TUGAS PSIKOLOGI

40
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial, merupakan ilmu yang pada hakekatnya mempelajari tentang proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan. Komunikasi dan bentuk-bentuknya memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial. Masyarakat memerlukan komunikasi untuk melakukan interaksi dalam kehidupannya. Komunikasi juga mempunya beberapa cabang, salah satunya adalah psikologi komunikasi. Inti dari psikologi komunikasi adalah berusaha menguraikan, meramalkan, serta mengendalikan peristiwa mental dan behavioral. Psikologi komunikasi dilandasi oleh empat teori yakni teori persuasi, teori jarum hypodermic, teori pengolahan informasi, dan teori komunikasi antarpribadi. Sebagai ilmu psikologi komunikasi terus berkembang dan mengalami kemajuan yang pesat. Hai ini dikarenakan adanya penelitian yang terus dilakukan oleh para ahli komunikasi. Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, maka penelitian dalam psikologi komunikasi membutuhkan adanya model-model penelitian serta metode yang digunakan dalam penelitian tersebut. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini berusaha untuk 1

description

Semoga Dapat Membantu Kawan2Thanks

Transcript of TUGAS PSIKOLOGI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Komunikasi sebagai salah satu cabang dari ilmu sosial, merupakan ilmu yang pada

hakekatnya mempelajari tentang proses penyampaian pesan dari komunikator kepada

komunikan. Komunikasi dan bentuk-bentuknya memainkan peranan penting dalam

kehidupan masyarakat baik secara individu maupun sebagai makhluk sosial. Masyarakat

memerlukan komunikasi untuk melakukan interaksi dalam kehidupannya. Komunikasi juga

mempunya beberapa cabang, salah satunya adalah psikologi komunikasi. Inti dari psikologi

komunikasi adalah berusaha menguraikan, meramalkan, serta mengendalikan peristiwa

mental dan behavioral. Psikologi komunikasi dilandasi oleh empat teori yakni teori persuasi,

teori jarum hypodermic, teori pengolahan informasi, dan teori komunikasi antarpribadi.

Sebagai ilmu psikologi komunikasi terus berkembang dan mengalami kemajuan yang

pesat. Hai ini dikarenakan adanya penelitian yang terus dilakukan oleh para ahli komunikasi.

Sama halnya dengan ilmu-ilmu lain, maka penelitian dalam psikologi komunikasi

membutuhkan adanya model-model penelitian serta metode yang digunakan dalam penelitian

tersebut. Oleh karena itu penulis dalam makalah ini berusaha untuk menjelasakan berbagai

model dan metode penelitian yang dipakai dalam suatu penelitian komunikasi.

1.2 Maksud Dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini adalah :

a. Mengetahui model dan metode yang digunakan dalam suatu penelitian komunikasi

b. Menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai ilmu komunikasi

c. Sebagai nilai tugas psikologi komunikasi

1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 MODEL-MODEL PENELITIAN PSIKOLOGI KOMUNIKASI

2.1.1. Model Jarum Hypodermic

Konseptualisasi model ini muncul selama dan setelah perang dunia I. dalam

bentukk eksperimen penelitian dengan model ini dilakukan Hovlang dkk.untuk

meneliti penggaruh propaganda sekutu dalam mengubah sikap. Boleh dikatakan inilah

model penelitian komunikasi yang paling tua. Model ini mempunyai asumsi bahwa

komponen-komponen komunikasi amat perkasa dalam mempengaruhi komunikasi.

Disebut model jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan-akan

komunikasi disuntikan langsung ke dalam jiwa komunikan. Sebagaimana obat

disimpan dan disebarkan kedalam tubuh sehingga terjadi perubahan dalam system

fisik, begitu pula pesan-pesan persuasif mengubah sistem psikologis. Model ini sering

juga disebut teori peluru, karena komunikan diangga secara pasif menerima

berondongan pesan-pesan komunikasi. Bila kita menggunakan komunikator yang

tepat, pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan

sekehendak kita. Karena behavioralisme amat mempengaruhi model ini, De Fleur

menyebutnya sebagai the mechanistic S-R theory. Walaupun sejak tahun 1950-an,

model ini sudah ditinggalkan di kalangan peneliti komunikasi, pada masyarakat awam

asumsi-asumsinya masih diyakini orang. Pemerintah-pemerintah dictator masih

senang mengendalikan media masssa, tokoh-tokoh agama masih sering melarang

penyebaran buku, dan orang-orang tua masih khawatir akan pengaruh film pada anak-

anaknya. Karena itu, kita masih mencantumkan model ini.

Operasionalisasi, model hypodermic telah diungkapkan terutama sekali dalam

penelitian-penelitian persuasi. Pada umumnya model ini bersifat linear atau satu arah.

Model ini dapat dilukiskan sebagai berikut :

2

VARIABEL KOMUNIKASI

VARIABEL ANTARA

VARIABEL EFEK

Model ini pada umumnya diterapkan dalam penelitian eksperiemental.

Peneliti memanipulasikan variabel-variabel komunikasi, kemudian mengukur variable-

variabel antara dan efek. Variable-variabel komunikator ditunjukan dengan

kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan.

Kredibilitas, terdiri dari dua unsur yakni keahlian dan kejujuran. Keahlian

diukur dengan sejauh mana komunikan menganggap komunikator mengetahui yang

benar, sedangkan kejujuran dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan tentang

sejauh mana komunikator bersifat tidak memihak dalam menyampaikan pesannya.

Daya tarik diukur dengan kesamaan, familiaritas, dan kesukaan. Kekuasaan (power)

dioperasionalisasikan dengan tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator

untuk menghukum atau memberi ganjaran, kemampuan untuk memperhatikan apakah

komunikan tunduk atau tidak, dan kemampuan untuk meneliti apakah komunikan

tunduk atau tidak. Variable pesan terdiri dari struktur pesan, gaya pesan, appeals

pesan. Struktur pesan ditunjukan dengan pola penyimpulan, pola urutan argumentasi,

pola objektivitas. Gaya pesan menunjukan variasi linguistik dalam penyampaian

pesan. Appeals pesan mengacu pada motif-motif psikologis yang dikandung pesan.

Variable media boleh berupa media elektronik, media cetak, atau saluran

interpersonal. Variabel antara ditunjukan dengan perhatian dan pengertian serta

penerimaan. Perhatian juga dipusatkan pada sejauh mana komunikan menyadari

adanya pesan; pengertian diukur dengan sejauh mana komunikan memahami pesan;

penerimaan dibatasi pada sejauh mana komunikan menyetujui gagasan yang

dikemukakan komunikator. Variable efek diukur pada segi kognitif, segi afektif, dan

segi konatif.

Observasi, disini akan kita tunjukan beberapa model penelitian yang

menggunakan model jarum hipodermik. Kita akan mengambil satu studii

eksperiemental dan beberapa studi korelasional.Gilling dan Grenwald melakukan

eksperimen untuk meneliti apakah khalayak menolak pesan persuasif atau dasar isi atu

sumber (komunikator). Mereka menggunakan tiga macam pesan: pesan pertama

menentang penggunaan penisilin secara meluas, pesan kedua menentang pemeriksaan

kesehatan setiap tahun, dan pesan ketiga mendukung penggunaan vitamin besar-

besaran. Subjek ditempatkan secara random pada kondisi berkredibilitas tinggi dan

3

kondisi berkredibilitas rendah. Variabel tak bebas yang diukur adalah pendapat dan

respon-respon kognitif. Pendapat diukur dengan skala respon 15 butir. Respon kognitif

diukur dengan memberikan subjek 12 paragraf pendek, yang diambil dari pesan yang

disampaikan. Analisis respon kognitif menunjukan bahwa sumber berkredibilitas

tinggi menghasilkan 2 X lebih banyak respon yang setuju daripada sumber

berkredibilitas rendah. Pengukuran pendapat menunjukan segera setelah terpaan

komunikasi, respon setuju lebih banyak pada sumber yang berkredibilitas tinggi

daripada berkredibilitas rendah. Patterson dan Mc Clure meneliti pengaruh iklan

politik pada perubahan sikap peneliti. Ingin diketahui efek kampanye pada sikap dan

kepercayaan khalayak. Dilakukan empat gelombang penelitian. Data dianalisis dengan

tesis korelasional. Hasilnya menunjukan bahwa subjek yang tinggi terpaan televisinya

berubah lebih banyak dari subjek yang rendah terpaan televisinya. Jadi antara korelasi

antara terpaan televisi dengan perubahan sikap. Patterson dan Mc Clure ada juga

menyebut variabel-variabel lainyang mempengaruhi sikap. Prisuta meneliti mass

media exposure and political behavior. Dalam analisis data ia menggunakan koefisien

korelasi dan chi kuadrat. Beberapa penemuan penelitiannya antara lain terpaan surat

kabar berkorelasi dengan variabel-variabel politik; dibandingkan dengan media lain,

surat kabar adalah satu-satunya media yang berkolerasi sangat signifikan dengan hasil

pemilu.

Di Indonesia John Abdjul (1979) melakukan penelitian tentang pengaruh

televisi pada masyarakat Minahasa. Ia mengkorelasikan terpaan televisi dengan

pengetahuan tentang dan partisipasi dalam program-program pembangunan. Ia hanya

menemukan satu keofisien korelasi yang singnifikan, yakni antara terpaan televisi

dengan pengetahuan tentang penyuluhan pertanian. Pada skripsi-skripsi dan penelitian-

penelitian mahasiswa indonesia, model jarum hipodermik ini sudah diterapkan.

Misalnya penelitian pengaruh film si unyil pada pengaruh anak-anak, pengaruh siaran

bahasa indonesia pada kemampuan berbahasa indonesia, pengaruh pemuka pendapat

pada kemantapan KB para akseptor. Semua studi ini bertolak dari anggapan dasar

bahwa komponen-konponen komunikasi menimbulkan efek pada diri komunikan.

4

2.1.2. Model Uses And Gratifications

Konseptualisasi, model ini digambarkan sebagai “a dramatic break with

effects tradition of the past (Swanson, 1979), suatu loncatan dramatis dari model jarum

hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang dilakukan media pada diri orang,

tetapi ia tertsrik pada apa yang dilakukan orang terhadap media. Anggota khalayak

dianggap secara aktif menentukan media untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari

sini timbul istilah “uses and gratifications”, penggunaan dan pemenuhan kebutuhan.

Dalam asumsi ini tersirat pengertian bahwa komunikasi massa berguna; bahwa

konsumsi media diarahkan pada motif; bahwa perilaku media mencerminkan

kepentingan dan prefensi; dan bahwa khalayak sebenarnya kepala batu (Stubborn)

(Blummer, 1979: 265).karena penggunaan media hanyalah salah satu cara untuk

memenuhi kebutuhan psikologis, efek media dianggap sebagai situasi ketika

kebutuhan tersebut terpenuhi.konsep dasar model ini diringkaskan oleh para

pendirinya (Katz, Blumler, dan Gurevitch, 1974: 20) dengan model ini yang diteliti

adalah:

Sumber sosial dan psikologis dari

Kebutuhan yang melahirkan

Harapan-harapan dari

Media massa, atau sumber-sumber yang lain yang menyebabkan

Perbedaan pola terpaan media dan menghasilkan

Pemenuhan kebutuhan dan

Akibat-akibat lain, bahkan akibat yang tidak dikehendaki

Operasionalisasi, ketika sampai pada operasionalisasi, model ini ini telah

menimbulkan berbagai macam penjabaran. Di bawah grand theory uses and

gratification, bermacam-macam teori berlindung dan berdebat satu sama lain (Blumler

1980: 203). Empat model telah dibuat: model Linne dan Van Feilitzen, model Windahl

(Windahl 1981: 271), model Rosengren (Rosengren 1975: 271), serta model Mc Leod

dan Becker. Model ini dilukiskan seperti pada gambar berikut:

ANTESEDEN MOTIF PENGGUNAAN MEDIA EFEK

5

Dengan menggunakan model ini, peneliti berusaha menemukan hubungan diabtara

variabel-variabel yang diukur. Seringkali ia hanya meneliiti sebagian dari komponen-

komponen. anteseden meliputi variabel individual yang terdiri dari data demografis seperti

usia, jenis kelamin, dan faktor-faktor psikologis komunikan, serta variabel lingkungan seperti

organisasi, sistem sosial, dan struktur sosial. Motif dapat dioperasionalisasikan dengan

berbagai cara unifungsional, bifungsional, fantasistescapist atau gratifikasi, empat-fungsional,

dan surveillance, serta multifungsional.

Daftar motif memang tidak terbatas. Tetapi operasionalisasi Blumler agak praktis

untuk dijadikan petunjuk penelitian. Blumler menyebutkan tiga orientasi: orientasi kognitif,

diversi,serta identitas personal.penggunaan media terdiri dari jumlah waktu yang digunakan

dalam berbagai media, jenis isi media yang dikonsumsi, dan berbagai hubungan antara

individu konsumen media dengan isi media yang dikonsumsi atau dengan media secara

keseluruhan (Rosengren, 1974: 277). Efek media dapat dioperasionalisasikan sebagai evaluasi

kemampuan media untuk memberikan kepuasan, misalnya sejauh mana surat kabar

membantu responden memperjelas suatu masalah; sebagai dependensi media misalnya

kepada media mana atau isi yang bagaimana responden amat tergantung untuk tujuan

informasi; dan sebagai pengetahuan misalnya apa yang diketahui responden perihal

persoalan tertentu.

Observasi, seperti yang disebutkan di atas pennelitian terdahulu hanya mengambil

sebagian dari komponen-komponen model. Misalnya Becker mengkorelasikan variabel

demografis dengan motif; Mendelshon dan O’keefe meneliti responden tentang kemampuan

media untuk memuaskan kebutuhan politiknya.di sini akan diberikan contoh penelitian

korelasional dan kuasai eksperiemental yang menggunakan mobil ini. Grenberg (1974)

meneliti sampel 726 orang anak sekolah di London pada minggu pertama bulan maret 1972,

angket disebarkan untuk mengukur motif anak dalam menonton televisi dan hubungan

antara motif-motif ini dengan perilaku media, sikap pada TV, dan variabel sosiodemografi.

Kategori motif diperoleh setelah Greenberg meminta dua kelas anak-anak untuk menulis

keterangan “why I like to watch television”. Ia mendapatkan delapan motif: mengisi waktu,

melupakan kesulitan, mempelajari sesuatu, mempelajari diri, memberikan rangsangan,

bersantai, mencari persahabbatan, kebiasaan saja. Perilaku media diukur dengan menonton

TV, membaca buku, menonton film, mendengarkan radio. Greenberg kemudian melakukan

analisis faktor dan korelasi ganda. Kedelapan motif itu disebutnya sebagai fungsi.

6

Peneltiannya antara lain menunjukan bahwa sikap terahadap TV berkorelasi dengan

kebanyakan fungsi tersebut. Ketergantungan anak pada televisi juga berkolerasi dengan

semua fungsi kecuali fungsi mempelajari sesuatu. Membaca buku berkorelasi dengan fungsi

belajar dan rangsangan. Bila Greenberg memperoleh kategori motif dari karangan anak-anak,

Kline, Miller, dan Morrison (1974) menyimpulkan motif dari beberapa variabel lain secara

tidak langsung. Mereka melakukan penelitian tentang informasi keluarga berencana pada

anak-anak remaja. Motif diukurnya tidak dari self report tentang motif, tetapi dengan

menggunakan konsep congruency dari Chaffe dan Mc Leod (1973). Mereka membagi tiga

kelompok remaja: remaja kongruen (berpengetahuan sama dengan orang lain dalam

kelompok referentnya), remaja tak kongruen di muka (remaja yang merasa orang-orang

dalam kelompok referentnya memiliki pengethuan tentang KB dibawahnya), dan remaja tak

kongruen di belakang (remaja yang meras bahwa kelompok referentnya lebih tahu tentang

KB dari dirinya). Diduga kelompok kongruen akan kurang memerlukan KB melalui media

karena,saluran komunikasi informal dapat memenuhinya. Begitu pula kelompok tak

kongruen di belakang. Adalah kelompok renaja tak kongruen di muka yang diduga lebih

banyak bersandar pada media massa untuk informasi. Karena ia tidak memerlukan informasi

dari aggota-anggota kelompoknya. Karena sumber interpersonal tidak dapat memenuhi

kebutuhannya maka ia beralih ke media massa.

Kebutuhan akan informasi diperlakukan sebagai variabel bebas. Untuk variabel tak

bebas Kline dkk. Menggunakan gratifications, yang diperincinya ke dalam message

discrimination and knowledges. Message discrimination adalah jumlah informasi dalam

media KB yang diperhatikan reponden dalam jangka waktu tertentu. Knowledge meliputi

pengetahuan tentang sumber-sumber informasi KB, alat-alatnya, dan masa subur wanita.

Dengan variabel-variabel yang dioperasionalisasikan seprti di atas, Kline dan kawan-kawan

kemudian melakukan penelitian kuasi-eksperiemental dengan menggunakan rancangan

empat kelompok Solomon. Hasilnya antara lain menunjukan bahwa:

1. Ada dua macam kebutuhan informasi yakni kebutuhan maturasional dan

kebutuhan informasi social

2. Kebutuhan maturasional (usia dan seks) sangat kuat merammalkan pengetahuan

tentang KB tetapi tidak dapat meramalkan diskriminasi pesan

7

3. Kebutuhan informasi sosial berkorelasi dengan diskriminasi pesan dan

pengetahuan mengenai sumber-sumber informasi, tetapi tidak secara sistematis

meramalkan pengetahuan alat KB dan masa subur wanita.

2.1.3. Model Agenda Setting

Konseptualisasi, model uses and gratifications telah dikritik karena terlalu

melebih-lebihkan rasionalitas dan aktivitas komunikan serta melupakan karakteristik

stimuli. Model tersebut telah mempercepat keruntuhan model jarum hipodermik.

Model agenda setting menghidupkan kembali model jarum hipodermik, tetapi dengan

fokus penelitian yang telah bergeser. Efek pada sikap dan pendapat bergeser pada efek

pada kesadaran dan pengetahuan; dari efek afektif ke efek kognitif.

Cohen (1963), hampir satu dasawarsa sebelum Mc Combs dan Shaw

menemukakan model agenda setting, dengan singkat menyatakan asumsi dassar model

ini. Ia berkata bahwa the press is significantly more than a surveyor of information and

opinion. It may not be successfull much of the time in telling the people what to think,

but it is stunningly successful in telling readers what to think about (1963: 13). To tell

what to think about. Artinya membentuk persepsi khalayak tentang apa yang dianggap

penting. Dengan teknik pemilihan dan penonjolan, media memberikan cues tentang

mana issue yang lebih penting. Karena itu model agenda setting mengasumsikan

adanya hubungan yang positifantara penilaian yang diberikan media pada suatu

persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak pada persoalan itu. Singkatnya

apa yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat.

Apa yang dilupakan media, akan luput juga dari perhatian masyarakat.

Operasionalisasi, seperti model uses and gratifications, model agenda setting

pun dioperasionalisasikan dengan berbagai cara. Begitu beragamnya cara

operasionalisasi sehingga salah seorang pelopor model ini mengeluh, “each new

investigator has gone his or her own way”. Di sini model itu dipadukan dalam gambar

yang dipadukan dari model Becker, McCombs dan Mc Leod (1975), DeGeorge

(1981), Winter (1981), McCombs (1981),Becker (1982), dan Weaver (1982). Efek

media massa diukur dengan menggunakan dua pengukuran. Pertama peneliti

mengukur agenda media dengan analisis isi yang kuantitatif, atau peneliti menentukan

8

batas waktu tertentu, mengkoding berbagai isi media, dan menyusun isi itu

berdasarkan panjang, penonjolan (ukuran headline,lokasi dalam surat kabar, frekuensi

pemunculan,posisi dalam surat kabbar) dan konflik (cara penyajian bahan).

Selanjutnya peneliti mengukur agenda masyarakat dengan menganalisis self report

khalayak. Ia menghitung topik-topik yang penting menurut khalayak, merengkingnya,

dan mengkorelasikannya dengan ranking isi media. Ia juga menganalisis kondisi-

kondisi antara yang mempengaruhi proses agenda setting dengan meneliti sfat-sifat

stimulus dan karakteristik khalayak. Kedua variabel yang baru saja disebut, berikut

efek dan efek lanjutan diterangkan lebih terperinci.

VARIABEL MEDIA MASSA VARIABEL ANTARA VARIABEL

EFEK VARIABEL LANJUTAN

Sifat-sifat stimulus menunjukan karakteristik issues, termasuk jarak issues,

lama terpaan, kedekatan geografis, dan sumber. Sifat-sifak khalayak menunjukan

variabel-variabel psiko-sosial, termasuk data demografis, keanggotaan dalam sistem

sosial, kebutuhan, sikap, diskusi interpersonal, dan terpaan media. Agenda masyarakat

dapat diteliti dari segi apa yang dipikirkan orang, apa yang dibicarakan orang itu

dengan orang lain, dan apa yang mereka anggap sedang menjadi pembicaraan orang

ramai. Efek terdiri dari efek langsung dan efek lanjutan. Efek langsung berkaitan

dengan issues; apakah issues itu ada atau tidak ada dalam agenda khalayak; dari semua

issues mana yang dianggap paling penting menurut khalayak; bagaimana issues itu

diranking oleh responden dan apakan rankingnya itu sesuai dengan ranking media.

Efek lanjutan berupa persepsi.

Observasi, hampir semua penelitian yang menggunakan model agenda setting

berkenaan dengan efek media massa dalam bidang politik. Studi empiris pertama yang

menggunakan model ini meneliti kampanye president Amerika Serikat 1972.

Penelitian ini menunjukan bahwa surat kabar menentukan apa yang dianggap penting

oleh masyarakat. Agenda televisi juga ditemukan berkorelasi dengan agenda para

pemilih. Tetapi, penelitian yang optimis itu ternyata tidak ditunjang oleh penelitian

lain yang dilakukan pada tahun yang sama. Mc Leod, Becker, dan Byrnes (1974)

9

hanya menemukan bukti yang sangat kecil tentang efek liputan media secara

keseluruhan terhadap penilaian salience terhadap issues yang dilakukan responden.

Begitu pula Miller, Erbring,dan Goldenberg (1980) hanya sedikit menemukan efek

liputan issues media dengan issues salience dari responden. Tetapi mereka juga

menemukan pengaruh media bertambah bila kondisi antara diperhitungkan. Mengenai

kondisi-kondisi yang mempengaruhi efek agenda setting, sifat issues dikemukakan

sebagai faktor yang menengahi pengaruh agenda media pada agenda publik. Issues

yang tidak langsung diranking oleh pemilih hampir dengan urutan yang sama seperti

yang dilakukan surat kabar dan televisi, sedangkan masalah-masalah ekonomi yang

langsung dianggap lebih penting oleh pemilih daripada oleh surat kabar dan televisi.

Weaver juga menemukan bahwa efek agenda setting dipengaruhi oleh karakteristik

sosial dan motivasi pemilih.

Tinjauan yang lengkap tentang kondisi-kondisi antara telah dilakukan oleh

Winter (1981). Sekarang kita akan membicarakan contoh-contoh penelitian yang

mempelajari efek lanjutan agenda setting. Kovenock, Beardsky, dan Prothro (1970),

juga Becker dan Mc Leod (1974), mengkorelasikan salience dengan pilihan pemiliih.

Kelompok peneliti pertama tidak menemukan korelasi ini, kelompok kedua

menemukannya. Penelitian tentang hal ini tampaknya harus lebih banyak lagi

dilakukan; direvisi, diverifikasi, dan direplikasi. Sampai sekarang laporan tentang

penelitian model ini di Indonesia belum ada.

2.1.4 Model Difusi Informasi

Konseptualisasi, penelitian difusi adalah satu jenis penelitian komunikasi yang

khas, tetapi penelitian ini dimulai di luar bidang komunikasi, begitu ujar Rogers (1978:

207) ketika ia membicarakan keadaan penelitian difusi dewasa ini. Memang penelitian

difusi informasi berasal dari sosiologi. Rogers, tokoh difusi yang kemudian menjadi

peneliti komunikasi, membuat desertasinya dalam sosiologi pedesaan. Tidak

mengherankan, bila terjadi beraneka ragam tradisi penelitian difusi dengan focus

penelitian yang berlainan juga. Difusi itu sendiri telah didefinisikan bermacam-macam

(lihat Narol 1964). Tetapi ada satu asumsi yang mengikat semua penelitian difusi. Difusi

adalah suatu proses komunikasi yang menetapkan titik-titik tertentu dalam penyebaran

10

informasi melalui ruang dan waktu dari satu agen ke agen yang lain. Menurut Savage

(1981: 103),” we may define diffusion as the adoption of a communicable element,

symbolic or artifactual, overtime by decision making entities linked to some originating

source by channels of communication within some sociocultural system”. Salah satu

saluran komunikasi yang penting ialah media massa. Karena itu model difusi,

mengasumsikan bahwa media massa mempunyai efek yang berbeda-beda pada titik

waktu yang berlainan, mulai dari menimbulkan tahu sampai mempengaruhi adopsi atau

rejeksi (penerimaan atau penolakan).

Operasionalisasi, sesuai dengan model terdahulu, model difusi dapat dinyatakan

seperti pada gambar berikut:

ANTASEDEN VARIABEL MEDIA EFEK DIFUSI

Dengan menggunakan model ini, peneliti meneliti bagaimana inovasi atau

informasi baru tersebar pada unit-unit adopsi. Inovasi berupa berita, peristiwa, pesan-

pesan politik, gagasan baru, dan sebagiannya. Sejauh mana media massa atau ssaluran

interpersonal mempengaruhi efek difusi ditentukan oleh variabel antara, yang dalam

model ini disebut anteseden. Variabel penerima yang antara lain meliputi data demografis

dan variabel sosio-psikologis sudah dibicarakan pada model terdahulu. Dimensi inovasi

menunjukan faidah relatif, komtabilitas, kompleksitas dan lain-lain. Faidah relatif

menunjukan tingkat kelebihan inovasi dibandingkan dengan gagasan yang

mendahuluinya. Komtabilitas adalah tingkat kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada.

Kompleksitas berarti tingkat kesukaran untuk memahami atau menggunakan inovasi.

Dimennsi-dimensi yang lain dibicarakan Rogers dan Shoemeker (1971), dan secara

terperinci oleh Lin dan Zaltman (1978: 93-115).

Variabel media sudah dijelaskan pada model sebelumnya. Variabel efek diskusi

dapat berupa temporal, spasial, struktural, dan fasal. Istilah temporal menunjuk pola

adopsi gagasan-gagasan baru dalam jangka waktu. Ini biasanya digambarkan dengan

kurva S: dimulai dengan sejumlah kecil adopter, sejumlah besar adoper di tengah-tengah,

dan sejumlah kecil dibelakang. Istilah spasial menunjukan keteraturan tertentu pada pola

spasial dissebut inovasi. Misalnya inovasi itu mula-mula dikenal di pusat, kemudian ke

11

daerah-daerah yang berdekatan, selanjutnya ke daerah-daerah yang jauh. Istilah struktural

menunjukann penyebaran informasi melalui struktur-struktur komunikasi; biasa bisa jadi

dua tahap atau banyak tahap. Istilah terskhir fasal mengacu pada fase-fase pada proses

adopsi yang terkenal dalam lima fase; pengenalan, informasi, evaluasi, percobaan dan

keputusan (Bohlen 1977).

Observasi, laporan agak lengkap tentang studi difusi inovasi yang pernah

dilakukan dapat dilihat pada Rogers and Shoemeker (1971). Di sini hannya dikemukakan

dua contoh saja yakni the hybrid see corn dan the saucio study. The hybrid corn study

adalah penelitian difusi yang paling pertama dan paling terkenal. Penelitian ini dilakukan

oleh Rian dan Gross untuk mengetahui difusi jenis jagung yang baru pada dua

masyarakat lowa tahun 1941. Dari 259 responden diketahui hanya dua orang saja yang

belum menanam hybrid seed corn pada saat penelitian itu berlangsung. Ditemukan juga

kenyataan bahwa responden mulai menanamjenis jagung ini setelah mendengar tentang

itu lima tahun sebelumnya. Diantara penemuan-penemuan yang lain dari studi ini adalah:

1. Adopter awal lebih lama memerlukan waktu untuk mengambil keputusan daripada

adopter akhir

2. Media massa dan sumber-sumber interpersonal efektif dalam menyampaikan

informasi, tetapi sumber-sumber interpersonal yang dekat amat efektif dalam

mengubah tingkah laku

3. Kurva adopsi menyimpang dari distribusi normal

The saucio study adalah penelitian yang prtama kali menerapkan metode penelitian difusi

Amerika pada Negara berkembang. Deutschman dan Fals Borda melakukan penelitian

adopsi enam cara bertani di Saucio, sebuah desa di Columbia. Dari 79 petani lokal, 71

orang diwawancarai untuk mengetahui sejarah adopsi keenam cara bertani yang

ditanyakan. Indeks perilaku inovatif dibuat dengan menggunakan analisis skala Guttman.

Diantara penemuan penelitian ini ialah:

Sumber-sumber interpersonal adalah yang paling efektif untuk menyebarkan informasi

dan pengaruh, hanya 17 % menyebutkan mmedia massa sebagai sumber informasi.

1. Sejumlah besar petani memutuskan melakkan adopsi segera setelah mendengarnya.

12

2. Sikap inovatif petani seperti diukur dengan skala inovasi, berkorelasi tinggi dengan

kepemimpinan adopsi, ukuran tanah pertanian, pendidikan, kedinian pengenalan,

terpaan media massa, dan sikap kosmopolit

3. Adopter awal lebih cenderung menggunakan semua media massa daripada adopter

akhir

Penelitian yang menggunakan difusi informasi pada umumnya merupakan studi

korelasional, karena mengambil sampel dari masyarakat. Studi ini pernah merupakan

paradigma yang paling popular baik dikalangan ilmu komunikasi maupun ilmu-ilmu

sosial lain.

2.2 METODE PENELITIAN PSIOKOGI KOMUNIKASI

Para ahli berbeda pendapat dalam mengklasifikaikan metode penelitian. Di sini

metode penelitian dikategorikan dalam 5 macam antara lain metode historis, deskriptif,

korelasional, eksperimental dan kuasi-eksperimental.

Metode historis. Bertujuan untuk merekontruksi masa lalu secara sistematis dan

obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverivikasi dan mensintesiskan bukti untuk

menetapkan fakta dan mencapai kongklusi yang dapat di pertahankan, seringkali dalam

hubungan hipotesis tertentu (isaac dan Michael, 1972: 17). Misalnya, penelitian tentang

isi buku bacaan pada zaman kolonial, riwayat pendirian gerakan muhamadyah dan

sebagainya.

Metode deskriptif bertujuan melukiskan sacara sistematis fakta dan karakteristik

populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat (Isaac dan Michael 1972:

18). Penelitian jumlah anak putus sekolah di kota Bandung tahun 1981, studi pendapat

umum, jumlah pembaca majalah tempo di Jakarta, studi kasus skizoprenia adalah contoh-

contohnya

Metode korelasional adalah lanjutan metode deskriptif. Metode ini dicari diantara

variabel-variabel yang di teliti. Hubungsan dapat bersifat positif atau negatif.

Metode eksperimental adalah metode penelitian yang memungkinkan peneliti

memanipulasi variable dan meniliti akibat-akibatnya. Pada metode eksperimental

13

variabel-variabel di kontrol begitu rupa sehingga variabel luar yang mungkin

mempengaruhi dapat di singkirkan.

Metode kuasi-eksperimental digunakan untuk mendekati kondisi eksperimental

pada suatu situasi yang tidak memungkinkan memanipulasi variabel. Setiap metode ini

akan di uraikan secara terperinci.

1. Metode Historis

“Histories” artinya berhubungan dengan sejarah. Sejarah adalah studi tentang masa

lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Seperti ilmu-ilmu sosial yang

lain, sejarah merupakan ilmu empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk

memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan data.metode sejarah di gunakan untuk menguji

hipotesis, David Fischer medefinisikan peneliti sejarah sebagai orang yang mengajukan

pertanyaan terbuka tentang peristiwa masa lalu dan menjawabnya dengan fakta terpilih dan

disusun dengan pradigma penjelasan.

Penelitian historis di mulai dengan perumusan masalah, penetapan tujuan penelitian,

pengumpulan data, evaluasi data, dan pelaporan hasil penelitian. Menurut Smith ada

beberapa uraian yang memilki formulasi antara lain yakni:

Perumusan Masalah adalah periode yang paling sukar. Masalah penelitian hanya

timbul setelah melewati tahap immersion (pendalaman), dan guided entri (pengkhususan),

untuk merumuskan sejarah komunikasi kita harus mengenal pengetahuan sejarah umum dan

sejarah komnikasi. Pendalaman adalah studi kepustakan yang intesif. dengan pengetahuan

komunikasinya, peneliti meneropong peristiwa-peristiwa sejarah, sebagai peneliti sejarah

komunikasi ia mengajurkan pertanyaan siapa, apa, bilamana, dimana, mengapa, dan

bagaiman (5w+1h). dengan cara ini ia membatasi proses pendalaman dengan batas-batas

geografis, biografis, kronologis, fungsionalis, dan okupasional.

Setelah pendalaman dan pembatasan lingkupan data, peneliti menetapkan bagian-

bagian data lagi yang lebih khusus. Proses ini disebut guided entry.

Penelitian data. Penelitian historis berpijak pada data yang ada. Data ini bisa

merupakan sumber primer (primary sources), atau sumber sekunder (secondary sources).

14

Sumber primer adalah saksi mata dari suatu peristiwa. Ia dapat berupa orang atau benda yang

hadir dalam peristiwa tertentu. Peneliti sejarah membedakan dua jenis sumber primer: record

dan relics. Record adalah kesaksian mata yang di sengaja, record yang berupa dokumen,

rekaman lisan, atau karya seni. Sedangkan relics adalah rekaman peristiwa yang tidak

dimaksudkan untuk meredam peristiwa sejarah, contohnya catatan neraca keuangan, bahasa,

dan tradisi masyarakat.

Memilh strategi analitis. Cara menganalisis data sejarah tidak dapat dipisahkan dari

perumusan masalah, ada 2 strategis analisis : analisis dokumenter dan analisis kuantitatif.

Dalam praktek, peneliti sejarah menggunakan kedua metode ini sekaligus. Analisis

dokumenter dipergunakan bila data terlalu sedikit untuk di kuantifikasi, analisis dokumenter

mengikuti proses berpikir aduktif (adductife reasoming). Berpikir aduktif adalah

mengemukakan jawaban pada pertanyaan tertentu, sehingga diperoleh “kecocokan”

penjelasan yang memuaskan.

Analisis kuantatif menggunakan berbagai analisis statistik , bermacam-macam alat

ukur, prosesing data, dan analisis isi. Analisis kuantatif pada hakekatnya hanyalah

menambahkan analisis yang lebih cermat dan sistematis pada analsis documenter.

2. Metode deskriptif

Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis atau

membuat prediksi. “deskriptf” diartikan melukiskan variabel satu demi satu. Pada

hakekatnya, metode deskriptif mengumpulkan data secara univariat, karakteristi data

dipreroleh dengan ukuran-ukuran kecenderungan pusat (central tendency) atau ukuran

sebaran (dispersion).

Penelitian deskriptif ditujukan untuk (1) mengumpulkan informasi aktual secara

terperinci yang melukiskan gejala yang ada. (2) mengidentifikasi masalah yang ada atau

memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau

evaluasi, (4) menentukan apa yang akan dilakukan dalam menghadap masalah yang ama dan

belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keptusan pada waktu yang

akan dating.

15

Metode deskriptif amat berguna untuk melahirkan teori-teori tentative. Perbedaan

esensial antara metode deskriptif dengan metode-metode lainnya. Metode deskriptif mencari

teori bukan menguji teori “hypothesis-generating”, bukan hypothesis-testing”, dan

“heuristic”, bukan “verifikatif”.ciri lain metode deskriptif adalah titik berat pada observasi

dan suasana alamiah, penelitian deskriptif mungkin lahir karena kebutuhan.

Penelitian deskriptif timbul karena suatu peristiwa yang menarik perhatian peneliti,

tetapi belum ada kerangka teoritis untuk menjelaskannya. Penelitian deskriptif tidak jarang

melahirkan apa yang disebut Seltis, wrightsman dan cook sebagai penelitian yang insight-

stimulatting. Peneliti terjun ke lapangan tanpa dibebanai atau diarahkan oleh teori. Ia tidak

bermaksud menguji teori,sehingga perspektifnya tidak tersarin, ia bebas mengamati

obyeknya, menjelajah, dan menemukan wawasan-wawasan baru sepanjang jalan.

Penelitiannya terus-menerus mengalami reformulasi dan redireksi ketika informasi-informasi

baru ditemukan. Hipotesis tidak datang sebelum penelitian,tetapi baru muncul dalam

penelitian.

Jadi penelitian deskriptif bukan saja menjabarkan (analitis, tetapi juga memadukan

(sintesis). Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga organisasi. Dari penelitian

deskriptiflah dikembangkan berbagai peneltian korelasonal dan eksperimental.

3. Metode korelasional

Metode korelasioal sebetulnya lanjutan dari metode deskriptif. Dengan metode

deskriptif kita menghimpun data, menyusunnya, secara sistematik, factual dan cermat (Isaac

dan Michael, 1981 : 46).

Kita mulai memasuki metode korelasional, bila kita mencoba meneliti hubungan

diantara variabel-variabel, misalnya : pengusaha ingin memperoleh keterangan apakah ada

hubungan antara pendidikan pegawai dengan produktivitas kerja mereka. Hubungan yang

dicari itu disebut korelasi. Metode korelasi bertujuan meneliti sejauh mana variasi pada suatu

faktor lain. Kalau dua variabel saja yang kita hubungkan, korelasinya disebut korelasi

sederhana (simple correlation). Lebih dari dua, kita menggunakan korelasi ganda (multiple

correlation).

16

Pada akhir abad XIX, Kearl Pearson, berdasarkan teori Sir Francis Galton,

mengembangkan indeks untuk mengukur tingkat hubungan diantara variabel, dikenal dengan

istilah Pearson product coefficient correlation, indeks ini disingkat dengan huruf kecil r. r

menunjukkan bilangan diantara +1.00 dan -1.00. bila tidak ada hubungan antara variabel

bertambah, nilai r bertambah dari nol ke plus atau minus satu. Bila tanda r positif, variabel-

variabelnya dikatakan berkorelasi secara positif. Artinya, bila skor pada variabel X

bertambah, skor pada variabel Y pun bertambah pula. Bila tanda r negatif, variabel dikatakan

berkorelasi secara negatif, skor yang lebih tinggi pada peubah (variabel), yang satu berkaitan

dengan skor yang rendah pada variabel yang lain. Untuk melukiskan kofisien korelasi,

ilmuwan sosial biasanya meletakkan skor X dan Y dalam diagram yang disebut diagram

sebar (scatter-diagram). Bila hubungan itu sempurna, titik-titik dalam diagram menunjukkan

garis lurus. Makin kecil koefisien korelasi, makin tersebar titik-titiknya

Untuk memahami nilai r kita harus memahami tiga hal. Pertama, besaran korelasi

yang berkisar dari 0 (berate tingkat tdak ada korelasi sama sekali), sampai 1 (korelasi yang

sempurna). Kedua, arah korelasi yang ditunjukkan dengan tanda positif atau negatif. Korelasi

positif tidak berarti baik, tetapi hanya menunjukkan bahwa makin tinggi nilai pada variabel

X, makin tinggi pula nilai pada variabel Y. Ketiga, persoalan apakah r yang diperoleh itu

signifikan secara statistik. Korelasi yang signifikan secara statistik tidak boleh diartikan

signifikan secara subtantif atau signifikan secara teoritis.

Jadi korelasi yang sangat signifikan hendaknya tidak diartikan hubungan sebab-akibat

yang kuat. Memang, korelasi tidak selalu menunjukkan hubungan kausalitas, kausalitas

terjadi bila dipenuhi syarat : asosiasi, prioritas waktu, hubungan sebenarnya, dan rasional.

Asosiasi menunjukkan kaitan diantara variabel seperti yang sering diperoleh dengan teknik

korelasi. Prioritas waktu menunjukkan bahwa X harus terjadi lebih dahulu sebelum Y.

Hubungan sebenarnya (nonspurious relation) berarti Y disebabkan benar-benar oleh X dan

bukan oleh variabel-variabel lain. Rasional adalah logika yang mendasari hubungan-

hubungan tersebut.

Walaupun amat bergantung pada jenis data yang dinilai dan tes statistik yang

digunakan, koefisien korelasi diartikan Guildford (1956: 145) secara kasar sebagai berikut :

17

Kurang dari 0.20 hubungan rendah sekali; lemah sekali

0.20 – 0.40 hubungan rendah tetapi pasti

0.40 – 0.70 hubungan yang cukup berarti

0.70 – 0.90 hubungan yang tinggi ; kuat

Lebih dari 0.90 hubungan sangat tinggi ; kuat sekali, dan dapat diandalkan.

Metode korelasional digunakan untuk (1) mengukur hubungan diantara berbagai

variabel, (2) meramalkan variabel tak bebas dari pengetahuan kita tentang variabel bebas,

dan (3) meratakan jalan untuk membuat rancangan penelitian eksperimental. Studi

korelasional sering juga digunakan untuk mengukur reabilitas dan validitas.

4. Metode eksperimental

Metode eksperimental ditujukan untuk meneliti hubungan sebab-akibat dengan

memanipulasikan satu atau lebih variabel pada satu (atau lebih) kelompok eksperimental, dan

membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang tidak mengalami manipulasi.

Manipulasi berarti mengubah secara sistematis sifat-sifat (nilai-nilai) variabel bebas. Setelah

dimanipulasikan variabel bebas itu biasanya disebut garapan (treatment). penelitian

eksperimen dalam kenyataannya tidak sesederhana itu. Peneliti harus memperlihatkan,

apakah tidak ada variabel luar yang ikut serta menimbulkan efek. Karena itu, sedapat

mungkin peneliti mengusahakan agar perbedaan hasil pengamatan itu tidak disebabkan oleh

hal-hal lain kecuali variabel bebas yang diteliti. Upaya ini disebut kontrol.

Secara singkat, eksperimen ditandai tiga hal : (1) manipulasi – mengubah secara

sistematis keadaan tertentu, (2) observasi – mengamati dan mengukur hasil manipulasi, dan

(3) kontrol – mengendalikan kondisi-kondisi penelitian ketika berlangsungnya manipulasi.

Kontrol merupakan kunci penelitian eksperimental, sebab tanpa Kontrol, manipulasi dan

observasi aan menghasilkan data yang counfounding (meragukan).

Mengendalikan ragam kedua, dapat dilakukan dengan menyingkirkan variabel luar

sama sekali dengan megusahakan agar ubyek-subyek bersifat sehomogen mungkin dalam

variabel tersebut. Cara lain adalah menjodohkan, bila ada variabel yang sulit dijodohkan atau

18

diseragamkan, variabel tersebut dapat dijadikan variabel bebas, dan ragam yang diakibatkan

variabel tersebut dapat dianalisis.

5. Metode Kuasi - Eksperimental

Salah satu tujuan ilmu adalah melakukan prediksi. Cara yang terbaik untuk

menemukan prediksi ialah eksperimen. Sayangnya, kita tidak selalu melakukan eksperimen.

Dalam kehidupan yang sebenarnya, sukar kita mengelompokkan orang sekehendak kita. Dari

sinilah muncul metode kuasi-eksperimental.

Peneltian kuasi – eksperimental mempunyai dua cirri. Pertama Peneliti tidak mampu

meletakkan subyek secara random pada kelompok eksperimental atau kelompok control yang

dapat dilakukan peneliti ialah mencari kelompok subyek yang diterpa variabel bebas, dan

kelompok subyek lain yang tidak mengalami variabel bebas. Kedua, peneliti tidak dapat

mengenakan variabel bebas kapan dan kepada siapa saja yang dikehendakinya.

Ciri pertama dan kedua tentu saja menyulitkan kita untuk menetapkan hubungan

kausal diantara variabel-variabel. Tetapi kita dapat mendeteksi hubungan kausal ini, bila kita

berhasil mengurangi variabel luar yang meragukan. Dalam penelitian kuasi- eksperimental,

variabel luar ini disebut sebagai ancaman (threats) pada validitas internal dan validitas

eksternal

Ada sembilan sumber variabel luar yang mengancam validitas internal : sejarah

proaktif, sejarah retroaktif, maturasi, testing, regresi statistic, mortalitas, efek interaksi,

instrumentasi dan bias peneliti. Tujuh yang pertama dapat dikendalikan dengan merancang

rancangan penelitioan yang tepat. Dua yang terakhir hanya dapat dikontrol dengan

kecermatan peneliti sendiri ketika penelitian berlangsung (Robinson 1976:93).

Sejarah Proaktif, menunjukkan perbedaan pengalaman yang terjadi pada diri subyek,

sebelum mereka diteliti. Jenis kelamin, sikap, kepribadian, kemampuan mental, hasil belajar,

status sosial ekonomi dan sebagainya, dapat mempengaruhi variasi pada variabel tak bebas.

Sejarah retroaktif, menunjukkan perubahan yang terjadi pada lingkungan (peristiwa-

peristiwa) antara waktu pertama dan waktu kedua, ketika penelitian sedang berlangsung.

19

Maturasi adalah perubahan proses psikologis dan biologis dalam diri subyek yang

terjadi ketika penelitian berlangsung. Variasi yang terdapat pada Ys (pengaruh Y sesudah

subyek dikenai X) boleh terjadi karena pengaruh maturasi.

Testing. Untuk mengukur efek garapan, peneliti biasanya melakukan prauji

(pratesting). Subyek diuji pada T1 (waktu pertama), diberi garapan, kemudian diuji lagi pada

T2 (waktu kedua). Sering terjadi prauji menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi

subyek. Prauji membangkitkan kepekaan (sensitis) subyek.

Regresi statistik. Salah satu hukum statistik yang terkenal menyatakan bahwa testing

yang berkali-kali akan menyebabkan angka yang ekstrim rendah atau yang ekstrim tinggi

berkumpul disekitar rata-rata. Kecenderungan ini disebut regresi statistik.

Mortalitas. Hilangnya subyek karena kematian, kecelakaan, pindah rumah, atau

karena keberadaan untuk ikut serta dalam penelitian akan mempengaruhi skor akhir.

Hilangnya subyek akan menyebabkan tidak validnya penelitian, efek mortalitas dapat diatasi

dengan melakukan beberapa penyesuaian dalam analisis statistik, data yang hilang (missing

data) harus dipertimbangkan.

Efek interaksi, umumnya terjadi dalam penelitian yang menyebabkan lebih dari satu

variabel bebas. Walaupun kelompok eksperimental dan kontrol mempunyai skor yang sama

dalam variabel Y pada T1 dan T2 satu kelompok akan memperoleh skor yang lebih tinggi.

Perbedaan ini terjadi karena perbedaan dalam variabel bebas yang lain, misalnya kecerdasan

atau motivasi. Untuk mengontrol efek interaksi, dipergunakan beberapa perhitungan statistik

atau rancangan eksperimental tertentu.

Instrumentasi. Validitas internal dapat juga “terancam” karena perubahan dalam alat

ukur atau orang yang mempergunakan alat ukur itu. Perbedaan skor Ys pada T2 mungkin

disebabkan karena test yang diberikan lebih sukar, atau karena peneliti sudah lebih

berpengalaman (sehingga menjadi lebih cermat). Tidak ada suatu rancangan yang dapat

mengontrol efek instrumentasi. Disini, diperlukan perhatian dari pihak peneliti. Ia harus

“awas” terhadap perubahan yang terjadi pada alat ukur dan juga pada dirinya.

20

Bias penelitian. Rosenthal (1966) telah melakukan penelitian tentang pengaruh

ekspektasi peneliti terhadap hasil penelitian. Bila kepada seorang guru diberitahukan bahwa

anak-anak yang diajarnya “bodoh”, anak-anak cenderung mengikuti ekspektasi gurunya.

Mereka menjadi bodoh. Diberitahu dahulu muridnya bodoh, guru akan memperlakukan

murid itu sebagai murid yang bodoh. Reaksi ini sadar atau tidak sadar mempengaruhi anak

didiknya. Salah satu cara mengatasi ini sering dilakukan situasi double – blind. Peneliti tidak

diberi tahu karakteristik subyek yang ditelitinya. Jadi, seperti pada instrumentasi, bias

peneliti terpulang lagi pada kecermatan dan kehati-hatian peneliti.

Validitas eksternal berkenaan dengan sejauhmana hasil-hasil penelitian dapat

digeneralisasikan dari dunia eksperimen ke dunia nyata. Ada empat hal yang mengancam

validitas ekstrernal : Efek Hawthorne, pretesting, bias seleksi, dan efek interaksi ganda.

Efek Hawthorne, menunjukkan efek yang terjadi karena subyek eksperimen merasa

mendapat genetika khusus.

Pretesting, memberikan prauji, dapat membatasi potensi generalisasi.

Bias seleksi, responden sudah dipilih secara memihak (biased). Satu-satunya cara

untuk menghindari bias seleksi ialah menarik sampel secara random.

Efek interaksi garapan – ganda, bila subyek yang sama diterpa (ekspos) dengan lebih

dari 2X berkali-kali, efek X terdahulu masih belum terhapus.

Ada banyak rancangan kuasi – eksperimental. Disini hanya akan diperkenalkan 2

macam rancangan yang banyak dipergunakan: rancangan kelompok yang random dan

rancangan rangkai waktu (time series design).

Rancangan kelompok tak random sering terjadi peneliti tidak dapat meletakan subyek

secara random seperti yang dikehendakinya. Untuk megatasi hal itu, peneliti mencari

kelompok pembanding, semacam kelompok kontrol. Rancangan dapat digambarkan sebagai

berikut (Rancangan pretest – posttest) :

Yb1XYs1

Yb2 Ys2

21

Ada dua kelompok, kedua-duanya diprauji. Kelompok pertama dikenai X, kelompok

kedua tidak. Pada T2 kedua-duanya diukur lagi. Disisni peneliti tidak memasuki subyek secara

random. Subyek sudah masuk dengan sendirinya pada kelompok-kelompok itu. Penelitilah yang

menentukan kelompok mana yang mendapat garapan.

Rancangan rangkai waktu (time series design). Diagram rancangan rangkai waktu

menggambarkan pengukuran yang berkali-kali sebelum dan sesudah garapan. Rancangan ini

tidak begitu berbeda dengan rancangan sebelum-sesudah dalam penelitian eksperimental.

Kemungkinan terjadinya ancaman validitas berasal dari efek pengukuran yang berkali-kali dan

reaksi terhadap prosedur penelitian. Tetapi ancaman ini dapat dikendalikan bila peneliti cukup

peka terhadapnya. Peneliti juga dapat menggunakan pengukuran yang sama pada satu (beberapa)

kelompok control yang tidak mendapat garapan.

22

BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Model adalah semacam peta yang memberikan petunjuk pada peneliti dalam

menjalankan tugasnya. Model dapat memperjelas masalah-masalah, mengidentifikasi

variabel-variabel yang diteliti, dan mengantisipasi hubungan diantar variabel-variabel

tersebut. Yang paling penting, model memudahkan jalan berpikir yang lebih rasional dan

sistematis. Model-model yang digunakan dalam suatu penelitian komunikasi adalah

modelm jarum hipodermik, model uses and gratifications, model agenda setting, dan model

difusi informasi. Model jarum hipodermik mengasumsikan powerfull effects dari

komponen-komponen komunikasi. Model uses and gratifications mengecilkan efek ini dan

melebih-lebihkan peranan komunikan di dalam proses komunikasi. Model agenda setting

menampilkan kembali peranan media komunikasi. Model difusi informasi melacak

penyebaran inovasi dalam satu sistem sosial melalui ruang dan waktu.

Dalam lingkup metode, metode historis berusaha merekonstruksi masa lalu secara

sistematis, objektif, dan penuh kecermatan. Data dikritik secara internal dan eksternal.

Metode historis dapat digunakan untuk menguji hipotesis walaupun pengujiannya tidak

sama sepeti dalam metode penelitian yang lain. Metode deskriptif bertujuan melukiskan

fakta dan karakteristik populasi secara faktual dan cermat. Metode korelasional

melanjutkan metode dekripitif dengan mencari hubungan diantara variabel-variabel.

Metode eksperiemental ditandai dengan manipulasi, observasi, dan kontrol. Metode kuasi-

eksperiemental hampir menyerupai metode eksperiemental, tetapi tidak dapat mengatur

variabel bebas sekehendak hati. Baik penelitian eksperiemental maupun kuasi-

eksperiemental dapat memberikan hasil meragukan, bila banyak dipengaruhi oleh variabel-

variabel luar. Variabel luar adalah ancaman pada validitas internal dan eksternal.

3.2 SARAN

Penulis nenyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, hal ini

dikarenakan adanya keterbatasan sumber dan keterbatasan waktu.

23

DAFTAR PUSTAKA

Mulyana dedy, 2003, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya:

Bandung

Rakhmat jalaluddin, 1984, Metode Penelitian Komunikasi, CV Remadja Karya: Bandung

www.kuliahkomunikasi.com

www.kuliahnyaomith.com

24

PERTANYAAN

1. Apa yang dimaksud dengan metode penelitian dekriptif ?

Jawab : adalah metode yang bertujuan menghimpun dan menyusun data secara

sistematik, factual, dan cermat.

2. Mengapa hubungan korelasional tidak selalu menunjukkan hubungan kausal ?

Jawab: karena kausalitas terjadi bila dipenuhi syarat asosiasi, prioritas waktu,

hubungan sebenarnya, dan rasional, sedangkan korelasi tidak memenuhi

semua persyaratan itu. Walaupun demikian kadang-kadang korelasi yang

tinggi dapat menunjukan hubungan sebab akibat.

3. Apa asumsi dasar dari model jarum hipodermik ?

Jawab: komponen-komponen komunikasi (komunikator, pesan, media) amat perkasa

dalam mempengaruhi komunikasi.

4. Mengapa model agenda setting menentang model uses ang gratifications ?

Jawab: karena model uses and gratifications terlalu melebih-lebihkan rasionalitas dan

aktivitas komunikan serta melupakan karakteristik stimuli.

5. Apa itu metode penelitian ?

Jawab: adalah landasan atau langkah-langkah yang digunakan oleh seorang peneliti

dalam meneliti, menganalisis, dan mengumpulkan data-data dalam suatu

penelitian.

25