TUGAS FARMASI

36
EPILEPSI A. DEFINISI Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan (seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi. B. ETIOLOGI Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. • Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. • Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik C. PATOFISIOLOGI Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan

description

farmasi obat farmakologi

Transcript of TUGAS FARMASI

Page 1: TUGAS FARMASI

EPILEPSI

A. DEFINISI

Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya bangkitan

(seizure) yang terjadi secara berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara

intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan pada neuron-

neuron secara paroksismal yang disebabkan oleh beberapa etiologi.

B. ETIOLOGI

Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi ± 50% dari penderita epilepsi

anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3

tahun.

• Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat.

• Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk

disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik

C. PATOFISIOLOGI

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada

sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan

depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran

aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih

stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi

dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter

inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh

kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan

istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan

polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan

melepas muatan listrik.

Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu

fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan

ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas

Page 2: TUGAS FARMASI

muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh

sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas

serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi.

Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga

sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-

menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu

serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting

untuk fungsi otak.

D. ALGORITMA DIAGNOSIS

Page 3: TUGAS FARMASI

E. TERAPI

Dalam farmakoterapi, terdapat prinsip-prinsip penatalaksanaan untuk epilepsi yakni,

1. Terapi dimulai dengan monoterapi, dimulai dari dosis rendah dan dinaikan secara bertahap

samapai dengan dosis efektif tercapai atau timbul efek samping obat.

2. Apabila dengan penggunakan OAE dosis maksimum tidak dapat mengontrol bangkitan,

maka ditambahkan OAE kedua dimana bila sudah mencapai dosis terapi, maka OAE pertama

dosisnya diturunkan secara perlahan.

3. Adapun penambahan OAE ketiga baru diberikan setelah terbukti bangkitan tidak terkontrol

dengan pemberian OAE pertama dan kedua.

F. RESEP

R/ Diazepam inj mg 10 amp no. I

Cum disposable syringe cc 3 No. I

ʃ imm

R/ Fenitoin Na cap mg 100 No. XXI

ʃ 3 dd cap I

R/ Karbamezepin tab mg 200 No. X

ʃ 2 dd tab I

Pro : Ny. M (27 th)

 KETERANGAN:

1. Benzodiazepin

Benzodiazepin yang terikat pada reseptor GABA (gamma-aminobutyric acid) akan

meningkatkan kerja GABA. Pengikatan GABA pada reseptornya akan menyebabkan

pembukaan kanal klorida (Cl-). Pembukaan kanal tsb memungkinkan masuknya ion Cl

melewati membran sel syaraf dan akan meningkatkan potensial elektrik sepanjang membran

sel. Keadaan ini menyebabkan sel sukar tereksitasi (potensial istirahat). Aktivitas ke reseptor

GABA memberikan keadaan potensiao istirahat (efek penenangan). Efek depresi SSP

benzodiazepin meliputi : ansiolitik, relaksan otot, antiamnesia, antikonvulsan, dan sedatif.

Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5 tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg,

Page 4: TUGAS FARMASI

anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg (11), dan dewasa 4-40 mg/hari. Saat status

epileptikus : 0,2 mg/kgBB kecepatan 5gr/menit IV lambat, bila perlu diulang 15-20 menit,

dosis maksimal 20-30 mg. Sediaan : 10mg/ml injeksi

2. Fenitoin

Fenitoin adalah suatu antikonvulsan hidantoin yang strukturnya mirip dengan barbiturat

tetapi lebih lemah keasamannya sehingga lebih sukar larut dalam air. Fenitoin efektif

mengurangi frekuensi dan keparahan kejang, tanpa menyebabkan depresi SSP.

Mekanisme kerja fenitoin : Mempengaruhi perubahan fungsi membran saraf, misal pada

pengaturan perubahan voltase yang diatur melalui kanal ion. Fenitoin dan karbamazepin

memblok kanal Na pada saraf sehingga dapat mereduksi perulangan potensial aksi yang

sangat berguna untuk mengontrol serangan tonik-klonik. Dosis awal penggunaan fenitoin 5

mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6  jam.

3. Karbamazepin

Karbamazepin merupakan obat pilihan pertama pada epilepsi karena efek sampingnya

rendah dan tidak banyak mempengaruhi fungsi kognitif dan perilaku (behaviour).

Karbamazepin bekerja dengan memblok sodium channel konduktan pada neuron, bekerja

juga pada reseptor NMDA, monoamine dan asetilkolin. Dosis awal anak : 15-25

mg/kgBB/hari, dewasa 1000-2000 mg/hari ; Maintenance anak 400-800 mg/hari, dewasa

800-1000 mg/hari. Sediaan 200 mg/tab.

SUMBER:

Harsono.2007.Epilepsi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Sidharta, Priguna M.D.,Ph. D.1999. Neurology klinis dalam praktek umum, Dian Rakyat,

Jakarta.

Page 5: TUGAS FARMASI

ECZEMA

A. DEFINISI

Dermatitis atopik atau eksema adalah peradangan kronik kulit yang kering dan gatal yang umumnya dimulai pada awal masa kanak-kanak. Eksema dapat menyebabkan gatal yang tidak tertahankan, peradangan, dan gangguan tidur. Penyakit ini dialami sekitar 10-20% anak. Umumnya episode pertama terjadi sebelum usia 12 bulan dan episode-episode selanjutnya akan hilang timbul hingga anak melewati masa tertentu. Sebagian besar anak akan sembuh dari eksema sebelum usia 5 tahun. Sebagian kecil anak akan terus mengalami eksema hingga dewasa.

B. ETIOLOGI

Masih banyak hal yang perlu dipelajari mengenai etiologi beberapa tipe eczema tertentu,

akan tetapi, berdasarkan pengetahuan yang berkembang saat ini, eczema dapat diklasifikasikan

menjadi endogen (disebabkan faktor internal atau konstitusional) dan eksogen (disebabkan

kontak antara agen dengan kulit). Tabel 1 mencantumkan klasifikasi eczema.

Tabel 1. Klasifikasi Eczema

Eksogen Endogen

Kontak iritan Eczema atopik (dipengaruhi faktor genetik)

Kontak alergi Seboroik (mempengaruhi area di kulit yang banyak mengandung

kelenjar sebasea/keringat)

Fotosensitif Diskoid (eczema yang khas dengan adanya lingkaran berbentuk

seperti koin “coin-shaped”)

Dermatitis venosa (disebabkan insufisiensi vena kronis)

Pomfolix (area yang melepuh terbatas pada tangan dan kaki)

Penyakit ini dinamakan dermatitis atopik oleh karena kebanyakan penderitanya memberikan reaksi kulit yang didasari oleh IgE dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rinitis, atau keduanya di kemudian hari yang dikenal sebagai allergic march. Walaupun demikian, istilah dermatitis atopik tidak selalu memberikan arti bahwa penyakit ini didasari oleh interaksi antigen dengan antibodi. Nama lain untuk dermatitis atopik adalah eksema atopik, eksema dermatitis, prurigo Besnier, dan neurodermatitis.

Page 6: TUGAS FARMASI

Sangat mungkin peningkatan prevalensi ini berasal dari faktor lingkungan, seperti bahan kimia industri, makanan olahan, atau benda asing lainnya. Ada dugaan bahwa peningkatan ini juga disebabkan perbaikan prosedur diagnosis dan pengumpulan data.

C. PATOFISIOLOGI

Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Tanpa pruritus diagnosis DA tidak dapat ditegakkan. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan, superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.

1. Reaksi imunologis DA

Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik. Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%) terdapat peningkatan kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.

a. Ekspresi sitokin

Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA akut.

Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80% penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik (CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus, bakteri, dan jamur meningkat.

Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin, leukotrien, prostaglandin, dan sebagainya, sehingga dapat dipahami bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering digunakan, namun hasilnya tidak terlalu

Page 7: TUGAS FARMASI

menggembirakan dan sampai saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat antihistamin pada DA.

Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya di epidermis, yang selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya eksema.

b. Antigen Presenting Cells

Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.

2. Faktor non imunologis

Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kekeringan kulit diperberat oleh udara yang lembab dan panas, banyak berkeringat, dan bahan detergen yang berasal dari sabun. Kulit yang kering akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal akan mengakibatkan rasa gatal. Faktor pencetus dapat berupa makanan, allergen hirup, dan infeksi kulit.

D. ALUR DIAGNOSIS

KRITERIA MAYOR

a. pruritus: morfologi dan distribusi khas:

1) dewasa: likenifikasi fleksura

2) bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan

ekstensor

Page 8: TUGAS FARMASI

G. TERAPI

1. Perawatan kulit

Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik untuk mencegah evaporasi. Mandi selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air

KRITERIA MAYOR

a. pruritus: morfologi dan distribusi khas:

1) dewasa: likenifikasi fleksura

2) bayi dan anak : lokasi kelainan di daerah muka dan

ekstensor

KRITERIA MINOR

a. xerosis iktiosis/pertambahan garis di palmar/keratosis pilaris

b. reaktivasi pada uji kulit tipe cepatc. peningkatan kadar IgEd. kecenderungan mendapat infeksi kulit/kelainan

imunitas selulare. dermatitis pada areola mammaef. keilitisg. konjungtivitis berulangh. lipatan Dennie-Morgan daerah infraorbitai. keratokonusj. katarak subskapular anteriork. hiperpigmentasi daerah orbital. kepucatan/eritema daerah mukam. pitiriasis alban. lipatan leher anterioro. gatal bila berkeringatp. intoleransi terhadap bahan wol dan lipid solvenq. gambaran perifolikular lebih nyatar. intoleransi makanans. perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan dan

emosit. white dermographism/delayed blanch

kriteria mayor >3 dan kriteria minor>3

ECZEMA

Page 9: TUGAS FARMASI

panas dan tidak menambahkan oil (minyak) karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan. Setelah mandi memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik. Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan water-in-oil moisturizers sediaan lactic acid.

2. Pengobatan topikal

Pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan. Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka. Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya digunakan krim hidrokortison 1%.

Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik. Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek samping yang mungkin terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol, lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat, maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik

Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah segera setelah mandi dan diikuti berselimut untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne, dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan terapi difokuskan pada hidrasi.

3. Antihistamin

Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2

Page 10: TUGAS FARMASI

dapat menolong pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk menstabilkan dinding sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan pada 50% penderita. Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4 hari. Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal pada DA bisa tak terkait dengan histamin.

4. Tars

Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi, dan dermatitis kontak.

5. Antibiotik sistemik

Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi sekunder. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan terkadang ampisilin. Infeksi di curigai bila ada krusta yang luas, folikulits, pioderma, dan furunkulosis. S. aureus yang resisten penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin, atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus, 60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak ada yang resisten terhadap sefalosporin. Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak menolong untuk mengatasi DA pada anak.

6. Identifikasi dan eliminasi faktor-faktor eksaserbasi

Sabun dan baju yang bersifat iritatif dihindari. Baju iritatif dari wol dihindari. Demikian juga keringat dapat juga mengiritasi kulit. Stres sosial dan emosional juga harus dihindari. Eliminasi alergen makanan, binatang, dan debu rumah.

H. RESEP

R/ Hydrocortisone 2% cream tube No. I

ʃ ue

R/ Loratadine tab mg 10 No. V

ʃ 1 dd tab I

Page 11: TUGAS FARMASI

Pro : Tn. F (28 th)

KETERANGAN:

1. Hydrocortisone

Golongan kortikosteroid lemah

Memiliki pootensi kecil sehingga tidak terlalu besar efeknya.

Mekanisme kerja : mengurangi sintesis prostaglandin dan leukotrien yang diakibatkan

oleh aktivasi fosfolipase A2 dengan mengurangi jumlah enzim yang tersedia untuk

memprtoduksi prostaglandin

Indikasi : Eczema, radang, dan penyakit kulit karena alergi

Sediaan : 40 mg; 25mg/g cream

2. Loratadine

Antihistamin non sedative golongan piperidin

Pengobatan simptomatis pada berbagai jenis alergi

Mekanisme kerja : Antihistamin meghambat reaksi alergi yang menghasilkan histamine,

serotonin, bradikinin, asam arakidonat yang akan diubah menjadi prostaglandin.

Dosis : Dewasa 10 mg/hari; anak-anak BB < 30 5 mg/hari

Sediaan : 10 mg/tab atau syrup 5mg/ml

SUMBER:

Gunawan S.G. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI.

Judarwanto W. 2009. Dermatitis Atopi pada Anak. Jakarta: Children Allergy Centre.

Moeloek F.A. 2007. MIMS. Jakarta: CMP Medical Asia Pte Ltd.

Sandy N.J. 2010. Manifestasi Klinis dan Terapi Dermatitis Atopi. Yogyakarta: UMY.

SKIZOFRENIA

A. DEFINISI

Page 12: TUGAS FARMASI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, “schizein”yang berarti “terpisah”atau

“pecah”, dan “phren” yang artinya “jiwa”. Pada skizofrenia terjadi pecahnya atau

ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku. Secara umum, simptom skizofrenia

dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu simptom positif, simptom negatif, dan

gangguan dalam hubungan interpersonal.

B. ETIOLOGI

1. Model Diatesis-stres

Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor lingkungan. Model

ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki suatu kerentanan spesifik

(diatesis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh lingkungan yang menimbulkan

stress, memungkinkan perkembangan skizofrenia.

2. Faktor Neurobiologi

Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan adanya

kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum diketahui bagaimana

hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu dengan munculnya simptom

skizofrenia.

3. Faktor Genetika

Skizofrenia mempunyai komponen yang diturunkan secara bermakna, kompleks

dan poligen.

4. Faktor Psikososial

C. PATOFISIOLOGI

Skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan aktivitas neurotransmitter dopaminergik.

Peningkatan ini mungkin merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamin, terlalu

banyaknya reseptor dopamin, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas reseptor dopamin,

atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut.

D. ALGORITMA DIAGNOSIS

Page 13: TUGAS FARMASI

E. TERAPI

Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua

kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonist (DRA)

atau antipsikotika generasi I (APG-I) dan serotonin-dopamine antagonist (SDA) atau

antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional

atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotik baru atau atipikal.

a) Antipsikotik atipikal

Lebih dari 70% pasien dengan skizofrenia (dan gangguan psikotik

lainnya) perbaikan signifikan pengalaman klinis dari gejala positif dan

disorganisasi ketika diobati dengan obat ini selama 4-6 minggu dengan tepat

dosis. Pilihan obat neuroleptik tipikal untuk digunakan dasar pertimbangan

variasi, termasuk availabilitas dari persiapan long acting. Obat Low-potency

(dosis yang biasa diberikan 300mg/hari atau lebih seperti klorpromazin,

thioridazin, mesoridazin) lebih sedatif dan lebih hipotensi daripada High-potency

seperti haloperidol dan fluphenazin. Obat yang terakhir lebih menghasilkan EPS

daripada Low-potency. Low - High Potency menurunkan agitasi dan perilaku

agresif.

Peningkatan aktivitas dopaminergik

Simptom positifWaham, halusinasi, disorganisasi pembicaraan, dan disorganisasi perilaku seperti katatonia atau agitasiSimptom negatifAffective Flattening, alogia, avolition, anhedonia, dan gangguan atensi

SKIZOFRENIA

Page 14: TUGAS FARMASI

Obat high-potency seperti haloperidol dan fluphenazin sering menjadi

pengobatan pilihan. Jika EPS terjadi obat anti kolinergik seperti benztropin,

biperiden, atau trihexyphenidyl mungkin digunakan atau diganti ke medium-

potency (trifluoperazin) atau obat yang low-potency (thioridazine). Salah satu dari

atipikal antipsikotik (clozapin, olanzapin, risperidon, serindole, ziprasidone)

mungkin pilihan pengobatan terutama jika pasien sensitif EPS.

Afinitas obat antipsikotik pada D2, 5-HT2A, dan reseptor muskarinik adalah

yang menentukan kecenderungan untuk penyakit EPS. Afinitas reseptor D2

meramalkan level kerentanan terhadap EPS. Peningkatan serum prolaktin dan

sedatif dan hipotensi efek samping histaminergik (H1) dan adrenergik (α2) reseptor

antagonis. Efek samping yang lain dari atipikal neuroleptik seperti ginekomasti,

impotensi, dan amenorrhea juga dari blokade DA. Peningkatan berat badan pada

blokade reseptor 5-HT2c dan H1. Efek hematologi, jaundice, efek pada jantung,

fotosensitifitas, dan retinitis hasil dari efek toksik pada target jaringan spesifik.

b) Antipsikotik atipikal

Clozapine

Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya belum

diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah terhadap reseptor

D2 tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap reseptor D4 dan mempunyai

aktivitas antagonis pada reseptor serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu

efek samping yang mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks

darah. Obat ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive

diskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak disertai

dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.

Risperidone

Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna

pada reseptor serotonin tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 (d2).

Risperidone menjadi obat lini pertama dalam pengobatan skizofrenia karena

kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan lebih aman daripada antagonis

reseptor dopaminergik yang tipikal.

Page 15: TUGAS FARMASI

ς

ς

F. RESEP

R/ CPZ tab mg 100 No. XV

S 2 dd tab. I

R/ Risperidone tab. mg 2 No.VII

S 3dd tab. I

KETERANGAN:

A. Chlorperazin (CPZ)

Bekerja dengan memblok reseptor dopaminergik di postsinaptik mesolimbik otak. Memblok

kuat efek alfa adrenergik. Menekan penglepasan hormon hipotalamus dan hipofisa,

menekan Reticular Activating System (RAS) sehingga mempengaruhi metabolisme basal,

temperatur tubuh, kesiagaan, tonus vasomotor dan emesis.

B. Risperidone

Suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang bermakna pada reseptor serotonin

tipe 2 (5-HT2) dan pada reseptor dopamine tipe 2 (d2). Risperidone menjadi obat lini

pertama dalam pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif dan

lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.

Sumber:

Sinaga, B.R., Skizofrenia & Diagnosis Banding. 2007, Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.

Ebert, M.H., P.T. Loosen, and B. Nurcombe, Current Diagnosis & Treatment in Psychiatry, E.L.

Ebert, Editor. 2007, The McGraw-Hill Companies: Tennessee.

Harold I. Kaplan, M.D., M.D. Benjamin J. Saddock, and M.D. Jack A. Grebb, Skizofrenia. 7 ed.

Sinopsis Psikiatri, ed. D.I.M.W. S. Vol. 1. 2001, Jakarta: Universitas Trisakti.

ASMA BRONKIAL

A. DEFINISI

Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan

hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan. Asma

Page 16: TUGAS FARMASI

bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru

alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi

yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan dengan

manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang

menyeluruh dari saluran napas.

B. ETIOLOGI

1. Faktor Lingkungan

a. Alergen dalam rumah

b. Alergen luar rumah

2. Faktor Lain

a. Alergen makanan

b. Alergen obat – obat tertentu

c. Bahan yang mengiritasi

d. Ekspresi emosi berlebih

e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun perokok pasif

f. Polusi udara dari dalam dan luar ruangan

C. PATOFISIOLOGI

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas dan disebabkan oleh

hiperreaktivitas saluran napas yang melibatkan beberapa sel inflamasi terutama sel mast,

eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel yang menyebabkan pelepasan

mediator seperti histamin dan leukotrin yang dapat mengaktivasi target saluran napas

sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema dan hipersekresi

mukus. Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks

melibatkan faktor genetik, antigen dan berbagai sel inflamasi, interaksi antara sel dan

mediator yang membentuk proses inflamasi kronik.

Proses inflamasi kronik ini berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran

napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas, batuk terutama pada

malam hari. Hiperresponsivitas saluran napas adalah respon bronkus berlebihan yaitu

penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik dan non-spesifik.

Page 17: TUGAS FARMASI

Asma : Inflamasi kronis Saluran Napas

Hiperreaktivitas

pemicu

Banyak Sel :Sel MastEosinofilNetrofilLimfosit

Melepas MEDIATOR :HistaminProstaglandin (PG)Leukotrien (L)Platelet Activating Factor (PAF), dll

Bronkokonstriksi, hipersekresi mukus, edema saluran napas

Obstruksi difus saluran napas

BATUK, MENGI, SESAK

Page 18: TUGAS FARMASI

ASMA

D. ALGORITMA DIAGNOSIS

E. TERAPI

Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan

napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.13

Pengontrol (Controllers)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,

diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada

asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :

Kortikosteroid inhalasi Kortikosteroid sistemik Sodium kromoglikat Nedokromil sodium Metilsantin Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi Agonis beta-2 kerja lama, oral Leukotrien modifiers Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)

ANAMNESIS:batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di

dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor yang

mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.

PEMERIKSAAN FISIK :ekspirasi memanjang diserta ronki

kering, mengi

SPIROMETRI:peningkatan volume ekspirasi paksa detik

pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih

sesudah pemberian bronkodilator.

Page 19: TUGAS FARMASI

Lain-lain 

Glukokortikosteroid inhalasi

Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma.

Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan

hiperesponsif jalan napas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan

dan memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma

persisten (ringan sampai berat).

Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan kesamaan potensi13

Dewasa Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat

Beklometason dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

 

200-500 ug

200-400 ug

500-1000 ug

100-250 ug

400-1000 ug

 

500-1000 ug

400-800 ug

1000-2000 ug

250-500 ug

1000-2000 ug

 

>1000 ug

>800 ug

>2000 ug

>500 ug

>2000 ug

Anak Dosis rendah Dosis medium Dosis tinggi

Obat

Beklometason dipropionat

Budesonid

Flunisolid

Flutikason

Triamsinolon asetonid

 

100-400 ug

100-200 ug

500-750 ug

100-200 ug

400-800 ug

 

400-800 ug

200-400 ug

1000-1250 ug

200-500 ug

800-1200 ug

 

>800 ug

>400 ug

>1250 ug

>500 ug

>1200 ug

 

 

 Glukokortikosteroid sistemik

Page 20: TUGAS FARMASI

Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu diingat indeks terapi

(efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka panjang lebih baik daripada steroid oral

jangka panjang.

 Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)

Pemberiannya secara inhalasi. Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten

ringan. Dibutuhkan waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini

bermanfaat atau tidak.

Metilsantin

Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti

antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat

pengontrol, berbagai studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol

gejala dan memperbaiki faal paru.

  Agonis beta-2 kerja lama

Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan

formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-

2 mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,

menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi penglepasan mediator dari sel

mast dan basofil.

Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-213

Onset Durasi (Lama kerja)

  Singkat Lama

Cepat Fenoterol

Prokaterol

Salbutamol/ Albuterol

Formoterol

Page 21: TUGAS FARMASI

Terbutalin

Pirbuterol

Lambat   Salmeterol

 

  Leukotriene modifiers

Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral.

Mekanisme kerja menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan

bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat

bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah

preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang beredar

di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien sisteinil).

 

Pelega (Reliever)

Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki

dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti mengi, rasa

berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan

hiperesponsif jalan napas. Termasuk pelega adalah 13:

Agonis beta2 kerja singkat

Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,

penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

Antikolinergik

Aminofillin

Adrenalin

Agonis beta-2 kerja singkat

Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol

yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat.

Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran napas,

Page 22: TUGAS FARMASI

meningkatkan bersihan mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan

modulasi penglepasan mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan

akut dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced asthma

Metilsantin

Termasuk dalam bronkodilator walau efek bronkodilatasinya lebih lemah

dibandingkan agonis beta-2 kerja singkat.

Antikolinergik

Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek penglepasan

asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan

menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks

bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium

bromide dan tiotropium bromide.

  Adrenalin

Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat. Pemberian

secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada penderita usia lanjut atau dengan

gangguan kardiovaskular. Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi

harus dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Cara pemberian pengobatan

Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan

parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan

langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah 13:

lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

efek sistemik minimal atau dihindarkan

Page 23: TUGAS FARMASI

beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi

pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator

adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma 13

Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.

Berat Asma

Medikasi pengontrol

harian

Alternatif / Pilihan lain Alternatif lain

Asma Intermiten

Tidak perlu -------- -------

Asma Persisten Ringan

Glukokortikosteroid inhalasi (200-400 ug

BD/hari atau ekivalennya)

Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotriene modifiers

------

Asma Persisten Sedang

 

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid

(400-800 ug BD/hari atau ekivalennya) dan

agonis beta-2 kerja lama

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah Teofilin lepas lambat ,atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

Glukokortikosteroid inhalasi dosis tinggi (>800 ug BD atau ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug BD atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, atau

Ditambah teofilin lepas lambat

Page 24: TUGAS FARMASI

Asma Persisten Berat

 

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (> 800 ug BD atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama, ditambah ³ 1 di bawah ini:

teofilin lepas lambat

leukotriene modifiers

glukokortikosteroid oral

Prednisolon/ metilprednisolon oral selang sehari 10 mg

ditambah agonis beta-2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

F. RESEP

R/ Ventolin MDI No. I

S prn 1-2 dd puff I

R/ Metil prednisolon tab mg 4 No.VII

S 1 dd tab I

Pro Ny. R (30tahun)

KETERANGAN:

1. Ventolin

Kandungan salbutamol sulfate, golongan beta2-mimetika

Mekanisme kerja : bekerja spesifik pada reseptor-β2. Selain mempunyai daya

bronchodilatasi yang baik, juga memiliki efek yang lemah terhadap stabilisasi sel

mast, sehingga sangat efektif untuk mencegah atau meniadakan asma.

ESO : nyeri kepala, pusing, mual, tremor tangan. Pada overdose menimbulkan

efek kardiovaskuler (takikardi, palpitasi, aritmia, hipotensi).

Page 25: TUGAS FARMASI

Dosis : tab 2 mg, inhaler 100 mcg. Inhalasi 3-4 dd 2 semprotan dari 100mcg, pada

serangan akut 2 puff dapat diulang sesudah 15 menit. Pada serangan hebat i.m

atau s.c 250-500 mcg, yang dapat diulang setelah 4 jam.

Biasa digunakan dalam bentuk dosis aerosol, karena berefek pesat dan

mempunyai efek samping yang ringan dibanding dengan dosis oral.

2. Metilprednisolon

Merupakan kortikosteroid, sebagai antiinflamasi, mengatasi obstruksi jalan nafas.

Mekanisme kerja : menghalangi enzim fosfolipase yang mampu mengubah

fosfolipid membran sel menjadi mediator menimbulkan bronkospasme.

ESO : gejala cushing (osteoporosis, moonface, hipertrichosis, impotensi, dll) serta

penekanan fungsi anak ginjal.

Dosis : Sediaan 4 mg, 16 mg. Prednisolon untuk terapi kur singkat 25-40 mg

sesudah makan pagi, yang setiap dua hari dikurangi dengan 5 mg sampai kur

selesai dalam 2-3 minggu. Untuk pemeliharaan 5-10 mg prednisolon setiap 48jam.

Sumber:

1. Riyanto BS, Hisyam B. Obstruksi Saluran Pernapasan Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ke - 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI. 2006. h 978 – 87.

2. Alsagaff H, Mukty A. Dasar - Dasar Ilmu Penyakit Paru. Edisi ke – 2. Surabaya :

Airlangga University Press. 2002. h 263 – 300.