Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

24
HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK A. Pendahuluan Dalam pergaulan hidup, orang selalu berinteraksi satu sama lain. Interaksi antara orang yang satu dengan lainnya dalam lalu lintas hukum sering memerlukan adanya perjanjian. Perjanjian merupakan hubungan hukum karena menimbulkan akibat hukum. Karena menimbulkan akibat hukum maka perjanjian sebaiknya dibuat sedemikian rupa sehingga perjanjian itu dapat mengantisipasi sekaligus menyelesaikan jika terjadi konflik berkaitan dengan perjanjian yang diadakan. Dengan demikian perjanjian mempunyai paling tidak dua kegunaan yaitu : pertama sebagai alat bukti adanya hubungan hukum antara orang yang satu dengan lainnya, dan kedua, diperlukan untuk mengantisipasi adanya konflik dikemudian hari. Walaupun demikian, dalam praktek para pihak yang mengadakan suatu perjanjian kadang atau bahkan sering tidak mengatur secara terperinci semua persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian dan hanya menyetujui hal-hal yang pokok saja dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya. Perjanjian kadang hanya dibuat secara lisan dan tidak dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam praktek muncul berbagai macam perjanjian yang dikenal dengan istilah Perjanjian Tidak Bernama. Hal-hal 1

Transcript of Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

Page 1: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK

A. Pendahuluan

Dalam pergaulan hidup, orang selalu berinteraksi satu sama lain. Interaksi

antara orang yang satu dengan lainnya dalam lalu lintas hukum sering memerlukan

adanya perjanjian. Perjanjian merupakan hubungan hukum karena menimbulkan

akibat hukum.

Karena menimbulkan akibat hukum maka perjanjian sebaiknya dibuat

sedemikian rupa sehingga perjanjian itu dapat mengantisipasi sekaligus

menyelesaikan jika terjadi konflik berkaitan dengan perjanjian yang diadakan.

Dengan demikian perjanjian mempunyai paling tidak dua kegunaan yaitu : pertama

sebagai alat bukti adanya hubungan hukum antara orang yang satu dengan lainnya,

dan kedua, diperlukan untuk mengantisipasi adanya konflik dikemudian hari.

Walaupun demikian, dalam praktek para pihak yang mengadakan suatu

perjanjian kadang atau bahkan sering tidak mengatur secara terperinci semua

persoalan yang bersangkutan dengan perjanjian dan hanya menyetujui hal-hal yang

pokok saja dengan tidak memikirkan soal-soal lainnya. Perjanjian kadang hanya

dibuat secara lisan dan tidak dalam bentuk tertulis. Bahkan dalam praktek muncul

berbagai macam perjanjian yang dikenal dengan istilah Perjanjian Tidak Bernama.

Hal-hal seperti ini terjadi dalam praktek karena Hukum Perjanjian menganut sistem

terbuka, bersifat pelengkap dan konsensuil.

Hukum perjanjian menganut sistem terbuka artinya bahwa setiap orang

boleh mengadakan perjanjian mengenai apa saja baik yang sudah ada

ketentuannya dalam undang-undang maupun yang belum ada ketentuannya,

asalkan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.

Konsekuensi dari adanya sistem terbuka tersebut bahwa hukum perjanjian bersifat

sebagai hukum pelengkap, artinya pasal-pasal yang terdapat dalam buku III KUH

Perdata boleh dikesampingkan berlakunya manakala para pihak telah membuat

ketentuan sendiri. Sebaliknya apabila para pihak tidak menentukan lain maka

berlakulah ketentuan yang terdapat dalam buku III KUH Perdata. Dikatakan sebagai

1

Page 2: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

hukum pelengkap karena pasal-pasal dari hukum perjanjian itu dapat dikatakan

melengkapi perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tidak lengkap. Hukum

Perjanjian bersifat konsensuil artinya perjanjian itu terjadi sejak saat terjadinya

kata sepakat diantara para pihak mengenai pokok perjanjian. Maka dalam hal ini

perjanjian itu dapat dibuat secara lisan saja dan dapat juga dalam bentuk tertulis.

Mengingat akibat yang ditimbulkannya, sebelum menyusun perjanjian perlu

diperhatikan berbagai hal yang mendasari dan berkaitan dengan perjanjian agar hak

dan kewajiban para pihak didalamnya dapat terlindungi.

B. Tinjauan Yuridis Perjanjian

1. Pengertian

Menurut ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH

Perdata) “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Pendapat ini oleh

Setiawan dianggap kurang memuaskan karena:

a. kata “…perbuatan…” dapat meliputi perbuatan hukum dan perbuatan biasa,

padahal yang dimaksud adalah hanya perbuatan hukum;

b. kata “….mengikatkan dirinya terhadap…” hanya menggambarkan perbuatan

sepihak saja, pada hal yang dimaksud dalam perjanjian dengan perbuatan

adalah perbuatan yang timbal balik;

c. tidak ada pembatasan bahwa perjanjian yang diadakan itu hanya dalam

lapangan hukum harta kekayaan.

Definisi tersebut diperbaiki oleh para sarjana, salah satunya oleh Sudikno

Mertokusumo, yang menyebutkan “perjanjian adalah hubungan hukum antara

dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum.

Secara teoritis ada hubungan antara perjanjian dengan perikatan. Perikatan

adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih dalam lapangan

hukum harta kekayaan, dimana pihak yang satu berkewajiban untuk memberikan

prestasi kepada pihak lain dan pihak yang lain berhak atas prestasi tersebut.

2

Page 3: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

Dengan demikian suatu perjanjian mempunyai hubungan dengan

perikatan karena perjanjian itu menerbitkan perikatan. Dengan diadakan suatu

perjanjian maka akan menimbulkan hubungan hukum antara dua pihak yang

dinamakan perikatan, dimana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dan pihak

yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Oleh karena itu perjanjian

merupakan salah satu sumber dari perikatan disamping sumber-sumber lain.

Dalam praktek, perjanjian yang dibuat secara tertulis sering disebut dengan

istilah kontrak. Secara teoretis pengertian kontrak sama dengan perjanjian obligatoir

sebagaimana diatur dalam Bab Kedua Buku III KUH Perdata.

2. Asas-asas Pokok Hukum Perjanjian

Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum adalah suatu pikiran dasar

yang bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif.

Dengan demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam

peraturan yang kongkrit akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai

atau melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini disebabkan sifat dari asas tersebut

adalah abstrak dan umum. Adapun asas-asas pokok yang terdapat dalam hukum

perjanjian adalah sebagai berikut:

a. Asas Konsensualisme.

Asas ini berhubungan dengan saat lahirnya suatu perjanjian, bahwa

perjanjian itu lahir sejak adanya consensus atau kata sepakat. Asas konsensualisme

dijumpai dalam Pasal 1320 butir 1 jo Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang

mengatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan kedua pasal

tersebut dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian telah lahir sejak

saat tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian.

Terhadap asas konsensualisme itu ada perkecualiannya yaitu pada

perjanjian formal dan perjanjian riil. Perjanjian yang pembuatannya menggunakan

formalitas tertentu disebut perjanjian formil seperti perjanjian penghibahan yang

berupa benda tak bergerak harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus

3

Page 4: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

dengan bentuk tertulis.Di samping itu ada juga pengecualian dari asas

konsensualisme yaitu pada perjanjian riil. Dalam perjanjian riil ini lahirnya perjanjian

tidak pada saat adanya kata sepakat, tetapi pada saat barang atau obyek diserahkan

secara nyata, misalnya dalam perjanjian penitipan.

b. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak ini berkaitan dengan isi, bentuk dan jenis dari

perjanjian yang dibuat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata

yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak ini

mengandung 5 makna yaitu:

1) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian;

2) Setiap orang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun;

3) Setiap orang bebas menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;

4) Setiap orang bebas menentukan isi dan syarat –syarat perjanjian yang

dibuatnya;

5) Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum, maksudnya bebas

untuk memilih pada hukum mana perjanjian yang dibuatnya akan tunduk.

Asas kebebasan berkontrak menyebabkan timbulnya berbagai macam

perjanjian dalam masyarakat sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang pesat timbullah perjanjian-perjanjian

yang bentuk dan isinya sudah dibakukan serta dibuat secara massal (standarisasi

kontrak). Di dalam perjanjian-perjanjian standar ini pihak lawan hanya tinggal

disodori dan diminta persetujuan dari pihak lawan dengan tidak mempunyai

kebebasan untuk tawar-menawar. Adanya kemajuan tersebut maka kebebasan

berkontrak dibatasi dengan campur tangan penguasa yang bertindak sebagai

pelindung terhadap pihak yang secara ekonomis lebih lemah kedudukannya,

misalnya besarnya suku bunga sudah ditentukan oleh pemerintah.

4

Page 5: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

c. Asas pacta sunt servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian dan diatur dalam

Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH perdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kata

“… berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan

asas ini berarti para pihak harus mentaati perjanjian yang telah mereka buat seperti

halnya mentaati undang-undang, artinya apabila diantara para pihak ada yang

melanggar perjanjian tersebut maka pihak tersebut dianggap melanggar

undang-undang, yang tentunya akan dikenai sanksi hukum. Akibat dari asas

pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik tanpa persetujuan pihak

lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu “suatu

perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau

karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.”

d. Asas itikad baik

Menurut Wirjono Prodjodikoro, di dalam hukum perjanjian itikad baik itu

mempunyai dua pengertian yaitu:

1) Itikad baik dalam arti subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan

suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang

pada waktu diadakan perbuatan hukum.

2) Itikat baik dalam arti obyektif, yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian

harus didasarkan pada norma kepatutan dalam masyarakat. Dalam

pelaksanaan perjanjian tersebut harus tetap berjalan dengan mengindahkan

norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas rel yang

benar. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata memberikan suatu kekuasaan pada

hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai

pelaksanaannya tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan.

Kepatutan dimaksudkan agar jangan sampai pemenuhan kepentingan salah

satu pihak terdesak tetapi harus ada keseimbangan antara berbagai

kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan. Keadilan maksudnya bahwa

kepastian untuk mendapatkan apa yang sudah diperjanjikan dengan

memperhatikan norma-norma yang berlaku.

5

Page 6: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

e. Asas kepribadian

Asas ini berhubungan dengan subyek yang terikat dalam suatu

perjanjian. Asas kepribadian dalam perjanjian ini dalam KUH Perdata diatur dalam

Pasal 1340 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku

antara pihak-pihak yang membuatnya.” Dengan demikian dapat dibenarkan bahwa

dalam suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak

ketiga, juga tidak boleh mendatangkan keuntungan atau kerugian pada pihak ketiga

kecuali telah ditentukan lain oleh undang-undang. Pernyataan ini diatur dalam Pasal

1340 ayat (2) yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi

kepada pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat

karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata.

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian di atur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang

meliputi:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

c. Suatu hal tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, syarat pertama dan kedua

disebut sebagai syarat subjektif karena menyangkut keadaan subjeknya, sedangkan

syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek

perjanjiannya. Terhadap syarat-syarat tersebut apabila syarat subjektif yang tidak

dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan artinya selama tidak ada pembatalan

perjanjian dianggap sah, sedangkan apabila syarat objektif yang tidak dipenuhi maka

perjanjian batal demi hukum artinya sejak semula dianggap tidak pernah ada.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak dimana kehendak pihak

yang satu saling mengisi dengan kehendak pihak yang lain. Sepakat atau

persesuaian kehendak diantara para pihak tersebut adalah mengenai hal-hal pokok

6

Page 7: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

dalam perjanjian. Kata sepakat dari para pihak tersebut harus dinyatakan dalam

keadaan bebas artinya tidak ada cacad kehendak. Dalam Hukum Perjanjian yang

dimaksud dengan cacad kehendak adalah kekhilafan, paksaan dan penipuan.

Kekhilafan menurut Pasal 1322 KUH Perdata dapat dibagi menjadi dua yaitu

kekhilafan mengenai orang yang diajak berjanji (error in persona) dan kekhilafan

mengenai hakekat barang (error in substantia). Terjadi error in persona apabila salah

satu pihak menganggap bahwa yang diajak berjanji itu adalah orang yang diinginkan

padahal sebenarnya bukan. Terjadi error in substantia apabila salah satu pihak

menganggap bahwa benda / barang itu adalah seperti benda yang diinginkan

padahal sebenarnya bukan.

Paksaan menurut Pasal 1324 ayat (1) KUH Perdata adalah suatu perbuatan

yang dapat menimbulkan rasa takut bagi orang yang berpikiran sehat, juga

menimbulkan ancaman bagi harta kekayaannya.

Penipuan menurut Pasal 1328 KUH Perdata dapat terjadi apabila salah satu

pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang palsu atau tidak benar disertai

dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan agar memberikan persetujuan.

Menurut Salim, dalam perkembangannya ada sebab baru yang dapat

dianggap sebagai cacad kehendak yaitu penyalah gunaan keadaan (undue

influence). Hal ini terjadi apabila dalam suatu perjanjian salah satu pihak mempunyai

kelebihan dari yang lain, baik kelebihan ekonomis maupun kelebihan pisik. Dalam hal

ada kelebihan ekonomis, maka yang lemah akan mempunyai posisi yang

“bergantung” dari yang lain, sehingga untuk mendapatkan prestasi tertentu yang

sangat dibutuhkan ia terpaksa harus bersedia menerima janji-janji dan klausula-

klausula yang sangat merugikan bagi dirinya . Meskipun demikian tidak semua

perjanjian yang salah satu pihaknya berada dalam keadaan ekonomi lebih kuat pasti

mengandung unsur penyalah gunaan keadaan. Menurut Sularto, sebagai pedoman,

ada beberapa ciri dari suatu perjanjian yang mengandung unsur penyalahgunaan

keadaan, yaitu:

1) pada saat menutup perjanjian salah satu pihak berada dalam keadaan terjepit;

2) salah satu pihak dalam keadaan kesulitan keuangan yang mendesak;

7

Page 8: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

3) karena adanya hubungan atasan dengan bawahan, hubungan majikan dengan

buruh, hubungan orang tua/wali dengan anak belum dewasa;

4) salah satu pihak pasien yang membutuhkan pertolongan dokter ahli;

5) adanya pelaksanaan prestasi yang tidak seimbang;

6) adanya kalusula eksenorasi untuk membebaskan tanggung jawab;

7) adanya kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak.

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

Pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian,

kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian (Pasal

1329 KUH Perdata). Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap

membuat perjanjian, sebagai mana diatur oleh pasal 1330 KUH Perdata, adalah

orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, dan orang

perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang–undang. Dalam

perjalanannya, ketentuan mengenai ketidakcakapan ini mengalami pergeseran

dengan digulirkannya beberapa instrumen legal formal seperti S.E. M.A. Nomor 3

Tahun 1963 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

c. Suatu hal tertentu

Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah obyek dari perjanjian, suatu

pokok dimana perjanjian diadakan. Didalam suatu perjanjian obyek perjanjian harus

tertentu dan setidak tidaknya dapat ditentukan. Pokok perjanjian ini tidak harus

ditentukan secara individual tetapi cukup dapat ditentukan menurut jenisnya. Hal ini

menurut ketentuan Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Suatu

perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit

ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu,

asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.

Dari pasal tersebut terkandung pengertian bahwa perjanjian atas suatu barang

yang baru akan ada itu diperbolehkan. Kemudian dalam Pasal 1334 ayat (1) KUH

Perdata ditentukan bahwa: “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari

dapat menjadi pokok suatu perjanjian”.

8

Page 9: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

Selain syarat tersebut di atas, maka obyek perjanjian itu adalah barang-

barang dalam perdagangan, artinya barang-barang tersebut dapat diperdagangkan

dan diperalihkan secara bebas tanpa ada larangan dari undang-undang, ketertiban

umum dan kesusilaan.

d. Suatu sebab yang halal

Pembentuk undang-undang tidak memberikan definisi tentang suatu sebab

dalam pasal-pasal KUH Perdata. Menurut Yurisprudensi yang dimaksud dengan

“sebab“ adalah sesuatu yang akan dicapai oleh para pihak dalam perjanjian atau

sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian. Dalam Pasal 1336 KUH Perdata, disebutkan

adanya perjanjian dengan macam sebab yaitu: Perjanjian dengan sebab yang halal;

Perjanjian dengan sebab yang palsu atau terlarang; dan Perjanjian tanpa sebab.

Perjanjian dengan sebab yang halal maksudnya bahwa isi dari perjanjian itu

tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Perjanjian dengan sebab yang palsu (terlarang) termasuk dalam perngertian dalam

sebab yang tidak halal. Suatu sebab dikatakan palsu apabila sebab tersebut

diadakan oleh para pihak untuk menutupi atau menyelubungi sebab yang

sebenarnya. Sedangkan sebab yang terlarang maksudnya sebab yang bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu perjanjian tanpa

sebab dapat terjadi apabila tujuan yang dimaksudkan oleh para pihak pada saat

dibuatnya perjanjian tidak akan tercapai.

4. Unsur-unsur Perjanjian

a. Esensialia

Esensialia merupakan unsur pokok yang selalu harus ada dalam

perjanjian. Tanpa adanya unsur tersebut perjanjian tidak mungkin ada.

Sebagai contoh, dalam Perjanjian Jual Beli esensialianya adalah Barang dan

Harga.

b. Naturalia

Naturalia adalah unsur yang melekat pada perjanjian, dianggap ada dalam

perjanjian meskipun tidak diperjanjikan secara khusus. Unsur naturalia

9

Page 10: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

sebenarnya sudah diatur dalam UU (KUH Perdata) sebagai hukum pelengkap,

tetapi para pihak boleh menyimpanginya dan mengatur sendiri di dalam

perjanjian. Oleh karena itu untuk perjanjian bernama Naturalia boleh disebut

dalam perjanjian boleh tidak disebutkan. Jika disebut yang berlaku yang

disebutkan itu, jika tidak disebut yang berlaku ketentuan dalam KUH Perdata.

Tetapi untuk perjanjian tidak bernama (jenis baru) tidak ada Naturalia karena

belum ada kodifikasinya. Sehingga untuk melindungi dirinya masing-masing

pihak dapat mengajukan syarat-syarat tertentu asalkan disetujui oleh pihak

lawannya.

c. Aksidentalia

Unsur yang apabila dikehendaki harus ditambahkan oleh para pihak di

dalam perjanjian asal saja hal itu tidak dilarang oleh UU. Aksidentalia ini

mengikat apabila dinyatakan secara tegas di dalam perjanjian. Sebagai

contoh, Sewa menyewa rumah artinya dalam keadaan kosong, oleh karena itu

apabila ingin menyewa rumah termasuk mebelair, telepon dan sebagainya

harus dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian.

5. Jenis-jenis Perjanjian

Menurut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, untuk dapat mengetahui jenis-

jenis perjanjian maka dapat dilakukan dengan cara mengkategorisasikan semua

perjanjian yang terdapat dalam KUH Perdata. Ditinjau dari segi akibat hukum yang

ditimbulkan dalam perjanjian maka perjanjian dibedakan menjadi beberapa macam

yaitu:

1) Perjanjian obligatoir, adalah perjanjian yang hanya menimbulkan hak dan

kewajiban diantara para pihak.

2) Perjanjian leberatoir, adalah perjanjian yang isinya bertujuan untuk

membebaskan para pihak dari suatu kewajiban hukum tertentu.

3) Perjanjian kekeluargaan, adalah perjanjian yang terdapat dalam lapangan

hukum keluarga, misalnya perjanjian kawin.

4) Perjanjian pembuktian, adalah perjanjian mengenai alat-alat bukti yang akan

berlaku diantara mereka.

10

Page 11: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

5) Perjanjian kebendaan, adalah perjanjian yang bertujuan untuk mengalihkan atau

menimbulkan, mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.

Berdasarkan hak dan kewajiban yang ditimbulkan, maka perjanjian dibedakan

menjadi:

a) Perjanjian sepihak yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu

puhak saja sedangkan pada pihak yang lain hanya terdapat hak saja,

misalnya perjanjian hibah.

b) Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban

diantara para pihak yang membuat perjanjian, misalnya perjanjian jual beli.

Berdasarkan saat terbentuknya, perjanjian dibedakan menjadi:

a) Perjanjian Konsensuil, yaitu perjanjian yang terbentuknya setelah adanya

kata sepakat antara para pihak mengenai pokok perjanjian;

b) Perjanjian Formal, yaitu perjanjian yang terbentuknya diperlukan formalitas

tertentu yang ditentukan oleh UU, dengan demikian tanpa adanya formalitas

tertentu tersebut tidak ada perjanjian;

c) Perjanjian Riil, yaitu perjanjian yang terbentuknya diperlukan kata sepakat

dan diikuti penyerahan nyata benda yang menjadi objek perjanjian, dengan

demikian tanpa adanya penyerahan objek perjanjian maka tidak akan ada

perjanjian.

Berdasarkan nama dan tempat pengaturannya, perjanjian dibedakan menjadi:

a. Perjanjian Bernama, adalah perjanjian yang telah mempunyai nama tertentu /

khusus dan diatur di dalam KUH Perdata, KUHD dan Peraturan Perundangan

lainnya;

b. Perjanjian Tidak Bernama, adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama

tertentu dan tidak diatur di dalam KUH Perdata yang juga sering disebut

dengan istilah Perjanjian Jenis Baru.

6. Wanprestasi dan akibatnya

Menurut Subekti, wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan

kesalahannya salah satu pihak tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah

ditentukan dalam perjanjian. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:

11

Page 12: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai dengan isi perjanjian.

Sejak kapan debitur telah wanprestasi dapat dilihat dari bentuk prestasinya.

Dalam hal bentuk prestasi berupa tidak berbuat sesuatu, yaitu pada saat debitur

berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Untuk prestasi yang

berupa memberikan sesuatu, yaitu apabila batas waktu yang ditentukan dalam

perjanjian telah dilewati. Apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya maka

untuk menyatakan debitur melakukan wanprestasi, diperlukan adanya somasi.

Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang

berisi ketentuan bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau

dalam jangka waktu seperti yang ditentukan dalam pemberitahuan itu.

Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang

melalaikan kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk

mempermudah pembuktian dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke

pengadilan maka sebaiknya diberikan peringatan secara tertulis. Menurut surat

Edaran Mahkamah Agung No. 3 tahun 1963 wanprestasi yang tanpa didahului

somasi dimungkinkan karena dengan diterimanya turunan surat gugat oleh

tergugat yang bersangkutan dianggap sudah menerima somasi karena sebelum

sidang pengadilan, tergugat masih dapat berprestasi.

Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk menyatakan bahwa

seorang debitur melakukan wanprestasi yaitu dalam hal:

1) adanya ketentuan batas waktu dalam perjanjian (fataal termijn);

2) prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu;

3) debitur mengakui dirinya wanprestasi.

Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang

dapat dijatuhkan kepada debitur, yaitu:

1) Membayar kerugian yang diderita kreditur, disingkat ganti rugi.

2) Pembatalan perjanjian.

3) Peralihan rIsiko.

12

Page 13: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

4) Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim (Subekti,

1994).

7. Berakhirnya Perjanjian

Ada beberapa cara yang dapat mengakibatkan berakhir atau hapusnya

perjanjian, yaitu:

1) Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak.

Maksudnya bahwa perjanjian tersebut hapus apabila para pihak telah

menentukan saat berakhirnya perjanjian itu.

2) Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian.

Misalnya menurut Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata yang menjelaskan bahwa

para ahli waris dapat mengadakan perjajian untuk selama waktu tertentu

(maksimal 5 tahun) supaya tidak melakukan pemecahan harta warisan .

3) Terjadinya peristiwa tertentu yang disyaratkan dalam perjanjian.

Misalnya, jika salah satu pihak yang mengadakan perjanjian meninggal dunia

maka perjanjian tersebut akan hapus, hal ini dapat dilihat dalam perjanjian

pemberian kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata), perjanjian kerja (Pasal 1603 j KUH

Perdata).

4) Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging).

Opzegging dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak

dan terjadi pada perjanjian yang bersifat sementara seperti dalam

perjanjian kerja, perjanjian sewa menyewa.

5) Perjanjian hapus karena putusan hakim (Setiawan, 1999).

C. Perancangan Kontrak

Secara teoretis, kontrak adalah perjanjian obligatoir, walaupun secara populer

kontrak sering diterjemahkan sebagai perjanjian yang dibuat secara tertulis. Dalam

perancangan kontrak harus diperhatikan bentuk maupun isinya. Dengan

memperhatikan hal tersebut diharapkan kontrak yang dibuat dapat melindungi

pembuatnya dan dapat dilaksanakan sesuai tujuan pembuatannya. Oleh karena itu

dalam merancang dan atau menyusun kontrak, perlu dicermati mengenai bagian-

13

Page 14: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

bagian kontrak, karena hal tersebut dapat merepresentasikan dari kontrak yang

dibuat.

1. Judul

Judul harus mampu memberikan gambaran pertama mengenai materi pokok

perjanjian. Untuk Perjanjian Bernama tidak ada masalah dengan pemberian judul

karena sudah ada namanya dalam KUH Perdata. Untuk Perjanjian Jenis Baru

Campuran pemberian judul dapat dilakukan dengan menggabungkan unsur-unsur

perjanjian campuran tersebut. Judul dalam Perjanjian Jenis Baru Mandiri dapat

dibuat dengan nama yang lazim digunakan dalam praktek, atau biasanya dalam

praktek jika belum memiliki nama diberi judul ”Perjanjian Kerjasama”.

2. Bagian Awal

Bagian ini berisi tentang penyebutan hari dan tanggal dibuatnya kontrak. Dalam

praktek penyusunan kontrak, kadang tanggal dibuatnya kontrak diletakkan di

bagian akhir. Hanya saja hal tersebut dimungkinkan untuk akta di bawah tangan

dan tidak boleh dilakukan dalam akta otentik.

3. Komparisi

Komparisi adalah penyebutan para pihak, sehingga harus dilakukan secara

cermat karena melalui komparisi ini dapat diketahui terpenuhi atau tidaknya syarat

kecakapan para pihak yang merupakan syarat subyektif perjanjian. Dalam

komparisi juga harus disebutkan apakah para pihak dalam perjanjian bertindak

untuk dirinya sendiri atau bertindak untuk dan atas nama orang lain.

4. Premisse

Premisse berisikan hal-hal yang mendasari atau melatarbelakangi pembuatan

kontrak. Hal-hal yang melatarbelakangi pembuatan kontrak bisa berupa peraturan

perundang-undangan, fakta atau hal-lainnya. Premisse juga menegaskan

kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian.

5. Isi

Isi perjanjian sebenarnya representasi dari unsur-unsur perjanjian, yaitu

esensialia, naturalia dan aksidentalia, oleh karena itu perlu mendapatkan

perhatian dalam penyusunan kontrak karena memiliki arti penting. Sebagai

gambaran, esensialia merupakan objek perjanjian sehingga dari unsur tersebut

14

Page 15: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

dapat diketahui terpenuhi atau tidaknya syarat obyektif perjanjian. Demikian pula

apabila unsur aksidentalia disebut secara tegas dalam perjanjian maka mengikat

para pihak. Unsur aksidentalia dapat ditambahkan dalam perjanjian dengan

catatan tidak dilarang oleh undang-undang. Selain unsur-unsur perjanjian,

terhadap isi kontrak dapat ditambahkan klausula tentang definisi yang menjadi

konsep operasional perjanjian agar tidak multi interpretasi. Tata cara pelaksanaan

kontrak dan alternatif penyelesaian kontrak juga dapat dimasukkan dalam bagian

isi ini.

6. Bagian Akhir

Bagian akhir menyebutkan mengenai tujuan dibuatnya kontrak, yaitu sebagai alat

bukti. Disamping itu, di bagian akhir ini juga terletak tanda tangan para pihak dan

saksi-saksi, jika diperlukan adanya saksi. Pembubuhan materai bukan merupakan

syarat sah perjanjian tetapi lebih mengakomodasikan peraturan perundangan

mengenai Bea dan Materai.

D. Penutup

Sebagaimana makna asas pacta sunt servanda, menyusun perjanjian berarti

menyusun undang-undang bagi diri pembuatnya. Oleh karena itu apa yang akan

dirumuskan sebagai isi perjanjian harus benar-benar dapat melindungi pembuatnya

terhadap kemungkinan adanya perselisihan maupun gangguan dari pihak ketiga agar

sesuai dengan tujuan pembuatannya.

Untuk mencapai maksud tersebut, banyak aspek yang harus diperhatikan di

dalam penyusunan perjanjian, tidak hanya aspek yuridis saja tetapi juga aspek-aspek

lain berkaitan dan atau seputar perjanjian yang dibuat.

Referensi

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

R. Setiawan, 1999, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung.

15

Page 16: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

Salim H.S., 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Subekti dan Tjitrosudibio, 2002, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.

Sularto, 2003, Penyusunan Kontrak, Makalah, Yogyakarta.

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung.

16

Page 17: Materi Kuliah Lbhk Sesi 1 Dr Ari Hernawan Sh Mhum September Ppak Feb Ugm 974

17