TUGAS PKM

68
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina ‘pen tsao’ sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882 ilmuan Robert Koch berhasil menemukan kuman Tuberkulosis yang merupakan penyebab penyakit ini (Widoyono, 2008). Pada tahun 1995, WHO memperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia terserang Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang per tahun. Di Negara-negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang, 75 % penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15-50

description

ok

Transcript of TUGAS PKM

1

BAB I

PENDAHULUANA. Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak ribuan tahun sebelum masehi. Menurut hasil penelitian, penyakit Tuberkulosis sudah ada sejak zaman Mesir kuno yang dibuktikan dengan penemuan pada mumi dan penyakit ini juga sudah ada pada kitab pengobatan Cina pen tsao sekitar 5000 tahun yang lalu. Pada tahun 1882 ilmuan Robert Koch berhasil menemukan kuman Tuberkulosis yang merupakan penyebab penyakit ini (Widoyono, 2008).Pada tahun 1995, WHO memperkirakan terdapat 9 juta penduduk dunia terserang Tuberkulosis dengan kematian 3 juta orang per tahun. Di Negara-negara berkembang kematian TBC merupakan 25% dari seluruh kematian yang sebenarnya dapat dicegah. Diperkirakan 95% penderita TBC berada di Negara berkembang, 75 % penderita TBC adalah kelompok usia produktif (15-50 tahun). Munculnya endemik HIV/AIDS di dunia, diperkirakan penderita TBC akan meningkat (Depkes RI, 2002).

Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien TB di dunia. Diperkirakan pada tahun 2004, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan kematian 101.000 orang. Insiden kasus TB BTA positif sekitar 110 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).Seseorang terinfeksi penyakit Tuberkulosis dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain umur, jenis kelamin, pekerjaan, perilaku, keadaan sosial ekonomi masyarakat yaitu kemiskinan, kekurangan gizi, rendahnya latar belakang pendidikan (buta huruf), kepadatan penduduk serta lingkungan rumah. (Misnadiarly, 2006). Akan tetapi faktor-faktor yang berperan paling penting pada insidensi kejadian Tuberkulosis adalah lingkungan rumah, karena lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya (Notoatmodjo, 2003). Penyakit TBC tergolong penyakit rakyat. Lebih banyak masyarakat kurang mampu yang diserangi basil TBC dibandingkan dengan masyarakat mampu. Biasanya masyarakat yang hidupnya berdesak-desakan, rumah yang padat, tidak ada ventilasi udara, dan kurang cahaya matahari, basil TBC gemar bersarang di lingkungan yang seperti itu, basil TBC bertebaran dalam udara. Tua, muda, besar, kecil dapat dimasuki basil ini (Sistem Informasi TBC, 2008).Menurut J.A Salvato dalam buku Lubis menyatakan bahwa akibat perumahan yang tidak sehat akan menyebabkan angka kesakitan Tuberkulosis 8 kali lebih tinggi dan angka kematian 8,6 kali lebih tinggi dibanding dengan perumahan sehat (Lubis, 1989).Prevalensi Tuberkulosis per 100.000 penduduk Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 sebesar 106,42. Prevalensi tuberkulosis tertinggi adalah di Kota Tegal (358,91per 100.000 penduduk) dan terendah di Kabupaten Magelang (44,04 per 100.000 penduduk) (Dinkesjateng, 2012).Di Kota Pekalongan pada tahun 2011 jumlah temuan penderita Tuberkulosis Paru BTA positif merupakan tertinggi diantara yang lainnya (Dinkesjateng, 2011).Peneliti melakukan penelitian pada penderita TB Paru BTA positif di Puskesmas Noyontaan karena peneliti melihat bahwa Puskesmas Noyontaan berada pada letak yang sangat strategis membuat masyarakat mudah mengakses Pelayanan Kesehatan Masyarakat tersebut, sehingga banyak dari masyarakat diluar wilayah kerja Puskesmas Noyontaan berobat di Puskesmas Noyontaan. Setelah melakukan observasi pada daerah Puskesmas Noyontaan Kelurahan Landungsari kami melihat lingkungan pemukiman masyarakat sangat padat di daerah tersebut. Banyak gang-gang kecil yang didalamnya terdapat rumah warga, sehingga rumah warga tersebut menjadi gelap karena diapit oleh bangunan atau rumah warga lain yang lebih besar. Kondisi rumah tempat tinggal penderita Tuberkulosis paru BTA positif kebanyakan adalah rumah non permanen dimana dinding dan lantai terbuat dari kayu serta memiliki ruangan yang tidak mendapatkan pencahayaan yang cukup, ini dikarenakan ventilasi yang tidak memenuhi syarat atau tidak digunakan dengan baik. Pencahayaan dari sinar matahari yang tidak memadai membuat tempat tinggal mereka menjadi lembab dan gelap.Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Menurut Nooatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis.Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan kondisi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Noyontaan tahun 2013, sejauh mana kondisi rumah mempengaruhi kejadian penyakit Tuberkulosis.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan kondisi rumah tentang kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Noyontaan tahun 2013?.C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan kondisi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Noyontaan tahun 2013.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kepadatan penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Noyontaan tahun 2013.b. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan ventilasi terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Noyontaan tahun 2013.c. Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan pencahayaan terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah Kerja Puskesmas Noyontaan tahun 2013.D. Manfaat penelitian

1. Manfaat bagi Peneliti

Merupakan pengalaman berharga dan menambah wawasan serta pengetahuan peneliti tentang hubungan kondisi rumah dengan kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif.2. Manfaat bagi Institusi terkaitDiharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam Program Penanggulangan penyakit Tuberkulosis Paru, serta sebagai salah satu sumber informasi bagi penentu kebijakan dan pelaksanaan program di Depkes dalam rangka perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program TB paru.3. Manfaat bagi masyarakat Memberikan informasi dan menambah wawasan masyarakat tentang penyakit menular agar masyarakat mendapat pemahaman yang benar tentang penyakit TB Paru / TBC, sehingga masyarakat dapat mencegah terjadinya penyakit TBC.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru Bakteri Tahan Asam (BTA) Positif

1. Pengertian

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis Paru adalah Tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus (Depkes RI, 2008).

Kuman Mycobacterium Tuberculosis pada penderita TB paru dapat terlihat langsung dengan mikroskop pada sedian dahaknya (BTA positif) dan sangat infeksius. Sedangkan penderita yang kumannya tidak dapat dilihat langsung dengan mikroskop pada sedian dahaknya (BTA negatif) dan sangat kurang menular. Penderita TB BTA positif mengeluarkan kuman-kuman di udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada saat bersin atau batuk. Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhisap orang lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru orang yang menghirupnya, kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadi infeksi. Orang yang serumah dengan penderita TB BTA positif adalah orang yang besar kemungkinannya terpapar kuman Tuberkulosis (Notoatmodjo, 2007).

2. Kuman Tuberkulosis

Kuman penyebab Tuberkulosis ini berbentuk batang ramping lurus atau sedikit bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Koloninya yang kering dengan permukaan berbentuk bunga kol dan berwarna kuning tumbuh secara lambat walaupun dalam kondisi normal. Diketahui bahwa pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 6,8 sampai dengan 8,0. Untuk memelihara virulensinya harus dipertahankan kondisi pertumbuhannya pada pH 6,8. Sedangkan untuk merangsang pertumbuhannya dibutuhkan karbondioksida dengan kadar 5-10%. Umumnya koloni baru Nampak setelah kultur berumur 14-28 hari, tetapi biasanya harus ditunggu sampai berumur 8 minggu.

Mycobacterium Tuberculosis memproduksi katalase, tetapi ia akan berhenti memproduksi bila dipanaskan pada suhu 65oC selama 20 menit dalam kadar fosfat. Mycobacterium Tuberkulosis yang resisten terhadap obat anti Tuberkulosis INH, tidak memproduksi katalase. Kuman ini tahan asam pada pewarnaan dan berukuran kira-kira 0,5-4 mikron x 0,3-0,6 mikron (Misnadiarly, 2006).

3. Gejala dan Tanda Penyakit Tuberkulosis

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Depkes RI, 2008).4. Penularan penyakit Tuberkulosis

Kebanyakan penularan penyakit Tuberkulosis ini melalui inhalasi kuman Tuberkulosis yang terdapat di udara. Pada perjalanannya kuman ini banyak mengalami hambatan antara lain di hidung (terhambat oleh bulu hidung) dan lapisan lendir yang melapisi seluruh saluran pernafasan dari atas sampai ke kantong alveoli.

Bila penderita baru pertama kali ketular kuman Tuberkulosis ini, terjadilah suatu proses dalam tubuhnya (paru-paru) yang disebut Primary Complex of Tuberkulosis (PCT). PCT ini terdiri dari fokus di paru-paru dimana terjadi eksudasi dari sel karena proses dimakannya kuman Tuberkulosis oleh sel macropag.

Lesi dapat terjadi pada kelenjar getah bening, yang disebabkan karena lepasnya kuman pada saluran lymphe. Proses pemusnahan kuman TB oleh macropag ini akhirnya akan menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman Tuberkulosis.

PCT dapat terjadi pada semua umur. Di negara dimana prevalensi TB tinggi kebanyakan anak-anak sudah terinfeksi oleh penyakit Tuberkulosis pada tahun-tahun pertama dari kehidupannya. Namun yang kemudian menjadi penyakit TBC sedikit saja.

Selanjutnya ada 2 kemungkinan yang terjadi menyusul pembentukan PCT ini, yaitu:

a. Dapat sembuh dengan sendirinya karena adanya proses penutupan fokus primer oleh kapsul membran yang akhirnya akan terjadi perkapuran.

b. Beberapa kuman akan ikut terlepas ke dalam pembuluh darah dan dapat berkembang menginfeksi organ-organ yang terkena. Infeksi yang demikian disebut Post Primary Tuberkulosis (PTT). PTT ini akan dapat berupa: Infeksi pada paru-paru, larynx dan telinga tengah, kelenjar getah bening dileher, saluran pencernaan dan lubang dubur, saluran kemih, tulang dan sendi. Kontak serumah dengan penderita TBC merupakan salah satu faktor risiko terjadinya TBC. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontak erat dengan penderita TBC BTA positif mempunyai risiko maksimum untuk infeksi.

Berdasarkan penelitian Salehuddin, 2002 di Kabupaten Maros, responden pada penderita yang memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita TBC sebanyak 69,2% dan yang tidak memiliki riwayat kontak serumah dengan penderita TBC sebanyak 30,8%.5. Penemuan penderita penyakit Tuberkulosis

Tujuan penemuan kasus adalah untuk menentukan sumber infeksi dalam masyarakat yang berarti mencari orang yang mengeluarkan basis Tuberkulosis untuk diobati. Penemuan penderita pada orang dewasa dilaksakan secara pasif, artinya penyaringan penderita tersangka TB Paru yang dilaksakan pada mereka yang datang ke unit pelayanan kesehatan, ini sangat dipengaruhi oleh faktor individu penderita untuk berkunjung ke pelayanan kesehatan. Kegiatan ini harus didukung oleh penyuluhan secara aktif baik oleh petugas kesehatan maupun oleh masyarakat untuk meningkatkan cakupan penemuan, cara ini disebut passive promotive case finding. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut. Penemuan penderita pada anak sebagian besar didasarkan pada gambaran klinis, foto rontgen dan uji tuberculin (Depkes, RI 2002)6. Penegakan Diagnosa

Untuk menegakkan diagnosis penyakit Tuberkulosis dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan BTA positif. Pemeriksaan lain yang dilakukan yaitu dengan pemeriksaan kultur bakteri, namun biayanya mahal dan hasilnya lama.Metode pemeriksaan dahak (bukan liur) sewaktu, pagi, sewaktu (SPS) dengan pemeriksaan mikroskopis membutuhkan 5 ml dahak dan biasanya menggunakan pewarnaan panas dengan metode Ziehl neelsen (ZN) atau pewarnaan dingin Kinyoun-Gabbet menurut Tan Thiam Hok. Bila dari dua kali pemeriksaan didapatkan hasil BTA positif, maka pasien tersebut dinyatakan positif mengidap Tuberkulosis paru (Widoyono, 2008).

Pembacaan hasil pemeriksaan sediaan dahak dilakukan dengan menggunakan skala IUATLD sebagai berikut :

a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif.

b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan.

c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut + atau (1+).

d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ atau (2+), minimal dibaca 50 lapang pandang.

e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ atau (3+), minimal dibaca 20 lapang pandang.

Bila ditemukan 1 3 BTA dalam 100 lapang pandang, pemeriksaan harus diulangi dengan spesimen dahak yang baru. Bila hasilnya tetap 1 3 BTA, hasilnya diloporkan negatif. Bila ditemukan 4 9 BTA dilaporkan positif (Depkes RI, 2002).

B. Tinjauan Umum tentang Perumahan

Pengertian sehat menurut WHO adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial bukan hanya keadaan yang bebas dari penyakit atau kelemahan (Irianto, 2004).Pengertian perumahan merupakan kelompok rumah yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian dan sarana pembinaan keluarga yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan. Sedangkan pemukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup baik kawasan perkotaan maupun pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang mendukung perikehidupan. Untuk menciptakan satuan lingkungan pemukiman diperlukan kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang memenuhi kesehatan (Mukono, 2000).Didalam membangun dan menjaga kebersihan rumah harus memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut :

1. Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

a. Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah, suhu ruangan ini tergantung pada :

1) Suhu udara luar,

2) Pergerakan udara,

3) Kelembaban Udara, dan

4) Suhu benda di sekitarnya.

Pada rumah-rumah modern, suhu ruangan ini dapat diatur dengan air conditioner.

b. Harus cukup mendapat penerangan

Harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun malam hari. Yang ideal adalah penerangan listrik. Diusahakan agar ruangan mendapat sinar matahari terutama pagi hari.

c. Harus cukup mendapat pertukaran hawa (ventilasi)

Pertukaran hawa yang cukup menyebabkan hawa ruangan tetap segar (cukup mengandung oksigen). Untuk ini rumah harus cukup mempunyai jendela. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas bila jendela dibuka.

d. Harus cukup mempunyai isolasi suara

Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara yang berasal dari luar maupun dari dalam. Sebaiknya rumah jauh dari sumber suara yang gaduh misalnya : pabrik, lapangan terbang dan sebagainya.

2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi

a. Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan (estetis) sehingga rumah tersebut menjadi pusat kesenangan rumah tangga yang sehat.

b. Adanya jaminan kebebasan yang cukup, bagi setiap anggota keluarga yang tinggal dirumah tersebut.

c. Untuk tiap anggota keluarga, terutama yang mendekati dewasa harus mempunyai ruangan sendiri sehingga rahasia pribadinya tidak terganggu.

d. Harus ada ruangan untuk menjalankan kehidupan keluarga dimana semua anggota keluarga dapat berkumpul.

e. Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, jadi harus ada ruang untuk menerima tamu.

3. Menghindari Terjadinya Kecelakaan

a. Konstruksi rumah dan bahan bangunan harus kuat sehingga tidak mudah ambruk.

b. Sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kolam dan tempat lain terutama untuk anak-anak

c. Diusahakan agar tidak mudah terbakar

d. Adanya alat pemadam kebakaran terutama yang mempergunakan gas.4. Menghindari Terjadinya Penyakit

a. Adanya sumber air yang sehat, cukup kualitas maupun kuantitasnya

b. Harus ada tempat pembuangan kotoran, sampah dan air limbah yang baik.

c. Harus dapat mencegah perkembangbiakan vector penyakit seperti : nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya.

d. Harus cukup luas.(Irianto, 2004).Rumah sehat memiliki :

1. Persyaratan rumah : pondasi, dinding, atap, langit-langit, jendela dan pintu serta lantai.

2. Penataan bangunan rumah : perencanaan ruang dan konstruksi bangunan rumah.3. Fasilitas kelengkapan bangunan rumah : air bersih, air kotor dan kotoran, pencahayaan / penerangan, penghawaan / ventilasi serta sampah.4. Tertib membangun : merawat rumah dan pekarangan serta mematuhi aturan dan peraturan .

Persyaratan rumah sehat dapat ditinjau dari :

1. Aspek teknis (konstruksi bangunan kokoh dan tahan lama)2. Aspek fisiologis (penghawaan dan penerangan cukup, luas bangunan memadai dan perencanaan ruang efisien)3. Aspek psikologi (kondisi lingkungan aman dan nyaman, lokasi tidak jauh dari tempat kerja dan fasilitas lainnya)4. Aspek kesehatan (dilengkapi dengan fasilitas sanitasi dan air bersih)

5. Aspek administrasi (memiliki surat-surat dan izin mendirikan bangunan)6. Aspek hukum (memiliki sertifikat)

Berdasarkan persyaratan tersebut diatas, maka setiap keluarga yang menempati rumah sehat akan merasa aman, nyaman dan sehat (Departemen Permukiman dan prasarana wilayah, 2004).Jenis rumah berdasarkan konstruksinya, kriteria rumah terbagi atas:

1. Rumah permanen : rumah yang sudah dikonstruksi dengan pondasi, berdinding tembok batu bata atau batako, beratap genteng dan lantainya diplester atau dikeramik.

2. Rumah semi permanan : rumah yang sudah dikonstruksi dengan pondasi, berdinding setengah tembok, setengah bambu atau kayu, dilengkapi atap genteng serta lantainya diplester atau dikeramik.

3. Rumah non permanen : rumah tanpa pondasi, berdinding bambu atau kayu dan atap genteng ataupun selain genteng.

C. Tinjauan Umum Tentang Kepadatan Penghuni

Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 10 m/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 3 m/orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit Tuberkulosis sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya. Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni adalah 10 m/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni adalah < 10 m/orang (Lubis, 1989). Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas lantai bangunan tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan luas penghuninya akan menyebabkan perjubelan (Overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab di samping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat menyediakan 2,5-3 m2 untuk setiap orang (tiap anggota keluarga) (Notoatmodjo, 2007).Kepadatan penghuni akan menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan baik fisik dan mental. Penyebaran penyakit menular pada rumah dengan kepadatan tinggi akan cepat terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa pada ruangan yang padat, penyebaran penyakit menular terutama pada saluran pernafasan mempercepat terjadinya penyakit tersebut.Rumah tinggal dinyatakan padat, bila jumlah penghuni menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

1. Dua individu dari jenis yang berbeda dan berumur diatas sepuluh tahun dan tidak berstatus sebagai suami istri, tidur dalam satu kamar.2. Jumlah orang dalam rumah dibandingkan dengan luas melebihi ketentuan yang telah ditetapkan.

(Suharmadi, 1994)Luas rumah ditentukan oleh jumlah penghuninya, jumlah perabotan (barang-barang yang dimilikinya) dan jumlah pintu serta jendela, sebagai contoh : untuk 1 kepala keluarga yang menghuni rumah dengan luas rumah 50 m2, dapat dibagi dalam tiap-tiap ruangan sebagai berikut :

1. 1 kamar makan dan kamar duduk seluas 9,00 m2 (3x3m2)2. Kamar tidur terdiri dari 2 ruangan, tiap ruangan seluas 9,00 m2 (3x3m2). Jarak kamar tidur minimal 90 cm untuk menjamin keleluasan bergerak, bernafas dan untuk memudahkan membersihkan lantai. Ukuran ruang tidur anak yang berumur 5 tahun sebanyak 4 m3 dan yang berumur lebih dari 5 tahun adalah 9 m3, artinya dalam 1 ruangan anak yang berumur 5 tahun kebawah diberi kebebasan menggunakan volume ruangan 4 m3 (1 x 1 x 3 m3) dan diatas 5 tahun menggunakan volume ruangan 9 m3 (3 x 1 x 3 m3).

3. Dapur merupakan kegiatan pokok bagi rumah tangga, terutama ibu-ibu. Maka dapur hendaknya dibuat, sedemikian rupa sehingga akan mendapat penyegaran udara yang cukup serta mudah mengadakan pembersihan. Agar penerangan alam harus cukup, maka letak dapur agar disebelah timur dari rumah dan untuk mempercepat pergantian udara maka diusahakan ventilasi yang cukup dan mengarah pada angin. Perlu diperhatikan juga asap yang dikeluarkan dari tungku atau kompor tidak dapat masuk kedalam rumah, diatap dibuat lubang sehingga akan langsung keluar, namun bila perlu dibuatkan cerobong asap sampai diatas atap/genteng minimum 30 cm. Rata-rata luas dapur lebih kurang 8,00 m2.

4. Luas kamar mandi dan wc dalam suatu kesatuan 4,00 m2 (2x2 m2).

5. Serambi muka atau dipergunakan juga untuk kamar tamu seluas 3,00 m2 (2x1,50 m2).

6. Selain luas ruangan perlu diperhatikan pula luas jendela dan ventilasi sebagai berikut :

1) Luas jendela 4% dari luas lantai tiap ruangan secara keseluruhan

2) Luas ventilasi 20% dari luas jendela dari tiap jendela. Jendela dan ventilasi tersebut untuk memenuhi kebutuhan udara dalam ruangan (menentukan sirkulasi udara dalam ruangan). Sebagai pedoman dasar kebutuhan udara bersih.a) Kebutuhan udara bersih dalam rumah lebih kurang tiap penghuni 27 m3.b) Kebutuhan pergantian udara 0,80 m3 per menit per orang, (0,80 m3/menit/orang).

(Suharmadi, 1985)D. Tinjauan Umum Tentang Ventilasi (Penghawaan)

Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1989).Umumnya di daerah tropis lebih banyak angin, terutama didaerah pantai. Biasanya udara di dalam rumah lebih sejuk dari pada diluar rumah (bagi yang mengatur ventilasinya dengan baik) dan juga tergantung dari bahan dinding atau atapnya (bahan dari seng akan memanaskan pada siang hari dan dingin pada malam hari).Keluar masuknya udara dalam ruangan dan lantai tergantung dari derajat kelembaban dari bahan apa yang melapisi dinding dan lantai.

a. Plester mengurangi masuknya udara sampai 25 %

b. Cat mengurangi masuknya udara sampai 30 %

c. Permadani mengurangi masuknya udara sampai 30 %d. Cat minyak mengurangi masuknya udara sampai 100 %

(Suharmadi, 1989)Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya O2 dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya akan meningkat. Di samping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).

Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap dalam kelembaban (humudity) yang optimum.Ada dua macam ventilasi, yakni :

1. Ventilasi alamiah, dimana aliran udara dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding dan sebagainya. Di pihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut.2. Ventilasi buatan, yakni dengan mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya kipas angin dan mesin pengisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak cocok dengan kondisi rumah di pedesaan.

(Notoatmodjo, 2007).

Buakaan untuk ventilasi disesuaikan dengan luas ruangan, luas bukaan ventilasi 1 m2 atau minimal 5 % dari luas lantai. Bukaan ventilasi dapat berupa pintu dan jendela yang dapat dibuka dan ditutup, serta jalusi dan lubang angin. Untuk ventilasi silang dibuat dua bukaan pada dinding yang berhadapan. Bukaan ventilasi yang paling baik searah dengan arah tiupan angin.Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat lainnya, diantaranya :

1. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5 %. Jumlah keduanya menjadi 10 % kali luas lantai ruangan. Ukuran luas ini diatur sedemikian rupa sehingga udara yang masuk tidak terlalu deras dan tidak terlalu sedikit.

2. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap dari sampah atau dari pabrik, dari knalpot kendaraan, debu dan lain-lain.3. Aliran udara jangan menyebabkan seseorang menjadi masuk angin. Untuk ini jangan menempatkan tempat tidur/tempat duduk persis pada aliran udara, misalnya didepan jendela pintu.4. Aliran udara diusahakan CROSS VENTILATION dengan menempatkan lubang hawa berhadapan antara 2 dinding ruangan. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barang-barang besar misalnya almari, dinding sekat dan lain-lain. Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antaraluas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Rolemeter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah.5. Kelembaban udara dijaga jangan sampai terlalu tinggi (menyebabkan orang berkeringat) dan jangan terlalu rendah (menyebabkan kulit kering, bibir pecah-pecah dan hidung berdarah).

(Jati Patria, 2009)E. Tinjauan Umum Tentang Pencahayaan

Cahaya yang cukup untuk penerangan ruang di dalam rumah merupakan kebutuhan kesehatan manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan pengaturan cahaya buatan dan cahaya alam.

1. Pencahayaan alam.

Pencahayaan alam diperoleh dengan masuknya sinar matahari kedalam ruangan melalui jendela, celah-celah dan bagian-bagian bangunan yang terbuka.

Sinar ini sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar yang tinggi. Cahaya matahari ini berguna selain untuk penerangan juga dapat mengurangi kelembaban ruang, mengusir nyamuk, membunuh kuman-kuman penyebab penyakit tertentu seperti TBC, Influenza, penyakit mata dan lain-lain (Suharmadi, 1989).Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatangnya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca (Notoatmodjo, 2007).Kebutuhan standar cahaya alam yang memenuhi syarat kesehatan untuk berbagai keperluan menurut WHO adalah sebagai berikut :

Standar Minimum Pencahayaan dalam rumah (lux).

Macam ruang :

a. Kamar keluarga dan kamar tidur : 60 120 lux

b. Kantor administrasi : 60 120 lux

c. Pabrik

1) Kerja Kasar : 120 250 lux

2) Kerja halus : 600 1000 lux

d. Hotel : 120 250 lux

e. Sekolah : 120 250 lux

Pemenuhan kebutuhan kebutuhan cahaya untuk penerangan alami sangat ditentukan oleh letak dan lebar jendela. Untuk memperoleh jumlah cahaya matahari pada pagi hari secara optimal sebaiknya jendela kamar tidur menghadap ke timur. Luas jendela yang baik paling sedikit mempunyai luas 10 20 % dari luas lantai.

Apabila luas jendela melebihi 20 % dapat menimbulkan kesilauan dan panas, sedangkan sebaliknya kalau terlalu kecil dapat menimbulkan suasana gelap dan pengap.

2. Pencahayaan buatan.

Untuk penerangan pada rumah tinggal dapat diatur dengan memilih sistem penerangan yang telah dijelaskan diatas dengan suatu pertimbangan hendaknya penerangan tersebut dapat menumbuhkan suasana rumah yang lebih menyenangkan. Lampu Flouresen (neon) sebagai sumber cahaya dapat memenuhi kebutuhan penerangan karena pada kuat penerangan yang relatif rendah mampu menghasilkan cahaya yang baik bila dibandingkan penggunaan lampu pijar. Namun demikian bila ingin mempergunakan lampu pijar sebaiknya dipilih yang berwarna putih dengan dikombinasikan beberapa lampu neon. Kuat sinar yang memenuhi kebutuhan standar penerangan berkisar 50-100 lux. Hanya untuk bagian-bagian tertentu seperti dapur memerlukan 200 lux, sedangkan kamar tidur, kamar mandi, ruang makan dan ruang belajar diatur berkisar 100 lux.

(Suharmadi, 1989)Penerangan dapat dilakukan dengan cara alami ialah dengan cahaya matahari baik secara langsung bila waktu pagi hari ataupun tidak langsung bila malam hari, maka perlu pula adanya penerangan buatan. Cahaya buatan diuraikan berikut :

1. Kamar kerja adalah kamar yang sangat memerlukan penerangan yang lebih banyak dibandingkan ruangan-ruangan yang lain. Untuk ruang kerja sekurang-kurangnya 50 lux harus diberikan.

2. Untuk ruangan makan, tidur dan lain-lainnya dapat diberikan sekurang-kurangnya 10 lux (Suharmadi, 1985).Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau > 300 lux dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux (Suharmadi, 1989).Kuman Tuberkulosis hanya dapat mati oleh sinar matahari langsung. Oleh sebab itu, rumah dengan standar pencahayaan yang buruk sangat berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis. Kuman Tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya dan mati bila terkena sinar matahari, sabun, lisol, karbol dan panas api. Kuman Mycobacterium Tuberculosis akan mati dalam waktu 2 jam oleh sinar matahari, oleh tinctura iodii selama 5 menit dan juga oleh ethanol 80% dalam waktu 2-10 menit serta mati oleh fenol 5% dalam waktu 24 jam. Rumah yang tidak masuk sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang dimasuki sinar matahari (Depkes RI, 2002).

F. Tinjauan Umum Tentang Suhu

Rumah atau bangunan yang sehat haruslah mempunyai suhu yang diatur sedemikian rupa sehingga suhu badan dapat dipertahankan. Suhu didalam ruangan harus dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga tubuh tidak terlalu banyak kehilangan panas atau sebaliknya tubuh tidak sampai kepanasan. Prinsip pengaturan suhu dalam ruangan adalah mendinginkan udara jika udara disekitarnya terlalu panas. Faktor suhu ini dilengkapi dengan keadaan faktor kelembaban serta aliran udara yang terjadi dalam ruangan tersebut agar terdapat suhu yang tepat dengan kelembaban dan aliran udara dalam ruangan. Menurut Azrul Azwar untuk membuat suhu ruangan sesuai dengan yang dikehendaki, maka ada beberapa cara yang dapat dilakukan yakni :

1. Mendinginkan atau memanaskan udara.

2. Melakukan penukaran udara.

3. Memasang penyekat suhu pada ruangan.

Tubuh manusia mengadakan penyesuaian terhadap temperatur udara dalam ruangan. Pada suhu ruangan yang tinggi, pembuluh-pembuluh kapiler akan melebar untuk melepaskan panas. Proses ini dibantu oleh proses penguapan keringat dari kulit. Sedangkan pada suhu yang rendah terjadi sebaliknya dimana pembuluh-pembuluh dikulit menyempit. Bila suhu ruangan terlalu tinggi dan dalam ruangan banyak mengandung uap air, maka proses mekanisme pendinginan tubuh tidak dapat bekerja efisien karena proses penguapan keringat terhalang sehingga timbul perasaan tidak enak.

Standar suhu nyaman yang dibutuhkan manusia, Mc. Null menganjurkan bahwa temperatur yang optimal didalam rumah adalah 73 77oF (23 25oC), kelembaban antara 20 60%. Joseph Lubart menganjurkan batas antara 68oF dengan kelembaban relatif 50% sampai pada temperatur 70 oF dengan kelembaban 10%. Sedangkan menurut ASHREA (American Society Of Heating Refrigerating and Air Conditioning Engineering) menetapkan temperatur 77,0oF dengan variasi lebih kurang 1,21oF dan kelembaban dibawah 70oF dan Sujono menganjurkan temperatur kamar dari 22 30C dianggap segar dengan kelembaban udara optimum 60% (Azwar, 1990).Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi: 1). Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 C 34 C; 2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20 C 25 C. Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20 C 25 C, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 C atau > 25 C. Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya (Suharmadi, 1989).Bakteri Mycobacterium Tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium Tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang > dari 25 C 40 C, tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31 C 37 C (Suharmadi, 1989).G. Tinjauan Umum tentang Kelembaban Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 1989). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 %.Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membrane mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Suharmadi, 1989).Bakteri Mycobacterium Tuberculosis seperti halnya bakteri lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Selain itu menurut Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk bakteri TuberkulosisH. Prosedur Pengukuran Rumah

1. Mengukur kepadatan penghuni

a. Alat dan bahan

1) Rolemeter

2) Alat tulis

3) Kalkulatorb. Cara kerja

1) Menyiapkan rolemeter.

2) Mengukur luas lantai rumah3) Catat hasil pengukuran.4) Kemudian luas rumah dibagi dengan jumlah penghuni dirumah tersebut.2. Mengukur ventilasi dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)a. Alat dan bahan

1) Rolemeter

2) Alat tulis3) Kalkulatorb. Cara kerja

1) Menyiapkan rolemeter.2) Menentukan titik pengukuran.3) Mengukur luas ventilasi

4) Catat hasil pengukuran.5) Kemudian dihitung apabila 10% dari luas lantai ruangan maka memenuhi syarat.3. Mengukur pencahayaan dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)a. Alat dan bahan

1) Luxmeter2) Alat tulis

3) Kalkulator

4) Tempat/ruangan yang akan diukur pencahayaannyab. Cara kerja

1) Pengukuran dilakukan pada siang hari2) Kalibrasikan alat sehingga pada saat mengukur alat sudah terkalibrasikan.

3) Menentukan titik pengukuran.4) Tinggi alat dari bagian atas permukaan lantai 0,8 m/8,5 cm.

5) Jarak antara pengukur dengan alat 60-90 cm6) Catat hasil pengukuran yang tertera pada alat..4. Mengukur suhu dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)a. Alat dan bahan1) Termometer ruangan

2) Alat tulis

b. Cara kerja

1) Pengukuran dilakukan pada siang hari

2) Kalibrasikan alat sehingga pada saat mengukur alat sudah terkalibrasikan.3) Menentukan titik pengukuran.4) kemudian dipaparkan selama 15 menit di titik yang sudah ditentukan.

5) Catat hasil pengukuran yang tertera pada alat.5. Mengukur kelembaban dirumah (ruang tamu, kamar tidur dan dapur)a. Alat dan bahan

1) Hygrometer

2) Air

3) Tabelb. Cara kerja

1) Pengukuran dilakukan pada siang hari

2) Basahi sumbu yang ada pada alat Hygrometer

3) Setelah dibasahi, kemudian dipaparkan selama 15 menit di titik yang sudah ditentukan.

4) Lalu bacalah angka yang tertera dialat tersebut

5) Mencatat hasilnya

6) Kemudian hasil yang didapat, dibaca di dalam tabel

7) Cocokkan pada standar apakah sudah memenuhi standar kelembaban rumah atau belum.(Suharmadi, 1985).I. Kerangka Teori

Adapun kerangka teori dalam penelitian ini adalah model segitiga Epidemiologi (the epidemiologic triangle) sebagai berikut: Gambar 2.1Kerangka Teori Penelitian

berdasarkan Segitiga Epidemiologi

Induk semang (Host)

Penyebab penyakitLingkungan

(Agent)(Environment)

Sumber : (Soekidjo, 2003)

Penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif adalah penyakit menular yang ditandai dengan adanya (hadirnya) agen atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif dapat menular dari orang satu kepada orang yang lain, ditentukan oleh 3 faktor tersebut dibawah, yakni :

a. Agent (penyebab penyakit)

Agent atau penyebab penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif adalah kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis) yaitu sejenis kuman yang berbentuk batang, gram positif tahan asam dan pada pemeriksaan mikroskospik akan tampak berwarna merah. Kuman TBC ini dapat hidup pada daerah yang lembab namun tidak tahan pada sinar matahari langsung.b. Host (Induk semang) Kuman TBC dapat menyerang kesemua jenis umur, mulai dari anak-anak, remaja maupun dewasa tergantung bagaimana daya tahan tubuh seseorang pada saat terpapar dengan kuman TBC. Terinfeksinya penyakit Tuberkulosis Paru BTA positif pada seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor yang ada pada induk semang itu sendiri.

Semakin rentan daya tahan tubuh seseorang maka semakin mudah kuman TBC tersebut masuk dan menyerang organ tubuh terutama paru-paru dan menjadikan orang tersebut mengidap penyakit TBC Paru. Dengan perkataan lain penyakit-penyakit dapat terjadi pada seseorang tergantung atau ditentukan oleh kekebalan atau resistensi orang yang bersangkutan. Faktor yang mempengaruhi kekebalan atau resisten pada penyakit Tuberkulosis adalah usia dimana menurut WHO pada tahun 1995 sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif (15-49 tahun), TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru, Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit.Di benua Afrika banyak Tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan resiko untuk mendapatkan Kanker Paru-paru, penyakit Jantung Koroner, Bronchitis Kronik dan Kanker Kandung Kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan. Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.Tingkat pendidikan seseorang juga mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis pekerjaannya.Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap penyakit. Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.c. Environment (lingkungan)

Penyakit TBC dapat menular pada semua daerah, terutama pada daerah-daerah kumuh, kotor dan lembab, dimana kuman TBC mudah berkembang biak. Penduduk dengan prilaku atau gaya hidup yang kurang sehat akan memudahkan kuman TBC berkembang biak, misalnya saja orang yang sering batuk dengan tidak menutup mulut.Kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis) pada umumnya hidup di reservoir dan lingkungan. Kuman ini terdapat dalam butir-butir percikan dahak yang disebut droplet nuclei dan melayang di udara untuk waktu yang lama sampai terhisap oleh orang atau mati dengan sendirinya kena sinar matahari langsung. Kuman Tuberkulosis dapat hidup selama 1 2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah. (clubpenakita,2009).BAB III

METODE PENELITIANA. Jenis Penelitian

Jenis metode penelitian yang digunakan adalah penelitian Survei Analitik dengan pendekatan Deskriptif.B. Lokasi dan Waktu PenelitianTempat penelitian yang akan dilakukan adalah di rumah penderita Tuberkulosis Paru BTA positif, yang terdaftar pada buku register TBC Paru di Puskesmas Wonorejo tahun 2008 dan rumah tetangga penderita Tuberkulosis Paru BTA positif yang tidak menderita TBC. Waktu penelitian dilakukan pada pertengahan bulan November 2013. C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien yang positif TB dan tetangganya di wilayah Landungsarigang 19A dan 20B..2. Sampel

Kasus: Semua penderita TB Paru BTA positif dan tetangga yang berdekatan.Dengan kriteria Inklusi sebagai berikut :

1) Berdomisili diwilayah kerja Puskesmas Noyontaan

2) Menurut diagnosis petugas medis dinyatakan menderita TB paru BTA positif.

3) Telah menempati rumah tersebut selama lebih dari 1 tahun

4) Rumah yang ditempati adalah rumah sendiri/bukan kos

5) Merupakan tetangga yang berdekatan rumah dengan penderita TB Paru BTA positif.

6) Jenis rumah berdasarkan konstruksinya (rumah permanen, semi permanen, non permanen) sama dengan penderita TB Paru BTA positif (kelompok kasus).Berdasarkan kriteria inklusi diatas maka besarnya sampel kasus dalam penelitian ini adalah sebanyak ....... penderita TB Paru BTA positif.D. Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :Gambar 3.1

Kerangka Konsep Penelitian

E. Variabel Penelitian1. Variabel Bebas Variabel penelitian bebas atau yang mempengaruhi adalah kepadatan Penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban rumah.2. Variabel Terikat

Adalah kejadian Tuberkulosis Paru BTA positif. F. Hipotesis PenelitianBerdasarkan landasan teori maka dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :1. Ada hubungan kepadatan penghuni terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja Puskesmas Noyontaan Kota Pekalongan tahun 2013.2. Ada hubungan ventilasi rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja Puskesmas Noyontaan Kota Pekalongan tahun 2013.3. Ada hubungan pencahayaan rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja Puskesmas Noyontaan Kota Pekalongan tahun 2013.4. Ada hubungan suhu rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja Puskesmas Noyontaan Kota Pekalongan tahun 2013.5. Ada hubungan kelembaban rumah terhadap kejadian Tuberkulosis paru BTA positif di Wilayah kerja Puskesmas Noyontaan Kota Pekalongan tahun 2013.

G. Definisi Operasional dan Kriteria ObjektifNoVariabelDefinisi OperasionalKriteria

1Kepadatan PenghuniPerbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah.Memenuhi syarat bila dari 10m2 per orang. Tidak memenuhi syarat bila < dari 10m2 per orang

2Ventilasi Tempat keluar masuknya udara dari luar rumah, berupa jendela dan pintu.Memenuhi syarat bila 10% dari luas lantai ruangan.

Tidak memenuhi syarat bila < 10% dari luas lantai ruangan

3Pencahayaan Penerangan didalam rumah yang bersumber dari sinar matahari pada siang hari.Memenuhi syarat bila 50-300 lux.

Tidak memenuhi syarat bila < 50 atau > 300 lux.

4Suhu Panas atau dinginnya udara di dalam rumah

yang diukur dalam satuan derajat.Memenuhi syarat bila 20oC-25oC. Tidak memenuhi syarat bila 25oC

5KelembabanBanyak nya kandungan uap air di udara dalam ruangan.Memenuhi syarat bila 40%-60%. Tidak memenuhi syarat bila 60%

H. Teknik pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan responden menggunakan daftar pertanyaan yang telah disusun serta pengamatan dan pengukuran langsung di lokasi penelitian dengan menggunakan lembar observasi.Jenis data yang diambil pada penelitian ini adalah sebagai berikut :1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil kuesioner yang diajukan langsung kepada responden yang terpilih (kasus dan kontrol) mengenai kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban. Serta menggunakan lembar observasi sebagai validasi jawaban.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh melalui laporan yang telah ada, yaitu dari Puskesmas Noyontaan. I. Jadwal Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2013.BAB IVHASIL DAN PEMBAHASANBAB VKESIMPULAN DAN SARAN

J. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

K. Saran

Dari hasil kesimpulan yang di kemukakan, maka ada beberapa hal yang dapat disarankan yaitu :

1. Bagi Masyarakat

a. Bagi masyarakat yang sebagian besar adalah pedagang haruslah lebih waspada ketika berbicara dengan pembeli karena dikhawatirkan ada diantara mereka yang menderita penyakit Tuberkulosis. Misalnya menjaga jarak bicara dengan pembeli sehingga tidak terkena percikan air liur mereka, sebaiknya di rumah atau tempat berjualan mempunyai ventilasi yang cukup yaitu 10% dari luas ruangan, ventilasi yang cukup dapat membebaskan udara dari bakteri bakteri patogen, karena disitu selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.

b. Lubang ventilasi yang terbuka sebaikanya tidak ditutup permanen dengan kayu atau kertas, serta terhalang oleh barang barang besar misalnya lemari. Memanfaatkan pencahayaan alamiah yang bersumber dari matahari pada siang hari misalnya sinar ini sebaiknya tidak terhalang oleh bangunan, pohon-pohon maupun tembok pagar yang tinggi.c. Letak jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding), maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Responden bisa menggunakan genting kaca atau genting transparan, Genteng kaca pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada waktu pembuatangnya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.d. Ada baiknya jika masyarakat bisa menanam pepohonan di sekitar rumah, agar udara menjadi sejuk. Namun jangan sampai pepohonan tersebut menutupi ventilasi di rumah. e. Jika udara didalam rumah sangat panas bisa menggunakan kipas angin atau pendingin udara serta mengatur kelembaban udara di dalam rumah dengan membuka ventilasi atau tempat keluar masuk udara. 2. Bagi Puskesmas

Menciptakan rumah sehat tidak selalu harus dengan materi yang banyak, rumah, rumah yang sederhana bisa dikatakan sehat apabila dapat memenuhi kebutuhan fisiologis (suhu dan kelembaban ruangan harus dijaga, cukup mendapat penerangan, cukup mendapat pertukaran hawa) dan memenuhi kebutuhan psikologi (merasa nyaman, tenang), menghindari terjadinya kecelakaan dan terjadinya Penyakit.

Namun masyarakat kurang mengerti dan memahami, selama ini bagaimana menciptakan rumah sehat. Maka sebaiknya kepada petugas kesehatan lebih meningkatkan pendidikan kesehatan kepada masyarakat mengenai rumah sehat. Menambah petugas kesehatan di bidang KESLING/PHBS agar lebih memaksimalkan survei rumah tangga secara rutin. Serta adanya konsultan KESLING/PHBS khususnya tentang menciptakan lingkungan rumah yang sehat.Faktor risiko +

Tentang kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban.

Kasus (Penderita TB Paru BTA positif)

Faktor risiko

Tentang kepadatan penghuni, ventilasi, pencahayaan, suhu dan kelembaban.