TUGAS PSIKOLOGI
description
Transcript of TUGAS PSIKOLOGI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Komunikasi sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial, merupakan ilmu yang pada
hakekatnya mempelajari tentang proses penyampaian pesan dari komunikator kepada
komunikan. Komunikasi dan bentuk-bentuknya memainkan peranan penting dalam
kehidupan masyarakat baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial. Masyarakat
memerlukan komunikasi untuk melakukan interaksi dalam kehidupannya. Komunikasi juga
mempunya beberapa cabang, salah satunya adalah psikologi komunikasi. Inti dari psikologi
komunikasi adalah berusaha menguraikan, meramalkan, serta mengendalikan peristiwa
mental dan behavioral. Psikologi komunikasi dilandasi oleh empat teori yakni teori persuasi,
teori jarum hypodermic, teori pengolahan informasi, dan teori komunikasi antarpribadi.
Sebagai ilmu psikologi komunikasi terus berkembang dan mengalami kemajuan yang
pesat. Hai ini dikarenakan adanya penelitian yang terus dilakukan oleh para ahli komunikasi.
Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, maka penelitian dalam psikologi komunikasi
membutuhkan adanya model-model penelitian serta metode yang digunakan dalam penelitian
tersebut. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini berusaha untuk menjelasakan berbagai
model dan metode penelitian yang dipakai dalam suatu penelitian komunikasi.
1.2 Maksud Dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Mengetahui model dan metode yang digunakan dalam suatu penelitian komunikasi
b. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai ilmu komunikasi
c. Sebagai nilai tugas psikologi komunikasi
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 MODEL-MODEL PENELITIAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI
2.1.1. Model Jarum Hypodermic
Konseptualisasi model ini muncul selama dan setelah perang dunia I. dalam
bentukk eksperimen penelitian dengan model ini dilakukan Hovlang dkk.untuk
meneliti penggaruh propaganda sekutu dalam mengubah sikap. Boleh dikatakan inilah
model penelitian komunikasi yang paling tua. Model ini mempunyai asumsi bahwa
komponen-komponen komunikasi amat perkasa dalam mempengaruhi komunikasi.
Disebut model jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan-akan
komunikasi disuntikan langsung ke dalam jiwa komunikan. Sebagaimana obat
disimpan dan disebarkan kedalam tubuh sehingga terjadi perubahan dalam system
fisik, begitu pula pesan-pesan persuasif mengubah sistem psikologis. Model ini sering
juga disebut teori peluru, karena komunikan diangga secara pasif menerima
berondongan pesan-pesan komunikasi. Bila kita menggunakan komunikator yang
tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan
sekehendak kita. Karena behavioralisme amat mempengaruhi model ini, De Fleur
menyebutnya sebagai the mechanistic S-R theory. Walaupun sejak tahun 1950-an,
model ini sudah ditinggalkan di kalangan peneliti komunikasi, pada masyarakat awam
asumsi-asumsinya masih diyakini orang. Pemerintah-pemerintah dictator masih
senang mengendalikan media masssa, tokoh-tokoh agama masih sering melarang
penyebaran buku, dan orang-orang tua masih khawatir akan pengaruh film pada anak-
anaknya. Karena itu, kita masih mencantumkan model ini.
Operasionalisasi, model hypodermic telah diungkapkan terutama sekali dalam
penelitian-penelitian persuasi. Pada umumnya model ini bersifat linear atau satu arah.
Model ini dapat dilukiskan sebagai berikut :
2
VARIABEL KOMUNIKASI
VARIABEL ANTARA
VARIABEL EFEK
Model ini pada umumnya diterapkan dalam penelitian eksperiemental.
Peneliti memanipulasikan variabel-variabel komunikasi, kemudian mengukur variable-
variabel antara dan efek. Variable-variabel komunikator ditunjukan dengan
kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan.
Kredibilitas, terdiri dari dua unsur yakni keahlian dan kejujuran. Keahlian
diukur dengan sejauh mana komunikan menganggap komunikator mengetahui yang
benar, sedangkan kejujuran dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan tentang
sejauh mana komunikator bersifat tidak memihak dalam menyampaikan pesannya.
Daya tarik diukur dengan kesamaan, familiaritas, dan kesukaan. Kekuasaan (power)
dioperasionalisasikan dengan tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator
untuk menghukum atau memberi ganjaran, kemampuan untuk memperhatikan apakah
komunikan tunduk atau tidak, dan kemampuan untuk meneliti apakah komunikan
tunduk atau tidak. Variable pesan terdiri dari struktur pesan, gaya pesan, appeals
pesan. Struktur pesan ditunjukan dengan pola penyimpulan, pola urutan argumentasi,
pola objektivitas. Gaya pesan menunjukan variasi linguistik dalam penyampaian
pesan. Appeals pesan mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung pesan.
Variable media boleh berupa media elektronik, media cetak, atau saluran
interpersonal. Variabel antara ditunjukan dengan perhatian dan pengertian serta
penerimaan. Perhatian juga dipusatkan pada sejauh mana komunikan menyadari
adanya pesan; pengertian diukur dengan sejauh mana komunikan memahami pesan;
penerimaan dibatasi pada sejauh mana komunikan menyetujui gagasan yang
dikemukakan komunikator. Variable efek diukur pada segi kognitif, segi afektif, dan
segi konatif.
Observasi, disini akan kita tunjukan beberapa model penelitian yang
menggunakan model jarum hipodermik. Kita akan mengambil satu studii
eksperiemental dan beberapa studi korelasional.Gilling dan Grenwald melakukan
eksperimen untuk meneliti apakah khalayak menolak pesan persuasif atau dasar isi atu
sumber (komunikator). Mereka menggunakan tiga macam pesan: pesan pertama
menentang penggunaan penisilin secara meluas, pesan kedua menentang pemeriksaan
kesehatan setiap tahun, dan pesan ketiga mendukung penggunaan vitamin besar-
besaran. Subjek ditempatkan secara random pada kondisi berkredibilitas tinggi dan
3
kondisi berkredibilitas rendah. Variabel tak bebas yang diukur adalah pendapat dan
respon-respon kognitif. Pendapat diukur dengan skala respon 15 butir. Respon kognitif
diukur dengan memberikan subjek 12 paragraf pendek, yang diambil dari pesan yang
disampaikan. Analisis respon kognitif menunjukan bahwa sumber berkredibilitas
tinggi menghasilkan 2 X lebih banyak respon yang setuju daripada sumber
berkredibilitas rendah. Pengukuran pendapat menunjukan segera setelah terpaan
komunikasi, respon setuju lebih banyak pada sumber yang berkredibilitas tinggi
daripada berkredibilitas rendah. Patterson dan Mc Clure meneliti pengaruh iklan
politik pada perubahan sikap peneliti. Ingin diketahui efek kampanye pada sikap dan
kepercayaan khalayak. Dilakukan empat gelombang penelitian. Data dianalisis dengan
tesis korelasional. Hasilnya menunjukan bahwa subjek yang tinggi terpaan televisinya
berubah lebih banyak dari subjek yang rendah terpaan televisinya. Jadi antara korelasi
antara terpaan televisi dengan perubahan sikap. Patterson dan Mc Clure ada juga
menyebut variabel-variabel lainyang mempengaruhi sikap. Prisuta meneliti mass
media exposure and political behavior. Dalam analisis data ia menggunakan koefisien
korelasi dan chi kuadrat. Beberapa penemuan penelitiannya antara lain terpaan surat
kabar berkorelasi dengan variabel-variabel politik; dibandingkan dengan media lain,
surat kabar adalah satu-satunya media yang berkolerasi sangat signifikan dengan hasil
pemilu.
Di Indonesia John Abdjul (1979) melakukan penelitian tentang pengaruh
televisi pada masyarakat Minahasa. Ia mengkorelasikan terpaan televisi dengan
pengetahuan tentang dan partisipasi dalam program-program pembangunan. Ia hanya
menemukan satu keofisien korelasi yang singnifikan, yakni antara terpaan televisi
dengan pengetahuan tentang penyuluhan pertanian. Pada skripsi-skripsi dan penelitian-
penelitian mahasiswa indonesia, model jarum hipodermik ini sudah diterapkan.
Misalnya penelitian pengaruh film si unyil pada pengaruh anak-anak, pengaruh siaran
bahasa indonesia pada kemampuan berbahasa indonesia, pengaruh pemuka pendapat
pada kemantapan KB para akseptor. Semua studi ini bertolak dari anggapan dasar
bahwa komponen-konponen komunikasi menimbulkan efek pada diri komunikan.
4
2.1.2. Model Uses And Gratifications
Konseptualisasi, model ini digambarkan sebagai “a dramatic break with
effects tradition of the past (Swanson, 1979), suatu loncatan dramatis dari model jarum
hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan media pada diri orang,
tetapi ia tertsrik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak
dianggap secara aktif menentukan media untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari
sini timbul istilah “uses and gratifications”, penggunaan dan pemenuhan kebutuhan.
Dalam asumsi ini tersirat pengertian bahwa komunikasi massa berguna; bahwa
konsumsi media diarahkan pada motif; bahwa perilaku media mencerminkan
kepentingan dan prefensi; dan bahwa khalayak sebenarnya kepala batu (Stubborn)
(Blummer, 1979: 265).karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk
memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika
kebutuhan tersebut terpenuhi.konsep dasar model ini diringkaskan oleh para
pendirinya (Katz, Blumler, dan Gurevitch, 1974: 20) dengan model ini yang diteliti
adalah:
Sumber sosial dan psikologis dari
Kebutuhan yang melahirkan
Harapan-harapan dari
Media massa, atau sumber-sumber yang lain yang menyebabkan
Perbedaan pola terpaan media dan menghasilkan
Pemenuhan kebutuhan dan
Akibat-akibat lain, bahkan akibat yang tidak dikehendaki
Operasionalisasi, ketika sampai pada operasionalisasi, model ini ini telah
menimbulkan berbagai macam penjabaran. Di bawah grand theory uses and
gratification, bermacam-macam teori berlindung dan berdebat satu sama lain (Blumler
1980: 203). Empat model telah dibuat: model Linne dan Van Feilitzen, model Windahl
(Windahl 1981: 271), model Rosengren (Rosengren 1975: 271), serta model Mc Leod
dan Becker. Model ini dilukiskan seperti pada gambar berikut:
ANTESEDEN MOTIF PENGGUNAAN MEDIA EFEK
5
Dengan menggunakan model ini, peneliti berusaha menemukan hubungan diabtara
variabel-variabel yang diukur. Seringkali ia hanya meneliiti sebagian dari komponen-
komponen. anteseden meliputi variabel individual yang terdiri dari data demografis seperti
usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor psikologis komunikan, serta variabel lingkungan seperti
organisasi, sistem sosial, dan struktur sosial. Motif dapat dioperasionalisasikan dengan
berbagai cara unifungsional, bifungsional, fantasistescapist atau gratifikasi, empat-fungsional,
dan surveillance, serta multifungsional.
Daftar motif memang tidak terbatas. Tetapi operasionalisasi Blumler agak praktis
untuk dijadikan petunjuk penelitian. Blumler menyebutkan tiga orientasi: orientasi kognitif,
diversi,serta identitas personal.penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan
dalam berbagai media, jenis isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antara
individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara
keseluruhan (Rosengren, 1974: 277). Efek media dapat dioperasionalisasikan sebagai evaluasi
kemampuan media untuk memberikan kepuasan, misalnya sejauh mana surat kabar
membantu responden memperjelas suatu masalah; sebagai dependensi media misalnya
kepada media mana atau isi yang bagaimana responden amat tergantung untuk tujuan
informasi; dan sebagai pengetahuan misalnya apa yang diketahui responden perihal
persoalan tertentu.
Observasi, seperti yang disebutkan di atas pennelitian terdahulu hanya mengambil
sebagian dari komponen-komponen model. Misalnya Becker mengkorelasikan variabel
demografis dengan motif; Mendelshon dan O’keefe meneliti responden tentang kemampuan
media untuk memuaskan kebutuhan politiknya.di sini akan diberikan contoh penelitian
korelasional dan kuasai eksperiemental yang menggunakan mobil ini. Grenberg (1974)
meneliti sampel 726 orang anak sekolah di London pada minggu pertama bulan maret 1972,
angket disebarkan untuk mengukur motif anak dalam menonton televisi dan hubungan
antara motif-motif ini dengan perilaku media, sikap pada TV, dan variabel sosiodemografi.
Kategori motif diperoleh setelah Greenberg meminta dua kelas anak-anak untuk menulis
keterangan “why I like to watch television”. Ia mendapatkan delapan motif: mengisi waktu,
melupakan kesulitan, mempelajari sesuatu, mempelajari diri, memberikan rangsangan,
bersantai, mencari persahabbatan, kebiasaan saja. Perilaku media diukur dengan menonton
TV, membaca buku, menonton film, mendengarkan radio. Greenberg kemudian melakukan
analisis faktor dan korelasi ganda. Kedelapan motif itu disebutnya sebagai fungsi.
6
Peneltiannya antara lain menunjukan bahwa sikap terahadap TV berkorelasi dengan
kebanyakan fungsi tersebut. Ketergantungan anak pada televisi juga berkolerasi dengan
semua fungsi kecuali fungsi mempelajari sesuatu. Membaca buku berkorelasi dengan fungsi
belajar dan rangsangan. Bila Greenberg memperoleh kategori motif dari karangan anak-anak,
Kline, Miller, dan Morrison (1974) menyimpulkan motif dari beberapa variabel lain secara
tidak langsung. Mereka melakukan penelitian tentang informasi keluarga berencana pada
anak-anak remaja. Motif diukurnya tidak dari self report tentang motif, tetapi dengan
menggunakan konsep congruency dari Chaffe dan Mc Leod (1973). Mereka membagi tiga
kelompok remaja: remaja kongruen (berpengetahuan sama dengan orang lain dalam
kelompok referentnya), remaja tak kongruen di muka (remaja yang merasa orang-orang
dalam kelompok referentnya memiliki pengethuan tentang KB dibawahnya), dan remaja tak
kongruen di belakang (remaja yang meras bahwa kelompok referentnya lebih tahu tentang
KB dari dirinya). Diduga kelompok kongruen akan kurang memerlukan KB melalui media
karena,saluran komunikasi informal dapat memenuhinya. Begitu pula kelompok tak
kongruen di belakang. Adalah kelompok renaja tak kongruen di muka yang diduga lebih
banyak bersandar pada media massa untuk informasi. Karena ia tidak memerlukan informasi
dari aggota-anggota kelompoknya. Karena sumber interpersonal tidak dapat memenuhi
kebutuhannya maka ia beralih ke media massa.
Kebutuhan akan informasi diperlakukan sebagai variabel bebas. Untuk variabel tak
bebas Kline dkk. Menggunakan gratifications, yang diperincinya ke dalam message
discrimination and knowledges. Message discrimination adalah jumlah informasi dalam
media KB yang diperhatikan reponden dalam jangka waktu tertentu. Knowledge meliputi
pengetahuan tentang sumber-sumber informasi KB, alat-alatnya, dan masa subur wanita.
Dengan variabel-variabel yang dioperasionalisasikan seprti di atas, Kline dan kawan-kawan
kemudian melakukan penelitian kuasi-eksperiemental dengan menggunakan rancangan
empat kelompok Solomon. Hasilnya antara lain menunjukan bahwa:
1. Ada dua macam kebutuhan informasi yakni kebutuhan maturasional dan
kebutuhan informasi social
2. Kebutuhan maturasional (usia dan seks) sangat kuat merammalkan pengetahuan
tentang KB tetapi tidak dapat meramalkan diskriminasi pesan
7
3. Kebutuhan informasi sosial berkorelasi dengan diskriminasi pesan dan
pengetahuan mengenai sumber-sumber informasi, tetapi tidak secara sistematis
meramalkan pengetahuan alat KB dan masa subur wanita.
2.1.3. Model Agenda Setting
Konseptualisasi, model uses and gratifications telah dikritik karena terlalu
melebih-lebihkan rasionalitas dan aktivitas komunikan serta melupakan karakteristik
stimuli. Model tersebut telah mempercepat keruntuhan model jarum hipodermik.
Model agenda setting menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan
fokus penelitian yang telah bergeser. Efek pada sikap dan pendapat bergeser pada efek
pada kesadaran dan pengetahuan; dari efek afektif ke efek kognitif.
Cohen (1963), hampir satu dasawarsa sebelum Mc Combs dan Shaw
menemukakan model agenda setting, dengan singkat menyatakan asumsi dassar model
ini. Ia berkata bahwa the press is significantly more than a surveyor of information and
opinion. It may not be successfull much of the time in telling the people what to think,
but it is stunningly successful in telling readers what to think about (1963: 13). To tell
what to think about. Artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap
penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan cues tentang
mana issue yang lebih penting. Karena itu model agenda setting mengasumsikan
adanya hubungan yang positifantara penilaian yang diberikan media pada suatu
persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu. Singkatnya
apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat.
Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.
Operasionalisasi, seperti model uses and gratifications, model agenda setting
pun dioperasionalisasikan dengan berbagai cara. Begitu beragamnya cara
operasionalisasi sehingga salah seorang pelopor model ini mengeluh, “each new
investigator has gone his or her own way”. Di sini model itu dipadukan dalam gambar
yang dipadukan dari model Becker, McCombs dan Mc Leod (1975), DeGeorge
(1981), Winter (1981), McCombs (1981),Becker (1982), dan Weaver (1982). Efek
media massa diukur dengan menggunakan dua pengukuran. Pertama peneliti
mengukur agenda media dengan analisis isi yang kuantitatif, atau peneliti menentukan
8
batas waktu tertentu, mengkoding berbagai isi media, dan menyusun isi itu
berdasarkan panjang, penonjolan (ukuran headline,lokasi dalam surat kabar, frekuensi
pemunculan,posisi dalam surat kabbar) dan konflik (cara penyajian bahan).
Selanjutnya peneliti mengukur agenda masyarakat dengan menganalisis self report
khalayak. Ia menghitung topik-topik yang penting menurut khalayak, merengkingnya,
dan mengkorelasikannya dengan ranking isi media. Ia juga menganalisis kondisi-
kondisi antara yang mempengaruhi proses agenda setting dengan meneliti sfat-sifat
stimulus dan karakteristik khalayak. Kedua variabel yang baru saja disebut, berikut
efek dan efek lanjutan diterangkan lebih terperinci.
VARIABEL MEDIA MASSA VARIABEL ANTARA VARIABEL
EFEK VARIABEL LANJUTAN
Sifat-sifat stimulus menunjukan karakteristik issues, termasuk jarak issues,
lama terpaan, kedekatan geografis, dan sumber. Sifat-sifak khalayak menunjukan
variabel-variabel psiko-sosial, termasuk data demografis, keanggotaan dalam sistem
sosial, kebutuhan, sikap, diskusi interpersonal, dan terpaan media. Agenda masyarakat
dapat diteliti dari segi apa yang dipikirkan orang, apa yang dibicarakan orang itu
dengan orang lain, dan apa yang mereka anggap sedang menjadi pembicaraan orang
ramai. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan. Efek langsung berkaitan
dengan issues; apakah issues itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua
issues mana yang dianggap paling penting menurut khalayak; bagaimana issues itu
diranking oleh responden dan apakan rankingnya itu sesuai dengan ranking media.
Efek lanjutan berupa persepsi.
Observasi, hampir semua penelitian yang menggunakan model agenda setting
berkenaan dengan efek media massa dalam bidang politik. Studi empiris pertama yang
menggunakan model ini meneliti kampanye president Amerika Serikat 1972.
Penelitian ini menunjukan bahwa surat kabar menentukan apa yang dianggap penting
oleh masyarakat. Agenda televisi juga ditemukan berkorelasi dengan agenda para
pemilih. Tetapi, penelitian yang optimis itu ternyata tidak ditunjang oleh penelitian
lain yang dilakukan pada tahun yang sama. Mc Leod, Becker, dan Byrnes (1974)
9
hanya menemukan bukti yang sangat kecil tentang efek liputan media secara
keseluruhan terhadap penilaian salience terhadap issues yang dilakukan responden.
Begitu pula Miller, Erbring,dan Goldenberg (1980) hanya sedikit menemukan efek
liputan issues media dengan issues salience dari responden. Tetapi mereka juga
menemukan pengaruh media bertambah bila kondisi antara diperhitungkan. Mengenai
kondisi-kondisi yang mempengaruhi efek agenda setting, sifat issues dikemukakan
sebagai faktor yang menengahi pengaruh agenda media pada agenda publik. Issues
yang tidak langsung diranking oleh pemilih hampir dengan urutan yang sama seperti
yang dilakukan surat kabar dan televisi, sedangkan masalah-masalah ekonomi yang
langsung dianggap lebih penting oleh pemilih daripada oleh surat kabar dan televisi.
Weaver juga menemukan bahwa efek agenda setting dipengaruhi oleh karakteristik
sosial dan motivasi pemilih.
Tinjauan yang lengkap tentang kondisi-kondisi antara telah dilakukan oleh
Winter (1981). Sekarang kita akan membicarakan contoh-contoh penelitian yang
mempelajari efek lanjutan agenda setting. Kovenock, Beardsky, dan Prothro (1970),
juga Becker dan Mc Leod (1974), mengkorelasikan salience dengan pilihan pemiliih.
Kelompok peneliti pertama tidak menemukan korelasi ini, kelompok kedua
menemukannya. Penelitian tentang hal ini tampaknya harus lebih banyak lagi
dilakukan; direvisi, diverifikasi, dan direplikasi. Sampai sekarang laporan tentang
penelitian model ini di Indonesia belum ada.
2.1.4 Model Difusi Informasi
Konseptualisasi, penelitian difusi adalah satu jenis penelitian komunikasi yang
khas, tetapi penelitian ini dimulai di luar bidang komunikasi, begitu ujar Rogers (1978:
207) ketika ia membicarakan keadaan penelitian difusi dewasa ini. Memang penelitian
difusi informasi berasal dari sosiologi. Rogers, tokoh difusi yang kemudian menjadi
peneliti komunikasi, membuat desertasinya dalam sosiologi pedesaan. Tidak
mengherankan, bila terjadi beraneka ragam tradisi penelitian difusi dengan focus
penelitian yang berlainan juga. Difusi itu sendiri telah didefinisikan bermacam-macam
(lihat Narol 1964). Tetapi ada satu asumsi yang mengikat semua penelitian difusi. Difusi
adalah suatu proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran
10
informasi melalui ruang dan waktu dari satu agen ke agen yang lain. Menurut Savage
(1981: 103),” we may define diffusion as the adoption of a communicable element,
symbolic or artifactual, overtime by decision making entities linked to some originating
source by channels of communication within some sociocultural system”. Salah satu
saluran komunikasi yang penting ialah media massa. Karena itu model difusi,
mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada titik
waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai mempengaruhi adopsi atau
rejeksi (penerimaan atau penolakan).
Operasionalisasi, sesuai dengan model terdahulu, model difusi dapat dinyatakan
seperti pada gambar berikut:
ANTASEDEN VARIABEL MEDIA EFEK DIFUSI
Dengan menggunakan model ini, peneliti meneliti bagaimana inovasi atau
informasi baru tersebar pada unit-unit adopsi. Inovasi berupa berita, peristiwa, pesan-
pesan politik, gagasan baru, dan sebagiannya. Sejauh mana media massa atau ssaluran
interpersonal mempengaruhi efek difusi ditentukan oleh variabel antara, yang dalam
model ini disebut anteseden. Variabel penerima yang antara lain meliputi data demografis
dan variabel sosio-psikologis sudah dibicarakan pada model terdahulu. Dimensi inovasi
menunjukan faidah relatif, komtabilitas, kompleksitas dan lain-lain. Faidah relatif
menunjukan tingkat kelebihan inovasi dibandingkan dengan gagasan yang
mendahuluinya. Komtabilitas adalah tingkat kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada.
Kompleksitas berarti tingkat kesukaran untuk memahami atau menggunakan inovasi.
Dimennsi-dimensi yang lain dibicarakan Rogers dan Shoemeker (1971), dan secara
terperinci oleh Lin dan Zaltman (1978: 93-115).
Variabel media sudah dijelaskan pada model sebelumnya. Variabel efek diskusi
dapat berupa temporal, spasial, struktural, dan fasal. Istilah temporal menunjuk pola
adopsi gagasan-gagasan baru dalam jangka waktu. Ini biasanya digambarkan dengan
kurva S: dimulai dengan sejumlah kecil adopter, sejumlah besar adoper di tengah-tengah,
dan sejumlah kecil dibelakang. Istilah spasial menunjukan keteraturan tertentu pada pola
spasial dissebut inovasi. Misalnya inovasi itu mula-mula dikenal di pusat, kemudian ke
11
daerah-daerah yang berdekatan, selanjutnya ke daerah-daerah yang jauh. Istilah struktural
menunjukann penyebaran informasi melalui struktur-struktur komunikasi; biasa bisa jadi
dua tahap atau banyak tahap. Istilah terskhir fasal mengacu pada fase-fase pada proses
adopsi yang terkenal dalam lima fase; pengenalan, informasi, evaluasi, percobaan dan
keputusan (Bohlen 1977).
Observasi, laporan agak lengkap tentang studi difusi inovasi yang pernah
dilakukan dapat dilihat pada Rogers and Shoemeker (1971). Di sini hannya dikemukakan
dua contoh saja yakni the hybrid see corn dan the saucio study. The hybrid corn study
adalah penelitian difusi yang paling pertama dan paling terkenal. Penelitian ini dilakukan
oleh Rian dan Gross untuk mengetahui difusi jenis jagung yang baru pada dua
masyarakat lowa tahun 1941. Dari 259 responden diketahui hanya dua orang saja yang
belum menanam hybrid seed corn pada saat penelitian itu berlangsung. Ditemukan juga
kenyataan bahwa responden mulai menanamjenis jagung ini setelah mendengar tentang
itu lima tahun sebelumnya. Diantara penemuan-penemuan yang lain dari studi ini adalah:
1. Adopter awal lebih lama memerlukan waktu untuk mengambil keputusan daripada
adopter akhir
2. Media massa dan sumber-sumber interpersonal efektif dalam menyampaikan
informasi, tetapi sumber-sumber interpersonal yang dekat amat efektif dalam
mengubah tingkah laku
3. Kurva adopsi menyimpang dari distribusi normal
The saucio study adalah penelitian yang prtama kali menerapkan metode penelitian difusi
Amerika pada Negara berkembang. Deutschman dan Fals Borda melakukan penelitian
adopsi enam cara bertani di Saucio, sebuah desa di Columbia. Dari 79 petani lokal, 71
orang diwawancarai untuk mengetahui sejarah adopsi keenam cara bertani yang
ditanyakan. Indeks perilaku inovatif dibuat dengan menggunakan analisis skala Guttman.
Diantara penemuan penelitian ini ialah:
Sumber-sumber interpersonal adalah yang paling efektif untuk menyebarkan informasi
dan pengaruh, hanya 17 % menyebutkan mmedia massa sebagai sumber informasi.
1. Sejumlah besar petani memutuskan melakkan adopsi segera setelah mendengarnya.
12
2. Sikap inovatif petani seperti diukur dengan skala inovasi, berkorelasi tinggi dengan
kepemimpinan adopsi, ukuran tanah pertanian, pendidikan, kedinian pengenalan,
terpaan media massa, dan sikap kosmopolit
3. Adopter awal lebih cenderung menggunakan semua media massa daripada adopter
akhir
Penelitian yang menggunakan difusi informasi pada umumnya merupakan studi
korelasional, karena mengambil sampel dari masyarakat. Studi ini pernah merupakan
paradigma yang paling popular baik dikalangan ilmu komunikasi maupun ilmu-ilmu
sosial lain.
2.2 METODE PENELITIAN PSIOKOGI KOMUNIKASI
Para ahli berbeda pendapat dalam mengklasifikaikan metode penelitian. Di sini
metode penelitian dikategorikan dalam 5 macam antara lain metode historis, deskriptif,
korelasional, eksperimental dan kuasi-eksperimental.
Metode historis. Bertujuan untuk merekontruksi masa lalu secara sistematis dan
obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverivikasi dan mensintesiskan bukti untuk
menetapkan fakta dan mencapai kongklusi yang dapat di pertahankan, seringkali dalam
hubungan hipotesis tertentu (isaac dan Michael, 1972: 17). Misalnya, penelitian tentang
isi buku bacaan pada zaman kolonial, riwayat pendirian gerakan muhamadyah dan
sebagainya.
Metode deskriptif bertujuan melukiskan sacara sistematis fakta dan karakteristik
populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Isaac dan Michael 1972:
18). Penelitian jumlah anak putus sekolah di kota Bandung tahun 1981, studi pendapat
umum, jumlah pembaca majalah tempo di Jakarta, studi kasus skizoprenia adalah contoh-
contohnya
Metode korelasional adalah lanjutan metode deskriptif. Metode ini dicari diantara
variabel-variabel yang di teliti. Hubungsan dapat bersifat positif atau negatif.
Metode eksperimental adalah metode penelitian yang memungkinkan peneliti
memanipulasi variable dan meniliti akibat-akibatnya. Pada metode eksperimental
13
variabel-variabel di kontrol begitu rupa sehingga variabel luar yang mungkin
mempengaruhi dapat di singkirkan.
Metode kuasi-eksperimental digunakan untuk mendekati kondisi eksperimental
pada suatu situasi yang tidak memungkinkan memanipulasi variabel. Setiap metode ini
akan di uraikan secara terperinci.
1. Metode Historis
“Histories” artinya berhubungan dengan sejarah. Sejarah adalah studi tentang masa
lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Seperti ilmu-ilmu sosial yang
lain, sejarah merupakan ilmu empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk
memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan data.metode sejarah di gunakan untuk menguji
hipotesis, David Fischer medefinisikan peneliti sejarah sebagai orang yang mengajukan
pertanyaan terbuka tentang peristiwa masa lalu dan menjawabnya dengan fakta terpilih dan
disusun dengan pradigma penjelasan.
Penelitian historis di mulai dengan perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian,
pengumpulan data, evaluasi data, dan pelaporan hasil penelitian. Menurut Smith ada
beberapa uraian yang memilki formulasi antara lain yakni:
Perumusan Masalah adalah periode yang paling sukar. Masalah penelitian hanya
timbul setelah melewati tahap immersion (pendalaman), dan guided entri (pengkhususan),
untuk merumuskan sejarah komunikasi kita harus mengenal pengetahuan sejarah umum dan
sejarah komnikasi. Pendalaman adalah studi kepustakan yang intesif. dengan pengetahuan
komunikasinya, peneliti meneropong peristiwa-peristiwa sejarah, sebagai peneliti sejarah
komunikasi ia mengajurkan pertanyaan siapa, apa, bilamana, dimana, mengapa, dan
bagaiman (5w+1h). dengan cara ini ia membatasi proses pendalaman dengan batas-batas
geografis, biografis, kronologis, fungsionalis, dan okupasional.
Setelah pendalaman dan pembatasan lingkupan data, peneliti menetapkan bagian-
bagian data lagi yang lebih khusus. Proses ini disebut guided entry.
Penelitian data. Penelitian historis berpijak pada data yang ada. Data ini bisa
merupakan sumber primer (primary sources), atau sumber sekunder (secondary sources).
14
Sumber primer adalah saksi mata dari suatu peristiwa. Ia dapat berupa orang atau benda yang
hadir dalam peristiwa tertentu. Peneliti sejarah membedakan dua jenis sumber primer: record
dan relics. Record adalah kesaksian mata yang di sengaja, record yang berupa dokumen,
rekaman lisan, atau karya seni. Sedangkan relics adalah rekaman peristiwa yang tidak
dimaksudkan untuk meredam peristiwa sejarah, contohnya catatan neraca keuangan, bahasa,
dan tradisi masyarakat.
Memilh strategi analitis. Cara menganalisis data sejarah tidak dapat dipisahkan dari
perumusan masalah, ada 2 strategis analisis : analisis dokumenter dan analisis kuantitatif.
Dalam praktek, peneliti sejarah menggunakan kedua metode ini sekaligus. Analisis
dokumenter dipergunakan bila data terlalu sedikit untuk di kuantifikasi, analisis dokumenter
mengikuti proses berpikir aduktif (adductife reasoming). Berpikir aduktif adalah
mengemukakan jawaban pada pertanyaan tertentu, sehingga diperoleh “kecocokan”
penjelasan yang memuaskan.
Analisis kuantatif menggunakan berbagai analisis statistik , bermacam-macam alat
ukur, prosesing data, dan analisis isi. Analisis kuantatif pada hakekatnya hanyalah
menambahkan analisis yang lebih cermat dan sistematis pada analsis documenter.
2. Metode deskriptif
Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau
membuat prediksi. “deskriptf” diartikan melukiskan variabel satu demi satu. Pada
hakekatnya, metode deskriptif mengumpulkan data secara univariat, karakteristi data
dipreroleh dengan ukuran-ukuran kecenderungan pusat (central tendency) atau ukuran
sebaran (dispersion).
Penelitian deskriptif ditujukan untuk (1) mengumpulkan informasi aktual secara
terperinci yang melukiskan gejala yang ada. (2) mengidentifikasi masalah yang ada atau
memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau
evaluasi, (4) menentukan apa yang akan dilakukan dalam menghadap masalah yang ama dan
belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keptusan pada waktu yang
akan dating.
15
Metode deskriptif amat berguna untuk melahirkan teori-teori tentative. Perbedaan
esensial antara metode deskriptif dengan metode-metode lainnya. Metode deskriptif mencari
teori bukan menguji teori “hypothesis-generating”, bukan hypothesis-testing”, dan
“heuristic”, bukan “verifikatif”.ciri lain metode deskriptif adalah titik berat pada observasi
dan suasana alamiah, penelitian deskriptif mungkin lahir karena kebutuhan.
Penelitian deskriptif timbul karena suatu peristiwa yang menarik perhatian peneliti,
tetapi belum ada kerangka teoritis untuk menjelaskannya. Penelitian deskriptif tidak jarang
melahirkan apa yang disebut Seltis, wrightsman dan cook sebagai penelitian yang insight-
stimulatting. Peneliti terjun ke lapangan tanpa dibebanai atau diarahkan oleh teori. Ia tidak
bermaksud menguji teori,sehingga perspektifnya tidak tersarin, ia bebas mengamati
obyeknya, menjelajah, dan menemukan wawasan-wawasan baru sepanjang jalan.
Penelitiannya terus-menerus mengalami reformulasi dan redireksi ketika informasi-informasi
baru ditemukan. Hipotesis tidak datang sebelum penelitian,tetapi baru muncul dalam
penelitian.
Jadi penelitian deskriptif bukan saja menjabarkan (analitis, tetapi juga memadukan
(sintesis). Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga organisasi. Dari penelitian
deskriptiflah dikembangkan berbagai peneltian korelasonal dan eksperimental.
3. Metode korelasional
Metode korelasioal sebetulnya lanjutan dari metode deskriptif. Dengan metode
deskriptif kita menghimpun data, menyusunnya, secara sistematik, factual dan cermat (Isaac
dan Michael, 1981 : 46).
Kita mulai memasuki metode korelasional, bila kita mencoba meneliti hubungan
diantara variabel-variabel, misalnya : pengusaha ingin memperoleh keterangan apakah ada
hubungan antara pendidikan pegawai dengan produktivitas kerja mereka. Hubungan yang
dicari itu disebut korelasi. Metode korelasi bertujuan meneliti sejauh mana variasi pada suatu
faktor lain. Kalau dua variabel saja yang kita hubungkan, korelasinya disebut korelasi
sederhana (simple correlation). Lebih dari dua, kita menggunakan korelasi ganda (multiple
correlation).
16
Pada akhir abad XIX, Kearl Pearson, berdasarkan teori Sir Francis Galton,
mengembangkan indeks untuk mengukur tingkat hubungan diantara variabel, dikenal dengan
istilah Pearson product coefficient correlation, indeks ini disingkat dengan huruf kecil r. r
menunjukkan bilangan diantara +1.00 dan -1.00. bila tidak ada hubungan antara variabel
bertambah, nilai r bertambah dari nol ke plus atau minus satu. Bila tanda r positif, variabel-
variabelnya dikatakan berkorelasi secara positif. Artinya, bila skor pada variabel X
bertambah, skor pada variabel Y pun bertambah pula. Bila tanda r negatif, variabel dikatakan
berkorelasi secara negatif, skor yang lebih tinggi pada peubah (variabel), yang satu berkaitan
dengan skor yang rendah pada variabel yang lain. Untuk melukiskan kofisien korelasi,
ilmuwan sosial biasanya meletakkan skor X dan Y dalam diagram yang disebut diagram
sebar (scatter-diagram). Bila hubungan itu sempurna, titik-titik dalam diagram menunjukkan
garis lurus. Makin kecil koefisien korelasi, makin tersebar titik-titiknya
Untuk memahami nilai r kita harus memahami tiga hal. Pertama, besaran korelasi
yang berkisar dari 0 (berate tingkat tdak ada korelasi sama sekali), sampai 1 (korelasi yang
sempurna). Kedua, arah korelasi yang ditunjukkan dengan tanda positif atau negatif. Korelasi
positif tidak berarti baik, tetapi hanya menunjukkan bahwa makin tinggi nilai pada variabel
X, makin tinggi pula nilai pada variabel Y. Ketiga, persoalan apakah r yang diperoleh itu
signifikan secara statistik. Korelasi yang signifikan secara statistik tidak boleh diartikan
signifikan secara subtantif atau signifikan secara teoritis.
Jadi korelasi yang sangat signifikan hendaknya tidak diartikan hubungan sebab-akibat
yang kuat. Memang, korelasi tidak selalu menunjukkan hubungan kausalitas, kausalitas
terjadi bila dipenuhi syarat : asosiasi, prioritas waktu, hubungan sebenarnya, dan rasional.
Asosiasi menunjukkan kaitan diantara variabel seperti yang sering diperoleh dengan teknik
korelasi. Prioritas waktu menunjukkan bahwa X harus terjadi lebih dahulu sebelum Y.
Hubungan sebenarnya (nonspurious relation) berarti Y disebabkan benar-benar oleh X dan
bukan oleh variabel-variabel lain. Rasional adalah logika yang mendasari hubungan-
hubungan tersebut.
Walaupun amat bergantung pada jenis data yang dinilai dan tes statistik yang
digunakan, koefisien korelasi diartikan Guildford (1956: 145) secara kasar sebagai berikut :
17
Kurang dari 0.20 hubungan rendah sekali; lemah sekali
0.20 – 0.40 hubungan rendah tetapi pasti
0.40 – 0.70 hubungan yang cukup berarti
0.70 – 0.90 hubungan yang tinggi ; kuat
Lebih dari 0.90 hubungan sangat tinggi ; kuat sekali, dan dapat diandalkan.
Metode korelasional digunakan untuk (1) mengukur hubungan diantara berbagai
variabel, (2) meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang variabel bebas,
dan (3) meratakan jalan untuk membuat rancangan penelitian eksperimental. Studi
korelasional sering juga digunakan untuk mengukur reabilitas dan validitas.
4. Metode eksperimental
Metode eksperimental ditujukan untuk meneliti hubungan sebab-akibat dengan
memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu (atau lebih) kelompok eksperimental, dan
membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang tidak mengalami manipulasi.
Manipulasi berarti mengubah secara sistematis sifat-sifat (nilai-nilai) variabel bebas. Setelah
dimanipulasikan variabel bebas itu biasanya disebut garapan (treatment). penelitian
eksperimen dalam kenyataannya tidak sesederhana itu. Peneliti harus memperlihatkan,
apakah tidak ada variabel luar yang ikut serta menimbulkan efek. Karena itu, sedapat
mungkin peneliti mengusahakan agar perbedaan hasil pengamatan itu tidak disebabkan oleh
hal-hal lain kecuali variabel bebas yang diteliti. Upaya ini disebut kontrol.
Secara singkat, eksperimen ditandai tiga hal : (1) manipulasi – mengubah secara
sistematis keadaan tertentu, (2) observasi – mengamati dan mengukur hasil manipulasi, dan
(3) kontrol – mengendalikan kondisi-kondisi penelitian ketika berlangsungnya manipulasi.
Kontrol merupakan kunci penelitian eksperimental, sebab tanpa Kontrol, manipulasi dan
observasi aan menghasilkan data yang counfounding (meragukan).
Mengendalikan ragam kedua, dapat dilakukan dengan menyingkirkan variabel luar
sama sekali dengan megusahakan agar ubyek-subyek bersifat sehomogen mungkin dalam
variabel tersebut. Cara lain adalah menjodohkan, bila ada variabel yang sulit dijodohkan atau
18
diseragamkan, variabel tersebut dapat dijadikan variabel bebas, dan ragam yang diakibatkan
variabel tersebut dapat dianalisis.
5. Metode Kuasi - Eksperimental
Salah satu tujuan ilmu adalah melakukan prediksi. Cara yang terbaik untuk
menemukan prediksi ialah eksperimen. Sayangnya, kita tidak selalu melakukan eksperimen.
Dalam kehidupan yang sebenarnya, sukar kita mengelompokkan orang sekehendak kita. Dari
sinilah muncul metode kuasi-eksperimental.
Peneltian kuasi – eksperimental mempunyai dua cirri. Pertama Peneliti tidak mampu
meletakkan subyek secara random pada kelompok eksperimental atau kelompok control yang
dapat dilakukan peneliti ialah mencari kelompok subyek yang diterpa variabel bebas, dan
kelompok subyek lain yang tidak mengalami variabel bebas. Kedua, peneliti tidak dapat
mengenakan variabel bebas kapan dan kepada siapa saja yang dikehendakinya.
Ciri pertama dan kedua tentu saja menyulitkan kita untuk menetapkan hubungan
kausal diantara variabel-variabel. Tetapi kita dapat mendeteksi hubungan kausal ini, bila kita
berhasil mengurangi variabel luar yang meragukan. Dalam penelitian kuasi- eksperimental,
variabel luar ini disebut sebagai ancaman (threats) pada validitas internal dan validitas
eksternal
Ada sembilan sumber variabel luar yang mengancam validitas internal : sejarah
proaktif, sejarah retroaktif, maturasi, testing, regresi statistic, mortalitas, efek interaksi,
instrumentasi dan bias peneliti. Tujuh yang pertama dapat dikendalikan dengan merancang
rancangan penelitioan yang tepat. Dua yang terakhir hanya dapat dikontrol dengan
kecermatan peneliti sendiri ketika penelitian berlangsung (Robinson 1976:93).
Sejarah Proaktif, menunjukkan perbedaan pengalaman yang terjadi pada diri subyek,
sebelum mereka diteliti. Jenis kelamin, sikap, kepribadian, kemampuan mental, hasil belajar,
status sosial ekonomi dan sebagainya, dapat mempengaruhi variasi pada variabel tak bebas.
Sejarah retroaktif, menunjukkan perubahan yang terjadi pada lingkungan (peristiwa-
peristiwa) antara waktu pertama dan waktu kedua, ketika penelitian sedang berlangsung.
19
Maturasi adalah perubahan proses psikologis dan biologis dalam diri subyek yang
terjadi ketika penelitian berlangsung. Variasi yang terdapat pada Ys (pengaruh Y sesudah
subyek dikenai X) boleh terjadi karena pengaruh maturasi.
Testing. Untuk mengukur efek garapan, peneliti biasanya melakukan prauji
(pratesting). Subyek diuji pada T1 (waktu pertama), diberi garapan, kemudian diuji lagi pada
T2 (waktu kedua). Sering terjadi prauji menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi
subyek. Prauji membangkitkan kepekaan (sensitis) subyek.
Regresi statistik. Salah satu hukum statistik yang terkenal menyatakan bahwa testing
yang berkali-kali akan menyebabkan angka yang ekstrim rendah atau yang ekstrim tinggi
berkumpul disekitar rata-rata. Kecenderungan ini disebut regresi statistik.
Mortalitas. Hilangnya subyek karena kematian, kecelakaan, pindah rumah, atau
karena keberadaan untuk ikut serta dalam penelitian akan mempengaruhi skor akhir.
Hilangnya subyek akan menyebabkan tidak validnya penelitian, efek mortalitas dapat diatasi
dengan melakukan beberapa penyesuaian dalam analisis statistik, data yang hilang (missing
data) harus dipertimbangkan.
Efek interaksi, umumnya terjadi dalam penelitian yang menyebabkan lebih dari satu
variabel bebas. Walaupun kelompok eksperimental dan kontrol mempunyai skor yang sama
dalam variabel Y pada T1 dan T2 satu kelompok akan memperoleh skor yang lebih tinggi.
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan dalam variabel bebas yang lain, misalnya kecerdasan
atau motivasi. Untuk mengontrol efek interaksi, dipergunakan beberapa perhitungan statistik
atau rancangan eksperimental tertentu.
Instrumentasi. Validitas internal dapat juga “terancam” karena perubahan dalam alat
ukur atau orang yang mempergunakan alat ukur itu. Perbedaan skor Ys pada T2 mungkin
disebabkan karena test yang diberikan lebih sukar, atau karena peneliti sudah lebih
berpengalaman (sehingga menjadi lebih cermat). Tidak ada suatu rancangan yang dapat
mengontrol efek instrumentasi. Disini, diperlukan perhatian dari pihak peneliti. Ia harus
“awas” terhadap perubahan yang terjadi pada alat ukur dan juga pada dirinya.
20
Bias penelitian. Rosenthal (1966) telah melakukan penelitian tentang pengaruh
ekspektasi peneliti terhadap hasil penelitian. Bila kepada seorang guru diberitahukan bahwa
anak-anak yang diajarnya “bodoh”, anak-anak cenderung mengikuti ekspektasi gurunya.
Mereka menjadi bodoh. Diberitahu dahulu muridnya bodoh, guru akan memperlakukan
murid itu sebagai murid yang bodoh. Reaksi ini sadar atau tidak sadar mempengaruhi anak
didiknya. Salah satu cara mengatasi ini sering dilakukan situasi double – blind. Peneliti tidak
diberi tahu karakteristik subyek yang ditelitinya. Jadi, seperti pada instrumentasi, bias
peneliti terpulang lagi pada kecermatan dan kehati-hatian peneliti.
Validitas eksternal berkenaan dengan sejauhmana hasil-hasil penelitian dapat
digeneralisasikan dari dunia eksperimen ke dunia nyata. Ada empat hal yang mengancam
validitas ekstrernal : Efek Hawthorne, pretesting, bias seleksi, dan efek interaksi ganda.
Efek Hawthorne, menunjukkan efek yang terjadi karena subyek eksperimen merasa
mendapat genetika khusus.
Pretesting, memberikan prauji, dapat membatasi potensi generalisasi.
Bias seleksi, responden sudah dipilih secara memihak (biased). Satu-satunya cara
untuk menghindari bias seleksi ialah menarik sampel secara random.
Efek interaksi garapan – ganda, bila subyek yang sama diterpa (ekspos) dengan lebih
dari 2X berkali-kali, efek X terdahulu masih belum terhapus.
Ada banyak rancangan kuasi – eksperimental. Disini hanya akan diperkenalkan 2
macam rancangan yang banyak dipergunakan: rancangan kelompok yang random dan
rancangan rangkai waktu (time series design).
Rancangan kelompok tak random sering terjadi peneliti tidak dapat meletakan subyek
secara random seperti yang dikehendakinya. Untuk megatasi hal itu, peneliti mencari
kelompok pembanding, semacam kelompok kontrol. Rancangan dapat digambarkan sebagai
berikut (Rancangan pretest – posttest) :
Yb1XYs1
Yb2 Ys2
21
Ada dua kelompok, kedua-duanya diprauji. Kelompok pertama dikenai X, kelompok
kedua tidak. Pada T2 kedua-duanya diukur lagi. Disisni peneliti tidak memasuki subyek secara
random. Subyek sudah masuk dengan sendirinya pada kelompok-kelompok itu. Penelitilah yang
menentukan kelompok mana yang mendapat garapan.
Rancangan rangkai waktu (time series design). Diagram rancangan rangkai waktu
menggambarkan pengukuran yang berkali-kali sebelum dan sesudah garapan. Rancangan ini
tidak begitu berbeda dengan rancangan sebelum-sesudah dalam penelitian eksperimental.
Kemungkinan terjadinya ancaman validitas berasal dari efek pengukuran yang berkali-kali dan
reaksi terhadap prosedur penelitian. Tetapi ancaman ini dapat dikendalikan bila peneliti cukup
peka terhadapnya. Peneliti juga dapat menggunakan pengukuran yang sama pada satu (beberapa)
kelompok control yang tidak mendapat garapan.
22
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Model adalah semacam peta yang memberikan petunjuk pada peneliti dalam
menjalankan tugasnya. Model dapat memperjelas masalah-masalah, mengidentifikasi
variabel-variabel yang diteliti, dan mengantisipasi hubungan diantar variabel-variabel
tersebut. Yang paling penting, model memudahkan jalan berpikir yang lebih rasional dan
sistematis. Model-model yang digunakan dalam suatu penelitian komunikasi adalah
modelm jarum hipodermik, model uses and gratifications, model agenda setting, dan model
difusi informasi. Model jarum hipodermik mengasumsikan powerfull effects dari
komponen-komponen komunikasi. Model uses and gratifications mengecilkan efek ini dan
melebih-lebihkan peranan komunikan di dalam proses komunikasi. Model agenda setting
menampilkan kembali peranan media komunikasi. Model difusi informasi melacak
penyebaran inovasi dalam satu sistem sosial melalui ruang dan waktu.
Dalam lingkup metode, metode historis berusaha merekonstruksi masa lalu secara
sistematis, objektif, dan penuh kecermatan. Data dikritik secara internal dan eksternal.
Metode historis dapat digunakan untuk menguji hipotesis walaupun pengujiannya tidak
sama sepeti dalam metode penelitian yang lain. Metode deskriptif bertujuan melukiskan
fakta dan karakteristik populasi secara faktual dan cermat. Metode korelasional
melanjutkan metode dekripitif dengan mencari hubungan diantara variabel-variabel.
Metode eksperiemental ditandai dengan manipulasi, observasi, dan kontrol. Metode kuasi-
eksperiemental hampir menyerupai metode eksperiemental, tetapi tidak dapat mengatur
variabel bebas sekehendak hati. Baik penelitian eksperiemental maupun kuasi-
eksperiemental dapat memberikan hasil meragukan, bila banyak dipengaruhi oleh variabel-
variabel luar. Variabel luar adalah ancaman pada validitas internal dan eksternal.
3.2 SARAN
Penulis nenyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini
dikarenakan adanya keterbatasan sumber dan keterbatasan waktu.
23
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana dedy, 2003, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya:
Bandung
Rakhmat jalaluddin, 1984, Metode Penelitian Komunikasi, CV Remadja Karya: Bandung
www.kuliahkomunikasi.com
www.kuliahnyaomith.com
24
PERTANYAAN
1. Apa yang dimaksud dengan metode penelitian dekriptif ?
Jawab : adalah metode yang bertujuan menghimpun dan menyusun data secara
sistematik, factual, dan cermat.
2. Mengapa hubungan korelasional tidak selalu menunjukkan hubungan kausal ?
Jawab: karena kausalitas terjadi bila dipenuhi syarat asosiasi, prioritas waktu,
hubungan sebenarnya, dan rasional, sedangkan korelasi tidak memenuhi
semua persyaratan itu. Walaupun demikian kadang-kadang korelasi yang
tinggi dapat menunjukan hubungan sebab akibat.
3. Apa asumsi dasar dari model jarum hipodermik ?
Jawab: komponen-komponen komunikasi (komunikator, pesan, media) amat perkasa
dalam mempengaruhi komunikasi.
4. Mengapa model agenda setting menentang model uses ang gratifications ?
Jawab: karena model uses and gratifications terlalu melebih-lebihkan rasionalitas dan
aktivitas komunikan serta melupakan karakteristik stimuli.
5. Apa itu metode penelitian ?
Jawab: adalah landasan atau langkah-langkah yang digunakan oleh seorang peneliti
dalam meneliti, menganalisis, dan mengumpulkan data-data dalam suatu
penelitian.
25