Tugas Tek.par
-
Upload
a-biologist-uad -
Category
Documents
-
view
100 -
download
6
Transcript of Tugas Tek.par
TUGAS AKHIR TEKNIK SEPARASI
“Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid dari
Buah Belimbing Manis (Averrhoa carambola Linn.)”
NAMA : RIA AGUSTINA
NIM : 11017006
PRODI : BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2013
BAB I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Semua makhluk agar dapat melangsungkan hidup, tumbuh dan reproduksinya perlu
melakukan transformasi dan interkonversi sejumlah besar senyawa organik. Proses transformasi
dan inter-konversi senyawa organik tersebut dilaksanakan melalui suatu system terintegrasi yang
terdiri atas reaksi-reaksi kimia beraturan yang dikatalisis dan dikontrol secara ketat oleh sistem
enzimatik (yang secara kolektif disebut sebagai metabolisme intermedier) dengan jalur-jalur
reaksi yang terlibat (yang disebut sebagai jalur-jalur metabolik). Sedangkan senyawa-senyawa
organik yang dihasilkan dan terlibat dalam metabolisme itu disebut sebagai metabolit.
Beberapa metabolit penting dalam metabolisme tersebut adalah senyawa- senyawa:
karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat; yang kesemuanya (kecuali lemak) berupa senyawa
berbentuk polimerik; yaitu senyawa karbohidrat tersusun dari unit-unit gula, protein tersusun dari
asam-asam amino, dan asam nukleat terdiri dari nukleotid-nukleotid. Makhluk hidup mempunyai
kemampuan yang bervariatif dalam melakukan sintesis dan transformasi senyawa organik
tersebut. Misalnya tanaman sangat efektif menggunakan proses fotosintesis untuk sintesis
karbohidrat; sedangkan organisme lain seperti mikroba dan hewan melakukan' sintesis dari
senyawa anorganik yang dikonsumsinya. Jadi jalur-jalur metabolik secara garis besar dapat
dibagi ke dalam dua macam jalur, yaitu jalur yang bertanggung jawab terhadap degradasi'
material yang dikonsumsi, dan jalur yang bertanggung jawab terhadap sintesis senyawa-senyawa
organic tertentu (yang dibutuhkan) dari senyawa dasar yang didapatnya.
Berbagai penelitian-penelitian dilakukan untuk menggali informasi dan mengetahui
manfaat dari hasil metabolism metabolit skunder tumbuhan yang mana hasil metabolisme
metabolit primer tumbuhan itu disebut metabolit skunder yang telah diketahui memiliki manfaat
bagi manusia. Telah diketahui berbagai macam manfaat metabolit skunder bagi manusia
utamanya dibidang farmasi dan kedokteran. Bebagai senyawa dari metabolit skunder tersebut
sangat dibutuhkan dibidang kesehatan.
Untuk dapat mengambil senyawa metabolit skunder yang dibutuhkan, terlebih dahulu
dilakukan proses analisi guna mngetahui tumbuhan apa yang menghasilkan metabolit skunder
yang dibutuhkan tersebut. Teknik menganalisis pun bermacam-macam. Pada penelitian ini
dilakukan penelitian tentang isolasi dan identifikasi senyawa aktif antibakteri dari buah
belimbing manis (Averrhoa carambola Linn). Sebanyak 140,56 g ekstrak kental methanol
diperoleh dari 10 kg buah segar belimbing manis. Ekstrak metanol tersebut dilarutkan ke dalam
campuran metanol-air (7:3) selanjutnya dipartisi berturut-turut dengan pelarut n-heksana dan
kloroform, sehingga menghasilkan berturut-turut ekstrak n-heksana 0,10 g, ekstrak kloroform
0,07 g dan ekstrak air sebanyak 48,01 g.
Uji fitokimia flavonoid dari semua ekstrak kental yang diperoleh menunjukkan bahwa
air yang paling positif flavonoid. Hasil pemisahan dengan kromatografi kolom terhadap ekstrak
air diperoleh fraksi FB positif flavonoid dengan berat sekitar 0,2027 g yang berwarna orange.
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa isolat (fraksi FB) merupakan senyawa golongan katekin
dengan kemungkinan memiliki gugus hidroksil pada C-3, C-7, dan C-4’, serta mempunyai gugus
fungsi –OH, C-H aromatik, C-H alifatik, C=C aromatik, C-O alkohol dan tidak mengandung
gugus karbonil C=O. Isolate dapat menghambat pertumbuhan bakteri E.coli pada 100 ppm dan S.
aureus pada 500 ppm.
B. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui sifat kimia dan fisika dari senyawa golongan flavonoida.
2. Megetahui Senyawa Antibakteri Golongan Flavonoid dari Buah Belimbing Manis (Averrhoa
carambola Linn.L)
3. Mengetahui keuntungan metode pemisahan dengan kromatografi lapis tipis (KLT).
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
Kromatografi lapis tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun
1938. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis.
Berbeda debgan kromatografi kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di
dalamnya, pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform)
pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium atau pelat
plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai bentuk terbuka dari
kromatografi kolom (Ibnu dan Abdul, 2007).
Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam
karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh
gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Ibnu dan Abdul, 2007).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaannya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga peralatan yang digunakan. Dalam
kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat dikatakan hampir
semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat secara cepat (Ibnu dan Abdul, 2007).
Beberapa keuntungan dari kromatografi planar ini :
Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis.
Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluorosensi atau
dengan radiasi menggunakan sinar ultraviolet.
Dapat dilakukan elusi secara menaik (ascending), menurun (descending), atau dengan cara
elusi 2 dimensi.
Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan ditentukan
merupakan bercak yang tidak bergerak (Ibnu dan Abdul, 2007).
Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan
diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran ratarata partikel fase diam dan semakin
sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan
resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silica dan serbuk selulosa, sementara
mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah adsorpsi dan partisi (Ibnu dan Abdul, 2007).
Berikut ini adalah beberapa penjerap fase diam yang digunkanan pada KLT :
(Ibnu dan Abdul, 2007).
Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba
karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah campuran 2
pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian
rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam
memilih dan mengoptimasi fase gerak :
Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik
yang sensitif.
Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8
untuk memaksimalkan pemisahan.
Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silica gel, polaritas fase gerak
akan menentukan kecepatan migrasi solute yang berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan
pelarut yang bersifat sedikit polar seperti dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metal
benzene akan meningkatkan harga Rf secara signifikan.
Solut-solut ionik dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut sebagai fase
geraknya, seperti campuran air dan methanol dengan perbandingan tertentu. Penambahan sedikit
asam etanoat atau ammonia masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa
dan asam (Ibnu dan Abdul, 2007).
Aplikasi (Penotolan) Sampel
Untuk memperoleh roprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling sedikit 0,5 μl.
Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl, maka penotolan harus dilakukan
secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Ibnu dan Abdul, 2007).
Pengembangan
Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah mengembangkan sampel
dalam bejana kromatografi yang sebelumnya telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian
bawah lempeng tipis yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-
1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus dibawah lempeng yang telah berisi totolan sampel
(Ibnu dan Abdul, 2007).
Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat mungkin volume fase gerak sedikit
mungkin (akan tetapi harus mampu mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah
ditentukan. Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan kertas
saring . Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring, maka dapat dikatakan bahwa
fase gerak telah jenuh (Ibnu dan Abdul, 2007).
Gambar berikut ini menunjukkan posisi dari totolan sampel, posisi lempeng dalam bejana
serta ketinggian eluen dalam bejana :
Gambar 1 : Lempeng dalam beaker(chamber) dengan garis pembatas penotolan sampel dan batas
eluen.
Gambar 2 : Lempeng dengan p[enunjukan kenaikan bercak dan batas atas pengelusian (Ibnu dan
Abdul, 2007).
Deteksi Bercak
Deteksi bercak pada KLT dapat dilakukan secara kimia dan fisika. Cara kimia yang biasa
digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara penyemprotan
sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat digunakan untuk menampakkan bercak
adalah dengan denagan cara pencacahan radioaktif dan fluorosensi sinar ultraviolet. Fluorosensi
sinar ultraviolet terutama untuk senyawa yang dapat berfluorosensi, membuat bercak akan
terlihat jelas (Ibnu dan Abdul, 2007).
Berikut adalah cara-cara kimiawi untuk mendeteksi bercak :
Menyemprot lempeng KLT dengan reagen kromogenik yang akan bereaksi secara kimia
dengan solute yang mengandung gugus fungsional tertentu sehingga bercak menjadi berwarna.
Kadang-kadang dipanaskan terlebih dahulu untuk mempercepat reaksi pembentukan warna dan
intensitas warna bercak.
Mengamati lempeng dibawah lampu ultraviolet yang dipasang panjang gelombang emisi 254
atau 366 untuk menampakkan solute sebagai bercak yang gelap atau bercak yang berfluorosensi
terang pada dasar yang berfluorosensi seragam. Lempeng yag diperdagangkan dapat dibeli dalam
bentuk lempeng yang sudah diberi dengan senyawa fliorosen yang tidak larut yang dimasukkan
ke dalam fase diam untuk memberikan dasar fluorosensi atau dapat pula dengan menyemprot
lempeng dengan reagen fluorosensi setelah dilakukan pengembangan.
Menyemprot lempeng dengan asam sulfat pekat atau asam nitrat pekat lalu dipanaskan untuk
mengoksidasi solute-solut organic yang akan Nampak sebagai bercak hitam sampai kecoklat-
coklatan.
Memaparkan lempeng dengan uap iodium dalam chamber tertutup.
Melakukan scanning pada permukaan lempeng dengan densitometer, suatu instrument yang
dapat mengukur intensitas radiasi yang direfleksikan dari permukaan lempeng ketika disinari
dengan lampu UV atau lampu sinar tampak. Solut-solut yang mampu menyerap sinar akan
dicatat sebagai puncak (peak) dalam pencatatan (recorder) (Ibnu dan Abdul, 2007).
Berikut ini adalah gambar lempeng dengan menggunakan penampak bercak dengan
pendarfluor dan cara kimia (penyemprotan ) :
Perhitungan Nilai Rf
Perhitungan nilai Rf didasarkan atas rumus :
Nilai Rf dinyatakan hingga angka 1,0 beberapa pustaka menyatakan nilai Rf yang baik yang
menunjukkan pemisahan yang cukup baik adalah berkisar antara 0,2-0,8 (Ibnu dan Abdul, 2007).
Altertatif Prosedur KLT
Adanya variasi prosedur pengembangan KLT dilakukan untuk meningkatkan resolusi,
sensitifitas, kecepatan, reprosudibilitas dan selektifitas. Beberapa pengembangan ini meliputi
KLT 2 dimensi, pengembangan kontinyu dan pengembangan gradient (Ibnu dan Abdul, 2007).
KLT 2 dimensi atau KLT 2 arah ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika
komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karenanya nilai
Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain itu, system 2 fase gerak yang
sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran sehingga memungkinkan
untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda (Ibnu dan
Abdul, 2007).
Pengembangan kontinyu dilakukan dengan cara mengalirkan fase gerak secara terus
menerus pada lempeng KLT melalui suatu wadah (biasanya alas tangki) melalui suatu lapisan
dan dibuang dengan cara tertentu pada ujung lapisan. Pengembangan gradient dilakukan dengan
menggunakan komposisi fase gerak yang berbeda-beda. Tujuan utama system ini adalah untuk
mengubah polaritas fase gerak. Meskipun demikian untuk memperoleh komposisi fase gerak
yang reprodusibel sangatlah sulit (Ibnu dan Abdul, 2007).
PENGGUNAAN KLT
Penggunaan umum KLT adalah untuk menentukan banyaknya komponen dalam
campuran, identifikasi senyawa, memantau berjalannya suatu reaksi, menentukan efektivitas
pemurnian, menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom, serta memantau
kromatografi kolom, melakukan screening sampel untuk obat (Ibnu dan Abdul, 2007).
Analisa kualitatif dengan KLT dapat dilakukan untuk uji identifikasi senyawa baku.
Parameter pada KLT yang digunakan untuk identifikasi adalah nilai Rf. Analisis kuantitatif
dilakukan dengan 2 cara, yaitu mengukur bercak langsung pada lengpeng dengan menggunakan
ukuran luas atau dengan teknik densitometry dan cara berikutnya dalaha dengan mengerok
bercak lalu menetapkan kadar senyawa yang terdapat dalam bercak dengan metode analisis yang
lain, misalnya dengan metode spektrofotometri. Dan untuk analisis preparatif, sampel yang
ditotolkan dalam lempeng dengan lapisan yang besar lalu dikembangkan dan dideteksi dengan
cara yang nondekstruktif (Ibnu dan Abdul, 2007).
Bercak yang mengandung analit yang dituju selanjutnya dikerok dan dilakukan analisis
lanjutan. Saat ini metode KLT semakin berkembang dengan hadirnya KLT-KT (Kromatografi
Lapis Tipis Kinerja Tinggi), dimana cara ini lebih efisien dan dengan menghasilkan analisa yang
lebih baik dibandingkan KLT biasa (Ibnu dan Abdul, 2007).
FLAVONOID
Tidak ada benda yang begitu menyolok seperti flavanoid yang memberikan kontribusi
keindahan dan kesemarakan pada bunga dan buah-buahan di alam. Flavin memberikan warna
kuning atau jingga, antosianin memberikan warna merah, ungu atau biru, yaitu semua warna
yang terdapat pada pelangi kecuali warna hijau. Secara biologis, flavanoin memainkan peranan
penting dalam kaitan menyerbukan pada tanaman oleh serangga. Sejumlah flavanoid mempunyai
rasa pahit hingga dapat bersifat menolak sejenis ulat tertentu (Najib, 2006).
Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau,
kecuali alga. Flavonoid yang lazim ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi (Angiospermae)
adalah flavon dan flavonol dengan C- dan O-glikosida, isoflavon C- dan O-glikosida, flavanon C
dan O-glikosida, khalkon dengan C- dan O-glikosida, dan dihidrokhalkon, proantosianidin dan
antosianin, auron O-glikosida, dan dihidroflavonol O-glikosida. Golongan flavon, flavonol,
flavanon, isoflavon, dan khalkon juga sering ditemukan dalam bentuk aglikonnya (Rohyami,
2008).
Senyawa flavanoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat
yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Cincin A memiliki karakteristik bentuk
hidroksilasi phloroglusinol atau resorsinol, dan cincin B biasanya 4-, 3,4- atau 3,4,5-
terhidroksilasi. Dalam gambar dibawah ini menunjukkan struktur dasar flavanoid (Najib, 2006).
(Najib, 2006).
Fragmen tiga karbon pusat, yang terikat pada cincin B, umumnya memiliki empat bentuk.
Gambar : Tipe umum dan beberapa contoh senyawa flavanoid (Najib, 2006).
Tingkat oksidasi tiga karbon bagian molekul flavanoid dapat dinyatakan oleh hubungan
formal seperti ditunjukkan dalam ringkasan berikut. Perlu diperhatikan bahwa cincin –A selalu
memiliki gugus hidroksil yang letaknya sedemikian hingga memberikan kemungkinan untuk
terbentuknya cincin heterosikliks dalam senyawa trisiklis. Dalam bisiklis khalkon dan
hidrokhalkon gugus hidroksil tetap terikat pada cincin –A (Najib, 2006).
(Najib, 2006).
DIHIDROKHALKON
Meskipun dihidrokhalkon jarang terdapat di alam, namun satu senyawa yang penting
yaitu phlorizin merupakan konstituen umum famili Rosaceae juga terdapat dalam jenis buah-
buahan seperti apel dan pear. Phlorizin telah lama dikenal dalam bidang farmasi, ia memiliki
kesanggupan menghasilkan kondisi seperti diabetes. Phlorizin merupakan β -D-glukosida
phloretin. Phloretin mudah terurai oleh alkali kuat menjadi phloroglusinol dan asam p-
hidroksihirosinamat (asam phloretrat). Jika glukosida phlorizin, dipecah dengan alkali dengan
cara yang sama, maka ternyata sisa glukosa tidak dapat terlepas dan dihasilkan phloroglusinol β-
O-glukosida. Akhirnya, kedudukan sisa glukosa yang dibentuk oleh reaksi ditunjukkan dalam
persamaan 1 ; interaksi gugus asetoksil dengan satuan –CHCH2CH2Ar menunjukkan bahwa
satuan glukosa harus terikat pada kedudukan – 2‟ dalam phlorizin. Glikolisasi gugus hidroksil
orto terhadap gugus karbonil di dalam adalah tidak umum, hal ini terutama karena ikatan yang
efektif antara –OH dan O=C (Najib, 2006).
Adanya gugus-gugus hidroksil pada kedudukan -2,6 relatif terhadap gugus karbonil
mengakibatkan satu daripadanya reaktif dan dapat terjadi glikosilasi.
Senyawa ini dipisahkan secara kromatografi kertas memakai pengembang yang biasa. Mereka
dideteksi dengan menyemprot kertas dengan ρ-nitroanilina yang terdiazotasi dan dengan AlCl3
dalam alcohol. Floridzin menghasilkan warna merah jingga dengan pereaksi pertama dan
fluoresensi kehijauan yang kuat dengan pereaksi kedua (Najib, 2006).
KHALKON
Polihidroksi khalkon terdapat dalam sejumlah tanaman, namun terdistribusinya di alam
tidak lazim. Alasan pokok bahwa khalkon cepat mengalami isomerisasi menjadi flavanon dalam
satuan keseimbangan (Najib, 2006).
Gambar : Beberapa khalkon yang terdapat di alam (Najib, 2006).
Bila khalkon 2‟ , 6 –dihidroksilasi , isomer flavanon mengikat 5 – gugus hidroksil, dan
stabilisasi mempengaruhi ikatan hydrogen 4-karbonil-5-hidroksil maka menyebabkan
keseimbangan khalkon-flavanon condong kearah flavanon. Hingga khalkon, yang terdapat di
alam memiliki gugus 2,4‟-hidroksil atau gugus 2‟-hidroksi- 6‟-glikosilokasi (Najib, 2006).
Dalam gambar beberapa khalkon yang terdapat di alam menunjukkan beberapa khalkon
yang terdapat pada tanaman, terutama sebagai pigmen daun bunga berwarna kuning, dalam
kebanyakan terdapat dalam tanaman Heliantheaetribe, Coreopsidinae , subtribe dan famili
Compositae (Najib, 2006).
KARTAMIN
Carfhanus tinctorius L. (fam. Compositae), mengandung pigmen bunga kuning yang
berubah menjadi merah bila umur bunga bertambah. Ekstrak bunga juga berwarna merah,
dengan pembentukkan bunga merah. Pigmen merah pertama kali disebut kartamin, merupakan
glikosida dan bila dihidrolisis dengan asam fosfat berair memberikan dua senyawa isomer yaitu
kartamidin dan isokartamidin. Sekarang pigmen merah dinyatakan sebagai “Kartamon”.
Kartamidin dan isokartamidin merupakan isomer flavanon seperti ditunjukkan dalam persamaan
dibawah ini oleh sintesis senyawa termetilasi sepenuhnya dan demitilasi menjadi tetrahidroksi
flavanon.
(Najib, 2006).
Pembentukan dua flavanon dari precursor tunggal segera terbentuk dengan terjadinya
transformasi seperti ditunjukkan dalam persamaan (3b) ; zat antara khalkon dapat melakukan
siklisasi baik dengan adisi gugus hidroksil -2‟ atau -6‟ terhadap ikatan rangkap. Kartamon
berwarna merah, dan polihidroksi khalkon merupakan senyawa yang berwarna kuning hingga
jingga – kuning ; sebagai contoh koreopsin. Prekursor berwarna kuning ini sekarang dipandang
sebagai khalkon glukosida yang mengalami oksidasi menjadi quinonoid glikosida yang berwarna
merah (kartamon). Pembentukkan flavanon pada hidrolisis kartamon harus melibatkan reduksi
terhadap quinon, kemungkinan pada hidrolisis melepaskan glukosa. Berdasarkan percobaa yang
terakhir menunjukkan bahwa kartamon (pigmen merah) diubah menjadi khalkon kuning oleh
reduksi dengan belerang dioksida, dan senyawa yang diperoleh ini dapat direoksidasi menjadi
kartamon. Hingga pembentukkan flavanon dengan cara hidrolisis precursor merah, yaitu struktur
“enol” khalkon tidak dapat diterima (Najib, 2006).
FLAVAN
Flavan tidak lazim sebagai konstituen tanaman. Sejauh ini hanya ada satu contoh dalam
kelompok ini yang merupakan senyawa yang terdapayb di alam.Senyawa fenolat kompleks yang
merupakan konstituen resin dari tanaman genus Xanthorrhoea mengandung berbagai senyawa
flavanoid yan ternyata pemisahan dan pemurniannya sukar dilakukan. Metilasi (dengan metal
sulfat dan kalium karbonat dalam aseton) terdapat resin kotor dari X, preissii menghasilkan
sejumlah senyawa flavanoid. Salah satu dari padanya adalah 4‟ , 5 , 7-trimetoksi flavan
(penomoran system sesuai dengan gambit tipe umum senyawa flavanoid). Reduksi flavan dengan
natrium dan etanol dalam cairan ammonia dan metilasi fenol yang diperoleh menghasilkan
senyawa yang dikenal 1-p-metoksifenil-3- (2,4,6-trimetoksifenil)-propana (6)
(Najib, 2006).
FLAVANON
Flavanon (biasanya sebagai glikosida) terdistribusi luas dialam. Flavanon terdapat dalam
kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus
Prunus (fam. Rosaceae) dan buah jeruk. Dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan
hesperetin, terdapat dala buah anggur dan jeruk. Beberapa flavanon yang terdapat dialam
diberikan dalam gambar dibawah berikut. Penentuan struktur flavanon cepat dilakukan
berdasarkan metoda klasik. Polihidroksiflavanon mudah dikenal dengan terbentuknya warna
merah, lembayung, bila flavanon direduksi dengan magnesium dalam asam klorida dalam larutan
etanol. Persoalan dasar dalam menentukan struktur flavanon adalah (a) posisi ikatan sisa gula,
jika senyawa merupakan glikosida ; dan (b) posisi gugus inti hidroksil dan metoksi cincin -A dan
–B (Najib, 2006).
Flavanon dan khalkon dipecah oleh hidrolisis alkalis menjadi turunan asam benzoate
yang terdiri dari cincin –B dan tergantung pada kondisi fenol yang terdapat pada cincin –A
(missal phloroglusinol) atau menjadi asetofenon yang sesuai. Pada persamaan digambarkan
beberapa pemecahan seperti yang diuraikan diatas (Najib, 2006).
Cara lain yang berguna untuk menentukan struktur flavanon adalah melibatkan dehidrogenasi
ikatan -2,3 yang memberikan flavon. Karena flavanon sering sukar disintesis sedangkan tidak
ada masalah untuk flavon, maka prosedur ini sangat berharga. Metoda klasik (yaitu degradasi,
interkonversi, sintesis) untuk menentukan struktur flavanoid sekarang telah digantikan dengan
prosedur diagnosa fisika, dalam hal ini resonansi magnetic inti. Proton pada posisi -2 dan -3
menunjukkan pergeseran kimia yang karakteristik dan bentuk penggabungan yang dapat
membedakan struktur flavanon dengan flavon khalkon dan sebagainya. Bentuk aromatik
tersubtitusi biasanya dapat dikenal dengan pergeseran kimia dan bentuk penggabungan
(penggabungan 0-, m atau p) proton-proton cincin –A dan –B (Najib, 2006).
FLAVON
Apigenin dan luteolin terdistribusi secara luas dai alan dan merupakan contoh dasar
bentuk subtitusi yang diturunkan dari kombinasi yang diturunkan dari bagian – C6-C3 dengan
satuan asetat :
(B) C6 - C3 + 3C2 (B) C6 - C3 - C6 (A)
Hampir setiap bentuk yang mungkin dikenal di alam, dari flavon sendiri hingga nobiletin
5,6,,7.8,3‟, 4-heksametoksiflavon. Gambar dibawah ini memuat beberapa flavon alami.
Kebanyakan hidroksiflavon terdapat sebagai glukosida (Najib, 2006).
(Najib, 2006).
Flavon mudah dipecah oleh alkali, menghasilkan diasilmetan atau tergantung pada
kondisi reaksi asam benzoate yang diturunkan dari cincin - B dan 0- hidroksiasetonfenon pada
cincin –A. Diasilmetan yang diturunkan dari flavon seperti dalam persamaan 9, mudah dikenal
sebagai hasil degradasi. Warna hijau terangnya menunjukkan bahwa senyawa dalam bentuk enol.
Diasilmetan mudah disntesis dari asetofenon yang sesuai dan ester asam benzoate tersubtitusi
(persamaan 10a) atau dari 0-asiloksiasetofenon, seperti digambarkan dalam persamaan 10b.
Karena 0- hidroksidiasilmetan mudah diubah menjadi flavon dengan pembentukan cincin oleh
pengaruh katalisator asam, prosedur ini berguna sebagai metoda sintesis flavon (Najib, 2006).
Flavon stabil terhadap asam kuat dan esternya mudah didealkilasi denga penambahan HI atau
Hbr, atau dengan aluminium klorida dalam pelarut inert. Namun demikian, selama dimetilasi tata
ulang sering teramati ; oleh pengaruh asam kuat dapat menyebabkan pembukaan cincin pada
cara yang lain. Sebagai contoh demetilasi 5,8-dimetoksiflavon dengan HBr dalam asam asetat
menghasilkan 5,6- dihidroksiflavon. Dalam keadaa khusus, pembukaan lanjut dapat terjadi.
Demetilasi gugus 5-metoksi dalam polimetoksiflavon segera terjadi pada kondisi yang cocok,
sehingga 5-hidroksi-polimetoksiflavon mudah dibuat. Meskipun flavon mudah dibuat
berdasarkan oksidasi flavanon (dengan natrium asetat-iodida) rute kebalikan-reduksi flavon
menjadi flavanon – tetapi cara tersebut tidak bermanfaat (Najib, 2006).
FLAVANOL (3 – HIDROKSIFLAVON)
Flavanol lazim sebagai konstituen tanaman yang tinggi, dan terdapat dalam berbagai
bentuk terhidroksilasi. Flavanol alami yang paling sederhana adalah galangin, 3,5,7-tri-
hidroksiflavon ; sedangkan yang paling rumit, hibissetin adalah 3,5,7,8,3‟,4‟,5-
heptahidroksiflavon (Najib, 2006).
Bentuk khusus hidroksilasi (C6 (A) –C3-C6 (B), dalam mana C6 (A) adalah turunan
phloroglusinol, dan cincin B adalah 4- atau 3,4 –dihidroksi, diperoleh dalam dua flavanol yang
paling lazim, yaitu kaempferol dan quersetin. Hidroksilflavanol, seperti halnya hidroksi flavon,
biasanya terdapat dalam tanaman sebagai 3 –glikosida. Meskipun flavon, flavonol, flavanon pada
umumnya terdistribusi melalui famili tanaman tinggi tetapi tidak terdapat hubungan
khemotaksom yang jelas. Genus Melicope mengandung melisimpleksin dan ternatin, dan genus
Citrus mengandung nobiletin, tangeretin dan 3‟,4‟,5,6,7 – pentametoksiflavon (Najib, 2006).
KATEKHIN, STEREOKIMIA SENYAWA FLAVANOID
Flavon dan khalkon tidak memiliki atom karbon asimetri sehingga tidak ada masalah
stereokimia. Flavanon mengandung satu pusat asimetri dan dapat berada dalam bentuk (+) dan (-
). Kebanyakan flavanon alam adalah putar kiri dan memiliki konfigurasi –S. Stereokimia
flavanon dan 3 –hidroksiflavanon (dihidroflavanol) telah ditentukan dengan metoda dalam mana
stereokimia katekhin terlibat. (+)-katekhin dan (-)-epikatekhin diastereomer berbeda dalam
kedudukan gugus 2 –aril dan 3 –hidroksil. Struktur katekhin telah ditentukan dengan metoda
konvensional : (a) peleburan alkali menghasilkan phloroglusinol dan asam 3,4 –dihidrobenzoat
(asam protokatekuat); dan (b) reduksi katekhin tetrametil eter, diikuti dengan metilasi fenol yang
dihasilkan, diperoleh 1 –(2,4,6 –trimetoksifenil) -3 –(3,4 –dimetoksifenil) propane. Meskipun
pengamatan tersebut dapat dibantu oleh tiga struktur seperti terlihat dalam persamaan 12a,
namun struktur flavan epikatekhin dibuktikan berdasarkan pembuatannya (sebagai bentuk (+)
secara reduksi katalitik sianidin klorida (Najib, 2006).
Transformasi yang dinyatakan dalam persaman 14 dan 15 menunjukkan konfigurasi
relative katekhin dan epikatekhin. Konfigurasi mutlak ditentukan berdasarkan degradasi seperti
diberikan dalam persamaan 16, dalam mana konfigurasi gugus 3-OH sudah tentu. Ozonolisis (+)
–katekhin merusak cincin-cincin fenol dan menghasilkan asam α, β-dihidroksiglutarat yang
konfigurasinya sesuai dengan 2-deoksi –D-ribosa (Najib, 2006).
ANTOSIANIN DAN PROANTOSIANIN
Senyawa flavonoid yang paling menyolok adalah antosianin, yang merupakan pembentuk
dasar pigmen warna merah, ungu dan biru pada tanaman, terutama sebagai bahan pewarna bunga
dan buah-buahan. Antosianin adalah glikosida antosianidin, yaitu merupakan garam
polihidroksiflavilium (2 –aribenzopirilium). Sebagian besar antosianin alam adalah glikosida
(pada kedudukan 3 –atau 3,5- ) dari sejumlah terbatas antosianidin (Najib, 2006).
Pembuktian struktur antosianidin mula pertama dikerjakan berdasarkan metoda degradasi
seperti cara-cara yang dilakukan terhadap senyawa flavanoid lain, namun pada saat ini
pembuktian dilakukan berdasarkan sintesis (Najib, 2006).
Antosianidin juga dibentuk bila flavon -3,4 –diol dipanaskan pada kondisi asam kuat
(persamaan 18). Reaksi sangat kompleks dan hasil yang diperoleh berupa garam flavilium
rendah ; dan perlu dicatat bahwa reaksi meliputi oksidasi, untuk dehidrasi sederhana flavandiol,
diperoleh 3 –flavan -3-diol (“leukoantosianidin) bukan antosianidin (Najib, 2006).
PROANTISIANIDIN KOMPLEKS
Banyak tanaman mengandung senyawa flavanoid kompleks yang tidak berwarna dan bila
dihidrolisis dengan asam akan kembali menjadi antosianidin dan katekhin. Senyawa tersebut
sering memiliki berat molekul tinggi dan mempunyai kemampuan untuk menyamak kulit, hingga
disebut ”Condenset tannin”. Suatu kemungkinan tannin dihasilkan berdasarkan kondensasi
berulang “monomer” – C15 dan beberapa pendukung memberi nama dimmer (Najib, 2006).
Proantosianidin mengandung 30 atom karbon yang telah diisolasi dari sejumlah tanaman.
Type senyawa tersebut telah dikenal mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1. Ia membentuk oktametil eter dan deka –asetat
2. oktametil eter membentuk diasetat
3. pada hidrolisis asam, diperoleh katekhin dan epikatekhin
4. panambahan dengan asam kuat menghasilkan sianidin (Najib, 2006).
Sifat-sifat senyawa C30 menunjukkan bahwa ia terdiri atas molekul katekhin (atau epikatekhin)
dengan flavan-3,4-diol. Bentuk kombinasi lain adalah dengan subtitusi flavan-3,4-diol menjadi
inti phloroglusinol berdasarkan kondensasi yang dikatalisir –asam (Najib, 2006).
Kegunaan flavanoid dalam bidang kesehatan antara lain :
1. Penyembuhan perdarahan kapiler sub-kutan
2. Anti-inflammasi
3. Anti-tumor/Anti-kanker
4. Anti-virus
5. Anti-allergi
6. Anti-kolesterol
7. Estrogen dan Osteoporosis (Najib, 2006).
Tumbuhan belimbing manis (Averrhoa carambola Linn.), dikenal dengan beberapa nama
seperti; belimbing amis (Sunda), blimbing legi (Jawa), bainang sulapa (Makasar), dan balireng
(Bugis) (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002). Secara umum tumbuhan ini digunakan oleh
masyarakat sebagai obat tradisonal untuk mengobati penyakit malaria, sakit tenggorokan, diare,
luka, bisul, koreng, asma, dan influenza (Sirait, 1989).
Menurut Arisandi dan Yovita (2005) serta Hariana (2004) bahwa tumbuhan belimbing
manis memiliki efek farmakologis seperti antiradang usus, antimalaria, antirematik, analgesik,
peluruh liur, peluruh kencing (diuretic), menghilangkan panas, dan sebagai pelembut kulit.
Bagian buah secara empiris juga dapat dimanfaatkan sebagai obat untuk tekanan darah tinggi,
menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah kanker, memperlancar pencernaan, obat batuk,
peluru air kencing, peluruh lemak, dan radang usus (Wiryowidagdo dan Sitanggang, 2002;
Arisandi dan Yovita, 2005; Rukmana, 1996).
Radang usus adalah suatu penyakit yang kemungkinan dapat disebabkan oleh bakteri,
virus atau parasit. Radang usus yang disebabkan oleh bakteri biasanya berasal dari bakteri
Eschericia coli dengan gejala yang muncul adalah diare (Agnes, 2006; Ismailfahmi, 2006). Efek
farmakologis disebabkan oleh salah satu atau gabungan beberapa senyawa kimia yang
terkandung didalamnya seperti; senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, protein, lemak,
kalsium, fosfor, zat besi, serta vitamin A, B1 dan vitamin C (Wiryowidagdo dan Sitanggang,
2002).
Hasil uji skrining fitokimia pendahuluan terhadap ekstrak kental metanol buah belimbing
manis diketahui positif mengandung senyawa golongan flavonoid, alkaloid, dan, saponin, dengan
kemungkinan kandungan utamanya adalah flavonoid. Hal ini dilihat secara kualitatif dari
intensitas warna yang timbul setelah ditambahkan beberapa pereaksi untuk deteksi senyawa
golongan flavonoid. Berdasarkan pemanfaatannya secara empiris yang salah satunya untuk
mengobati penyakit radang usus yang disebabkan oleh bakteri, serta hasil uji fitokimia
pendahuluan yang menunjukkan bahwa buah belimbing manis kemungkinan mengandung
senyawa metabolit sekunder yang utama adalah flavonoid, maka dalam penelitian ini akan
dilakukan isolasi senyawa golongan flavonoid dan menentukan aktivitas isolate flavonoid
tersebut terhadap bakteri Eschericia coli (E. coli) dan Staphylococus aureus (S.aureus).
BAB III.
METODE PENELITIAN
A. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian adalah buah belimbing manis
(Averrhoa carambola Linn.) yang diperoleh dari Desa Pacung Bitera Gianyar, Bali.
Identifikasi tentang taksonomi tumbuhan dilakukan di LIPI-UPT. Balai Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Bahan kimia yang digunakan adalah metanol
(MeOH), n-heksana, dan kloroform (CHCl3) yang berderajat p.a dan teknis, asam asetat p.a.,
n-butanol p.a., asam kolrida pekat, natrium hidroksida, serbuk magnesium, asam sulfat pekat,
kalium bromida, akuades, natrium asetat anhidrat, asam borat anhidrat, aluminium klorida,
silika gel 60 (E.Merck 70-230 mesh), dan silika gel GF254 (E. Merck).
B. Peralatan
Peralatan yang digunakan meliputi: seperangkat alat gelas, neraca analitik, blender,
pisau, penguap putar vakum, lampu UV, seperangkat alat kromatografi lapis tipis dan kolom,
desikator, tabung reaksi, plat tetes, batang pengaduk, botol semprot, pipa kapiler,
spektrofotometer UV-Vis Secoman S 1000 PC dan spektrofotometer Jasco FTIR-5300.
C. Cara Kerja
Secara bertahap sebanyak 10 Kg irisan tipis buah belimbing manis dihaluskan dengan
cara diblender dan ditambahkan metanol teknis sebagai pelarut. Proses maserasi cara basah
ini dilakukan 6 (enam) kali dengan setiap kali maserasi menggunakan 4 L MeOH. Ekstrak
MeOH yang diperoleh dipekatkan dengan penguap putar vakum pada suhu 60 0C sampai
diperoleh ekstrak kental MeOH. Ekstrak kental MeOH disuspensikan kedalam campuran
pelarut MeOH-H2O (7:3) kemudian dipartisi dengan n-heksana (10 x 25 mL). Ekstrak n-
heksana yang diperoleh diuapkan sampai kental, sedangkan bagian MeOH-H2O diuapkan
sampai semua MeOH habis menguap. Bagian ekstrak air yang tersisa dipartisi (8 x 25 mL)
dengan kloroform (CHCl3) sehingga didapat ekstrak air dan ekstrak kloroform yang
selanjutnya masing-masing ekstrak tersebut diuapkan sehingga diperoleh ekstrak kental air
dan ekstrak kental kloroform. Masing-masing ekstrak kental yang diperoleh (ekstrak kental
n-heksana, ekstrak kental kloroform dan ekstrak kental air) dilakukan uji fitokimia flavonoid.
Ekstrak yang positif flavonoid dilanjutkan untuk dipisahkan dan dimurnikan dengan teknik
kromatografi kolom menggunakan fase diam silika gel 60 dan fase gerak campuran dari n-
butanol-asam asetat-air (4:1:5) Tiap fraksi hasil pemisahan kromatografi kolom diuji
flavonoid dan fraksi yang positif flavonoid setelah relatif murni kemudian diidentifikasi
menggunakan alat spektrofotometer UV-vis dan Inframerah, serta uji aktivitas antibakteri
terhadap bakteri Eschericia coli (E. coli) dan Staphylococus aureus (S. aureus).
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi Senyawa Flavonoid dari Buah Belimbing Manis
Hasil maserasi cara basah dari 10 Kg irisan buah belimbing manis (Averrhoa carambola
Linn.) yang menggunakan total pelarut MeOH sebanyak 24 L, diperoleh sekitar 140,56 g ekstrak
kental metanol yang berwarna coklat kemerahan. Hasil partisi dari ekstrak MeOH-H2O (7:3)
menggunakan pelarut berturut-turut n-heksana dan kloroform (CHCl3) diperoleh ekstrak kental
n-heksana yang berwarna kuning sebanyak 0,10 g, ekstrak kental kloroform yang berwarna
kuning sebanyak 0,07 g dan ekstrak kental air yang berwarna coklat kemerahan sebanyak 48,01
g. Hasil uji flavonoid dari ketiga ekstrak kental yang diperoleh menunjukkan bahwa ketiga
ekstrak tersebut positif mengandung senyawa golongan flavonoid dengan indikasi beberapa
perubahan warna setelah ditambahkan dengan pereaksi-pereaksi flavonoid seperti yang
dipaparkan pada Tabel 1.
Oleh karena jumlah ekstrak kental air paling banyak yaitu 48,01 g dan secara kualitatif
intensitas warna yang timbul setelah penambahan pereaksi flavonoid paling kuat, maka dapat
diduga kemungkinan dalam ekstrak kental air mengandung komponen flavonoid yang paling
dominan (mayor). Hasil pemisahan terhadap 2,12 g ekstrak kental air menggunakan teknik
kromatografi kolom dengan fase diam silika gel 60 dan fase gerak campuran dari nbutanol- asam
asetat-air (4:1:5) diperoleh 8 (delapan fraksi) dengan pola noda yang berbeda seperti yang
dipaparkan pada Tabel 2.
Hasil uji fitokimia flavonoid pada delapan fraksi diatas menunjukkan hanya 6 (enam)
fraksi yang positif flavonoid terhadap pereaksi Willstatter (Mg-HCl pekat), H2SO4 pekat, dan
larutan NaOH 10% selengkapnya dipaparkan pada Tabel 3. Secara kualitatif dari intensitas
warna menunjukkan bahwa Fraksi FB dan FG dapat dipastikan mengandung flavonoid. Dengan
mempertimbangkan jumlah noda dan berat fraksi dari delapan fraksi tersebut, maka fraksi FB
dengan berat 0,2027 g dilanjutkan untuk diidentifikasi.
Identifikasi Isolat (Fraksi FB)
Sebelum diidentifikasi Fraksi FB diuji kemurnian secara kromatografi lapis tipis (KLT)
pada berbagai fase gerak yaitu: n-butanol-asam asetat-air (4:1:5), kloroform-metanol (2:8);
nbutanol- kloroform (1:1); metanol-asam asetat-air (3:1:5); dan n-heksana-kloroform-metanol
(2:2:1). Hasil uji kemurnian menunjukkan FB relatif murni secara KLT karena tetap memberikan
noda tunggal. Hasil spektrum inframerah menunjukkan bahwa isolat kemungkinan mengandung
beberapa gugus fungsi seperti –OH (3434,0 cm-1) yang didukung juga oleh munculnya serapan
pada daerah bilangan gelombang 1102,0 cm-1 untuk ikatan C-O alkohol. Gugus C-H aromatik
muncul pada daerah bilangan gelombang 3060,1 cm-1. Ikatan C-H alifatik muncul pada 2924,6
cm-1 dan diperkuat dengan munculnya serapan bending pada daerah bilangan gelombang 1385,4
cm-1. Gugus dari ikatan C=C aromatic ditunjukkan dengan munculnya serapan pada daerah
bilangan gelombang 1636,0 cm-1. Spektrum inframerah dari isolat (Fraksi FB) dipaparkan pada
Gambar 1 dan analisisnya pada Tabel 4.
Hasil analisis menggunakan spektrofotometri UV-vis isolat memberikan 2 pita serapan yang
karakteristik untuk senyawa flavonoid golongan katekin, yaitu serapan pada panjang gelombang
278,9 nm (pita I), dan 203,8 nm (pita II). Menurut Tempesta dan Michael (2007) senyawa
flavonoid golongan katekin mempunyai serapan maksimum pita I pada panjang gelombang 275-
280 nm dan serapan pita II pada panjang gelombang 202-204 nm. Dugaan golongan katekin dari
isolat (fraksi FB) juga didukung dengan data spektrum inframerah yang menunjukkan tidak
adanya serapan gugus C=O pada daerah bilangan gelombang sekitar 1600- 1700 cm-1, yang
mana katekin merupakan salah satu senyawa flavonoid yang tidak mempunyai gugus karbonil
(C=O) pada kerangka dasarnya. Pola oksigenasi atau kemungkinan letak substituen gugus
hidroksi (OH) pada kerangka katekin diperoleh dari beberapa pereaksi diagnostik/ pereaksi geser
seperti: NaOH, NaOAc, NaOAc-H3BO3, AlCl3, dan AlCl3-HCl. Hasil pergeseran panjang
gelombang setelah penambahan tiap-tiap pereaksi geser tersebut dapat disimpulkan bahwa
kemungkinan letak substituen gugus hidroksi pada kerangka katekin adalah pada posisi atom C-
3, C-7 dan C-4’. Spektrum UV-vis sebelum dan sesudah penambahan pereaksi geser dan data
tabulasinya dipaparkan pada Gambar 2 dan Tabel 5 sebagai berikut:
BAB V.
KESIMPULAN DAN ASARAN
A. Simpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Flavonoid memiliki sifat fisika dan kimia senyawa fenol yaitu agak asam dan dapat larut
dalam basa, mudah larut dalam air dan karena merupakan senyawa polihidroksi (gugus hidroksil)
maka juga bersifat polar sehingga dapat larut dalan pelarut polar seperti metanol, etanol, aseton,
air, butanol, dimetil sulfoksida, dimetil formamida.
2. Isolat flavonoid fraksi FB dari ekstrak kental air buah belimbing manis diduga termasuk
golongan katekin dengan kemungkinan terdapat gugus hidroksi pada C-3, C-7, dan C-4’.
Identifikasi dengan spektrofotometer inframerah diduga bahwa isolat flavonoid mengandung
gugus OH, C-H aromatik, C-H alifatik, C=C aromatik, C-O alkohol, dan tidak adanya gugus
C=O. Isolat flavonoid Fraksi FB dari ekstrak kental air buah belimbing manis diduga dapat
menghambat bakteri gram positif dan gram negatif, masing-masing mulai dari konsentrasi 500
ppm dan 100 ppm.
3. Keuntungan analisis KLT adalah waktu analisisnya cepat dan memperoleh pemisahan yang
lebih baik karena komponen yang ditentukan adalah bercak yang tidak bergerak.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi isolat aktif dengan
menggunakan analisis NMR, dan GC-MS sehingga dapat ditetapkan suatu struktur usulan dari
isolat aktif tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes, 2006, Radang Lambung dan Usus, http://id.wikipedia.org/wiki, 10 Nopember 2006
Arisandi, Y., dan Yovita, A., 2005, Khasiat Tanaman Obat, Edisi I, Pustaka Buku Murah,
Jakarta.
Farnsworth, N. R., 1996, Biological and Phytochemical Screening of Plant, J. Pharm. Science,
55 (3) : 225-276
Geissman, T. A., 1962, The Chemistry of Flavonoid Compounds, Pergamon Press, Inc., New
York.
Hamburger, M. O. and Cordell, G. A., 1987, Traditional Medicinal Plants of Thailand, VIII.
Isoflavonoids of Dalbergia candenatensis, J. Nat.Prod., 50 (4) : 696- 699
Harborne, J. B., 1987, Metode Fitokimia 2nd ed., a.b. Padmawinata, K., Soediro, J., ITB,
Bandung.
Hariana, H. A., 2004, Tumbuhan Obata dan Khasiatnya, Seri I, Penebar Swadaya,
Jakarta
Ibnu, Gholib Gandjar dan Abdul Rohman. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Pustaka
Pelajar. Yogyakarta
Ismailfahmi, 2006, Radang Usus, http:// www.mailarchive.com/[email protected]/
msg12746.html, 10 Nopember 2006
Najib, Ahmad. 2006. Materi Kuliah Fitokimia II. Makasar : Universitas Muslim Indonesia.
Rukmana, R, 1996. Belimbing. Yogyakarta : Kanisius.
Sastrohamidjojo, H., 1991, Spektroskopi, Edisi II, Liberty, Yogyakarta
Silverstein, R. M., Bassler, G. C., and Morrill, T. C., 1991, Spectrometric Identification of
Organic Compounds, Fifth Ed., Jhon Wiley & Sons, Inc , Canada
Sirait, M., 1989, Pemanfaatan Tanaman Obat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Edisi III.,Departeman Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI, Jakarta
Tempesta and Michael, S., 2007, Proanthocyanidin Polymers Having Antiviral Activity and
Methodes of Obtaining Same, http://www. freepatetentsonline.com/5211944, 23 April
2007
Wiryowidagdo, S., dan Sitanggang, M., 2002, Tanaman Obat untuk Penyakit Jantung, Darah
Tinggi, dan Kolesterol, AgroMedia Pustaka, Jakarta.