Triase Gawat Darurat Lengkap Ppgd
description
Transcript of Triase Gawat Darurat Lengkap Ppgd
TRIASE GAWAT DARURAT LENGKAP PPGD
Triase gawat darurat - Pernahkah anda sakit dan harus masuk ruang IGD (Instalasi gawat
darurat), dan kemudian anda tidak langsung mendapatkan penanganan? atau pernahkah anda
merasa kenapa orang lain yang dilayani duluan?. nah jika pernah Kemungkinan salah satu
alasan anda tidak langsung mendapatkan perawatan kesehatan karena mungkin ada pasien
lain yang mengalami penyakit yang lebih serius dan membutuhkan pertolongan segera selain
anda.
Ini merupakan salah satu prinsip Triase dan salah satu metode perawatan gawat
darurat (PPGD) yang mana mereka mendahulukan pelayanan untuk pasien yang terancam
jiwa atau beresiko kecacatan. Mari kita pelajari pembahasan ID Medis - Website
kesehatan selengkapnya tentang apa itu triase dibawah ini:
Triase gawat darurat, triase PPGD
Pengertian dan definisi Triase
Triase Adalah Proses khusus Memilah dan memilih pasien berdasarkan beratnya penyakit
menentukan prioritas perawatan gawat medik serta prioritas transportasi. artinya memilih
berdasarkan prioritas dan penyebab ancaman hidup.
Triase/Triage merupakan suatu sistem yang digunakan dalam mengidentifikasi korban
dengan cedera yang mengancam jiwa untuk kemudian diberikan prioritas untuk dirawat atau
dievakuasi ke fasilitas kesehatan.
Tujuan Triase perawatan gawat darurat
1. Identifikasi cepat korban yang memerlukan stabilisasi segera, Ini lebih ke perawatan yang
dilakukan di lapangan.
2. Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan
3. Untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa dan kecacatan. Inilah tiga alasan dan tujuan
dilakukannya triase gawat darurat PPGD
Prinsip-prinsip Triase dan Tata cara melakukan Triase
Triase dilakukan berdasarkan observasi Terhadap 3 hal, yaitu :
1. Pernafasan ( respiratory)
2. Sirkulasi (perfusion)
3. Status Mental (Mental State)
Dalam pelaksanaannya biasanya dilakukan Tag label Triase (Label Berwarna)yang dipakai
oleh petugas triase untuk mengidentifikasi dan mencatat kondisi untuk tindakan medis
terhadap korban.
Pengelompokan Triase berdasarkan Tag label
1. Prioritas Nol (Hitam)
Pasien meninggal atau cedera Parah yang jelas tidak mungkin untuk
diselamatkan. pengelompokan label Triase
2. Prioritas Pertama (Merah)
Penderita Cedera berat dan memerlukan penilaian cepat dan tindakan medik atau transport
segera untuk menyelamatkan hidupnya. Misalnya penderita gagal nafas, henti jantung, Luka
bakar berat, pendarahan parah dan cedera kepala berat.
3. Prioritas kedua (kuning)
Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera dan tingkat yang kurang berat dan
dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. misalnya cedera
abdomen tanpa shok, Luka bakar ringan, Fraktur atau patah tulang tanpa Shok dan jenis-jenis
penyakit lain.
4. Prioritas Ketiga (Hijau)
Pasien dengan cedera minor dan tingkat penyakit yang tidak membutuhkan pertolongan
segera serta tidak mengancam nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan. Nah mungkin anda
masuk dalam kategori yang ini, jadi Jangan marah-marah dan jangan heran kenapa anda tidak
langsung mendapatkan perawatan di Ruang UGD sementara mereka harus menolong pasien
lain yang lebih parah.
Lihat juga artikel sebelumnya Kenali tanda dan gejala keracunan makanan.
Klasifikasi Triase
Triase di tempat
Dilakukan Di tempat korban di temukan atau pada tempat penampungan, triase ini dilakukan
oleh tim pertolongan pertama sebelum korban dirujuk ke tempat pelayanan medik lanjutan.
Triase Medic
Dilakukan pada saat Korban memasuki Pos pelayanan medik lanjutan yang bertujuan Untuk
menentukan tingkat perawatan dan tindakan pertolongan yang di butuhkan oleh korban. atau
triase ini sering disebut dengan Triase Unit gawat darurat
Triase Evakuasi
Triase ini ditunjukkan pada korban yang dapat dipindahkan pada rumah sakit yang telah siap
menerima korban. seperti Bencana massal contohnya Saat Tsunami, Gempa bumi, atau
bencana besar lain. Next artikel Bantuan Hidup Dasar
Cukup sekian pembahasan kita tentang Triase Gawat darurat lengkap (PPGD)semoga
bermanfaat dan memudahkan anda dalam pembuatan Askep Triase PPGD.
Ada empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu pulseless
ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric activity (PEA),
dan asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung tidak dapat memompa
untuk membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-penyebab terjadinya henti
jantung yang dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai the H’s dan the
T’s yaitu H: Hypoxia (hipoksia), hypovolemia (hipovolemik), hydrogen ion/asidosis
(asidosis), hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T: Toxins (racun), tamponade jantung, tension
pneumothorax, thrombosis pulmonary, thrombosis coronary. Meski jantung berhenti,
penderita belum lah dikatakan meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk
mendapatkan kembali sirkulasi darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan
circulation (ROSC). Namun, peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin
berkurang seiring dengan lama terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus
segera dilakukan, yang mana setiap detik amatlah berharga.
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera dilakukan pada
pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada dan pemberian ventilasi
dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan kompresi dada sebanyak 30 kali,
kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas buatan sebanyak dua kali tiupan. Jika status
infeksi pasien tidak diketahui sehingga penolong khawatir adanya risiko penularan penyakit
saat melakukan pemberian napas buatan, napas buatan tidak perlu diberikan. Pada menit-
menit awal terjadinya henti jantung, kompresi dada saja cukup membantu mengingat pasien
masih memiliki cadangan oksigen. Pada saat RJP, pengiriman oksigen ke jantung dan otak
lebih terbatasi oleh karena rendahnya aliran darah dibandingkan kandungan oksigen dalam
arteri. Bahkan, jika penolong hanya sendiri, pemberian ventilasi disarankan untuk tidak perlu
diberikan pada menit-menit awal henti jantung.
Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam satu
menit. Ritme kompresi dada tersebut sesuai dengan beat sebuah lagu berjudul Staying Alive
sehingga untuk mempermudah dalam melakukan kompresi dada sebanyak 100x per menit,
banyak praktisi kesehatan yang melakukan kompresi dada sembari membayangkan lagu
tersebut. RJP tidak boleh mengalami interupsi. Berhentinya RJP secara sementara hanya
boleh dilakukan saat menilai ritme jantung (dengan EKG atau monitor jantung), melakukan
shock dengan defibrilator pada kasus VT/VF, melakukan pengecekan pulsasi nadi karotis
(dilakukan jika ritme jantung teratur sudah terdeteksi), atau saat melakukan
pemasanganadvanced airway (alat untuk membantu mempertahankan jalan napas tetap
terbuka, seperti endotracheal tube atau supraglotic airway). Saat pergantian penolong (bisa
karena kelelahan), interupsi harus diupayakan seminimal mungkin.
Jika sudah dilakukan pemasangan advanced airway, ventilasi tidak lagi hanya diberikan
sebanyak dua kali tiap 30 kompresi dada melainkan menjadi 8-10 kali setiap menit. Jadi,
pemberian ventilasi (dengan bagging) dilakukan setiap 6 hingga 8 detik. Namun, perlu
diperhatikan bahwa ventilasi tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Pada saat RJP, perfusi
sistemik dan paru berkurang sehingga hubungan perfusi-ventilasi yang normal dapat terjaga
dengan ventilasi yang jauh lebih rendah daripada normal. Selain itu, pada saat pemberian
ventilasi, tekanan dalam rongga dada akan meningkat sehingga aliran darah akan cenderung
terhambat padahal yang sedang lebih dibutuhkan adalah terjaganya aliran darah ke organ-
organ penting.
Selain interupsi minimal, kecepatan kompresi dada minimal 100x/menit, hindari ventilasi
berlebihan, kompresi-ventilasi 30:2, prinsip lain dalam RJP adalah kedalaman yang cukup
saat melakukan kompresi dada (sekitar 5 cm pada dewasa dan 3 cm pada anak), dan
membiarkan dada mengalami complete recoil atau relaksasi secara sempurna setiap kali
kompresi dada. Untuk kedalaman yang cukup serta efektifitas tenaga, kita tidak
mengandalkan kekuatan lengan melainkan menggunakan berat badan kita dalam melakukan
kompresi dada. Posisi lengan lurus, tidak boleh tertekuk. Telapak tangan kanan diletakan
diatas tangan kiri. Kemudian, kita mendorong dengan badan kita dengan beban dialirkan
melalui lengan kita menuju dada penderita.
Pada kasus ventricular fibrilation atau pulseless ventricular tachycardia, selain menjalankan
RJP yang berkualitas, terapi lain yang sudah terbukti meningkatkan survival adalah
defibrilator. Oleh karena itu, pada kedua kasus tersebut, pemberian defibrilator terintegrasi
dalam siklus RJP. Selain itu, meskipun pada awal pengecekan ritme didapatkan bahwa ritme
jantung pasien PEA atau asystole, defibrilator tetap perlu disiapkan karena ritme jantung
dapat mengalami evolusi.
Bagaimana algoritma penatalaksanaan henti jantung pada dewasa?
Situasi di luar rumah sakit: Pada saat melihat korban tidak sadarkan diri, pastikan bahwa
korban tidak sadar seperti dengan mengguncang-guncang bahu dan memanggil namanya
(atau dengan panggilan umum seperti pak, bu, mas, dsb). Panggil pertolongan sesegera
mungkin bahwa ada korban tidak sadarkan diri. Amankan lingkungan sekitar, jangan sampai
penolong dan korban justru mengalami bahaya lain, misalnya korban tidak sadar di tengah
jalan sehingga ada bahaya dari kendaraan yang lewat. Cek pulsasi karotis. Jika tidak ada nadi
teraba, segera lakukan kompresi dada. Minta bantuan pada orang di sekitar untuk meminta
pertolongan medis (menelepon ambulans atau RS). RJP dilakukan hingga ada orang yang
lebih kompeten atau ambulans datang.
Jika henti jantung terjadi di rumah sakit, segera setelah memulai RJP, korban diberikan
oksigen dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah monitor siap, lakukan
pemeriksaan ritme jantung untuk memastikan apakah dapat dilakukan shock dengan
defibrilator atau tidak. Jika tidak dapat dishock, yaitu ritme listrik jantung PEA atau asistol,
RJP dilanjutkan kembali selama dua menit. Sembari melakukan RJP, jika belum dipasang,
akses intravena dipasang. Pertimbangkan juga untuk melakukan pemasangan advanced
airway (endotracheal tube atau supraglotic airway). Setelah dua menit RJP, lakukan kembali
pengecekan ritme yang ditampilkan pada monitor. Jika tidak dapat dishock, RJP dilanjutkan.
Suntik epinefrin diberikan setiap 3-5 menit. Dosis pemberian epinefrin adalah 1 mg. Namun,
untuk mempermudahnya, pemberian epinefrin dapat diberikan setiap 4 menit, yaitu tiap kali
dua sesi RJP dilakukan. Tatalaksana pada kasus yang tidak dapat dishock memang hanya RJP
yang berkualitas ditambah dengan pemberian epinefrin. Jadi, siklus itu terus dilanjutkan
sampai pasien ROSC atau memenuhi kriteria untuk tidak melanjutkan resusitasi. Jika tidak
ada, epinefrin dapat diganti dengan vasopresin 40 unit. Sembari melakukan upaya resusitasi,
penyebab dari henti jantung juga perlu dicari dan ditangani.
Pada kondisi ritme yang dapat dishock, yaitu VT atau VF, segera lakukan shock dengan
defibrilator. Alat defibrilator memiliki dua macam jenis, yaitu bifasik dan monofasik. Pada
bifasik, dosis energi yang digunakan sesuai dengan rekomendasi pembuat alat,misalnya dosis
inisial 120-200 J. Jika tidak diketahui, gunakan energi maksimal yang mungkin. Jika alat
monofasik, dosis yang digunakan adalah 360 J.
Setelah melakukan shock dengan defibrilator, RJP dilanjutkan selama dua menit, sembari
melakukan pemasangan akses intravena. Setelah dua menit, lakukan kembali pemeriksaan
ritme jantung. Jika masih VT/VF, shock dengan defibrilator kembali dilakukan. Epinefrin 1
mg diberikan setiap 3-5 menit sebagaimana pada kasus PEA atau asistol. Tiap kali shock
dengan defibrilator selesai dilakukan, RJP dilanjutkan selama dua menit. Setelah tiga kali
shock dengan defibrilator dilakukan korban belum ROSC, pemberian amiodarone dapat
dilakukan dengan dosis 300 mg, bolus. Siklus tetap dilanjutkan sampai pasien ROSC. Setelah
2 kali shock lagi setelah pemberian amiodarone pertama, amiodarone dosis kedua dapat
diberikan sebesar 150 mg, bolus. Pemberian amiodarone hanya dilakukan sebanyak dua kali
itu saja. Jika tidak ada amiodarone, lidokain dapat menjadi penggantinya. Dosis inisial adalah
1-1,5 mg/kgBB IV. Jika masih VF atau pulseless VT, dapat ditambahkan dosis 0.5-0.75
mg/kgBB IV dengan interval pemberian 5-10 menit hingga dosis maksimal 3 mg/kgBB.
Shock hanya dilakukan tiap kali monitor menunjukan gambaran VT atau VF. Jika ritme
berubah menjadi PEA atau asistol, hanya RJP dan pemberian epinefrin saja yang dilakukan.
Jika epinefrin, vasopresin dan lidokain tidak dapat diberikan secara intravena karena
aksesnya tidak bisa didapatkan, pemberian dapat dilakukan melalui endotracheal tube. Dosis
optimal pemberian obat melalui ETT belum diketahui secara pasti, tetapi dosis yang
diberikan biasanya adalah 2-2,5 kali pemberian melalui IV. Obat terlebih dahulu dilarutkan
dalam air steril atau normal saline 5-10 cc.
Reference:
Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, dkk. Adult Advanced
Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resucitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;
122:S729-S767.
Qqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqq
Kegawatdaruratan ElektrokardiografiGangguan hemodinamika dapat disebabkan gangguan pada irama jantung, gangguan pada pompa jantung dan gangguan pada volume darah / cairan yang mengisi pembuluh darah. Gangguan hemodinamika dapat bermanifestasi klinis berupa hipotensi, sianosis, kesadaran menurun dan lain-lain. Pada topik ini akan kita bahas mengenai gangguan irama jantung dan gangguan pompa jantung yang dapat kita ketahui dari gambaran elektrokardiografi (EKG).Dari Advance Cardiac Life Supports (ACLS), kegawatan irama jantung (aritmia / disritmia) dibagi menjadi tiga yaitu henti jantung, bradikardi dan takikardi.
1.Henti Jantung, tidak ada nadi atau heart rate. gambaran EKG yang mungkin terlihat pada henti jantung antara lain :
Asistol
Kriteria : tidak ada aktivitas listrik, paling sering ditemukan pada kasus henti jantung. Sering timbul setelah Ventrikel Fibrilasi (VF) dan Pulseless Electrical Actifity (PEA)
Pulseless Electrical Actifity (PEA)
Kriteria : ada aktvitas listrik jantung tetapi tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan arteri (nadi tidak teraba)
Ventrikel takikardi (VT) tanpa nadiKriteria :Irama : Ventrike Takikardi,Heart Rate : > 100 kali/menit (250-300 kali/menit)Gelombang P : tidak terlihatInterval PR : tidak terukurGelombang QRS : lebar > 0,12 detik
Ventrikel Fibrilasi (VF) Kriteria :Irama : ventrikel fibrilasiHeart Rate : tidak dapat
dihitung Gelombang P : tidak terlihat
Interval PR : tidak terukurGelombang QRS : tidak teratur, tidak dapat dihitung2. Takikardi, yaitu heart rate lebih dari 150 kali /menit. Gambaran EKG dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu QRS sempit dan QRS lebar
QRS sempit, gambaran EKG-nya bisa berupa Sinus takikardi
Kriteria : Irama : sinus takikardiHeart Rate : > 100 kali/menit Gelombang P : 0,04Interval PR : 0,12Gelombang QRS : 0,04-0,08 detikAtrial takikardi
Kriteria : Irama : atrial takikardia/supraventrikel takikardiHeart Rate : > 150 kali/menitGelombang P : kecil atau tidak terlihatInterval PR : tidak dapat dihitung Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik
Atrial Flutter (gelepar atrial)Kriteria :Irama : atrial flutterHeart Rate : bervariasiGelombang P : banyak bentuk seperti gergaji,perbandingan dengan komplek QRS bisa 3 atau 4 atau 5 dan seterusnya : 1Interval PR : tidak dapat dihitungGelombang QRS : 0,04-0,08 detik
Atrial Fibrilasi (AF)Kriteria :Irama : tidak teraturHeart Rate : bervariasi, dapat dibagi respon ventrikel cepat (HR > 100),, respon ventrikel normal (HR 60 –100), respon ventrikel
lambat (< 60)Gelombang P : tidak dapat diidentifikasikanInterval PR : tidak dapat dihitungGelombang QRS : 0,04-0,08 detikQRS lebar, gambaran EKG-nya bisa berupa :Ventrikel Takikardi atau Atrial Fibrilasi dengan aberan. Kedua gambarannya sama dengan di atas (henti jantung), hanya saja
secara klinis pasien tampak sadar dan nadi atau heart rate masih dapat diperiksa.3. Bradikardi, yaitu heart rate < 60 kali/ menit, dapat berupa :
sinus bradikardia
Kriteria :Irama : sinus
Heart Rate : < 60 kali/menitGelombang P : 0,04 detikInterval PR : 0,12-0,20 detikGelombang QRS : 0,04-0,08 detik
Atrio-Ventrikuler (AV) blok derajat 1
Kriteria :Irama : sinus
Heart Rate : biasanya 60-100 kali/menitGelombang P : normal (0,04 detik)Interval PR : memanjang > 0,20 detikGelombang QRS : normal (0,04-0,08 detik)
AV blok derajat 2 tipe Mobitz 1 (Wenchenbach)
Kriteria :Irama : sinusHeart Rate : biasanya < 60 kali/menitGelombang P : normal, ada gelombang P yang tidak diikuti QRSInterval PR : semakin lama semakin panjang kemudian blokGelombang QRS : normal
AV blok derajat 2 tipe Mobitz 2
Kriteria :Irama : sinus
Heart Rate : biasanya < 60 kali/menitGelombang P : normal, ada gelombang P yang tidak diikuti QRSInterval PR : normal atau memanjang secara konstan diikuti blokGelombang QRS : normal
Total AV blok
Kriteria :Irama : sinusHeart Rate : biasanya < 60 kali/menit, dibedakan heart rate gelombang P dan kompleks QRSGelombang P : normal, tapi gelombang P dan QRS berdiri sendiriInterval PR : berubah-ubah/tidak adaGelombang QRS : normaldari bradikardi, yang biasanya menimbulkan kegawatan adalah AV blok derajat 2 dan 3
Gangguan pompa jantung dapat diakibatkan oleh gangguan pada otot jantung. Salah satu yang menyebabkan otot jantung terganggu adalah iskemik miokardium atau infark miokardium akibat tersumbatnya pembuluh darah koroner. Berikut ini gambaran perubahan/evolusi infark miokardium :
Iskemik Miokard ditandai dengan adanya depresi ST atau gelombang T terbalik, injuri ditandai dengan adanya ST elevasi. Infark miokard ditandai adanya gelombang Q patologis.Pada fase awal terjadinya infark ditandai gelombang T yang tinggi sekali (hiperakut T) kemudian pada fase sub akut ditandai T terbalik lalu pada fase akut ditandai ST elevasi. Pada fase lanjut (old) ditandai dengan terbentuknya gelombang Q patologisLokasi infark :Anterior : V2 – V4Anteroseptal : V1 – V3Anterolateral : V5, V6, I dan aVLEkstensive anterior : V1 – V6, I dan aVLInferior : II, III, aVFPosterior : V1, V2 (resiprokal/seperti cermin)Contoh infark miokardInfark miokard (IM) akut inferior (ST elevasi di II, III, aVF) + iskemik ekstensif anterior (ST depresi di I, aVL, V1 s/d V6)Ventrikel kanan : V1, V3R, V4R
Gambaran EKG yang harus diwaspadai