translete

8
Case Report Hipertermia Malignant Onset Lambat setelah Pemberian Sevofluran Hipertermia malignant adalah respon hipermetabolik terhadap agen inhalasi (seperti halotan, sevofluran, dan desflurane), succinylcholine, olahraga malignant, dan panas. Reaksi yang terjadi lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (2:1). Tanda-tanda klasik hipertermia malignant adalah hipertermia, takikardia, takipnea, peningkatan produksi karbon dioksida, peningkatan konsumsi oksigen, asidosis, kekakuan otot dan rhabdomyolysis. Dalam laporan kasus ini, kami menyajikan kasus hipertermia malignant onset lambat seperti reaksi setelah paparan sevofluran kedua. 1. Perkenalan Hipertermia malignant ditandai dengan sebuah respon hipermetabolik terhadap “trigger agents”. Dalam laporan kasus ini, kami menyajikan kasus hipertermia malignant onset lambat seperti reaksi setelah paparan sevofluran kedua. 2. Kasus Seorang anak usia 8 tahun dijadwalkan untuk menjalani evaluasi atresia choanal di bawah general anestesi. Maintenance induksi anestesi diberikan sevofluran 7-8%, setelah intubasi diberikan remifentanil 2 mg. Tidak digunakan relaksan otot. Anestesi berlangsung 35 menit tanpa

description

translete

Transcript of translete

Page 1: translete

Case Report

Hipertermia Malignant Onset Lambat setelah Pemberian Sevofluran

Hipertermia malignant adalah respon hipermetabolik terhadap agen inhalasi (seperti

halotan, sevofluran, dan desflurane), succinylcholine, olahraga malignant, dan panas. Reaksi

yang terjadi lebih sering pada laki-laki daripada perempuan (2:1). Tanda-tanda klasik hipertermia

malignant adalah hipertermia, takikardia, takipnea, peningkatan produksi karbon dioksida,

peningkatan konsumsi oksigen, asidosis, kekakuan otot dan rhabdomyolysis. Dalam laporan

kasus ini, kami menyajikan kasus hipertermia malignant onset lambat seperti reaksi setelah

paparan sevofluran kedua.

1. Perkenalan

Hipertermia malignant ditandai dengan sebuah respon hipermetabolik terhadap

“trigger agents”. Dalam laporan kasus ini, kami menyajikan kasus hipertermia malignant

onset lambat seperti reaksi setelah paparan sevofluran kedua.

2. Kasus

Seorang anak usia 8 tahun dijadwalkan untuk menjalani evaluasi atresia choanal

di bawah general anestesi. Maintenance induksi anestesi diberikan sevofluran 7-8%,

setelah intubasi diberikan remifentanil 2 mg. Tidak digunakan relaksan otot. Anestesi

berlangsung 35 menit tanpa ada masalah. Satu minggu setelah prosedur ini, pasien

dijadwalkan untuk pemakaian nasopharyngeal tube bilateral di bawah general anestesi

dengan sevofluran. Prosedur berakhir tanpa ada masalah. Selama follow-up, suhu

meningkat menjadi 42.5∘C, denyut jantung meningkat menjadi 250 kali/menit, dan terjadi

distress pernapasan. Kadar kreatinin fosfokinase mencapai 929 IU/L, dan terjadi

hyperpotassemia. Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia (SO2 <85%), asidosis

respirasi (PaCO2> 60mmHg) dan asidosis metabolik (defisit basa >10mEq / L). Kondisi

klinis tersebut dianggap terjadi karena hipertermia malignant, pasien kemudian diberikan

dantrolen sodium peroral. Setelah diberikan sodium dantrolen, suhu tubuh menurun

minimal, dan karena distress pernapasan masih terjadi, pasien diintubasi dan diberikan

Page 2: translete

ventilasi mekanik. Dantrolen sodium 2,5 mg/kg diberikan secara intravena dengan

interval 6 jam selama 2 hari dan suhu tubuhnya menurun. Setelah periode 10 jam

intubasi, pasien kemudian di ekstubasi dan dilakukan CPAP.

Tidak ada riwayat keluarga dengan hipertermia malignant atau penyakit lain yang

dapat meningkatkan kerentanan terhadap hipertermia malignant pada pasien. Pasien lahir

dengan operasi caesar setelah usia kehamilan 39 minggu dan berat lahir 4050 dengan

APGAR skor 6-8. Masalah sistemik dan anomali janin tidak terlihat selama kehamilan.

Sebelum kehamilan ini, ibu pasien mengalami 3 kali abortus dengan etiologi yang tidak

diketahui. Setelah proses persalinan, pasien terlihat memiliki syndromic facial dan

respirasi spontan yang tidak adekuat, kemudian pasien dirawat di NICU dan diberikan

ventilasi tekanan positif. Dari pemeriksaan fisik ditemukan dismorfik wajah, mikrognatia,

high-arched palate, letak telinga yang lebih rendah, popeyed appearance, hypertelorism,

low-slanting palpebral fissures, cryptrochidism, clinodactyly, dan craniosynostosis.

Selain itu terdapat gangguan pendengaran bilateral.

3. Diskusi

Hipertermia malignant adalah respon hipermetabolik terhadap agen inhalasi kuat

(seperti halotan, sevofluran, dan desflurane), succinylcholine, olahraga berat, dan panas.

Reaksi yang terjadi lebih sering pada laki-laki daripada perempuan. Tanda-tanda klasik

dari hipertermia malignant adalah hipertermia, takikardia, takipnea, peningkatan produksi

karbondioksida, peningkatan konsumsi oksigen, asidosis, kekakuan otot, dan

rhabdomyolysis. Gold standard untuk diagnosis kerentanan terhadap hipertermia

malignant adalah tes contracture kafein-halotan. Namun, karena tes ini tidak tersedia

secara luas, diagnosis hipertermia malignant hanya dapat dilakukan berdasarkan

manifestasi klinis. Sodium Dantrolene merupakan antagonis spesifik dari perubahan

patofisiologi hipertermia malignant dan bila diberikan pada periode awal dapat

menyelamatkan nyawa.

Hipertermia malignant diduga bila ditemukan asidosis respirasi, sinus takikardia,

asidosis metabolik, peningkatan kadar serum kreatinin kinase, hyperpotassemia, dan

hipertermia pada pasien dan dantrolen sodium diberikan sebagai pengobatan.

Peningkatan tanda-tanda klinis setelah pemberian sodium dantrolen menandakan bahwa

Page 3: translete

diagnosis hipertermia malignant sudah benar. Meskipun begitu, untuk mengkonfirmasi

diagnosis, tes contracture kafein-halotan tidak bisa dilakukan karena tes ini tidak tersedia

di lembaga kami.

Pada pasien kami, kadar serum kreatinin kinase meningkat sedang dan kami

berpikir bahwa kenaikan kadar serum kreatinin kinase yang sedang ini mungkin karena

telah diberikan penanganan segera dengan sodium dantrolen dan perbaikan yang cepat

dari tanda-tanda klinis. Usia muda pasien juga mungkin menjadi faktor lain. Karena

massa otot pada orang dewasa relatif lebih besar, kadar serum kreatinin kinase

diharapkan akan lebih tinggi pada pasien yang lebih tua.

Meskipun sevofluran dikenal sebagai agen yang kurang kuat memicu hipertermia

malignant, hipertermia malignant setelah paparan sevofluran telah dilaporkan dalam

beberapa literatur. Hipertermia malignant setelah paparan sevofluran diduga berhubungan

dengan pelepasan kalsium dari retikulum sarkoplasma.

Hsu et al. telah melaporkan hipertermia malignant pada anak laki-laki berusia 3

tahun 9 bulan yang dijadwalkan untuk operasi Hot’z di bawah general anestesi dengan

sevofluran dan gejala pasien ini telah membaik setelah pemberian sevofluran dihentikan.

Pengujian genetik molekular telah mengidentifikasi adanya mutasi Ryanodine-receptor

(RYR1) pada pasien dan ini menegaskan bahwa pasien ini memiliki kerentanan terhadap

hipertermia malignant.

Bonciu et al. telah melaporkan hipertermia malignant pada seorang anak berusia 7

tahun yang dijadwalkan untuk timpanoplasti dibawah general anestesi dengan sevofluran.

Pasien memiliki riwayat induksi anestesi dengan sevofluran tanpa komplikasi. Tapi

maintenance diberikan propofol. Dilaporkan bahwa gejala klinis meningkat bersamaan

dengan penghentian sevofluran dan terjadi peningkatan ventilasi.

Onset yang lambat dari munculnya hipertermia malignant adalah gejala klinis

yang langka. Chen et al. telah melaporkan hipertermia malignant pada seorang anak

berusia 5 tahun setelah paparan sevofluran kedua. Pasien ini diberikan general anestesi

dengan sevofluran sebanyak 2 kali dengan selang waktu 2 hari.

Greenberg et al. melaporkan hipertermia malignant pada bayi berusia 6 bulan

dengan delesi kromosom 5q yang dijadwalkan untuk perbaikan langit-langit sumbing di

bawah general anestesi dengan sevofluran. Pasien ini memiliki riwayat MRI di bawah

Page 4: translete

general anestesi 2 minggu sebelum pembedahan dengan sevofluran dan ia memiliki suhu

tubuh yang meningkat dan takikardia namun gejala ini membaik secara spontan. Setelah

paparan sevofluran kedua, takikardi, peningkatan suhu, dan hiperkarbia muncul dan

gejala ini membaik setelah diberikan pengobatan dengan dantrolen sodium. Greenberg et

al. melaporkan bahwa ini adalah kasus pertama hipertermia malignant pada pasien

dengan delesi kromosom 5q di literatur.

Selama pengalaman anestesi pertama, pasien kami mendapatkan general anestesi

dengan sevofluran dan tidak ada komplikasi. Tapi 1 minggu kemudian, setelah terpapar

sevofluran untuk kedua kalinya, gejala klinis hipertermia malignant terlihat selama

periode pasca operasi. Hipertermia malignant onset lambat setelah paparan kedua adalah

kondisi yang langka. Kami berpikir bahwa ini mungkin berhubungan dengan efek laten

dari volatile anestesi pada otot rangka.

Claussen et al. telah melaporkan hipertermia malignant pasca general anestesi

dengan sevofluran pada anak laki-laki usia 5 tahun yang telah dibius dua kali dengan

halotan tanpa komplikasi apapun. Pemberian dantrolen yang segera dengan cepat dapat

membalikkan tanda-tanda yang mengancam jiwa dan mencegah perkembangan penyakit

pada pasien ini. Pada kasus yang sama, pada pasien kami, kami berikan dantrolen sodium

pada periode awal dan gejalanya membaik.

Reed et al. telah melaporkan pada dua anak laki-laki berusia 2 dan 6 tahun,

masing-masing dengan wajah dismorfik, ptosis, down slanting palpebral fissures,

hypertelorism, epicanthic folds, letak telinga lebih rendah, hipoplasia malar, mikrognatia,

high-arched palate, clinodactyly, palmar simian line, pectus excavatum, winging of the

scapulae, lordosis lumbal, dan skoliosis toraks ringan yang disertai dengan hipotoni

kongenital, dan perkembangan motorik yang sedikit terhambat didiagnosis sebagai King-

Denborough syndrom. Reed et al. telah menekankan fakta bahwa pasien dengan King-

Denborough syndrom dapat menjalani general anestesi untuk cryptrochidism dan

deformitas tulang dan harus meningkatkan kewaspadaan terhadap gangguan ini karena

pasien ini cenderung untuk mengalami hipertermia malignant.

Pemeriksaan fisik pra operasi pada pasien kami juga menunjukkan adanya

dismorfik wajah, mikrognatia, high-arched palate, letak telinga lebih rendah, popeyed

appearance, hypertelorism, low slanting palpebral fissures, cryptochirdism, clinodactyly,

Page 5: translete

craniosynostosis, dan gangguan pendengaran bilateral tetapi diagnosis yang pasti tidak

dilakukan oleh departemen genetik. Namun hipertermia malignant selama periode pasca

operasi diikuti dengan general anestesi bersama-sama dengan adanya sindrom di atas

membuat kita berpikir ini mungkin King-Denborough syndrom.

Kinouchi et al. melaporkan dua kasus hipertermia malignant yang dipicu oleh

sevofluran dan pasien tidak memiliki kerentanan keluarga untuk menderita hipertermia

malignant. Pasca operasi, salah satu pasien ini tercatat memiliki down slanting palpebral

fissures, mikrognatia, letak telinga lebih rendah, dan hilangnya satu lipatan jari kelima

didiagnosis sebagai King-Denborough syndrom yang dilaporkan memiliki hubungan

dengan hipertermia malignant.

Meskipun tidak ada diagnosis yang pasti selama periode pra operasi, terjadinya

hipertermia malignant selama periode pasca operasi telah membuat kita berpikir sindrom

ini sebagai King-Denborough syndrom. King-Denborough syndrom (KDS) adalah

myopathy congenital yang berkaitan dengan kerentanan terhadap hipertermia malignant,

kelainan skeletal, dan dismorfik dengan karakteristik kelainan pada wajah. Karena ada

kerentanan terhadap hipertermia malignant pada pasien ini, penting untuk mengevaluasi

tanda-tanda klinis dari King-Denborough syndrom selama periode pra operasi terutama

pada bayi baru lahir.