Tugas Seminar Pajak Kelompok IV Kelas 9D Khusus

21
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA TUGAS SEMINAR PAJAK KERAHASIAAN DATA PERPAJAKAN Disusun oleh: Anak Agung Adi Prasetya (144060006065) / 06 Dimas Guntoro (144060005997) / 13 Dwiki Riwanto (144060005827) / 16 Rinda Septiani (144060005753) / 28 Wuyung Mutoha (144060005865) / 34 Mahasiswa Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus Kelas 9D Tahun 2015

description

Tugas Seminar Pajak Kelompok IV Kelas 9D Khusus

Transcript of Tugas Seminar Pajak Kelompok IV Kelas 9D Khusus

  • KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

    BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

    SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

    TUGAS SEMINAR PAJAK

    KERAHASIAAN DATA PERPAJAKAN

    Disusun oleh:

    Anak Agung Adi Prasetya (144060006065) / 06

    Dimas Guntoro (144060005997) / 13

    Dwiki Riwanto (144060005827) / 16

    Rinda Septiani (144060005753) / 28

    Wuyung Mutoha (144060005865) / 34

    Mahasiswa Diploma IV Akuntansi Kurikulum Khusus

    Kelas 9D

    Tahun 2015

  • PENDAHULUAN

    Masalah kerahasiaan data merupakan hal cukup menarik dan sering menjadi bahan

    pembicaraan bahkan perdebatan baik di kalangan akademisi maupun praktisi. Kerahasiaan

    data Wajib Pajak ini dapat ditinjau dari dua sisi. Yang pertama adalah dari sisi Direktorat

    Jenderak Pajak (DJP) selaku pengelola data Wajib Pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak

    itu sendiri. Dan yang kedua adalah dari sisi pihak ketiga atau instansi lain yang mempunyai

    data terkait Wajib Pajak yang dapat digunakan untuk penggalian potensi Wajib Pajak terkait.

    Di Indonesia, kerahasiaan data Wajib Pajak yang dikelola oleh DJP telah diatur

    dalam Pasal 34 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Namun hal ini

    pernah menimbulkan perselisihan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan

    Kementerian Keuangan terkait dengan masalah aksesibilitas data/informasi Wajib Pajak

    untuk keperluan audit penerimaan pajak yang dilakukan BPK terhadap DJP. Pada saat ini,

    Ketua BPK berdalih bahwa sebagai lembaga Negara, BPK seharusnya bebas dalam

    melakukan pemeriksaan keuangan Negara termasuk penerimaan dari sektor perpajakan.

    Dan sebaliknya, Menteri Keuangan dan DJP juga bertahan dengan alasan tidak dapat

    melanggar ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan merahasiakan

    data/informasi Wajib Pajak yang diperoleh dalam rangka administrasi perpajakan.

    Sementara di sisi lain, instansi lainnya juga mempunyai ketentuan tentang kerahasiaan

    data/informasi kliennya. Hal ini juga yang mengganjal pegawai pajak dalam memperoleh

    data terkait Wajib Pajak dalam rangka penggalian potensi ataupun proses pemeriksaan.

    Kewajiban untuk merahasiakan data perpajakan atau data yang diperoleh dari

    Wajib Pajak telah ada sejak UU Pajak sebelum reformasi 1983. Kewajiban ini tertuang

    dalam Pasal 44 Ordonansi Pajak Perseroan (PPs) tahun 1925, pasal 21 dan 22 Ordonansi

    Pajak Pendapatan (PPd) tahun 1944 dan Pasal 33 Ordonansi Pajak Penjualan (PPn) tahun

    1951. Seiring dengan gerakan reformasi pajak, kewajiban ini pun turut berkembang hingga

    kemudian diatur tentang kerahasiaan mengenai data Wajib Pajak yang harus dijaga oleh

    pejabat pajak, yang lebih dikenal dengan istilah Rahasia Jabatan. Kewajiban ini tertuang

    dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

    Perpajakan dan kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007.

  • KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK DI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK (DJP)

    A. Latar Belakang Kerahasiaan Data Wajib Pajak

    Kerahasiaan data perpajakan dapat didefinisikan sebagai setiap data wajib

    pajak yang sifatnya tersembunyi (rahasia) dan hanya diketahui oleh seseorang atau

    beberapa orang saja. Hak-hak Wajib Pajak di Indonesia terdapat beberapa macam yang

    salah satunya adalah Hak Kerahasiaan Data Wajib Pajak. Wajib Pajak mempunyai hak

    untuk mendapat perlindungan kerahasiaan atas data/informasi yang telah disampaikannya

    kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan kewajiban perpajakan.

    Kerahasiaan Wajib Pajak ini perlu dilindungi oleh setiap pejabat yang menangani

    masalah perpajakan. Minimal 2 alasan yang dapat dikemukakan, yaitu:

    1. untuk mencegah timbulnya persaingan antara satu Wajib Pajak dengan Wajib

    Pajak lainnya,

    2. untuk mencegah dalam hal mengungkapkan asal usul kekayaan atau penghasilan

    yang diperoleh Wajib pajak, yang pada hakekatnya merupakan rahasia pribadi sesuai

    dengan asas hukum pajak.

    Masalah perpajakan merupakan masalah pribadi seseorang yang tidak perlu

    diketahui orang lain. Oleh karena itu, harta kekayaan, penghasilan atau utang merupakan

    masalah pribadi yang harus dijamin oleh undang-undang. Pejabat yang menangani

    masalah perpajakan tidak diperbolehkan memberitahukan kekayaan Wajib Pajak kepada

    pihak lain. Disamping itu pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga

    dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak, termasuk tenaga ahli, seperti ahli

    bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu

    pelaksanaan undang-undang perpajakan. Kewajiban ini telah ditegaskan dalam pasal 34 UU

    KUP seperti dijelaskan diatas yaitu dengan adanya Rahasia Jabatan.

    Jika Wajib pajak telah melaporkan kewajiban perpajakannya dan keterangan lainnya

    kepada pejabat yang menangani masalah perpajakan, Wajib Pajak harus meyakini

    keamanan data/informasi yang disampaikannya yaitu data/informasi tersebut tidak akan

    diketahui oleh pihak lain, baik disengaja maupun tidak disengaja. Jika pejabat lalai, tidak

    hati-hati, atau tidak memperdulikan kewajibannya dan memberitahukan hal-hal terkait

    Wajib Pajak kepada pihak lain, maka tindakan pejabat dimaksud dapat dituntut, karena

    Wajib Pajak dapat merasa dirinya telah dirugikan.

    Hal mengenai rahasia jabatan juga dapat kita lihat dalam peraturan perundang-

    undangan lainnya seperti ditegaskan dalam pasal 2 PP Nomor 30 tahun 1980 yang

  • mewajibkan setiap Pegawai negeri untuk menyimpan rahasia negara dan atau rahasia

    jabatan dengan sebaik-baiknya. Sementara pasal 13 juga menegaskan bahwa setiap

    pegawai negeri dilarang membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia negara yang

    diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.

    B. Data/Informasi Wajib Pajak yang Wajib Dirahasiakan

    Dari penjelasan pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007

    disebutkan bahwa Data Wajib Pajak merupakan rahasia. Setiap pejabat, baik petugas pajak

    maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan

    kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain :

    1) Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib

    Pajak,

    2) data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan,

    3) dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia,

    4) dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia,

    Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis

    kepada pejabat sebagaimana tersebut di atas, supaya memberikan keterangan dan

    memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.

    Yang dimaksud untuk kepentingan negara, misalnya dalam rangka penyidikan, penuntutan,

    atau dalam rangka mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah lain,

    keterangan atau bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau

    diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

    Dalam masalah kerahasiaan data Wajib Pajak ini harus diatur secara jelas

    data/informasi yang seperti apa yang harus dirahasiakan dan data manakah yang sifatnya

    bukan rahasia sehingga dapat diketahui pihak lain. Jika hal ini tidak diatur maka terdapat

    kemungkinan akan terjadinya perbedaan penafsiran antar pegawai pajak yang

    melaksanakan ketentuan tersebut. UU KUP telah mengakomodir permasalahan ini sehingga

    dalam penjelasan pasal 34 dinyatakan bahwa keterangan yang dapat diberitahukan adalah

    identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan identiias Wajib

    Pajak yang meliputi:

    1. nama Wajib Pajak,

    2. Nomor Pokok Wajib Pajak,

    3. alamat Wajib Pajak,

    4. alamat kegiatan usaha,

    5. merek usaha, dan/atau

  • 6. kegiatan usaha Wajib Pajak.

    Sedangkan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi:

    1. penerimaan pajak secara nasional,

    2. penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor

    Pelayanan Pajak,

    3. penerimaan pajak perjenis pajak,

    4. penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha,

    5. jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar,

    6. register permohonan Wajib Pajak,

    7. tunggakan pajak secara nasional, dan/atau

    8. tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per

    Kantor Pelayanan Pajak.

    C. Kerahasiaan Data Wajib Pajak dan Keterbukaan Data Wajib Pajak

    Keperluan untuk menjaga kerahasiaan data Wajib Pajak (WP) masih menimbulkan

    perdebatan di beberapa pihak. Sebagian pihak menganggap bahwa kerahasiaan ini

    merupakan keharusan sebagaimana juga telah diatur secara hukum. Namun sebagian pihak

    lainnya menganggap hal tersebut sebenarnnya dapat disesuaikan dengan keadaan tertentu

    yang memang mengharuskan kerahasiaan data ditanggalkan. Berikut ini faktor-faktor yang

    mendukung praktek kerahasiaan data Wajib Pajak.

    Masalah kerahasiaan secara umum sebenarnya telah diatur didalam pasal 322

    dan pasal 323 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Isi selengkapnya dari kedua

    pasal tersebut adalah sebagai berikut:

    Pasal 322 ayat (1) berbunyi:

    Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena

    jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun dahulu, diancam dengan

    pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus

    rupiah.

    Pasal 323 ayat (1) berbunyi:

    Barangsiapa dengan sengaja memberitahukan hal-hal khusus tentang suatu

    perusahaan dagang, kerajinan, atau pertanian, dimana ia bekerja atau dahulu

    bekerja, yang olehnya atau dahulu dirahasiakan diancam dengan pidana penjara

    paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah

    Khusus mengenai masalah kerahasiaan dibidang pajak, telah diatur secara jelas

    dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-undang Nomor 9 tahun 1994 yang telah mengalami

  • empat perubahan, terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009, yang isi

    selengkapnya menyatakan sebagai berikut:

    Pasal 34

    1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak

    segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak

    dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan

    perundang-undangan perpajakan.

    2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli

    yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan

    ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

    (2a) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

    (2) adalah:

    a) pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam

    sidang pengadilan; atau

    b) pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan

    keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang

    berwenang untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

    3) Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis

    kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana

    dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti

    tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.

    4) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas

    permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata,

    Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk

    memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang

    ada padanya.

    5) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama

    tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara

    perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.

    Pasal 35

    1) Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan

    diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan

    pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan

    dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau

  • penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur

    Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang

    diminta.

    2) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban

    merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak

    pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali

    untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri

    Keuangan.

    3) Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh

    kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau

    berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

    Terdapat dua alasan utama mengapa informasi perpajakan harus dijaga dari

    pengungkapan yang tidak semestinya, yaitu:

    1. Kemampuan administrasi pajak untuk melindungi informasi yang diberikan kepadanya

    mendorong keinginan wajib pajak untuk melaporkan dengan jujur karena mereka

    percaya bahwa informasi tersebut akan dikelola dengan baik dan dilindungi

    2. Kemampuan menjaga informasi pajak merupakan salah satu faktor penting dalam

    menjaga integritas sistem perpajakan secara keseluruhan. Artinya, kepercayaan publik

    terhadap administrasi pajak dapat tetap terjaga manakala mereka yakin bahwa sistem

    administrasi perpajakan mampu menjaga dengan baik informasi yang mereka

    sampaikan.

    Sedemikian pentingnya kewajiban untuk menjaga informasi yang disampaikan

    wajib pajak, sehingga UU KUP mengatur secara khusus dalam Pasal 34 yang

    melarang setiap pejabat (khususnya pada otoritas pajak) untuk memberitahuan kepada

    pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak

    (Pasal 34 ayat 1), kecuali untuk alasan tertentu yang diatur dalam ayat 2. Kelalaian

    (baik sengaja atau tidak sengaja) dari pemenuhan kewajiban untuk melindungi

    informasi wajib pajak pun dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dimaksud bukan hanya

    sanksi administratif melainkan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU

    Ketentuan Umum Perpajakan.

    Rahasia jabatan perpajakan tidak selamanya disetujui oleh semua pihak. Beberapa

    pihak, mengusulkan dibukanya kerahasiaan wajib pajak. Berikut ini faktor-faktor yang

    mendukung keterbukaan atas data wajib pajak :

    1. Saat ini kita berada dalam era keterbukaan informasi. Seharusnya informasi perpajakan

    bukan hal tabu lagi untuk diketahui banyak pihak. Informasi kewajiban perpajakan

  • seseorang bukanlah resep rahasia, temuan ilmiah, atau barang langka yang bisa ditiru

    oleh pesaing bisnis atau hanya boleh dikonsumsi atau digunakan sebagian orang saja.

    Contoh era keterbukaan informasi adalah adanya laporan keuangan yang dipublish oleh

    Perusahaan Terbuka atau go publik. Dari laporan ini kita dapat mengetahui besarya

    kewajiban perpajakan PT Tbk. Akan tetapi informasi ini menjadi rahasia jabatan bila

    telah dilaporkan WP termasuk Laporan Keuangan itu sendiri. Di sini terdapat anomali

    karena terdapat rahasia jabatan yang sebenarnya tidak perlu dirahasikan lagi.

    2. Informasi kewajiban justru dapat memotivasi seseorang atau pelaku bisnis untuk dapat

    menjalanan kewajiban perpajakannya secara benar. Seseorang yang

    mengetahui besarnya penghasilan, omzet atau volume produksi suatu pelaku bisnis dan

    informasi kewajiban perpajakannya, dapat melaporkan ketidaksesuaian atau kecurigaan

    yang ditemukannya.

    3. Keterbukaan informasi kewajiban perpajakan dapat digunakan oleh instansi publik

    dalam memberikan pelayanannya. Seorang warga negara yang merupakan pembayar

    pajak yang baik dapat diberikan pelayanan yang lebih sebagai bentuk apresiasi atas

    kepatuhan perpajakannya. Di tempat-tempat umum, para pembayar pajak yang baik

    seharusnya dapat menerima imbal balik atas pembayaran kewajiban perpajakannya.

    Bentuk apresiasi seperti ini pada muaranya adalah dapat meningkatkan penerimaan

    perpajakan secara keseluruhan.

    4. Keterbukaan informasi perpajakan dapat meminimalisasi terjadinya kolusi antara Wajib

    Pajak dengan Petugas Pajak. Penghitungan dan pembayaran kewajiban perpajakan yang

    benar dapat diketahui oleh petugas pajak yang lain atau orang tertentu yang telah

    diberikan kewenangan sehingga koreksi bisa dilakukan atas kesalahan atau indikasi

    kecurangan yang terjadi. Begitu pula instansi seperti Badan Pemeriksa Keuangan dan

    Inpektorat Jenderal dapat diberikan kewenangan tertentu sehingga dapat ikut melakukan

    penghitungan kewajiban perpajakan yang benar.

    5. Dalam level tertentu, keterbukaan informasi perpajakan dalam Internal DJP dapat

    mempermudah akses data perpajakan sehingga mempercepat proses administrasi

    perpajakan.

    Dalam dua pendapat di atas telah dibahas mengenai faktor perlunya perlindungan

    kerahasiaan data Wajib Pajak dan perlunya keterbukaan data Wajib Pajak. Kedua

    sisi yang bertentangan tersebut menyebabkan perdebatan mengenai apakah memang

    data Wajib Pajak yang dikelola DJP memang perlu dirahasiakan atau justru sebaiknya

    dipublikasikan. Setelah membahas masing-masing sudut pandang perlunya kerahasiaan

  • dan keterbukaan data Wajib Pajak tersebut, kelompok kami berpendapat bahwa kerahasiaan

    Wajib Pajak perlu dilindungi sampai pada tingkatan tertentu.

    Kerahasiaan data-data terkait Wajib Pajak merupakan hak Wajib Pajak yang harus

    dipenuhi oleh DJP sebagai pihak yang diberi tangung jawab mengolah data-data tersebut

    demi kepentingan perpajakan. Hal ini telah jelas dan tegas diatur dalam undang-undang

    perpajakan hingga melibatkan hukuman pidana dan administratif. Namun di sisi lain,

    kelebihan yang ditawarkan dari keterbukaan data Wajib Pajak tidak dapat diabaikan begitu

    saja. Kerahasiaan data Wajib Pajak dapat tetap terlindungi hingga tingkat tertentu dengan

    tetap memenuhi keperluan keterbukaan informasi. Keterbukaan informasi tersebut tidak

    harus dilakukan dengan mempublikasikan seluruh data Wajib Pajak yang dikelola DJP

    secara luas.Kelebihan keterbukaan informasi berupa transparansi pengelolaan perpajakan

    dapat dilakukan dengan transparansi informasi kepada pihak-pihak yang memang

    berwenang atas pengawasan pengelolaan perpajakan seperti Badan Pemeriksa Keuangan

    dan Inpektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Informasi yang dibuka inipun tidak perlu

    terlalu detail atau melanggar hak pribadi Wajib Pajak. Data-data yang dibuka kepada pihak-

    pihak tersebut cukup yang berkaitan langsung dengan tujuan pengawasan dan pemeriksaan.

    Untuk meningkatkan kemudahan akses data perpajakan sehingga mempercepat

    proses administrasi perpajakan dapat dilakukan dengan keterbukaan informasi di lingkup

    internal DJP sampai pada tingkat jabatan tertentu. Sehingga keterbukaan informasi tersebut

    tetap dapat diawasi penggunaannya karena diperlukan otorisasi untuk aksesnya. Sedangkan

    kelebihan keterbukaan informasi berupa pengawasan dan motivasi publik tidak cukup

    signifikan jika dibanding dengan risiko akibat membuka data Wajib Pajak tersebut secara

    umum. Apabila data Wajib Pajak yang cukup pribadi tersebut dipublikasikan secara umum,

    lebih mungkin menyebabkan kerugian bagi DJP dan Wajib Pajak. DJP akan kehilangan

    kendali atas aksesibilitas data dan akan sulit mengawasi penyalahgunaan data tersebut.

    D. Pertentangan Peraturan Kerahasiaan Data Perpajakan dan Peraturan Lainnya

    Pasal 35A UU Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28/2007 mewajibkan

    kementerian dan lembaga negara nonkementerian untuk menyampaikan data keuangan ke

    kantor pajak. Aturan kerahasiaan data perpajakan juga dimiliki oleh instansi pemerintah

    melalui aturan setingkat pada UU lainnya seperti UU statistik, perbankan diantaranya:

    1. UU Statistik No.16/1997 Pasal 21 mewajibkan penyelenggara kegiatan statistik yaitu

    BPS untuk merahasiakan jawaban responden (merahasiakan data sensus secara rinci).

    BPS hanya bisa menyajikan data dalam bentuk agregat. Disisi lain, kantor pajak harus

    memasukkan data perpajakan per individu responden.

  • 2. Kerahasiaan lainnya ialah data properti. Pasal 34 PP No. 24/1997 mengatur data fisik

    dan yuridis pendaftaran tanah terbuka hanya untuk instansi tertentu sesuai bidang

    tugasnya. Akibat dari tidak dapat diaksesnya data kepemilikan tanah, DJP tidak dapat

    mengetahui seluruh aset-aset tidak tetap yang dimiliki wajib pajak. DJP juga

    tidak dapat mengevaluasi apakah sudah sesuai dengan pajak yang dibayarkan atau

    belum.

    3. UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pada Pasal 17 diatur bahwa

    badan publik dilarang memberitahukan kondisi keuangan, aset, pendapatan dan

    rekening bank seseorang.

  • KERAHASIAAN DATA PERBANKAN

    Prinsip kerahasiaan bank merupakan prinsip yang dianut oleh setiap bank di dalam

    melaksanakan operasionalnya dimana prinsip kerahasiaan bank ini diperlukan guna

    melindungi nasabah dari pihak-pihak yang tidak memiliki kepentingan dan dapat merugikan

    nasabah. Menurut Pasal 1 angka 28 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No.

    7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), rahasia bank adalah segala sesuatu

    yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Dari

    definisi tersebut, jelas kiranya bahwa yang diatur adalah rahasia bank terkait nasabah

    penyimpan dan simpanannya, yaitu dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada bank

    berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,

    tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka 5 UU

    Perbankan).

    Pasal 40 ayat (1) mengatur bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai

    Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A. Sedangkan dalam Pasal 41

    ayat (1) disebutkan bahwa untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas

    permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar

    memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai

    keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.

    Terkait masalah pembukaan rahasia oleh pihak perbankan, hal ini merupakan

    masalah yang berlarut-larut yang harus segera diselesaikan agar tercipta sinergi antara pihak

    perbankan dan DJP. Bagi pihak bank, pemberian data rahasia tersebut sangat tidak

    menguntungkan, dan cenderung merugikan. Pemberian data rahasia dapat mengakibatkan

    menurunnya kepercayaan nasabah terhadap bank, hal ini tentu berdampak sangat buruk bagi

    semua perusahaan yang bergerak berdasarkan kepercayaan masyarakat.

    Seperti disebutkan pada pasal 40 dan pasal 41 UU nomor 10 tahun 1998 tentang

    perbankan, disebutkan bahwa bank dapat membuka rahasia terkait data perpajakan dengan

    izin tertulis Menteri Keuangan. Dengan adanya hal tersebut, kesinambungan antara UU

    KUP dan UU Perbankan telah tercipta. Walaupun demikian, kesinambungan tersebut belum

    berjalan maksimal, karena yang difasilitasi hanyalah dalam rangka pemeriksaan pajak,

    penagihan pajak, dan penyidikan terkait bidang perpajakan.

    Pasal 41, 41 A, 41 B, dan 41 C UU KUP menjelaskan tentang sanksi atas kealpaan

    memberikan keterangan rahasia, tidak memberikan bukti, mempersulit penyidikan, dan

    sengaja tidak memenuhi pembukaan rahasia. Pasal tersebut telah memiliki kedudukan yang

  • kuat sebagai UU. Akan tetapi, walaupun kedudukannya sebagai UU, keefektifan UU belum

    dapat dikatakan baik.

    Negara paling liberal, Amerika Serikat, memiliki kesadaran tinggi dalam pentingnya

    pengungkapan data-data perbankan penduduknya ataupun warga negaranya. Tindakan-

    tindakan Internal Revenue Service (IRS) dalam mengamankan perpajakan antara lain adalah

    setiap transaksi diatas $10.000 dan bagian yang dipecah-pecah dapat dideteksi oleh IRS,

    permintaan data terbatas dalam rangka audit yang prosesnya relatif mudah, pajak yang

    ditunggak nasabah dibayarkan melalui bank langsung sedangkan WP hanya diberikan surat

    pemberitahuan saja, dan apabila semua usaha yang sebelumnya disebutkan tidak dapat

    memenuhi kewajiban perpajakan, maka IRS dapat mereview informasi bank terkait.

    Bahkan, IRS memiliki Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) pada tahun 2010.

    Dengan adanya FATCA, setiap bank di dunia harus mengungkapkan rekening warga negara

    Amerika yang melebihi $ 50.000. Bahkan FATCA ini disetujui oleh negara Rusia dan Cina.

    Dengan adanya FATCA ini, IRS memiliki amunisi yang sangat cukup dalam menjaring

    pemasukan bagi negara mereka.

    Tidak seperti Amerika Serikat, penegakan hukum terkait bidang perpajakan di

    Indonesia merupakan tugas besar yang harus diselesaikan sesegera mungkin. Apakah kita

    harus mencontoh negara Amerika Serikat? Komitmen secara menyeluruh sangat dibutuhkan

    dalam mewujudkannya.

    Undang-undang perbankan telah diajukan amandemen pada tahun 2014. Kami

    berharap amandemen undang-undang perbankan segera terbit dan memberikan keterbukaan

    informasi yang tentunya lebih mendukung pemerintah atau fiskus dalam menggali potensi

    perpajakan. Namun, untuk menjamin keseimbangan hak-hak wajib pajak dan penggalian

    potensi pajak, penulis berpendapat perlu adanya revisi UU KUP yang sejalan dengan

    keterbukaan informasi perbankan agar lebih mencerminkan best practice secara global.

  • PRAKTIK TERKAIT DATA WAJIB PAJAK DI AUSTRALIA

    1. Kerahasiaan Data WajibPajak di ATO (Australian Taxation Office)

    1. Latar Belakang Kerahasiaan Data Wajib Pajak

    Wajib Pajak di Australia setiap tahunnya memberikan informasi dalam jumlah yang

    signifikan kepada Australia Tax Office (ATO) mengenai pendapatan, pengeluaran, dan

    kegiatan bisnis mereka.Dalam penyediaan data ini, Wajib Pajak tentu berharap data mereka

    tetap aman. Di sisi lain, kepatuhan terhadap peraturan perpajakan di Australia akan lebih

    maksimal apabila Wajib Pajak mendapatkan keyakinan bahwa data yang mereka berikan

    aman dan digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu saja.

    Dalam rangka menjaga kerahasiaan dan keamanan data Wajib Pajak di Australia,

    kerahasiaan data pajak disusun dalam peraturan-peraturan perpajakan yang ada. Kerahasiaan

    data di Australia diatur ketat baik untuk petugas pajak maupun pihak-pihak lain yang

    menerima informasi perpajakan.

    Peraturan tentang kerahasiaan danpengungkapan data perpajakan di Australia yang

    paling banyak dikenal adalah section 16 of the Income Tax Assessment Act 1936 (ITAA36).

    Pada ITAA36 ayat 16(2) disebutkan bahwaan officer shall not either directly or indirectly,

    either whilehe is, or after he ceases to be anofficer, make a record of, or divulge or

    communicate to any person anyinformation respecting the affairs of another person acquired

    by the officer.

    Selain peraturan tersebut di atas, peraturan yang mendasari kerahasiaan data pajak di

    Australia tersebar pada undang-undang dan peraturan-peraturan pajak yang mengatur secara

    spesifik pajak-pajak tertentu dan hal-hal terkait pajak lainnya. Peraturan tersebut antara lain:

    A New Tax System (Australian Business Number) Act 1999, subsection 26(4)

    andsection 30

    A New Tax System (Bonuses for Older Australians) Act 1999, sections 3A and 55

    A New Tax System (Family Assistance) (Administration) Act 1999, sections 154A,161

    to 167

    Banking (State Bank of South Australia and other matters) Act 1994, Part 2.4, Division

    4

    Child Support (Assessment) Act 1989, sections 150 and 150D

    Child Support (Registration and Collection) Act 1988, sections 16 and 16C

    Crimes (Taxation Offences) Act 1980, section 4

    Development Allowance Authority Act 1992, section 93AA, 108 and 118

    Excise Act 1901, section 159

  • Fringe Benefits Tax Assessment Act 1986, section 5

    Fuel (Penalty Surcharges) Administration Act 1997, section 47

    Higher Education Funding Act 1988, sections 78, 98K, 98ZD, 106F, 106ZA and 106ZK

    Higher Education Support Act 2003, Division 179

    Income Tax Assessment Act 1936, sections 16, 16A and 221ZXL

    Income Tax Assessment Act 1997, subsection 30-229(5), sections 396-95 and 396-100

    Inspector-General of Taxation Act 2003, sections 14, 15 and 37

    International Tax Agreements Act 1953, relevant articles regarding secrecy and

    disclosure

    Petroleum Resource Rent Tax Assessment Act 1987, sections 17 and 18

    Product Grants and Benefits Administration Act 2000, section 47

    Sales Tax Assessment Act 1992, section 110 (inoperative)

    Sales Tax Procedures Act 1934, section 4A (inoperative)

    Student Assistance Act 1973, section 12ZU

    Superannuation Contributions Tax (Assessment and Collection) Act 1997, section 3

    Superannuation Contributions Tax (Members of Constitutionally Protected

    Superannuation Funds) Assessment and Collection Act 1997, section 28

    Superannuation (Government Co-contribution for Low Income Earners) Act 2003,

    section 53

    Superannuation Guarantee (Administration) Act 1992, section 45

    Superannuation Industry (Supervision) Act 1993, section 252C

    Superannuation (Unclaimed Money and Lost Members) Act 1999, Part 6

    Taxation Administration Act 1953, sections 3C, 3D, 3E, 3EA, 3EB, 3EC, 3F, 8WB,

    8ZK, 8XA,8XB, 13H, 13J, 17B and Division 355 of Schedule 1

    Taxation Boards of Review (Transfer of Jurisdiction) Act 1986, section 23

    Taxation (Interest on Overpayments and Early Payments) Act 1983, section 8

    Termination Payments Tax (Assessment and Collection) Act 1997, section 23

    Tobacco Charges Assessment Act 1955, section 10 (inoperative)

    Peraturan paling utama yang menjadi dasar dari kerahasiaan dan pengungkapan data

    baik yang mengatur spesifik mengenai perpajakan maupun non perpajakan adalah Privacy

    Act 1988. Privacy Act 1988 melindungi informasi personal dari setiap warganegara.

    Peraturan ini melindungi setiap warganegara dari pengungkapan informasi personal oleh

    pihak yang tidak diberi kewenangan. Amandemen terhadap Privacy Act 1988 pada Maret

    2014 memberikan kekuasaan kepada individu untuk:

  • a) Mengetahui mengapa data personal seseorang dikumpulkan, bagaimana data tersebut

    digunakan, dan kepada siapa data tersebut diberikan.

    b) Meminta akses terhadap data pribadi yang dicatat oleh pemerintah termasuk informasi

    sensitive.

    c) Melakukan koreksi atas informasi yang tidak akurat.

    d) Complaint jika terdapat asimetri informasi personal yang dicatat pemerintah

    2. Data/Informasi Wajib Pajak yang Wajib Dirahasiakan

    ATO mengumpulkan data personal wajib pajak melalui berbagai sarana antara lain:

    a. Langsung dari Wajib Pajak

    b. Orang lain yang bertindak atas namaWajib Pajak

    c. Pihak Ketiga

    d. Informasi publik

    e. Menggunakan akses formal dan kewenangan untuk menggali informasi

    Informasi yang dikumpulkan dan diolah oleh ATO antara lain:

    a. unique identifiers berupa tax file number dan Australian business numbers (Nomor

    Pokok Wajib Pajak di Indonesia)

    b. data pribadi seperti nama, alamat, telepon, tanggal lahir, status kawin, alamat, dst dari

    wajib pajak

    c. informasi finansial, rekening bank, dan detail dari lembaga keuangan yang terkait

    d. informasi saham yang dipegang dan detail investasi

    e. nomor pelajar (student number) dan kode kampus

    f. Dana kesehatan dan Dana pension

    g. Australian Transaction Reports and Analysis Centre reports

    h. Kepemilikan bisnis, laporan transaksi bisnis, kepemilikan properti, dan data-data

    penjualan.

    Ketentuan kerahasiaan data pajak dapat dilihat salah satunya dalam division 355 of

    Schedule 1to the Taxation Administration Act. Di dalam peraturan tersebut informasi

    rahasia (Protected information) didefinisikan sebagai informasi yang diungkap atau

    didapatkan dibawah atau dalam rangka kepatuhan terhadap peraturan perpajakan, yang

    mana terkait dengan kegiatan/ urusan suatu entitas (termasuk didalamnya urusan pajak

    entitas tersebut, namun tidak hanya dibatasi hal tersebut saja), yang dapat digunakan secara

    rasional dalam mengidentifikasi entitas tersebut. Peraturan tersebut tidak menjelaskan secara

    rinci dokumen-dokumen apa saja terkait perpajakan yang dirahasiakan.

  • ATO menjelaskan protected information dapat berupa dokumen tertulis, rekaman

    percakapan, rekaman elektronik, transkrip, atau bentuk lain dimana informasi dapat

    direkam. Informasi rahasia ini meliputi informasi yang didapat langsung dari Wajib Pajak

    maupun informasi yang diperoleh ATO dari sumber lain.

    Informasi yang dilindungi oleh ATO berasal dari (section 960-100 of the Income

    TaxAssessment Act 1997):

    Perorangan

    Lembagakorporasi

    Lembagapolitik

    Partnership

    Bentuk-bentuk lain darisuatuunincorporated association or body of persons

    Trust

    Dana pension

    Dana deposit

    3. Pengecualian

    Ketentuan perpajakan di Australia mengijinkan pengungkapan data personal dalam

    kondisi tertentu. Kondisi tersebut diantaranya adalah pengungkapan yang digunakan untuk:

    a. assistance agencies untuk melihat kelayakan dalam memperoleh tunjangan dari

    pemerintah

    b. lembaga penegak hokum dalam rangka menginvestigasi dan menuntut pelanggaran

    pajak berat

    c. pengadilan, dan lembaga hokum lainnya, serta konsultan yang mewakili ATO dalam

    perselisihan pajak dan aktivitas penagihan

    d. Petugas pajak regional (state danteritory)

    e. Lembaga pemerintah lainnya, dalam rangka tujuan tertentu

    B. Pengungkapan Informasi Personal ke Pihak Asing

    Ada beberapa kondisi dimana ATO memberikan informasi personal Wajib Pajak

    kepada pihak asing. Kondisi tersebut berkaitan dengan perjanjian pajak internasional dan

    perjanjian pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain/ institusi asing.

    Perjanjian Pajak (Tax treaties)

    Perjanjian Pajak (Tax treaties) dikenal juga dengan tax conventions atau double tax

    agreements. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk pertukaran informasi perpajakan yang

  • relevan dengan administrasi perpajakan dari masing-masing negara penandatangan

    perjanjian. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak terjadi pajak berganda atau tax fraud

    dan tax evasion.

    Perjanjian Pertukaran Informasi Perpajakan (Tax information exchange agreements)

    Perjanjian ini juga ditujukan untuk menanggulangi overseas tax evasion. Perjajian tersebut

    member kewenangan kepada ATO untuk melakukan pertukaran informasi dengan mitranya.

  • POLEMIK TENTANG KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK PADA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK SEHUBUNGAN WEWENANG PEMERIKSAAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

    Latar belakang BPK mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah

    Konstitusi atas Undang Undang No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No.6

    tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikarenakan dalam pasal

    tersebut t

    erdapat hal yang membatasi BPK terkait perolehan data dan informasi perpajakan

    terkait dengan kewenangan BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan. Pasal yang

    dimaksud adalah pasal 34 ayat 2a (huruf b) yang berbunyi dikecualikan dari ketentuan

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: pejabat dan/atau tenaga ahli yang

    ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara

    atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan

    negara.

    Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

    539/KMK.04/2000 tentang pihak lain yang dapat diberikan keterangan oleh pajabat dan

    tenaga ahli yang ditunjuk mengenai segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan

    kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan

    ketentuan peraturan Perundang-Undangan perpajakan, yang ketentuannya memuat syarat-

    syarat bagaimana pihak lain tersebut dapat meminta data Wajib Pajak, antara lain: (1) Badan

    Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP);

    (2) menyampaikan Surat Tugas yang harus menyebutkan nama Wajib Pajak dan keterangan

    yang ingin diketahui tentang Wajib Pajak yang bersangkutan; dan (3) Keterangan yang

    dapat diberitahukan adalah keterangan yang bersifat umum mengenai perpajakan yang

    menyangkut Wajib Pajak dan pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur

    Jenderal Pajak

    BPK mempunyai mandat sesuai pasal 23E ayat 1 UUD 1945 untuk melaksanakan

    pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Undang-Undang No 15

    Tahun 2006 tentang BPK memberikan kewenangan kepada BPK untuk mengakses data dan

    informasi terkait dengan pengelolaan keuangan negara. Menurut BPK Pasal 34 Ayat 2a

    huruf b bertentangan dengan Pasal 23E Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa BPK

    merupakan lembaga negara yang bebas dan mandiri. Dengan kata lain, BPK tidak perlu

    minta izin atau menunggu ketetapan Menteri Keuangan jika ingin memperoleh keterangan

    dari petugas pajak. Selain itu, adanya pembatasan mengenai hanya pejabat dan tenaga ahli

  • yang ditetapkan Menteri Keuangan yang boleh memberikan keterangan tersebut. BPK

    meminta frasa ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak mempunyai kekuatan hukum

    sehingga BPK dapat meminta data/informasi kepada aparat dan pejabat pajak dimana pun

    terkait pemeriksaan BPK.

    Selain pembatasan prosedur, BPK menilai masih terdapat hal lain yang menghambat

    kinerja BPK dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara yaitu seperti yang tertera

    dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a. Pasal tersebut mengatur tentang jenis-jenis data/dokumen

    yang boleh diberikan kepada BPK. Dalam penjelasan pasal 34 ayat (2a) disebutkan bahwa

    keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang

    bersifat umum tentang perpajakan. Identitas Wajib pajak meliputi: (1) nama wajib pajak, (2)

    Nomor Pokok wajib pajak, (3) alamat wajib pajak, (4) alamat kegiatan usaha, (5) merek

    usaha, dan (6) kegiatan usaha wajib pajak. Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan

    meliputi: (1) penerimaan pajak secara nasional, (2) penerimaan pajak per Kantor Wilayah

    DJP/per KPP, (3) penerimaan pajak per jenis pajak, (4) penerimaan pajak per klasifikasi

    lapangan usaha, (5) jumlah wajib pajak/pengusaha kena pajak terdaftar, (6) register

    permohonan wajb pajak, (7) tunggakan pajak secara nasional, dan (8) tunggakan pajak per

    Kanwil/per KPP. menurut BPK, informasi tersebut belum cukup lengkap ketika dilakukan

    suatu pemeriksaan keuangan. Selain itu, menurut BPK hal ini bertentangan dengan Pasal 9

    UU No15 Tahun 2006 tentang BPK. Pasal 9 huruf a menegaskan kewenangan BPK untuk:

    ...menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan,

    menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan

    pemeriksaan. Huruf b nya adalah

    ...meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit

    organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia,

    Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan

    lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

    Hasil judicial review yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi adalah ditolak

    dengan alasan tidak ada kerugian kewenangan konstitusional yang diterima oleh BPK. MK

    lebih melihat adanya ketidakharmonisan antar Undang-Undang, antara UU KUP dengan UU

    Keuangan Negara (UU 17/2003), UU Pemeriksaan Keuangan Negara (UU 15/2004), dan

    UU BPK (UU 15/2006).

  • SIMPULAN

    Dari pemaparan makalah mengenai kerahasiaan data wajib pajak, dapat diambil

    beberapa simpulan sebagai berikut:

    1. Kerahasiaan data wajib pajak telah diatur secara detil dalam Undang-Undang Nomor 28

    Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dimana kerahasiaan

    data wajib pajak benar-benar dilindungi oleh Undang-Undang. Masalah kerahasiaan data

    juga telah diatur dalam pasal 322 dan pasal 323 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (KUHP) yang intinya sama. Namun, kerahasiaan data dapat dikecualikan kepada pejabat

    dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang

    pengadilan; atau pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk

    memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang

    berwenang untuk melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

    2. Seperti disebutkan pada pasal 40 dan pasal 41 UU nomor 10 tahun 1998 tentang

    perbankan, disebutkan bahwa bank dapat membuka rahasia terkait data perpajakan

    dengan izin tertulis Menteri Keuangan. Dengan adanya hal tersebut, kesinambungan

    antara UU KUP dan UU Perbankan telah tercipta. Walaupun demikian, kesinambungan

    tersebut belum berjalan maksimal, karena yang difasilitasi hanyalah dalam rangka

    pemeriksaan pajak, penagihan pajak, dan penyidikan terkait bidang perpajakan. Penulis

    berharap amandemen undang-undang perbankan segera terbit dan memberikan

    keterbukaan informasi yang tentunya lebih mendukung pemerintah atau fiskus dalam

    menggali potensi perpajakan. Namun, untuk menjamin keseimbangan hak-hak wajib

    pajak dan penggalian potensi pajak, penulis berpendapat perlu adanya revisi UU KUP

    yang sejalan dengan keterbukaan informasi perbankan agar lebih mencerminkan best

    practice secara global.

    3. Menurut BPK, informasi wajib pajak yang boleh diungkapkan sesuai dengan yang

    tertera dalam UU KUP belum cukup lengkap bagi keperluan pemeriksaan keuangan

    karena hanya berisi informasi yang bersifat umum. Selain itu, adanya frasa ditetapkan

    oleh Menteri Keuangan dalam UU KUP. Hal ini bertentangan dengan UU BPK terkait

    kewenangan BPK dalam pemeriksaan keuangan negara. Dengan alasan inilah, BPK

    melakukan judicial review kepada Mahkamah Konsitusi.

    4. Menurut kelompok kami, kerahasiaan data wajib pajak tetap harus dilindungi sampai

    dengan tingkatan tertentu. Keterbukaan informasi berupa transparansi pengelolaan

    perpajakan dapat dilakukan dengan transparansi informasi kepada pihak-pihak yang

  • memang berwenang atas pengawasan pengelolaan perpajakan seperti Badan Pemeriksa

    Keuangan dan Inpektorat Jenderal Kementerian Keuangan. Informasi yang dibuka inipun

    tidak perlu terlalu detail atau melanggar hak pribadi Wajib Pajak. Data-data yang dibuka

    kepada pihak-pihak tersebut cukup yang berkaitan langsung dengan tujuan pengawasan

    dan pemeriksaan.

    5. Di Australia, masalah kerahasiaan data juga diatur detil dan mendalam dalam berbagai

    peraturan.

    DAFTAR REFERENSI

    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

    Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/2000 Tentang Pihak Lain yang Dapat Diberikan Keterangan Oleh Pejabat dan Tenaga Ahli yang Ditunjuk Mengenai Segala Sesuatu yang Diketahui atau Diberitahukan Kepadanya Oleh Wajib Pajak Dalam Rangka Jabatan atau Pekerjaannya untuk Menjalankan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan.

    Commonwealth of Australia. 2006. Review of Taxation Secrecy and Disclosure Provisions. http://archive.treasury.gov.au/documents/1121/PDF/Secrecy_and_Disclosure.pdf (diakses pada tanggal 29 Maret 2015).

    Darussalam, B. Bawono Kristiaji, dan Deborah. 2014. Akses Data Perbankan untuk Tujuan Perpajakan: Keseimbangan Antara Hak-Hak Wajib Pajak Dan Penggalian Potensi Pajak Studi Komparasi. Working Paper Nomor 0514/Februari 2014. Danny Darussalam Tax Center.

    Direktorat Jenderal Pajak. 2012. Hak-hak Wajib Pajak. http://www.pajak.go.id/content/hak-hak- wajib-pajak. (diakses pada tanggal 29 Maret 2015).

    Hak dan Kewajiban Wajib Pajak, http://www.pandupajak.org/literasi-pajak/kup/hak-dan-kewajiban-wajib-pajak.html. (diakses pada tanggal 29 Maret 2015).

    Hukum Online. Atas Nama HAM, BPK-Depkeu Perdebatkan Kerahasiaan Data Pajak. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18625/atas-nama-ham-bpkdepkeu-perdebatkan-kerahasiaan-data-pajak (diakses pada tanggal 29 Maret 2015).

    ----------. BPK Keluhkan Izin Menkeu Terkait Pemeriksaan Pajak. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol18480/bpk-keluhkan-izin-menkeu-terkait-pemeriksaan-pajak (diakses pada tanggal 29 Maret 2015).

    Mangkunegara, Irfan. 2014. Kontradiksi Kerahasiaan Data Bank vs. DJP. Kompasiana. 12 Maret 2014. http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/03/12/kontradiksi-kerahasiaan-data-bank-vs-djp-638036.html (diakses pada tanggal 29 Maret 2015).