tugas konservasi 3

31
KONSERVASI SUMBER DAYA DAN LINGKUNGAN LAUT Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah konservasi sumbedaya dan lingkungan laut Disusun oleh: Sherly Intan Amalia (230210100010) Eka Septiyawati (230210100034) Erin Yusrina (230210100040) Ajeng Yuniar Ikhsani (230210100049) Sri Setyawati (230210100057) Rani Handayani (230210100058) UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN JATINANGOR 2013

description

konservasi

Transcript of tugas konservasi 3

Page 1: tugas konservasi 3

KONSERVASI SUMBER DAYA

DAN LINGKUNGAN LAUT

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas

mata kuliah konservasi sumbedaya dan lingkungan laut

Disusun oleh:

Sherly Intan Amalia (230210100010)

Eka Septiyawati (230210100034)

Erin Yusrina (230210100040)

Ajeng Yuniar Ikhsani (230210100049)

Sri Setyawati (230210100057)

Rani Handayani (230210100058)

UNIVERSITAS PADJADJARAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

JATINANGOR

2013

Page 2: tugas konservasi 3

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laut menyimpan sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya alam

hayati maupun nonhayati terdapat di laut. Sumber daya alam yang ada di laut

dapat mengalami kerusakan. Beberapa faktor kerusakan sumber daya alam di laut

sebagian besar disebabkan oleh tindakan manusia.

Perairan nasional mengandung kekayaan hayati dengan berjuta organisme

yang membutuhkan penanganan dan perlindungan berkesinambungan, sehingga

konservasi dan pengembangan potensi sumber daya ikan tetap terjaga dan

terkontrol. Tahun 2004, IUCN melansir bahwa spesies akuatik yang terancam

punah di dunia mencakup 2.265 jenis, termasuk ikan air laut (163 spesies) dan

ikan air tawar (627 spesies), diantaranya 29 jenis ikan air tawar berasal dari

Indonesia.

Upaya perlindungan telah dilakukan pemerintah, diantaranya adalah

dengan menerbitkan berbagai aturan yang membatasi pemanfaatan organisme

yang ada dan hidup di perairan Indonesia. Berbagai aturan yang diterbitkan

diantaranya adalan “Keputusan Presiden No. 43 Tahun 1978 Tentang:

“Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And

Flora” serta “Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang

Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa“. Melalui Keputusan Presiden RI No. 43

Tahun 1978, Indonesia telah meratifikasi CITES dan sebagai konsekuensinya

perdagangan tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang dilaksanakan oleh Indonesia

harus tunduk pada ketentuan CITES.

Berkaitan dengan terjadinya kerusakan alam dan hilangnya beberapa

keanekaragaman hayati, dengan disusunnya makalah ini diharapkan dapat

menambah wawasan mengenai ketidaktahuan mahasiswa khususnya dan

masyarakat umumnya terhadap biota-biota laut yang perlu dilindungi sehingga

tumbuh kepedulian terhadap pelestarian biota-biota tersebut.

Page 3: tugas konservasi 3

1.2 Tujuan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah :

1. Mengetahui definisi mengenai penangkaran biota laut.

2. Mengetahui beberapa biota laut yang dilindungi.

3. Mengetahui dan memahami cara penangkaran beberapa biota laut terutama

kima, kuda laut, dan Banggai Cardinal Fish.

4. Mengetahui teknik penangkaran in-situ dan ex-situ kima, kuda laut, dan

Banggai Cardinal Fish.

Page 4: tugas konservasi 3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Penangkaran

Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 2011 tentang pengelolaan

kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam, penangkaran adalah upaya

perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran benih/bibit atau anakan

dari tumbuhan liar dan satwa liar, baik yang dilakukan di habitatnya maupun di

luar habitatnya, dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan kemurnian

jenis dan genetik. Penangkaran tumbuhan dan satwa berbentuk :

1. Pengembangbiakan satwa,

2. Pembesaran satwa, yang merupakan pembesaran anakan dari telur yang

diambil dari habitat alam yang ditetaskan di dalam lingkungan terkontrol

dan atau dari anakan yang diambil dari alam (ranching/rearing),

3. Perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam kondisi yang terkontrol

(artificial propagation).

Pengembangbiakan satwa adalah kegiatan penangkaran berupa

perbanyakan individu melalui cara reproduksi kawin (sexual) maupun tidak kawin

(asexual) dalam lingkungan buatan dan atau semi alami serta terkontrol dengan

tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Pembesaran satwa adalah kegiatan

penangkaran yang dilakukan dengan pemeliharaan dan pembesaran anakan atau

penetasan telur satwa liar dari alam dengan tetap mempertahankan kemurnian

jenisnya. Perbanyakan tumbuhan (artificial propagation) adalah kegiatan

penangkaran yang dilakukan dengan cara memperbanyak dan menumbuhkan

tumbuhan di dalam kondisi yang terkontrol dari material seperti biji, potongan

(stek), pemencaran rumput, kultur jaringan, dan spora dengan tetap

mempertahankan kemurnian jenisnya.

Tujuan penangkaran adalah untuk mendapatkan spesimen tumbuhan dan

satwa dalam jumlah, mutu, kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik yang

terjamin, untuk kepentingan pemanfaatan sehingga mengurangi tekanan langsung

Page 5: tugas konservasi 3

terhadap populasi alam dan mendapatkan kepastian secara administratif maupun

secara fisik bahwa pemanfaatan spesimen tumbuhan atau satwa yang dinyatakan

berasal dari kegiatan penangkaran adalah benar-benar berasal dari kegiatan

penangkaran.

Induk satwa untuk keperluan penangkaran, dapat diperoleh dari

penangkapan satwa dari alam dan sumber-sumber lain yang sah meliputi : hasil

penangkaran, Luar Negeri, rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan dan

dari Lembaga Konservasi. Pengadaan induk dari hasil penangkaran generasi

pertama (F1) untuk jenis yang dilindungi dan atau termasuk Appendix I CITES

dilakukan dengan izin dari Menteri Kehutanan. Generasi kedua (F2) dan generasi

berikutnya untuk jenis yang dilindungi dan atau termasuk Appendix I CITES,

dilakukan dengan izin dari Direktur Jenderal PHKA. Jenis yang tidak dilindungi

dan atau termasuk Appendix II, III dan atau Non Appendix CITES, dilakukan

dengan izin Kepala Balai KSDA.

Pengadaan induk penangkaran dari luar negeri wajib dilengkapi dengan

Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Liar Luar Negeri (SATS-LN Impor) dan bagi

jenis yang termasuk dalam Appendix CITES, SATS-LN Ekspor dari negara

pengekspor. Induk penangkaran yang berasal dari luar negeri dan yang termasuk

dalam Appendix I CITES harus berasal dari unit usaha penangkaran di luar negeri

yang telah terdaftar pada Skretariat CITES sebagai penangkar jenis Appendix I

CITES untuk kepentingan komersial.

Pengadaan induk penangkaran yang berasal dari hasil rampasan,

penyerahan dari masyarakat atau temuan, hanya dapat dilakukan bagi spesimen

yang telah ditempatkan dan diseleksi di Pusat Penyelamatan Satwa (PPS) dan atau

di tempat penampungan Balai KSDA. Induk penangkaran tumbuhan dan satwa

yang dilindungi yang berasal dari habitat alam (W) dinyatakan sebagai milik

negara dan merupakan titipan negara. Induk penangkaran satwa liar generasi

pertama (F1) hasil penangkaran jenis satwa yang dilindungi dinyatakan sebagai

milik negara dan merupakan titipan negara. Spesimen induk satwa yang

dilindungi yang berasal dari habitat alam, dan atau hasil penangkaran generasi

Page 6: tugas konservasi 3

pertama (F1) satwa yang dilindungi, tidak dapat diperjualbelikan dan wajib

diserahkan kepada negara apabila sewaktu-waktu diperlukan.

Kontrol hasil penangkaran dilakukan dalam rangka menjamin kemudahan,

sehingga setiap anakan harus dipisahkan dari induk-induknya. Pemisahan anakan

dari induk harus dapat dilakukan untuk membedakan antar generasi dimana

generasi pertama (F1) harus dapat dibedakan dengan generasi-generasi

berikutnya. Unit penangkaran dilarang melakukan pengembangbiakan silang

(hibrida) baik antar jenis maupun antar anak jenis, bagi jenis-jenis yang dilindungi

yang bersasal dari habitat alam. Hal ini dikecualikan untuk mendukung

pengembangan budidaya peternakan atau perikanan. Keanekaragaman genetik

jenis satwa dapat dijaga dengan cara, penangkaran satwa dilakukan dengan jumlah

paling sedikit dua pasang atau bagi jenis-jenis satwa yang poligamous minimal

dua ekor jantan dan dilakukan dengan menghindari penggunaan induk-induk

satwa yang mempunyai hubungan kerabat atau pasangan yang berasal dari satu

garius keturunan.

Pelaksana penangkaran wajib melakukan penandaan dan sertifikasi

terhadap indukan maupun hasil penangkarannya. Penandaan pada hasil

penangkaran merupakan pemberian tanda yang bersifat permanen pada bagian

tumbuhan maupun satwa dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap

(marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang

mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf.

Penandaan bertujuan untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya,

antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta antara

spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam. Untuk memudahkan

penelusuran aiansal usul (tracking) spesimen tumbuhan atau satwa, penandaan

dilengkapi dengan sertifikat. Bagi jenis-jenis yang karena sifat fisiknya tidak

memungkinkan untuk diberi tanda hanya dilakukan pemberian sertifikat.

Dalam rangka perdagangan luar negeri, unit penangkaran jenis-jenis

Appendix I CITES, yang dilakukan melalui kegiatan pengembangbiakan satwa di

dalam lingkungan terkontrol (captive breeding) dan perbanyakan tumbuhan secara

buatan dalam kondisi terkontrol (artificial propagation), wajib diregister pada

Page 7: tugas konservasi 3

sekretariat CITES. Registrasi hanya dapat diajukan oleh unit penangkaran yang

telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran. Berikut beberapa bahasan

mengenai spesies biota laut yang dilindungi:

2.2 Kima

Gambar 1. Kima kecil (Tridacna maxima)

Sumber: Wikipedia dan http://www.nmr-pics.nl/Tridacnidae/

Saat ini tercatat 10 jenis kima yang tersebar di perairan tropis di Samudera

India dan Pasifik. Marga Tridacna meliputi 8 jenis dan marga Hippopus hanya

terdiri dari 2 jenis. Indonesia merupakan daerah pusat penyebaran kima di dunia.

Sebanyak 7 spesies kima dapat ditemukan di perairan nusantara. Tiga jenis

lainnya termasuk jenis kima endemik yang tidak umum dan tersebar di luar

Indonesia, yaitu: Kima Laut Merah, Kima Mauritius dan Kima Iblis/Tevoro dari

Kepulauan Fiji dan Tonga. Sepuluh spesies kima yang ada di dunia, adalah:

a. Subgenus Tridacna (Chametrachea)

Tridacna costata Richter, Roa-Quiaoit, Jantzen, Al-Zibdah, Kochzius,

2008

Tridacna crocea Lamarck, 1819

Tridacna maxima Röding, 1798 (=Tridacna elongata)

Tridacna rosewateri Sirenho & Scarlato, 1991

Tridacna squamosa Lamarck, 1819

b. Subgenus Tridacna (Tridacna)

Tridacna derasa Röding, 1798

Tridacna gigas Linnaeus, 1758

Page 8: tugas konservasi 3

Tridacna tevoroa Lucas, Ledua & Braley, 1990 (=Tridacna mbalavuana)

c. Genus Hippopus

Hippopus hippopus (Linnaeus, 1758)

Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982)

Fungsi Kima pada kehidupan ekosistim dilautan sangat luar biasa. Sistem

filter yang dimilikinya, maka setiap ekor Kima mampu membersihkan puluhan

ton air laut setiap hari. Hasil pembersihannya tersebut kemudian menjadi

penolong untuk pertumbuhan dan pewarnaan terumbu karang, ikan dan aneka

biota laut lainnya. Selain itu, sel telur Kima yang jumlahnya jutaan ekor sekali

bertelur, menjadi makanan bagi ikan.

Kelebihan lainnya, daging Kima dikenal berprotein tinggi, sehingga

menjadi menu khusus dan mahal pada restoran terkenal di dunia. Warna daging

Kima hidup pun sangat mempesona, sehingga menjadi buruan untuk menghuni

aquarium pribadi dan menjadi koleksi andalan pada wahana di jaringan usaha

Underwater Seaworld. Oleh karena kelebihan yang dimilikinya, Kima diburu dan

diekploitasi berlebihan. Akibatnya, Kima diambang kepunahan, bahkan

disebagian besar negara tropis, beberapa species Kima, utamanya Tridacna gigas

dan T. Derasa, telah menghilang dari lautannya begitupun di Indonesia.

Masa pertumbuhan Kima sangat lamban. Belum lagi, untuk dapat hidup,

sejak dari sel telur hingga memiliki cangkang (Kima muda), Kima sangat rentan

terhadap predator. Dari jutaan sel telur yang dihasilkan Kima dewasa, yang dapat

hidup hingga memiliki cangkang hanya puluhan ekor saja. Sebagian besar sel

telur tersebut menjadi santapan ikan dan setelah memiliki cangkang, Kima masih

menjadi makanan empuk bagi kepiting, ikan karang dan gurita.

Persebaran Kima yaitu hanya ditemukan di Samudera Hindia dan Pasifik

Selatan (indo-pacific), namun tidak semua wilayah berlaut hangat tersebut

memiliki Kima, atau telah hilang dari lautannya. Di daerah Asia, Kima hanya

ditemukan di Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea, India,

China bagian timur dan pantai utara Australia serta Papua New Guinea.

Page 9: tugas konservasi 3

2.2.1 Pelestarian Kima

Beberapa tempat pelestarian Kima yaitu diantaranya Konservasi Kima di

Taman Laut Kima Toli-Toli. Toli-Toli Giant Clam Ocean Park terletak di Desa

Toli-Toli Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara

merupakan satu-satunya tempat konservasi kima di Indonesia. Didirikan pada

tahun 2010 dan dilakukan secara mandiri atas dasar kesadaran masyarakat sekitar

untuk melakukan penyelamatan konservasi alam khususnya lingkungan laut dan

isinya. Melihat beberapa organisme yang terancam punah akibat eksploitasi

berlebihan serta tidak bertanggung jawab yang dilakukan oleh nelayan dan

beberapa perusahaan perikanan untuk berbagai tujuan tertentu. Beberapa

masyarakat sekitar di desa tersebut membentuk kelompok konservasi yang saat ini

mampu menjadi lembaga swadaya untuk pelestarian kima (Tridacna sp.).

Di Indonesia khususnya di Sulawesi Tenggara kondisi biota laut tersebut

sangat mengkhawatirkan seperti keberadaan tanaman dan terumbu karang serta

Kima itu sendiri. Jika eksplotasi tersebut terus menerus dibiarkan, maka dapat

dipastikan biota laut seperti Kima terancam punah. Hal ini karena ekploitasi

tersebut tidak hanya berlebihan, tetapi juga merusak ekosistem laut akibat

penggunaan bahan peledak, potassium sianida dan alat tangkap yang merusak

biota laut. Giant Clam atau Kima menjadi langka akibat beberapa faktor

diantaranya ekploitasi berlebihan dikarenakan meningkatnya konsumsi

masyarakat akan daging Kima yang memiliki cita rasa dan komposisi protein

yang tinggi, selain itu cangkang Kima yang menarik menjadi salah satu bahan

keramik dan hiasan. Penyebab lain adalah lambatnya pertumbuhan kima, untuk

mencapai 100 cm saja kima memerlukan waktu ratusan tahun, dari jutaan sel telur

hanya sekitar 5-10 ekor saja yang mampu hidup dan menjadi kerang dewasa. Oleh

karena itu, tidak semua tempat di Indonesia bahkan dunia memiliki spesies Kima

terlebih jenis-jenis yang sangat langka.

Konservasi Kima di Toli-Toli mampu membuktikan, bahwa Indonesia

merupakan satu-satunya negara dengan spesies kima terlengkap. Di mana terdapat

jenis Tridacna gigas, Tridacna derasa, Tridacna squamosa, Tridacna maxima,

Tridacna crocea, Tridacna Tevoroa, Tridacna Rosewate, Hippopus-hippopus, dan

Page 10: tugas konservasi 3

Hippopus porcellanus. Di dunia, spesies ini tersebar luas dan hanya terdapat di

beberapa tempat saja seperti di Samudra Pasifik, Hindia, China, Australia Utara,

Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika dan Amerika Selatan. Baru-baru ini, pada

tanhun 2011 tim konservasi di Toli-Toli menemukan 2 spesies baru yakni T.

tevoroa yang hanya ditemukan di Kepulauan Fiji dan Tonga Samudra Pasifik dan

T. rosewateri yang hanya dapat ditemukan di Mauritius dan Madagaskar. Hal ini

tentu menjadi kabanggaan bagi kepulauan Indonesia.

Konservasi Kima di Desa Toli-Toli dilestarikan melalui metode

pengumpulan jenis-jenis Kima yang mereka peroleh dari berbagai tempat, baik di

perairan Sulawesi Tenggara hingga di perairan Sulawesi Tengah. Hal ini

dilakukan untuk mempermudah proses pengontrolan dan penelitian lebih lanjut.

Kima yang dikumpulkan tadi kemudian diletakkan di tempat tertentu yang sampai

saat ini luas areal untuk menempatkan Kima di dasar perairan telah mencapai 30

hektar dengan jumlah seluruh Kima 8000 ekor. Penempatan jenis kima di dasar

berbeda-beda, tergantung dari jenis dan ukuran Kima itu sendiri.

Tim konservasi sampai saat ini telah banyak memberikan kemajuan untuk

kehidupan biota laut dan perbaikan ekosistem. Terbukti dengan hadirnya

pelestarian Kima di dasar laut tersebut, terumbu karang yang telah mati kembali

pulih, selain itu warna karang semakin cerah dan jumlah ikan meningkat di area

konservasi. Hal ini dikarenakan fungsi Kima sebagai Filter Feeder yang mampu

menyaring berton-ton air dalam sehari. Selain itu, mantel kima menjadi substrat

yang baik bagi Zooxanthellae untuk tumbuh yang nantinya dapat menyuplai

oksigen untuk pertumbuhan karang dan ikan.

Beberapa hambatan yang sering ditemukan adalah besarnya jumlah hama

yakni bertambahnya populasi ikan di laut untuk memangsa sel telur Kima yang

disemprotkan dua kali dalam satu bulan. Selain itu, peluang kerusakan ekosistem

yang nantinya akan terjadi bila Perusahaan di sekitar daerah pesisir tersebut

membuang limbah ke dasar perairan. Hal inilah yang seharusnya menjadi

perhatian seluruh pihak, terutama pemerintah dan masyarakat serta perusahaan-

perusahaan swasta yang ikut andil dalam melestarikan biota laut.

Page 11: tugas konservasi 3

Hasil kunjungan ilmiah Amphiprion Scientific Club (ASC) FPIK

UNHALU menemukan minimnya jumlah peralatan yang dimiliki tim konservasi

untuk melakukan pengontrolan dan pengangkutan Kima. Terkadang saat

melakukan pengangkutan beberapa Kima tidak mampu bertahan hidup di kapal

akibat kekurangan suplai air. Belum lagi wilayah yang dikunjungi tim konservasi

untuk mengumpulkan Kima sangat jauh sehingga harus memerlukan waktu yang

lama dan bahan bakar yang banyak. Di sisi lain, tim konservasi harus melakukan

pengontrolan terhadap pertumbuhan Kima di dasar perairan baik dari hama

maupun eksploitasi nelayan yang tentu membutuhkan kapal. Oleh karenanya,

sangat diharapkan nantinya pemerintah mampu memberikan support serta bantuan

berupa peralatan konservasi yang memang saat ini dibutuhkan oleh tim konservasi

di Desa Toli-Toli yakni berupa kapal yang digunakan untuk mengangkut dan

mengontrol wilayah konservasi serta beberapa alat selam.

Selain itu, masyarakat pula harus ikut menjaga kelestraian biota laut ini,

selain karena terancam punah, Kima juga memiliki manfaat yang besar bagi

masyarakat itu sendiri. Saat ini nelayan di desa tersebut tidak lagi susah untuk

mencari ikan dikarenakan jumlah ikan di pesisir dekat bibir pantai semakin

meningkat. Hal ini karena berfungsinya kembali terumbu karang yang telah lama

mati akibat pengrusakan nelayan pesisir serta berfungsinya Kima sebagai pabrik

makanan untuk ikan disekitar pantai. Publikasi yang optimal dan sosialisai terus

menerus dilakukan untuk memberikan kesadaran bagi masyarakat akan

pentingnya menjaga kelestarian biota laut untuk generasi mendatang.

2.2.2 Teknologi Penangkaran Kima secara Ex Situ dan In Situ

Teknologi penangkaran kima cukup sederhana. Pakan hanya diberikan

selama pemeliharaan burayak kima, sedangkan kima muda dapat "berswasembada

pangan" karena kima bersimbiosis dengan ganggang bersel satu yang bersifat

fototrofik (PANGGABEAN 1991a). Yang diperlukan dalam usaha penangkaran

kima hanyalah air laut yang "bersih” dan cahaya matahari yang cukup.

Penangkaran kima terdiri dari 4 tahapan yaitu :

Page 12: tugas konservasi 3

1. Pembibitan : pemijahan dan pemeliharaan burayak kima secara terkontrol

di hatchery.

2. Tahap asuhan (nursery) : pemeliharaan spat kima dari pasca metamorfosis

hingga ukuran cangkang lebih dari 2 cm di kolam-kolam pemeliharaan di

hatchery.

3. Tahap asuhan di laut (ocean nursery) : pemeliharaan kima kecil didalam

kurungan di laut sehingga terhindar dari ancaman predator.

4. Tahap pembesaran : pemeliharaan kima dewasa tanpa perlindungan di

laut.

Dari tahapan-tahapan di atas, dijelaskan sebagai berikut:

1. Pembibitan kima

Pembibitan terdiri dari pemijahan telur dan sperma, pembuahan dan

pemeliharaan burayak hingga menjadi spat. Kemudian spat akan dibesarkan pada

tahap berikutnya (tahap asuhan).

a. Pemijahan

Keberhasilan pembibitan kima ditentukan oleh keberhasilan pemijahan.

Dengan kata lain, untuk menghasilkan burayak yang sehat dengan kemampuan

hidup yang tinggi, pemijahan kima harus menghasilkan telur dan sperma dalam

keadaan matang, artinya sperma yang sangat aktif dan mampu melakukan

pembuahan dan telur-telur yang sudah berkembang dengan sempurna, dengan

persediaan kuning telur yang cukup untuk kebutuhan energi selama

perkembangan embrional kima. Disamping kematangan telur, ukuran telur juga

menentukan kelulushidupan burayak kima. Telur yang besar dengan persediaan

kuning telur yang cukup banyak menghasilkan burayak dengan kelulus hidupan

yang tinggi (FITT et al. 1984). Pemijahan kima dapat dilakukan secara spontan

maupun induksi. Pemijahan spontan terjadi apabila beberapa induk matang telur

dipelihara di dalam bak air mengalir (HESLINGA et al 1984). Sedangkan

pemijahan induksi dapat terjadi dengan rangsangan suspensi dari jaringan kelamin

kima yang sejenis (GWYTHER dan MUNRO 1981); atau serotonin (BRALEY

1985 dan CRAWFORD et al. 1986).

Page 13: tugas konservasi 3

Telah diketahui bahwa kima bersifat hemafrodit (WADA 1954) dan

memijah sepanjang tahun (HESLINGA et al. 1984). Namun pemijahan kima tidak

selalu menghasilkan telur dan sperma pada waktu yang sama. Beberapa induk

lebih banyak memijahkan sperma dari pada telur. Oleh karena itu perlu disediakan

beberapa induk kima yang benar-benar mengandung telur-telur dan sperma yang

sudah matang kelamin. Kima yang tua baik dijadikan induk karena lebih banyak

mengandung telur dan cenderung menjadi betina (CRAWFORD et al. 1986).

Sedangkan tingkat kematangan kelamin dari induk kima dapat diperiksa dengan

teknik biopsi, yaitu pemeriksaan sampel jaringan kelamin kima yang diambil

dengan jarum biopsi (BRALEY 1984, SHELEY dan REID 1988). Dengan teknik

ini, induk yang benar-benar matang kelamin dapat diseleksi dan dirangsang untuk

memijah dengan ekstrak jaringan kelamin atau sero-tonin (5-hydroxytriptamin ne

creatinine sulfate complex).

Induksi dengan ekstrak jaringan kelamin dilakukan penyemprotan

suspensi tersebut kedalam sifon inhalent kima, sedang induksi dengan serotonin

dilakukan dengan penyuntikan 1 mM serotonin dalam air laut saring sebanyak 1-2

mL ke dalam jaringan kelamin kima. Pemijahan akan terjadi beberapa menit

kemudian. Telur-telur yang dipijahkan dapat ditampung langsung ke dalam

kantung plastik atau ke dalam ember melalui tabung pemijahan. Tabung

pemijahan adalah tabung PVC berbentuk L yang ditempatkan diatas sifon

ekshelent kima pada waktu memijah sede-mikian rupa sehingga telur-telur kima

dapat disalurkan melalui tabung tersebut dan ditampung dalam ember.

b. Pembuahan dan pemeliharaan larva/burayak kima

Pembuahan dilakukan dengan mencampurkan sedikit sperma ke dalam

telur-telur yang sudah dipilah dari beberapa ekor induk. Zigote (telur yang sudah

dibuahi) kemudian disiram keatas saringan untuk membersihakan sisa-sisa

sperma, lalu diin-kubasi dalam air laut saring dengan aerasi kecil. Sesudah

inkubasi selama 40-48 jam, zigote akan berkembang menjadi veliger yang

dilengkapi dengan cangkang transparan berbentuk huruf D.

Page 14: tugas konservasi 3

Sebelum pemeliharaan veliger selanjutnya, BRALEY at al. (1988)

menganjurkan untuk memilah D-veliger. Hanya burayak yang berenang

dipermukaan yang diciduk dengan saringan dan dipindahkan kedalam air saring

yang bersih. Cara ini dapat menghindari kematian burayak karena kontaminasi

oleh bakteri yang berkembang dengan baik.

Burayak kima mempunyai persediaan lipid yang tinggi untuk

perkembangannya (SOUTHGATE 1988). HESLINGA (1989) berpendapat bahwa

burayak kima bersifat lecitotroph dan tidak perlu diberi makan. Pendapat lain

menyatakan bahwa pemberian makan sejak dini dapat meningkatkan

kelulushidupan hingga 80 % sesudah metamorfosa menjadi spat (BRALEY et al

1988). Walaupun 6 bulan kemudian kelulus hidupannya turun menjadi 2,44 %,

namun masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan hasil yang diperoleh

HESLINGA et al. (1984) dengan perlakuan tanpa makanan yaitu 0,1 %. Jadi

pemberian pakan dapat meningkatkan kelulus hidupan kima. Pakan dapat berupa

ganggang satu sel yang mem-punyai kandungan lipid tinggi yang termasuk

kelompok Diatomae; dapat pula berupa pakan buatan "micro-encapsulated diet"

yang banyak dijual dipasaran.

Pemberian pakan dapat dihentikan sesudah mencapai pediveliger pada

umur 7-1 hari. Pediveliger adalah masa peralihan dari kehidupan planktonik

menuju kehidupan bentik menjadi spat. Spat kima mempunyai cara hidup

menempel di dasar dan bersim-biose dengan zooxanthella. Metamorfosis dari

pediveliger menjadi spat adalah masa krisis dalam perkembangan burayak kima.

Sesuai dengan tingkat perkem-bangannya, pemberian pakan dihentikan

pada fase pediveliger, digantikan dengan pemberian zooxanthella sebanyak kira-

kira 26 sel/ml. Bersama-sama dengan pemberian zooxanthella, disediakan pula

kepingan-kepingan dengan permukaan kasar seperti batu karang atau ampelas ke

dalam kolam pemeliharaan (BRALEY et al 1988. Hasil penelitian BRALEY et al

1988) menyatakan bahwa permukaan yang kasar baik dijadikan substrat penempel

bagi spat kima.

Page 15: tugas konservasi 3

2. Asuhan dalam akuarium

Biasanya persentase burayak yang berhasil melewati metamorfosis sangat

rendah. Hanya spat kima yang berhasil memperoleh substrat yang sesuai,

menangkap zooxanthella dan memperoleh kebutuhan energi untuk metamorfosis

(dari hasil fotosintesa zooxanthella) yang dapat melanjutkan kehidupannya.

Sesudah pasca metamorfosis, spat kima yang "sehat" dapat dipindahkan kedalam

air mengalir di bawah sinar matahari. Spat kima dapat ditebar di dalam kolam lam

tersebut dengan kepadatan 1000 - 2000 spat/m2 (HESLINGA et al. 1984). Debit

air diatur sedemikian rupa sehingga air dalam kolam asuhan dapat berganti

seluruhnya dalam waktu 36 jam. Kelebihan dari kolam tersebut adalah :

Besaran arus lebih merata di semua titik.

Kotoran dapat terpusat di tengah dan terbuang sendiri.

Cahaya yang diperlukan untuk fotosintesa lebih merata.

3. Asuhan di Laut (Ocean Ranching)

Menurut perkembangan terakhir, asuhan tidak perlu dilakukan dalam

kolam air mengalir selama 2,5 tahun, melainkan sebagian waktu asuhan dilakukan

di laut. Kima muda berumur sekitar 9 bulan (panjang cangkang sekitar 2 cm)

dipindahkan dari kolam air mengalir dan ditempatkan dalam kurungan supaya

kima muda terhindar dari gangguan predator. Kima dipelihara dalam kurungan

hingga mencapai ukuran lebih dari 15 cm. Untuk kemudahan kerja dan efisiensi

biaya, maka konstruksi kurungan dan lokasi asuhan harus dipertimbangkan

sedemikian rupa sehingga kima tumbuh optimal dengan angka kematian yang

rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah intertidal (CRAWFORD et

al 1988) atau substidal (HESLINGA et al 1986) cukup ideal sebagai tempat

asuhan kima. Kurungan dapat dibuat dari plastik anyaman memanjang (30 x 1,1

m) dan diberi sekat setiap 2 m. Untuk sisi dan dasar kurungan menggunakan mata

jaring selebar 12 mm, sedangkan tutup yang dapat dibuka menggunakan mata

jaring 26 mm. Untuk kima berumur 2 tahun dapat dipelihara dengan kurungan

lebih sederhana dengan mata jaring lebih besar, misalnya 40 x 60 mm.

Page 16: tugas konservasi 3

4. Pembesaran kima

Kima berumur 2,5 tahun cangkangnya sudah cukup tebal dan kebal

terhadap predator. Kima selanjutnya dibesarkan tanpa kurungan di tempat yang

sama sampai panen atau sebagian ditebar kembali di beberapa terumbu karang

untuk tujuan peremajaan dan pelestarian kima.

2.3 Kuda Laut

Gambar 3. Kuda Laut

Sumber : Wikipedia

Salah satu sumber daya laut yang banyak dieksploitasi akhir-akhir ini

adalah kuda laut (Hyppocampus kuda). Kuda laut diperdagangkan sebagai ikan

hias dan juga sebagai bahan obat. Menurut Vincent (1996) dalam Syafiuddin

(2004) yang meneliti tentang perdagangan kuda laut di dunia, bahwa konsumsi

kuda laut di Asia mencapai 45 ton per tahun (≥ 16 juta ekor), dimana konsumen

utamanya adalah China ≥ 20 ton, Taiwan ≥ 11,2 ton dan Hongkong ≥ 10 ton. Data

tahun 1997 menunjukkan bahwa harga impor kuda laut di Cina mencapai US$

1200 per kg (Al Qodri dkk., 1998 dalam Syafiuddin, 2004).

Beberapa sifat (karakteristik) kuda laut yang menjadikan hewan ini rentan

terhadap eksploitasi yang berlebih antara lain adalah penyebarannya sedikit, jarak

habitat sempit, fekunditas rendah, dan kesetiaan pada pasangan. Penyebaran yang

sempit ini juga terjadi di Indonesia, seperti di Sulawesi Selatan hewan ini hanya

Page 17: tugas konservasi 3

ditemukan banyak pada daerah tertentu seperti di Pulau Tana Keke, Kabupaten

Takalar (Syafiuddin, 2004).

Upaya peningkatan produksi perikanan laut hasil budidaya sesuai dengan

kecenderungan global, karena permintaan pasar terhadap produk-produk

perikanan laut terus meningkat, disertai dengan harga yang relatif tinggi. Diantara

komoditas perikanan laut yang bernilai ekonomi tinggi adalah kuda laut

(Hyppocampus kuda), baik sebagai ikan hias maupun sebagai bahan baku obat-

obatan.

Di China, sekali produksi dibutuhkan kira-kira 500 kg kuda laut kering

sebagai bahan baku untuk pabrik obat-obatan. Di Filipina telah ada budidaya

kuda laut secara besar-besaran dengan rantai pemasaran produknya ke

Kalimantan, Singapura, dan Hongkong yang dijual dalam bentuk kering. Nilai

kuda laut kering sangat ditentukan oleh keutuhan kedua belah matanya.

Konsumen kuda laut kering terbanyak adalah dari etnik China, baik yang berasal

dari Singapura maupun dari Indonesia (Romimohtarto & Juwana, 2005).

Meningkatnya permintaan kuda laut semakin dengan pesat terutama untuk

pasaran ekspor menyebabkan produksi kuda laut hasil tangkapan di alam semakin

terbatas dan jauh dari jumlah kebutuhan pasar. Gejala eksploitasi yang berlebihan

ini dapat mengakibatkan turunnya populasi kuda laut di alam, sedangkan upaya

budidaya dan restocking serta sea-ranching tidak/belum dilakukan.

Kegiatan budidaya secara terpadu yang terdiri dari kegiatan pembenihan

sampai dengan pembesaran berikut kegiatan lainnya seperti restocking dan sea

ranching, merupakan jawaban yang tepat untuk menghindari penangkapan yang

berlebihan dengan demikian dapat meningkatkan pemanfaatan sumberdaya yang

secara optimal.

Teknologi pembenihan untuk jenis ikan hias ini masih sangat minim,

sehingga produksinya masih mengandalkan hasil penangkapan di laut. Bahkan

untuk mendapatkan hasil yang banyak dan cepat, mendorong usaha penangkapan

dilakukan dengan menggunakan jalan pintas, yaitu dengan cara pembiusan. Dari

segi ekologis, cara ini tentunya akan sangat merugikan dan membahayakan, bukan

Page 18: tugas konservasi 3

hanya terhadap ikan tangkapan tetapi juga terhadap kehidupan organisme lainnya

dan lingkungan sekitarnya.

2.3.1 Pelestarian secara Insitu dan Eksitu

Pelestarian keanekaragaman kuda laut di Indonesia dilakukan baik secara

insitu maupun eksitu. Pelestarian eksitu berarti memindahkan jenis dari habitatnya

untuk dilestarikan dan diamankan. Konservasi yang dilakukan oleh pemerintah

adalah membuat cagar alam, suaka marga satwa, taman nasional, taman wisata

alam, taman hutan raya, dan taman hutan buruan, yang tersebar di seluruh wilayah

Indonesia merupakan upaya pelestarian eksitu yang tidak perlu mengganggu

populasi alaminya.

Kuda laut termasuk dalam fauna yang dilindungi dan masuk dalam CITES

(The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora) sejak tahun 2004. Hippocampus kuda dan H. histrix adalah dua jenis

kuda laut yang dibudidayakan. Saat ini keberadaan kuda laut rentan akibat

kerusakan alam. Untuk membantu menjaga dan melestarikan populasi kuda laut,

upaya yang dilakukan dengan melepaskan kuda laut hasil budidaya ke habitat

aslinya (insitu). Sementara itu, pelestarian secara eksitu yaitu membangun taman

laut. Hal tersebut merupakan salah satu upaya untuk melestarikan atau menjaga

keseimbangan lingkungan hidup adalah dengan cara membangun taman laut.

Taman laut dapat difungsikan sebagai objek wisata laut/bahari dan tempat

penelitian biota laut.

Selain itu juga, pelestarian kuda laut dapat dilakukan dengan

menggunakan tiruan bagian tubuh tumbuhan atau hewan. Bahan tiruan dapat

digunakan untuk mengganti pemanfaatan bagian tubuh hewan atau tumbuhan.

Cara ini ditempuh untuk menggalakkan pelestarian hewan dan tumbuhan.

2.3.2 Penangkaran Kuda Laut

Agar kelestarian dan populasi kuda laut dapat berlanjut maka langkah

yang dapat diambil adalah melakukan kegiatan penangkaran dan restocking

kembali di alam. Untuk melakukan kegiatan tersebut maka benih harus diperoleh

Page 19: tugas konservasi 3

melalui kegiatan pembenihan di dalam sistem budidaya. Kegiatan penangkaran

kuda laut meliputi :

1. Pembenihan

Kegiatan pembenihan kuda laut seperti umumnya kegiatan di pembenihan

terdiri atas serangkaian kegiatan yang saling berhubungan. Mata rantai pertama

adalah pemeliharaan calon induk guna mendapatkan induk matang gonad.

Selanjutnya merupakan kegiatan pemijahan, pemeliharaan juwana dan

penggelondongan atau pendederan serta pengadaan pakan alami.

a. Pemeliharaan Induk

Calon induk hasil tangkapan dari alam harus dikarantina dan

diaklimatisasi terlebih dahulu. Karantina bertujuan untuk membebaskan

organisme pathogen yang mungkin terbawa dari alam agar tidak menyebar ke

induk yang sudah ada di pembenihan. Disamping itu kegiatan aklimatisasi juga

untuk menyesuaikan calon induk dengan lingkungan yang baru serta pakan yang

biasa digunakan di pembenihan. Induk dipelihara di dalam wadah pemeliharaan

dengan perbandingan jantan dan betina adalah 1 : 1, dengan kepadatan 20 – 30

ekor/ton dengan tidak memelihara lebih dari 4 ekor/100 liter air. Induk diberi

pakan 2-3 kali sehari secara adlibitum, yaitu pada pagi, siang dan sore hari, berupa

udang rebon dan udang jambret. Induk betina dewasa dengan panjang tubuh

antara 10 – 14 cm dapat memproduksi telur 300 – 600 butir.

b. Pemijahan dan Pengeraman

Kuda laut dapat memijah secara alami dalam bak terkontrol, telur hasil

pemijahan akan dierami oleh induk jantan. Setelah terjadi pemijahan, induk jantan

dipisahkan atau tetap bersama dengan induk lain. Lama pengeraman lebih kurang

10 hari. Sebaiknya induk dihindarkan dari hal-hal yang menyebabkan stress yang

mengakibatkan juwana lahir prematur, sehingga tak dapat bertahan hidup lama.

c. Kelahiran Juwana

Induk jantan yang sudah menerami telur pada hari kesembilan

dipindahkan ke bak lain yang telah disiapkan sebelumnya. Pada hari ke sepuluh,

juwana akan dikeluarkan dari kantung jantan. Pengeluaran juwana umumnya pada

Page 20: tugas konservasi 3

malam hari. Setelah seluruh juwana dikeluarkan, induk jantan dipindahkan

kembali ke bak pemeliharaan induk.

2. Penggelondongan

Penggelondongan dalam hal ini dimaksudkan untuk mengintensifkan

pemeliharaan terhadap benih-benih kuda laut sampai ke tahap pembesaran dengan

tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan kualitas yang baik. Penggelondongan

kuda laut dapat dilaksanakan dengan menggunakan metode pemeliharaan di bak,

di keramba jaring apung atau dikurungan tancap. Benih yang digunakan untuk

penggelondongan dapat berasal dari hasil tangkapan di alam ataupun berasal dari

hasil pembenihan dengan ukuran 3 – 3,5 cm/ekor.

Hal yang perlu diperhatikan saat penebaran adalah apabila terdapat

perbedaan yang menyolok antara media pemeliharaan dengan dan media asal

benih (khususnya salinitas dan suhu). Keadaan ini biasanya terjadi bila lokasi

penggelondongan terpisah dengan sumber benih, sehingga perlu diadaptasikan

terlebih dahulu sebelum ditebar. Padat tebar untuk penggelondongan selama 2

bulan pemeliharaan adalah berkisar antara 300 – 400 ekor/ton. Selama

pemeliharaan, pemberian pakan dapat dilakukan 3 – 4 kali sehari. Makanan yang

diberikan sebaiknya makanan hidup seperti jentik-jentik nyamuk, artemia, udang

jembret, dapnia dan sebainya. Kebisaan kuda laut yang tergolong kurang aktif

dalam mencari dan hanya memanfaakan makanan disekitar/didekatnya,

menyebabkan pakan yang diberikan harus berlimpah dan sebaiknya hidup. Hal ini

agar peluang makan benih lebih besar dan apabila terdapat jasad pakan yang

belum termanfaatkan akan tetap hidup sehingga pengaruhnya relatif kecil terhadap

penurunan kualitas air. Ukuran benih 3 – 3,5 cm setelah pemeliharaan 2 bulan

akan mencapai panjang 6 – 7 cm/ekor. Pada ukuran ini, kuda laut dapat dipanen

dan dipasarkan sebagai ikan hias atau untuk kegiatan pembesaran.

3. Pembesaran

Kegiatan selama pembesaran kuda laut tidak jauh berbeda dengan

pengglodongan. Pembesaran ini bertujuan untuk menghasilkan kuda laut yang

Page 21: tugas konservasi 3

yang berukuran lebih besar (diatas 10 cm) atau untuk memproduksi induk kuda

laut. Kuda laut yang akan dibesarkan dapat diperoleh dari alam maupun dari hasil

penggelondongan. Kuda laut sebaiknya dipilih yang sehat dan lengkap organ

tubuhnya, jika kuda laut yang akan dibesarkan warnanya berbeda maka kuda laut

yang sama warnanya seperti hitam disatukan dengan yang hitam, sebab jika ada

kuda laut yang berwarna kuning dan disatukan dengan yang hitam akan berubah

menjadi hitam. Padat penebaran untuk kegiatan pemebesaran adalah 50 – 100

ekor/ton. Selama kegiatan pemeliharaan pembesaran kuda laut, tidak lagi

diberikan berupa artemia dewasa karena tidak diperlukan lagi, cukup diberikan

rebon segar atau jembret. Pemberian pakan berupa rebon segar diberikan

sebanyak 5 – 10% dari bobot tubuh perhari dengan frekuensi pemberian 2 – 3

kali. Jika pakan rebon segar kurang tersedia maka pakan alternatif lain yang bisa

diberikan adalah jentik-jentik nyamuk. Setelah tiga bulan pemeliharaan kuda laut

dapat mencapai ukuran panjang di atas 10 cm selanjutnya kuda laut dapat dipanen

dan dipasarkan.

2.4 Banggai Cardinalfish

Gambar 4. Banggai Cardinalfish

Sumber: Wikipedia

Banggai cardinalfish, Pterapogon kauderni, sangat populer dalam

perdagangan ikan laut hias (Michael1996). Kenaikan yang luar biasa dalam

Page 22: tugas konservasi 3

popularitas spesies ini sejak tahun 1995 sudah mulai meningkatkan kekhawatiran

diantara berbagai pihak di industri akuarium, saat ini antara 50.000 hingga

118.000 ekor per bulan dikumpulkan dari alam liar dan dipasarkan ke luar negeri

(Vagelli dan Edmann 2002, Lunn dan Moreau 2004). Spesies ini endemik di

Kepulauan Banggai di Indonesia dengan jangkauan geografis yang diperkirakan

sekitar 5.500 km2.Total ukuran populasi kecil, diperkirakan 2,4 juta (Convention

on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora 2007).

Ikan ini terdiri dari populasi terisolasi terpusat sekitar perairan dangkal 17 pulau

besar dan 10 pulau kecil dalam Kepulauan Banggai. Sebuah populasi kecil juga

terdapat di Sulawesi Tengah, dalam pelabuhan Luwuk. Satu populasi tambahan

menjadi tetap di Selat Lembeh (Sulawesi Utara).

Gambar 5. DistribusiBanggaiCardinalfish

(Sumber

:http://seagrant.soest.hawaii.edu/sites/seagrant.soest.hawaii.edu/files/publications/

Banggai_Cardinalfish-Final.pdf)

Lembaga konservasi dunia (IUCN) yang menyusun kategori dan kriteria

daftar merah (Red List) cukup mudah untuk dimengerti yang memberikan

klasifikasi terhadap suatu spesies yang memiliki risiko tinggi terhadap kepunahan.

Status ikan hias jenis Pterapogon kauderni di IUCN saat ini telah masuk dalam

daftar merah (Red list) dengan kategori spesies yang terancam punah (endangered

Page 23: tugas konservasi 3

species) dan telah memenuhi kriteria pada butir Bab (ii, iii, iv, v) yaitu cakupan

daerah keberadaannya kurang dari 500 km², yang meliputi:

a. Keberadaannya tidak lebih dari 5 lokasi.

b. Penurunan terus berlangsung, berdasarkan cakupan keberadaan, kualitas

habitat, jumlah lokasi atau sub populasi dan jumlah individu dewasa.

Menurut Vagelli (2005) berdasarkan hasil survei tahun 2004 total populasi

alam ikan hias P.kauderni diduga 2,4 juta ekor, dimana 90% berada di 29 pulau di

Kepulauan Banggai. Berdasarkan survei di tujuh lokasi, sebagian besar lokasi

memiliki densitas ikan hias Pterapogon kauderni 200-700 ekor/ha dengan rata-rata

0,07 ekor/m2 (Vagelli 2005). Sedangkan di kawasan lindung (teluk kecil di

sebelah barat daya Kepulauan Banggai) mempunyai densitas 0,25-1,22 ekor/m2

dengan rata-rata 0,63 ± 0,39 ekor/m2 (Lunn & Moreau 2004).

2.4.1 Pola Pemanfaatan Secara Lestari

Menurut Marini (1996) Untuk menjaga kestabilan populasi ikan capungan

banggai di alam agar tetap lestari, maka pemanfaatan yang dilakukan harus

menerapkan prinsip-prinsip sebagai berikut:

1) Harus diketahui stok alami ikan capungan Banggai di alam.

2) Pengambilan harus disesuaikan dengan kemampuan rekruitmen populasi ikan

(pemberlakuan kuota).

3) Pengambilan dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak lingkungan atau

habitat mereka.

4) Pemberlakuan ukuran minimum bagi ikan yang boleh di perdagangkan, agar

memberi kesempatan bagi ikan untuk bereproduksi.

5) Apabila dalam pengambilan ditemukan ikan dengan dengan kondisi gonad

yang sudah matang (TKG III dan IV) serta ikan jantan yang sedang mengerami

telur di mulut, maka ikan-ikan dengan kondisi tersebut harus dikembalikan kea

lam.

6) Perizinan meliputi penerbitan izin dan perpanjangan izin yang mewajibkan

verifikasi, pemantauan di lapangan serta evaluasi.

Page 24: tugas konservasi 3

7) Pemantauan di lapangan perlu dilakukan secara periodic untuk mengetahui

stok alami untuk mendukukung informasi dalam penentuan kuota.

Beberapa strategi yang telah dikembangkan dalam pengelolaan ikan hias

antara lain adalah program sertifikasi ikan hias laut (Hodgson & Ochavillo 2005)

dan evaluasi total tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catches)

(Hodson & Ochavillo 2006). Pendugaan laju eksploitasi dan pembatasan melalui

pendugaan stok ikan adalah salah satu model yang dapat digunakan untuk

pemanfaatan lestari ikan hias, karena mencakup komponen keseimbangan

reproduksi, pertumbuhan, mortalitas penangkapan, dan mortalitas alami (Pet-

Soede et al. 2000; Hodgson & Ochavillo 2006).

Hasil penelitian umumnya menunjuk bahwa tingkat dan pola pemanfaatan

tidak sustainable, dan mendorong gerakan internasional untuk pelestarian

P.kauderni. Salah satu upaya potensial adalah pengembangan budidaya

P.kauderni in-situ, yaitu pada lingkungan alaminya. Secara teknis, dengan

mengetahui aspek biologis dan ekologis dari ikan tersebut, maka kegiatan

budidaya dapat dilakukan baik secara alami dengan memanfaatkan kawasan

pesisir sebagai habitat mereka (in-situ), maupun dilakukan di laboratorium dengan

membuat kondisi habitat yang menyerupai kondisi alaminya (ex-situ). Diharapkan

dari kegiatan budidaya tersebut dapat meningkatkan produksi ikan hias Capungan

Banggai. Pelestaria in-situ di habitat asli dapat dilakukan di daerah sulawesi

dimana ikan ini berasal. Pada tahun 2007 di canangkan daerah konservasi

kepulauan banggai melalui SK bupati kepulauan banggai. Daerah konservasi

terdiri dari 10 pulau dengan 2 pulau utama sebagai pusat in situ. Selain tiu adanya

metode MARXAN dengan data base menggunakan SIG dihasilka daerah zonasi-

zonai yang sesuai sebagai daerah habitat.

Page 25: tugas konservasi 3

Tabel 1. Daftar Pulau konservasi di Kepulauan Banggai

Gambar 6. Lokasi Pengambilan Sampel yang Diusulkan untuk Analisis Genetik

Populasi P. Kaurdeni, Kepulauan Banggai Kabupaten MPA

Selain itu untuk pelestarian Ex-situ dilakukan di selat lembeh dengan

menggunakan metode jaring apung. Selain itu telah banyak dilakukan pengakaran

dan budidaya banggai dalam skala laboratorium dengan modifikasi kondisi dan

habitat sesuai dengan daerah asli dari banggai. Untuk jalur ekpor ikan ini juga

Page 26: tugas konservasi 3

dilakukan melalui pengakaran sehingga diharapkan tidak trjadinya degradasi atau

kepunahan berlanjut dari ikan ini di daerah asilnya.

2.4.2 Penangkaran dengan Budidaya

Salah satu cara untuk mengurangi tekanan terhadap populasi alami akibat

pengambilan ikan hias Banggai Cardinal fish dari alam adalah melalui upaya

budidaya. Oleh karena itu, pengusaha diarahkan untuk mengupayakan kegiatan

budidaya bagi kepentingan perdagangannya. Diharapkan dari kegiatan budidaya

tersebut dapat meningkatkan produksi ikan hias Banggai Cardinalfish.

Banggai Cardinalfish (BCF) adalah ikan endemik dan beresiko terancam

punah akibat ekploitasi yang berada di kepulauan Banggai, propinsi Sulawesi

Tengah. Keberadaan ikan ini di perairan dapat dengan mudah dikenali, karena

berada dalam populasi yang kecil. Pola reproduksi BCF tidak seperti ikan pada

umumnya, di mana jantan mengerami telur yang sudah dibuahi dalam mulutnya

(mouth-brooder). Dalam upaya pelestarian BCF ini, beberapa pihak mencoba

untuk memasukkan BCF ke dalam daftar The Convention on International Trade

of Endangered Spesies of Fauna and Flora (CITES) Appendix II. Yang artinya

jika BCF masuk ke dalam daftar CITES, maka perdagangannya harus

dikendalikan untuk menghindari pemanfaatan yang mengancam tingkat

survivalnya. Menyikapi kondisi seperti tersebut serta meningkatnya permintaan

akan BCF, untuk itu perlu dilakukan usaha pembenihannya agar keberlangsungan

hidup ikan tersebut di alam tetap terjaga tanpa harus mengurangi volume

produksinya sebagai komoditas ikan hias air laut.

Proses domestikasi dimulai dengan aklimatisasi calon induk yang baru

dating menggunakan wadah yang diisi dengan air wadah packing dan air lokasi

pemeliharaan dengan perbandingan 3:1. Penambahan air dari lokasi pemeliharaan

dilakukan setiap 1 jam sebanyak 25 %. Setelah 6 jam proses aklimatisasi calon

induk sebanyak 100 ekor ditempatkan dalam bak beton kapasitas 7 ton atau

akuarium yang diisi air laut selama 2 minggu sebelumnya dan diberi aerasi serta

duri babi (diadema.sp) atau karang mati. Untuk memicu terjadinya pemijahan

induk BFC, maka dilakukan teknik manipulasi lingkungan. Teknik tersebut

Page 27: tugas konservasi 3

dilakukan dengan mengurangi ketinggian air sampai dengan 30 cm dan didiamkan

selama 24 jam. Kemudian ketinggian air dikembalikan ke ketinggian awal dan

didiamkan kembali selama 24 jam. Perlakuan ini dilakukan 3 kali berturut-turut.

Pada saat ketinggian air dinaikkan,

Pemeliharaan pada bak beton merupakan salah satu cara penjodohan

massal, dimana induk jantan dan betina yang berjodoh akan menguasai 1 koloni

diadema sp atau karang mati. Hal ini akan terlihat setelah 20 – 30 hari masa

penjodohan massal. Pemeliharaan calon induk dilakukan di bak terkontrol dengan

ketinggian air 100 cm dan dilakukan pula pergantian air sebanyak 25% per hari.

Pakan yang diberikan berupa copepoda dan artemia dewasa dengan penambahan

multivitamin, vitamin C dan E.

Setelah pemijahan, maka induk jantan akan mengerami telur yang telah

terbuahi di dalam mulutnya. Induk jantan tersebut di karantina dalam wadah

akuarium 50 liter. Setelah mengalami pengeraman selama 15 hari maka larva

dapat dikeluarkan dengan cara induk memuntahkan larva dari dalam mulutnya.

Jumlah larva yang dimuntahkan berkisar 70 – 80 ekor. Pemeliharaan larva

dilakukan di akuarium dengan pemberian pakan berupa rotifer dan naupli artemia.

Dari pemeliharan larva yang dilakukan diperoleh SR sebesar 90 %. Setelah

mengalami pengeraman selama 15 hari maka larva dapat dikeluarkan dengan cara

induk memuntahkan larva dari dalam mulutnya. Pemeliharaan larva dilakukan di

akuarium dengan pemberian pakan berupa Rotifera dan Nauplii artemia. Setelah

larva mencapai ukuran > 1,5 cm maka pemeliharaan dilakukan di bak fiber

dengan kapasitas 2 ton. Pada tahapan pemeliharaan ini dilakukan pemberian

pakan berupa artemia dewasa dan ikan rucah.

Page 28: tugas konservasi 3

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Penangkaran adalah upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan

pembesaran benih/bibit atau anakan dari tumbuhan liar dan satwa liar, baik

yang dilakukan di habitatnya maupun di luar habitatnya, dengan tetap

memperhatikan dan mempertahankan kemurnian jenis dan genetik.

2. Biota laut yang dilindungi diantaranya adalah kima, kuda laut, dan Banggai

Cardinal Fish (BCF).

3. Penangkaran kima terdiri dari 4 tahap yaitu tahap pembibitan, tahap asuhan,

tahap asuhan di laut, dan tahap pembesaran. Penangkaran ex-situ adalah saat

tahap pembibitan dan tahap asuhan sedangkan in-situ tahap tahap asuhan di

laut dan pembesaran.

4. Penangkaran kuda laut terdiri dari 3 tahap yaitu pembenihan,

penggelondongan, dan pembesaran. Penangkaran exsitu dilakukan pada tahap

pembenihan dan penggelondongan sedangkan in-situ pada tahap pembesaran.

5. Penangkaran BCF ini dapat dilakukan dengan cara budidaya yaitu dengan

tahap aklimatisasi, pemijahan, pemeliharaan larva, dan pembesaran.

Pelestarian BCF in-situ di habitat asli dapat dilakukan di daerah sulawesi

dimana ikan ini berasal sedangkan ex-situ dilakukan secara budidaya di lokasi

yang habitatnya sesuai.

Page 29: tugas konservasi 3

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Banggai Cardinal Fish. http://dkp.sulteng.go.id/index.php?option

=com_content&task=view&id=473&Itemid=78. Diakses pada Rabu, 16

Oktobr 2013 pukul 06.22 WIB.

Allen, G.R. dan R.C. Steene. 1995. Notes on the behavior of the Indonesian

Cardinalfish (Apogonidae) Pterapogon Kauderni Koumans. Revue

Francaise d’ Aquariologie 22:7-9.

Allen, G.R. 2000. Threatened fishes of the world: Pterapogon kauderniKoumans

1933 (Apogonidae). Environ. Biol. Fish 57:142.

BKSDA Bali. 2012. Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. http://www.ksda-

bali.go.id/?page_id=33. Diakses pada Selasa, 15 Oktober 2013 pukul

10.47 WIB

Bowo. 2012. Banggai Cardinal Fish. http://mzbowoaquaculture.blogspot.com/.

Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 07.52 WIB.

Balai Konsevasi sumber daya alam bali. Penangkaran tumbuhan dan satwa liar.

2009. http://www.ksda-bali.go.id/?page_id=33. Diakses tanggal 13 oktober

2013 pukul 18.50 WIB

Cikal aufa . Kuda Laut. 2011. http://cikalaufanayotama. blogspot.com/2011

/12/kuda-laut.html. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 20.10 WIB

Fauzi. Klasifikasi dan Morfologi Kuda Laut. 2010. Http://fauzimsp

.wordpress.com/2010/10/04/klasifikasi-dan-morfologi-kuda-laut-

hippocampus-sp/. Diakses tanggal 13 oktober 2013 pukul 19.00 WIB

Graber, Shane. 2012. How To Determine The Sex Of Banggai Cardinal. Fish.

http://www.advancedaquarist.com/blog/how-to-determine-the-sex-of-

banggai-cardinalfish. Diakses pada Rabu, 16 Oktobr 2013 pukul 06.52

WIB.

Green, E. 2003. International trade in marine aquarium species: Using the global

marine aquarium database. In: J.C. Cato and C. L. Brown. Marine

Ornamental Species: Collection culture and conservation. Iowa State Press

31- 47.

Hemdahl, J. 1984. In defense of current marine fish prices. Freshwater and

Marine Aquarium 7(9):56-58.

Page 30: tugas konservasi 3

Hodgson G, Ochavillo D. 2005. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef

monitoring protocol: field manual. Reef Check Foundation. 17575 Pacific

Coast Highway. USA

Hodgson G, Ochavillo D. 2006. MAQTRAC marine aquarium trade coral reef

monitoring protocol: data analysis & interpretation manual. Reef Check

Foundation. 17575 Pacific Coast Highway. USA

Hopkins S, H. Ako, and C.S. Tamaru. 2005. Manual for the Production of

the Banggai Cardinalfish.Pterapogon kauderni. in Hawai’i

Jeni, N.S. 2013. Kima Pahlawan Lautan yang Terancam Punah.

http://nabiljeni.blogspot.com/2013/05/pahlawan-lautan-yang-terancam-

punah.html. Diakses pada Selasa, 15 Oktober 2013 pukul 10.49 WIB

Kolm, N. and A. Berglund. 2003. Wild populations of a reef fish suffer from the

“Nondestructive” aquarium trade fishery. Conservation Biology 17(5):910-

914.

Lunn K, Moreau M. 2004. Unmonitored Trade in Marine Ornamental Fishes: the

Case of Indonesia’s Banggai Cardinalfish (Pterapogon kauderni). Coral

Reefs. 23: 344–351.

Lunn, K.E. and M.-A. Moreau. 2004. Unmonitored trade in marine ornamental

fishes: the case of Indonesia’s Banggai cardinalfish (Pterapogon

kauderni). Coral Reefs23:344-351.

Michael, S. 1996. The Banggai Cardinalfish: A newly available species that may

become to popular for its own good. Aquarium Fish Magazine 8(8):86-87.

Makatipu, Petrus. 2007. Mengenai Ikan Hias Capungan Banggai Pterapogon

kauderni.Jurnal Oseana volume XXXII no. 3 tahun 2007. Halaman 1-7

Marini FC. 1996. My notes and observations on Raising and Breeding the

Banggai Cardinalfish. The Journal of MaquaCulture. Vol. 4 Issue 4 pp. 1 –

5.

Ndobe S dan Moore A. 2005. Potensi dan Pentingnya Pengembangan Budidaya

Pterapogon kauderni (Banggai Cardinal Fish). Info MAI. Vol. 4-2. 2005,

hal. 9-14

Ndobe S dan Moore A. 2005. Pterapogon kauderni, Banggai Cardinal

Fish: Beberapa Aspek Biologi, Ekologi dan Pemanfaatan Spesies endemik

di Sulawesi Tengah yang Potensial untuk Dibudidayakan. Prosiding

Seminar Perbenihan nasional (National Seminar on Breeding), Palu,

Indonesia, hal 389-404.

Page 31: tugas konservasi 3

Ndobe S dan Moore A. 2007. Pengembangan Budidaya In-situ Banggai Cardinal

Fish (Pterapogon kauderni). Prosiding Konferensi Aquaculture Indonesia,

2007. Hal 253-262.

Olivier, K. 2003. World trade in ornamental species. In: J.C. Cato and C. L.

Brown (Editors). Marine Ornamental Species: Collection culture and

conservation. Iowa State Press 49-63.

Panggabean, Lily M.G. 1992. Penangkaran Kima. Oseana, Volume XVII No. 3,

1992. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Laut, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI, Jakarta.

Pemerintah RI. 2011. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun

2011 Tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan

Pelestarian Alam. Jakarta. 39 hlm.

Vagelli AA. 1999. The reproductive biology and early ontogeny of the

mouthbrooding Banggaai cardinalfish, Petrapogon kauderni (Perciformes,

Apogonidae). Environmental Biology of Fishes. 56:79-92.

Vagelli AA. 2002. Notes on the Biology, Geographic Distribution, and

Conservation Status of the Banggai Cardinalfish Pterapogon kauderni

Koumans 1933, with Comments on Captive Breeding Techniques. Trop.

Fish Hobb. 51: 84–88.

Vagelli AA, Erdmann MV. 2002. First Comprehensive Ecological Survey of the

Banggai Cardinalfish, Pterapogon kauderni. Env. Biol. Fish. 63: 1–8.

Vagelli AA. 2005. The Banggai Conservation Project. Working for the creation of

a network of small marine sanctuaries in the Banggai Archipelago,

Indonesia. Communiqué. Am. Zoo & Aquarium Assoc. July 2005: 47–48.

Tullock, J. 1999. Banggai cardinalfish alert. Aquarium Frontiers.

http://www.aquariumfrontiers.net/Environmental Aquarist//html.