Tugas Kasus (YULIA)

49
NAMA : YULIA MANAWEAN NIM : 201320401011105 TUGAS STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI 10 KASUS TERBANYAK 1. Eklampsia 2. Preeklampsia Berat 3. Myoma Uteri 4. HPP 5. KPD 6. Ca Serviks . Kista !varii ". #$ort%s &. Plase'ta Previa 1(. KE) 1.EKLAMPSIA 1.1 De*i'isi

description

OBGYN

Transcript of Tugas Kasus (YULIA)

NAMA : YULIA MANAWEAN

NIM : 201320401011105

TUGAS STASE OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

10 KASUS TERBANYAK

1. Eklampsia

2. Preeklampsia Berat3. Myoma Uteri

4. HPP

5. KPD

6. Ca Serviks

7. Kista Ovarii

8. Abortus

9. Plasenta Previa

10. KET

1. EKLAMPSIA1.1 Definisi

Eklampsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti halilintar, karena seolah-olah gejala timbul secara tiba-tiba tanpa didahului oleh tanda-tanda lain. Eklampsia biasanya timbul pada wanita hamil atau dalam masa nifas dengan tanda-tanda preeklampsia.1.2 Etiologi

Menurut Manuaba, IBG, 2001 penyebab secara pasti belum diketahui, tetapi banyak teori yang menerangkan tentang sebab akibat dari penyakit ini, antara lain:

a.Teori genetik

Eklampsia merupakan penyakit keturunan dan penyakit yang lebih sering ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita pre eklampsi.

b.Teori imunologik

Kehamilan merupakan hal yang fisiologis. Janin yang merupakan benda asing karena ada faktor dari suami secara imunologik dapat diterima dan ditolak oleh ibu. Adaptasi dapat diterima oleh ibu bila janin dianggap bukan benda asing, dan rahim tidak dipengaruhi oleh sistem imunologik normal, sehingga terjadi modifikasi respon imunologi dan terjadilah adaptasi. Pada eklampsia terjadi penurunan atau kegagalan dalam adaptasi imunologik yang tidak terlalu kuat sehingga konsepsi tetap berjalan.

c.Teori iskhemia regio utero placental

Kejadian eklampsia pada kehamilan dimulai dengan iskhemia utero placental menimbulkan bahan vaso konstriktor yang bila memakai sirkulasi, menimbulkan bahan vasokonstriksi ginjal. Keadaan ini mengakibatkan peningkatan produksi renin angiotensin dan aldosteron. Renin angiotensin menimbulkan vasokonstriksi general, termasuk odem pada arteriol. Perubahan ini menimbulkan kekakuan anteriolar yang meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin vasokonstriksi selanjutnya akan mengakibatkan hipoksia kapiler danpeningkatan permeabilitas pada membran glomerulus sehingga menyebabkan proteinuria dan oedem lebih jauh.

d.Teori radikal bebas

Faktor yang dihasilkan oleh ischemia placenta adalah radikal bebas. Radikal bebas merupakan produk sampingan metabolisme oksigen yang sangat labil, sangat reaktif dan berumur pendek. Ciri radikal bebas ditandai dengan adanya satu atau dua elektron dan berpasangan. Radikal bebas akan timbul bila ikatan pasangan elektron rusak. Sehingga elektron yang tidak berpasangan akan mencari elektron lain dari atom lain dengan menimbulkan kerusakan sel. Pada eklamsia sumber radikal bebas yang utama adalah placenta, karena placenta dalam pre eklamsia mengalami iskemia. Radikal bebas akan bekerja pada asam lemak tak jenuh yang banyak dijumpai pada membran sel, sehingga radikal bebas merusak sel. Pada eklamsia kadar lemak lebih tinggi dari pada kehamilan normal, dan produksi radikal bebas menjadi tak terkendali karena kadar anti oksidan juga menurun.

e.Teori kerusakan endotel

Fungsi sel endotel adalah melancarkan sirkulasi darah, melindungi pembuluh darah agar tidak banyak terjadi timbunan trombosit dan menghindari pengaruh vasokonstriktor. Kerusakan endotel merupakan kelanjutan dari terbentuknya radikal bebas yaitu peroksidase lemak atau proses oksidase asam lemak tidak jenuh yang menghasilkan peroksidase asam lemak jenuh.

Pada iskhemia diduga bahwa sel tubuh yang rusak akibat adanya peroksidase lemak adalah sel endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel ini sangat spesifik dijumpai pada glomerulus ginjal yaitu berupa glumerulus endotheliosis. Gambaran kerusakan endotel pada ginjal yang sekarang dijadikan diagnosa pasti adanya pre eklamsia.

f.Teori trombosit

Placenta pada kehamilan normal membentuk derivat prostaglandin dari asam arakidonik secara seimbang yang aliran darah menuju janin. Iskhemi regio utero placenta menimbulkan gangguan metabolisme yang menghasilkan radikal bebas asam lemak tak jenuh dan jenuh. Keadaan iskhemi regio utero placenta yang terjadi menurunkan pembentukan derivat prostaglandin (tromboksan dan prostasiklin), tetapi kerusakan trombosit meningkatkan pengeluaran tromboksan sehingga berbanding 7 : 1 dengan prostasiklin yang menyebabkan tekanan darah meningkat dan terjadi kerusakan pembuluh darah karena gangguan sirkulasi.

g.Teori diet ibu hamil

Kebutuhan kalsium ibu hamil 2-2 gram per hari. Bila terjadi kekurangan kalsium, kalsium ibu hamil akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan janin. Kekurangan kalsium yang terlalu lama menyebabkan dikeluarkannya kalsium otot sehingga menimbulkan sebagai berikut: dengan dikeluarkannya kalsium dari otot dalam waktu yang lama, maka akan menimbulkan kelemahan konstruksi otot jantung yang menyebabkan menurunnya strike volume sehingga aliran darah menurun. Apabila kalsium dikeluarkan dari otot pembuluh darah akan menyebabkan konstriksi, sehingga terjadi vasokonstriksi dan meningkatkan tekanan darah.

1.3 Epidemiologi

Eklampsia umumnya terjadi pada wanita kulit berwarna, nulipara, dan golongan sosial ekonomi rendah. Insiden tertinggi pada usia remaja atau awal 20-an, tetapi prevalensinya meningkat pada wanita diatas 35 tahun. Eklampsia jarang terjadi pada usia kehamilan dibawah 20 minggu, dapat meningkat pada kehamilan mola atau sindroma antifosfolipid.

Insiden eklampsia secara keseluruhan relatif stabil, 4-5 kasus /10.000 kelahiran hidup di negara maju. Di negara berkembang, insiden bervariasi luas antara 6-100/ 10.000 kelahiran hidup.

1.4 Gejala Klinis

Umumnya kejang didahului oleh makin memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di epigastrium atau nyeri abdomen kuadran kanan atas dan hiperefleksia.1Konvulsi pada eklampsia dibagi dalam 4 tingkat, yaitu :

1. Tingkat awal atau aura yang berlangsung 30 detik.Biasanya berawal di sekitar bibir dalam bentuk kedutan pada otot-otot muka. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata dan tangan bergetar dan kepala diputar ke kanan atau ke kiri.2

2. Tingkat kejangan tonik yang berlangsung 30 detik.Seluruh otot menjadi kaku, wajah kelihatan kaku, tangan menggenggam dan kaki membengkok ke dalam. Pernapasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit.

3. Tingkat kejangan klonik yang berlangsung 1 2 menit.Spasme tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tegigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut ke luar ludah yang berbus, muka menunjukkan kongesti dan sianosis. Penderita menjadi tidak sadar. Kejangan klonik ini dapat demikian hebatnya sehingga penderita dapat terjatuh dari tempat tidurnya. Akhirnya, kejangan terhenti dan penderita menarik napas secara mendengkur.

4. Tingkat koma.

Lama kesadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadi sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum itu timbul serangan baru dan yang berulang sehingga ia tetap dalam keadaan koma.Selama serangan tekanan darah meninggi, nadi cepat dan suhu meningkat sampai 400 C. Sepanjang serangan kejang, diafragma tidak bergerakdan pernapasan terhenti. Selama beberapa detik tampak seolah-olah akan meninggal karena penghentian napas, tetapi pada saat keadaan yang membawa kematian ini terlihat tidak akan terhindarkan, pasien ini mulai menghirup napas panjang dan dalam serta berbunyi mengorok lalu pernapasan pulih kembali. Koma kemudian menyusul. Koma setelah kejang menunjukkan lama yang bervariasi. Jika kejang tidak sering, pasien akan terlihat sedikit sadar di antara saat-saat kejang. Pada kasus yang berat, koma akan terus menetap dan kematian dapat terjadi sebelum pasien sadar.1.5 Patofisiologi

Dasar patofisiologi untuk preeklampsia dan eklampsia adalah vasospasme. Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah dan menerangkan proses terjadinya hipertensi arterial. Kemungkinan vasospasme juga membahayakan pembuluh darah sendiri karena peredaran darah dalam vasa vasorum terganggu sehingga terjadi kerusakan vaskuler. Pelebaran segmental yang biasanya disertai penyempitan arteriol segmental mungkin mendorong lebih jauh timbulnya kerusakan vaskuler mengingat keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen penbuluh darah yang melebar dan teregang. Lebih lanjut, angiotensin II tampaknya mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya berkontraksi. Semua factor ini dapat menimbulkan kebocoran sel antar endotel sehingga melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah seperti trombosit dan fibrinogen tertimbun pada lapisan subendotel. Pada keadaan normal, wanita hamil memiliki resistensi terhadap efek pressor dari pemberian angiotensin II. Sedangkan pada wanita yang menderita preeklampsia, kepekaan pembuluh darah yang meningkat terhadap hormon pressor ini dan hormon lainnya meningkat. Hal inilah yang mendahului awal terjadinya hipertensi karena kehamilan.

1.6 Diagnosis

Diagnosis eklampsia umumnya tidak sukar. Dengan adanya tanda dan gejala preeklampsia yaitu 2 dari trias tanda utama (hipertensi, edema, proteinuria) yang disusul oleh serangan kejang seperti yang telah diuraikan, maka diagnosis eklampsia sudah tidak diragukan.1.7 Penatalaksaan

Tujuan utama pengobatan eklampsia adalah menghentikan berulangnya serangan kejang dan mengakhiri kehamilan secepatnya dengan cara yang aman setelah keadaan ibu mengizinkan.1Penanganan dasar untuk eklampsia adalah :21. Pengendalian kejang

2. Koreksi hipoksia dan asidosis

3. Penurunan tekanan darah bila meningkat nyata4. Langkah-langkah menuju persalinan bayi segera setelah ibu bebas kejang dan sadar kembaliSegera setelah persalinan diselesaikan, perubahan patologis pada eklampsia akan membaik dan akhirnya pulih sempurna. Perawatan dan pengobatan intensif diteruskan untuk 48 jam. Bila tekanan darah turun maka pemberian obat penenang bisa dikurangi setelah 24 jam postpartum untuk kemudian lambat laun dihentikan. Biasanya diuresis bertambah 24 48 jam setelah kelahiran dan edema serta proteinuria berkurang.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang terberat adalah kematian ibu dan janin. Usaha utama adalah melahirkan bayi hidup dari ibu yang menderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang biasanya terjadi pada preeklampsia berat dan eklampsia antara lain :1. Solusio plasentaBiasanya terjadi pada ibu yang menderita hipertensi akut dan lebihsering terjadi pada preeklampsia.2. Hipofibrinogenemia3. HemolisisPasien dengan preeklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala klinik hemolisis, yaitu ikterus. Belum diketahui dengan pastiapakah ini merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi eritrosit.4. Perdarahan otak Merupakan penyebab utama kematian maternal pasien eklampsia.5. Kelainan mata Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina, hal ini merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.6. Edema paruMerupakan tanda prognosis buruk. Penyebabnya yaitu :

a. Pneumonitis aspirasi setelah terisapnya isi lambung bila kejang disertai muntah.

b. Gagal jantung akibat kombinasi antara hipertensi berat dan pemberian cairan I.V yang terlalu banyak.

7. Nekrosis hati

Nekrosis periportal hati pada preeklampsia dan eklampsia yangmerupakan akibat vasospasme arteriol umum. Kelainan ini didugakhas untuk eklampsia, tapi ternyata juga ditemukan pada penyakit lain.Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati,terutama penentuan enzim-enzimnya.8. Sindroma HELLP (Haemolysis,Elevated liver enzymes,Low platelet)(1,3)9.Kelainan ginjalKelainan berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel endothelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang dapat timbul adalah anuria sampai gagal ginjal.

10. Komplikasi lain

Lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang-kejang pneumonia aspirasi dan DIC.11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin.1.8 Prognosis

Eklampsia di Indonesia masih merupakan penyakit kehamilan yang meminta korban besar dari ibu dan janinnya. Tingginya kematian ibu dan anak di negara-negara kurang maju disebabkan oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal, penderita sering terlambat mendapatkan pengobatan yang tepat. Kematian ibu biasanya disebabkan oleh perdarahan otak, dekompensasio kordis dengan edema paru-paru, payah ginjal dan masuknya isi lambung ke dalam jalan pernapasan saat kejang. Sedangkan sebab kematian bayi terutama karena hipoksia intrauterine dan prematuritas2. PREEKLAMPSIA BERAT2.1 Definisi

Pre-eklampsia dalam kehamilan adalah apabila dijumpai tekanan darah 140/90 mmHg setelah kehamilan 20 minggu (akhir triwulan kedua sampai triwulan ketiga) atau bisa lebih awal terjadi. Sedangkan pengertian eklampsia adalah apabila ditemukan kejang-kejang pada penderita pre-eklampsia, yang juga dapat disertai koma. Pre-eklampsia adalah salah satu kasus gangguan kehamilan yang bisa menjadi penyebab kematian ibu. Kelainan ini terjadi selama masa kelamilan, persalinan, dan masa nifas yang akan berdampak pada ibu dan bayi. Kasus pre-eklampsia dan eklampsia terjadi pada 6-8% wanita hamil di Indonesia.

2.2 Etiologi

Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap sebagai "mal adaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah yang membawa nutrisi ke janin.

2.3 EpidemiologiFrekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda - beda karena banyak faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi, tingkat pendidikan,dan lain - lain. Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3 -10% (Triatmojo, 2003), sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan, yaitu 23,6 kasus per 1.000 kelahiran (Dawn C Jung, 2007). Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda, Sudinaya (2000) mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1431 persalinan selama periode 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus (4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%). Dari kasus ini terutama dijumpai pada usia 20-24 tahun dengan primigravida (17,5%). Diabetes melitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, umur lebih dari 35 tahun dan obesitas merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Trijatmo, 2005). Peningkatan kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosa dengan superimposed PIH (Deborah E Campbell, 2006).2.4 Gejala klinis Kenaikan tekanan darah sistole 140 mmHg sampai kurang dari 160 mmHg; diastole 90 mmHg sampai kurang dari 110 mmHg Proteinuria : didapatkannya protein di dalam pemeriksaan urin (air seni) Edema (penimbunan cairan) pada betis, perut, punggung, wajah atau tangan2.5 PatofisiologiPada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia (Cunningham, 2003). Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim. 2.6 Diagnosis Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu :

Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut :

Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.

Proteinuria kuantitatif 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstream.

Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.

Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.

Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epiga strium.

Terdapat edema paru dan sianosis

Trombositopeni

Gangguan fungsi hati

Pertumbuhan janin terhambat

2.7 Penatalaksanaan a) Penanganan umum. Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi, sampai tekanan diastolik diantara 90- 100 mmHg Pasang infus RL( Ringer Laktat ) Ukur keseimbangan cairan, jangan sapai terjadi overload Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria Jika jumlah urin < 30 ml perjam:O Infus cairan dipertahankan 1 1/8 jam

O Pantau kemungkinan edema paruJangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkankematian ibu dan janin Observasi tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin setiap jam Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Krepitasi merupakan tanda edema paru. Jika terjadi edema paru, stop pemberian cairan dan berikan diuretik misalnya furosemide 40 mg intravena Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan bedside Jika pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulapati.2.8 Komplikasi Preeklampsia dapat menyebabkan komplikasi di antaranya :

- Terganggunya aliran darah ke plasenta sehingga bayi akan kekurangan asupan nutrisi yang dapat menghambat pertumbuhan janin, serta mengakibatkan bayi lahir prematur, berat badan rendah, dan kesulitan bernafas.

- Plasenta terlepas dari dinding dalam rahim sebelum persalinan hingga dapat mengancam jiwa penderita dan bayi yang dikandungnya.

- Sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati dan rendahnya trombosit) dapat mengancam jiwa penderita dan bayi yang dikandungnya.

- Eklampsia yang disertai kejang secara permanen dapat merusak organ vital (otak, hati dan ginjal) hingga menyebabkan koma dan kematian pada penderira dan bayi yang dikandungnya.

- Meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular di masa mendatang.

2.9 Prognosis

Prognosis preeclampsia tergantung dari deteksi dini dan penangananan yang diberikan. Pada preeclampsia ringan prognosis biasanya baik sedangkan preeklampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oliguria.3. MYOMA UTERI3.1 Definisi

Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot polos uterus, yang diselingi untaian jaringan ikat dan dikelilingi kapsul yang tipis , dan sering terjadi pada usia reproduksi. Tumor ini juga dikenal dengan istilah fibromioma uteri, leimioma uteri, dan uterine fibroid. Dapat bersifat tunggal atau ganda, dan mencapai ukuran besar, konsistensinya keras dengan batas kapsel yang jelas sehingga dapat dilepas dari jaringan sekitarnya.

3.2 EtiologiSampai saat ini belum diketahui penyebab pasti mioma uteri dan diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercaya bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari sebuah sel neoplastik tunggal. Sel-sel tumor mempunyai abnormalitas kromosom lengan 12q13-15. Ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu :

1. Umur : mioma uteri jarang terjadi pada usia kurang dari 20 tahun, ditemukan sekitar 10% pada wanita berusia lebih dari 40 tahun. Tumor ini paling sering memberikan gejala klinis antara 35-45 tahun.

2. Paritas : lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertil, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertil menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertil, atau apakah kedua keadaan ini saling mempengaruhi.

3. Faktor ras dan genetik : pada wanita ras tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadiaan mioma uteri tinggi. Terlepas dari faktor ras, kejadian tumor ini tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma.

4. Fungsi ovarium : diperkirakan ada korelasi antara hormon estrogen dengan pertumbuhan mioma, dimana mioma uteri muncul setelah menarke, berkembang setelah kehamilan dan mengalami regresi setelah menopause.3.3 Epidemiologi

Frekwensi mioma uteri kurang lebih 10% dari jumlah seluruh penyakit pada alat-alat genital dan merupakan tumor pelvis. Angka kejadian tumor ini sulit ditentukan secara tepat karena tidak semua penderita dengan mioma uteri memiliki keluhan. Berdasarkan otopsi, Novak menemukan 27% wanita berumur 25 tahun mempunyai sarang mioma, pada wanita berkulit hitam ditemukan lebih banyak. Mioma uteri belum pernah dilaporkan terjadi sebelum menarche.3.4 Gejala klinisHampir separuh kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Gejala yang timbul sangat tergantung pada tempat sarang mioma ini berada serviks, intramural, submukus, subserus), besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala tersebut dapat digolongkan sebagai berikut : 1) Perdarahan abnormal

Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah hipermenore, menoragia dan dapat juga terjadi metroragia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini, antara lain adalah :

- Pengaruh ovarium sehingga terjadilah hyperplasia endometrium sampai adeno karsinoma endometrium.

- Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasa.

- Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.

- Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya sarang mioma diantara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik.2) Rasa nyeriRasa nyeri bukanlah gejala yang khas tetapi dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan, pula pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore.

2) Gejala dan tanda penekananGangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuri, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rectum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe dipanggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

4) Infertilitas dan abortus

Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars intertisialis tuba, sedangkan mioma submukosum juga memudahkan terjadinya abortus oleh karena distorsi rongga uterus. Rubin (1958) menyatakan bahwa apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan, dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan miomektomi.

3.5 PatofisiologiMioma merupakan monoclonal dengan tiap tumor merupakan hasil dari penggandaan satu sel otot. Etiologi yang diajukan termasuk di dalamnya perkembangan dari sel otot uterus atau arteri pada uterus, dari transformasi metaplastik sel jaringan ikat, dan dari sel-sel embrionik sisa yang persisten. Penelitian terbaru telah mengidentifikasi sejumlah kecil gen yang mengalami mutasi pada jaringan ikat tapi tidak pada sel miometrial normal. Penelitian menunjukkan bahwa pada 40% penderita ditemukan aberasi kromosom yaitu t(12;14)(q15;q24).

Meyer dan De Snoo mengajukan teori Cell Nest atau teori genioblast. Percobaan Lipschultz yang memberikan estrogen kepada kelinci percobaan ternyata menimbulkan tumor fibromatosa baik pada permukaan maupun pada tempat lain dalam abdomen. Efek fibromatosa ini dapat dicegah dengan pemberian preparat progesteron atau testoster. Pemberian agonis GnRH dalam waktu lama sehingga terjadi hipoestrogenik dapat mengurangi ukuran mioma. Efek estrogen pada pertumbuhan mioma mungkin berhubungan dengan respon mediasi oleh estrogen terhadap reseptor dan faktor pertumbuhan lain. Terdapat bukti peningkatan produksi reseptor progesteron, faktor pertumbuhan epidermal dan insulin-like growth factor 1 yang distimulasi oleh estrogen. Anderson dkk, telah mendemonstrasikan munculnya gen yang distimulasi oleh estrogen lebih banyak pada mioma daripada miometrium normal dan mungkin penting pada perkembangan mioma. Namun bukti-bukti masih kurang meyakinkan karena tumor ini tidak mengalami regresi yang bermakna setelah menopause sebagaimana yang disangka. Lebih daripada itu tumor ini kadang-kadang berkembang setelah menopause bahkan setelah ooforektomi bilateral pada usia dini.3.6 Diagnosis 1. Anamnesis

Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya, faktor resiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan status lokalis dengan palpasi abdomen. Mioma uteri dapat diduga dengan pemeriksaan luar sebagai tumor yang keras, bentuk yang tidak teratur, gerakan bebas, tidak sakit.

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Akibat yang terjadi pada mioma uteri adalah anemia akibat perdarahan uterus yang berlebihan dan kekurangan zat besi. Pemeriksaaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah Darah Lengkap (DL) terutama untuk mencari kadar Hb. Pemeriksaaan lab lain disesuaikan dengan keluhan pasien.

b. Imaging

1) Pemeriksaaan dengan USG akan didapat massa padat dan homogen pada uterus. Mioma uteri berukuran besar terlihat sebagai massa pada abdomen bawah dan pelvis dan kadang terlihat tumor dengan kalsifikasi.

2) Histerosalfingografi digunakan untuk mendeteksi mioma uteri yang tumbuh ke arah kavum uteri pada pasien infertil.3) MRI lebih akurat untuk menentukan lokasi, ukuran, jumlah mioma uteri, namun biaya pemeriksaan lebih mahal. 3.7 PenatalaksaanTidak semua mioma uteri memerlukan pengobatan bedah. Penanganan mioma uteri tergantung pada umur, status fertilitas, paritas, lokasi dan ukuran tumor, sehingga biasanya mioma yang ditangani yaitu yang membesar secara cepat dan bergejala serta mioma yang diduga menyebabkan fertilitas. Secara umum, penanganan mioma uteri terbagi atas penanganan konservatif dan operatif. Penanganan konservatif bila mioma berukuran kecil pada pra dan post menopause tanpa gejala. Cara penanganan konservatif sebagai berikut :

- Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodic setiap 3-6 bulan.

- Bila anemi (Hb < style="font-weight: bold;">).

Pengobatan operatif meliputi miomektomi dan histerektomi. Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukoum pada myom geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat mudah dilaksanakan apabila tumor bertangkai. Apabila miomektomi ini dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan adalah 30-50%. Histerektomi adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan terpilih. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdominan atau pervaginam. Yang akhir ini jarang dilakukan karena uterus harus lebih kecil dari telor angsa dan tidak ada perlekatan dengan sekitarnya. Adanya prolapsus uteri akan mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri. Histerektomi supravaginal hanya dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus.3.8 Komplikasi Degenerasi ganas.Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma; serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause. Torsi (putaran tangkai).Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Nekrosis dan infeksi.Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya.3.9 Prognosis

Prognosis baik jika ditemukan mioma berukuran kecil, tidak cenderung membesar dan tidak memicu keluhan yang berarti, cukup dilakukan pemeriksaan rutin setiap 3-6 bulan sekali termasuk pemeriksaan USG, 55% dari semua mioma uteri tidak membutuhkan suatu pengobatan dalam bentuk apapun. Menopause dapat menghentikan pertumbuhan mioma uteri. Pengecilan tumor sementara menggunakan obat-obatan GnRH analog dapat dilakukan, akan tetapi pada wanita dengan hormon yang masih cukup (premenopause), mioma ini dapat membesar kembali setelah obat-obatan ini dihentikan. Jika tumor membesar, timbul gejala penekanan, nyeri hebat, dan perdarahan dari kemaluan yang terus menerus, tindakan operasi sebaiknya dilakukan.4. HPP (Hemorhagic Post Partum)

4.1 Definisi

Hemorhagic Post Partum merupakan perdarahan yang masih berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping perdarahan karena hamil ektopik dan abortus. Perdarahan post partum bila tidak mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.

Perdarahan post partum adalah perdarahan yang melebihi 500 ml setelah bayi lahir. Pada praktisnya tidak perlu mengukur jumlah perdarahan sampai sebanyak itu sebab menghentikan perdarahan lebih dini akan memberikan prognosis lebih baik. Pada umumnya bila terdapat perdarahan yang lebih dari normal, apalagi telah menyebabkan perubahan tanda vital (seperti kesadaran menurun, pucat, limbung, berkeringat dingin, sesak napas, serta tensi < 90 mmHg dan nadi > 100/menit), maka penanganan harus segera dilakukan.

4.2 Etiologi

a. Atonia Uteri

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya otnuys/kontraksi rahim yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.

b. Robekan Jalan Lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, truama forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi.

c. Retensio Plasenta

Retensio placenta adalah keadaan dimana plasenta belum lahir selama 30 menit setelah bayi lahir.d. Rest Placenta

Adalah tertinggalnya sisa-sisa plasenta atau sebagian selaput mengandung pembuluh darah.

e. Robekan serviks

f. Ruptur Uteri

g. Invensio uteri

h. Pembekuan darah

i. Manual plasenta

4.3 EpidemiologiTerdapat 5% dari sekian kasus masing-masing penyebab terjadinya HPP.4.4 Gejala Klinis Uterus tidak berkontraksi dan lembek Perdarahan segera setelah bayi lahir Darah segar mengalir segera setelah anak lahir

Uterus berkontraksi dan keras

Plasenta belum lahir setelah 30 menit

4.5 PatofisiologiPada dasarnya perdarahan terjadi karena pembuluh darah didalam uterus masih terbuka. Pelepasan plasenta memutuskan pembuluh darah dalam stratum spongiosum sehingga sinus-sinus maternalis ditempat insersinya plasenta terbuka.

Pada waktu uterus berkontraksi, pembuluh darah yang terbuka tersebut akan menutup, kemudian pembuluh darah tersumbat oleh bekuan darah sehingga perdarahan akan terhenti. Adanya gangguan retraksi dan kontraksi otot uterus, akan menghambat penutupan pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan yang banyak. Keadaan demikian menjadi faktor utama penyebab perdarahan paska persalinan. Perlukaan yang luas akan menambah perdarahan seperti robekan servix, vagina dan perinium.4.6 Diagnosis 1. Observasi setelah proses persalinan

2. Terganung tanda-tanda dari perdarahan yang tak berhenti pasaka persalinan4.7 Penatalaksaan 1. Penatalaksanaan umum

a. Ketahui secara pasti kondisi ibu bersalin sejak awal

b. Pimpin persalinan dengan mengacu pada persalinan bersih dan aman

c. Selalu siapkan keperluan tindakan gawat darurat

d. Segera lakukan penilaian klinik dan upaya pertolongan apabila dihadapkan dengan masalah dan komplikasi

e. Atasi syok jika terjadi syok

f. Pastikan kontraksi berlangsung baik ( keluarkan bekuan darah, lakukan pijatan uterus, beri uterotonika 10 IV dilanjutkan infus 20 ml dalam 500 cc NS/RL dengan tetesan 40 tetes/menit ).

g. Pastikan plasenta telah lahir lengkap dan eksplorasi kemungkinan robekan jalan lahir

h. Bila perdarahan tidak berlangsung, lakukan uji bekuan darah.

i. Pasang kateter tetap dan pantau cairan keluar masuk

j. Lakukan observasi ketat pada 2 jam pertama paska persalinan dan lanjutkan pemantauan terjadwal hingga 4 jam berikutnya.

2. Penatalaksanaan khusus

a. Atonia uteri

Kenali dan tegakan kerja atonia uteri

Sambil melakukan pemasangan infus dan pemberian uterotonika, lakukan pengurutan uterus

Pastikan plasenta lahir lengkap dan tidak ada laserasi jalan lahir

Lakukan tindakan spesifik yang diperlukan :

Kompresi bimanual eksternal yaitu menekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uteus. Bila perdarahan berkurang kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus dapat kembali berkontraksi atau dibawa ke fasilitas kesehata rujukan. Kompresi bimanual internal yaitu uterus ditekan diantara telapak tangan pada dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjempit pembuluh darah didalam miometrium. Kompresi aorta abdominalis yaitu raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi tersebut genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis, penekanan yang tepat akan menghetikan atau mengurangi, denyut arteri femoralis.b. Retensio plasenta dengan separasi parsial Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan yang akan diambil. Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengejan, bila ekspulsi tidak terjadi cobakan traksi terkontrol tali pusat. Pasang infus oksitosin 20 unit/500 cc NS atau RL dengan tetesan 40/menit, bila perlu kombinasikan dengan misoprostol 400mg per rektal. Bila traksi terkontrol gagal melahirkan plasenta, lakukan manual plasenta secara hati-hati dan halus.

Restorasi cairan untuk mengatasi hipovolemia.

Lakukan transfusi darah bila diperlukan.

Berikan antibiotik profilaksis ( ampicilin 2 gr IV/oral + metronidazole 1 g supp/oral ).

c. Plasenta inkaserata

Tentukan diagnosis kerja

Siapkan peralatan dan bahan untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus fluothane atau eter untuk menghilangkan kontriksi serviks yang kuat, tetapi siapkan infus oksitosin 20 Untuk500 NS atau RL untuk mengantisipasi gangguan kontraksi uterus yang mungkin timbul.

Bila bahan anestesi tidak tersedia, lakukan manuver sekrup untuk melahirkan plasenta.

Pasang spekulum Sims sehingga ostium dan sebagian plasenta tampak jelas.

Jepit porsio dengan klem ovum pada jam 12, 4 dan 8 dan lepaskan spekulum

Tarik ketiga klem ovum agar ostium, tali pusat dan plasenta tampak jelas.

Tarik tali pusat ke lateral sehingga menampakkan plasenta disisi berlawanan agar dapat dijepit sebanyak mungkin, minta asisten untuk memegang klem tersebut.

Lakukan hal yang sama pada plasenta kontra lateral

Satukan kedua klem tersebut, kemudian sambil diputar searah jarum jam tarik plasenta keluar perlahan-lahan.

d. Ruptur uteri

Berikan segera cairan isotonik ( RL/NS) 500 cc dalam 15-20 menit dan siapkan laparatomi

Lakukan laparatomi untuk melahirkan anak dan plasenta, fasilitas pelayanan kesehatan dasar harus merujuk pasien ke rumah sakit rujukan

Bila konservasi uterus masih diperlukan dan kondisi jaringan memungkinkan, lakukan operasi uterus

Bila luka mengalami nekrosis yang luas dan kondisi pasien mengkwatirkan lakukan histerektomi

Lakukan bilasan peritonial dan pasang drain dari cavum abdomen

Antibiotik dan serum anti tetanus, bila ada tanda-tanda infeksi.

e. Sisa plasenta

Penemuan secara dini, dengan memeriksa kelengkapan plasenta setelah dilahirkan

Berika antibiotika karena kemungkinan ada endometriosis

Lakukan eksplorasi digital/bila serviks terbuka dan mengeluarkan bekuan darah atau jaringan, bila serviks hanya dapat dilalui oleh instrument, lakukan evakuasi sisa plasenta dengan dilatasi dan kuret.

Hb 8 gr% berikan transfusi atau berikan sulfat ferosus 600mg/hari selama 10 hari.

f. Ruptur peritonium dan robekan dinding vagina

Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber perdarahan

Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik

Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan benang yang dapat diserap

Lakukan penjahitan luka dari bagian yang paling distal

Khusus pada ruptur perineum komplit dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada rektum, sebagai berikut :

Setelah prosedur aseptik- antiseptik, pasang busi rektum hingga ujung robekan

Mulai penjahitan dari ujung robekan dengan jahitan dan simpul sub mukosa, menggunakan benang polyglikolik No 2/0 ( deton/vierge ) hingga ke sfinter ani, jepit kedua sfinter ani dengan klem dan jahit dengan benang no 2/0.

Lanjutkan penjahitan ke lapisan otot perineum dan sub mukosa dengan benang yang sama ( atau kromik 2/0 ) secara jelujur.

Mukosa vagina dan kulit perineum dijahit secara sub mukosa dan sub kutikuler

Berikan antibiotik profilaksis. Jika luka kotor berikan antibiotika untuk terapi.

g. Robekan serviks

Sering terjadi pada sisi lateral, karena serviks yang terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina ishiadika tertekan oleh kepala bayi.

Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan kanan porsio

Jepitan klem ovum pada kedua sisi porsio yang robek sehingga perdarahan dapat segera di hentikan, jika setelah eksploitasi lanjutkan tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan, jahitan dimulai dari ujung atas robekan kemudian kearah luar sehingga semua robekan dapat dijahit

Setelah tindakan periksa tanda vital, kontraksi uterus, tinggi fundus uteri dan perdarahan paska tindakan

Berikan antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda infeksi

Bila terjadi defisit cairan lakukan restorasi dan bila kadar Hb dibawah 8 gr% berikan transfusi darah

4.8 Komplikasi

Atonia Uteri : - Syok

Bekuan darah pada serviks atau pada posisi terlentang akan menghambat aliran darah keluar

Robekan Jalan Lahir : Pucat, Lemah, Mengigil

Retensio Plasenta : Tali pusat putus, Inversio uteri,Perdarahan lanjutan

Inversion Uteri : Neurogenik syok, pucat dan limbung

4.9 Prognosis

Angka kematian ibu mencapai 7,9 % (Mochtar. R), dan menurut Wignyosastro angka kematian ibu mencapai 1,8-4,5% dari kasus yang ada.

5. KETUBAN PECAH DINI (KPD)

5.1 Definisi

Pengertian Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini terjadi sebelum usia kehamilan 37 minggu maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan prematur (Sarwono, 2008). Ketuban Pecah Dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi prosespersalinan yang dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu.

5.2 Epidemiologi

Beberapa peneliti melaporkan hasil penelitian mereka dan didapatkan hasil yang bervariasi. Insidensi KPD berkisar antara 8 10 % dari semua kehamilan. Hal yang menguntungkan dari angka kejadian KPD yang dilaporkan, bahwa lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran prematur.

5.3 EtiologiFaktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi adalah:

Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage). Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai infeksi. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah. Keadaan sosial ekonomi.5.4 Gejala Klinis

Cairan ketuban keluar secara tiba-tiba dari liang vagina dalam jumlah banyak, tak dapat ditahan atau dihentikan. Cairan ketuban berwarna putih agak keruh, mirip air kelapa muda karena bercampur dengan lanugo atau rambut halus pada janin dan mengandung verniks caseosa , yaitu lemak pada kulit bayi. Umumnya, ketuban yang pecah tidak menimbulkan rasa sakit, pegal-pegal, mulas, dan sebagainya. Tapi kalau Anda mengalaminya, sebaiknya segera cari pertolongan. Semakin cepat ditangani, semakin kecil risiko terjadinya komplikasi, seperti infeksi kuman dari luar, persalinan prematur atau kurang bulan, gangguan peredaran darah atau tali pusat yang bisa menyebabkan kondisi gawat janin dan kematian janin akibat tali pusat yang tertekan, Oligohidramnion, yakni cairan ketuban kurang dari jumlah yang dibutuhkan, atau bahkan habis.

5.5 Patofisiologi Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah. Penyakit-penyakit seperti pielonefritis- sistitis, servisitis dan vaginitis terdapat bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)

Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)

Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah: multipara, malposisi, disproporsi, cerviks inkompeten dan lain-lain.

Ketuban pecah dini artifisial (amniotomi), dimana ketuban dipecahkan terlalu dini.

5.6 DiagnosisKadang-kadang agak sulit atau meragukan kita apakah ketuban sudah benar pecah atau belum, apalagi bila pembukaan kanalis servikalis belum ada atau kecil. Cara menentukannya adalah dengan :

1. Memeriksa adanya cairan yang berisi mekonium, verniks kaseosa, rambut lanugo, atau bila telah terinfeksi jadi berbau.

2. Inspekulo: lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis dan apakah ada bagian yang sudah pecah.

3. Gunakan kertas lakmus (litmus) : Bila menjadi biru (basa) air ketuban. Bila menjadi merah (asam) air kemih (urin)

4. Pemeriksaan pH forniks posterior pada PROM pH adalah basa (air ketuban).

5. Pemeriksaan histopatologi air ketuban.

6. Aborization dan sitologi air ketuban

PROM berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode laten = LP = lag period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang LP nya. Sedangkan lamanya persalinan lebih pendek dari biasa, yaitu pada primi 10 jam dan multi 6 jam.

5.7 Penatalaksanaan A. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan aterm (> 37 Minggu)

Beberapa penelitian menyebutkan lama periode laten dan durasi KPD keduanya mempunyai hubungan yang bermakna dengan peningkatan kejadian infeksi dan komplikasi lain dari KPD. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode latent = LP = lag period. Makin muda umur kehamilan makin memanjang LP-nya. Pada hakekatnya kulit ketuban yang pecah akan menginduksi persalinan dengan sendirinya. Sekitar 70-80 % kehamilan genap bulan akan melahirkan dalam waktu 24 jam setelah kulit ketuban pecah, bila dalam 24 jam setelah kulit ketuban pecah belum ada tanda-tanda persalinan maka dilakukan induksi persalinan, dan bila gagal dilakukan bedah caesar. Pemberian antibiotik profilaksis dapat menurunkan infeksi pada ibu. Walaupun antibiotik tidak berfaedah terhadap janin dalam uterus namun pencegahan terhadap chorioamninitis lebih penting dari pada pengobatannya sehingga pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan. Waktu pemberian antibiotik hendaknya diberikan segera setelah diagnosis KPD ditegakkan dengan pertimbangan : tujuan profilaksis, lebih dari 6 jam kemungkinan infeksi telah terjadi, proses persalinan umumnya berlangsung lebih dari 6 jam. Beberapa penulis menyarankan bersikap aktif (induksi persalinan) segera diberikan atau ditunggu sampai 6-8 jam dengan alasan penderita akan menjadi inpartu dengan sendirinya. Dengan mempersingkat periode laten durasi KPD dapat diperpendek sehingga resiko infeksi dan trauma obstetrik karena partus tindakan dapat dikurangi. Pelaksanaan induksi persalinan perlu pengawasan yang sangat ketat terhadap keadaan janin, ibu dan jalannya proses persalinan yang berhubungan dengan komplikasinya. Pengawasan yang kurang baik dapat menimbulkan komplikasi yang fatal bagi bayi dan ibunya (his terlalu kuat) atau proses persalinan menjadi semakin berkepanjangan (his kurang kuat). Induksi dilakukan dengan memperhatikan Bishop score, jika > 5 induksi dapat dilakukan, sebaliknya jika < 5, dilakukan pematangan serviks, jika tidak berhasil akhiri persalinan dengan seksio sesaria.B. Penatalaksanaan KPD pada kehamilan preterm (< 37 minggu)

Pada kasus-kasus KPD dengan umur kehamilan yang kurang bulan tidak dijumpai tanda-tanda infeksi pengelolaannya bersifat konservatif disertai pemberian antibiotik yang adekuat sebagai profilaksis. Penderita perlu dirawat di rumah sakit, ditidurkan dalam posisi trendelenberg, tidak perlu dilakukan pemeriksaan dalam untuk mencegah terjadinya infeksi dan kehamilan diusahakan bisa mencapai 37 minggu, obat-obatan uteronelaksen atau tocolitic agent diberikan juga bertujuan menunda proses persalinan. Tujuan dari pengelolaan konservatif dengan pemberian kortikosteroid pada penderita KPD kehamilan kurang bulan adalah agar tercapainya pematangan paru, jika selama menunggu atau melakukan pengelolaan konservatif tersebut muncul tanda-tanda infeksi, maka segera dilakukan induksi persalinan tanpa memandang umur kehamilan. Induksi persalinan sebagai usaha agar persalinan mulai berlangsung dengan jalan merangsang timbulnya his ternyata dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang kadang-kadang tidak ringan. Komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi: gawat janin sampai matinya janin, tetani uteri, ruptura uteri, emboli air ketuban, dan juga mungkin terjadi intoksikasi. Kegagalan dari induksi persalinan biasanya diselesaikan dengan tindakan bedah sesar. Seperti halnya pada pengelolaan KPD yang cukup bulan, tindakan bedah sesar hendaknya dikerjakan bukan semata-mata karena infeksi intrauterin tetapi seyogyanya ada indikasi obstetrik yang lain, misalnya kelainan letak, gawat janin, partus tak maju, dll. Selain komplikasi-kompilkasi yang dapat terjadi akibat tindakan aktif. Ternyata pengelolaan konservatif juga dapat menyebabkan komplikasi yang berbahaya, maka perlu dilakukan pengawasan yang ketat. Sehingga dikatakan pengelolaan konservatif adalah menunggu dengan penuh kewaspadaan terhadap kemungkinan infeksi intrauterin. Sikap konservatif meliputi pemeriksaan leukosit darah tepi setiap hari, pemeriksaan tanda-tanda vital terutama temperatur setiap 4 jam, pengawasan denyut jantung janin, pemberian antibiotik mulai saat diagnosis ditegakkan dan selanjutnya setiap 6 jam. Pemberian kortikosteroid antenatal pada preterm KPD telah dilaporkan secara pasti dapat menurunkan kejadian RDS. The National Institutes of Health (NIH) telah merekomendasikan penggunaan kortikosteroid pada preterm KPD pada kehamilan 30-32 minggu yang tidak ada infeksi intramanion. Sediaan terdiri atas Betametason 2 dosis masing-masing 12 mg i.m tiap 24 jam atau Dexametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.5.8 Komplikasi Infeksi intrauterine Tali pusat menumbung Prematuritas Distosia (partus kering)5.9 Prognosis

Prognosis ketuban pecah dini sangat variatif bergantung maturitas paru dan ada atau tidaknya infeksi, pada usia kehamilan < 32 minggu semakin muda kelahiran semakin buruk prognosisnya (Moeloek, 2006). Prognosis pada ibu dapat mengekibatkan Infeksi, Partus lama, Meningkatkan insiden SC. Sedangkan pada janin dapat menyebabkan Prematuritas, Prolaps funiculli/ penurunan tali pusat, Hipoksia dan asfiksia sekunder (kekurangan oksigen pada bayi), Deformitas janin.6. CA CERVIK

6.1 Definisi Kanker serviks atau yang disebut juga sebagai kanker mulut rahim merupakan salah satu penyakit kanker yang paling banyak ditakuti kaum wanita. Berdasarkan data yang ada, dari sekian banyak penderita kanker di Indonesia, penderita kanker serviks mencapai sepertiga nya. Dan dari data WHO tercatat, setiap tahun ribuan wanita meninggal karena penyakit kanker serviks ini dan merupakan jenis kanker yang menempati peringkat teratas sebagai penyebab kematian wanita dunia.

Kanker serviks menyerang pada bagian organ reproduksi kaum wanita, tepatnya di daerah leher rahim atau pintu masuk ke daerah rahim yaitu bagian yang sempit di bagian bawah antara kemaluan wanita dan rahim.6.2 EtiologiHuman papilloma Virus (HPV) merupakan penyebab dari kanker serviks. Sedangkan penyebab banyak kematian pada kaum wanita adalah virus HPV tipe 16 dan 18. Virus ini sangat mudah berpindah dan menyebar, tidak hanya melalui cairan, tapi juga bisa berpindah melalui sentuhan kulit. Selain itu, penggunaan wc umum yang sudah terkena virus HPV, dapat menjangkit seseorang yang menggunakannya jika tidak membersihkannya dengan baik.Selain itu, kebiasaan hidup yang kurang baik juga bisa menyebabkan terjangkitnya kanker serviks ini. Seperti kebiasaan merokok, kurangnya asupan vitamin terutama vitamin c dan vitamin e serta kurangnya asupan asam folat. Kebiasaan buruk lainnya yang dapat menyebabkan kanker serviks adalah seringnya melakukan hubungan intim dengan berganti pasangan, melakukan hubungan intim dengan pria yang sering berganti pasangan dan melakukan hubungan intim pada usia dini (melakukan hubungan intim pada usia