Tugas Home Care

12
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Setiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Dalam penelitian yang dirangkum Synpsis ! Psy"hiatry a#al 1$$%&an, kasus autis 'erkisar pada per'andingan 1 ( ).%%%. Angka ini meningkat di tah "atatan Sutism *esear"h Institute di Amerika Serikat se'anyak 1 dari 1+% a ke"enderungan menderita autis. Di Inggris, datanya le'ih mengkha#atirkan. 'erdasarkan data Internatinal ngress n Autism tahun )%%- ter"a anak punya ke"enderungan autis. Di Indnesia sering kali "ukup sulit menda data penderita auitis, ini karena rang tua anak yang di"urigai mengidap a seringkali tidak menyadari ge/ala&ge/ala autisme pada anak. Aki'atnya, mereka meru/uknya ke pintu lain di *S. 0isalnya ke 'agian H karena menduga ana mengalami gangguan pendengaran dan ke Pli um'uh 2em'ang Anak k mengira anaknya mengalami masalah dengan perkem'angan !isik. 3 api kita m merasakan makin 'anyak kasus autisme ini di Indnesia dari tahun ke tahun, dia. SASAN I dalam 'agian lain tidak 'isa men/elaskan apa penye'a' makin 'anyaknya kasus autisme di Indnesia. 5ang 'isa dila"ak adalah !aktr yan dengan autisme, misalnya genetis dan 'ilgis. Se"ara 'ilgis, ada kemung autisme'erkaitan dengan gangguan pen"ernaan, alergi, gangguan kandungan, maupun plusi. 6edy7.6 suarasura'aya.net. 1 desem'er )%%87 ). u/uan 0ahasis#a mampu menerapkan knsep kepera#atan pada anak dengan autisme a. 0ahasis#a mampu memahami pengertian autisme '.0ahasis#a mampu memahami etilgi autisme ". 0ahasis#a mampu memahami mani!estasi klinik d. 0ahasis#a mampu memahami kmplikasi e. 0ahasis#a mampu memahami peng'atan !. 0ahasis#a mampu memahami asuhan kepera#atan BAB II IN9AUAN E:*I

Transcript of Tugas Home Care

BAB IPENDAHULUAN

1. Latar BelakangSetiap tahun di seluruh dunia, kasus autisme mengalami peningkatan. Dalam penelitian yang dirangkum Synopsis of Psychiatry awal 1990-an, kasus autisme masih berkisar pada perbandingan 1 : 2.000. Angka ini meningkat di tahun 2000 dalam catatan Sutism Research Institute di Amerika Serikat sebanyak 1 dari 150 anak punya kecenderungan menderita autis. Di Inggris, datanya lebih mengkhawatirkan. Di sana berdasarkan data International Congress on Autism tahun 2006 tercatat 1 dari 130 anak punya kecenderungan autis. Di Indonesia sering kali cukup sulit mendapatkan data penderita auitis, ini karena orang tua anak yang dicurigai mengidap autisme seringkali tidak menyadari gejala-gejala autisme pada anak. Akibatnya, mereka merujuknya ke pintu lain di RS. Misalnya ke bagian THT karena menduga anaknya mengalami gangguan pendengaran dan ke Poli Tumbuh Kembang Anak karena mengira anaknya mengalami masalah dengan perkembangan fisik. Tapi kita memang merasakan makin banyak kasus autisme ini di Indonesia dari tahun ke tahun, papar dia.SASANTI dalam bagian lain tidak bisa menjelaskan apa penyebab makin banyaknya kasus autisme di Indonesia. Yang bisa dilacak adalah faktor yang terkait dengan autisme, misalnya genetis dan biologis. Secara biologis, ada kemungkinan autisme berkaitan dengan gangguan pencernaan, alergi, gangguan kandungan, maupun polusi. (edy).( suarasurabaya.net. 13 desember 2008)

2. TujuanMahasiswa mampu menerapkan konsep keperawatan pada anak dengan autismea. Mahasiswa mampu memahami pengertian autismeb. Mahasiswa mampu memahami etilogi autismec. Mahasiswa mampu memahami manifestasi klinikd. Mahasiswa mampu memahami komplikasie. Mahasiswa mampu memahami pengobatanf. Mahasiswa mampu memahami asuhan keperawatanBAB IITINJAUAN TEORI1. Pengertiana. Autisme masa kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala. (Sacharin, R, M, 1996 : 305)b. Autisme Infantil adalah Gangguan kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktifitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik yang terjadi sebelum usia 30 bulan. (Behrman, 1999: 120)c. Autisme menurut Rutter 1970 adalah Gangguan yang melibatkan kegagalan untuk mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif. (Sacharin, R, M, 1996: 305)d. Autisme pada anak merupakan gangguan perkembangan pervasif (DSM IV, sadock dan sadock 2000

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pervasif, atau kualitatif pada komunikasi verbal dan non verbal, aktivitas imajinatif dan interaksi sosial timbal balik berupa kegagalan mengembangkan hubungan antar pribadi (umur 30 bulan), hambatan dalam pembicaraan, perkembangan bahasa, fenomena ritualistik dan konvulsif serta penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas.

2. Etiologia. Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).b. Kelainan kromosim (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).c. Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).d. Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.e. Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi.f. Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak

3. Manifestasi Klinika. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri. b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh. c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik. d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .e. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin. f. Kontak mata minimal atau tidak ada.g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain. h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.

Ciri yang khas pada anak yang austik :a. Defisit keteraturan verbal.b. Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik. c. Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan orang lain).Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme adalah: a. Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal. b. Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal. c. Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan tidak imajinatif. d. Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun

4. KomplikasiSering mengalami kecelakaan seperti terpotong anggota badannya sendiri karena kurangnya atau tidak ada reaksi terhadap rangsangan sakit.

5. PengobatanOrang tua perlu menyesuaikan diri dengan keadaan anaknya, orang tua harus memeberikan perawatan kepada anak temasuk perawat atau staf residen lainnya. Orang tua sadar adanaya scottish sosiety for autistik children dan natinal sosiety for austik children yang dapat membantu dan dapat memmberikan pelayanan pada anak autis. Anak autis memerlukan penanganan multi disiplin yaitu terapi edukasi, terapi perilaku, terapi bicara, terapi okupasi, sensori integasi, auditori integration training (AIT), terapi keluarga dan obat, sehingga memerlukan kerja sama yang baik antara orang tua, keluarga dan dokter. Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku. Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat. Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial. Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan. Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin. Keadaan tidak dapat tidur dapat memberikan responsedatif seperti kloralhidrat, konvulsi dikendalikan dengan obat anti konvulsan. Hiperkinesis yang jika menetap dan berat dapat ditanggulangi dengan diit bebas aditif atau pengawet. Dapat disimpulkan bahwa terapi pada autisme dengan mendeteksi dini dan tepat waktu serta program terapi yang menyeluruh dan terpadu.

BAB IIIASUHAN KEPERAWATAN1. Pengkajiana. Riwayat gangguan psikiatri/jiwa pada keluarga. b. Riwayat keluarga yang terkena autisme.c. Riwayat kesehatan ketika anak dalam kandungan.1) Sering terpapar zat toksik, seperti timbal.2) Cedera otak d. Status perkembangan anak.1) Anak kurang merespon orang lain.2) Anak sulit fokus pada objek dan sulit mengenali bagian tubuh.3) Anak mengalami kesulitan dalam belajar.4) Anak sulit menggunakan ekspresi non verbal.5) Keterbatasan Kongnitif.e. Pemeriksaan fisik1) Tidak ada kontak mata pada anak.2) Anak tertarik pada sentuhan (menyentuh/disentuh).3) Terdapat Ekolalia.4) Tidak ada ekspresi non verbal.5) Sulit fokus pada objek semula bila anak berpaling ke objek lain.6) Anak tertarik pada suara tapi bukan pada makna benda tersebut.7) Peka terhadap bau

2. Diagnosaa. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain. b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan. c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasand. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak.

3. Intervensia. Kelemahan interaksi sosial berhubungan dengan ketidakmampuan untuk percaya pada orang lain. Tujuan : Klien mau memulai interaksi dengan pengasuhnya Intervensi: : 1) Batasi jumlah pengasuh pada anak.2) Tunjukan rasa kehangatan/keramahan dan penerimaan pada anak.3) Tingkatkan pemeliharaan dan hubungan kepercayaan.4) Motivasi anak untuk berhubungan dengan orang lain.5) Pertahankan kontak mata anak selama berhubungan dengan orang lain.6) Berikan sentuhan, senyuman, dan pelukan untuk menguatkan sosialisasi.

b. Hambatan komunikasi verbal dan non verbal berhubungan dengan ransangan sensori tidak adekuat, gangguan keterampilan reseptif dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan. Tujuan : Klien dapat berkomunikasi dan mengungkapkan perasaan kepada orang lain.Intervensi1) Pelihara hubungan saling percaya untuk memahami komunikasi anak.2) Gunakan kalimat sederhana dan lambang/maping sebagai media. 3) Anjurkan kepada orang tua/pengasuh untuk melakukan tugas secara konsisten4) Pantau pemenuhan kebutuhan komunikasi anaksampai anak menguasai.5) Kurangi kecemasan anak saat belajar komunikasi.6) Validasi tingkat pemahaman anak tentang pelajaran yang telah diberikan.7) Pertahankan kontak mata dalam menyampaikan ungkapan non verbal. 8) Berikan reward pada keberhasilan anak. 9) Bicara secara jelas dan dengan kalimat sederhana.10) Hindari kebisingan saat berkomunikasi.c. Risiko tinggi cidera : menyakiti diri berhubungan dengan kurang pengawasan. Tujuan : Klien tidak menyakiti diriya.Intervensi :1) Bina hubungan saling percaya. 2) Alihkan prilaku menyakiti diri yang terjadi akibat respon dari peningkatan kecemasan. 3) Alihkan/kurangi penyebab yang menimbulkan kecemasan. 4) Alihkan perhatian dengan hiburan/aktivitas lain untuk menurunkan tingkat kecemasan. 5) Lindungi anak ketika prilaku menyakiti diri terjadi.6) Siapkan alat pelindung/proteksi.7) Pertahankan lingkungan yang aman.

d. Kecemasan pada orang tua behubungan dengan perkembang anak. Tujuan : Kecemasan berkurang/tidak berlanjut.Intervensi : 1) Tanamkan pada orang tua bahwa autis bukan aib/penyakit.2) Anjurkan orang tua untuk membawa anak ke tempat terapi yang berkwalitas baik serta melakukan secara konsisten. 3) Berikan motivasi kepada orang tua agar dapat menerima kondisi anaknya yang spesial. 4) Anjurkan orang tua untuk mengikuti perkumpulan orang tua dengan anak autis, seperti kegiatan Autis Awareness Festifal. 5) Berikan informasi mengenai penanganan anak autis. 6) Beritahukan kepada orang tua tentang pentingnya menjalankan terapi secara konsisten dan kontinue

BAB IIICONTOH KASUSNia (25) tak pernah menduga akan dikaruniai anak autis. Tapi apa daya, ia pun hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Hanya usaha yang bisa ia lakukan agar kelak putranya itu bisa hidup layaknya anak normal. Kevin adalah adalah anak pertama pernikahan Nia dengan Anton Simbolon. Kini usianya beranjak 5 tahun. Kelainan pada bocah lelaki kelahiran Medan, 1 Oktober 2002 ini mulai nampak ketika ia berusia dua tahun. Di usia itu ia belum bisa bicara dengan jelas. Namun hingga enam bulan kemudian, Kevin belum menampakkan perubahan. Bahkan, perilaku Kevin tampak semakin tidak seperti biasanya. Hal inilah yang akhirnya menyadarkan Nia bahwa ia perlu memeriksakan apa sebenarnya yang terjadi pada anaknya itu. Karena kurangnya informasi tentang kelainan Kevin, Nia kemudian membawa Kevin ke Bandung. Kebetulan waktu itu dr Meli Budiman sedang berkunjung ke Bandung. Dan atas diagnosa sang dokter, Kevin dijelasakan positif mengidap autis. Sayangnya, Kevin hanya bisa menjalani terapi selama enam bulan karena terkendala masalah biaya. Maka dengan terpaksa Nia pun kembali ke Medan dengan harapan mendapat dukungan dari orangtua dan keluarga. Namun kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Nia tidak mendapat respon dan dukungan dari mereka, yang bahkan tidak menerima kenyataan yang menimpa Kevin. Bagi Nia, menerima kenyataan memiliki anak menderita autis awalnya sangatlah tidak mudah. Apalagi Kevin adalah putra pertamanya dari perkawinan mudanya. Rasa minder pun sering dialaminya. Tapi perasaan itu justru menyadarkannya bahwa ia harus menerima Kevin bagaimanapun ia adanya. Sikap menerima adalah kunci ketabahan bagi setiap orangtua yang memiliki anak autis, jelas Nia. Sikap yang pada awalnya sulit ia lakukan. Kalau bukan orangtua yang berusaha mendekatkan diri, maka semakin sulit bagi penderita autis untuk hidup berkembang seperti yang diharapkan, katanya. Nia pun mengaku semakin sadar akan makna cinta sesungguhnya. Juga semakin sadar bahwa anak adalah titipan Tuhan yang bagaimanapun ia adanya haruslah dijaga dan dibesarkan dengan ikhlas. Bahkan dengan rasa syukur. Jika Kevin tidak menderita autis, mungkin cinta saya tidak sebesar ini. Jika Kevin tumbuh normal, mungkin saya tidak akan merasakan kebahagiaan yang pasti tidak dirasakan orangtua lain, tambahnya. Kebahagiaan orangtua yang memiliki anak autis seperti Nia memang berbeda dengan kebahagiaan yang dirasakan oleh orangtua yang memiliki anak normal. Nia mengaku akan bahagia jika misalanya, Kevin menunjukkan ekspresinya ketika dipanggil oleh ibunya; jika ia berbicara dengan baik atau ketika anaknya itu mampu melakukan hal lain yang bisa dilakukan anak normal, meski tak banyak.Mungkin kedengaran biasa saja bagi orang lain. Tapi itulah kebagiaan saya sebagai orang tua yang memiliki anak pengidap autis, katanya dengan raut wajah sedih.

BAB IVPENUTUP1. KesimpulanAutis suatu gangguan perkembangan yang sangat kompleks, yang secara klinis ditandai oleh gejalagejala diantaranya kualitas yang kurang dalam kemampuan interaksi sosial dan emosional, kualitas yang kurang dalam kemampuan komunikasi timbal balik, dan minat yang terbatas, perilaku tak wajar, disertai gerakan-gerakan berulang tanpa tujuan (stereotipik). Selain itu tampak pula adanya respon tak wajar terhadap pengalaman sensorik, yang terlihat sebelum usia 3 tahun. Sampai saat ini penyebab pasti autis belum diketahui, tetapi beberapa hal yang dapat memicu adanya perubahan genetika dan kromosom, dianggap sebagai faktor yang berhubungan dengan kejadian autis pada anak, perkembangan otak yang tidak normal atau tidak seperti biasanya dapat menyebabkan terjadinya perubahan pada neurotransmitter, dan akhirnya dapat menyebabkan adanya perubahan perilaku pada penderita. Dalam kemampuan intelektual anak autis tidak mengalami keterbelakangan, tetapi pada hubungan sosial dan respon anak terhadap dunia luar, anak sangat kurang. Anak cenderung asik dengan dunianya sendiri. Dan cenderung suka mengamati halhal kecil yang bagi orang lain tidak menarik, tapi bagi anak autis menjadi sesuatu yang menarik. Terapi perilaku sangat dibutuhkan untuk melatih anak bisa hidup dengan normal seperti anak pada umumnya, dan melatih anak untuk bisa bersosialisasi dengan lingkungan sekitar

DAFTAR PUSTAKA

Handojo. 2003. Auits. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.Soetjiningsih.1995. Tumbuh Kembang Anak..Jakarta : EGCStaf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1998. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Infomedika.Ward, N I. Assessment of chemical factors in relation to child hyperactivity. J.Nutr.& Env.Med. (ABINGDON) 7(4);1997:333-342.http://www.microsoft.com/isapi/redir/Autismepenelitian.autisme/padaanak/.dll?prd=ie&pver=6&ar=msnhomehttp://www.manajemenqolbu.com/new/isi/autisme/anak.2004.kolom.php?isi_id=303&produk_id=4http://www.puterakembara.org/milis/journal/autisme5.shtmlhtpp://www.allergycenter/allergy Hormone.htpp://www.allergies/wkm/behaviour.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.