Triase Gawat Darurat Lengkap Ppgd

15
TRIASE GAWAT DARURAT LENGKAP PPGD Triase gawat darurat - Pernahkah anda sakit dan harus masuk ruang IGD (Instalasi gawat darurat), dan kemudian anda tidak langsung mendapatkan penanganan? atau pernahkah anda merasa kenapa orang lain yang dilayani duluan?. nah jika pernah Kemungkinan salah satu alasan anda tidak langsung mendapatkan perawatan kesehatan karena mungkin ada pasien lain yang mengalami penyakit yang lebih serius dan membutuhkan pertolongan segera selain anda. Ini merupakan salah satu prinsip Triase dan salah satu metode perawatan gawat darurat (PPGD) yang mana mereka mendahulukan pelayanan untuk pasien yang terancam jiwa atau beresiko kecacatan. Mari kita pelajari pembahasan ID Medis - Website kesehatan selengkapnya tentang apa itu triase dibawah ini: Triase gawat darurat, triase PPGD Pengertian dan definisi Triase Triase Adalah Proses khusus Memilah dan memilih pasien berdasarkan beratnya penyakit menentukan prioritas perawatan

description

Triase Gawat Darurat Lengkap Ppgd

Transcript of Triase Gawat Darurat Lengkap Ppgd

TRIASE GAWAT DARURAT LENGKAP PPGD

Triase gawat darurat - Pernahkah anda sakit dan harus masuk ruang IGD (Instalasi gawat

darurat), dan kemudian anda tidak langsung mendapatkan penanganan? atau pernahkah anda

merasa kenapa orang lain yang dilayani duluan?. nah jika pernah Kemungkinan salah satu

alasan anda tidak langsung mendapatkan perawatan kesehatan karena mungkin ada pasien

lain yang mengalami penyakit yang lebih serius dan membutuhkan pertolongan segera selain

anda. 

Ini merupakan salah satu prinsip Triase dan salah satu metode perawatan gawat

darurat (PPGD) yang mana mereka mendahulukan pelayanan untuk pasien yang terancam

jiwa atau beresiko kecacatan. Mari kita pelajari pembahasan ID Medis - Website

kesehatan selengkapnya tentang apa itu triase dibawah ini:

Triase gawat darurat, triase PPGD

Pengertian dan definisi Triase

Triase Adalah Proses khusus Memilah dan memilih pasien berdasarkan beratnya penyakit

menentukan prioritas perawatan gawat medik serta prioritas transportasi. artinya memilih

berdasarkan prioritas dan penyebab ancaman hidup.

Triase/Triage merupakan suatu sistem yang digunakan dalam mengidentifikasi korban

dengan cedera yang mengancam jiwa untuk kemudian diberikan prioritas untuk dirawat atau

dievakuasi ke fasilitas kesehatan.

Tujuan Triase perawatan gawat darurat

1. Identifikasi cepat korban yang memerlukan stabilisasi segera, Ini lebih ke perawatan yang

dilakukan di lapangan.

2. Identifikasi korban yang hanya dapat diselamatkan dengan pembedahan

3. Untuk mengurangi jatuhnya korban jiwa dan kecacatan. Inilah tiga alasan dan tujuan

dilakukannya triase gawat darurat PPGD

Prinsip-prinsip Triase dan Tata cara melakukan Triase

Triase dilakukan berdasarkan observasi Terhadap 3 hal, yaitu :

1. Pernafasan ( respiratory)

2. Sirkulasi (perfusion)

3. Status Mental (Mental State)

Dalam pelaksanaannya biasanya dilakukan Tag label Triase (Label Berwarna)yang dipakai

oleh petugas triase untuk mengidentifikasi dan mencatat kondisi untuk tindakan medis

terhadap korban.

Pengelompokan Triase berdasarkan Tag label 

1. Prioritas Nol (Hitam)

Pasien meninggal atau cedera Parah yang jelas tidak mungkin untuk

diselamatkan. pengelompokan label Triase

2. Prioritas Pertama (Merah)

Penderita Cedera berat dan memerlukan penilaian cepat dan tindakan medik atau transport

segera untuk menyelamatkan hidupnya. Misalnya penderita gagal nafas, henti jantung, Luka

bakar berat, pendarahan parah dan cedera kepala berat.

3. Prioritas kedua (kuning)

Pasien memerlukan bantuan, namun dengan cedera dan tingkat yang kurang berat dan

dipastikan tidak akan mengalami ancaman jiwa dalam waktu dekat. misalnya cedera

abdomen tanpa shok, Luka bakar ringan, Fraktur atau patah tulang tanpa Shok dan jenis-jenis

penyakit lain.

4. Prioritas Ketiga (Hijau)

Pasien dengan cedera minor dan tingkat penyakit yang tidak membutuhkan pertolongan

segera serta tidak mengancam nyawa dan tidak menimbulkan kecacatan. Nah mungkin anda

masuk dalam kategori yang ini, jadi Jangan marah-marah dan jangan heran kenapa anda tidak

langsung mendapatkan perawatan di Ruang UGD sementara mereka harus menolong pasien

lain yang lebih parah.

Lihat juga artikel sebelumnya  Kenali tanda dan gejala keracunan makanan.

Klasifikasi Triase

Triase di tempat

Dilakukan Di tempat korban di temukan atau pada tempat penampungan, triase ini dilakukan

oleh tim pertolongan pertama sebelum korban dirujuk ke tempat pelayanan medik lanjutan.

Triase Medic

Dilakukan pada saat Korban memasuki Pos pelayanan medik lanjutan yang bertujuan Untuk

menentukan tingkat perawatan dan tindakan pertolongan yang di butuhkan oleh korban. atau

triase ini sering disebut dengan Triase Unit gawat darurat

Triase Evakuasi

Triase ini ditunjukkan pada korban yang dapat dipindahkan pada rumah sakit yang telah siap

menerima korban. seperti Bencana massal contohnya Saat Tsunami, Gempa bumi, atau

bencana besar lain. Next artikel Bantuan Hidup Dasar

Cukup sekian pembahasan kita tentang Triase Gawat darurat lengkap (PPGD)semoga

bermanfaat dan memudahkan anda dalam pembuatan Askep Triase PPGD.

Ada empat ritme listrik jantung yang menyebabkan terjadinya henti jantung, yaitu pulseless

ventricular tachycardia (VT), ventricular fibrilation (VF), pulseless electric activity (PEA),

dan asystole. Ritme-ritme jantung tersebut menyebabkan jantung tidak dapat memompa

untuk membuat darah mengalir secara signifikan. Penyebab-penyebab terjadinya henti

jantung yang dapat ditangani, dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai the H’s dan  the

T’s yaitu H: Hypoxia (hipoksia), hypovolemia (hipovolemik), hydrogen ion/asidosis

(asidosis), hypo-/hyperkalemia, hypothermia; T: Toxins (racun), tamponade jantung, tension

pneumothorax, thrombosis pulmonary, thrombosis coronary. Meski jantung berhenti,

penderita belum lah dikatakan meninggal. Penderita masih memiliki harapan untuk

mendapatkan kembali sirkulasi darah spontan atau yang disebut sebagai return of spontan

circulation (ROSC). Namun, peluang untuk penderita mengalami ROSC akan semakin

berkurang seiring dengan lama terjadinya henti jantung. Oleh karena itu, pertolongan harus

segera dilakukan, yang mana setiap detik amatlah berharga.

Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan tindakan utama yang harus segera dilakukan pada

pasien yang mengalami henti jantung. RJP terdiri dari kompresi dada dan pemberian ventilasi

dengan rasio 30:2. Artinya adalah penolong melakukan kompresi dada sebanyak 30 kali,

kemudian dilanjutkan dengan memberikan napas buatan sebanyak dua kali tiupan. Jika status

infeksi pasien tidak diketahui sehingga penolong khawatir adanya risiko penularan penyakit

saat melakukan pemberian napas buatan, napas buatan tidak perlu diberikan. Pada menit-

menit awal terjadinya henti jantung, kompresi dada saja cukup membantu mengingat pasien

masih memiliki cadangan oksigen. Pada saat RJP, pengiriman oksigen ke jantung dan otak

lebih terbatasi oleh karena rendahnya aliran darah dibandingkan kandungan oksigen dalam

arteri. Bahkan, jika penolong hanya sendiri, pemberian ventilasi disarankan untuk tidak perlu

diberikan pada menit-menit awal henti jantung.

Kecepatan kompresi dada yang direkomendasikan adalah setidaknya 100 kali dalam satu

menit. Ritme kompresi dada tersebut sesuai dengan beat sebuah lagu berjudul Staying Alive

sehingga untuk mempermudah dalam melakukan kompresi dada sebanyak 100x per menit,

banyak praktisi kesehatan yang melakukan kompresi dada sembari membayangkan lagu

tersebut. RJP tidak boleh mengalami interupsi. Berhentinya RJP secara sementara hanya

boleh dilakukan saat menilai ritme jantung (dengan EKG atau monitor jantung), melakukan

shock dengan defibrilator pada kasus VT/VF, melakukan pengecekan pulsasi nadi karotis

(dilakukan jika ritme jantung teratur sudah terdeteksi), atau saat melakukan

pemasanganadvanced airway (alat untuk membantu mempertahankan jalan napas tetap

terbuka, seperti endotracheal tube atau supraglotic airway). Saat pergantian penolong (bisa

karena kelelahan), interupsi harus diupayakan seminimal mungkin.

Jika sudah dilakukan pemasangan advanced airway, ventilasi tidak lagi hanya diberikan

sebanyak dua kali tiap 30 kompresi dada melainkan menjadi 8-10 kali setiap menit. Jadi,

pemberian ventilasi (dengan bagging) dilakukan setiap 6 hingga 8 detik.  Namun, perlu

diperhatikan bahwa ventilasi tidak boleh dilakukan secara berlebihan. Pada saat RJP, perfusi

sistemik dan paru berkurang sehingga hubungan perfusi-ventilasi yang normal dapat terjaga

dengan ventilasi yang jauh lebih rendah daripada normal. Selain itu, pada saat pemberian

ventilasi, tekanan dalam rongga dada akan meningkat sehingga aliran darah akan cenderung

terhambat padahal yang sedang lebih dibutuhkan adalah terjaganya aliran darah ke organ-

organ penting.

Selain interupsi minimal, kecepatan kompresi dada minimal 100x/menit, hindari ventilasi

berlebihan, kompresi-ventilasi 30:2, prinsip lain dalam RJP adalah kedalaman yang cukup

saat melakukan kompresi dada (sekitar 5 cm pada dewasa dan 3 cm pada anak), dan

membiarkan dada mengalami complete recoil atau relaksasi secara sempurna setiap kali

kompresi dada. Untuk kedalaman yang cukup serta efektifitas tenaga, kita tidak

mengandalkan kekuatan lengan melainkan menggunakan berat badan kita dalam melakukan

kompresi dada. Posisi lengan lurus, tidak boleh tertekuk. Telapak tangan kanan diletakan

diatas tangan kiri. Kemudian, kita mendorong dengan badan kita dengan beban dialirkan

melalui lengan kita menuju dada penderita.

Pada kasus ventricular fibrilation atau pulseless ventricular tachycardia, selain menjalankan

RJP yang berkualitas, terapi lain yang sudah terbukti meningkatkan survival adalah

defibrilator. Oleh karena itu, pada kedua kasus tersebut, pemberian defibrilator terintegrasi

dalam siklus RJP. Selain itu, meskipun pada awal pengecekan ritme didapatkan bahwa ritme

jantung pasien PEA atau asystole, defibrilator tetap perlu disiapkan karena ritme jantung

dapat mengalami evolusi.

Bagaimana algoritma penatalaksanaan henti jantung pada dewasa?

Situasi di luar rumah sakit: Pada saat melihat korban tidak sadarkan diri, pastikan bahwa

korban tidak sadar seperti dengan mengguncang-guncang bahu dan memanggil namanya

(atau dengan panggilan umum seperti pak, bu, mas, dsb). Panggil pertolongan sesegera

mungkin bahwa ada korban tidak sadarkan diri. Amankan lingkungan sekitar, jangan sampai

penolong dan korban justru mengalami bahaya lain, misalnya korban tidak sadar di tengah

jalan sehingga ada bahaya dari kendaraan yang lewat. Cek pulsasi karotis. Jika tidak ada nadi

teraba, segera lakukan kompresi dada. Minta bantuan pada orang di sekitar untuk meminta

pertolongan medis (menelepon ambulans atau RS). RJP dilakukan hingga ada orang yang

lebih kompeten atau ambulans datang.

Jika henti jantung terjadi di rumah sakit, segera setelah memulai RJP, korban diberikan

oksigen dan dipasang monitor. Defibrilator segera disiapkan. Setelah monitor siap, lakukan

pemeriksaan ritme jantung untuk memastikan apakah dapat dilakukan shock dengan

defibrilator atau tidak. Jika tidak dapat dishock, yaitu ritme listrik jantung PEA atau asistol,

RJP dilanjutkan kembali selama dua menit. Sembari melakukan RJP, jika belum dipasang,

akses intravena dipasang. Pertimbangkan juga untuk melakukan pemasangan advanced

airway (endotracheal tube atau supraglotic airway). Setelah dua menit RJP, lakukan kembali

pengecekan ritme yang ditampilkan pada monitor. Jika tidak dapat dishock, RJP dilanjutkan.

Suntik epinefrin diberikan setiap 3-5 menit. Dosis pemberian epinefrin adalah 1 mg. Namun,

untuk mempermudahnya, pemberian epinefrin dapat diberikan setiap 4 menit, yaitu tiap kali

dua sesi RJP dilakukan. Tatalaksana pada kasus yang tidak dapat dishock memang hanya RJP

yang berkualitas ditambah dengan pemberian epinefrin. Jadi, siklus itu terus dilanjutkan

sampai pasien ROSC atau memenuhi kriteria untuk tidak melanjutkan resusitasi. Jika tidak

ada, epinefrin dapat diganti dengan vasopresin 40 unit. Sembari melakukan upaya resusitasi,

penyebab dari henti jantung juga perlu dicari dan ditangani.

Pada kondisi ritme yang dapat dishock, yaitu VT atau VF, segera lakukan shock dengan

defibrilator. Alat defibrilator memiliki dua macam jenis, yaitu bifasik dan monofasik. Pada

bifasik, dosis energi yang digunakan sesuai dengan rekomendasi pembuat alat,misalnya dosis

inisial 120-200 J. Jika tidak diketahui, gunakan energi maksimal yang mungkin. Jika alat

monofasik, dosis yang digunakan adalah 360 J.

Setelah melakukan shock dengan defibrilator, RJP dilanjutkan selama dua menit, sembari

melakukan pemasangan akses intravena. Setelah dua menit, lakukan kembali pemeriksaan

ritme jantung. Jika masih VT/VF, shock dengan defibrilator kembali dilakukan. Epinefrin 1

mg diberikan setiap 3-5 menit sebagaimana pada kasus PEA atau asistol. Tiap kali shock

dengan defibrilator selesai dilakukan, RJP dilanjutkan selama dua menit.  Setelah tiga kali

shock dengan defibrilator dilakukan korban belum ROSC, pemberian amiodarone dapat

dilakukan dengan dosis 300 mg, bolus. Siklus tetap dilanjutkan sampai pasien ROSC. Setelah

2 kali shock lagi setelah pemberian amiodarone pertama, amiodarone dosis kedua dapat

diberikan sebesar 150 mg, bolus. Pemberian amiodarone hanya dilakukan sebanyak dua kali

itu saja. Jika tidak ada amiodarone, lidokain dapat menjadi penggantinya. Dosis inisial adalah

1-1,5 mg/kgBB IV. Jika masih VF atau pulseless VT, dapat ditambahkan dosis 0.5-0.75

mg/kgBB IV dengan interval pemberian 5-10 menit hingga dosis maksimal 3 mg/kgBB.

Shock hanya dilakukan tiap kali monitor menunjukan gambaran VT atau VF. Jika ritme

berubah menjadi PEA atau asistol, hanya RJP dan pemberian epinefrin saja yang dilakukan.

Jika epinefrin, vasopresin dan lidokain tidak dapat diberikan secara intravena karena

aksesnya tidak bisa didapatkan, pemberian dapat dilakukan melalui endotracheal tube. Dosis

optimal pemberian obat melalui ETT belum diketahui secara pasti, tetapi dosis yang

diberikan biasanya adalah 2-2,5 kali pemberian melalui IV. Obat terlebih dahulu dilarutkan

dalam air steril atau normal saline 5-10 cc.

Reference:

Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, dkk. Adult Advanced

Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resucitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;

122:S729-S767.

Qqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqqq

Kegawatdaruratan ElektrokardiografiGangguan hemodinamika dapat disebabkan gangguan pada irama jantung, gangguan pada pompa jantung dan gangguan pada volume darah / cairan yang mengisi pembuluh darah. Gangguan hemodinamika dapat bermanifestasi klinis berupa hipotensi, sianosis, kesadaran menurun dan lain-lain. Pada topik ini akan kita bahas mengenai gangguan irama jantung dan gangguan pompa  jantung yang dapat kita ketahui dari gambaran elektrokardiografi (EKG).Dari Advance Cardiac Life Supports (ACLS), kegawatan irama jantung (aritmia / disritmia) dibagi menjadi tiga yaitu henti jantung, bradikardi dan takikardi.

1.Henti Jantung, tidak ada nadi atau heart rate. gambaran EKG yang mungkin terlihat pada henti jantung antara lain :

Asistol

Kriteria : tidak ada aktivitas listrik, paling sering ditemukan pada kasus henti jantung. Sering timbul setelah Ventrikel Fibrilasi  (VF) dan Pulseless Electrical Actifity (PEA)

Pulseless Electrical Actifity (PEA)

Kriteria : ada aktvitas listrik jantung tetapi tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan arteri (nadi tidak teraba)

Ventrikel takikardi (VT)  tanpa nadiKriteria :Irama : Ventrike Takikardi,Heart Rate : > 100 kali/menit (250-300 kali/menit)Gelombang P : tidak terlihatInterval PR : tidak terukurGelombang QRS : lebar > 0,12 detik

Ventrikel Fibrilasi (VF) Kriteria :Irama : ventrikel fibrilasiHeart Rate : tidak dapat

dihitung Gelombang P : tidak terlihat

Interval PR : tidak terukurGelombang QRS : tidak teratur, tidak dapat dihitung2. Takikardi, yaitu  heart rate lebih dari 150 kali /menit. Gambaran EKG dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu QRS sempit dan QRS lebar

QRS sempit, gambaran EKG-nya bisa berupa Sinus takikardi 

Kriteria : Irama :  sinus takikardiHeart Rate : > 100 kali/menit Gelombang P : 0,04Interval PR : 0,12Gelombang QRS : 0,04-0,08 detikAtrial takikardi 

Kriteria : Irama :  atrial takikardia/supraventrikel takikardiHeart Rate : > 150 kali/menitGelombang P : kecil atau tidak terlihatInterval PR : tidak dapat dihitung Gelombang QRS : 0,04-0,08 detik

Atrial Flutter (gelepar atrial)Kriteria :Irama : atrial flutterHeart Rate : bervariasiGelombang P : banyak bentuk seperti gergaji,perbandingan dengan komplek QRS bisa 3 atau 4 atau 5 dan seterusnya : 1Interval PR : tidak dapat dihitungGelombang QRS : 0,04-0,08 detik

Atrial Fibrilasi  (AF)Kriteria :Irama : tidak teraturHeart Rate : bervariasi, dapat dibagi respon ventrikel cepat (HR > 100),, respon ventrikel normal (HR 60 –100), respon ventrikel

lambat (< 60)Gelombang P : tidak dapat diidentifikasikanInterval PR : tidak dapat dihitungGelombang QRS : 0,04-0,08 detikQRS lebar, gambaran EKG-nya bisa berupa :Ventrikel Takikardi atau Atrial Fibrilasi dengan aberan. Kedua gambarannya sama dengan di atas (henti jantung), hanya saja

secara klinis pasien tampak sadar dan nadi atau heart rate masih dapat diperiksa.3. Bradikardi, yaitu heart rate < 60 kali/ menit, dapat berupa :

sinus bradikardia 

Kriteria :Irama : sinus

Heart Rate : < 60 kali/menitGelombang P : 0,04 detikInterval PR : 0,12-0,20 detikGelombang QRS : 0,04-0,08 detik

Atrio-Ventrikuler (AV) blok derajat 1 

Kriteria :Irama : sinus

Heart Rate : biasanya 60-100 kali/menitGelombang P : normal (0,04 detik)Interval PR : memanjang > 0,20 detikGelombang QRS : normal (0,04-0,08 detik)

AV blok derajat 2 tipe Mobitz 1 (Wenchenbach) 

Kriteria :Irama : sinusHeart Rate : biasanya < 60 kali/menitGelombang P : normal, ada gelombang P yang tidak diikuti QRSInterval PR : semakin lama semakin panjang kemudian blokGelombang QRS : normal

AV blok derajat 2 tipe Mobitz 2 

Kriteria :Irama : sinus

Heart Rate : biasanya < 60 kali/menitGelombang P : normal, ada gelombang P yang tidak diikuti QRSInterval PR : normal atau memanjang secara konstan diikuti blokGelombang QRS : normal

Total AV blok 

Kriteria :Irama : sinusHeart Rate : biasanya < 60 kali/menit, dibedakan heart rate gelombang P dan kompleks QRSGelombang P : normal, tapi gelombang P dan QRS berdiri sendiriInterval PR : berubah-ubah/tidak adaGelombang QRS : normaldari bradikardi, yang biasanya menimbulkan kegawatan adalah AV blok derajat 2 dan 3

Gangguan pompa jantung dapat diakibatkan oleh gangguan pada otot jantung. Salah satu yang menyebabkan otot jantung terganggu adalah iskemik miokardium atau infark miokardium akibat tersumbatnya pembuluh darah koroner. Berikut ini gambaran perubahan/evolusi infark miokardium : 

Iskemik Miokard ditandai dengan adanya depresi ST atau gelombang T terbalik, injuri ditandai dengan adanya ST elevasi. Infark miokard ditandai adanya gelombang Q patologis.Pada fase awal terjadinya infark ditandai gelombang T yang tinggi sekali (hiperakut T) kemudian pada fase sub akut ditandai T terbalik lalu pada fase akut ditandai ST elevasi. Pada fase lanjut (old) ditandai dengan terbentuknya gelombang Q patologisLokasi infark :Anterior : V2 – V4Anteroseptal : V1 – V3Anterolateral : V5, V6, I dan aVLEkstensive anterior : V1 – V6, I dan aVLInferior : II, III, aVFPosterior : V1, V2 (resiprokal/seperti cermin)Contoh infark miokardInfark miokard (IM) akut inferior (ST elevasi di II, III, aVF) + iskemik ekstensif anterior (ST depresi di I, aVL, V1 s/d V6)Ventrikel kanan : V1, V3R, V4R

Gambaran EKG yang harus diwaspadai