Tugas Dokter Dispensing
-
Upload
rahmaniatitia -
Category
Documents
-
view
276 -
download
5
description
Transcript of Tugas Dokter Dispensing
TUGAS OBAT DAN MAKANAN LEGAL & ILEGAL
DOCTOR DISPENSING
Oleh :
Andriansyah
Ahmad Thib Faris
Maria Florida Kotorok
Muhammad Arif Rahman
Ratna Dewi Susanti
Sri Nur Damayana
Titia Rahmania
MAGISTER HUKUM KESEHATAN
UNIVERSITAS GAJAH MADA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Dispensing berasal dari kata dispense yang dapat berarti menyiapkan, menyerahkan,
dan mendistribusikan dalam hal ini adalah obat. Fenomena dokter dispensing sebenarnya
bukan hal baru di dunia kesehatan Indonesia. Praktek ini telah berlangsung sedemikian lama.
Dispensing merupakan masalah yang menjadi perdebatan tiada henti karena menyangkut
adanya kepentingan beberapa profesi yang terkait, terutama profesi dokter dan apoteker. Jika
melihat dari sudut profesi apoteker mereka merasa keberadaan terpinggirkan karena dokter
diangggap menguasai lahan mereka. Acuan hukum yang mereka kemukakan mulai dari
komitmen dunia hingga aturan mengenai etika yang mengharuskan pemisahan antara
pemberian obat dan pemeriksaan. Namun bila melihat kondisi di lapangan landasan hukum ,
etika ataupun aturan yang sudah diterapkan di beberapa negara asing tersebut ternyata tidak
cocok di terapkan di Indonesia. Masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang khas
yang tidak bisa disamakan dengan masyarakat negara asing dimana hukum / aturan itu
diadopsi.
Sejak tahun 1240, bidang farmasi dipisahkan secara resmi dari bidang kedokteran
dengan dikeluarkannya dekrit oleh raja Jerman Frederick II. Dekrit itu antara lain
menyatakan, seorang tabib tidak boleh menguasai tempat penyimpanan obat atau melakukan
bentuk eksploitasi apa pun terhadap penderita melalui hubungan bisnis penjualan obat.
Pemisahan antara dokter dan apoteker merupakan konsep pengobatan modern yang berlaku
saat ini sebagaimana berlaku di berbagai negara di dunia, yakni dokter menulis resep dan
apoteker menyiapkan obat serta menyerahkannya pada pasien.
Fenomena dokter dispensing sebenarnya bukan hal baru di dunia kesehatan Indonesia.
Praktek ini telah berlangsung sedemikian lama dan menjadi kebiasaan. Hal yang tidak
disadari oleh pasien bahwa sebenarnya praktek tersebut melanggar hukum jika di lingkungan
tersebut terdapat apotek yang dapat dijangkau. Pada masa lalu, praktek ini dapat dimaklumi
karena jumlah apotek yang sangat terbatas. Saat ini peraturan yang berlaku menyatakan
bahwa praktek dispensing hanya boleh dilakukan pada kondisi yang sangat spesifik misalnya
di daerah yang sangat terpencil. Hal ini dicantumkan dalam Undang-undang No. 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran pasal 35 ayat (1) huruf i dan j. Masalah dispensing obat
adalah masalah nasional, dari Sabang hingga ke Marauke hampir seluruh dokter di daerah
melakukannya, bahkan sebagian kecil dokter di kota besar juga melakukan. Hal ini mencuat
ke permukaan karena adanya upaya penegakan hukum terhadap dispensing obat oleh
sebagian aparat hukum di beberapa tempat tertentu, yang menggunakan UU Praktik
Kedokteran & UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK), sebagai
dasar untuk melakukan penegakan hukum. Penanganan terhadap masalah dispensing obat
harus diselesaikan secara bijaksana & menyeluruh, karena bukan hanya menyangkut tenaga
kesehatan (dokter & apoteker), namun juga menyangkut masalah kebutuhan orang sakit.
Pasien yang menggunakan jasa pelayanan praktik kedokteran yang berada di daerah
di mana pun juga di seluruh Indonesia, sampai saat ini sangat biasa menerima pelayanan
praktik kedokteran dengan sistem “paket”, yakni setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter,
akan sekaligus mendapatkan sejumlah obat-obatan yang diperlukan oleh pasien berkaitan
dengan proses pengobatan penyakitnya.Sistem “paket” ini, tentunya sangat memudahkan
bagi pasien, karena pasien tidak perlu pergi ke apotek untuk membeli obat, yang kadang-
kadang letak apoteknya cukup jauh & bahkan bisa beberapa kilometer jauhnya & selain lebih
efisien dari segi waktu, biasanya sistem “paket” itu lebih murah, karena biaya untuk
keuntungan apotek tidak perlu dibayar oleh pasien.
Dokter tidak boleh menyimpan persediaan obat dalam jumlah banyak di tempat
praktik, karena melalui Pasal 35 ayat (i) UUPK, dokter mempunyai wewenang menyimpan
obat dalam jumlah & jenis yang dizinkan & bahkan melalui Pasal yang sama, ayat (j), dokter
mempunyai wewenang meracik & menyerahkan obat kepada pasien di daerah terpencil yang
tidak ada apotek. Artinya apabila dokter boleh menyimpan obat, maka dokter boleh juga
membagikan obat langsung kepada pasien.
Berdasarkan PP RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang termasuk
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluran obat, pengelolaan
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional. Dengan adanya PP ini, maka dispensing merupakan salah
satu pekerjaan kefarmasian. Praktek dispensing juga dapat membuka celah bagi oknum
dokter untuk memberikan obat tertentu tanpa berdasarkan pertimbangan klinis yang benar
karena tidak adanya pengawasan dari pihak ketiga. Kondisi ini makin diperburuk oleh
industri farmasi yang menjalin hubungan bisnis dengan sebagian oknum dokter untuk
meresepkan suatu jenis obat dengan merek tertentu. Praktek ini seharusnya dihentikan karena
praktek dispensing dokter adalah ilegal dan dapat merugikan pasien. Makalah ini akan
membahas mengenai tinjauan hukum dan sudut pandang mengenai praktek dokter dispensing
yang terjadi di kalangan masyarakat
BAB II
ANALISA
Dispensing berasal dari kata bahasa Inggris, yaitu to dispense, yang secara harfiah
berarti membagikan. Jadi apabila dokter dispensing obat, artinya dokter membagikan obat
kepada pasien. Namun di dalam praktiknya dokter tidak hanya membagikan obat, juga
menyimpan sejumlah obat di tempat praktik kedokteran pribadinya. Dispensing obat
sebenarnya telah sangat lama dipermasalahkan, lebih karena dipicu oleh telah
diundangkannya UU No.29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (selanjutnya disebut
UUPK) yang diberlakukan tanggal 6 Oktober 2005, sebagian penegak hukum berpendapat,
dengan diundangkannya UUPK, maka sudah diatur segala hal yang ada hubungan dengan
praktik kedokteran, bahkan juga tentang dispensing obat secara keseluruhan.
Masalah dispensing obat adalah masalah nasional, dari Sabang hingga ke Marauke
hampir seluruh dokter di daerah melakukannya, bahkan sebagian kecil dokter di kota besar
juga melakukan. Hal ini mencuat ke permukaan karena adanya upaya penegakan hukum
terhadap dispensing obat oleh sebagian aparat hukum di beberapa tempat tertentu, yang
menggunakan UUPK & UU no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK),
sebagai dasar untuk melakukan penegakan hukum. Penanganan terhadap masalah dispensing
obat harus diselesaikan secara bijaksana & menyeluruh, karena bukan hanya menyangkut
tenaga kesehatan (dokter & apoteker), namun juga menyangkut masalah kebutuhan orang
sakit terutama yang kurang mampu secara ekonomi, yakni golongan masyarakat yang untuk
biaya berobat pun, seringkali berasal dari uang pinjaman kiri & kanan.
Pasien yang menggunakan jasa pelayanan praktik kedokteran yang berada di daerah
di mana pun juga di seluruh Indonesia, sampai saat ini sangat biasa menerima pelayanan
praktik kedokteran dengan sistem “paket”, yakni setelah dilakukan pemeriksaan oleh dokter,
akan sekaligus mendapatkan sejumlah obat-obatan yang diperlukan oleh pasien berkaitan
dengan proses pengobatan penyakitnya. Sistem “paket” ini, tentunya sangat memudahkan
bagi pasien, karena pasien tidak perlu pergi ke apotek untuk membeli obat, yang kadang-
kadang letak apoteknya cukup jauh & bahkan bisa beberapa kilometer jauhnya & selain lebih
efisien dari segi waktu, biasanya sistem “paket” itu lebih murah, karena biaya untuk
keuntungan apotek tidak perlu dibayar oleh pasien. Dokter tidak boleh menyimpan
persediaan obat dalam “jumlah banyak” di tempat praktik, karena melalui Pasal 35 ayat (i)
UUPK, dokter mempunyai wewenang menyimpan obat dalam “jumlah & jenis yang
dizinkan”; & bahkan melalui Pasal yang sama, ayat (j), dokter mempunyai wewenang
meracik & menyerahkan obat kepada pasien di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Artinya apabila dokter boleh menyimpan obat, maka dokter boleh juga membagikan obat
langsung kepada pasien.
Proses pengobatan penyakit sudah sama lamanya dengan umur manusia, diawali
dengan cara yang tradisional, kemudian perkembangan ilmu kedokteran & ilmu farmasi
menyebabkan cara pengobatan dilakukan dengan cara yang modern, yakni menggunakan
metode pengobatan berdasarkan kedua Ilmu Pengetahuan modern itu pula.
Awalnya hubungan tenaga kesehatan dengan orang sakit, tidak berdasarkan kepada aturan-
aturan hukum, lebih kepada aturan-aturan pengobatan, namun kini dengan kemajuan jaman,
hubungan antara tenaga kesehatan dengan orang sakit, selain hubungan pengobatan,
terbentuk pula hubungan hukum, yang diatur dengan aturan-aturan hukum.
Pada waktu melakukan proses pengobatan dalam praktik pengobatan tradisional, sang
tenaga kesehatan setelah menentukan penyakit yang diderita orang sakit, lalu tenaga
kesehatan memberikan obat-obatan, bahkan pembuatan (peracikan) obat-obatan dilakukan
oleh tenaga kesehatan sendiri Kemudian terjadi pemilahan dari pekerjaan tenaga kesehatan &
pekerjaan ahli farmasi. Tenaga kesehatan (dokter) hanya menentukan apa penyakit yang
diderita pasien & menentukan jenis obat yang diperlukan pasien, sedangkan pengadaan,
penyediaan & distribusi obat-obatan dilakukan oleh apotek yang dikelola oleh apoteker &
dibantu oleh asisten apoteker, yang telah mendapatkan pendidikan formal di jurusan farmasi
& Sekolah Menengah Farmasi.
Awal mulanya apotek hanya didirikan di kota-kota besar, dalam arti di daerah
terpencil tidak pernah didirikan apotek, karena selain kurangnya tenaga apoteker beserta
asisten apoteker, juga untuk mendirikan apotek mengharuskan adanya sediaan farmasi yang
cukup beragam & di samping itu tidak mungkin sebuah apotek hanya melayani satu atau dua
orang dokter saja, biasanya satu apotek didirikan untuk melayani praktik kedokteran dari
beberapa orang dokter.Kini apotek telah banyak didirikan, bahkan sampai ke kota-kota
kecamatan, yang biasanya berbentuk apotek kecil & ala kadarnya, namun dispensing obat
oleh dokter sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan selama berpuluh-puluh tahun lamanya
& pasien sudah terlalu biasa dengan sistem “paket”.
Ketentuan tentang apotek mengharuskan bahwa apotek harus dikelola oleh seorang
apoteker yang bekerja penuh waktu, jadi satu apotek satu apoteker, & dibantu oleh asisten
apoteker sebagai pelaksana. Tidak dapat dipungkiri, bahwa banyak apotek di kota kecil &
kecamatan yang jauh dari kota besar, yang apotekernya tidak jelas ada di mana, hanya
namanya saja yang tercantum di papan nama apotek, sehingga apotek ada di bawah
pengelolaan asisten apoteker saja. Bahkan ada apotek yang tidak ada asisten apotekernya,
sehingga yang menyediakan & memberikan obat, bukan lulusan Sekolah Menengah Farmasi.
Selain ketentuan itu, terdapat bermacam ketentuan lainnya tentang apotek yang harus
dipenuhi oleh pemilik apotek, apotek hanya boleh menjual obat bebas saja secara langsung
kepada konsumen, sedangkan obat yang ada dalam daftar tertentu, hanya boleh diberikan
kepada pasien atas dasar resep dari dokter.
Apabila dokter tidak boleh memberikan pelayanan praktik kedokteran dengan sistem
“paket”, hanya memberikan resep obat & mempersilahkan pasien membeli ke apotek, yang
letaknya belum tentu dekat, maka alih-alih pasien membeli obat ke apotek, pasien akan
mencari insitusi yang lain yang pasti bukan apotek, yang dapat memberikan pelayanan
dengan sistem “paket”.
Dalam pasal 108 UU Kesehatan No.36 tahun 2009 dinyatakan bahwa praktik
kefarmasian dalam pengadaan, distribusi & pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan tertentu yang mempunyai keakhlian & kewenangan untuk itu & Ayat (2)
menentukan pengaturan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP).
Kemudian ketentuan Pidana dalam UUK melalui Pasal 198, ditetapkan tentang barangsiapa
yang tanpa kewenangan & keakhlian melakukan pekerjaan seperti Pasal 108 Ayat (1), maka
akan dikenakan sanksi pidana denda Rp. 100.000.000,-.
Kedua ketentuan ini, untuk dapat dilaksanakan membutuhkan Peraturan Pelaksanaan,
karena disyaratkan adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lebih lanjut, PP tentang
pengadaan, penyimpanan & pendistribusian obat telah dibentuk yakni PP No. 72/98 tentang
Pengaman Sediaan Farmasi & Alat Kesehatan, yang memberikan hak kepada apotek untuk
menyerahkan obat.
Pasal 35 ayat 1 Undang undang Praktek Kedokteran menyatakan bahwa dokter atau
dkter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan
praktek kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki yang terdiri atas :
a. Mewawancarai pasien
b. Memeriksa fisik dan mental pasien
c. Menentukan pemeriksaan penunjang
d. Menegakkan diagnosis
e. Menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien
f. Melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
g. Menulis resep obat dan alat kesehatan
h. Menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi
i. Menyimpan obat adlam jumlah dan jenis yang diizinkan
j. Meracik dan menyerahkan obat kepada pasien bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotek
Jika dibaca keseluruhan, maka jelaslah bahwa praktik dispensing oleh dokter hanya
dibenarkan pemerintah mengikuti ketentuan perundangan yang terkait yaitu di daerah
terpencil yang tidak memilik apotek.
Apotek yang melayani pembelian obat daftar tertentu (obat yang tidak dapat dijual
bebas) kepada orang sakit tanpa resep dokter, adalah perbuatan melanggar hukum yang dapat
dikenakan hukuman pidana. Namun, banyak apotek yang tentunya tidak mungkin hanya
melayani penjualan obat bebas, agar persediaan obat yang ada di apoteknya tidak menjadi
obat kedaluarsa, maka apotek melakukan pelayanan praktik kedokteran sendiri, yakni
melayani permintaan orang sakit yang mengeluhkan penyakitnya pada asisten apoteker (atau
kepada apotekernya), mereka langsung menjual obat yang menurut mereka “cocok” untuk
menyembuhkan penyakit yang dikeluhkan oleh orang sakit itu.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan apotek akan menjual obat yang sudah kedaluarsa kepada
pasien, yang dapat saja terjadi karena ketidaktahuan pasien tentang daluarsa obat-obatan.
Belum lagi banyak diperjualbelikan obat-obatan palsu oleh orang yang tidak
bertanggungjawab, ditambah pula banyaknya beredar obat-obatan yang tidak didaftarkan di
Badan POM.
Masalah dokter & apoteker, adalah masalah sebab-akibat & akibat-sebab, yang
memerlukan penyelesaian yang holistik, agar tidak ada pihak yang hanya dirugikan atau
hanya diuntungkan, sebaiknya semuanya mendapatkan keuntungan sesuai dengan bagiannya,
terutama tentunya jangan sampai kategori pasien tidak mampu secara ekonomi yang
dirugikan.
Jika dilihat dari sumpah dan kode etik apoteker, maka problem dispensing dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. SUMPAH APOTEKER
Poin ke empat sumpah apoteker yang menyatakan bahwa “ Saya akan menjalankan
tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian ”. Sesuai poin tersebut, seharusnya seorang apoteker tidak membiarkan
kewenangan penyerahan obat (dispensing) dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan
lain yang tidak berkompeten dibidang kefarmasian.
Poin ke lima menyatakan “ Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berikhtiar
dengan sungguh-sungguh supaya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan,
kebangsaan, kesukuan, kepartaian / kedudukan sosial ”. Berdasarkan poin diatas,
seharusnya apoteker berani menegur dan memberikan peringatan kepada dokter
tersebut untuk melakukan prosedur yang semestinya, tanpa terpengaruh oleh
pertimbangan apapun termasuk kedudukan sosial antara dokter dan apoteker sebagai
rekan sejawat.
2. KODE ETIK APOTEKER
Pasal 6
Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang
lain. Seorang apoteker seharusnya mampu meluruskan kekeliruan yang terjadi di
rumah sakit tersebut.
Pasal 7
Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya. Dalam
menjalankan profesinya, hendaknya apoteker yang menjadi informan yang baik
untuk masyarakat mengenai obat bukan tenaga kesehatan lain seperti yang di
ilustrasikan pada kasus diatas.
Pasal 8
Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang-
undangan di Bidang Kesehatan pada umumnya dan di Bidang Farmasi pada
khususnya.
3. UNDANG-UNDANG KEFARMASIAN (PP 51 Tahun 2009 BAB 2)
Pasal 2
o 1.Peraturan pemerintah ini mengatur pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan
produksi, distribusi, atau penyaluran dan pelayanan sediaan farmasi.
o 2.Pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
o Pembahasan : Sesuai 2 ayat di atas, seharusnya seorang apoteker tidak
membiarkan kewenangan penyerahan obat (dispensing) dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan lain yang tidak berkompeten dibidang kefarmasian.
Pasal 5
o Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi :
a. Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi
b. Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi
c. Pekerjaan kefarmasian dalam distribusi sediaan farmasi
d. Pekerjaan kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi
o Pembahasan : Seharusnya pengadaan dan pendistribusian obat dari PBF
diteruskan ke bagian instalasi farmasi rumah sakit yang dikelola oleh seorang
apoteker begitu pula pelayanan kefarmasian, tetapi pada kasus di atas dokter
tidak seharusnya melakukan pengadaan, pendistribusian dan pelayanan
farmasi secara langsung kepada pasien.
Pasal 14
o Ayat 1 : Setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi berupa obat
harus memiliki seorang apoteker sebagai penanggungjawb. Praktek dokter
dispensing jelas menyalahi pasal tersebut, sebab dokter langsung memberikan
obat kepada pasien tanpa melalui apoteker yang bertangung jawab
Pasal 21
o Ayat 2 : Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan
oleh apoteker.
o Pembahasan : Seharusnya penyerahan dan pelayanan obat dikelola oleh seorang
apoteker berdasarkan resep dokter tetapi pada kasus di atas dokter tidak
membuat resep dahulu tetapi langsung melakukan dispensing obat kepada
pasien.
Pasal 22
o Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi
yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
o Pembahasan : Dokter diperbolehkan melakukan meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien asalkan di daerah tersebut tidak ada apotek. Dalam kasus ini,
rumah sakit tersebut telah memiliki apotek yang beroperasi sebagaimana
mestinya.
BAB III
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik 3 kesimpulan utama, yaitu :
1. Praktek dispensing oleh dokter dibenarkan asal mengikuti ketentuan yang telah
dijelaskan dalam undang-undang yaitu Undang undang praktek kedodkteran pasal
35 ayat 1 huruf I dan J, yang berbunyi dokter dan dokter gigi yang telah memiliki
surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran
sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang terdiri atas (i)menyimpan obat
dapam jumlah dan jenis yang diizinksn dan (j) meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien bagi yang berpraktek di daerah terpencil yang tidak ada apotek
2. Praktek dispensing ini sendiri adalah tugas pihak kefarmasian seperti yang telah
dijelaskan dalam PP no.51 tahun 2009 tentang kefarmasian
3. Diperlukan pengawasan oleh dinas kesehatan untuk mencegah terulangnya
praktek dokter dispensing
Kebijakan yang jelas mengenai dispensing akan membawa ketenangan bagi praktisi
dokter di lapangan. Dengan perlindungan hukum yang lebih baik maka dokter akan dapat
menjalankan tugasnya dengan lebih baik dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat. Untuk
mengatasi fenomena dokter dispensing dibutuhkan suatu pembentukan aturan yang
baru untuk mengatur secara jelas terkait batasan tugas dan wewenang tiap-tiap tenaga
kesehatan dalam suatu aturan yang khusus dan terperinci, sehingga tidak menimbulkan
penafsiran yang keliru dari berbagai pihak.
Perlu profesionalisme dan kerjasama dari apoteker, dalam hal ini apoteker juga
diharapkan untuk selalu ada di apotek karena ketidakhadiran apoteker akan terus menjadi
alasan bagi dokter untuk tetap melaksanakan dispensing akibat kurang berperannya apoteker
di apotek dalam memberikan informasi obat pada pasien. Bagi pihak yang melanggar
ketentuan, patut diberi sanksi, berupa sanksi administratif yakni sanksi berupa teguran sampai
dengan pencabutan ijin praktek atau usaha. Kerjasama antara apoteker / farmasis dan
dokter, dalam hal ini dokter harus memahami betul bahwa dispensing obat adalah pekerjaan
kefarmasian dan yang memiliki kewenangan untuk melakukannya adalah apoteker dibantu
tenaga teknis kefarmasian.
Dokter harus dengan senang hati dan terbuka mau memberikan informasi yang tepat
kepada farmasis jika farmasis bertanya tentang penyakit pasien dan informasi apa yang
sebaiknya diberikan kepada pasien mengenai penyakit dan khasiat obat karena satu obat
dapat mempunyai khasiat yang bermacam-macam. Apoteker/farmasis juga tidak boleh gengsi
atau malu untuk bertanya kepada dokter mengenai penyakit pasien sehingga dapat
memberikan informasi yang tepat kepada pasien mengenai penyakit dan khasiat obat.
Perlu penegakan Pharmaceutical Care yang merupakan pemberlakuan segitiga
hubungan antara dokter, apoteker dan pasien. Dokter mendiagnosa penyakit pasien,
memberikan resep, kemudian apoteker/farmasis memberikan asuhan kefarmasian kepada
pasien yaitu memberikan informasi yang tepat mengenai khasiat obat, cara penggunaan obat,
hal-hal apa saja yang harus dihindari atau dilakukan oleh pasien terkait dengan pengobatan
pasien, mengelola dan memonitor dampak obat secara efektif sehingga dapat mencegah
kesalahgunaan obat (drug misuse), penggunaan obat yang berlebih (drug overuse),
penyalahgunaan obat (drug abuse), dan efek-efek obat yang tidak diinginkan, serta dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. UU Praktek Kedokteran Nomor 29 tahun 2004
2. UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009
3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009
4. Kode Etik Apoteker
5. Sumpah Apoteker
6. http://hadikurniawanapt.blogspot.co.id/2012/07/kasus-dan-kode-etik-serta_3844.html
7. http://www.blogdokter.net/2007/02/27/pemberian-obat-langsung-langgar-etika-
profesi-kedokteran/
8. https://hukumkes.wordpress.com/2008/03/06/kriminalisasi-dispensing-obat/
9. http://gelgel-wirasuta.blogspot.co.id/2010/01/fenomena-dokter-dispensing-
menyebabkan.html
10. https://sisicia.wordpress.com/2010/08/09/dokter-dispensing/
11. http://ratrielina.blogspot.co.id/2008/06/kajian-kebijakan-dispensing.html