Tugas EVANG Dari Sekar

11
TUGAS EVALUASI NILAI GIZI PANGAN UNGGAS, DAGING, DAN IKAN Oleh: Winda Laelasari 103020005 Sekar Arum 103020051 Hutami Cakrawati 103020070 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG 2013

Transcript of Tugas EVANG Dari Sekar

Page 1: Tugas EVANG Dari Sekar

TUGAS

EVALUASI NILAI GIZI PANGAN

UNGGAS, DAGING, DAN IKAN

Oleh:

Winda Laelasari 103020005

Sekar Arum 103020051

Hutami Cakrawati 103020070

JURUSAN TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS PASUNDANBANDUNG

2013

Page 2: Tugas EVANG Dari Sekar

Pada prinsipnya pengolahan pangan dilakukan dengan tujuan: (1) untuk pengawetan,

pengemasan dan penyimpanan produk pangan (misalnya pengalengan); (2) untuk mengubah

menjadi produk yang diinginkan (misalnya pemanggangan); serta (3) untuk mempersiapkan

bahan pangan agar siap dihidangkan. Semua bahan mentah merupakan komoditas yang

mudah rusak, sejak dipanen, bahan pangan mentah, baik tanaman maupun hewan akan

mengalami kerusakan melalui serangkaian reaksi biokimiawi. Kecepatan kerusakan sangat

bervariasi, dapat terjadi secara cepat hingga relatif lambat. Satu faktor utama kerusakan

bahan pangan adalah kandungan air aktif secara biologis dalam jaringan. Bahan mentah

dengan kandungan air aktif secara biologis yang tinggi dapat mengalami kerusakan dalam

beberapa hari saja, misalnya sayur-sayuran dan daging-dagingan.

Penanganan, penyimpanan dan pengawetan bahan pangan sering menyebabkan

terjadinya perubahan nilai gizinya, yang sebagain besar tidak diinginkan. Zat gizi yang

terkandung dalam bahan pangan akan rusak pada sebagaian besar proses pengolahan karena

sensitif terhadap pH, oksigen, sinar dan panas atau kombinasi diantaranya. Zat gizi mikro

terutama tembaga dan zat besi serta enzim kemungkinan sebagai katalis dalam proses

tersebut.

1. Unggas

Pengolahan mempengaruhi nilai nutrisi daging ayam. Perubahan nutrisi terjadi pada

saat pemanasan, perebusan, pemanggangan, dan penyerapan oleh median pengolahan,

misalnya minyak. Pengolahan juga menyebabkan penyusutan berat sampai 26%. Penyusutan

berat akibat perebusan mencapai 22%, akibat penggorengan 23%, dan akibat pemanggangan

31%. pada daging ayam potong jenis broiler beku, penyusutan berat akibat penggorengan

dapat mencapai sekitar 50% dan pemanggangan sekitar 25%.

Protein dan asam amino mengalami penyusutan selama pengolahan dan hilang dalam

bentuk driping. Tetapi penyusutan ini tidak berarti, bahkan pencernaan protein meningkat

dengan adanya penglahan dan konsentrasi beberapa asam amino meningkat karena hilangnya

kolagen.

Selama pengolahan, kondisi lemak realtif stabil. Jika pengolahan melibatkan sinar infra

merah, terjadi penurunan asam arakhidonat. Namun, pada umumnya dalam hasil akhir justru

terdapat kadar lemak. Hal ini mungkin terjadi karena kelembapan berkurang, adanya

pemindahan lemak kulit ke daging, atau karena pemindahan lemak dari media. Pada saat

driping, pengolahan daging dan kulit cenderung melepaskan lemak, terutama daging ayam

yang mempunyai kulit sangat berlemak.

Page 3: Tugas EVANG Dari Sekar

Pada pengeringan konvensial, kerusakan nutrisi bahan makanan tidak terlalu besar.

Vitamin yang larut tidak hilang setelah pengeringan. Berdasarkan peneliian ayam beku kering

mengalami retensi asam amino, kehilangan tokoferol sebesar 35%, dan kehilangan thiamin

sebesar 5%. Selain itu tidak terdapat destruksi yang penting terhadap thiamin, niasin, dan

riboflavin.

Kombinasi temperatur dan lama pengasapan akan mempengaruhi jumlah mikroba di

dalam daging asap ayam broiler. Temperatur dan lama pengasapan berbanding lurus dengan

jumlah bakteri, pada proses pengasapan dengan temperature yang lebih tinggi dengan waktu

yang lebih lama akan memperkecil jumlah total bakteri daging ayam broiler asap, sebaliknya

pada temperatur rendah dengan waktu yang singkat, tapi tidak demikian halnya terhadap pH

daging asap.

Berdasarkan penelitian pengaruh perlakuan terhadap pH daging asap ayam broiler

menunjukkan, bahwa pada berbagai temperature pengasapan, meningkatnya lama pengasapan

diikuti dengan penurunan pH, tetapi pada berbagai lama pengasapan, meningkatnya

temperature pengasapan diikuti dengan peningkatan pH. Analisis sidik ragam terhadap pH

daging ayam broiler asap pada berbagai perlakuan.

Menurut Cross dan Overby (1988), bahwa pemanasan akan menyebabkan peningkatan

pH daging, namun menurut Winarno et al (1980), bahwa pengasapan dapat juga menurunkan

pH, karena komponen asap yang melekat pada daging mempunyai sifat asam, diantaranya

asam karboksilat yang meliputi asam format, asetat, dan butirat. Dengan meningkatnya

temperatur akan diikutidengan peningkatan pH daging asap ayam broiler, namun pada

temperatur yang sama, meningkatnya lama pemasakan diikuti dengan penurunan pH.

Temperatur pengasapan 80oC selama 4 dan 6 jam menghasilkan pH daging asap ayam broiler

tertinggi satu sama lain tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan pada temperatur yang lebih

tinggi menyebabkan terjadinya penguraian dari komponen daging asap. Menurut Harris dan

Karmas (1989), bahwa daging mulai terdenaturasi pada temperatur 40oC, terutama antara

temperature 65oC-68oC. Hal ini sesuai dengan pendapat Forrest, et al. (1975) bahwa dengan

semakin tingginya temperatur pemasakan akan diikuti dengan peningkatan pH. Pengasapan

daging ayam broiler pada temperatur 60oC selama 4 dan 6 jam, temperature 70oC selama 4

dan 6 jam menghasilkan pH daging asap ayam broiler yang rendah dan tidak berbeda nyata

satu sama lain. Hal ini disebabkan pada temperatur rendah dengan waktu yang lama akan

menyebabkan lebih banyak lagi komponen asam dari asap yang diserap oleh daging asap,

sehingga pH semakin menurun (Winarno, 1979).

Total Mikroba Daging Asap Ayam Broiler

Page 4: Tugas EVANG Dari Sekar

Hasil penelitian efek kombinasi temperature dengan lama pengasapan terhadap jumlah

total bakteri daging asap menunjukkan pengaruh yang nyata. Berdasarkan penelitian jumlah

total bakteri paling sedikit pada perlakuan kombinasi temperatur pengasapan 80oC dengan

lama pengasapan 4 jam dan 6 jam, dan temperature 70oC dengan lama pengasapan 6 jam

tidak kombinasi perlakuan temperatur 70oC selama 4 jam, 60oC selama 4 jam dan 6 jam.

Rendahnya jumlah bakteri pada temperatur pengasapan 80oC, karena pada temperatur

pengasapan yang lebih tinggi dan waktu pengasapan yang lebih lama, akan semakin banyak

lagi komponen asap yang dilepaskan dari asap hasil pembakaran kayu, sehingga akan

menyebabkan terjadinya penurunan jumlah bakteri. Komponen kimia yang terkandung di

dalam asap merupakan antiseptik alami yang bersifat bakteriostatik yang dapat menghambat

bakteri. Sesuai dengan pendapat Pelczar dan Chan (1988), bahwa kenaikan temperatur dapat

meningkatkan efektivitas suatu bahan antibakterial, karena senyawa kimia dalam asap akan

merusak miroorganisme melalui reaksi-reaksi kimia dan laju reaksi kimia dipercepat dengan

meningkatnya temperatur. Senyawa yang terdapat di dalam asap, yaitu alkohol-alkohol

aliphatik, aldehida, keton, dan asam organik termasuk furfural, formaldehida, asam-asam dan

fenol yang memiliki daya bakterostatik atau bakterisidal. Bagian ligninnya akan pecah

menjadi senyawa fenol, quinol, quaicol dan pyrogalol yang merupakan bagian dari jenis-jenis

senyawa antioksidan dan antiseptic (Moelyanto, 1982). Hal yang sama dikemukakan oleh

Daun (1979), bahwa komponen asap berfungsi sebagai zat bakterisidal, zat antioksidan serta

zat pembentuk flavor asap (smoke flavor) dan zat warna, sehingga daging asap mempunyai

masa simpan yang lebih lama daripada daging segar (Soeparno, 1998).

2. Daging

Proses pemanasan menyebabkan perubahan warna daging. Pemanasan menyebabkan

protein globin terdenaturasi dan besi (II) akan dioksidasi menjadi besi (III). Pigmen daging

yang dimasak akan berwarna coklat abu-abu dan disebut hemikrom atau metmioglobin

terdenaturasi. Warna coklat abu-abu ini merupakan warna khas daging segar yang dimasak.

Jika didalam daging yang dimasak terdapat senyawa pereduksi, maka besi (III) dapat

direduksi menjadi besi (II) dan menghasilkan hemokrom yang berwarna merah muda.

Mioglobin terdenaturasi pada suhu antara 80 – 85oC. Aplikasi antioksidan seperti asam

askorbat, asam sitrat, tokoferol dan sebagainya dapat membantu mempertahankan warna.

Selain itu, aplikasi nitrit dan nitrat juga dapat mempertahankan warna merah daging. Pada

pengolahan daging dengan menggunakan garam nitrit (proses kuring), nitrit akan bereaksi

dengan heme membentuk kompleks nitrit-heme yang disebut nitrosomioglobin berwarna

merah gelap. Bentuk nitrosomioglobin tidak terlalu stabil dan bisa teroksidasi menjadi bentuk

Page 5: Tugas EVANG Dari Sekar

metmioglobin. Proses pemanasan akan mendenaturasi bagian globin membentuk

nitrosohemokrom yang stabil. Nitrosohemokrom ini menghasilkan warna merah muda yang

merupakan warna utama daging. Proses ini memerlukan suhu 65oC.

Pengolahan panas pada pH alkali seperti pada pembuatan texturized foodsdapat

mengakibatkan rasemisasi parsial dari residu L-asam amino menjadi D-asam amino. Laju

rasemisasi residu dipengaruhi oleh daya penarikan elektron dari sisi samping. Dengan

demikian, residu seperti Asp, Ser, Cys, Glu, Phe, Asn, dan Thr akan terasemisasi lebih cepat

dari residu asam amino lainnya. Laju rasemisasi juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion

hidroksil, tetapi tidak tergantung pada konsentrasi protein itu sendiri. Sebagai tambahan,

karbanion yang terbentuk pada suhu alkali dapat mengalami reaksi a-eliminasi menghasilkan

dehidroalanin.

Rasemisasi residu asam amino dapat mengakibatkan penurunan daya cerna protein

karena kurang mampu dicerna oleh tubuh. Kerugian akan semakin besar apabila yang

terasemisasi adalah asam amino esensial. Pemanasan protein pada pH alkali dapat merusak

beberapa residu asam amino seperti Arg, Ser, Thr dan Lys. Arg terdekomposisi menjadi

ornithine. Jika protein dipanaskan pada suhu sekitar 200oC, seperti yang terjadi pada

permukaan bahan pangan yang mengalami pemanggangan, broiling, grilling, residu asam

aminonya akan mengalami dekomposisi dan pirolisis. Beberapa hasil pirolisis yang diisolasi

dari daging panggang ternyata bersifat sangat mutagenik. Yang paling bersifat mutagenik

adalah dari pirolisis residu Trp dan Glu. Satu kelas komponen yaitu imodazo quinoline (IQ)

merupakan hasil kondensasi kreatinin, gula dan beberapa asam amino tertentu seperti Gly,

Thr, Al dan Lys, komponen ini juga toksik. Senyawa-senyawa toksik ini akan jauh berkurang

apabila pengolahan tidak dilakukan secara berlebihan (suhu lebih rendah dan waktu yang

lebih pendek).

Lemak hewan (babi dan kambing) banyak mengandung asam lemak tidak jenuh seperti

oleat dan linoleat. Asam lemak ini dapat mengalami oksidasi, sehingga timbul bau tengik

pada daging. Proses penggorengan pada suhu tinggi dapat mempercepat proses oksidasi.

Hasil pemecahan dan oksidasi ikatan rangkap dari asam lemak tidak jenuh adalah asam

lemak bebas yang merupakan sumber bau tengik. Dengan adanya anti oksidan dalam lemak

seperti vitamin E (tokoferol), maka kecapatan proses oksidasi lemak akan berkurang.

Sebaliknya dengan adanya prooksidan seperti logam-logam berat (tembaga, besi, kobalt, dan

mangan) serta logam porfirin seperti pada mioglobin, klorofil, dan enzim lipoksidase maka

lemak akan dipercepat.

Page 6: Tugas EVANG Dari Sekar

Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan. Demikian juga

dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial. Kandungan lemak daging sapi

yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan

suhu 60oC, kadar lemaknya akan turun menjadi 11,2-13,2%.

Adanya lemak dalam jumlah berlebihan dalam bahan pangan kadang-kadang kurang

dikehendaki. Pada pengolahan pangan dengan teknik ekstrusi, diinginkan kadar lemak yang

rendah. Tepung yang kadar lemaknya telah diekstrak sebelum proses ekstrusi akan

menghasilkan produk yang mempunyai derajat pengembangan yang lebih tinggi. Kompleks

lemak dengan pati pada proses ekstrusi akan menyebabkan penurunan derajat pengembangan.

Perebusan merupakan salah satu metode pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi.

Penggunaan suhu tinggi menurut Ibrahim dan Hidayat (1996) dapat memberikan efek positif

pada sifat protein, namun bila pemanasan yang dilakukan tidak terkontrol maka dapat

menimbulkan berkurangnya nilai gizi protein serta asam amino yang terkandung dalam bahan

pangan tersebut. Pengukusan juga merupakan pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi

namun biasanya memiliki susut gizi yang lebih rendah tergantung dari jenis bahan pangan

dan metode pengukusannya (Harris dan Karmas 1989).

3. Ikan

Pengeringan ikan merupakan salah satu cara pengawetan yang paling mudah, murah,

dan merupakan cara pengawetan tertua. Pengeringan akan bertambah baik jika didahuli

dengan penggaraman dengan jumlah garam yang tepat yang berfungsi untuk menghentikan

kegiatan bakteri pembusuk.

Proses pengeringan matahari paling sering digunakan, dimana kandungan air dari bahan

baku diuapkan menggunakan pancaran panas sinar matahari. Bila memiliki ruangan yang

cukup lebar, maka tidak tidak diperlukan lagi suatu fasilitas yang khusus. Namun,

kelemahannya adalah mutu produk tergantung kondisi cuaca dan proses ini tidak dapat

dilakukan selama musim hujan. Selanjutnya, oksidasi minyak lipid dilakukan oleh zat

ultraviolet dari pancaran sinar matahari, yang menyebabkan terjadinya perubahan warna pada

produk akibat minyak yang dihasilkan.

Untuk mengukur tingkat kekeringan ikan asin dapat dilakukan pengujian dengan

menekan daging ikan dengan jari tangan, bila tidak meninggalkan bekas berarti ikan asin

sudah cukup kering. Untuk ikan berukuran besar, pengujian dilakukan dengan melipatkan

daging ikan, bila tidak patah maka ikan telah cukup kering.

Pengeringan menyebabkan perubahan sifat daging ikan dari sifatnya yang masih segar,

akan tetapi nilai gizi dalam ikan relatif tetap. Proses pengeringan akan mengurangi kadar air

Page 7: Tugas EVANG Dari Sekar

dalam daging ikan, hal inilah yang akan mengakibatkan kandungan protein dalam daging

ikan akan mengalami peningkatan karena kandungan air yang telah dihilangkan dalam proses

pengeringan ikan tersebut.

Proses pengeringan ini bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam daging ikan sampai

batas tertentu, sehingga perkembangan mikroorganisme akan terhambat atau terhenti.

Perubahan yang terjadi dan merugikan dalam daging ikan juga akibat kegiatan enzim.

Selama proses pengeringan akan terjadi perubahan fisik pada ikan. Terjadi perubahan

tekstur, warna, dan aroma. Meskipun peubahan tersebut dapat dibatasi seminimal mungkin

dengan jalan memberikan perlakuan pendahuluan terhadap bahan pangan yang akan

dikeringkan. Pada umumnya ikan yang dikeringkan akan mengalami perubahan warna

menjadi coklat. Perubahan warna menjadi coklat tersebut dikarenakan reaksi browning.

Reaksi browning nonezimatis pada ikan yang paling sering terjadi adalah reaksi antara asam

organik dengan gula pereduksi, serta asam-asam amino dengan gula pereduksi disebut juga

reaksi maillard. Reaksi antara asam-asam amino dengan gula pereduksi dapat menurunkan

nilai gizi protein yang terkandung dalam komoditas ikan.

Proses pengeringan untuk ikan-ikan berlemak sering kali mengalami oksidasi dengan

udara jika dijemur dan menimbulkan bau tengik. Oksidasi dapat dihindari dengan pemakaian

antioksidan, missal asam askorbat. Antioksidan dilarutkan dalam air dan kemudian ikan

dicelupkan di dalamnya selama beberapa detik sebelum dijemur.

Proses pengeringan sangat rawan terjadi case hardening dimana permukaan ikan yang

mengering dan mengeras disebabkan proses pengeringan yang terlalu cepat menimbulkan

denaturasi protein pada permukaan sedangkan bagian dalam masih dalam keadaan basah

sehingga kontrol suhu perlu diperhatikan.