TUGAS MAKALAH - etrinaldi.files.wordpress.com  · Web viewPEMIKIRAN IBNU TAMIYAH. ... 1/79)....

34
TUGAS MAKALAH AL_ISLAM Oleh : Nama : Etrinaldi Valent Nim : 100 204 016 Dosen pengasuh : Drs. H. Qamaruzzaman khatab

Transcript of TUGAS MAKALAH - etrinaldi.files.wordpress.com  · Web viewPEMIKIRAN IBNU TAMIYAH. ... 1/79)....

TUGAS MAKALAH

AL_ISLAM

Oleh :

Nama : Etrinaldi Valent

Nim : 100 204 016

Dosen pengasuh :

Drs. H. Qamaruzzaman khatab

FAKULTAS MAMEMATIKA DaN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS MUMAMMADIYAH RIAU

( UMRI )

2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya maka

penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah al_Islam ini.

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk

menyelesaikan tugas dan ujian semester bidang studi al_Isalm di Fakultas M.I.P.A

Universitas Muhammasiyah Riau.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-

kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang

dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan

demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga, dosen bidang studi,

beserta teman-teman yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan makalah

yang sederhana ini.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah ini, dan

juga menjadi factor koreksi bagi penulis guna menyusun makalah-makalah yang akan

dating. Akhir kata penulis ucapkan syukur dan terima kasih, semoga bermanfaat. Amin.

Padang, Februari 2012

Penulis

DAFTAR ISI

KONSEP TAJDIH DALAM ISLAM

PEMIKIRAN IBNU TAMIYAH

PEMIKIRAN IBNU ABDUL WAHAB

PEMIKIRAN JAMALUDIN al AFGHANI

PERBEDAAN PEMIKIRAN MHD. ABDUL dengan RASYID RIDHO

KONSEP TAJDIH DALAM ISLAM

Sudah menjadi satu keniscayaan bahwa manusia tidak akan baik dan teratur

kehidupannya tanpa agama yang benar, sebab itulah timbangan yang benar dan ukuran

standar dalam mengenal kebenaran dan keadilan dalam seluruh urusannya. Oleh karena

itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah menyatakan kaidah penting

dalam kewajiban berpegang teguh (komitmen) kepada ajaran Rasul dan penjelasan bahwa

kebahagian dan petunjuk hanyalah pada ittiba’ Rasul shallallahu ‘alaihi wa

sallam. Sedangkan kesesatan dan kesengsaraan pada menyelisihinya. Seluruh kebaikan

yang ada, baik yang umum ataupun yang khusus bersumber dari sisi Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh keburukan di alam ini yang khusus

berhubungan dengan hamba disebabkan karena menyelisihi Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam atau ketidaktahuan terhadap ajaran beliau. (Lihat Majmu’ Al-Fatawa,

19/93).

Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menjelaskan kebutuhan hamba kepada para

rasul utusan Allah dalam ungkapan beliau, “Tidak ada jalan menggapai kebahagian dan

kesuksesan di dunia dan akhirat, kecuali ada di tangan mereka. Tidak ada juga cara

mengenal yang baik dan buruk secara terperinci kecuali dari sisi mereka. Demikian juga

tidak dapat diraih keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala sama sekali kecuali di tangan

mereka. Yang baik dari perilaku, perkataan dan akhlak hanyalah ada pada petunjuk dan

ajaran mereka. Merekalah timbangan yang pas untuk menimbang seluruh perkataan dan

perbuatan, serta akhlak manusia dengan perkataan dan perbuatan serta akhlak mereka.

Dengan mengikuti mereka terpisahlah orang yang mendapat petunjuk dengan yang sesat.

Kebutuhan mendesak kepada para rasul lebih besar dari pada kebutuhan badan kepada

ruhnya dan mata kepada cahayanya, serta ruh kepada kehidupannya. Semua kebutuhan

yang harus ditunaikan segera, maka kebutuhan mendesak kepada para rasul di atas itu

semua.” (Lihat Zaad Al-Ma’ad, 1/79).

Beliaupun menambahkan, “Apabila kebahagian hamba di dunia dan akhirat

bergantung kepada petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka wajib pada setiap

orang yang ingin kebaikan untuk dirinya dan ingin kesuksesan dan kebahagian untuk

mengetahui ajaran, sejarah hidup dan semua urusan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam

yang dapat mengeluarkannya dari lingkungan orang-orang bodoh dan memasukkannya

ke dalam hitungan pengikut, pendukung dan golongan beliau shallallahu ‘alaihi wa

sallam.” (Lihat Zaad Al-Ma’ad, 1/79).

Dengan demikian, agama yang benar sangat dibutuhkan dalam memperbaiki

manusia di dunia dan akhiratnya. Sebagaimana tidak ada kebahagian seseorang di akhirat

kecuali dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga tidak akan baik

dalam dunia dan kehidupannya kecuali dengan mengikuti ajaran agama yang benar.

Seluruh manusia sangat membutuhkan ajaran agama dalam seluruh keadaannya, karena

manusia memiliki dua gerakan; gerakan untuk mendapatkan kemanfaatan dan gerakan

untuk menolak dan mencegah ke-mudharat-an. Agama inilah yang menjadi cahaya yang

menjelaskan kemanfaatan dan ke-mudharat-an (Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 19/99).

Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wa sallam sebagai penutup para nabi dan rasul membawa ajaran Islam yang universal

kepada seluruh umat manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

�له إ آل واألرض� ماوات� الس ملك له ذ�ي ال جم�يعا �ليكم إ الله� رسول ي �ن إ اس الن ها ياأي قلكم لعل �عوه ب وات �ه� �مات وكل �الله� ب يؤم�ن ذ�ي ال األمي �ي ب الن �ه� ورسول �الله� ب فئام�نوا ويم�يت يحي� هو �ال إ

تهتدون

“Katakanlah, ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu

semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang

berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah

kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang Ummi yang beriman kepada Allah dan

kepada kalimAt-kalimAt-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat

petunjuk’”. (QS. Al-A’raf: 158).

Di samping itu juga menjaga agama ini dengan menjaga Al-Qur`an dan Sunnah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari seluruh upaya pengurangan dan

penambahan. Sehingga, Islam akan menjadi ajaran yang terjaga dan kekal sampai hari

kiamat nanti.

Ke-bid’ah-an Semarak

Tidak dipungkiri lagi Islam terjaga, namun terkadang pengamalan Islam itu

melemah dan terjadi pengurangan dan pertambahan yang dimasukkan ke dalam ajaran

yang mulia ini. Karena itu, nampak bermunculan ke-bid’ah-an dan perkara yang

menyelisihi syariat, serta hilangnya beberapa sunnah dengan sebab itu. Kerena lemahnya

pengamalan atau bahkan hilangnya pengamalan ajaran Islam pada sebagian besar kaum

muslimin, maka umat Islam membutuhkan orang yang memperbarui agama ini dengan

mengembalikannya kepada keaslian dan kemurnian ajaran suci ini. Lalu Allah

Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pemurah dan Penyayang memberikan anugerah-Nya

kepada umat ini dengan dimunculkannya para mujaddid yang mengikuti jejak langkah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar menghidupkan kembali ajaran Islam dan

mematikan ke-bid’ah-an, serta mengembalikan umat ini untuk komitmen terhadap ajaran

agamanya yang benar.

Tajdid Satu Istilah Syar’i

Istilah At-Tajdid adalah istilah syar’i yang bersumber kepada hadits Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,

د�ينها لها يجدد من سنة م�ائة� كل رأس� على األمة� �هذ�ه� ل يبعث ه الل �ن إ

“Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus untuk umat ini setiap awal

seratus tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Daud no. 3740 dan dinilai

shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shahihah, no. 599).

Istilah ini berasal dari bahasa Arab dari kata (جدد) dan (جد�يد). Kata Al-Jadid

banyak digunakan dalam Alquran dan As-Sunnah atau dalam penggunaan para ulama.

Bila kita melihat pengertian etimologi bahasa Arab tentang kata “At-Tajdid” dan kata

turunannya ternyata kembali kepada pengertian menghidupkan (حياء� ,(اإل membangkitkan

dan (البعث) mengembalikan (عادة� Sehingga ada tiga unsur makna yang terkandung .(اإل

dalam kata tersebut yaitu keberadaan sesuatu ( �ية كون kemudian hancur atau hilang (وجود

( دروس أو (بلى kemudian dihidupkan dan dikembalikan ( اإلعادة أو �حياء .(اإل (Mafhum

Tajdid Ad-Dien, Bisthami Muhammad Sa’id, hal. 18).

Karena istilah ini bersumber kepada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa

sallam, maka hanya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sajalah yang dapat

menentukan pengertian yang benar terhadap istilah “At-Tajdid” dan ketentuan-

ketentuannya.

Kata “At-Tajdid” dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sama

dengan pengertian bahasa di atas yaitu menunjukkan pengertian kebangkitan,

menghidupkan dan mengembalikan. Hal ini dapat dilihat dalam hadits Abdullah bin

Amru bin Al-Ash radhiallahu ‘anhu yang berbunyi,

�يمان اإل يجدد أن الله فاسألوا ، وب الث يخلق كما أحد�كم جوف� ف�ي ليخلق �يمان اإل �ن إ�كم قلوب ف�ي

“Sesungguhnya iman akan rusak di hati salah seorang kalian sebagaimana

rusaknya baju, maka mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk

mengembalikan iman dalam kalbu kalian.”

Sebuah Pengertian yang Benar

Sebuah realita kalau pengertian istilah “At-Tajdid” banyak diperselisihkan orang

dan disimpangkan dari pengertian yang benar. Berapa banyak orang mendefinisikannya

dengan beragam definisi yang menyimpang dari islam. Padahal semua mengerti kalau

istilah ini bersumber dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga pasti

pengertian yang benar tentang istilah ini adalah yang dimaksudkan Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam dan disampaikan kepada para sahabat. Kemudian Sahabat telah

menyampaikannya kepada generasi setelahnya secara bersambung dan estafet. Oleh

karena orang yang berhak menjelaskan pengertian istilah syar’i ini adalah para ulama

salaf dari kalangan sahabat, tabiin dan tabiit tabiin serta para imam besar yang sudah

terkenal dan masyhur serta diterima kaum muslimin generasi demi generasi.

Berikut ini pernyataan mereka tentang pengertian istilah At-Tajdid secara global

(Semua pernyataan dalam masalah ini penulis nukilkan dari kitab Tajdid ad-Din, Mafhum

wa Dhawaabith wa Atsaarahu, Prof. DR. Muhammad bin Abdulaziz al-‘Ali secara

ringkas dari hlm. 40-49) :

1. Pengajaran agama dan menghidupkan sunnah-sunnah serta menolak kedustaan

atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hal ini dijelaskan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dalam pengertian

tajdid. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya Allah

membangkitkan untuk manusia dalam setiap seratus tahunnya orang yang mengajarkan

sunah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menolak dari Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam kedustaan.” (Lihat Taarikh al-Baghdadi, 2/62).

2. Memurnikan agama, membela akidah yang benar dan menjelaskan sunnah Nabi

shallallahu ‘alaihi wa sallam serta membela ahlinya dan menghancurkan ke-bid’ah-an.

Al-Munaawi rahimahullah ketika menjelaskan tentang tajdid dalam agama

menyatakan, “Maksudnya adalah menjelaskan sunnah dari bidah, memperbanyak ilmu,

membela ahli ilmu dan menghancurkan kebidahan dan merendahkannya.” (Lihat Faidh

Al-Qadir,2/281).

Oleh karena itu, imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menyatakan,

“Diriwayatkan dalam satu hadits bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutus setiap

seratus tahun orang yang memurnikan agamanya.” (Lihat Shofwat ash-Shofwah, 2/13).

3. Menghidupkan semua yang telah melemah dan menghilang dari ma’alim

(syiar) agama. Juga menghidupkan semua perkara sunnah yang telah hilang dan semua

ilmu akidah dan ibadah yang telah samar. Abu Sahli Ash-Shu’luuki (wafat tahun 369 H.)

pernah berkata tentang tajdid, “Allah telah mengembalikan agama ini setelah hilang

mayoritasnya dengan Ahmad bin Hambal.” (Lihat Tabyiin Kadzib al-Muftari, hal. 53).

4. Menghidupkan ilmu (Ihyaa Al-Ilmi) sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu

‘alaihi wa sallam,

و : �ين الجاه�ل وتأو�يل �ين الغال تحر�يف عنه ينفون عدوله خلف كل م�ن الع�لم هذا يحم�ل�ين �ل المبط �ح�ال �نت إ

“Ilmu agama ini akan dibawa oleh orang-orang yang terpercaya pada setiap

generasi: mereka akan menolak tahrif (perubahan) yang dilakukan oleh orang-orang

yang melewati batas, ta’wil (penyimpangan arti) yang dilakukan oleh orang-orang yang

bodoh, dan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbuat kepalsuan.” (HR.

Ibnu ‘Adi, Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ibnu Hibban, dll,; dinyatakan berderajat hasan oleh

Syeikh Salim bin ‘Ied al-Hilali dalam Hilyatul ‘Alim Al-Mu’allim, hal. 77, juga oleh

Syeikh Ali bin Hasan di dalam At-Tashfiyah wat Tarbiyah).

5. Membangkitkan kembali upaya mengamalkan Alquran dan sunnah Nabi

shallallahu ‘alahi wa sallam dalam seluruh sisi kehidupan manusia dan mengembalikan

peristiwa dan hal yang baru kepada isi kandungannya.

Imam Muhammad bin Sulaiman Al-Alqami (wafat tahun 969 H) menyatakan,

“Pengertian Tajdid adalah menghidupkan kembali pengamalan Al-Qur`an dan Sunnah

serta perintah mengamalkan kandungan keduanya.” (Lihat ‘Aunul Ma’bud, 4/178 dan

Faidhul-Qadir 2/281).

Sedangkan imam Al-Munaawi menjelaskan sebab perlunya tajdid dalam

ungkapan beliau, “Hal ini karena Allah Ta’ala menjadikan Nabi shallallahu ‘alahi wa

sallam sebagai penutup para nabi dan rasul (Khatamul anbiya’war rusul), padahal

peristiwa dan kejadian tak terhitung jumlahnya dan mengenal hukum agama sudah

menjadi kelaziman hingga hari kiamat. Disamping itu zhahir nash-nash syariat belum

bisa menjelaskannya secara sempurna, bahkan harus ada cara yang sempurna dalam

masalah ini, maka hikmah Allah menuntut munculnya satu kaun dari para ulama di awal

setiap abad yang menanggung beban menjelaskan kejadian-kejadian tersebut untuk

memperlakukan umat ini bersama ulama mereka sebagaimana perlakuan pada bani

israil bersama nabi-nabi mereka.” (Lihat Faidhul Qadir, 1/10).

6. Ta’shil Al-Ilmi (membuat kaidah-kaidah dasar ilmu yang benar) dan mengajak

orang untuk mengambil agamanya dari sumbernya yang asli melalui para ulama disertai

dengan tarbiyah (pendidikan) manusia diatas pemahaman agama yang benar.

Demikianlah beberapa pernyataan ulama terdahulu seputar tajdid yang

nampaknya berbeda namun memiliki satu kesamaan dalam memahami istilah tajdid ini.

Hal ini dapat diungkapkan dalam ungkapan berikut ini:

At –Tajdid (pembaharuan agama) adalah menghidupkan kembali yang

telah hilang atau lemah dari pokok-pokok agama (Ushuluddin) dan cabangnya,

baik berupa ucapan atau perbuatan dan mengembalikanbnya kepada keadaannya

yang benar yang telah diajarkan Al-Qur`an dan sunnah serta menghilangkan

semua yang berhubungan dengan agma pada akal manusia dan amalannya berupa

kebidahan dan khurafat. (Lihat Tajdidud Dien Mafhumuhu wa Dhawaabituhu wa

Atsaaruhu, hal. 46).

At-Tajdid adalah mengembalikan kecemerlangan, keindahan islam dan

menghidupkan yang telah hilang dari sunnah dan syiar-syiar-nya serta

mensucikan islam dari ke-bid’ah-an dan khurafat, juga membersihkannya dari

tambahan-tambahan manusia yang masuk padanya dan menebarkan agama ini

diantara manusia pada keadaannya yang asli, murni dan suci. (Lihat Asbaabul

Akhthaa’ fit Tafsir DR. Thaahir Mahmud Muhammad Ya’qub, 2/786).

At-Tajdid adalah menghidupkan dan menebar syiar-syiar agama

(ma’aalimuddin) baik yang bersifat ilmiyah maupun amaliyah yang telah

dijelaskan nash-nash Alquran dan sunnah serta pemahaman salaf. (Lihat Mafhum

Tajdidid Din, hal. 30).

Dari tiga kesimpulan ini dapat diambil satu pengertian singkat untuk istilah At-

Tajdid yang dalam istilah kita adalah pembaharuan agama sebagai upaya mengembalikan

umat kepada islam yang tegak diatas Al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu

‘alaihi wa sallam sesuai dengan pemahaman salaf umat dari kalangan para sahabat,

tabi’in dan orang yang mengikuti jejak langkah mereka dalam beragama. Wallahu a’lam.

PEMIKIRAN IBNU TAMIYAH

Ibnu Taimiyah terlahir, dengan nama Ahmad Taqiyuddin Abu al-Abbas ibn al-

Syeikh Syihab al-Din Abi al-Mahasin Abd al-Halim ibn al-Syeikh Majd al-Din Abi al-

Barakat Abd al-Salam bin Abi Muhammad Abdullah  bin Abi al-Qasim al-Khidir bin Ali

bin Abdullah. tepatnya di Harran 10 Rabiul Awal 661 H./22 Januari 1263 M. Harran

adalah sebuah negeri dekat dataran Eropa, terletak antara Dajlah (Tigris) dan Furat

(Euphrat).

Keluarga baik ini dikenal dengan sebutan (Bani Taimiyah). “Ibnu Taimiyah”

sebuah nama yang sudah masyhur sejak lama, awal mula penamaan Ibnu Taimiyah

adalah berawal dari sebuah nama ibu dari Muhammad bin al-Khidir. Disebutkan juga

bahwa kakeknya yang bernama Muhammad bin al-Khidir pergi ke gerbang padang

sahara (Taiyma), lalu di sana ia melihat seorang anak perempuan kecil bernama

Taimiyah, kemudian ketika kembali ke rumahnya, ia mendapatkan istrinya melahirkan

seorang anak perempuan, maka ia langsung menamakan anak perempuan yang baru lahir 

itu dengan nama Taimiyah. Maka seluruh anggota keluarga ini dinisbatkan kepadanya

yang kemudian dikenal dengan nama ini.

Di dalam metode pemikiran Ibnu Taimiyah, kita akan dihadapkan dengan sebuah

istilah 'Salafiah' yang telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap

'salafiah'. Orang-orang yang pro salafiah, baik yang sementara ini dianggap orang dan

menamakan dirinya demikian atau yang sebagian besar mereka benar-benar salafiyah,

telah membatasinya dalam bingkai formalitas dan kontroversial, seperti masalah-masalah

tertentu dalam ilmu Kalam, ilmu Fiqh atau ilmu Tasawuf. Mereka sangat keras dan

garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-

masalah kecil dan tidak prinsipil. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa

Manhaj Salaf adalah metoda 'debat' dan 'polemik', bukan manhaj konstruktif dan praktis.

Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud dengan 'Salafiah' ialah mempersoalkan

yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil. Mempermasalahkan

khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan

formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.

Sedangkan pihak yang kontra Salafiah, menuduh faham ini 'terbelakang',

senantiasa menoleh ke belakang, tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah,

menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa kini dan masa depan. Sangat

fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain. Salafiah identik

dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal

moderat dan fleksibel.

Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra Salafiah yang hakiki dari penyeru-

penyerunya yang asli. Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan

'Salafiah' dan membelanya mati-matian pada masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu

Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim dan yang lainnya. Mereka inilah orang

yang paling pantas mewakili gerakan 'Pembaruan Islam' pada masa mereka. Karena

pembaruan yang mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.

Mereka telah menumpas faham 'taqlid', 'fanatisme madzhab fiqh' dan ilmu kalam yang

sempat mendominasi dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun,

disamping kegarangan mereka dalam membasmi 'ashobiyah madzhabiyah' ini, mereka

tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan hak-hak mereka untuk dihormati.

Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'i Ma lam 'an al-A'immat al-A'lam" karya Ibnu

Taimiyah.

Demikian gencar serangan mereka terhadap 'tasawuf' karena penyimpangan-

penyimpangan pemikiran dan aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan

pendiri madzhab 'al-Hulul Wal-Ittihad' (penyatuan diri dengan tuhan). Dan

penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan

'tasawuf' untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar

(shahih). Mereka memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam

bidang ini, mereka meninggalkan warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam

'Majmu' Fatawa' karya besar Imam Ibnu Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa

karangan Ibnu Qoyyim. Yang termasyhur ialah 'Madarijus Salikin Syarah Manazil as-

Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in'. Manhaj 'nalar' dan 'mengikuti

dalil', melihat setiap pendapat secara obyektif, bukan memandang orangnya, itulah yang

telah ditempuh oleh Ibnu Taimiyah.

Metodologi yang diusung Ibnu Taimiyah dalam pemikiran dan tulisannya

mengenai Tafsir, Akidah, Fiqh dan Tasawuf selalu dikuatkan dengan bukti atau dalil dari

al-Qur’an dan sunnah, kemudian mendekatkan sunnah dengan nalar, menggunakan dan

menentukan nalar hanya sekedar untuk nasihat bukan untuk gubahan, dan pendekatan

bukan untuk petunjuk. Oleh karena itu, kita akan menemukan dan menentukan sebuah

kesatuan sifat, tanda dan kepribadian yaitu kesatuan dalam satu metodologi saja.

 

Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah

Metodologi yang ditempuh Ibnu Taimiyah terdiri dari empat unsur;

1. Ibnu Taimiyah tidaklah menggunakan nalar sebagai sumber yang mutlak dalam

menentukan hukum.

2. Ibnu Taimiyah tidaklah berpihak hanya pada satu pendapat saja, bagi Ibnu

Taimiyah tidak seorangpun memiliki kedudukan kecuali baginya bersumber dari al-

Qur'an, as-Sunnah dan Atsar para ulama salaf yang mengikuti Nabi saw. tentang

madzhab empat, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika pendapat-pendapat ulama Salaf

sesuai dengan al-Qur'an, Sunah dan Atsar, mereka perlu kita ikuti, dan begitu juga

sebaliknya. Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Hanifah mengatakan; “ini adalah

argumenku maka jika ada sebuah kebenaran dari argumenku ini maka itu dari hati yang

paling dalam”, Imam Malik mengatakan; “Sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia

biasa yang tidak lepas dari kesalahan, maka periksalah pendapatku melalui al-Qur'an dan

Sunnah”, Imam Syafi’i mengatakan; “Apabila terdapat kebenaran hadits maka

tentukanlah pendapatku dengan teliti”, dan Imam Ahmad mengatakan; “Janganlah kamu

mengikuti aku, Malik, Syafi’i juga al-Tsauri, dan belajarlah kamu sebagaimana kami

mengajarkanmu”, “janganlah kamu mengikuti (taqlid) kepada seseorang dalam

agamamu, karena sesungguhnya seseorang itu tidak terlepas dari kesalahan”.

3. Ibnu Taimiyah berpandangan bahwa Syari’ah itu bersumber dari al-Qur’an, nabi

Muhammadlah yang menjelaskan dan memperaktekkannya kepada umat terlebih kepada

para shahabat pada masa Nabi saw. Sehingga bagi orang yang mengikuti Nabi saw. lewat

tafsir, penjelasan, dan penyampaian para shahabat berarti merekalah sejatinya orang-

orang yang mengikuti syari'at Allah dari nabi Muhammad saw. merekalah (para Sahabat)

yang menjaga ajaran Nabi saw. karena mereka yang langsung mendengar dan memahami

Syari’at Allah langsung dari Nabi saw. begitupun para Tabi’in yang mendapatkan

penyampaian dan pemahaman langsung dari para sahabat. Sebagaimana Ibnu Taimiyah

menyatakan dalam kitab al-Risalah al-Wasathiyah, “terkadang aku menangguhkan dari

apa yang ada di tahun tiga, sehingga apabila telah datang satu pendapat dari periode

ketiga yang tidak sesuai dengan di atas maka aku mengembalikannya kepada al-Qur'an

dan Sunnah, jika sesuai dengan apa yang telah di bawa Nabi, Sahabat dan Tabi’in maka

aku menetapkannya”. Yang dimaksud dengan periode tiga itu adalah periode setelah

Nabi, Sahabat dan Tabi’in.

4. Ibnu Taimiyah tidaklah orang yang fanatik terhadap pemikirannya saja, Ibnu

Taimiyah selalu melepas dirinya dari segala apa yang mengikatnya, kecuali yang sesuai

dengan al-Qur'an, Sunnah dan Atsar Salaf. Ibnu Taimiyah tumbuh pada dirinya lewat

madzhab Hambali, akan tetapi Ibnu Taimiyah dapat mengontrol diri, sehingga Ibnu

Taimiyahpun mempelajari dan memperdalam madzhab-madzhab secara keseluruhan,

kemudian menghubungkan semua dalam satu sumber.

PEMIKIRAN IBNU ABDUL WAHAB

Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) (bahasa Arab:

التميمى الوهVاب عبVد بن (محمVد adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang

tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah

Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Para pendukung

pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut

diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".

Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan

akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan

agama yang dilakukan umat islam saat itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai

perbedaan pendapat . Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai

merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang

diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-

lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.

Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri,

Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman

bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad,

bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut. Suatu ketika,

Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk

menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid

bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang

kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada

kemusyrikan. Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang

rancangan yang mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-

halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan

600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan

maqam yang dikeramatkan itu.

Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang

gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu

(Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan

prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang

dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka. Bisa saja yang mereka anggap makam

Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat

setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun

mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian

dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah,

Uthman bin Muammar.

Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian

menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini

menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek

peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita tentang pergerakan ini akhirnya

tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.

Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad bin'Abd al-

Wahhab mendakwahkan pendapat, dan pemerintah 'Uyainah pula menyokongnya, maka

kemudian memberikan peringatan dan ancaman kepada pemerintah'Uyainah. Hal ini

rupanya berhasil mengubah pikiran Amir Uyainah. Ia kemudian memanggil Syeikh

Muhammad untuk membicarakan tentang cara tekanan yang diberikan oleh Amir al-

Ahsa'. Amir Uyainah berada dalam posisi serba salah saat itu, di satu sisi dia ingin

mendukung perjuangan syeikh tapi di sisi lain ia tak berdaya menghadapi tekanan Amir

al-Ihsa. Akhirnya, setelah terjadi perdebatan antara syeikh dengan Amir Uyainah, di

capailah suatu keputusan: Syeikh Muhammad harus meninggalkan daerah Uyainah dan

mengungsi ke daerah lain.

Dalam bukunya yang berjudul Al-Imam Muhammad bin Abdul

Wahab,Da'watuhu Wasiratuhu, Syeikh Muhammad bin `Abdul `Aziz bin `Abdullah bin

Baz, beliau berkata: "Demi menghindari pertumpahan darah, dan karena tidak ada lagi

pilihan lain, di samping beberapa pertimbangan lainnya maka terpaksalah Syeikh

meninggalkan negeri Uyainah menuju negeri Dariyah dengan menempuh perjalanan

secara berjalan kaki seorang diri tanpa ditemani oleh seorangpun. Ia meninggalkan negeri

Uyainah pada waktu dini hari, dan sampai ke negeri Dariyah pada waktu malam hari."

(Ibnu Baz, Syeikh `Abdul `Aziz bin `Abdullah, m.s 22). Tetapi ada juga tulisan lainnya

yang mengatakan bahwa: Pada mulanya Syeikh Muhammad mendapat dukungan penuh

dari pemerintah negeri Uyainah Amir Uthman bin Mu’ammar, namun setelah api

pergerakan dinyalakan, pemerintah setempat mengundurkan diri dari percaturan

pergerakan karena alasan politik (besar kemungkinan takut dipecat dari kedudukannya

sebagai Amir Uyainah oleh pihak atasannya). Dengan demikian, tinggallah Syeikh

Muhammad dengan beberapa orang sahabatnya yang setia untuk meneruskan dakwahnya.

Dan beberapa hari kemudian, Syeikh Muhammad diusir keluar dari negeri itu oleh

pemerintahnya.

PEMIKIRAN JAMALUDIN al AFGHANI

Jamaludin Al-Afghani As-Sayid Muhammad bin Shaftar Al-Husain lahir di

Asadabad, Konar, Distrik Kabul, Afghanistan tahun 1838 M. Ia adalah tokoh terkemuka

yang menjadi sentral figure umat Islam pada abad XIX. Keluarganya adalah keturunan

dari Husain bin Ali bin Abi Thalib yang selanjutnya silsilahnya bertemu dengan

keturunan ahli sunnah yang termasyhur Ali At-Tirmidzi.

Al-Afghani menghabiskan masa kecil dan remajanya di Afghanistan, namun

banyak berjuang di Mesir, India bahkan sampai ke Paris. Pada usia 18 tahun di Kabul, Ia

tidak hanya menguasai ilmu keagamaan seperti bahasa Arab, balaghah, tasawuf, manteq,

tetapi juga mendalami falsafah, hukum, sejarah, matematika, ilmu hitung, ilmu obat

anatomi, metafisika, kedokteran, sains, astronomi, dan astrologi.

Bidang Politik Jamaludin dikenal sebagai pelopor Pan Islamisme yang

mengajarkan bahwa semua umat Islam harus bersatu di bawah pimpinan seorang khalifah

untuk membebaskan mereka dari penjajahan Barat. Ada pendapat bahwa Jamaludin

hanya sedikit mempersoalkan masalah agama, ia lebih berkecimpung dalam lapangan

politik. Jalan yang ditempuhnya di bidang ini, ialah :

a. Perbaikan jiwa dan cara berfikir

b. Perbaikan pemerintah atau Negara,

Bidang Agama, Meski Al-Afghani menjadi pemimpin politik, ia juga berjasa

dalam meninggikan kedudukan agama dengan menjadi mujahid, pembaharu akal umat

Islam yang sangat dipengaruhi tradisi-tradisi dan kurafat-kurafat yang membawa

kejumudan umat Islam waktu itu. Al-Afghani berpendapat bahwa agama adalah suatu

yang fital adanya suatu bangsa. Dan agama merupakan sumber yang nyata yang

membawa kebahagiaan bagi manusia. Peradaban yang sesungguhnya adalah peradaban

yang berdasarkan pendidikan moral dan agama, bukan peradaban yang berdasarkan

karena kemajuan materi dan pembangunan kota-kota besar atau penciptaan mesin-mesin

modern yang justru digunakan untuk menghancurkan peradaban dan pembinasaan umat

manusia dengan bentuk penjajahan. Banyak usaha yang telah dilakukannya dalam

melawan penjajah , antara lain:

a. Membangun kembali jiwa Islam yang terkandung dalam ajaran Al-Qur’an

b. Menghilangkan sifat kesukuan atau golongan

c. Mrngikis taqlid dan fanatisme

d. Melaksanakan ijtihad dalam memahami A-Qur’an

Ia juga mengutarakan bahwa kesejahteraan umat manusia itu tergantung pada :

a. Akal manusia yang disinari dengan tauhid

b. Kemuliaan budi pekerti

c. Akidah (iman) yang dijadikan sebagai prinsip yang pertama

d. Loyalitas orang yang berilmu dalam membagikan ilmunya pada orang lain

Dengan demikian, diharapkan umat Islam dapat kembali kepada ajaran-ajaran Islam yang

murni, yang membawa kepada kekuatan yang positif dalam langkah dan sasaran yang

akan dituju.

Ajaran tentang Qada dan Qadar Kesalahan umat Islam dalam memahami qadha

dan qadar menurut Al-Afghani, menjadi factor yang ikut memundurkan umat Islam.

kesalahpahaman tersebut membuat umat Islam tidak mau berusaha dengan sungguh-

sungguh. Jamaludin menyebutkan, qadha dan qadar mengandung pengertian bahwa

segala sesuatu yang terjadi menurut sebab musabab (kausalitas). Lemahnya pendidikan

dan kurangnya pengetahuan umat tentang dasar-dasar ajaran agama, lemahnya

persaudaraan, perpecahan umat Islam yang diikut pemerintahan yang absolut,

memercayakan kepemimpinan kepada yang tidak dipercaya, dan kurangnya pertahanan

militer, juga merupakan factor-faktor yang membawa kemunduran umat Islam. Faktor-

faktor ini yang menjadikan umat Islam statis dan fatalis. Maka dari itu, ia menuntut

kepada semua aliran untuk menjadikan akal sebagai dasar utama untuk mencapai

keagungan Islam, karena akal menempati kedudukan yang istimewa dalam agama Islam.

Dengan akal percaya pada qadha dan qadar bagi orang Islam akan membawa kekuatan

moral dan mendorong usaha tawakal dan sabar untuk mencapai tujuannya.

Penolakan terhadap Aliran Naturalisme dan MaterialismePerjalanan hidup

Jamaludin sesuai dengan jalan pikirannya. Teori dan prakteknya selalu berjalin rapat

dengan tindakannya. Kedudukan dan pikirannya ditandai oleh tiga macam keadaan :

a. Kenikmatan jiwa atau rohani

b. Perasaan agama yang mendalam

c. Moral yang tinggi

Gambaran ini jelas dapat dilihat dalam penolakannya terhadap aliran naturalisme

dan materialisme. Aliran ini merupakan senjata berbahaya bagi umat Islam. satu-satunya

kekuatan yang dapat melawannya ialah Islam itu sendiri. Inilah peringatan yang

dicanangkan oleh Jamaludin pada orang-orang Islam, bila ingin mempertahankan agama

itu, maka harus bertindak sesuai dengan ajaran agama itu.

Jamaludin terkenal dalam dunia Islam sebagai propagandaris karena penolakannya

terhadap materialisme. Dengan pandangannya terhadap tabiat alam, ia tidak bisa

menerima corak ajaran materialisme. Untuk itu ia menerbitkan sebuah buku dengan judul

The Refutation Of Materialistis.

PAN-ISLAMISME Sebagaimana yang diungkapkan L. Stoddard, dasar

pergerakan yang diusung oleh Al-Afghani lebih pada usaha pembendungan dominasi

Barat yang mulai menjelajahi dunia Islam. Setidaknya ada lima poin penting yang

menjadi pemicu utama munculnya pemikiran pan-islamisme, yaitu :

a) Dunia kristen, walaupun terpisah secara geografis, budaya dan nasab namun

akan selalu menggalang pemersatuan kekuatan untuk menghadapi umat Islam.

b) Meskipun secara gamblang perang salib telah tuntas, namun semangat dan

ideologi untuk selalu mengobarkan lagi, tetap hidup di kalangan umat Kristen. Hal ini

bisa dibuktikan melalui perlakuan diskriminatif umat Kristen kepada umat Islam di

beberapa tempat.

c) Perbedaan pemahaman tentang agama yang sangat berbeda antara agama Islam

dan agama lainnya.

d) Al-Afghani menyimpulkan bahwa kebencian umat Kristen terhadap umat Islam

bukan hanya datang darui sebagian umat kristen namun berasal dari semua lapisan

masyarakat.

e) Kurangnya apresiasi dunia kepada umat Islam, khususnya umat Kristen pada

beberapa ideologi fital agama Islam.

Dengan berbagai pertimbangan yang diantaranya telah disebutkan di atas, maka

Al-Afghani menggulirkan pemikiran tentang perlunya pemersatuan umat Islam yang

selanjutnya dikenal dengan nama pan-Islamisme. Tujuan pasti al-Afghani adalah

melakukan filter dini kepada gejala perpecahan yang telah kelihatan pada zaman itu.

Di beberapa keadaan, pan-Islamisme sering dikaitkan dengan usaha modernisasi Islam

yang juga diusung oleh al-Afghani dan murid-muridnya seperti Muhammad Abduh, dkk.

Pada dasarnya dua paham ini bukanlah sinonim, lebih tepatnya modernisasi adalah gejala

atau sarana dari pan-Islamisme. Munculnya kegiatan pembaharuan dalam agama Islam

adalah aplikasi nyata dari program pan-Islamisme yang ditawarkan oleh al-Afghani.

Secara individu Afghani adalah penolak keras adanya paham kolonial yang menghantui

hampir di semua dunia Islam di kala itu. Sebagai seorang filsuf dan agamis sikap dan

pemikiran Afghani selalu berbenturan dengan paham fatalisme (berhubungan dengan

takdir).

Untuk mengetengahi masalah fatalism dalam agama Islam, Afghani mengajak

umat Islam untuk melakukan usaha perebutan peradaban, kebudayaan dan pengetahuan

dari barat. Salah satu caranya adalah dengan mempelajari semua itu dari barat.

Diharapkan dari semua sikap ini maka umat Islam lebih bersifat dinamis dan mampu

melakukan kritik sosial dalam menghadapi perkembangan dunia dan ilmu pengetahuan.

Melalui propaganda yang rapi apalagi didukung oleh Sultan Abdul Hamid dari Turki

Utsmani yang mendirikan organisasi seruan pan-Islamisme dan pengiriman delegasi ke

Negara-negara Islam selama 30 tahun. Hubungan paling kongkrit antara pan-Islamisme

dengan modernisasi Islam terlihat pada pandangan kenegaraan yang diusulkan oleh

Afghani dan murid-muridnya. Memang harus diakui, pemerintahan Negara atau kerajaan

Islam yang dimulai dari masa Kekhalifaan Utsmani memiliki konsen yang sangat besar

kepada bentuk negara atau kerajaan dengan system monarki absolut. Sehingga Afghani

menawarkan system demokrasi sebagai jalan keluar yang tepat sebagai bentuk ideal

negara Islam. Lebih kongkritnya Afghani bahkan memberikan pertimbangan untuk

memakai sistem pemerintahan republik. Bahkan lebih jauh Afghani menyatakan bahawa

sebenarnya Islam menghendaki penggunaan sistem pemerintahan republik bagi umat

Muslim.

Dasar pendapat yang dikeluarkan oleh Afghani ini terbentuk oleh berbagai stigma

yang terkumpul dari lawatan panjang Afghani ke beberapa negara Eropa sebelumnya.

Menurut Afghani keunggulan sistem republik adalah kebebasan dalam mengedepankan

pendapat dan kesamaan status dalam hukum dan pemerintahan. Ditambah lagi republik

sangat menjaga hubungan kepala negara dengan Undang-undang negara. Lebih jelasnya,

sistem republik sangat memperhatikan kepatuhan antara kepala pemerintahan dengan

undang-undang yang dibuat oleh sebuah Negara. Pendapat yang diusulkan oleh Afghani

ini tentu merupakan hal baru dalam perkembangan agama Islam. Sebelum munculnya

gagasan Afghani ini Islam dan lingkungan hanya mengenal sistem pemerintahan kerajaan

atau kesultanan.

Secara mudah bisa dijelaskan hubungan antara pan-Islamisme dan modernisasi

Islam ini dengan wacana bahwa Pan-Islamisme Al-Afghani adalah sebuah gerakan

pemersatu antar Negara-negara Islam termasuk umat Islam di wilayah jajahan untuk

menentang kezaliman para pengusa (penjajah ekstern atau intern) yang lalim, termasuk

menentang kolonialisme dan imperialisme Barat sebagai bentuk usaha untuk

mewujudkan keadilan.

PERBEDAAN PEMIKIRAN MHD. ABDUL dengan RASYID RIDHO

Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah atau Muhammad ‘Abduh.

lahir didesa Mahallat Nashr Kota Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M dan

wafat padatahun 1905 M. Beliau merupakan putra dari seorang petani berkebangsaan

Turki yaituAbduh bin Hasan Khairullah, sedangkan ibunya masih mempunyai silsilah

keturunandengan tokoh besar Islam, Umar bin Khattab.

Islam adalah agama yang terdiri dari beberapa aspek yang saling

berhubungan,satu dengan yang lainnya. Yaitu Aqidah (Teologi), Syariah

(Hukum Islam), danAkhlak (tasawuf) bahkan untuk bertatanegara sekalipun

hal ini kita kenal denganS h i y a s a h a t r a u p o l i t i k . N a m u n d a l a m

k e s e m p a t a n i n i , p e n u l i s m e m i l i h h a n y a membahas beberapa manhaj

pemikiran Muhammad Abduh secara singkat tentang kee m p a t h a l

t e r s e b u t m u d a h - m u d a h a n d a p a t m e n j a d i s u a t u r u j u k a n k i t a

d a l a m mengemukakan pendapat dan bertindak

Muhamrnad Rasyid bin Al Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni, al-

Husaini. Dari namananya jelas bahwa beliau merupakan salah satu keturunan

Alul-Bayt . Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H di sebuah desa

bernama Qalmun,di sebelah selatan kota Tharablas (Tripoli) atau Syam, ia mulai

menuntut ilmu denganmenghafal al-Qur’an, mempelajari khat dan ilmu berhitung.

Setelah banyak berguru kepada Muhammad Abduh, Rasyid Ridla

berpendapat bahwa madzhab dalam pengertian Muhammad Abduh adalah

lebih ditekankan padacara pengambilan hukum dari nash yang ditempuh oleh

seorang mujtahid tertentu.Jadi bukan dalam artian mengikuti dan tunduk pada

hasil mujtahid tertentu, tetapi  bermadzhab adalah dengan mengikuti cara-cara

atau metode yang mereka tempuhdalam beristinbath hukum . Dengan

demikian bermadzhab bukan bagi mereka yang awam, seperti umum dipahami,

tetapi bagi mereka yang berijtihad dalam lingkunganmadzhab tertentu.

Mereka ini dalam istilah Ushul Fiqh adalah Mujtahid Bil-Madzhab. Maka

fanatisme madzhab yang biasanya terjadi di kalangan awam dapat dihindaridan sikap

taklid bisa diatasi. Akan tetapi, menurut Abduh, yang terjadi di masyarakata dalah

sebaliknya. Generasi sesudah mujtahid mengikuti hasil ijtihad yang

merekad a p a t k a n , b u k a n m e n g a m b i l c a r a y a n g d i t e m p u h o l e h

p a r a i m a m . A k i b a t n y a , terjadinya perselisihan pendapat yang membawa

perpecahan di kalangan musliminsendiri. Fanatisme madzhab pun mucul dan taklid

tidak bisa dihindarkan.

DAFTAR PUSTAKA

El Fadl, Khaled Abou, And God Knows The Solders, The Authoritative and

TheAuthoritarian in Islamic Discourses, (Maryland:University Press of

America, rev.ed.,1997:2).

  Deliar Noor. "Gerakan Modernis Islam di Indonesia". Jakarta. Pustaka LP3ES

Indonesia,1996

Sukidi Mulyadi, artikel Defisit Demokrasi di Dunia Islam, dalam Islam Negara dan

CivilSociety, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina,

2005: 229).

Jalaluddin Rahmad. "Jejak Pemimpin Pembaharuan Sampai Guru Bangsa".

Yogyakarta.Pustaka Pelajar, 2001