tugas

31
TUGAS STASE ANESTESI REANIMASI Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Anestesi Reanimasi RSUD dr. R. Goeteng Tarunadibrata urbalingga Oleh: Dinar Deby Saraswati(067110114) Dokter Pembimbing Klinik dr ! "wal #$nis %antoro SK&' S "n KEPANITRAAN KLINIK ILMU ANESTESI REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2014 1 ! **P Syndrome De+inisi : ! **P sindrom ( !emolisis ele,ated li,er en-ymes low latelet adalah k$m $lan ge.ala yait$ hemolisis/ e ahnya sel darah meningkatnya en-im en-im di he ar dan rendahnya kadar trombosit sehingga darah men.adi s$lit membek$ yang mer$ akan kom likasi dari re eklamsia/eklamsia yang biasa m$n $l ada trimes kehamilan 1

description

bedah

Transcript of tugas

TUGAS STASE ANESTESI REANIMASI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anestesi Reanimasi

RSUD dr. R. Goeteng Tarunadibrata Purbalingga

Oleh:

Dinar Deby Saraswati(067110114)

Dokter Pembimbing Klinik

dr. H. Awal Tunis Yantoro SKM, Sp. An

KEPANITRAAN KLINIK

ILMU ANESTESI REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2014

1. HELLP SyndromeDefinisi: HELLP sindrom ( Hemolisis elevated liver enzymes low platelet) adalah kumpulan gejala yaitu hemolisis/pecahnya sel darah merah, meningkatnya enzim-enzim di hepar dan rendahnya kadar trombosit sehingga darah menjadi sulit membeku yang merupakan komplikasi dari pre eklamsia/eklamsia yang biasa muncul pada trimester ke 3 kehamilan.

Etiologi: dikatakan masih belum jelas, akan tetapi sindrom HELLP ini adalah dampak dari kerusakan sel endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler.

Epidemiologi: terjadi pada kurang lebih 2-12% kehamilan , berkembang dari 4-12% wanita dengan pre eklamsia/eklamsia, 0.2-0.6% dari seluruh kehamilan, 10-20% pasien dengan komorbid pre eklamsia, 50% disertai hipertensi berat.Faktor resiko: multipara, usia ibu>25 tahun, ras kulit putih, riwayat ANC yang buruk

Klasifikasi: 1. Berdasarkan jumlah kelainan yang ada yaitu

a. Sindrom HELLP Parsial (mempunyai 1 atau 2 kelainan)

b. Sindrom HELLP total (ketiga kelainan)

2.Berdasarkan jumlah trombosit

a. Kelas 1 bila jumlah trombosit < 50.000/mm3b.kelas II bila jumlah trombosit 50.000-100.000/mm3

c. kelas III bila jumlah trombosit 100.000-150.000/mm3

Patofisiologi:

Terjadi peningkatan sintesis bahan vasokonstriktor (angiotensin dan tromboksan A2) dan penurunan sintesis bahan vasodilator (prostasiklin)menyebabkan kerusakan sel endotel mikrovaskuler dan aktivasi platelet intavaskuler sehingga terjadi pelepasan tromboksan A dan serotonin menyebabkan vasospasme arteriol, retensi Na dan air, aglutinasi, agregasi platelet serta kerusakan endotelial lanjut. Sel-sel darah merah yang mengalami hemolisis akan keluar dari vaskuler yang rusak dan membentuk timbunan fibrin di sinusoid sehingga menyebabkan hambatan aliran darah hepar sehingga enzim hepar meningkat yang kemudian dapat menyebabkan iskemia dan nekrosis periportal sehingga mengganggu organ lainnya. Berkurangnya resistensi cerebral ditambah dengan adanya kerusakan endotel dapat menyebabkan edema cerebri sehingga bermanifestasikan kejang dan peningkatan TIK.Manifestasi Klinis: Nyeri kepala, pandangan kabur, malaise, mual-muntah, nyeri epigastrium, parestesia, edema tungkai.Diagnosis:HemolisisPeningkatan fungsi hatiTrombosit rendah

Kelainan apusan darah tepiSerum aspartate aminotransferasae (AST) > 70 U/LJumlah trombosit dibawah 100.000 150.000 /mm3

Total bilirubin > 1.2 mg/dlLaktat dehidrogenase > 600 U/L

Laktat dehidrogenase (LDH) > 600U/L

Manajemen: 1. Stabilkan kondisi Ibu

a. Jika ada DIC atasi koagulopati

b. Profilaksis anti kejang Mg So4 ( bolus 4-6 g 20% kemudian infus 2g/jam c. Berikan antihipertensi ( golongan beta blocker : labetalol, golongan ca channel blocker : nifedipine ( hati2 karena efek potensiasi)d. Lakukan USG abdomen atau CT scan bila curiga hematoma subkapsular hepar

2.Evaluasi keadaan janin

a. Non stres test (NST)

b. Profil biofisik

c. USG biometri3. Evaluasi maturitas janin jika umur janin < 35 minggu

a. matur ( terminasi kehamilan

b. Immatur ( kortikosteroid kemudian terminasi kehamilan (deksametason 10mg/12 jam I.V)Komplikasi: Solusio plasenta, DIC, ARDS, hepatorenal failure, udem pulmo, , ruptur hepar, hematom subkapsular.

2. Obat-obatan Anestesi di OK Anestesi General: tindakan menghilangkan rasa nyeri secara central disertai hilangnya kesadaran dan dipulihkan kembali, yang harus mencakup 3 trias anestesi yaitu hipnotik, analgesia, dan muscle relaxan.

Cara pemberian:

a) I.V / I. M ( digunakan untuk tindakan singkat atau induksi anetesi

b) Per rektal ( biasa untuk anak-anak yang membutuhkan induksi anestesi

c) Inhalasi ( menggunakan cairan anestesi yang mudah di uapkan kemudian dihirupkan . gas anestesi berupa campuran dari 02 dan konsentrasi zat anestesi tergantung dari tekanan parisal dalam otak.Indikasi general anestesi : a. infant dan anak usia muda

b.dewasa yg memilih anesti umum

c. pembedahan luas dan ekstensif

d.pendeerita gangguan jiwa

e. pembedahan lama

f.pembedahan dimana anestesi lokal tidak memuaskan

g. riwayat alergi obat anestesi lokalh. pasien pengobatan antikoagulasi

Anestesi Regional / lokal: Tindakan menghilangnya rasa nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran

Cara pemberian:

a) Anestesi permukaan ( pengolesan/ penyemprotan di atas selaput mukosa seperti mata, hidung/faring

b) Anestesi infiltrasi ( injeksi anelgesia lokal yang langsung di arahkan ke daerah yang akan di lakukan tindakan

c) Anestesi blok ( injeksi analgesia lokal yang memblok langsung saraf-saraf utama dan pleksus saraf secara i.vd) Neroaxial block( spinal dan epidural

Indikasi anestesi spinal :

- bedah ektremitas bawah-bedah panggul

-bedah obgin

-bedah urologi

-bedah rektum-perineum

Kontraindikasi:

- absolut : menolak untuk dilakukan, infeksi pada tempat injeksi, hipovolemi, koagulopati dan terapi koagulan, TIK meningkat, minimnya fasilitas resusitasi, alergi

-relatif: infeksi sistemik, kelainan neurologis, kelainan psikis, bedah lama, riwayat jantung, nyeri punggung kronis.

Cara kerja anestesi spinal :

Zat anestesi di suntikan ke dalam ruangan subaracknoid sehingga terjadi blok intratekal ( yang dipengaruhi lebih dahulu adalah saraf simpatis kemudian diikuti saraf dingin, panas, raba dan dalam, yang mengalami blokade terakhir adalah motoris, vibratory sense dan proprioseptif. Apabila efek anestesi akan berakhir maka pemulihan adalah terjadi dengan urutan sebaliknya yaitu fungsi motoris yang akan pertama kali pulih. Tanda simpatis telah terblokade adalah terjadi kenaikan suhu kulit tungkai bawah..Yang mempengaruhi anestesi spinal : jenis obat, dosis, efek vasokontriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkungan tulang belakang, usia, berat badan, distribusi obat.

Obat pre medikasi :

Bertujuan untuk:

1. Menimbulkan rasa nyaman pada pasien

2. Memudahkan/ memperlancar induksi, rumatan dan sadar dari anestesi

3. Mengurangi jumlah obat-obatan anestesi

4. Mengurangi timbulnya hipersalivasi, bradikardi, mual dan muntah post anestesi

5. Mengurangi stres fisiologis ( takikardi, takipneu)

6. Mengurangi produksi asam lambung Barbiturat:

a. Pentobarbital dan sekobarbital ( efek sedasi , 100-200mg, bayi/anak 1 mgkgbb

Antikolinergik

a. Sulfas atropin 0.25 mg ( cegah hipersekrsi saliva dan bronkus, 0.4-0.6 mg i.m

Transquilizer

a. Diazepam , 5-10mg (0.2-0.5 kgbb) dosis induksi 0,2-1 mgkgbb

Obat anestesi Inhalasia. N20 ( umunya dipakai dengan kombinasi 02 bisa 60-40, 70-30 dan 50-50. Untuk efek analgesia 20-80, induksi 80-20, maintenance 70-30

b. Halotan ( kekuatannya 4-5 dari eter

c. Etil klorida ( induksi dapat terjadi dalam - 2 menit. Cepat terjadi dan cepat hilangd. Dietil eter

e. Enfluran

f. Isofluran

g. Sevofluran ( cepat dan aman terutama untuk anak-anak

Obat anestesi I. V

a. Natrium tiopental ( tiopental) dilarutkan dalam air jadi larutan 2.5%/5%

b. Ketamin, kontraindikasi sistolik > 160 mmhg diastolik 100mmhg, riwayat pj,cerebrovaskuler, gagal jantung

c. Droperidol

d. Diprivan (propofol) , campuran 1% obat dalam air dan emulsi 10% minyak kedelai, 2,25% gliserol dan lestin telur. Menghambat transmisi neuron GABA. Obat anestesi regional / lokal

a. Lidokain : recain, procain

b. Bupivakain ( lambat masa kerjac. OBAT-OBATAN ANESTESI

ObatDalam sediaanJumlah di sediaanpengenceranDalam spuitDosis (mg/kgBB)1 cc spuit =

Pethidinampul100mg/2cc2cc + aquadest 8cc10 cc0,5-1 10 mg

Fentanyl0,05 mg/cc0,05mg

Recofol (Propofol)ampul200mg/

20cc10cc + lidocain 1 ampul10 cc2-2,5 10 mg

Ketaminvial100mg/cc1cc + aquadest 9cc10 cc1-2 10 mg

Succinilcholin

vial200mg/

10ccTanpa pengenceran5 cc1-2 20 mg

Atrakurium Besilat (Tramus/ Tracrium)ampul10mg/ccTanpa pengenceran5 ccIntubasi: 0,5-0,6, relaksasi: 0,08, maintenance: 0,1-0,2 10 mg

Efedrin HClampul50mg/cc1cc + aquadest 9cc10 cc0,25 mg

Sulfas Atropinampul0,25mg/ccTanpa pengenceran3 cc0,005 0,25 mg

Ondansentron HCl (Narfoz)ampul4mg/2ccTanpa pengenceran3 cc8 mg (dewasa)

5 mg (anak)2 mg

Aminofilinampul24mg/ccTanpa pengenceran10 cc524 mg

Dexamethasonampul5 mg/ccTanpa pengenceran15 mg

Adrenalinampul1 mg/cc0,25-0,3

Neostigmin (prostigmin)ampul0,5mg/ccTanpa pengenceranMasukkan 2 ampul prostigmin + 1 ampul SA0,5 mg

Midazolam (Sedacum)ampul5mg/5ccTanpa pengenceran0,07-0,11 mg

Ketorolacampul60 mg/2ccTanpa pengenceran30 mg

Difenhidramin HClampul5mg/ccTanpa pengenceran5 mg

d. Onset dan Durasi yang penting

OBATONSETDURASI

Succinil Cholin1-2 mnt3-5 mnt

Tracrium (tramus)2-3 mnt15-35 mnt

Sulfas Atropin1-2 mnt

Ketamin30 dtk15-20 mnt

Pethidin10-15 mnt90-120 mnt

Pentotal30 dtk4-7 mnt

Obat Darurat

NamaBerikan bilaBerapa yang diberikan?

EfedrineTD menurun >20% dari TD awal (biasanya bila TD sistol 37o C)

hiperventilasi

suhu lingkungan meningkat

aktivitas berlebih

kehilangan abnormal seperti diare

Kebutuhan Cairan Menurun

hipotermia (12% setiap 1o > 37o C)

kelembaban sangat tinggi

oliguria atau anuria

tidak ada aktivitas

retensi cairan misal pada gagal jantung

TBW / total body water terdiri dari :

a. Cairan intrasel (40%) yaitu kalium,mg,fosfat,otak,hb,eritrosit

b. Cairan ekstrasel (20%) yaitu cairan intersisial 15% dan plasma darah 5% (Na dan CL)

Jenis- jenis cairan :

a.Koloid (plasma ekspander ) Mempunyai partikel besar, yg agak sulit menembus membran semipermeabel/ dinding pembuluh darah. dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah, perfusi lama Contohnya adalah dextran, albumin dan steroid, HES (Hydroxy Etil Starch) Berdasar tekanan Onkotik-nya ada 2 mcm :

- Iso-Onkotik : Co/ Albumin 25%

- Hiper-Onkotik : Co/ Albumin 5%

,contoh cairan widehaes, dextran 70%

Indikasi : resusitasi cairan pada pasien defisit cairan intravaskular berat (syok hemoragik, sambil menunggu tranfusi darah), resusitasi cairan pada keadaan hipoalbuminemia, kondisi saat khilangan banyak protein (luka bakar)b.Kristaloid, mudah menembus membran semipermiabel, perfusi cepat,berat molekul rendah. Dibagi menjadi cairan hipotonik (bila hanya kehilangan air) dan cairan isotonik (bila kehilangan air dan elktrolit) serta cairan hipertonik. A. Cairan Hipotonik

- Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum 285 mOsmol/L) cairan ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya

- Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik

-Komplikasi : kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intracranial

Contoh NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.

B. Cairan isotonik

-osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari komponen darah) = 285 mOsmol/L, sehingga terus berada di dalam pembuluh darah.

-Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).

- Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.

Contoh cairan ringer laktat, NaCl 0.9 %, asering, dextrosa 5%C. Cairan Hipertonik

- Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum ( 285 mOsmol/L), sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah.

- Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak).

Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate, Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin

Indikasi : mengganti cairan hilang ( dehidrasi, diare)Tranfusi darah indikasinya adalah :

a. Perdarahan akut sampai Hb < 8gr% atau HT 200 mg/dl, GDS > 200 mg/dl.

3. Diagnosis gangguan toleransi glukosa apabila GDP 110 125 mg/dl, GD2JPP 140 199 mg/dl.

4. Untuk kasus meragukan dengan hasil GDP > 126 mg / dl dan GD2JPP < 200 mg /dl maka pemeriksaan laboratorium diulangi sekali lagi, dengan persiapan minimal 3 hari diit karbohidrat lebih dari 150 gram per hari dan kegiatan fisik seperti biasa , kemungkinan hasilnya adalah :

a. Diabetes mellitus apabila hasilnya sama atau tetap, atau hasilnya memenuhi kriteria 1 dan 2.

b. Gangguan toleransi glukosa apabila hasilnya sesuai dengan kriteria 3.

d. Pengaturan Kadar Gula dalam Tubuh

Yang berperan penting dalam fisiologi pengaturan kadar glukosa darah adalah hepar, pancreas, adenohipofise dan kelenjar adrenal. Pengaruh lain berasal dari : kelenjar tiroid, kerja fisik, serta faktor imunologi dan herediter.

i) Hepar

Setelah absorbsi makanan oleh usus, glukosa dialirkan ke hepar melalui vena porta. Sebagian dari glukosa tersebut disimpan sebagai glikogen. Pada saat itu kadar glukosa dalam vena porta lebih tinggi daripada vena hepatik. Setelah absorbsi selesai, glikogen dalam hepar dipecah lagi menjadi glukosa. Pada saat ini kadar glukosa dalam vena hepatik lebih tinggi daripada dalam vena porta. Jadi jelaslah bahwa hepar dalam hal ini berperan sebagai glukostat. Dalam keadaan biasa, persediaan glikogen dalam hepar cukup untuk mempertahankan kadar glukosa darah selama beberapa jam.

ii) Pankreas

Sekresi insulin kedalam darah diatur oleh berbagai faktor yaitu jumlah makanan yang masuk, hormon saluran cerna, dan hormon susunan saraf (baik susunan saraf otonom maupun susunan saraf pusat). Berbagai zat dalam makanan dapat merangsang sekresi insulin. Pada manusia glukosa merupakan stimulus terkuat, dimana pemberian oral lebih kuat merangsang sekresi insulin daripada pemberian intra vena. Perangsangan sekresi insulin ini dengan perantaraan hormone intestinal. Yang dimaksud hormon intestinal adalah sekretin, gastrin, pankreozimin, dan glukagon intestinal. Selain insulin, hormon pankreas yang juga penting ikut mengatur metabolisme karbohidrat adalah glukagon. Glukagon menyebabkan glikogenolisis dengan jalan merangsang adenilsiklase, suatu enzim yang penting untuk mengaktifkan enzim fosforilase. Penurunan cadangan glikogen dalam hepar menyebabkan bertambahnya deaminasi dan transaminasi asam amino, sehingga glukoneogenesis menjadi lebih aktif.

iii) Sistem adrenergik (Kelenjar adenohipofise dan kelenjar adrenal)

Kerja zat adrenergik/simpatik/simpatomimetik terhadap metabolisme adalah meningkatkan glikogenolisis dihepar dan otot rangka, serta meningkatkan lipolisis dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak. Glikogen Glukosa 1 P Glukosa 6 Hepar mempunyai Glukosa 6 Phosfatase, tetapi otot rangka tidak mempunyai, sehingga hepar melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat. Zat adrenergik juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin . Diketahui bahwa sekresi insulin distimulasi oleh aktifitas reseptor (beta) adrenergik. Tetapi dalam pengaruhnya, reseptor (alpha) adrenergik lebih dominan dan ini menghambat aktifitas reseptor sehingga sekresi insulin dihambat. Oleh Metz dikatakan bahwa epinefrin mengganggu insulin release dengan mekanisme mobilisasi ion Ca. Epinefrin juga menyebabkan berkurangnya ambilan (uptake) glukosa oleh jaringan perifer, akibatnya peningkatan kadar glukosa darah dan laktat darah, serta penurunan glikogen dalam hepar dan otot rangka. Epinefrin meningkatkan aktifitas enzim lipase trigliserida dalam jaringan lemak sehingga mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas (free fatty acid =F.F.A.) dan gliserol. Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah menintgkat. Aktifitas enzim lipase trigliserida tersebut terjadi karena aktifitas reseptor yang berakibat terbentuknya siklik AMP.

Dari uraian pengaturan kadar glukosa darah tersebut diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hiperglikemi dapat disebabkan oleh berbagai keadaan, demikian pula halnya pada sindrom diabetes mellitus. Secara singkat dapat disebutkan bahwa :

Semua keadaan yang menghambat produksi dan sekresi insulin.

Adanya zat-zat yang bersifat anti insulin dalam darah.

Keadaan yang menghambat efek insulin pada reseptornya. Akan dapat berakibat terjadinya hiperglikemi / diabetes mellitus.

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN DIABETES MELITUS

Gejala diabetes + konsentrasi glukosa plasma sewaktu >= 200 mg/dl (11,1 mmol/k). Sewaktu didefinisikan sebagai setiap saat tanpa memperhatikan waktu terakhir makan. Kadar glukosa plasma puasa >= 126 mg/dl (7,0 ,mmmo/L). Puasa didefinisikan sebagai tidak ada asupan kalori dalam 8 jam terakhir, atau kadar glukosa plasma 2 jam setelah minum 75 gram glukosa oral pada tes toleransi glukosa oral >= 200 mg/dl. Apabila tidak terdapat hiperglikemia yang nyata pada keadaan dekompensasi metabolik akut (seperti diabetes ketoasidosis atau sindrom hiperglikemik- hiperosmolar-nonketotik), kriteria ini harus dikonfirmasi dengan mengulang penilaian pada hari yang berbeda. Penilaian yang ketiga (tes toleransi glukosa oral) tidak dianjurkan untuk penggunaan klinis rutin.

Pada pemeriksaan tes toleransi glukosa oral usia juga harus diperhitungkan, karena respon insulin terhadap rangsangan karbohidrat akan menurun untuk setiap dekade kehidupan. Penyebab sekunder intoleransi karbohidrat harus selalu diperhitungkan sebagai diagnosis banding. Penyakit tertentu seperti pankreatitis, hemokromatosis, feokromositoma dan hipertiroidisme harus selalu disingkirkan terlebih dahulu. Gangguan primer metabolisme lemak seperti hiperlipidemia primer dapat pula menyebabkan intoleransi karbohidrat sekunder. Semua penderita hiperglikemia tanpa ketosis harus dicari kemungkinan hipertrigliseridemia.

EFEK PEMBEDAHAN DAN PEMBIUSAN PADA DM

Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon, korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia, penurunan penggunaan gula darah, peningkatan glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi, peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon termasuk growth hormon dan prolaktin. Efek pembiusan pada respon tersebut sangat bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)

FAKTOR RISIKO UNTUK PASIEN BEDAH DIABETES

Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari arteriosklerosis. Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan oleh:

Sepsis

Neuropati autonomik

Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke, penyakit pembuluh darah perifer)

Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar

Pada tipe I terjadi proses autoimun yang dapat merusak sistem saraf autonom dan meningkatkan neuropati autonomik, dengan gejala klinik : hipohidrosis; berkurangnya respon denyut jantung terhadap valsava maneuver ( 30 mmHg pada perubahan posisi tegak berdiri).

Pasien dengan neuropati autonomik dapat mengalami hipotensi berat setelah pemberian obat anestesi, adanya peningkatan risiko gastroparesis, aspirasi, episode hipoksia dan retensi urin. Hipotensi dapat terjadi pada 50% pasien diabetes mellitus dengan neuropati autonomik. Insidensi neuropati autonomik bervariasi tergantung dari lamanya mengidap penyakit Pirart mencatat laju sebesar 7% dalam 1 tahun setelah diagnosis dan sebesar 50 % untuk mereka dengan diagnosis yang ditegakkan lebih dari 25 tahun sebelumnya. Burke mendapatkan 1,4 % pasiennya mengalami variasi laju jantung tak normal. Umumnya disfungsi autonomik meningkat dengan bertambahnya umur dan lamanya sakit Ada hubungan antara tes refleks kardiavaskuler yang memburuk dan kontrol gula darah. Beberapa pasien diabetes dengan neuropati autonomik dapat meninggal mendadak. Kemungkinan ini terjadi karena respon abnormal terhadap hipoksia, apnoe tidur atau aritmia jantung namun belum ada penjelasan yang pasti. Pasien dengan neuropati autonomik mengandung risiko tinggi.

Pada diabetes mellitus lanjut sering dijumpai penyakit ginjal. Kondisi tersebut dengan mikroalbuminuria dan kelainan filtrasi glomerulus yang dijumpai perubahan pada klirens kreatinin. Dengan kontrol gula yang ketat pada penderita diabetes dapat melindungi fungsi ginjal. Hipertensi, meskipun tidak pernah tinggi sekali akan timbul jika glomerular filtration rate (GFR) berkurang. Jika ada hipertensi berat atau hipertensi timbul tiba-tiba, harus difikirkan kemungkinan adanya suatu penyakit berupa stenosis arteria renalis yang aterosklerotik. Aktifitas plasma renin adalah normal atau berkurang. Hipoaldosteronisme yang hiporeninemik dengan hiperkalemia dan asidosis metabolik dengan hiperkloremia sedang adalah suatu keadaan biasa pada nefropati diabetik. Infeksi dan sepsis memainkan peranan penting dalam meningkatkan mortalitas dan morbiditas pasca bedah penderita , hal tersebut dihubungkan dengan adanya fungsi leukosit yang terganggu. Penderita dengan kontrol gula yang ketat dimana kadar gula dipertahankan di bawah 250 mg/dl fungsi leukosit akan pulih.

Hogan melaporkan adanya peningkatan insiden kesulitan intubasi yang disebabkan oleh "stiff joint syndrome" pada beberapa penderita . Pada awalnya sindrom ini terjadi pada sendi phalanx proksimal jari IV dan V, kemudian meluas ke persendian lainnya dari jari dan tangan, sendi atlantooksipital leher, dan sendi besar lainnya. Ketidak mampuan untuk mengekstensikan kepala karena imobilitas atlantooksipital dapat menyulitkan intubasi. Akan tetapi dari suatu penelitian retrospektif terhadap rekaman anestesi dari 725 pasien yang dilakukan transplantasi ginjal dan atau transplantasi pankreas (209 diantaranya mengidap diabetes), tidak seorangpun yang dilaporkan mempunyai tingkat kesulitan laringoskopi sedang sampai berat. Secara keseluruhan 4,8% penderita diabetes yang mempunyai tingkat kesulitan intubasi ringan sampai sedang dibandingkan 1,0% pada non penderita diabetes. Kekakuan sendi ini disebabkan karena adanya jaringan kolagen abnormal periartikuler yang disebabkan oleh mikroangiopari progresif. Kelainan kolagen dihubungkan dengan glikosilasi non enzimatik protein. 'Banyak pasien ini mempunyai tanda "Prayer Sign" yaitu ketidakmampuan mendekatkan permukaan kedua palmar dan sendi-sendi jari. Insidens " stiff joint syndrome" dapat mencapai 30 % pada penderita DM tipe I.

PENILAIAN PRABEDAH

Penilaian prabedah diutamakan pada penilaian fungsi utama organ jantung, ginjal, dan susunan syaraf pusat, tak kalah penting dibandingkan penilaian status metabolik pasien. Untuk itu diperlukan penilaian laboratorium dasar yang mencakup gula darah puasa, elektrolit, ureum, kreatinin, dan EKG. Komplikasi kardiovaskuler (penyakit arteri koroner, gagal ginjal kongestif, hipertensi) hendaknya diatasi dahulu karena berkaitan dengan meningkatnya mortalitas pada pasien diabetes mellitus.Pasien dengan hipertensi mempunyai insidensi neuropati autonomik hingga 50 %, sedangkan pasien tanpa hipertensi mempunyai insiden hanya 10%. Karenanya disfungsi autonomik harus dicari secara rutin pada peralatan pra bedah.

PENGARUH OBAT ANESTESI PADA PENDERITA DM

Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan pengawasan status diabetesnya. Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.

Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi growth hormone dan akan menyebabkan penurunan respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus intravena pada pasien di ICU.

Teknik anestesia dengan opiat dosis tinggi tidak hanya memberikan keseimbangan hemodinamik, tetapi juga keseimbangan hormonal dan metabolik. Teknik ini secara efektil menghambat seluruh sistem saraf impatis dan sumbu hipotalamik-pituitari, kemungkinan melalui efek langsung pada hipotalamus dan pucat yang lebih tinggi. Peniadaan respon hormonal katabolik terhadap pembedahan akan meniadakan hiperglikemia yang terjadi pada pasien normal dan mungkin bermanfaat pada pasien diabetes.

Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, efek insulin untuk transport glukosa menyeberang membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap peningkatan hormon pertumbuhan, peningkatan kadar gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama |pengaruhnya terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula darah.

Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui. Pasien-pasien diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid dari sirkulasi. Meskipun hal W tidak relevan selama anestesia singkat jika propofol digunakan untuk pemeliharaan atau hanya sebagai obat induksi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.

Penggunaan anestesi lokal baik yang dilakukan dengan teknik epidural atau subarakhnoid tak berefek pada metabolisme karbohidrat. Untuk prosedur pembedahan pada pasien yang menderita insufisiensi vaskuler pada ekstremitas bawah sebagai suatu komplikasi penderita, teknik subarakhnoid atau epidural lebih memuaskan dan tanpa menimbulkan kcmplikasi. Epidural anestesia lebih efektif dibandingkan dengan anestesia umum dalam mempertahankan perubahan kadar gula, growth hormon dan kortisol yang disebabkan tindakan operasi.

TEKNIK ANESTESIA PADA PENDERITA DM

Teknik anestesia, terutama dengan penggunaan spinal, epidural, spiangnik dan blokade regional yang lain, dapat mengatur sekresi hormon katabolik dan sekresi insulin residual, Peningkatan sirkulasi glukosa perioperatif, konsentrasi epinefrin dan kortisol yang dijumpai pada pasien non diabetik yang timbul akibat stres pembedahan dengan anestesia umum dihambat oleh anestesia epidural. Infus phentolamine perioperatif, suatu penghambat kompetitif reseptor a-adrenergik, menurunkan respon gula darah terhadap pembedahan dengan menghilangkan penekanan sekresi insulin secara parstal.

Tidak ada bukti bahwa anestesia regional sendiri, atau kombinasi dengan anestesia umum memberikan banyak keuntungan pada pasien diabetes yang dilakukan pembedahan dalam hal mortalitas dan komplikasi mayor. Anestesia regional dapat memberikan risiko yang lebih besar pada pasien diabetes dengan neuropati autonomik. Hipotensi yang dalam dapat terjadi dengan akibat gangguan pada pasien dengan penyakit arteri koronaria, serebrovaskular dan retinovaskular. Risiko infeksi dan gangguan vaskular dapat meningkat dengan penggunaan teknik regsonal pada pasien diabetes. Abses epidural lebih sering terjadi pada anestesia spinal dan epidural. Sebaliknya, neuropati perifer diabetik yang timbul setelah anestesia epidural dapat dlkacaukan dengan komplikasi anestesia dan blok regional. Kombinasi anestesi lokal dengan epinefrin dapat menyebabkan risiko yang lebih besar terjadinya cedera saraf iskemik dan atau edema pada penderita diabetes mellitus.

34