Tugas Kronologis Hutan

7
KRONOLOGIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN A. ERA KEMERDEKAAN Terbentuknya Jawatan Kehutanan (1945). Perubahan dari Jawatan Kehutanan menjadi Direktorat Kehutanan dan Tata Bumi (1955). Dikeluarkannya PP o. !4 Tahun 195" tentan# de$entrali$a$i kehutanan di %ro%in$i& den#an membentuk Dina$ Kehutanan (195"). Terbentuknya '' o. 5 Tahun 19! Tentan# Pokok %okok *#raria. Terbentuknya Perum Perhutani melalui PP o. 1" (19!1). +oedjarwo menjadi ,enteri Kehutanan -l (19!4). Tahun 19!! De%artemen Kehutanan kembali menjadi Direktorat Kehutanan dibawah De%artemen Pertanian (Ke%utu$an o. 1" 19!!). B. ERA ORDE BARU Pemerintahan orde baru den#an menera%kan $i$tem $entrali$a$i kekua$aan/ #una %en#uatan ba$i$ kene#araan dan 0oku$ %ada %enyelen##araan %emban#unan. Beran#kat dari ke$adaran bahwa ban#$a ndone$ia membutuhkan rnodal be$ar #una melak$anakan %emban#unan/ %emerintah mulai melirik $ektor +D* $eba#ai modal %emban#unan na$ional. +ektor kehutanan yan# ma$ih menyim%an %oten$i $an#at be$ar $e#era $aja menarik minat %emerintah untuk melakukan ek$%loita$i. 2una mereali$a$ikan ek$%loita$i +D3/ 'ndan# 'ndan# Tentan# Ketentuan ketentuan Pokok Kehutanan (''PK) omor 5 Tahun 19!" diterbitkan. PP o. Tahun 19!" Tentan# luran 3ak Pen#u$ahaan 3utan dan luran 3a$il 3utan. *ru$ in e$ta$i khu$u$nya P,* kemudian men#alir dera$ di $ektor kehutanan $etelah keluarnya '' o. l Tahun 19!" tentan# P,*. 3al yan# $ama kemudian diikuti %ara %en#u$aha dalam ne#eri $atu tahun kemudian/ yakni $emenjak '' o. ! Tahun 19!6 tentan# P,D diberlakukan %emerintah. +ementara untuk hutan di %ulau Jawa dan ,adura hak %en#elolaannya di$erahkan ke%ada Perum Perhutani ($eba#ian be$ar tata 7ara %en#uru$annya ma$ih memberlakukan 8rdonan$i 3utan Jawa dan ,adura/19 "). PP omor ! tahun 19!6 tentan# Penarikan 'ru$an Kehutanan dari Daerah Kabu%aten ke Pro%in$i di ilayah ndone$ia Ba#ian Tirnur/ den#an tindak lanjut diterbitkannya +KB ,enteri Dalam e#eri dan ,enteri Pertanian tentan# %emba#ian ha$il iuran 3P3 dan luran ha$il hutan antara Pemerintah Pu$at dan Pemerintah Daerah. Pada tahun 19" mun7ul PP o. :: tahun 19" tentan# %eren7anaan 3utan yan# dialihkan dari daerah menjadi kewenan#an %u$at. Peraturan baru tentan# 3P3 dan 3P33 melalui PP o. 1 tahun 19" . Ke%utu$an ,enteri Pertanian o. :!9 tahun 19" tentan# Peneta%an Be$arnya uran 3a$il 3utan. Tugas Mata Kuliah Sosiologi Pembangunan Kronologis Pembangunan Kehutanan Gannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L. 1

description

Tugas LH

Transcript of Tugas Kronologis Hutan

KRONOLOGIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN

KRONOLOGIS PEMBANGUNAN KEHUTANAN

A. ERA KEMERDEKAAN Terbentuknya Jawatan Kehutanan (1945). Perubahan dari Jawatan Kehutanan menjadi Direktorat Kehutanan dan Tata Bumi (1955). Dikeluarkannya PP No. 64 Tahun 1957 tentang desentralisasi kehutanan di propinsi; dengan membentuk Dinas Kehutanan (1957). Terbentuknya UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria. Terbentuknya Perum Perhutani melalui PP No. 17 (1961). Soedjarwo menjadi Menteri Kehutanan Rl (1964).

Tahun 1966 Departemen Kehutanan kembali menjadi Direktorat Kehutanan dibawah Departemen Pertanian (Keputusan No. 170/1966).

B. ERA ORDE BARU Pemerintahan orde baru dengan menerapkan sistem sentralisasi kekuasaan, guna penguatan basis kenegaraan dan fokus pada penyelenggaraan pembangunan. Berangkat dari kesadaran bahwa bangsa Indonesia membutuhkan rnodal besar guna melaksanakan pembangunan, pemerintah mulai melirik sektor SDA sebagai modal pembangunan nasional. Sektor kehutanan yang masih menyimpan potensi sangat besar segera saja menarik minat pemerintah untuk melakukan eksploitasi. Guna merealisasikan eksploitasi SDH, Undang-Undang Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (UUPK) Nomor 5 Tahun 1967 diterbitkan. PP No. 22 Tahun 1967 Tentang luran Hak Pengusahaan Hutan dan luran Hasil Hutan. Arus investasi khususnya PMA kemudian mengalir deras di sektor kehutanan setelah keluarnya UU No. l Tahun 1967 tentang PMA. Hal yang sama kemudian diikuti para pengusaha dalam negeri satu tahun kemudian, yakni semenjak UU No. 6 Tahun 1968 tentang PMDN diberlakukan pemerintah. Sementara untuk hutan di pulau Jawa dan Madura hak pengelolaannya diserahkan kepada Perum Perhutani (sebagian besar tata cara pengurusannya masih memberlakukan Ordonansi Hutan Jawa dan Madura,1927). PP Nomor 6 tahun 1968 tentang Penarikan Urusan Kehutanan dari Daerah Kabupaten ke Propinsi di Wilayah Indonesia Bagian Tirnur, dengan tindak lanjut diterbitkannya SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian tentang pembagian hasil iuran HPH dan luran hasil hutan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada tahun 1970 muncul PP No. 33 tahun 1970 tentang perencanaan Hutan yang dialihkan dari daerah menjadi kewenangan pusat. Peraturan baru tentang HPH dan HPHH melalui PP No. 21 tahun 1970. Keputusan Menteri Pertanian No. 369 tahun 1972 tentang Penetapan Besarnya Iuran Hasil Hutan. Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 yang mengatur penerapan sistem silvikultur TPI, THPA dan THPB dalam pengusahaan hutan produksi disamping itu diatur juga tentang pengukuhan kawasan hutan, kawasan konservasi, jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan. Tahun 1973 PT. Inhutani I sebagai BUMN mulai dibentuk, dengan kantor pusat berkedudukan di Jakarta. Wilayah kerja PT. Inhutani 1 ini mencakup areal hutan di Kalimantan Timur. Pada tahun 1974 pemerintah membentuk PT. Inhutani II dan PT. Inhutani III yang wilayah kerjanya masing-masing mencakup areal hutan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, Sementara untuk pengelolaan areal hutan di pulau Sumatera, pemerintah rnembentuk PT. Inhutani IV dan PT, Inhutani V. Disamping BUMN, UPT di daerah secara bertahap mulai dikernbangkan, seperti bidang perencanaan, pendidikan dan latihan, konservasi sumberdaya alamr penelitian, serta rehabilitasi hutan dan konservasi tanah. Sementara untuk pengurusan administrasi di daerah, melalui Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, pemerintah mengaktifkan pengurusan hutan rnelalui Dinas Kehutanan dan Cabang Dinas Kehutanan. Pengusahaan kayu melalui HPH (yang sudah berlangsung sejak tahun 1967) mengalami "booming logs/kayu bulat sekitar tahun awal 1980-an. Pada saat itu tercatat sekitar 632 unit HPH beropsrasi di Indonesia dengan luas konsesi per HPH antara 30.000 hingga jutaan hektar. Pada ''era logs ini pengusaha rnemperoleh penghasilan rnelalul ekspor kayu bulal/gelondongan dan hasll ikutan lainnya. Sementara pemerintah memperoleh devisa dan pendapatan negara antara lain dari iuran HPHH, IHH, DR, penyerapan tenaga kerja, dan tumbuhnya berbagai rnanufaktur dan pengolahan kayu, mulai dari hulu sampai hilir. Pada masa itu, kehutanan benar-benar menjadi andalan pemerintah sebagai "mesin pencetak uang dan lumbung emas" guna menopang berbagai program pembangunan, dengan menduduki peringkat 2, sebagai pemasok devisa tertinggi bagi negara setelah minyak. Indonesia mampu mencapai predikat the new emerging tiger in Asia.

Kekhawatiran akan terancamnya kelestarian hutan mulai menarik perhatian banyak kalangan. Sangat beralasan apabila organisasi-organisasi masyarakat (LSM-LSM) sebagai lembaga pemerhati dan peduli terhadap masalah kelestarian hutan mulai bermunculan, seperti Walhi, Skephi dan KPSA. Kepedulian ini dilandasi oleh berbagai fakta bahwa selain faktor lingkungan yang semakin terdegradasi, aspek sosial kemasyarakat semakin terpinggirkan, Efek menetes ke bawah (tricle down effect) yang dikonsepsikan oleh pemeritah untuk mensejahterakan masyarakat tidak berjalan baik. Justru yang muncul adalah timbulnya kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara masyarakat miskin dengan kaya dengan kota, pusat dengan daerah. Di sektor kehutanan disparitas ini cukup rnenonjol manakala dilihat bahwa masyarakat sekitar hutan tidak beranjak status ekonominya setelah sekian lama pengusahaan kehutanan beroperasi di sekitar tempat tinggalnya. Proses partisipasi masyarakat, baik partisipasi ekonomi, maupun partisipasi politik tidak berjalan dengan baik. Pada tahun 1990 guna melengkapi UU No 5 Tahun 1967 yang sangat berorientasi pada pengusahaan hutan pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini menjadi fundamen pembangunan SDH berbasis ekosistem. Terdapat tiga aspek yang ditekankan dalam UU tersebut yaitu : (1). pengawetan plasma nutfah, flora fauna dan ekosistem unik. (2). adanya perlindungan sistem ekologi penyangga kehidupan, (3). pelestarian pemanfaatan SDH secara lintas generasi. Tiga aspek ini menjadi landasan awal berkembangnya konsep PHL di bidang kehutanan. Sementara itu di bidang sosial pemerintah mengeluarkan SK Menhut No. 691/Kpts-II/1991 mengenai HPH Bina Desa Hutan yang menjadi landasan awal pelaksanaan kelola sosial. Dua produk hukum ini diharapkan mampu mengurangi laju kerusakan hutan sekaligus mampu mengatasi permasalahan sosial yang sudah mulai menonjol pada waktu itu. Namun pandangan-pandangan eksploitatif yang masih dominan pada waktu itu baru menempatkan kelola lingkungan dan kelola sosial dalam tataran wacana, sementara visi misi para pelaku kehutanan di lapangan masih produksi centris. Pada pertengahan era 1990-an, pengetolaan kehutanan di Indonesia mulai menjurus pada jalur yang benar. Tuntutan-tuntutan international mengenai perbaikan kualitas lingkungan seperti konferensi bumi di Rio de Jeneiro, Deklarasi Paris dan Deklarasi Yokohama mulai menggeser pengelolaan hutan di Indonesia ke arah ecosystem base. Sistem Pengelolaan Hutan Lestari berawal pada periode inir dimana seluruh pengelolaan hutan harus berujung kepada kelestarian fungsi produksi, kelestarian fungsi ekologi dan kelestarian fungsi sosial. Puncak dari periode emas sektor kehutanan adalah keluarnya UU No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan yang menggeser sektor kehutanan dari timber manajemen ke arah ecologycal and social base forest manajemen.

C. ERA REFORMASI Memasuki era reformasi terjadi penegasan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegasan tersebut mencapai finalnya dengan dllaksanakannya otonomi daerah. Sementara itu pelaksanaan pengelolaan SDH sudah memiliki basis yang lestari, yaitu dengan dilaksanakannya SPHL dan kesadaran untuk melakukan power sharing dalam pelaksanaan kinerja pengelolaan hutan rnelalui mekanisme GCG. Pada aspek kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah misalnya, pernerintah telah menjawabnya dengan menerapkan kebijakan otonomi daerah melalui UU No. 22 dan 25 Tahun 1999. Sementara kesenjangan antara pelaku pembangunan (pemerintah, swasta dan rnasyarakat) yang selama ini terlalu didominasi oleh pemerintah mulai mencair dengan pelaksanaan penciptaan GCG. Oleh karena itu kondisi yang sangat kondusif ini seharusnya mampu menjadi landasan untuk menancapkan pengelolaan hutan yang optimal dan lestari. Akan tetapi masa transisi yang berlarut-larut selama hampir 7 tahun ini telah menyebabkan proses-proses pengelolaan kehutanan yang seharusnya sudah tinggal landas menjadi terhambat. Diakui, hegemoni pemerintah orde baru selama 32 tahun kurang memberikan pembelajaran bagi jajaran birokrasi di pusat maupun di daerah mengenai mekanisme pendistribusian kewenangan. Selain itu UU 22 Tahun 1999 ternyata memberikan batas-batas kewenangan yang terlalu besar, yang ditandai dengan tidak adanya hirarkhi kewenangan/perijinan, hirarkhi teknis maupun hirarkhi karier antara pusat-daerah dan antar daerah, misalnya lintas provinsi atau lintas kabupaten. Di sisi lain disparitas ekonomi yang ada di masyarakat selama pemerintahan orde baru akibat dari kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah menciptakan situasi "chaos. Masyarakat yang selama ini merasa terpinggirkan menjadt lepas kendali ketika reformasi berjalan. Mekanisme penciptaan GCG yang seharusnya menempatkan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam posisi seimbang menjadi berantakan. Di daerah-daerah dengan mengatasnamakan masyarakat pihak-pihak tertentu dengan leluasa dapat melakukan apa saja baik penyerobotan lahan, pembumihangusan camp, sampai pengkaplingan hutan, Situasi tertekan yang tercipta selama pemerintahan orde baru terlampiaskan rnelalui gerakan radikal di lapangan. Kondisi inilah yang rnenyebabkan sektor kehutanan pada era reformasi menjadi terpuruk. Gagasan dasar yang sangat mulia dengan dilaksanakannya berbagai kebijakan yang reformatif belum berjalan di tingkat pengelolaan. Fakta di lapangan justru iklim usaha menjadi kurang kondusif. Dan 623 unit HPH pada tahun 80 -an pada era ini tinggai 266 unit yang masih berdiri. Sementara itu illegal logging, ilegal trade, dan perambahan hutan menjadi fakta lain yang menyelimuti pengelolaan kehutanan di era ini sehingga laju percepatan kerusakan hutan semakin meningkat. Pada akhir episode ini bisa dikatakan sektor kehutanan mencapai titik nadirnya. Keterpurukan yang terjadi di sektor kehutanan tidak dapat dibiarkan terus berlarut, keterpurukan yang sedang melanda sektor kehutanan tidak mampu menyembunyikan bahwa sektor kehutanan rnasih tetap menyimpan potensi yang sangat besar bagi pembangunan nasional. Melalui model PHL maka potensi besar yang masih terdapat di sektor kehutanan akan dapat dioptimalkan pengelolaannya tanpa harus mengorbankan segi-segi lingkungan dan sosial. Era multi komoditas SDH menempatkan bahwa produksi kehutanan tidak lagi terfokus pada kayu, tetapi juga komoditas-komoditas lain seperti perdagangan karbon, keanekaragaman hayati, eko wisata maupun sumber daya air Potensi-potensi ini menjadi harapan terbesar bagi pembangunan dunia kehutanan ke depan disamping potensi kayu dan produk turunannya. Sudah saatnya bagi seluruh stakeholder pembangunan kehutanan untuk menajamkan visi GCG untuk mempercepat pelaksanaan "kerja besar" di sektor kehutanan yaitu melaksanakan PHL. Otonomi Daerah dapat menjadi titik awal optimalisasi kinerja triparti pembangunan kehutanan. Dengan visi keterpaduan antara pemerintah, swasta dan masyarakat yang berada dalam bingkai GCG maka upaya mewujudkan PHL dalam wadah KPH di Indonesia akan menjadi lebih mudah. Berbagai kebijakan tentang PHL yang sudah dibangun, maupun bertiagai prakondisi yang sudah tercipta akan dapat mempercepat seluruh triparti pembangunan kehutanan untuk melaksanakan PHL. Langkah awal yang harus segera diiakukan deh pemerintah saat ini bersama-sama dengan swasta dan masyarakat adalah segera mulai membangkitkan kembali dunia kehutanan. Upaya pembangkitan kehutanan dapat dilakukan melalui tiga langkah pokok, yaitu (1). rekalkulasif kawasan hutan dan potensi kehutanan, (2). redesain manajemen hutan dan industri kehutanan, dan (3). restrukturisasi kelembagaan kehutanan. Melalui tiga langkah pokok ini maka akan diperoleh muka baru" pengelolaan hutan yang aman konflik, yang lestari fungsi produksinya, yang lestari fungsi ekologinya, yang lestari fungsi sosialnya serta yang mantap kelembagaannya. Saat ini ketiga langkah tersebut menjadi starting point untuk kembali meratap jalan menuju sistem pengelolaan hutan yang menjadi cita-cita bersama yaitu PHL.

KEBIJAKAN BARU DI ERA REFORMASI

SK Menteri dan Peraturan Pemerintah yang berkaitan langsung dengan penjabaran paket IMF dan kebijaksanaan redistribusi asset dalam pengelolaan hutan adalah sebagai berikut :

Liberalisasi Perdagangan

1. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 26/MPP/Kep/1/1998 tentang Pencabutan Tata Niaga Ekspor Kayu Lapis. 21 Januari 19982. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 27/MPP/Kep/1/1998 tentang Penghapusan Kelompok Pemasaran Bersama Kayu Lapis. 21 Januari 19983. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 28/MPP/Kep/1/1998 tentang Ketentuan Ekspor Kayu Lapis. 21 Januari 19984. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 29/MPP/Kep/1/1998 tentang Pencabutan Jatah Ekspor Kayu Lapis. 21 Januari 19985. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 30/MPP/Kep/1/1998 tentang Pencabutan Tata Niaga Kayu Gergajian dan Kayu Olahan. 21 Januari 19986. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 31/MPP/Kep/1/1998 tentang Pencabutan Kelompok Pemasaran Bersama Kayu Gergajian dan Kayu Olahan. 21 Januari 19987. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 32/MPP/Kep/1/1998 tentang Ketentuan Ekspor Kayu Gergajian dan Kayu Olahan. 21 Januari 19988. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 33/MPP/Kep/1/1998 tentang Pencabutan Ketentuan Tata Niaga Ekspor Lampit Rotan. 21 Januari 19989. SK. Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 34/MPP/Kep/1/1998 tentang Ketentuan Ekspor Lampit Rotan. 21 Januari 199810. Keputusan Menteri Keuangan RI No. 24/KMK.01/1998 tentang Penetapan Besarnya Tarif dan Tata cara Pembayaran Serta Penyetoran Pajak Ekspor Atas beberapa Komoditi Tertentu. 22 April 1998.Pengaturan Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan

1. Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 5 Mei 1998.2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1998 tentang Provisi Sumberdaya Hutan. 20 April 19983. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 598/Kpts-II/1998 tentang Bersanya Provisi Sumberdaya Hutan (PSDH) per Satuan Hasil Hutan Kayu. 24 Juni 1998.4. Keputusan Presiden No. 67 Tahun 1998 tentang Perubahan Keppres No. 30 Tahun 1990 tentang Pengenaan, Pemungutan, dan Pembagian Iuran Hasil Hutan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keppres No. 41 tahun 1993. 20 April 1998.5. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. /Kpts-II/1998 tentang Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Jalur. 10 September 1998.6. Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. 7 Oktober 1998.7. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1999 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemanfaatan hasil Hutan. 27 Januari 1999. Dalam perannya untuk menurunkan pengangguran di pedesaan, mulai tahun 2008, pemerintah memberi akses legal pada masyarakat setempat sebagai pemegang Izin Usaha Pemamfaatan Hutan Produksi (small concessionaires) melalui pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) beserta akses ke lembaga pembiyaan pembanguan hutan dalam bentuk Badan Layanan Umum mengingat perbangkan belum tertarik untuk pembiyaan pembanguan hutan. Mulai 2007 telah dibuka investasi untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem Hutan (IUPHHK-RE) dan Izin Usaha Pemamfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) untuk masyarakat yang tinggal di dalam/di sekitar hutan yang terus tumbuh. Demikian juga Investasi Izin Usaha Pemamfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) meningkat pada 2008 terutama untuk pengembangan pangan dan energi biomasa seiring dengan krisis pangan dan energi pada tahun 2007. Pada tahun 2008 juga dimulai masuknya rencana investasi untuk penyimpanan karbon (carbon stock) dan Penyerapan Karbon (carbon sink) dalam kerangka REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation) terkait Perubahan Iklim global (Climate Change). Peranan sektor kehutanan dalam penurunan kemiskinan dilaksanakan dalam koordinasi Bidang Kesejahjteraan Rakyat melalui pemberian akses hukum ke pemamfaatan hutan dan pembiyaan yang luas dalam program pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan penyaluran dana bergulir (revolving funds) melalui Pusat Pembiyaan Pembangunan Hutan sejak 2007. Selain itu, peningkatan program pemeberdayaan masyarakat yang tinggal di dalam/di sekitar hutan seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM), Hutan Rakyat Pola Kemitraan (HRPTK), Indstri Kayu Berbasis Hutan Rakyat, Bina Desa Hutan dan Desa Konservasi Hutan terus dilakukan secara bertahap dan konsisten.SKEMA KRONOLOGIS KEHUTANAN

ERA KEMERDEKAAN

ERA ORDE BARU

ERA REFORMASIJawatan Kehutanan

Direktorat Kehutanan

1955

1945

Departemen

Kehutanan

1957

1966

Direktorat Kehutanan

dibawah

Departemen

Pertanian

1967

1973

1998

Eksploitasi SDH dan muncul PMA

PT. Inhutani/

BUMN,

Wacana Konservasi

Ecological & Social Base Forest Management

1999

2007

Transisi ditandai pencabutan/ penghapusan Keputusan

Pemberdayaan Masyarakat & Sustainable Development

Investasi Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

1990

PAGE 6Tugas Mata Kuliah

Sosiologi PembangunanKronologis Pembangunan KehutananGannery, A. G. Sjamsidi, M. Apituley, F. L.