Tugas LBHK 8

13
 TUGAS LBHK HUKUM PERIKA T AN Oleh: Aryo Adiwoso Dosen: Dr. !n!s H!sen " AKUL T AS EKONOMI  #URUSAN MAGISTER AKUNT ANSI UNI$ERSITAS INDONESIA

description

hukum perikatanApa yang dimaksud dengan perikatan dan apa bedanya dengan perjanjian?Apa saja syarat sahnya perjanjian?Apa yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak?Kapan perjanjian dianggap lunas atau selesai?Apa perbedaan MoU dengan perjanjian? Jelaskan!

Transcript of Tugas LBHK 8

TUGAS LBHKHUKUM PERIKATAN

Oleh:

Aryo Adiwoso

Dosen:

Dr. Yunus Husen

FAKULTAS EKONOMIJURUSAN MAGISTER AKUNTANSIUNIVERSITAS INDONESIA

Statement of Authorship

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah/tugas terlampir adalah murni hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa menyebut sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan untuk makalah/tugas pada mata ajaran lain, kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya menggunakannya. Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.

Mata Ajaran: Lingkungan Bisnis dan Hukum KomersialJudul Makalah/Tugas: Tugas LBHK-Hukum PerikatanTanggal: 7 July 2015Dosen: Dr. Yunus HusenNama: Aryo AdiwosoNPM: 14065 14946

Program Studi Magister Akuntansi Universitas Indonesia

Tanda Tangan:

Aryo Adiwoso.

Soal 1Apa yang dimaksud dengan perikatan dan apa bedanya dengan perjanjian?

Menurut Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan kreditur atau si ber-piutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si ber-utang.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Menurut Subekti dari peristiwa ini timbul suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.

Hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan. Karena dua pihak baik kreditur maupun debitur yang membentuk suatu perikatan setuju untuk melakukan sesuatu. Dari terminologi ini dapat dikatakan bahwa perjanjian dan persetujuan itu adalah sama artinya.

Menurut Subekti, perbedaan antara perikatan dengan perjanjian adalah, perjanjian itu merupakan perikatan terpenting, dimana perikatan adalah suatu pengertian abstrak. Dikatakan abstrak karena kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan, kita hanya dapat membayangkan dalam alam pikiran kita, sementara perjanjian adalah suatu hal yang konkrit. Dikatakan konkrit karena kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Soal 2Apa saja syarat sahnya perjanjian?

Menurut pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila didukung oleh empat syarat1. Sepakat mereka mengikatkan dirinya;2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;3. Mengenai suatu hal tertentu;4. Suatu sebab yang halal;

Menurut Subekti, dua syarat diatas dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat tang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Yang dimaksud sepakat mereka mengikatkan dirinya adalah, kedua subyek baik kreditur dan debitur yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal pokok dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh kedua pihak, apa yang dikehendaki yang satu juga dikehendaki oleh yang lain, atau adanya hubungan timbal balik antara dua pihak.

Yang dimaksud cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Karena luasnya pengertian cakap, untuk memudahkan mana yang menurut hukum cakap dan menurut hukum tidak cakap, maka dibuat suatu definisi tidak cakap. Dalam pasal 1330 KUH Perdata disebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

1. Orang-orang yang belum dewasa;2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat suatu perjanjian-perjanjian tertentu.

Orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatannya itu. Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Oleh karena itu orang yang belum dewasa dipandang tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian dan harus diwakili oleh orang tua atau walinya, sementara untuk orang telah dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya. Pasal 108 KUH Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya. Ketidakcakapan seorang perempuan yang bersuami menurut KUH Perdata erat kaitan dengan sistem KUH Perdata yang dianut Belanda yang menyerahkan kepemimpinan dalam keluarga itu kepada sang suami. Ketentuan tidak cakap perempuan yang telah bersuami sendiri di Belanda telah dicabut, sementara di Indonesia berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku.

Dapat dikatakan orang yang cakap menurut hukum adalah orang yang tidak memiliki ketiga(dua karena satu telah dicabut) unsur tersebut diatas.

Syarat sahnya suatu perjanjian juga dikatakan atas suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Obyek atau barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.

Syarat sahnya suatu perjanjian yang terakhir adalah suatu sebab yang halal. Sebab yang dimaksud adalah sebab perjanjian tersebut dibuat, yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud dikarenakan adanya suatu dorongan menurut hukum tidak diperdulikan. Yang diperhatikan oleh hukum adalah tindakan orang orang dalam masyarakat. Misalnya Saya membeli tanah karena saya memiliki cukup uang, saya takut nilai uang saya turun karena inflasi, sehingga saya membeli tanah,dorongan membeli tanah tersebut tidak diperdulikan oleh hukum.

Menurut Subekti yang dimaksud dengan sebab dari suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri, perjanjian jual beli pihak yang satu menghendaki uang dan pihak yang lain menghendaki barang, perjanjian sewa, pihak yang satu menghendaki uang dan pihak yang lain menghendaki suatu subyek sewa.

Soal 3Apa yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak?

Menurut KUH Perdata pasal 1338 ayat (1), yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana.

Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti yang telah dijelaskan pada poin di nomor dua. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.

Menurut KUH Perdata kebebasan berkontrak tidak dapat diartikan sebagai bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.

Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku. Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.

Soal 4Kapan perjanjian dianggap lunas atau selesai?

Suatu perjanjian dianggap lunas atau selesai diatur dalam KUH Perdata Pasal 1381, yaitu sepuluh cara hapusnya suatu perikatan (perjanjian).

1. Pembayaran;2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau suatu penitipan;3. Pembaharuan utang;4. Perjumpaan utang atau kompensasi;5. Percampuran utang;6. Pembebasan utang;7. Musnahnya barang yang terutang;8. Batal/pembatalan9. Berlakunya suatu syarat batal dan10. Lewatnya waktu.

Menurut Subekti pembayaran dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara sukarela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar uang harga pembelian, tetapi pihak penjual pun dikatakan, membayar jika ia menyerahkan atau melever barang yang dijualnya. Agar pembayaran itu sah, perlu orang yang membayar pemilik dari barang yang dibayarkan dan berkuasa memindahtangankannya. Meskipun demikian, pembayaran suatu jumlah uang atau sejumlah barang lain yang dapat dihabiskan tak dapat diminta kembali dari seorang yang dengan itikad baik telah menghabiskan barang yang telah dibayarkan itu sekalipun pembayaran itu telah dilakukan oleh orang yang bukan pemilik atau orang yang tak cakap mengasingkan barang tersebut.

Apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran, maka untuk lunas atau selesainya perikatan dapat pula ditempuh dengan penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan. Contohnya adalah si berhutang ingin menyelesaikan pembayaran kepada pemberi utang, dengan meminta notaris atau juru sita membuat suatu perincian barang-barang atau uang yang akan dibayarkan dari penghutang ke pemberi utang. Apabila pemberi utang setuju maka berakhir pula urusan perikatan, apabila tidak maka pemberi pinjaman akan menandatangani keberatan dan kemudian ditempuh ke pengadilan negeri. Penghutang akan memohon kepada pengadilan supaya mengesahkan penawaran pembayaran yang telah dilakukan. Setelah disahkan, maka barang atau uang yang dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada panitera pengadilan negeri dengan demikian hapuslah hutang piutang itu.

Hutang piutang yang lama juga dapat dinon-aktifkan dengan menerbitkan hutang baru, dengan demikian hutang yang lama akan hapus diganti dengan hutang yang baru. Menurut pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam jalan untuk melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu;1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang menghutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan karenanya;2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama, yang oleh si berpiutang dibebaskan dari perikatannya;3. Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari perikatannya.

Perjumpaan utang atau kompensasi adalah suatu cara penghapusan utang piutang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur, atau istilah akuntansinya di net-off. Agar dua utang dapat diperjumpakan (net off) perlulah dua utang itu seketika dapat ditetapkan besarnya atau jumlahnya dan seketika dapat ditagih.

Percampuran utang, yaitu suatu kondisi dimana ada tiga pihak dimana pihak A memiliki utang kepada pihak C, sementara disisi lain pihak B memiliki utang kepada pihak C, dan pihak A ternyata memiliki utang kepada pihak B, Utang pihak B kepada C dapat dihapus dengan cara pihak B menghapus utang pihak A ke B dengan mengalihkan pembayaran yaitu pihak A ke pihak C.

Pembebasan utang juga dapat ditempuh untuk penghapusan utang piutang yaitu apabila si berpiutang dengan tegas menyatakan tidak menghendaki lagi prestasi dari si berutang dan melepaskan haknya atas pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan yaitu hubungan hutang piutang hapus. Perikatan disini hapus karena pembebasan.

Musnahnya barang yang terutang dapan menghapus utang piutang yaitu jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya asalkan barang tadi musnah atau hilang diluar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.

Batal atau Pembatalan, menurut pasal 1320 perjanjian yang sah, disitu dapat kita lihat bahwa perjanjian yang kekurangan syarat obyektifnya (sepakat atau kecakapan) dapat dimintakan pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas karena menderita paksaan atau karena khilaf atau ditipu. Menurut Subekti, meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya dapat dilakukan dengan dua acara:1. Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian yang demikian didepan hakim2. Secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan disitulah baru mengajukan kekurangannya perjanjian itu.

Menurut pasal 1946 KUH Perdata lewat waktu atau daluwarsa ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Menurut pasal 1967 KUH Perdata segala tuntutan hukum yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut di atas, hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggal suatu perikatan bebas.

Soal 5Apa perbedaan MoU dengan perjanjian? Jelaskan!

Menurut Bimo Prasetyo[footnoteRef:1] Sejatinya, MoU belumlah melahirkan suatu Hubungan Hukum karena MoU baru merupakan persetujuan prinsip yang dituangkan secara tertulis. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, MoU yang dituangkan secara tertulis baru menciptakan suatu awal yang menjadi landasan penyusunan dalam melakukan hubungan hukum/perjanjian. [1: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514689463d4b2/perbedaan-antara-perjanjian-dengan-mou]

Kekuatan mengikat dan memaksa MoU pada dasarnya sama halnya dengan perjanjian itu sendiri. Walaupun secara khusus tidak ada pengaturan tentang MoU dan materi muatan MoU itu diserahkan kepada para pihak yang membuatnya. Di samping itu, walaupun MoU merupakan perjanjian pendahuluan, bukan berarti MoU tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa bagi para pihak untuk mentaatinya dan/atau melaksanakannya.

MoU merupakan suatu perbuatan hukum dari salah satu pihak (subjek hukum) untuk menyatakan maksudnya kepada pihak lainnya akan sesuatu yang ditawarkannya ataupun yang dimilikinya. Dengan kata lain, MoU pada dasarnya merupakan perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk mengadakan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat perjanjian yang lebih terperinci dan mengikat para pihak pada nantinya.

Mengutip dari Jawaban Biro Riset Legislative[footnoteRef:2] (Legislative Research Bureau's) bahwa MoU didefinisikan dalam Blacks Law Dictionary sebagai bentuk Letter of Intent. Adapun Letter of Intent didefinisikan: [2: http://ludingtonteaparty.org/sitecore/wp-content/uploads/2012/06/Memorandum-of-Agreement-and-Memorandum-of-Understanding-dated-March-11-2010.pdf]

A written statement detailing the preliminary understanding of parties who plan to enter into a contract or some other agreement; a noncommittal writing preliminary to acontract. A letter of intent is not meant to be binding and does not hinder the parties from bargaining with a third party. Business people typically mean not to be bound by a letter of intent, and courts ordinarily do not enforce one, but courts occasionally find that a commitment has been made... Dengan terjemahan bebasnya: Suatu pernyataan tertulis yang menjabarkan pemahaman awal pihak yang berencana untuk masuk ke dalam kontrak atau perjanjian lainnya, suatu tulisan tanpa komitmen/tidak menjanjikan suatu apapun sebagai awal untuk kesepakatan. Suatu Letter of Intent tidak dimaksudkan untuk mengikat dan tidak menghalangi pihak dari tawar-menawar dengan pihak ketiga. Pebisnis biasanya berarti tidak terikat dengan Letter of Intent, dan pengadilan biasanya tidak menerapkan salah satu, tapi pengadilan kadang-kadang menemukan bahwa komitmen telah dibuat/disepakati...

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa MoU melingkupi hal-hal sebagai berikut: 1) MoU merupakan pendahuluan perikatan (landasan kepastian);2) Content/isi materi dari MoU hanya memuat hal-hal yang pokok-pokok saja;3) Dalam MoU memilki tenggang waktu, dengan kata lain bersifat sementara;4) MoU pada kebiasaannya tidak dibuat secara formal serta tidak ada kewajiban yang memaksa untuk dibuatnya kontrak atau perjanjian terperinci; dan5) Karena masih terdapatnya keraguan dari salah satu pihak kepada pihak lainnya, MoU dibuat untuk menghindari kesulitan dalam pembatalan.

Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana salah satu pihak (subjek hukum) berjanji kepada pihak lainnya atau yang mana kedua belah dimaksud saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa suatu perjanjian mengandung unsur sebagai berikut: a) PerbuatanFrasa Perbuatan tentang Perjanjian ini lebih kepada perbuatan hukum atau tindakan hukum.Hal tersebut dikarenakan perbuatan sebagaimana dilakukan oleh para pihak berdasarkan perjanjian akan membawa akibat hukum bagi para pihak yang memperjanjikan tersebut. b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebihPerjanjian hakikatnya dilakukan paling sedikit oleh 2 (dua) pihak yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum (subjek hukum). c) Mengikatkan diriDi dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain. Artinya, terdapat akibat hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

9

Daftar PustakaProf Subekti, S.H, 2005, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasahttp://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt514689463d4b2/perbedaan-antara-perjanjian-dengan-mouhttp://ludingtonteaparty.org/sitecore/wp-content/uploads/2012/06/Memorandum-of-Agreement-and-Memorandum-of-Understanding-dated-March-11-2010.pdf

1