TRANSFORMASI BUDAYA TRADISI MASYARAKAT AGRARIS...
Transcript of TRANSFORMASI BUDAYA TRADISI MASYARAKAT AGRARIS...
TRANSFORMASI BUDAYA TRADISI MASYARAKAT AGRARIS
PADA GENERASI MUDA : ANALISIS TRANSFORMASI
GENDONGAN LESUNG DI DESA WISATA KANDRI,
KECAMATAN GUNUNG PATI, KOTA SEMARANG
Srikpsi
diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pendidikan Seni Musik
oleh
Sugeng Nur Wahyudy
2501412010
JURUSAN PENDIDIKAN SENI DRAMA, TARI DAN MUSIK
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2019
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
iv
PERNYATAAN
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai budayanya sendiri.
(Sugeng Nur Wahyudy)
PERSEMBAHAN
Pembuatan skripsi ini saya persembahkan kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Yatino dan Ibu Daliyah
yang selalu mendukung baik secara moral maupun
material serta doa yang selalu terucap.
2. Al Maghfurlah Abah Kyai Masyrokhan dan Gus Agus
Romadhon yang telah mendidik penulis selama menjadi
santri di Pondok Pesantren Durrotu Ahlissunnah
Waljamaah dan semua guru penulis.
3. Mas Timbul Pranoto, Mas Santo, Mas Winarko, Mba
Sukanthi, Mba Ani, dan Adik Muhammad Ashari,
dengan motivasi, doa, kasih sayang kalian, menuntun
saya meraih cita-cita.
vi
SARI
Nur Wahyudy, Sugeng. 2019. Transformasi Budaya Tradisi Masyarakat Agraris
Pada Generasi Muda : Analisis Transformasi Gendongan Lesung Di Desa Wisata
Kandri, Kecamatan Gunung Pati, Kota Semarang. Jurusan Pendidikan
Sendratasik, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang.
Pembimbing I : Dra. Siti Aesijah, M. Pd. Pembimbing II: Abdul Rachman, S.Pd,
M.Pd.
Kata Kunci : Transformasi, Gendongan Lesung, Generasi Muda.
Generasi muda Omah Alas desa wisata Kandri melestarikan dan mengembangkan
Kesenian Gendongan Lesung yang menjadi warisan nenek moyang mereka.
Berdasarkan paparan tersebut, rumusan masalah penelitian ini adalah
bagaimanakah transformasi kesenian Gendongan Lesung pada generasi muda di
desa wisata Kandri. Manfaat teoritis secara umum agar dapat memberikan
informasi tertulis bagi masyarakat umum tentang kesenian tradisional Gendongan
Lesung desa wisata Kandri dan sebagai bahan kajian untuk penelitian selanjutnya
yang sejenis.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data
yang digunakan adalah berdasarkan hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan yaitu pendekatan Sosiologi,
pendekatan Antropologi, dan pendekatan Etnomusikologi. Teknik analisis data
menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa transformasi kesenian Gendongan Lesung
merupakan transformasi budaya sebagai bentuk pelestarian kearifan lokal (local
genius) pada suatu masyarakat dengan tujuan utama agar budaya tersebut tidak
punah tergerus arus budaya global. Kesenian Gendongan Lesung berkolaborasi
dengan kesenian Kempling Kemanak sebagai bentuk transformasinya.
Transformasi kesenian Gendongan Lesung yang dilakukan oleh Omah Alas
menganut dua jenis sistem pewarisan yakni “Vertical
Transmission” dan “Horizontal Transmission”. “Vertical Transmission”
(Pewarisan Tegak) dilakukan melalui perantara orang tua para generasi muda
Omah Alas. Pendekatan Omah Alas kepada para orang tua tersebut agar
memahamkan kepada anak-anak mereka tentang pentingnya menjaga budaya dan
kesenian warisan nenek moyang. Pada sistem pewarisan “Horizontal
Transmission” (Pewarisan Miring), Omah Alas memberikan pendidikan seni
budaya dan kesadaran akan wisata secara non formal kepada generasi muda.
Keberadaan lembaga kepemudaan seperti halnya Omah Alas Desa Wisata Kandri
membuktikan bahwa sebuah lembaga kepemudaan memiliki peranan penting
untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan lokal
tradisional, karena ia membantu menyelamatan lingkungan.
Saran penulis dalam penelitian ini adalah terus lah menjaga solidaritas serta
tingkatkan rasa cinta kesenian dan kebudayaan agar tetap lestari, terjaga sepanjang
jaman.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan skripsi yang berjudul Transformasi
Budaya Tradisi Masyarakat Agraris Pada Generasi Muda : Analisis Transformasi
Gendongan Lesung Di Desa Wisata Kandri, Kecamatan Gunung Pati, Kota
Semarang dapat terselesaikan dengan baik.
Dalam penyusunan skripsi ini peneliti mendapat bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum., Rektor Universitas Negeri Semarang yang
telah memberikan kesempatan studi di Universitas Negeri Semarang.
2. Prof. Dr. Muhammad Jazuli, M.Hum., Dekan Fakultas Bahasa dan Seni (FBS)
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan ijin penelitian.
3. Dr. Udi Utomo, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Sendratasik Universitas
Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam
penyusunan skripsi ini.
4. Dra. Siti Aesijah, M. Pd., Pembimbing yang telah memberi bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
5. Abdul Rachman, S.Pd, M.Pd., Pembimbing yang telah memberi bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
6. Muhammad Imron selaku pengasuh Omah Alas, Muhammad Wahid selaku
koordinator kesenian Gendongan Lesung, Muhammad Nur Khusaeni selaku
koordinator kesenian Kempling Kemanak, Bapak Syaeful Ansori selaku ketua
viii
Pokdarwis Pandanaran, Mbah Sakdiyah selaku pemain terdahulu kesenian
Gendongan Lesung, Bapak Agus Muryanto selaku kepala kantor kelurahan
Kandri, segenap anggota kesenian Gendongan Lesung dan kesenian Kempling
Kemanak desa wisata Kandri, yang telah membantu penulis selama penyusunan
skripsi ini.
7. Segenap dosen jurusan pendidikan Sendratasik yang telah memberikan ilmunya
kepada peneliti.
8. Segenap keluarga besar jurusan Sendratasik UNNES.
9. Semua pihak yang telah membantu peneliti tidak dapat disebutkan satu per satu.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, kritik
dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.
Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya dan bagi
dunia pendidikan pada umumnya.
Semarang, 14 Maret 2019
Peneliti
Sugeng Nur Wahyudy
NIM 2501412010
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING…......................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ iii
PERNYATAAN........................................................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN.............................................................. v
SARI.............................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR................................................................................. vii
DAFTAR ISI…............................................................................................ ix
DAFTAR BAGAN....................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN............................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah.......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................... 5
1.5 Sistematika Skripsi.................................................................................. 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI....................... 7
2.1 Kajian Pustaka......................................................................................... 7
2.2 Landasan Teori….................................................................................... 10
2.2.1 Transformasi Budaya............................................................................ 10
2.2.2 Budaya Masyarakat Agraris................................................................. 13
2.2.3 Generasi Muda...................................................................................... 17
2.2.4 Kesenian Lesung.................................................................................. 19
2.2.5 Desa Wisata.......................................................................................... 23
2.26 Tindakan Sosial..................................................................................... 27
2.3 Kerangka Berpikir................................................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN............................................................ 35
x
3.1 Metode Penelitian.................................................................................... 35
3.2 Pendekatan Penelitian.............................................................................. 35
3.3 Lokasi dan Sasaran Penelitian................................................................. 36
3.3.1 Lokasi penelitian.................................................................................. 36
3.3.2 Sasaran Penelitian................................................................................. 36
3.4 Sumber Data............................................................................................ 36
3.5 Teknik Pengumpulan Data...................................................................... 37
3.5.1 Teknik Observasi.................................................................................. 37
3.5.2 Wawancara........................................................................................... 38
3.5.3 Teknik Studi Dokumen dan Dokumentasi........................................... 41
3.6 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data..................................................... 42
3.7 Teknik Analisis Data............................................................................... 44
3.7.1 Reduksi Data........................................................................................ 45
3.7.2 Penyajian Data...................................................................................... 46
3.7.3 Menarik Kesimpulan / Verifikasi Data................................................. 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................... 48
4.1 Gambaran Umum.................................................................................... 48
4.1.1 Kondisi Geografis Lokasi Penelitian.................................................... 48
4.1.2 Latar Belakang Kondisi Sosial-Budaya................................................ 49
4.1.3 Latar Belakang Kehidupan Kesenian................................................... 51
4.1.4 Sejarah Kesenian Gendongan Lesung Desa Wisata Kandri................. 53
4.2 Transformasi Budaya Tradisi Masyarakat Agraris Pada Generasi
Muda..............................................................................................................
55
4.2.1 Sistem Peralatan dan Perlengkapan...................................................... 55
4.2.2 Sistem Mata Pencaharian Hidup.......................................................... 58
4.2.3 Sistem Kemasyarakatan........................................................................ 61
4.2.4 Bahasa................................................................................................... 64
4.2.5 Kesenian............................................................................................... 66
4.2.5.1 Musik Digunakan Sebagai Sarana Interaksi dalam Kegiatan
Transformasi Kesenian Gendongan Lesung Antar Pemain Alat Musik di
Desa Wisata Kandri.......................................................................................
69
xi
4.2.6 Sistem Pengetahuan.............................................................................. 82
4.2.7 Sistem Religi........................................................................................ 85
BAB V PENUTUP....................................................................................... 88
5.1. Simpulan................................................................................................. 88
5.2. Saran....................................................................................................... 89
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 90
LAMPIRAN................................................................................................. 96
xii
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1. Kerangka Berfikir.............................................................. 34
Bagan 2. Analisis Data Kualitatif Menurut Miles dan Huberman.... 47
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1. Generasi Muda Omah Alas bergotong royong
membuat tempat latihan baru kesenian Gendongan Lesung............
50
Gambar 4.2. Kesenian Gendongan Lesung berkolaborasi dengan
Kesenian Kempling Kemanak dan digunakan sebagai sebuah paket
wisata di desa wisata Kandri sebagai bentuk
transformasinya.................................................................................
67
Gambar 4.3. Para pemain alat musik sedang mempersiapkan alat
yang akan dimainkan pada saat latihan............................................
71
Gambar 4.4. Para pemain alat musik Lesung dibandingkan dengan
pemain biasanya (laki-laki), beberapa pemain sudah bergantian
(wanita) dalam memainkan alat musik Lesung................................
75
Gambar 4.5. Pada saat latihan, pemain Lesung saling memberikan
masukan ketika ada pemain lain yang kehilangan konsentrasi........
77
Gambar 4.6.. Para anggota diam dan memperhatikan ketika ada
yang sedang memimpin berbicara, atau yang sedang
mengarahkan, memberi masukan dalam kegiatan transformasi
kesenian Gendongan Lesung............................................................
79
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Glosarium….................................................................. 97
Lampiran 2 SK Dosen Pembimbing…............................................. 101
Lampiran 3 Surat Permohonan Izin Penelitian................................. 102
Lampiran 4 Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian........ 103
Lampiran 5 Transkrip Wawancara.................................................... 104
Lampiran 6 Biodata Narasumber...................................................... 131
Lampiran 7 Dokumentasi.................................................................. 134
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia mempunyai beragam kesenian tradisional yang
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan masyarakat.
Kesenian tradisional lahir dan berkembang sesuai kebudayaan dan adat istiadat
masyarakat Indonesia. Bermacam-macam suku, adat, dan budaya masyarakat
Indonesia menjadikan Indonesia kaya akan karya seni terutama kesenian
tradisional yang berbeda-beda di setiap daerahnya.
Salah satu jenis seni bebunyian yang dianggap tua dan masih bertahan
sampai sekarang di Jawa adalah Gendongan Lesung. Lesung merupakan alat
untuk menumbuk padi yang digunakan oleh masyarakat agraris di pelosok
pedesaan. Lesung sendiri sebenarnya hanya wadah cekung, terbuat dari kayu
besar yang dibuang bagian dalamnya. Dahulu kala konon alat pengolah padi ini
menjadi alat musik yang merupakan hiburan para petani ketika selesai menumbuk
padi di Lesung, mereka kemudian bernyanyi dengan iringan ketukan alu
(penumbuk padi) ke Lesung kosong (Aesijah, 2011).
Kota Semarang sebagai ibu kota provinsi Jawa Tengah saat ini sedang
gencar mempromosikan potensi pariwisata yang ada. Salah satu potensi pariwisata
yang dimiliki kota semarang adalah desa wisata Kandri. Desa wisata Kandri
memiliki berbagai keunikan dan potensi wisata yang menarik minat wisatawan
seperti wisata Gua kreo, wisata Outbond, adanya berbagai macam home industry
seperti pengrajin souvenir untuk buah tangan wisatawan, budidaya ikan, industri
tape dan banyak potensi adat dan budaya yang bisa dinikmati salah satunya yaitu
2
kesenian Gendongan Lesung. Kesenian yang dianggap tua dan masih bertahan
sampai sekarang di Jawa ini bisa ditemukan di desa wisata Kandri (Rahmad
Safitra & Yusman, 2014).
Pemain Lesung ibu-ibu separuh baya mampu memainkan Lesung yang
menghadirkan irama musik khas tradisional yang indah didengar. Meskipun tanpa
syair, irama musiknya bisa membuat hanyut dalam suasana tempo dulu.
Menggunakan alat musik seadanya, ibu-ibu separuh baya ini mampu memainkan
irama musik seperti lagu Kucing Loncat, Kothek Loro Gendhong Loro, dan
Samaela. Setiap kali acara penting di desa wisata Kandri mereka selalu tampil.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pandanaran, tokoh masyarakat
desa wisata Kandri yaitu Bapak Syaeful Ansori mengatakan mereka tergabung
dalam grup Samaela yang dibentuk di bawah Pokdarwis Pandanaran. (Sumber :
Wawancara dengan Bapak Syaeful Ansori pada tangggal 16 November 2018).
Grup ini didirikan sejak 2012 setelah desa wisata Kandri ditetapkan sebagai
klaster desa wisata berbasis daya tarik alam dan budaya.
Grup ini didirikan sebagai salah satu langkah melestarikan kearifan budaya
lokal. Mereka sengaja dibentuk grup di samping melestarikan budaya lokal juga
untuk mendukung potensi yang mereka miliki. Ibu-ibu ini sudah memiliki
keterampilan bermain musik dengan alat lesung dan alu sudah sejak kecil. Mereka
sering membantu ibunya menumbuk padi dengan alat lesung dan alu. (Sumber :
Wawancara dengan Bapak Syaeful Ansori pada tangggal 16 November 2018).
Permainan Lesung ini dipertunjukkan setiap ada acara penting di desa wisata
Kandri dan ketika diundang untuk mengisi acara di luar Kandri. Kesenian
3
tradisional ini diharapkan terus hidup di tengah-tengah masyarakat modern dan
sekaligus menjadi upaya menjaga kelestarian, menggugah kesadaran masyarakat
tentang pentingnya kesenian tradisional serta upaya untuk tumbuh regenerasi
baru. Pertunjukan permainan Lesung itu termasuk upaya promosi destinasi wisata
di Kota Semarang. Melalui wisatawan yang berkunjung, dengan citra positif yang
diperoleh dari hasil kunjungan akan menjadi ajang promosi dari mulut ke mulut
sekaligus memperkenalkan budaya setempat yang ada, tandasnya. (Sumber :
Wawancara dengan Bapak Syaeful Ansori pada tangggal 16 November 2018).
Akhir-akhir ini perkembangan teknologi dan zaman yang menjadi
penyebab perlahan-lahan seni ini hampir tidak diminati lagi orang-orang tua
apalagi kaum muda di RW 2 desa wisata Kandri. Para remaja masih minim minat
untuk menekuni kesenian ini. Padahal, kesenian ini semestinya dijaga oleh
generasi muda, apalagi pemain asli Gendongan Lesung sudah menua bahkan
sudah ada beberapa yang meninggal dunia. Melestarikan kesenian tradisional
yang nyaris punah ini penting. Melestarikan sebuah seni itu sama saja mengabdi
atau berusaha mengangkat budaya ataupun seni yang menjadi aset penting bangsa,
dengan begitu apa yang menjadi milik kita tetap ada dan tidak diakui oleh bangsa
lain. Sangat disayangkan jika budaya-budaya leluhur kita yang mempunyai makna
positif ini akan punah tergerus oleh perkembangan zaman dan teknologi sekarang
ini. Hingga 10-20 tahun mendatang Gendongan Lesung itu hanya akan menjadi
sebuah cerita rakyat saja jika tidak segera diselamatkan oleh generasi muda atau
generasi penerus. (Sumber : Wawancara dengan Bapak Syaeful Ansori pada
tangggal 16 November 2018).
4
Merujuk adanya fenomena tersebut, Kandri sebagai Desa Wisata berupaya
melestarikan kebudayaan sekaligus kesenian Gendongan Lesung yang sangat
berharga dan hampir punah ini. Kegiatan ini mendapatkan dukungan baik dari
masyarakat RW 1 desa wisata Kandri dan dipelopori oleh Omah Alas desa wisata
Kandri. Omah Alas adalah tempat untuk memperkenalkan budaya Jawa atau
nguri-nguri budaya Jawa. Omah Alas mempunyai tujuan agar masyarakat luas
mengetahui dan selalu berupaya melestarikan budaya yang ada. (Sumber :
Wawancara dengan Bapak Syaeful Ansori pada tangggal 16 November 2018).
Melalui perkumpulan pemuda di Omah Alas, kesenian tradisional
Gendongan Lesung yang menjadi aset penting desa wisata Kandri perlahan-lahan
dapat dilestarikan dan penyajiannya lebih bervariatif dari musik Gendongan
Lesung terdahulu. (Sumber : Wawancara dengan Bapak Syaeful Ansori pada
tangggal 16 November 2018). Berdasarkan fenomena tersebut, yakni desa wisata
Kandri yang merupakan salah satu destinasi wisata di Kota Semarang, mempunyai
banyak potensi wisata alam, adat dan budaya, salah satunya kesenian Gendongan
Lesung. Perlahan-lahan kesenian tradisonal ini hampir punah. Sebagai pelopor,
generasi muda Omah Alas desa wisata Kandri dapat melestarikan dan kesenian
tradisional Gendongan Lesung yang menjadi aset penting untuk desa wisata
Kandri penyajiannya lebih bervariatif dari musik Gendongan Lesung aslinya,
maka peneliti tertarik untuk mengangkat judul "TRANSFORMASI BUDAYA
TRADISI MASYARAKAT AGRARIS PADA GENERASI MUDA : ANALISIS
TRANSFORMASI GENDONGAN LESUNG DI DESA WISATA KANDRI,
KECAMATAN GUNUNG PATI, KOTA SEMARANG".
5
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka permasalahan pokok yang akan
dikaji adalah bagaimanakah transformasi kesenian Gendongan Lesung pada
generasi muda di desa wisata Kandri?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui dan menganalisis transformasi kesenian Gendongan Lesung
pada generasi muda di desa wisata yaitu desa wisata Kandri.
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, hasil penelitian diharapkan dapat
bermanfaat sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoretis
1.4.1.1 Sebagai bahan referensi untuk penelitian lebih lanjut tentang kesenian
tradisional Gendongan Lesung yang ada di desa wisata Kandri.
1.4.1.2 Sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga perguruan tinggi UNNES
khususnya mahasiswa jurusan pendidikan Sendratasik dalam hal penelitian
serta dapat menambah pemahaman mengenai kesenian Gendongan
Lesung.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1Menambah kecintaan generasi muda umumnya terhadap kesenian
tradisional masyarakat agraris terutama kesenian Gendongan Lesung.
1.4.2.2Memberikan motivasi khususnya kepada generasi muda pelaku kelompok
kesenian tradisional Gendongan Lesung yang ada di desa wisata Kandri,
kecamatan Gunung Pati, kota Semarang.
6
1.5 Sistematika Skripsi
Penelitian skripsi terbagi dalam tiga bagian diantaranya sebagai berikut:
1.5.1 Bagian awal skripsi berisi halaman sampul, halaman pengesahan, halaman
pernyataan, halaman moto, dan persembahan, sari, halaman kata pengantar,
halaman daftar isi, daftar tabel, daftar bagan, daftar gambar dan daftar lampiran.
1.5.2 Bagian isi skripsi terbagi atas 5 bab yaitu:
BAB I merupakan Pendahuluan, pada bab ini diuraikan latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika skripsi.
BAB II merupakan Kajian Pustaka, Landasan Teori, dan Kerangka Berpikir.
BAB III merupakan Metode Penelitian, berisi tentang metode penelitian,
pendekatan penelitian, lokasi dan sasaran penelitian, sumber data, teknik
pengumpulan data, teknik keabsahan data dan teknik analisis data.
BAB IV adalah Hasil Penelitian dan Pembahasan, bab ini berisi tentang hasil
penelitian dan pembahasan atas masalah yang telah dirumuskan pada bab
pendahuluan secara jelas, sistematis dan tuntas.
BAB V merupakan Kesimpulan dan Saran. Ini Merupakan bab terakhir yang
memuat tentang simpulan dan saran dari penulis.
1.5.3 Bagian Akhir Skripsi
Bagian akhir penelitian ini berisi daftar pustaka yang digunakan untuk landasan
teori, dan lampiran lampiran terkait penelitian ini. Lampiran dipakai untuk
mendapatkan data dan keterangan yang melengkapi uraian skripsi.
7
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1 Kajian Pustaka
Banyak karya skripsi yang mengambil topik transformasi atau pelestarian
dan topik musik tradisional Lesung. Beberapa diantaranya penelitian ini
mempunyai persamaan dan perbedaan dengan hasil penelitian sebelumnya, yang
pertama yaitu dari (Aesijah, 2011), yang berjudul “Makna Simbolik dan Ekspresi
Musik Kotekan”. Musik Kotekan adalah musik tradisional yang ada di desa Ledok
Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Kesenian Kotekan adalah kesenian yang berawal
dari kegiatan panen petani padi masyarakat desa Ledok untuk mengusir rasa lelah
dan ngantuk pada saat mengolah padi. Permainan musik kotekan di desa Ledok
dimainkan oleh 3 hingga 4 orang. Pola ritme permainan dengan menggabungkan
tugas antara lain thintil (arang loro), arang (arang siji), kerep, dhundhung dan
ghendong.
Penelitian diatas lebih berfokus pada makna simbolik dan ekspresi estetik.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu
sama-sama meneliti kesenian tradisional Lesung. Penelitian yang peneliti lakukan
yaitu “Transformasi Budaya Tradisi Masyarakat Agraris pada Generasi Muda :
Analisis Transformasi Gendongan Lesung di desa wisata Kandri, Kecamatan
Gunung Pati, Kota Semarang” memiliki beberapa perbedaan, diantaranya yakni
jumlah pemain, nama kesenian, tempat penelitian yang peneliti lakukan yaitu di
desa wisata, dan topik yang dibahas juga berbeda. Jika pada penelitian yang
diteliti oleh Siti Aesijah mengangkat topik permasalahan mengulas dan lebih
8
berfokus pada makna simbolik dan ekspresi estetik, sedangkan pada penelitian
yang peneliti lakukan mengambil topik permasalahan tentang transformasi
Gendongan Lesung terhadap generasi muda di desa yang mempunyai klaster desa
wisata yaitu desa wisata Kandri, Kota Semarang.
Penelitian yang kedua yaitu penelitian oleh (Hanif, 2017) dengan judul
“Kesenian Ledug Kabupaten Magetan (Studi Nilai Simbolik dan Sumber
Ketahanan Budaya)”. Kesenian Ledug merupakan seni musik yang mempadu-
padankan suara Lesung dan Bedug sebagai instrumen utama. Kesenian ini sebagai
pengharmonian budaya Jawa (Lesung) dan Islam (Bedug) dan bersifat adaptif.
Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan
nilai simbolik kesenian Ledug Kabupaten Magetan dan potensinya yang dapat
dijadikan sebagai sumber membangun ketahanan budaya. Penelitian ini memiliki
kesamaan dengan penelitian yang peneliti lakukan yaitu sama-sama meneliti
kesenian tradisional di Jawa yaitu Lesung, namun mempunyai perbedaan dalam
segi nama kesenian. Jika di Kabupaten Magetan, Propinsi Jawa Timur adalah
kesenian Ledug pengharmonian budaya Jawa (Lesung) dan Islam (Bedug), di desa
wisata Kandri, Kota Semarang, Propinsi Jawa Tengah adalah kesenian
Gendongan Lesung. Topik yang dibahas juga berbeda. Jika pada penelitian yang
diteliti oleh Muhammad Hanif mengangkat topik permasalahan menganalisis dan
mendeskripsikan nilai simbolik kesenian Ledug Kabupaten Magetan dan
potensinya yang dapat dijadikan sebagai sumber membangun ketahanan budaya,
sedangkan pada penelitian yang peneliti lakukan mengambil topik permasalahan
tentang transformasi Gendongan Lesung terhadap generasi muda di desa wisata.
9
Selanjutnya yaitu penelitian yang ketiga dilakukan oleh (Emri, 2016)
dengan judul “Lasuang Sebagai Sumber Penciptaan Tari Modern Lasuang
Tatingga di Sumatera Barat”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan
Lasuang atau Lesung sebagai sumber penciptaan tari modern yang bernama
Lasuang Tatingga di Sumatera Barat. Setiap peristiwa budaya yang ada dalam
cerita rakyat Minangkabau, banyak ditemukan aktifitas masyarakat yang
berhubungan dengan Lesung. Setiap aktifitas tersebut selalu menghadirkan cerita-
cerita yang menarik. Kondisi tersebut menimbulkan keinginan untuk menciptakan
seni tari yang berangkat dari fenomena Lesung tersebut. Fenomena Lesung yang
dijadikan dasar penciptaan seni tari adalah fenomena yang berhubungan dengan
kebudayaan Minangkabau pada masa lalu.
Karya tari yang berangkat dari Lasuang ini merupakan sebuah tari yang
tidak menggelarkan sebuah cerita. Tari ini hanya menggambarkan sebuah suasana
para ibu-ibu yang sedang bekerja, bercerita, dan bersenda gurau di Lasuang.
Lasuang Tatingga adalah judul yang diberikan untuk karya tari ini. Lasuang
berarti lesung, sedangkan Tatingga berarti tertinggal karena perubahan zaman dan
budaya. Lasuang Tatingga diartikan sebagai akibat dari perkembangan teknologi,
yang menyebabkan ibu-ibu lebih suka terhadap hal-hal yang bersifat praktis.
Penelitian tersebut mempunyai kesamaan dengan penelitian dari peneliti
yaitu sama-sama meneliti kesenian Lesung yang juga memiliki fungsi yang sama
dulunya yaitu untuk mengolah padi. Namun penelitian tersebut mempunyai
perbedaan dengan penelitian dari peneliti. Beberapa perbedaan diantaranya adalah
dalam penamaan alat Lesung. Di Minangkabau Lesung biasa disebut dengan
10
istilah Lasuang, jika di desa wisata Kandri dinamakan Lesung dan keseniannya
diberi nama Gendongan Lesung. Penelitian tersebut berfokus pada kesenian
Lasuang sebagai dasar sumber penciptaan seni tari modern bernama Lasuang
Tatingga di Sumatera Barat, tetapi penelitian dari peneliti berfokus pada
transformasi kesenian Lesung pada generasi muda yang ada di desa wisata yaitu
desa wisata Kandri, Kota Semarang, propinsi Jawa Tengah.
2.2 Landasan Teori
2.2.1 Transformasi Budaya
Kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat berharga perlu dipertahankan.
Namun, dalam mempertahankan kebudayaan segala sesuatunya membutuhkan
perubahan yang sebaiknya mengkuti perkembangan zaman. Karena sesuatu yang
terus berubah dan berkembanglah yang akan mampu bertahan. Maka, solusinya
adalah transformasi budaya mendesak untuk segera dilakukan.
Puspitasari, Sabana, & Ahmad (2016) menyatakan bahwa budaya sudah
pasti bergerak, berinteraksi, bertentangan, dan bertukar dengan budaya lain. Hasbi
(2017) berpendapat bahwa transformasi merupakan perpindahan atau pergeseran
suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung di
dalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan.
Kerangka transformasi budaya adalah struktur dan kultur. Transformasi budaya
tersebut merupakan bentuk pelestarian kearifan lokal (local genius) pada suatu
masyarakat tertentu dengan tujuan utama agar budaya tersebut tidak punah
digerus arus budaya global. Sartini (2004) Local Genius adalah ide-ide lokal yang
ditandai seperti: bijak, penuh kebijakn, nilai-nilai baik, yang ditanam dan diikuti
11
masyarakat. Local Genius mjuncul ke dalam nilai, norma, iman, adat, dan lain-
lain. Ambarwangi (2014) kearifan lokal sering disebut local genius dapat
dipahami sebagai upaya manusia menggunakan kecerdasannya untuk bertindak
dan berperilaku terhadap benda-benda objek atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang yang diberikan.
Ismawati (2013) transformasi budaya secara teoretis diartikan sebagai
suatu proses dialog yang terus-menerus antara kebudayaan lokal, kebudayaan
donor, sampai tahap tertentu membentuk proses sintesa dengan berbagai wujud
yang akan melahirkan format akhir budaya yang mantap. Proses dialog, sintesa,
dan bentuk format akhir tersebut didahului oleh proses inkulturisasi dan
akulturasi. Siegel (1996) transformasi budaya adalah satu generasi mentrasfer
budaya ke generasi berikutnya tanpa generasi sumber kehilangan budaya setelah
berhasil mentransfer budaya tersebut ke generasi target. Jazuli (2011) menyatakan
bahwa transformasi atau pewarisan merupakan transfer of knowlwdge karena pada
prinsipnya mencakup proses pengalihan kompetensi dari generasi awal ke
generasi berikutnya. Wahyudi (2013) menyatakan bahwa transformasi adalah
perubahan dengan menjaga kontinuitas konsep terdahulu. Mellou (2006)
menyatakan bahwa transformasi dapat dilihat sebagai pengembangan asimilasi
dan akomodasi. Transformasi mengandung sebuah fenomena timbal balik antara
individu dan budayanya.
Darma (2011) menjelaskan bahwa pelestarian seni budaya berbasis
kearifan lokal dimaknai sebagai usaha pemeliharaan dan pengembangan seni
budaya tradisi masyarakat pendukungnya. Cahyono (2006) menjelaskan
12
pewarisan atau transmisi nilai budaya adalah hal yang ditradisikan secara turun
temurun, walaupun seringkali sulit untuk durunut pangkal mulanya. Strategi
transformasi budaya dapat dilakukan menggunakan sistem pewarisan. Rochmat
(2013) mengemukakan terdapat dua jenis sistem pewarisan yakni “Vertical
Transmission” dan “Horizontal Transmission”. “Vertical Transmission”
(Pewarisan Tegak) ialah sistem pewarisan yang berlangsung melalui mekanisme
genetik yang diturunkan dari waktu ke waktu secara lintas generasi yakni
melibatkan penurunan ciri-ciri budaya dari orang tua kepada anak-cucu. Dalam
pewarisan tegak, orang tua mewariskan nilai, keterampilan, keyakinan, motif
budaya, dan sebagainya kepada anak-cucu mereka. Oleh karena itu pewarisan
tegak disebut juga “Biological Transmission” yakni sistem pewarisan yang
bersifat biologis. “Horizontal Transmission” (Pewarisan Miring) ialah sistem
pewarisan yang berlangsung melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti
sekolah-sekolah atau sanggar-sanggar. “Horizontal Transmission” terjadi ketika
seseorang belajar dari orang dewasa atau lembaga-lembaga (misalnya dalam
pendidikan formal) tanpa memandang apakah hal itu terjadi dalam budaya sendiri
atau dari budaya lain.
Mismada (2013) berkaitan kebudayaan, kesenian merupakan salah satu
unsur atau elemen kebudayaan yang harus tetap dilestarikan keberadaanya, karena
sebagai bentuk aktivitas seni budaya, kesenian mempunyai nilai yang sangat
tinggi yang harus dilestarikan demi lestarinya budaya bangsa. Aesijah (2011)
menyatakan bahwa musik tradisional pada saat ini makin hari makin menyusut,
kepunahan seni musik tradisi dalam era transformasi budaya dari masyarakat
13
agraris ke semi industrial terutama akibat minimnya kesempatan genre ini untuk
eksis menjadi bagian yang dulu seolah tak terpisahkan dari masyarakat
pendukungnya.
Menurut Rahman Azahari (2016) fpelaku eksternal yang menjadi
penghambat dalam upaya pelestarian budaya tradisi adalah kurangnya sosialisasi
dan mediasi baik itu dari pihak yang bertanggung jawab menangani masalah
tersebut maupun media massa dan media sosial sebagai sarana public relations
yang menjembatani informasi kepada masyarakat. Selain itu, peran masyarakat
juga cukup penting untuk mengajarkan pada generasi muda agar memiliki
keahlian untuk melestarikan budaya yang dimilikinya. Namun, realisasi di
lapangan hal tersebut tidak terlaksana sehingga generasi muda tidak peduli dengan
eksistensi budayanya sendiri. Upaya pelestarian budaya tradisi mampu berjalan
baik jika semua pihak ikut serta mengawal bahkan menjadi pelaksana. Hanif
(2017) ketahanan budaya berkaitan erat dengan proses transformasi nilai-nilai
yang telah teruji pada jamannya dan prospektus diwariskan kepada berikutnya
sebagai bekal membangun dirinya dan bersama-sama dengan sesamanya
membangun masyarakat dan bangsa.
2.2.2 Budaya Masyarakat Agraris
Wuryani & Purwiyastuti (2012) kata kebudayaan berasal dari kata
Sanskerta “buddayah”, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal.
Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan akal. Namun adapula yang mengartikan kebudayaan sebagai hasil cipta,
karsa dan rasa. Sunarto (2007) Budaya adalah merupakan sebagai cara hidup
14
sebuah masyarakat secara keseluruhan. Merujuk pada unsur budaya yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1991), maka ada tujuh unsur budaya, yakni
sistem peralatan dan perlsengkapan hidup, sistem mata pencaharian hidup,
sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, sistem religi.
Aesijah (2011) menyatakan bahwa masyarakat agraris adalah masyarakat
yang bermata pencarian pertanian biasanya hidup di daerah-daerah yang subur.
Menurut Boga Andri (2016) pada masyarakat dengan sistem perekonomian yang
agraris, keluarga dan rumah tangga merupakan produksi, konsumsi, reproduksi
serta interaksi sosial-ekonomi. Petani adalah manusia biasa seperti manusia pada
umumnya. Mereka hidup dan berkembang di tengah-tengah kehidupan
masyarakat umum. Mereka juga bekerja mencari nafkah untuk keluarga, bersosial
seperti pada umumnya, dan juga beragama. Sebagai manusia yang mempunyai
potensi, akal, dan perasaan, mereka menciptakan dan dibentuk oleh
kebudayaannya. Umam (2015) menyatakan bahwa hingga memasuki masa panen
padi, masyarakat Agraris melakukan tradisi ritual yang di lakukan secara
komunal, yaitu mapag sri. “Mapag” dalam bahasa Indonesia berarti menjemput.
“Sri” adalah dewi padi yang disimbolkan oleh masyarakat sebagai tanaman padi.
Jadi mapag sri adalah ritual yang sengaja diadakan secara bersama-sama oleh
masyarakat dengan tujuan memohon agar hasil panennya dapat maksimal. Umam
(2015) berpendapat bahwa agama dalam kebudayaan sebuah masyarakat memiliki
peran yang sangatlah penting. Agama dapat mempengaruhi setiap kebudayaan dan
tradisi yang mengakar di masayarakat.
15
Perjalanan budaya masyarakat agraris, terdapat fpelaku-fpelaku yang
mempengaruhi budaya masyarakat agraris. Beberapa diantaranya yaitu:
1. Boga Andri (2016) Perubahan penggunaan lahan pertanian ke penggunaan non
pertanian akan menyebabkan hilangnya kelembagaan tradisional. Pada
masyarakat pedesaan agraris yang mata pencahariannya tergantung pada lahan
pertanian, tumbuh berbagai kelembagaan tradisional dan itu semua akan hilang
bersama perubahan penggunaan lahan yang terjadi.
2. Menurut Boga Andri (2016) apabila tanah pertanian sudah tidak ada (tidak
mampu) memberi pekerjaan bagi masyarakat setempat, mereka akan memberikan
reaksi terhadap lingkungan untuk mencari jenis pekerjaan di sektor non pertanian.
Penyebab itu juga akan sangat berpengaruh dalam budaya yang ada dalam
masyarakat agraris itu. Karena kebudayaan masyarakat agraris itu terbentuk dari
kebiasaan mereka dalam bertani.
3. Hilangnya lahan pertanian maka hilang kelembagaan ekonomi tradisional dan
sistim sosial yang telah lama hidup dalam masyarakat agraris (Boga Andri, 2016).
4. Globalisasi, selain menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan alam
(ekologis), globalisasi telah menimbulkan efek samping lain yang tidak
diharapkan berupa pengikisan nilai-nilai luhur budaya bangsa, digantikan dengan
budaya asing yang seringkali bertentangan dengan budaya yang dianut (Effendi S,
2011).
Budaya masyarakat agraris juga mempunyai keunggulan. Beberapa
diantaranya yaitu:
1. Effendi S (2011) “Sistem budaya lokal merupakan modal sosial (social capital)
16
yang besar, telah tumbuh-berkembang secara turun-temurun yang hingga kini kuat
berurat-berakar di masyarakat”.
2. Effendi S (2011) penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi)
kearifan-kearifan lokal tradisional, karena membantu menyelamatan lingkungan.
3. Saling bahu membahu, bergotong royong, dengan rasa ikhlas tanpa imbalan,
hanya sekedar makan itupun kalau ada, seperti mendirikan rumah, ada hajatan,
kerja bakti lingkungan, semua itu tidak ada rasa terpaksa tetapi dikerjakan dengan
rasa ikhlas dan tanggung jawab merupakan budaya petani (Emri, 2016).
Keberadaan adanya keunggulan dalam masyarakat agraris, terdapat juga
kelemahan dalam masyarakat agraris. Mata pencaharian masyarakat agraris sangat
bertumpu pada hasil pertanian mereka. Beberapa dekade terakhir ini, konversi
lahan pertanian untuk berbagai bermacam kegiatan non pertanian semakin
bertambah banyak. Menurut Boga Andri (2016) alih fungsi lahan ini merugikan
karena: (1) mengurangi potensi memproduksi beras nasional, (2) menyulitkan
tenaga kerja di sektor pertanian, (3) mendorong terjadinya urbanisasi. Ketika
keberadan mata pencaharian masyarakat agraris terganggu, maka kondisi ini
berakibat terjadinya proses perubahan sosial yang ada di masyarakat, baik
terhadap stuktur maupun orientasi nilai budaya. Soemardjan dalam Boga Andri
(2016) menyatakan pendapatnya bahwa perubahan sosial adalah segala bentuk
perubahan yang ada pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu
masyarakat, yang sangat mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya
ada nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku diantara kelompok-kelompok
yang ada di dalam masyarakat itu.
17
2.2.3 Generasi Muda
Patria Rori (2015) Masa remaja telah didefinisikan oleh beberapa ahli.
Masa remaja secara psikologi merupakan masa peralihan dari masa anak–anak ke
masa dewasa, pada masa remaja terjadi kematangan secara kognitif yaitu interaksi
dari struktur otak yang telah sempurna dan lingkungan sosial yang semakin luas
yang memungkinkan remaja untuk berfikir abstrak. Patria Rori (2015) Klasifikasi
remaja menurut umur meliputi remaja awal yaitu 12-15 tahun, remaja madya 15-
18 tahun dan remaja akhir 19-22 tahun. Analisis cermat mengenai semua aspek
perkembangan masa remaja yang secara global berlangsung antara umur 12 dan
21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa
remaja pertengahan, 18-21 tahun masa remaja akhir, akan mengemukakan banyak
fpelaku yang masing-masing perlu mendapat tinjauan tersendiri.
Kresna (2013) generasi muda Indonesia saat ini adalah generasi yang lahir
dan besar di era digital. Kresna (2013) terhadap remaja atau generasi muda,
keberadaan lembaga kepemudaan bukan hanya sekedar simbol kepedulian semata,
tetapi dapat memberikan nuansa khusus dan senantiasa memunculkan warna
tersendiri di lingkungan masyarakat. Effendi S (2011) Salah satu fpelaku yang
berpengaruh terhadap generasi muda adalah nilai-nilai yang lahir pada masa lalu.
Masa lalu adalah sebuah mata rantai kehidupan umat manusia yang tidak mungkin
diabaikan. Masa lalu adalah bagian penting dari perjalanan waktu manusia dan
memiliki pengaruh kuat terhadap kejadian masa kini dan masa yang akan datang.
Nilai-nilai yang lahir pada masa lalu adalah hal yang berharga untuk diwariskan
kepada generasi muda.
18
Suprapto & Kariadi (2018) menyatakan pendapatnya bahwa generasi
muda punya peranan penting dalam pembangunan suatu negara. Maju dan
mundurnya sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari keberadaan pemuda
termasuk dalam konteks ini adalah keberadaan keseniaan di negeri ini. Kesenian
di Indonesia banyak yang mengalami kepunahan dan hal ini disinyalir akan terus
berlanjut sampai detik ini. Karena itu, sangat diperlukan peran serta pemuda agar
kesenian daerah tidak mengalami kepunahan. Pelibatan pemuda dalam konteks ini
dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan.
Menurut Effendi S., (2011) menyatakan pendapatnya bahwa kekaguman
generasi muda terhadap budaya Barat terlihat dari berbagai bentuk imitasi yang
dilakukan mulai dari cara berpakaian hingga pola tingkah laku yang sudah
mendekati tradisi Barat tetapi sering mengabaikan makna yang terkandung di
dalamnya. Hal ini merupakan bentuk ketidakmampuan individu masyarakat
menghadapi dinamika sosial-budaya melalui proses belajar dari budaya asing baik
akulturasi maupun asimilasi. Paramita (2016) menyatakan pendapatnya bahwa
masalah generasi muda yaitu sering kali tidak memanfaatkan peluang untuk
melakukan entrepreneurship dalam new media, kurangnya kesadaran akan
entrepreneurship dalam new media. Generasi muda biasanya hanya tertarik
dengan social media. Sehingga generasi muda mudah dipengaruhi berbagai pihak
tanpa disadarinya, dan minat entrepreneurship cenderung masih rendah. Paramita
(2016) menyatakan pendapatnya bahwa generasi muda merupakan generasi
penerus bangsa yang harusnya kreatif dan berinovasi dalam menyambut dan ikut
serta dalam industri pasar global.
19
2.2.4 Kesenian Lesung
Hasan (2015) seni adalah salah satu sistem budaya universal yang ada di
masyarakat dunia. Salah satu jenis seni yang memegang peranan penting dalam
masyarakat adalah seni tradisional. Dari prespektif sejarah, seni tradisional adalah
sumber sejarah kritis yang mengandung keberlanjutan, dinamika, dan identitas
pemilik. Sementara itu, kesenian tradisional secara budaya menjadi metode
mentransmisikan nilai lintas generasi. Seni tradisional adalah seni yang hidup
secara turun-temurun di dalam masyarakat. Mereka adalah karya manusia
termasuk pola pikir mereka baik secara pribadi maupun kolektif. Subuh (2016)
seni pada dasarnya merupakan hasil kerja kolektif yang dalam
penciptaan/pengungkapannya melibatkan orang lain. Dalam melakukan proses
kreatifnya seorang seniman akan berkomunikasi dan beriteraksi dengan orang lain
di luar dirinya. Sutrisno (2011) seni tradsional adalah bentuk seni dalam
kenikmatan landskap (landscape) yang agraris dan feodal, yakni mengabdi kepada
harmoni serta keseimbangan abadi dari sang kosmos. Julia & Supriyadi (2017)
menyatakan bahwa setiap seni lokal memiliki karakteristik sendiri yang dapat
dibedakan dengan jenis seni yang lainnya.
Tarwiyah & Sam (2010) Musik ialah ungkapan rasa indah manusia dalam
bentuk suatu konsep pemikiran yang bulat, dalam wujud nadanada atau bunyi
lainnya yang mengandung ritme dan harmoni. Di samping itu musik mempunyai
suatu bentuk dalam ruang dan waktu yang dikenal oleh diri sendiri dan manusia
lain dalam lingkungan hidupnya, sehingga dapat dimengerti dan dinikmatinya.
Mistortoify, Haryono, Simatupang, & Ganap (2010) musik tidak dapat
20
berkembang jika tanpa asosiasi makna diantara masyarakatnya. Oleh karenanya,
musik memiliki hubungan mendalam dengan perasaan dan pengalaman
masyarakatnya. Utomo & Syah Sinaga (2009) Pendidikan seni musik dengan
pendekatan seni budaya merupakan suatu alternatif solusi dan antisipasi pada
persaingan global yang kompetitif. Ganap (2012) mengatakan bahwa pada
dasarnya musik non-klasik adalah bagian dari musik industri yang produknya
berorientasi pada pasar.
Menurut Aesijah (2011) alat untuk membantu petani dalam mengolah
hasil panen khususnya padi sebagai makanan pokok masyarakat yaitu lesung.
Suprapto & Kariadi (2018) jaman dulu baik lesung dan alu memiliki posisi tawar
utama dalam sistem pengolahan hasil tanaman padi. Padi jaman itu dirontokkan
dengan memasukkannya ke dalam lesung kemudian di tumbuk menggunakan alu.
Potret penggunaan lesung dan alu ini dilakukan karena keterbatasan teknologi
pertanian masyarakat saat itu. Menurut Suharto & Aesijah (2014) musik lesung
adalah musik tradisional dengan instrumen atau alat musik alu dan lesung. Pada
awalnya, kesenian tradisional ini tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat agraris karena sebagian besar orang mengandalkan pertanian untuk
hidup.
Aesijah (2011) menyatakan bahwa mula-mula lesung digunakan sebagai
alat penghibur dikala menumbuk padi, kemudian sebagai penanda saat ada bahaya
antara lain bencana alam- gerhana, sebagai penanda berkumpul bagi masyarakat
pada saat ada upacara panen padi, perhelatan, bersih desa. Menurut Emri (2016)
mengenang masa lalu, lesung merupakan salah satu tempat untuk bermain dengan
21
sesama, lesung juga tempat mendapatkan pengalaman untuk hidup di masa
mendatang. Seorang ibu tidak hanya memberikan nasehat ketika berada di rumah
saja, namun si anak juga biasa mendapatkan petuah-petuah ini disaat berada di
lokasi lesung. Aesijah (2011) yang menyatakan bahwa musik kotekan adalah
sebuah permainan musik yang menggunakan instrumen pokok alu dan lesung dari
suara yang terdengar kotekan itulah asal mula kata kotekan. Suprapto & Kariadi
(2018) kesenian rakyat ini berasal dari suara alu yang dipukul-pukulkan secara
teratur pada kayu besar yang dibuat seperti perahu yang disebut lesung. Pada
umumnya, lesung dibuat dari kayu nangka atau munggur. Suprapto & Kariadi
(2018) bahwa kesenian rakyat ini berasal dari suara alu yang dipukul-pukulkan
secara teratur pada kayu besar yang dibuat seperti perahu yang disebut lesung.
Pada umumnya, lesung dibuat dari kayu nangka atau munggur.
Suprapto & Kariadi (2018) dewasa ini kesenian lesung mulai ditinggalkan
pencintanya karena kalah bersaing dengan kesenian modern. Aesijah (2011)
generasi muda meninggalkan musik tradisional yang dimiliki nenek moyangnya
karena mereka kurang memahami tentang musik tradisional tersebut, terutama
makna yang terkandung dalam musik tradisi. Mereka menganggap musik
tradisional adalah musik kuno atau musik terbelakang yang tidak sesuai dengan
selera. Suprapto & Kariadi (2018) perkembangan teknologi pun ternyata turut
berdampak pada bidang pertanian warga. Warga yang dulunya menggunakan
lesung dan alu sebagai media perontoh padi seolah harus mengganti kearifan lokal
mereka dengan teknologi perontoh padi. Alih teknologi ini disadari atau tidak
ternyata berpengaruh pada keberadaan kesenian lesung. Hal ini diperparah oleh
22
makin modernnya permainan saat ini sehingga anak-anak muda lebih
menggandrunginya. Mulyadi (2015) menyatakan pendapatnya bahwa keterbatasan
sumber-sumber pemenuhan kebutuhan tersebut yang menyebabkan manusia mulai
berpikir, bagaimana cara untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan itu. Proses
berpikir dan cara untuk memenuhi kebutuhan itulah yang akan menjadi bagian
dari kebudayaan suatu masyarakat, termasuk proses perkembangan teknologi dan
perkembangan masyarakatnya. Perkembangan masyarakat ini pada dasarnya
adalah proses perubahan, dimana dinamika pembangunan yang terjadi pada
masyarakat adalah proses perubahan yang dilakukan secara sengaja untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang bersangkutan.
Suharto & Aesijah (2014) menyatakan pendapatnya bahwa tidak bisa
dipungkiri bahwa kemajuan teknologi, pergeseran budaya dan konsep-konsep
kehidupan sosial akibat kemajuan teknologi informasi mempengaruhi eksistensi
musik lesung ini dari waktu ke waktu. Suprapto & Kariadi (2018) menyatakan
pendapatnya bahwa generasi muda punya peranan penting dalam pembangunan
suatu negara. Maju dan mundurnya sebuah negara tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan pemuda termasuk dalam konteks ini adalah keberadaan keseniaan di
negeri ini. Kesenian di Indonesia banyak yang mengalami kepunahan dan hal ini
disinyalir akan terus berlanjut sampai detik ini. Karena itu, sangat diperlukan
peran serta pemuda agar kesenian daerah tidak mengalami kepunahan. Pelibatan
pemuda dalam konteks ini dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan. Sarana
pelatihan dapat menjadi wadah generasi muda dalam belajar kesenian tradisional
nenek moyang mereka.
23
2.2.5 Desa Wisata
Zakaria & Suprihardjo (2014) pariwisata adalah keseluruhan rangkaian
kegiatan yang berhubungan dengan gerakan manusia yang melakukan perjalanan
atau persinggahan sementara dari tempat tinggalnya, ke suatu atau beberapa
tempat tujuan di luar lingkungan tempat tinggal yang didorong oleh beberapa
keperluan tanpa bermaksud mencari nafkah. Pariwisata merupakan salah satu
sektor penggerak perekonomian yang perlu diberi perhatian lebih agar dapat
berkembang dengan baik. Sugianto (2016) produk wisata konvensional sekarang
sudah mulai banyak ditinggalkan. Masyarakat sekarang lebih memilih produk
wisata yang menghargai kelestarian alam, budaya, serta ramah lingkungan.
Sebagai respon pergeseran minat wisata tersebut, maka salah satu alternatiifnya
adalah desa wisata. Sebutan sebagai desa wisata itu memiliki ciri khas atau
karakter tertentu yang memiliki daya jual berupa kekayaan alam, budaya ataupun
lingkungan yang memadai sehingga masyarakat yang berkunjung dapat
menikmati, mengenal, dan mempelajari keunikan desa beserta segala daya
tariknya. Jakti Putri & Manaf (2013) Rural tourism merupakan pariwisata yang
terdiri dari keseluruhan pengalaman pedesaan, atraksi alam, tradisi, unsur-unsur
yang unik yang secara keseluruhan dapat menarik minat wisatawan.
Zakaria & Suprihardjo (2014) desa wisata adalah sebuah kawasan
pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus untuk menjadi daerah
tujuan wisata. Di kawasan ini, penduduknya masih memiliki tradisi dan budaya
yang relatif masih asli. Selain itu, beberapa fpelaku pendukung seperti makanan
khas, sistem pertanian dan sistem sosial turut mewarnai sebuah kawasan desa
24
wisata. Di luar fpelaku-fpelaku tersebut, alam dan lingkungan yang masih asli dan
terjaga merupakan salah satu fpelaku terpenting dari sebuah kawasan tujuan
wisata. Raharjana (2012) desa wisata merupakan suatu wilayah perdesaan yang
dapat dimanfaatkan berdasarkan kemampuan unsur-unsur yang memiliki atribut
produk wisata secara terpadu, di mana desa tersebut menawarkan secara
keseluruhaan suasana yang memilikan tema dengan mencerminkan keaslian
pedesaan, baik dari tatanan segi kehidupan sosial budaya dan ekonomi serta adat
istiadat keseharian yang mempunyai ciri khas arsitektur dan tata ruang desa
menjadi suatu rangkaian aktivitas pariwisata. Menurut Sugianto (2016) desa
wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas
pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Hermawan (2017) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2009, daya tarik wisata dapat dijelaskan sebagai segala sesuatu yang
memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berwujud keanekaragaman
kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau
tujuan kunjungan wisata. Secara lebih spesifik disebutkan bahwa daya tarik wisata
alam, merupakan segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, keaslian,
dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam yang menjadi sasaran atau
tujuan kunjungan wisatawan.
Suniastha Amerta (2017) desa wisata didefinisikan sebagai daerah
pedesaaan yang menawarkan suasana yang menceminkan seluruh keaslian
pedesaannya, baik tata ruang, arsitektur bangunan, kebiasaan kehidupan sehari-
25
hari, maupun pola sosial dan kehidupan budaya masyarakat. Hardini, Putu
Agustini Karta, & Putu Suarthana (2015) desa wisata adalah semacam
implementasi produk budaya dalam industri pariwisata. Wisata budaya telah
menjadi sarana pendukung ekonomi yang vital untuk kegiatan tradisional dan
kreativitas lokal. Desa wisata terbentuk dari pengembangan warisan budaya
melalui pariwisata. Selain bertujuan menjelajahi budaya dan alam, ini merupakan
upaya untuk mempertahankan warisan budaya.
Sutawa (2012) pengembangan pariwisata di Indonesia bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan, melestarikan alam, lingkungan, sumber daya,
mengembangkan budaya, meningkatkan citra bangsa, dan memperkuat hubungan
dengan negara lain. Salazar (2011) Pariwisata pedesaan yang ada sebenarnya
adalah sebuah konsekuensi dari desentralisasi kekuasaan dimana pariwisata dilihat
oleh otoritas lokal sebagai cara cepat untuk mendapatkan uang dan respon
terhadap meningkatnya permintaan dunia internasional terhadap pariwisata.
Vitasurya (2016) pengembangan desa wisata berada sejalan dengan tuntutan
pedesaan sebagai tujuan wisata. Keberlanjutan desa wisata dimulai dengan
motivasi desa untuk berkembang sambil menjaga kelestarian lingkungan.
Su, Long, Wall, & Jin (2016) pariwisata etnis berpotensi untuk
merangsang pembangunan ekonomi lokal khususnya di daerah berkembang diakui
secara luas. Pariwisata etnis memberikan peluang bagi kelompok etnis untuk
memamerkan budaya dan tradisi mereka, berkontribusi pada kebangkitan kembali
budaya etnis, penguatan identitas etnis, dan gerakan penghormatan terhadap
budaya etnis. Sangchumnong & Kozak (2017) wisata budaya adalah perjalanan
26
mengunjungi atau menonton atraksi budaya dan acara seperti seni visual,
kerajinan, seni pertunjukan, pusat budaya, museum, festival, situs bersejarah, dan
pusat interpretatif.
Huttasin (2008) pariwisata sebagai solusi pembangunan ekonomi di
beberapa negara di seluruh dunia. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata
didorong untuk merangsang ekonomi di Indonesia khususnya dalam
pengembangan Negara. Pariwisata dapat menghasilkan peningkatan devisa,
pertumbuhan pendapatan dan pekerjaan bagi masyarakat sehingga sering
dipandang sebagai sesuatu yang bermanfaat. Widiyanto, Handoyo, & Fajarwati,
2008) pengembangan pariwisata pedesaan layak dikembangkan terutama untuk
mendorong kegiatan non pertanian yang pada harapannya nanti dapat mendukung
difersivikasi pedesaan. Hermawan (2016) isu utama dalam pengembangan desa
wisata adalah mengenai kontribusi positif aktifitas pariwisata di desa wisata
terhadap kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Keberhasilan pengembangan desa
wisata adalah sejauh mana kegiatan desa wisata mampu meningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat lokalnya. Pariwisata akan dianggap gagal jika
manfaat ekonomi dari kegiatan wisata justru dinikmati oleh orang-orang luar,
pemodal-pemodal besar, sedangkan masyarakat lokalnya justru termarginalkan
secara ekonomi.
Sugianto (2016) unsur-unsur dari desa wisata adalah memiliki potensi
wisata, seni, dan budaya khas setempat, aksesibilitas dan infrastruktur mendukung
program desa wisata, terjaminnya keamanan, ketertiban, dan kebersihan. Sugianto
(2016) setidaknya, sebagai desa wisata memiliki kebutuhan dasar yang memadai
27
sebagai sarana menuju desa wisata yaitu melibatkan berbagai kompononen baik
SDM (Sumber Daya Manusia), maupun SDA (Sumber Daya Alam) dalam
pengembangan sebagai desa wisata.
Tanpa adanya kerja sama, kesatuan tujuan dan persepsi antar warga, serta
warga bersama organisasi desa maupun institusi pemerintah desa melakukan
“mengatur dan mengurus” maka dalam pengembangan desa wisata tidak akan
pernah tercapai (Sidik, 2015). Trisnawati, Wahyono, & Wardoyo (2018)
pembinaan desa wisata yang berbasis potensi lokal memerlukan kepedulian dan
partisipasi masyarakat untuk senantiasa berinovasi dan kreatif dalam
mengembangan wilayah desa yang dijadikan sebagai desa wisata. Peran atau
partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat bisa dilihat mulai dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, pembinaan atau pemanfaatan, pengawasan, menikmati
hasil dan evaluasi. Menurut Sugianto (2016) desa wisata berbasis masyarakat
merupakan aktifitas ekonomi yang sangat penting jika dikembangkan dengan
baik, maka dapat mengatasi sejumlah tantangan pembangunan seperti halnya
kemiskinan.
2.2.6 Tindakan Sosial
Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah dalam penulisan kali ini
adalah teori tindakan sosial yang dikemukakan oleh Max Weber (1864-1920).
Tindakan sosial menurut Weber adalah suatu tindakan individu sepanjang
tindakan itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain (Weber dalam Ritzer dalam Wadiyo, 2008).
28
Max Weber menyebutkan bahwa metode yang bisa digunakan untuk
memahami arti-arti subjektif tindakan sosial seseorang adalah dengan verstehen.
Istilah ini tidak hanya sekedar introspeksi yang hanya bisa digunakan untuk
memahami arti subjektif tindakan diri sendiri, bukan tindakan subjektif orang lain.
Sebaliknya, apa yang dimaksud oleh Weber dengan verstehen adalah kemampuan
untuk berempati atau kemampuan untuk menempatkan diri dalam kerangka
berpikir orang lain yang perilakunya mau dijelaskan dan situasi serta tujuan-
tujuannya mau dilihat menurut perpektif itu (Johnson dalam Narwoko dan
Suyanto, 2007:18).
Dalam teori tindakannya, tujuan Weber tidak lain adalah untuk
memfokuskan perhatian pada individu, pola dan regularitas tindakan, dan bukan
pada kolektifitas. “Tindakan dalam pengertian orientasi perilaku yang dapat
dipahami secara subjektif hanya hadir sebagai perilaku seorang atau beberapa
orang manusia individual” (Weber dalam Ritzer, 2004:137). Dalam hubungannya
dengan konsep tindakan sosial yang dikemukakan oleh Weber melalui telaah yang
dikemukakan oleh para sosiolog tersebut, dalam konteks ini dapat digunakan
untuk melihat dan/ atau untuk memahami suatu kegiatan kesenian yang dilakukan
oleh invividu dan/ atau kelompok orang, apakah suatu kegiatan berkesenian yang
dilakukannya termasuk sebagai suatu tindakan sosial sebagaimana yang
dikemukakan oleh Weber tersebut (Wadiyo, 2008:125).
Weber menggunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna
tindakan dengan cara mengidentifikasi empat tipe tindakan dasar. Tipologi ini
tidak hanya sangat penting untuk memahami apa yang dimaksud Weber dengan
29
tindakan, namun juga menjadi salah satu dasar bagi minat Weber pada struktur
dan intuisi sosial yang lebih luas. Yang terpenting adalah pembedaan yang
dilakukan Weber terhadap kedua tipe dasar tindakan sosial (Ritzer, Goerge.
2004:137). Weber dalam Narwoko dan Suyanto (2007:18); Campbell dalam
Wadiyo (2008); Ritzer dalam Alimandan (1992); dan Johnson dalam Lawang
(1986) mengemukakan, bahwa Max Weber mengklasifikasi ada empat jenis
tindakan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat.
Menurut Weber semakin rasional tindakan itu, semakin mudah dipahami. Empat
Tindakan Sosial yang dimaksud adalah :
2.2.6.1 Rasionalitas Instrumental / Sarana-Tujuan (Zwerk Rational)
Weber dalam Ritzer (2004) mengartikan tindakan rasionalitas instrumental
adalah tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek dalam
lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan-harapan ini digunakan sebagai
“syarat” atau “sarana” untuk mencapai tujuan-tujuan pelaku lewat upaya dan
perhitungan yang rasional (Weber, 1921/1968: 24). Weber dalam Narwoko dan
Suyanto (2007), rasionalitas instrumental adalah tindakan sosial yang dilakukan
seseorang didasarkan atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan
dengan tujuan tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya. Weber dalam Wadiyo (2008), dalam tindakan rasional tujuan,
pelaku menilai dan menentukan tujuan itu dan bisa saja tindakan itu dijadikan cara
untuk mencapai tujuan lain.
Dapat disimpulkan berdasarkan teori yang ada, pengertian mengenai
rasionalitas instrumental adalah tindakan yang berdasarkan pertimbangan pelaku
30
dan ketersediaan alat yang digunakan dalam mencapai tujuan. Pilihan sadar dari
pelaku dan harapan sebagai syarat atau sarana dalam melandasi tindakan dalam
mencapai atau menentukan sebuah tujuan. Contoh seorang mahasiswa yang sering
terlambat kuliah dikarenakan mahasiswa tersebut tidak memiliki alat transportasi.
Pada akhirnya, dia membeli sepeda motor agar ia datang ke kampus lebih awal
dan tidak terlambat. Tindakan ini telah dipertimbangkan dengan matang agar ia
mencapai tujuan tertentu.
2.2.6.2 Tindakan Rasional Nilai (Werk Rational)
Weber dalam Narwoko dan Suyanto (2007), rasionalitas yang berorientasi
nilai, sifat rasional tindakan jenis ini adalah bahwa alat-alat yang ada hanya
merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya
sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut.
Artinya, nilai itu merupakan nilai akhir bagi individu yang bersangkutan dan
bersifat nonrasional, sehingga tidak memperhitungkan alternatifnya.
Weber dalam Ritzer (2004) mengartikan tindakan rasionalitas nilai adalah
tindakan yang ditentukan oleh keyakinan dengan penuh kesadaran akan nilai
perilaku-perilaku etis, estetis, religius atau bentuk perilaku lain, yang terlepas dari
prospek keberhasilannya (Weber, 1921/1968: 24-25). Weber dalam Wadiyo
(2008), tindakan rasional nilai, pelaku dalam memilih cara sudah menentukan
tujuan yang diinginkannya.
Dapat disimpulkan berdasarkan teori yang ada, pengertian rasionalitas nilai
yang dijabarkan diatas bahwa tindakan rasionalitas nilai adalah tindakan yang
bersifat rasional sedangkan alat-alat yang ada merupakan pertimbangan dan
31
perhitungan yang sadar, tujuan-tujuannya sudah ada di dalam hubungannya
dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut. Pelaku bertindak ditentukan oleh
keyakinan yang penuh kesadaran akan nilai perilaku-perilaku etis, estetis, religius
atau bentuk perilaku lain sehingga merupakan wujud nilai akhir bagi invividu
yang bersifat nonrasional, sehingga tidak memperhitungkan alternatifnya.
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada
hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan
tujuannya sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang
bersifat absolut. Contoh dalam kehidupan sehari hari adalah perilaku shalat
seseorang yang selalu tepat waktu dalam mengerjakan shalat. Hal lain seperti
seseorang mendahulukan orang yang lebih tua ketika duduk di kendaraan umum.
Artinya adalah tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih dahulu karena
mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang pelaku miliki.
2.2.6.3 Tindakan Afektif (Affectual Action)
Weber dalam Ritzer (2004) mengartikan tindakan afektif adalah tindakan
yang ditentukan oleh kondisi emosi pelaku. Weber dalam Narwoko dan Suyanto
(2007), tipe tindakan ini didominasi oleh perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan secara sadar. Tindakan afektif sifatnya adalah
spontan, tidak rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu.
Weber dalam Wadiyo (2008), tindakan afektif lebih didominasi oleh emosi
dan atau kepura-puraan yang menjadikan tindakan pelaku susah dipahami. Weber
sebagaimana dikemukakan oleh Campbell menjelaskan bahwa tindakan afektif
32
dan tindakan tradisional hanya merupakan tindakan tanggapan atas rangsangan
dari luar yang bersifat otomatis sehingga bisa dimengerti sebagai kurang arti.
Dapat disimpulkan berdasarkan teori tersebut bahwa pengertian mengenai
tindakan afektif yang dijabarkan diatas adalah tindakan afektif bersifat spontan,
tidak rasional dan tanpa perencaan secara sadar oleh pelaku. Tindakan ini
didominasi oleh emosi atau perasaan sebagai ekspresi emosional dari individu dan
merupakan tindakan tanggapan atas rangsangan dari luar yang bersifat otomatis.
Contoh dalam hubungan kasih sayang antara dua remaja yang sedang dimabuk
asmara, tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari luar yang bersifat
otomatis. Seseorang wanita yang menangis tersedu-sedu karena bersedih,
merupakan contoh lain dari tindakan ini.
2.2.6.4 Tindakan Tradisional (Traditional Action)
Weber dalam Ritzer (2004) mengartikan tindakan tradisional ditentukan oleh
cara bertindak pelaku yang biasa dan telah lazim dilakukan. Weber dalam
Narwoko dan Suyanto (2007) mengemukakan bahwa tindakan jenis ini, seseorang
memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek
moyang pe;aku tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan.
Weber dalam Wadiyo (2008), mengemukakan bahwa tindakan tradisional
merupakan tindakan yang lebih didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam
mengerjakan sesuatu dimasa lalu. Weber sebagaimana dikemukakan oleh
Campbell menjelaskan bahwa tindakan afektif dan tindakan tradisional, kedua
tindakan ini pada waktu tertentu dapat berubah menjadi tindakan yang penuh arti
atau sebagai tindakan yang sepenuhnya dapat dengan mudah dipahami.
33
Dapat disimpulkan berdasarkan teori tersebut, pengertian mengenai tindakan
tradisional yang dijabarkan diatas adalah perilaku yang dilandasi oleh kebiasaan
dari nenek moyang pelaku, tanpa perencanaan dan mengikuti kebiasaan dimasa
lalu sehingga tercipta perilaku tertentu. Pelaku bertindak tanpa mengetahui
dengan pasti apa manfaat yang didapatkan setelah melakukan hal tersebut. Contoh
dalam tindakan ini adalah sebuah keluarga yang melaksanakan syukuran dalam
rangka membeli mobil baru, tanpa tahu maksud dari diadakan acara syukuran
tersebut. Dalam tindakan jenis ini, seseorang memperlihatkan perilaku tertentu
karena kebiasaan yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar
atau perencanaan.
Kedua tipe tindakan yang terakhir sering halnya menggunakan tanggapan
secara otomatis terhadap rangsangan yang datang dari luar, oleh karena itu tidak
termasuk ke dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian
sosiologi. Namun dengan demikian pada waktu tertentu kedua tipe tindakan
tersebut dapat berubah menjadi tindakan yang penuh arti sehingga dapat
dipertanggung jawabkan untuk dipahami (Weber dalam Campbell dalam Wadiyo,
2008 : 125). Tindakan sosial menurut Max Weber menyatakan pendapatnya
bahwa tindakan sosial adalah suatu tindakan individu sepanjang tindakan itu
mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan
orang lain. Suatu tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati tidak
termasuk dalam kategori yang merupakan tindakan sosial, suatu tindakan akan
dikatakan sebagai tindakan sosial ketika tindakan tersebut benar-benar diarahkan
kepada orang lain atau terhadap individu lainnya.
34
2.3 Kerangka Berpikir
Bagan 1. Skema kerangka berpikir Transformasi Budaya Tradisi Masyarakat
Agraris pada Generasi Muda : Analisis Transformasi Gendongan Lesung di desa
wisata Kandri, Kecamatan Gunung Pati, Kota Semarang.
Skema tersebut dapat dijelaskan bahwa desa wisata Kandri sebagai desa
wisata mempunyai kesenian Gendongan Lesung yang hampir punah. Dipelopori
oleh perkumpulan pemuda yang ada di Omah Alas, perlahan-lahan musik
tradisional Gendongan Lesung yang menjadi aset penting untuk desa wisata
Kandri dapat dilestarikan. Bahkan penyajiannya pun lebih bervariatif dari musik
Gendongan Lesung aslinya. Pada akirnya kesenian Gendongan Lesung
bertransformasi dan tetap tumbuh berkembang hingga sekarang.
Desa Wisata Kandri
Gendongan Lesung
Generasi Muda (Omah Alas)
Transformasi
88
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Kesenian Gendongan Lesung merupakan kesenian warisan nenek moyang
desa wisata Kandri, kecamatan Gunung Pati, kota Semarang. Berbekal kecintaan
terhadap kebudayaan warisan nenek moyang, generasi muda Omah Alas desa
wisata Kandri melakukan transformasi kesenian Gendongan Lesung. Kesenian
Gendongan Lesung berkolaborasi dengan kesenian Kempling Kemanak sebagai
bentuk transformasinya. Transformasi kesenian Gendongan Lesung yang
dilakukan oleh Omah Alas menganut dua jenis sistem pewarisan yakni “Vertical
Transmission” dan “Horizontal Transmission”. Muhammad Imron beserta rekan-
rekan Omah Alas melakukan “Vertical Transmission” (Pewarisan Tegak) melalui
perantara orang tua para generasi muda Omah Alas. Pendekatan Muhammad
Imron kepada orang tua agar memahamkan kepada anak-anak mereka tentang
pentingnya menjaga budaya dan kesenian warisan nenek moyang. Pada sistem
pewarisan “Horizontal Transmission” (Pewarisan Miring), Omah Alas
memberikan pendidikan seni budaya dan kesadaran akan wisata secara non formal
kepada generasi muda.
Dalam kegiatan transformasi kesenian Gendongan Lesung menunjukan
pola komunikasi secara vertikal dan horizontal. Namun dalam hubungannya antar
pemain alat musik dalam grup ini, pola komunikasi lebih didominasi dengan pola
komunikasi vertikal. Pola komunikasi vertikal para pemain alat musik
dikarenakan lebih sering berkomunikasi kepada pelatih atau ketua grup kesenian
89
karena peran ketua grup kesenian lebih sering dekat dengan para pemain alat
musik. Pola komunikasi ini terjadi karena dalam penerapanya para pemain alat
musik lebih mendominasi jalannya latihan dikarenakan iringan musik merupakan
hal yang pokok untuk kelancaran dalam sesi latihan.
Keberadaan lembaga kepemudaan seperti halnya Omah Alas desa wisata
Kandri membuktikan bahwa sebuah lembaga kepemudaan memiliki peranan
penting untuk melembagakan kembali (reinstitusionalisasi) kearifan-kearifan
lokal tradisional, karena ia membantu menyelamatan lingkungan.
5.2. Saran
Setelah peneliti mengadakan penelitian, peneliti mengajukan beberapa
saran antara lain yaitu kepada generasi muda Omah Alas desa wisata Kandri,
sebagai generasi penerus, terus lah menjaga solidaritas serta tingkatkan rasa cinta
kesenian dan kebudayaan untuk mempertahankan kesenian dan kebudayaan
tersebut agar tetap lestari dan terjaga sepanjang jaman. Kepada masyarakat desa
wisata Kandri, sebagai masyarakat yang berada di desa wisata harus bisa menjaga
potensi-potensi wisata yang ada di desa wisata Kandri agar bisa terus berkembang
sepanjang jaman dan agar ikut terdorong perekonomiannya.
90
DAFTAR PUSTAKA
Aesijah, S. (2011). Makna simbolik dan ekspresi musik kotekan. Harmonia:
Journal Of Arts Research And Education, 8(3).
Ali, Mohamad. 1985. Penelitian Kependidikan, Prosedur dan Strategi. Bandung:
Angkasa.
Ambarwangi, S. (2014). Reog as Means of Students Apreciation and Creation in
arts and Culture Baseed on The Local Wisdom. Jurnal Harmonia, 14(1).
Arikunto, Suharsimi. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Boga Andri, K. (2016). Sejarah Perubahan Sosial Masyarakat Agraris Akibat
Pembangunan Waduk Di Banjarnegara, Jawa Tengah. Jurnal
Agriekonomika, 5(1), 1–15.
Cahyono, A. (2006). Pola Pewarisan Nilai-nilai Kesenian Tayub. Jurnal
Harmonia, 7(1), 23–36.
Darma, B. (2011). Penciptaan Naskah Drama Ambu Hawuk Berdasarkan Tradisi
Lisan Dan Prespektif Jender. Jurnal Resital, 12(1), 55–64.
Effendi S, A. (2011). Implementasi Kearifan Lingkungan Dalam Budaya
Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Jurnal
Edisi Khusus, (2), 164–177.
Emri. (2016). Lasuang Sebagai Sumber Penciptaan Tari Modern Lasuang
Tatingga Di Sumatera Barat. Jurnal Ekspresi Seni, 18(1), 131–147.
Ganap, V. (2012). Membangun Industri Kreatif Di Maluku Melalui Pendidikan
Seni. Jurnal Harmonia, 12(1), 1–13.
Hanif, M. (2017). Kesenian Ledug Kabupaten Magetan (Studi Nilai Simbolik Dan
Sumber Ketahanan Budaya). Jurnal Studi Sosial, 2(2), 79–90.
Hardini, W., Putu Agustini Karta, N. L., & Putu Suarthana, J. H. (2015). The
Study on Bali Tourism Village Management towards Four Dimensions of
Experience Economy. E-Journal of Tourism, 2(1), 49–54.
Hasan, A. R. (2015). Traditional Art Kayori as an Identitiy of Taa Society in
District of Tojo. Jurnal Harmonia, 15(2), 133–137.
Hasbi, A. (2017). Transformasi Nilai-nilai Kearifan Lokal (Local Genius) Dalam
Proses Pembelajaran Sebagai Upaya Pembentukan Karakter Bangsa Pada
SMA Se-Kabupaten Simeulue. Jurnal PKn Progresif, 12(1), 528–542.
91
Hermawan, H. (2016). Dampak pengembangan desa wisata nglanggeran terhadap
ekonomi masyarakat lokal. Jurnal Pariwisata, III(2), 105–117.
Hermawan, H. (2017). Pengaruh Daya Tarik Wisata, Keselamatan, Dan Sarana
Wisata Terhadap Kepuasan Serta Dampaknya Terhadap Loyalitas
Wisatawan : Studi Community Based Tourism di Gunung Api Purba
Nglanggeran. Jurnal Media Wisata, 15(1), 562–577.
Huttasin, N. (2008). Perceived Social Impacts of Tourism by Residents in the
OTOP Tourism Village, Thailand. Asia Pacific Journal of Tourism Research,
13(2), 37–41. https://doi.org/10.1080/10941660802048498
Ismawati, E. (2013). Karakter Perempuan Jawa dalam Novel Indonesia Berwarna
Lokal Jawa: Kajian Perspektif Gender dan Transformasi Budaya. Jurnal
Metasastra, 6(1), 10–21.
Jakti Putri, H. P., & Manaf, A. (2013). Faktor-faktor Keberhasilan Pengembangan
Desa Wisata Di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Teknik PWK, 2(3), 559–568.
Jazuli, M. (2011). Model Pewarisan Kompetensi Dalang. Jurnal Harmonia, 11(1),
68–82.
Julia, & Supriyadi, T. (2017). The Inheritance of Values in Sundanese Song of
Cianjuran in West Java. Jurnal Harmonia, 17(2), 120–128.
Koentjaraningrat. 1987. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka.
Koentjaraningrat (Ed.). 1991. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Djambatan.
Kuntjara, Esther. 2006. Penelitian Kebudayaan Sebuah Panduan Praktis.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kresna, A. (2013). Pembentukan Karakter Generasi Muda Berwawasan Nilai-nilai
Pancasila Melalui Video Game Bertema RPG. Jurnal Filsafat, 2(2), 141–
159.
Mellou, E. (2006). Creativity: The transformation condition. Journal Early Child
Development and Care, 101(1), 81–88.
Merriam, A.P. (1964). The Antropology of Music. Bloomington: Norhwestern
University Press.
Mismada, P. (2013). Peranan Masyarakat Desa Karangmalang Kecamatan
Ketanggungan Kabupaten Brebes Terhadap Kehidupan Kesenian Tradisional
92
Damar Sewu. Jurnal Seni Musik, 2(2), 1–12.
Mistortoify, Z., Haryono, T., Simatupang, L. L., & Ganap, V. (2010). Kejhungan :
Gaya Nyanyian Madura Dalam Pemaknaan Masyarakat Madura Pada
Penyelenggaraan Tadisi Remoh. Jurnal Resital, 11(1), 1–14.
Moleong, Lexi. J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Bayu
Indra Grafika.
Mulyadi, M. (2015). Perubahan Sosial Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri
dalam Pembangunan Masyarakat di Kecamatan Tamalate Kota Makassar.
Jurnal Bina Praja, 7(4), 311–322. https://doi.org/10.15575/jid.v5i2.375
Narwoko, Dwi dan Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi Teks pengantar dan
Terapan. Jakarta : Kencana
Paramita, S. (2016). Entrepreneurship Dan New Media Pada Generasi Muda.
Jurnal Pemberdayaan Masyarakat, 3(1), 1–8.
Patria Rori, P. L. (2015). Pengaruh Penggunaan Minuman Keras Pada Kehidupan
Remaja Di Desa Kali Kecamatan Pineleng Kabupaten Minahasa. Jurnal
Holistik, 8(16), 1–12.
Puspitasari, D. G., Sabana, S., & Ahmad, H. A. (2016). The Cultural Identity of
Nusantara in a Movie Entitled Sang Pencerah by Hanung Bramantyo. Jurnal
Harmonia, 16(1), 57–65. https://doi.org/10.15294/harmonia.v16i1.6768
Raharjana, D. T. (2012). Membangun Pariwisata Bersama Rakyat : Kajian
Partisipasi Lokal Dalam Membangun Desa Wisata Di Dieng Plateau. Jurnal
Kawistara, 2(3), 225–237.
Rahmad Safitra, A., & Yusman, F. (2014). Pengaruh Desa Wisata Kandri
Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Kelurahan Kandri Kota
Semarang. Jurnal Teknik PWK, 3(4), 908–917.
Rahman Azahari, A. (2016). Kendala Pelestarian Olahraga Masyarakat Sebagai
Material Culture Pada Generasi Muda Perkotaan: A Grounded Research.
Jurnal Cendekia, 10(2), 207–216.
Rochmat, N. (2013). Pewarisan Tari Topeng Gaya Dermayon : Studi Kasus Gaya
Rasinah. Jurnal Resital, 14(1), 33–40.
93
Rohidi, Tjeptjep Rohendi. 2000. Kesenian dalam Pendekatan Kebudayaan.
Bandung: STISI.
Salazar, N. B. (2011). The Power of Imagination in Transnational Mobilities.
Journal Identities, 18(6), 1–23.
Sangchumnong, A., & Kozak, M. (2017). Sustainable cultural heritage tourism at
Ban Wangka Village, Thailand. Anatolia An International Journal of
Tourism and Hospitality Research, 29(2), 1–11.
Sartini. (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.
Jurnal Filsafat, 14(2), 111–120.
Sidik, F. (2015). Menggali Potensi Lokal Mewujudkan Kemandirian Desa. Jurnal
Kebijakan & Administrasi Publik, 19(2), 115–131.
Siegel, H. (1996). Education and cultural transmission/transformation.
Philosophical reflections on the historian’s task. Paedagogica Historica
International Journal of the History of Education, 32(sup1), 25–46.
Soekanto, Soejono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT Raja Grafindo
Persada.
Su, M. M., Long, Y., Wall, G., & Jin, M. (2016). Tourist – community
interactions in ethnic tourism : Tuva villages , Kanas Scenic Area , China.
Journal of Tourism and Cultural Change, 14(1), 1–26.
Subuh. (2016). Garap Gending Sekaten Keraton Yogyakarta. Jurnal Resital,
17(3), 178–188.
Sugianto, A. (2016). Kajian Potensi Desa Wisata Sebagai Peningkatan Ekonomi
Masyarakat Desa Karang Patihan Kecamatan Balong Ponorogo. Jurnal
Ekuilibrium, 11(1), 56–66.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung
Alfabeta.
Suharto; Aesijah, S. (2014). The Lesung Music in the Village of Ledok Blora
Regency. Harmonia: Journal of Arts Research and Education, 14(1), 65–71.
Sunarto. (2007). Components in Music-Culture. Jurnal Harmonia, 8(1).
Suniastha Amerta, I. M. (2017). The Role of Tourism Stakeholders at Jasri
Tourism Village Development , Karangasem Regency. International Journal
of Social Sciences and Humanities, 1(2), 20–28.
94
Suprapto, W., & Kariadi, D. (2018). Pelatihan Gejog Lesung pada Pemuda Dusun
Gunturan, Triharjo, Pandak, Bantul Sebagai Upaya Pelestarian Budaya
Bangsa. Jurnal ABDINUS, 2(1), 51–61.
Sutawa, G. K. (2012). Issues on Bali Tourism Development and Community
Empowerment to Support Sustainable Tourism Development. Journal
Procedia Economics and Finance, 4, 413–422.
Sutrisno, L. B. (2011). Pengaruh Islam Dalam Kesenian Setrek. Jurnal Resital,
12(1), 14–30.
Tarwiyah, T., & Sam, A. (2010). Permainan Anak yang Mmenggunakvn
Nyanyian (Kajian Wilayah: Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi).
Jurnal Harmonia, 10(2).
Trisnawati, A. E., Wahyono, H., & Wardoyo, C. (2018). Pengembangan Desa
Wisata dan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Potensi Lokal. Jurnal
Pendidikan, 3(1), 29–33.
Umam, K. (2015). Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal Pada Masyarakat Agraris
(Pengalaman Petani Klutuk di Kabupaten Indramayu). Jurnal Universum,
9(2), 213–223.
Utomo, U., & Syah Sinaga, S. (2009). Pengembangan Materi Pembelajaran Seni
Musik Berbasis Seni Budaya Berkonteks Kreatif, Kecakapan Hidup, Dan
Menyenangkan Bagi Siswa SD/MI. Jurnal Harmonia, 9(2).
Vitasurya, V. R. (2016). Local Wisdom for Sustainable Development of Rural
Tourism , Case on Kalibiru and Lopati Village , Province of Daerah
Istimewa Yogyakarta. Juornal Procedia - Social and Behavioral Sciences,
216, 97–108. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.12.014
Wadiyo. 2008. Sosiologi Seni (Seni Pendekatan Multi Tafsir). Semarang : Unnes
Press
Wadiyo. 2013. Seni sebagai Sarana Interaksi Sosial. Jurnal Harmonia. Mei-
Agustus 2006. Volume VII. Nomor 2. Semarang : Universitas Negeri
Semarang
Wahyudi, A. (2013). Transformasi Yudhisthira Mahabarata dalam Tradisi
Pedalangan. Jurnal Harmonia, 14(1), 71–80.
Widiyanto, D., Handoyo, J. P., & Fajarwati, A. (2008). Pengembangan Pariwisata
Pedesaan (Suatu Usulan Strategi Bagi Desa Wisata Ketingan). Jurnal Bumi
Lestari, 8(2), 205–210.
95
Wuryani, E., & Purwiyastuti, W. (2012). Menumbuhkan Peran Serta Masyarakat
Dalam Melestarikan Kebudayaan Dan Benda Cagar Budaya Melalui
Pemberdayaan Masyarakat Di Kawasan Wisata Dusun Ceto. Jurnal Satya
Widya, 28(2), 147–154.
Zakaria, F., & Suprihardjo, D. (2014). Konsep Pengembangan Kawasan Desa
Wisata di Desa Bandungan Kecamatan Pakong Kabupaten Pamekasan.
Jurnal Teknik Pomits, 3(2), 245–249.