikan tata laksana yang baik. Hal tersebut dapat menghasilkan

reaksi yang kontroversial dan menimbulkan kerugian baik kepada dokter, maupun kepada pasien

karena dokter telah melalaikan standar etika yang ada. Tindakan tidak profesional yang

dilakukan dengan mengabaikan standar etika yang ada umumnya hanya berurusan dengan

komite disiplin dari profesi tersebut. Hukuman yang diberikan termasuk pelarangan tindakan

praktik untuk sementara dan pada kasus yang tertentu dapat dilakukan tindakan pencabutan izin

praktek.

Menurut Hubert W. Smith tindakan malpraktek meliputi 4D, yaitu (a) duty, (b) adanya

penyimpangan dalam pelaksanaan tugas (dereliction), (c) penyimpangan akan mengakibatkan

kerusakan (direct caution), (d) sang dokter akan menyebabkan kerusakan (damage).

a. Duty (kewajiban)

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada

hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum, maka

implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai dengan

standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya.

Dalam hubungan perjanjian dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:

Adanya indikasi medis

Bertindak secara hati-hati dan teliti

Bekerja sesuai standar profesi

Sudah ada informed consent.

7

Keempat tindakan di atas adalah sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran No. 29

tahun 2004 Bab IV tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran, yang menyebutkan pada

bagian kesatu pasal 36,37 dan 38 bahwa sorang dokter harus memiliki surat izin praktek, dan

bagian kedua tentang pelaksanaan praktek yang diatur dalam pasal 39-43. Pada bagian ketiga

menegaskan tentang pemberian pelayanan, dimana paragraf 1 membahas tentang standar

pelayanan yang diatur dengan Peraturan Menteri. Standar Pelayanan adalah pedoman yang harus

diikuti oleh dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran.

Standar Profesi Kedokteran adalah batasan kemampuan (knowledge, skill and professional

attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang dokter atau dokter gigi untuk dapat

melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi

profesi. Standar profesi yang dimaksud adalah yang tercantum dalam KODEKI Pasal 2 dimana

Setiap dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi

yang tertinggi, dimana tolak ukuran tertinggi adalah yang sesuai dengan perkembangan IPTEK

Kedokteran, etika umum, etika kedokteran, hukum dan agama, sesuai tingkat/ jenjang pelayanan

kesehatan dan situasi setempat.

Sesuai dengan Undang-Undang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap

tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi

terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Sebelum memberikan persetujuan pasien harus

diberi penjelasan yang lengkap akan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter. Di mana

penjelasan itu mencakup sekurang-kurangnya :

a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;

b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;

c. alternatif tindakan lain dan risikonya;

d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan

e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Yang harus ditekankan lagi oleh seorang dokter adalah ketika dia menjalankan praktik

kedokteran wajib untuk membuat rekam medis, yang sudah diatur dalam undang-undang parktek

kedokteran pasal 46. Rekam medis harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima

8

pelayanan kesehatan dan harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas yang

memberikan pelayanan atau tindakan.

b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)

Apabila sudah ada kewajiban (duty), maka sang dokter atau perawat rumah sakit harus

bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika seorang dokter melakukan

penyimpangan dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan

menurut standard profesinya, maka dokter tersebut dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu

penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian

perawat dan bukti-bukti lainnya. Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya,

sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin “ Res ipsa

Loquitur”. Tolak ukur yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar

dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama.

c. Direct Causation (penyebab langsung)

Penyebab langsung yang dimaksudkan dimana suatu tindakan langsung yang terjadi,

yang mengakibatkan kecacatan pada pasien akibat kealpaan seorang dokter pada diagnosis dan

perawatan terhadap pasien. Secara hukum harus dapat dibuktikan secara medis yang menjadi

bukti penyebab langsung terjadinya malpraktik dalam kasus manapun.

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti-rugi berdasarkan malpraktek medik, maka harus

ada hubungan kausal yang wajar antara sikap-tindak tergugat (dokter) dengan kerugian (damage)

yang menjadi diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Tindakan dokter itu harus merupakan

penyebab langsung. Hanya atas dasar penyimpangan saja, belumlah cuklup untuk mengajukan

tutunyutan ganti-kerugian. Kecuali jika sifat penyimpangan itu sedemikian tidak wajar sehingga

sampai mencederai pasien. Namun apabila pasien tersebut sudah diperiksa oleh dokter secara

edekuat, maka hanya atas dasar suatu kekeliruan dalam menegakkan diagnosis saja, tidaklah

cukup kuat untuk meminta pertanggungjawaban hukumannya.

d. Damage (kerugian)

9

Damage yang dimaksud adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan kepada pasien.

Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai

menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm) kepada pasien, maka ia tidak dapat

dituntut ganti-kerugian. Istilah luka (injury) tidak saja dala bentuk fisik, namun kadangkala juga

termasuk dalam arti ini gangguan mental yang hebat (mental anguish). Juga apabila tejadi

pelanggaran terhadap hak privasi orang lain.

II. Ditinjau dari UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek kedokteran

Pasal 45

1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau

dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.

2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat

penjelasan secara lengkap.

3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :

a) Diagnosis dan tata cara tindakan medis

b) Tujuan tindakan medis yang dilakukan

c) Alternatif tindakan lain dan resikonya

d) Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi

e) Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara tertulis maupun

lisan.

5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung resiko tinggi harus

diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan

persetujuan

6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur

dengan peraturan Menteri.3

Pembahasan:

10

Dalam kasus ini dokter memang telah meminta persetujuan kepada pasien dan keluarga

pasien, namun dokter tidak menjelaskan secara lengkap mengenai penyuntikan tersebut

sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) dan ayat (3). Terutama dalam penegakkan diagnosis,

dimana pasien diberitahukan mengalami patah tulang sebelum dokter melihat hasil foto

rontgen, kemudian dokter langsung memberikan terapi berupa penyuntikan, dimana pasien

tidak mendapatkan penjelasan yang jelas tentang isi obat tersebut, efek samping dari

pengobatan tersebut dan fungsi penggunaan dari obat yang disuntikan tersebut. Dokter pun

tidak memberikan penjelasan megenai resiko jangka panjang dari pengobatan menggunakan

kortikosteroid tersebut.

Pasal 51

a) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur

operasional serta kebutuhan medis.3

Pembahasan:

Bila dihubungkan dengan standar prosedur opersional, tatalaksana dapat dilakukan setelah

mendapatkan diagnosis pasti. Pada kasus ini dokter belum membaca hasil foto rontgen

namun, dokter telah mengatakan bahwa pasien mengalami patah tulang rusuk dan tulang ekor,

sehingga dokter harus memberikan beberapa kali penyuntikan.

III. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Ada berbagai jenis malpraktek, salah satunya adalah malpraktek pidana.Malpraktek

dalam segi pidana ada tiga bentuk, yaitu:

1. Mal praktek pidana karena kesengajaan (intensional)

Misalnya pada kasus – kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,

membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal

diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat

keterangan dokter yang tidak benar.

2. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi

serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

3. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)

11

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang

kurang hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga

tubuhpasien.4

Pembahasan :

Pada kasus ini, tindakan malpraktek yang dilakukan dokter bisa disebut dalam

malprakek pidana karena kecerobohan. Karena dokter tidak memberikan informasi

mengenai diagnosis pasien, terapi yang akan diberikan, jenis obat yang diberikan, indikasi,

prosedur pemberian terapi, efek samping, komplikasi, dan resiko apabila tidak diberikan

terapi pada pasien.

Di luar sepengetahuan Adinda, dokter tersebut ternyata melakukan tindakan medis

berupa rangkaian suntikan secara intra-articular atau intramuscular injections dan infus

Aclasta yang mengandung zat-zat dosis tinggi TCA (Triamcinolone Acetonide) atau

pengobatan steroid, obat anastesi lokal Lidocaine dan pain killer Tramal.

Ada 3 syarat yang harus terpenuhi dalam hal malpraktek dalam segipidana, yaitu

1. Sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolusatau culpa)pasal 359-360 KUHP

Malpraktek bidang medis dalam kajian hokum pidana, merupakan kealpaan yang dilakukan

dalam proposal medik. Dokter sebagai pelaksana profesi medic dipertanggungjawabkan

karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia atau luka-luka, pasal KUHP

yang dilanggar adalah pasal 359 dan 360 KUHP.

Pasal 359 KUHP

“Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya oranglain, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Pasal 360 KUHP

(1) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka

berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling

lama satu tahun.

(2) Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian

rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau

pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama

12

Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga

ratus juta rupiah.

Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan

malpraktik, sebagaimana pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 361 KUHP

Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu

jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat

dicabut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan, dan

hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.

Pembahasan :

Pada kasus ini, dokter melakukan pelanggaran terhadap pasal 360 KUHP. Dokter

melakukan kecerobohan/kealpaan sehingga timbul penyakit/halangan dalam menjalankan

pekerjaan jabatan atau pencaharian selama kurun waktu tertentu.

2. Syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari

standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum

oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien.

Pembahasan :

Pada kasus ini, dokter diduga belum melakukan tindakan sesuai dengan kebutuhan

medis pasien. Berdasarkan hasil pemeriksaan di rumah sakit di Singapura, ternyata Adinda

tidak mengalami patah atau retak tiga tulang rusuk dan tulang ekor, juga tidak menderita

osteoporosis sehingga semestinya tidak memerlukan tindakan medis seperti yang telah

diberikan oleh dr. Guntur yang dikatakannya sebagai Anti Inflamatory (suntikan) dan

suplemen tulang (infus)

3. Untuk dapat menempatkan malpraktek medic dengan hokum pidana adalah syarat akibat,

yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau

kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsur tindak pidana.

Pasal 90 KUHP

Luka berat berarti:

13

- Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama

sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;

- Tidak mampu terus-menerus untuk menjalan kan tugas jabatan atau pekerjaan

pencarian;

- Kehilangan salah satu pancaindera;

- Mendapat cacat berat;

- Menderita sakit lumpuh;

- Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;

- Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pembahasan :

Pada kasus ini, dokter diduga telah melanggar pasal 90 KUHP. Yang dimaksud

dengan luka berat pada pasien mengakibatkn ketidak mampuan terus-menerus untuk

menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencarian.

IV. Ditinjau dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Transaksi terapeutik merupakan bentuk perjanjian sebagaimana diatur dalam

pasal 1313 KUHPerdata . Adanya perjanjian antara dokter dan pasien

menimbulkan perikatan diantara kedua belah pihak. Pasien yang datang ke

dokter agar dokter melakukan tindakan medik yang bertujuan menyembuhkan

sakit yang ia derita disebut perikatan inspanning verbintenis, sehingga dokter

berkewajiban untuk berusaha secara maksimal dalam melakukan tindakan medik

untuk kesembuhan pasiennya.

Apabila dokter lalai dalam melakukan kewajibannya, maka dokter dapat dikatakan

melakukan wanprestasi. Tindakan wanprestasi dokter menimbulkan kerugian bagi pasien baik

secara materiil maupun immateriil, sehingga dokter dapat dituntut untuk membayar biaya, rugi,

dan bunga kepada pasien yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal

1243 KUHPerdata. Pasien dapat menuntut ganti rugi pada dokter baik berupa

biaya yang termasuk juga biaya pengobatannya, rugi dan bunga dengan

mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan mengajukan bukti-bukti

otentik adanya kesalahan yang dilakukan oleh dokter terhadap dirinya dan alat-alat

14

bukti ini sebagaimana diatur dalam pasal 1866 KUHPerdata berupa bukti

tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan

sumpah.

Pasal 1365 KUH Perdata : Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada

seorang mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,mengganti kerugian

tersebut.

Pasal 1366 KUH Perdata : Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan perbuatannya tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-

hatinya.

Pasal 1367 KUH Perdata : Seorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang

disebabkan perbuatannya sendiri,tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-

orang yang menjadi tanggungannya.

Pasal 1371 KUH Perdata: Penyebab luka atau cacatnya sesuatu anggota badan dengan sengaja

atau karena kurang hati-hati memberikan hak kepada si korban untuk selain penggantian biaya-

biaya penyembuhan, menurut penggantian kerugian yang disebabkan oleh luka atau catat

tersebut. Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah

pihak dan menurut keadaan.5

Pembahasan :

Pada kasus ini , bila dokter benar dianggap telah melakukan wanprestasi dengan bukti-bukti yang

sesuai maka wajib dikenakan hukum yang telah diatur dalam KUHPerdata yang dirinci dalam

pasal-pasal diatas, yaitu mengganti kerugian baik secara material dan immaterial.

V. Ditinjau dari UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit 6

15

Pasal 1

Ayat 3 : “Pelayanan Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,

preventif, kuratif, dan rehabilitative

Pembahasan :

Berdasarkan pasal diatas disebutkan bahwa pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit,pada

kasus ini rumah sakit tidak melakukan preventif pada pasien dari keadaan yang

buruk,sehingga merugikan pasien

Pasal 2

“Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai

kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti

diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi

sosial.”

Pembahasan :

Pada kasus ini rumah sakit tidak berdasarkan etika dan profesionalitas dan tidak memberi

perlindungan dan keselamatan pasien

Pasal 3

Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:

Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;

Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan rumah

sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;

Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan

Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah

sakit, dan Rumah Sakit.

Pembahasan :

16

Pada kasus ini rumah sakit tidak memberi perlindungan dan keselamatan pasien

Pasal 4

“Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara

paripurna.”

Pembahasan :

Pada kasus ini pasien tidak diberikan pelayanan yang paripurna

Pasal 5

Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit

mempunyai fungsi:

Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar

pelayanan rumah sakit;

Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang

paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka

peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang

kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika

ilmu pengetahuan bidang kesehatan;

Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan

Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah

sakit, dan Rumah Sakit.

Pembahasan :

“Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar

pelayanan rumah sakit”.

Pada kasus ini pengobatan dan pemulihan tidak sesuai standar, dengan memberikan suntikan

kortikosteroid dalam dosis tinggi

Pasal 13

17

Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki Surat

Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan standar

profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang berlaku, etika

profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pembahasan :

Disebutkan : Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai

dengan standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang

berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.

Pada kasus ini tidak bekerja sesuai standar profesi

P asal 29

Setiap Rumah Sakit mempunyai Kewajiban :

• Memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat

• Memberi pelayanan kesehatan yg aman, bermutu, anti diskriminasi dan efektif dengan

mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit

• Memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan kemampuan

pelayanannya

• Berperan aktif dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana, sesuai dengan

kemampuan pelayanannya

Kewajiban Rumah Sakit (Lanjutan) :

• Menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat yang tidak mampu atau miskin

• Melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak

mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban

bencana dan kejadian liar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan

18

• Membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu pelayanan kesehatan di Rumah Sakit

sebagai acuan dalam melayani pasien

• Menyelenggarakan rekam medis

• Menyediakan sarana dan prasarana yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang

tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, usia lanjut.

• Melaksanakan sistem rujukan.

• Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta

peraturan perundang-undangan.

• Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai hak & kewajiban pasien

• Menghormati dan melindungi hak-hak pasien

• Melaksanakan etika Rumah Sakit

•Memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana

• Melaksanakan program pemerintah di bidang kesehatan secara regional maupun nasional

• Membuat daftar tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan

tenaga kesehatan lainnya.

• Menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit (Hospital By Laws)

• Melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam

melaksanakan tugas, dan

• Memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan Tanpa Rokok (KRT).

Pembahasan :

Pada kasus ini,informasi tentang foto rotgen tidak diberitahukan kepada pasien,tindakan

langsung dilakukan,tanpa menunggu hasil foto rotgen

Pasal 32

Setiap pasien mempunyai hak:

memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;

memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar

prosedur operasional;

memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik

dan materi;

19

mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;

memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang

berlaku di Rumah Sakit;

meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang

mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;

mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan

medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis

terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;

memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga

kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;

menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan

pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;

Pembahasan :

Disebutkan : memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari

kerugian fisik dan materi

Pada kasus ini pasien mengalami kerugian

Pasal 37

Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan

pasien atau keluarganya.

Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan :

Pasien langsung dilakukan tindakan pemberian infus tanpa meminta persetujuan pasien

tentang obat yang diberikan

P asal 43

20

1) Rumah Sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien.

2) Standar keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui

pelaporan insiden, menganalisa, & menetap-kan pemecahan masalah dalam rangka

menurunkan angka kejadian yang tidak diharapkan

3) Rumah Sakit melaporkan sebagaimana diamksud pada ayat (2) kepada komite yang

membidangi keselamatan pasien yang ditetap-kan oleh Menteri.

4) Pelaporan insiden keselamatan pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat secara

anonim dan ditujukan untuk mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan

pasien.

Pasal 46

Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan

atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.

VI. Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999

Pasien rumah sakit adalah konsumen, sehingga secara umum pasien dilindungi dengan

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU No. 8/1999). 5,7

Pasal 1

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk 

memberi perlindungan kepada konsumen.

Pasal 4

Hak Konsumen adalah:

a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /

atau jasa;

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut

sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

21

c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengani kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa;

d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlinndungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;

f.hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang

dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Pembahasan :

Terjadi pelanggaran pasal 4, yaitu terlanggarnya hak konsumen. Seperti hak yang

disebutkan dalam poin a, b, c. Pasien sebagai konsumen tidak mendapatkan informasi yang

benar dan jelas dari dokter mengenai diagnosis dan rencaa terapi yang akan diberikan pada

pasien, tidak diberikan pilihan untuk mendapatkan jenis terapi yang akan diberikan, tidak

mendapatkan kenyamanan dan keselamatan atas jasa yang diberikan oleh dokter.

Pasal 7

Kewajiban pelaku usaha adalah :

a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan

berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang

dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat

dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi komppensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat pengguunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

22

g. memberi konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang

diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian

Pembahasan:

Terjadi pelanggaran pasal 7 poin b, dimana dokter tidak menjelaskan mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan pada pasien.

Pasal 62

1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal

9,Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,

ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,Pasal

12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau

kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku Terhadap sanksi pidana sebagaimana

dimaksud dalam

Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa:

a. perampasan barang tertentu;

b. pengumuman keputusan hakim;

c. pembayaran ganti fugi;

d. perintah penghenlian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;

e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

f. pencabutan izin usaha.

Pembahasan:

23

Terjadi pelanggaran pasal 62 poin 3, dimana terjadi sebuah pelanggaran yang

mengakibatkan adanya luka berat, sakit berat dan dapat dijatuhkan hukuman sesuai undang-

undang yang berlaku.

BAB IV

24

KESIMPULAN DAN SARAN

Malpraktek adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter atau petugas

pelayanan kesehatan. Bila ditinjau maka titik kelalaian tersebut berdasarkan pada rumah sakit

dimana rumah sakit tersebut tidak menetapkan standar dalam pelayanan serta peningkatan mutu.

Rumah sakit dan profesi dokter tersebut dapat terjerat hukum berdasarkan undang undang

tentang kesehatan, tentang praktik kedokteran, KUHP, KUHPer, undang undang tentang rumah

sakit, dan undang undang perlindungan konsumen. Apabila terbukti secara pidana dapat

dihukum berdasarkan hukuman tahanan, apabila berdasarkan perdata dapat diberikan sanksi

berupa uang ganti rugi dan berdasarkan undang undang yang mengatur kesehatan dan praktik

kedokteran dapat memberikan sanksi kepada rumah sakit dan profesi dokter sesuai dengan

MKDKI.

Bagi semua orang yang akan berkecimpung dalam dunia pelayanan kesehatan serta

penulis, diharapkan dapat memberikan pelayanan seusai standar-standar yang jelas dan baku

serta pemberian mutu yang berkualitas. Selain itu diharapkan tenaga medis dan kesehatan dapat

melakukan tindakan yang hati hati dan meningkatan ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya

masing masing.

DAFTAR PUSTAKA

25

1. Chazawi A. Malpraktik Kedokteran. 1st ed. Malang : Bayumedia ; 2007. p. 29

2. Rizal M, Dimas. Kasus Gugatan Malpraktik Setelah Jatuh dari Kuda. Available at :

http://majalah.detik.com/cb/fe12712f5f85d34418f39ace78f3aa65/2013/20130826_MajalahDetik

_91.pdf . Accessed 25 November 2013.

3. UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Available at :

http://www.depkes.go.id/downloads/UU_No._29_Th_2004_ttg_Praktik_Kedokteran.pdf.

Accessed 25 November 2013

4. Muldadi. Malpraktek Ditinjau Dalam Segi Hukum Pidana. Semarang : Fakultas Hukum

UNDIP ; 1995.

5. Sidabalok, Janus. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Pertanggung-jawaban

Menurut Hukum Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Perada, 2006.

6. UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Available at :

www.depkes.go.id/downloads/UU_No._44_Th_2009_ttg_Rumah_Sakit.pdf. Accessed 25

November 2013.

7. UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Available at :

http://litbang.pu.go.id/sni/data/sni/upload/legalaspek/UU%20no%208%20Thn

%201999%20tentang%20perlindungan%20konsumen.pdf . Accessed 25 November 2013.

26