tugas

16
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Meningkatnya jumlah populasi manusia menyebabkan kebutuhan hidup meningkat sehingga terjadi peningkatan permintaan akan lahan. Contohnya: di sektor pertanian, pemukiman dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut terjadi peningkatan kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam. Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap kehidupan mahkluk hidup baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga Manusia merupakan faktor yang dominan dalam merestorasi ekosistem rusak. Areal penambangan batubara di Indonesia terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat dengan perkiraan deposit sebesar 750 sampai 1.050 juta metrik ton (Tala’ohu, ). Kegiatan pertambangan adalah salah satu kegiatan yang merubah bentang alam. Karena kegiatan ini menimbulkan dampak yang sangat signifikan terutama pencemaran air permukaan dan air tanah, kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk seperti lapisan tanah tidak berprofil, terjadi pemadatan, kekurangan unsur hara yang penting, pH rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi mikroba tanah. Dampak negatif dari kegiatan tersebut perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan diluar batas kewajaran, dengan cara melakukan reklamasi terhadap lahan bekas pertambangan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mempertegas bahwa betapa pentingnya perlindungan dan pengelolaan

description

kebijakan

Transcript of tugas

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Meningkatnya jumlah populasi manusia menyebabkan kebutuhan hidup meningkat

sehingga terjadi peningkatan permintaan akan lahan. Contohnya: di sektor pertanian, pemukiman

dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut terjadi peningkatan kemampuan teknologi untuk

memodifikasi alam. Hal tersebut menimbulkan dampak terhadap kehidupan mahkluk hidup baik

secara langsung maupun tidak langsung sehingga Manusia merupakan faktor yang dominan dalam

merestorasi ekosistem rusak.

Areal penambangan batubara di Indonesia terdapat di Sumatera Barat, Sumatera Selatan,

Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat dengan perkiraan deposit sebesar 750

sampai 1.050 juta metrik ton (Tala’ohu, ). Kegiatan pertambangan adalah salah satu kegiatan yang

merubah bentang alam. Karena kegiatan ini menimbulkan dampak yang sangat signifikan terutama

pencemaran air permukaan dan air tanah, kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk

seperti lapisan tanah tidak berprofil, terjadi pemadatan, kekurangan unsur hara yang penting, pH

rendah, pencemaran oleh logam-logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi

mikroba tanah.

Dampak negatif dari kegiatan tersebut perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya

kerusakan lingkungan diluar batas kewajaran, dengan cara melakukan reklamasi terhadap lahan

bekas pertambangan. Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mempertegas bahwa betapa pentingnya

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam hubungannya dengan pembangunan yang

berkelanjutan (sustainaibility). (Nurlaela, dkk, 2014)

Salah satu bentuk pencegahan kerusakan lingkungan yang lebih parah adalah dengan

melakukan Reklamasi lahan pasca tambang. Reklamasi menurut Undang-undang No.4 tahun 2009

adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai

akibat kegiatan usaha pertambangan, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya.

Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan

negara yang menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu

dijaga dan dipertahankan untuk kelangsungan hidup manusia sekarang dan generasi yang akan

datang.

Besarnya potensi ekonomi yang diperoleh dari batubara tersebut membuat pengusaha atau

investor melakukan eksploitasi terhadap daerah yang mempunyai potensi untuk dijadikan daerah

pertambangan batubara. Namun upaya perbaikan atau reklamasi yang dilakukan tidak sesuai dengan

kerugian yang telah ditanggung dan sering mengalami kendala. Hal inilah yang membuat

kekhawtiran serta kecemasan berarti bagi masyarakat yang berada pada daerah sekitar lokasi

pertambangan tersebut. Pada umumnya setelah kawasan tersebut ditambang upaya perbaikan lahan

tidak maksimal dilakukan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara dan dipertegas lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 Tentang

Reklamasi dan Pascatambang dan Peraturan daerah tempat pertambangan itu dilaksanakan. Namun

kenyataannya masih banyak perusahaan pertambangan yang belum melakukan reklamasi atas lahan

bekas pertambangan.

Berdasarkan latar belakang dan beberapa kasus diatas, besarnya cadangan batubara

di Indonesia sebagai salah satu sumber energi akan mendatangkan banyak pengusaha yang akan

melakukan kegiatan pertambangan. Hal tersebut secara langsung akan menimbulkan masalah

terhadap lingkungan. Bagaimana perbandingan kebijakan setiap daerah terhadap kegiatan pasca

pertambangan dan implementasi hukumnya. Karena penyalahgunaan dan penyelewengan terhadap

norma-norma pengelolaan kekayaan alam menimbulkan ketidak adilan terhadap over comsumtion

dan under comsumtion. Berikut masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat kegiatan

pertambangan:

BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi Pertambangan

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pasal 1 butir (1) disebutkan pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan

dalam rangka penelitian, pengelolaan, dan pengusahaan mineral atau batu bara yang

meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,

pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

Berikut data cadangan dan Sumber daya Mineral Batubara Di Indonesia

Gambar 1. Data cadangan dan Sumber daya Mineral Batubara di Indonesia (Retno, H, 2005).

Setiap Usaha pertambangan yang akan dilakukan memerlukan IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan

IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus). Hal inilah yang menjadi awal kerusakan lingkungan jika

tidak ada tindakan pengelolaan lingkungan terpadu.

2. REKLAMASI

Secara umum yang harus diperhatikan dan dilakukan dalam merehabilitasi/reklamasi lahan

bekas tambang yaitu dampak perubahan dari kegiatan pertambangan, rekonstruksi tanah, revegetasi,

pencegahan air asam tambang, pengaturan drainase, dan tataguna lahan pasca tambang. Kegiatan

pertambangan dapat mengakibatkan perubahan kondisi lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan

hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, yang juga berakibat pada terganggunya fungsi-fungsi

lainnya. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya

degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, dan terlepasnya logam-logam berat

yang dapat masuk ke lingkungan perairan.

Terdapat 4 kegiatan yang perlu ditempuh dalam pengelolaan lahan timbunan, yaitu perencanaan,

pelaksanaan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan. Upaya reklamasi lahan sudah harus irencanakan

secara komprehensif sebelum penambangan dimulai. Prinsip reklamasi lahan pasca penambangan

batubara antara lain: (Ta’alohu,

a. Perbaikan kondisi fisika, kimia, dan biologi

b. Mengendalikan aliran permukaan guna mencegah erosi dan longsor

c. Prioritas pertama menaman tanaman pohon-pohonan pioner untuk penghijauan seperti

tanaman angsana, akasia mangium, sengon, lamtoro, gamal, bambu, yang fungsinya

terutama untuk meningkatkan bahan organik dan melindungi tanah dari curahan air hujan.

d. Menanam pohon-pohonan yang bernilai ekonomi sebagai prioritas kedua seperti mahoni,

bambu, sukun, sungkai, jambu mente, yang sifatnya jangka panjang karena bila ditanam

dalam jangka pendek kemungkinan mengalami kegagalan karena tingkat kematiannya

cukup besar.

Lahan pasca penambangan bisa dimanfaatkan untuk udidaya perikanan, lahan peternakan,

Agroforestry, pariwisata, perumahan atau perkantoran dan Tempat pengelolaan sampah terpadu.

Dasar Kebjiakan Reklamasi lahan

a) Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945

b) PASAL 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup

d) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1967 tentang Penanaman Modal Asing

e) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Pertambangan

f) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha

Pertambangan Mineral dan Batubara

g) Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

h) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL (Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan)

i) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008.

j) Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara.

k) Peraturan daerah tempat kegiatan pertambangan tersebut dilakukan.

Gambar 2. Alur Kebijakan subsektor Mineral dan Batubara (Warta Minerba, 2013)

Berikut kegiatan reklamasi di beberapa daerah:

1. Menurut Kepala Devisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur,

menytakan bahwa ada lebih 1.300 izin usaha pertambangan di Kalimantan Timur akan tetapi

sebagian besar belum melakukan kegiatan reklamasi termasuk perusahaan tambang batubara

terbesar di dunia yaitu PT.Kaltim Prima Coal (www.portalkbr.com/nusantara, 2014).

Pemanfaatan lahan pasca tambang batubara di wilayah operasional PT Kitadin dilakukan

program pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi kerakyatan yang meliputi

pengembangan kawasan pertanian terpadu, peternakan sapi potong secara intensif dan semi

intensif, peternakan ayam, dan peternakan itik, yang dibina oleh PT. Kitadin Divisi

Community Development. Tujuan dari pemanfaatan lahan eks tambang batubara adalah

untuk menjamin keberlanjutan perekonomian masyarakat sekitar tambang perusahaan pasca

proses operasional penambangan batubara (PT. Kitadin, 2011).

Gambar (Tim BPPMD, Kaltim, 2012)

Gambar (Tim BPPMD, Kaltim, 2012)

2. Sumatera Selatan (PT. Bukit Asam)

Berdasarkan Perda Kabupaten Muara Enim Nomor 4 tahun 2004, luas lahan bekas tambang yang

dicadangkan untuk TAHURA Enim adalah 5.640 ha yang terdiri dari dua status kawasan, yakni:

Kawasan pinjam pakai kehutanan (hutan produksi) seluas 2.291 ha

Kawasan yang berada di areal penggunaan lain (APL) seluas 3.349 ha

Gambar. Wilayah kegiatan pertambangan PT BA (Laporan kegiatan PT BA, 2013).

Mekanisme penetapan kawasan pinjam pakai kehutanan (hutan produksi) menjadi TAHURA

mengikuti tahapan sebagai berikut:

Setelah tambang ditutup pada tahun 2030 (IUP Air Laya) dan 2040 (IUP Banko Barat), PT.

Bukit Asam mengembalikan kawasan pinjam pakai kehutanan ke Menteri Kehutanan

dengan mengikuti syarat dan ketentuan yang berlaku.

Setelah pengembalian tersebut diterima oleh Menteri Kehutanan, Bupati Muara Enim

mengajukan usulan perubahan fungsi (antar fungsi pokok) kawasan hutan dari kawasan

hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi ke Menteri Kehutanan.

3. Kalimantan selatan

PT Adaro, Tabalong, PT ARUTMIN Indonesia, Tanah Bumbu, Telah membuat penetapan

jaminan reklamasi sebagai wujud kesungguhan PT Arutmin Indonesia dalam hal pemulihan

lingkungan khususnya reklamasi. Namun realisasi pelaksanaan reklamasi PT Adaro dan PT

Arutmin Indonesia belum sepenuhnya mencapai target seperti yang tercantum dalam

rencana reklamasi PT Arutmin Indonesia periode 2003-2007. Selain itu pelaksanaan

reklamasi oleh PT Adaro dan PT Arutmin Indonesia masih terkendala karena kurang

melibatkan pemerintah daerah setempat.

4. Provinsi Banten

Salah satu contoh di Kab. Lebak, Prov. Banten, sumber pembiayaan untuk kegiatan

reklamasi lahan pasca penambangan diatur berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Kab.

Lebak Nomor: 7 tahun 2004 tentang Pengelolaan Pertambangan Umum, mencakup:

a. Iuran tetap (land rent): iuran dari pemegansg hak pertambangan kepada Pemkab sebagai

imbalan atas kesempatan melakukan usaha pertambangan, satuannya dalam Rp/ha/th

b. selama kegiatan operasi penambangan.

c. Iuran produksi (royalty): iuran dari pemegang hak pertambangan kepada Pemerintah

sebagai imbalan atas produksi bahan galian, satuannya dalam % dari nilai produksi.

d. Tarif pajak pengambilan bahan galian skala menengah sampai besar: 10% dari nilai jual

bahan galian yang ditambang. Retribusi surat ijin penambangan umum (SIPU), terdiri

atas Kuasa Pertambangan dan surat ijin pertambangan galian industri (SIPGI) dengan

perincian sebagai berikut:

i. Kuasa Pertambangan:

- Eksploitasi : Rp 5.000.000,-

- Pemurnian dan pengolahan : Rp 5.000.000,-

- Pengangkutan dan penjualan : Rp 5.000.000,-

ii. SIPGI:

- Eksploitasi : Rp. 2.500.000,-

- Pemurnian dan pengolahan : Rp 1.250.000,-

- Pengangkutan dan penjualan : Rp 1.250.000,-

Berdasarkan informasi tersebut maka sumber pembiayaan yang cukup besar akan

diperoleh dari bentuk royalti penambangan dan pajak pengambilan karena berhubungan

langsung dengan jumlah produksi bahan tambang yang diperoleh pengusaha.

Berikut beberapa perbandingan kebijakan daerah mengenai kegiatan pasca tambang

Sumatera selatan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur Jawa Barat/Banten

Perda:

1. Peraturan daerah kabupaten

daerah muara enim nomor 30

tahun 2001 tentang

pengusahaan pertambangan

umum.

2. Perda Kabupaten Muara Enim

Nomor 4 tahun 2004,

mengenai

3.

Kalimantan selatan.

1. Peraturan daerah provinsi kalimantan

selatan nomor 6 tahun 2014 tentang

pertambangan mineral dan batubara

2. Peraturan daerah provinsi Kalimantan

selatan nomor 1 tahun 2013 tentang

reklamasi lahan pasca tambang batubara

di kalimantan selatan (Ada sanksi

berupa penghentian kegiatan

pertambangan, pencabutan izin IUP)

Kalimantan Timur

1. Peraturan daerah provinsi Kalimantan

selatan nomor 8 tahun 2013 tentang

reklamasi lahan pasca tambang batubara

di kalimantan selatan. Tidak ada sanksi

bagi yang tidak melakukan reklamasi.

2.

Perda:

1. Peraturan Daerah (Perda) Kab.

Lebak Nomor: 7 tahun 2004

tentang Pengelolaan

Pertambangan Umum.

2. Peraturan daerah provinsi banten

nomor 11 tahun 2012 tentang

penyelenggaraan pertambangan

mineral dan batubara.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Hal yang menyebabkan kurang optimalnya

1. Sanksi hukum lemah.

2. Tidak ada standar yang jelas, batas reklamasi dilakukan. Tidak sesuai dengan arahan

dari pemerintah.

3. Tidak keseimbangan antara kerusakan yang dilakukan terhadap reklamasi yang

dilakukan.

4. Pemerintahan yang tidak berfikir secara sistemik, holistik dan organismik ketika

mengeluarkan IUP atau IUPK terhadap dampak yang timbul dari kegiatan

pertambangan.

5. Banyaknya pertambangan ilegal, pertambangan masyarakat lokal.

6. Tidak ada komitmen kuat dari pemerintah dan pengusaha pertambangan.

7. Pada kegiatan reklamasi dengan tujuan untuk revegetasi seringkali lahan sulit

ditanami karena berbagai penyebab, seperti tanah sangat padat, tidak subur, masam,

erosi tinggi dan lain-lain.

B. saran

Langkah konkrit yang harus dilakukan oleh pemerintah

1. Melakukan moratorium atau penghentian pemberian izin baru pertambangan batubara

secara bebas hingga dikeluarkan kebijakan pertambangan yang pro lingkungan.

2. Evaluasi perijinan yang telah diberikan. Seharusnya evaluasi ini dilakukan secara

sistematis untuk semua enis perijinan.

3. Meningkatkan standar kualitas pengelolaan lingkungan Hidup.

4. Pembentukan lembaga penyelesaian sengketa pertambangan.

5. Kebijakan strategi pemanfaatan sumber daya mineral.

Referensi

Supranto, JS, 2011, TINJAUAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN

ASPEK KONSERVASI BAHAN GALIAN; Kelompok penelitian KOnservasi,

Pusat sumber daya geologi,

Tala’ohu , Sidik Haddy dan I rawan, REKLAMASI LAHAN PASCA PENAMBANGAN

BATUBARA,

Tim pengembangan dan penerapan, 2001, AMDAL BAPEDAL, Aspek Lingkungan dalam

Amdal Bidang Pertambangan,

Nasarudin, M, 2013. Kegiatan Prioritas dan sinergis Ditjen Mineral dan Batu Bara,Warta

Minerba, hal 5.

Retno, H, Susmiyati 2005, Tinjauan terhadap permasalahan dalam pengusahaan Batu bara di

Indonesia.

Tim BPPMD, Kaltim, 2012, Penyususnan Kajian Ivestasi di lahan Eks Tambang, Kaltim, Hal

16-17