Tragedi Lampung - Peperangan Yang Direncanakan
Transcript of Tragedi Lampung - Peperangan Yang Direncanakan
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 1
Entries in Tragedi Lampung Peperangan Yang Direncanakan:
1. Kata Pengantar-
2. Daftar Isi-
3. Bagian Awal : Dari Tanjung Priok Hingga Lampung-
4. AZWAR KAILI-
5. FAUZI ISMAN-
6. JAYUS-
7. Bagian Akhir : Peperangan Yang Direncanakan-
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 2
Kata Pengantar
Buku saku yang diberi judul “Tragedi Lampung: Peperangan Yang Direncanakan” ini
diterbitkan dalam rangka memberikan fakta yang jernih dan jelas kepada masyarakat Indonesia,
terutama masyarakat Islam di Indonesia.
Saya selaku pelaku dan sekaligus korban pada kasus yang terjadi pada 16 tahun lalu ini, merasa
prihatin atas ulah sebagian pelaku (tokoh) kasus Talangsari (Lampung) yang punya motif
komersial.
Padahal, mereka adalah orang-orang yang –ketika saya masih mendekam di LP Batu
Nusakambangan dengan vonis Seumur Hidup– telah menjalin ishlah. Bahkan, telah pula mereguk
keuntungan finansial (materiel) dari ishlah itu.
Perilaku dari sebagian tokoh kasus Talangsari (Lampung) yang punya motif komersial ini,
menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang-orang yang bersungguh-sungguh dengan doktrin dan
ideologi yang diusungnya selama ini.
Ternyata mereka hanyalah petualang yang mengatasnamakan agama, ideologi, dan sejenisnya, yang
ujung-ujungnya ternyata berbaui duit juga.
Semoga Allah SWT tidak menggolongkan mereka ke dalam barisan orang-orang yang menukar
agama-Nya dengan sesuatu yang murah.
Melalui buku ini, saya tampilkan tiga tokoh kasus Talangsari (Lampung) yang pernah dan sebagian
lainnya masih terus berupaya menungkit-ungkit kasus ini demi mendapatkan keuntungan materiel
(finansial), dengan menjalin kerjasama dengan LSM.
Semoga setelah diterbitkannya buku ini, tidak ada lagi tokoh kasus Talangsari (Lampung) yang
mencoba mengungkit-ungkit kembali tragedi masa lalu dengan motif komersial.
Semoga Allah masih menanamkan rasa malu di dalam hati mereka, karena malu merupakan salah
satu unsur dari iman.
Jakarta, Mei 2005
Riyanto
Mantan Komandan Pasukan Khusus
GPK Warsidi
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 3
Bagian Awal : Dari Tanjung Priok Hingga Lampung
Ada tiga peristiwa „kanan‟ yang secara emosional berkaitan. Yakni, kasus Tanjung Priok berdarah
yang terjadi pada tanggal 12 September 1984. Dari kasus Priok Berdarah yang menewaskan
puluhan korban, kemudian –menurut salah seorang pelakunya– menimbulkan suasana emosional
dan membangkitkan tekad berbuat sesuatu, berupa kasus peledakan BCA (tanggal 4 Oktober 1984).
Selang lima tahun, terjadi kasus Talangsari-Lampung, pada tanggal 6-7 Februari 1989.
Menurut Jenderal Benny Moerdani, Panglima ABRI kala itu, peristiwa Tanjung Priok yang
berlangsung Rabu malam sekitar pukul 23.00 wib itu, bukanlah drama pembantaian, tetapi upaya
beladiri yang dilakukan aparat di Tanjung Priok (yang terdiri dari 15 orang) dalam menghadapi
serangan gerombolan massa yang berjumlah sekitar 1.500 orang.
Keterangan resmi itu, dianggap sebagai sebuah kebohongan besar oleh masyarakat, yang memicu
timbulnya suasana emosional termasuk di kalangan para aktivis pemuda bahkan hingga mantan
petinggi ABRI. Dari sini lahirlah lembaran putih, yang kemudian dikenal dengan sebutan Petisi 50
yang isinya antara lain menyatakan bahwa peristiwa di Tanjung Priok 12 September 1984 “…Harus
kita akui sebagai suatu tragedi pembantaian…” Dari lembaran putih itu, kemudian melahirkan
beberapa terpidana seperti almarhum HR Dharsono (Letjen TNI Purnawirawan).
Unjuk keprihatinan terhadap kasus Priok, ternyata tidak hanya dalam bentuk lembaran putih atau
Petisi 50, tetapi lebih jauh dari itu, menimbulkan dorongan di dalam diri sekelompok orang untuk
melakukan aksi radikal, berupa peledakan BCA, dengan alasan –sebagaimana dikatakan M. Zayadi,
salah seorang pelaku– untuk menunjukkan bahwa umat Islam masih ada dan mampu melakukan
perlawanan, seberapa pun tekanan yang dilakukan pemerintah Orde Baru kala itu.
Dari kasus peledakan BCA ini, muncul seorang tokoh penting yang digiring sebagai terdakwa,
bahkan diposisikan sebagai penyandang dana terhadap aksi tersebut, yaitu Ir. H.M. Sanusi (kini
almarhum), mantan menteri pada Orde Baru, yang hingga kini keterlibatannya pada kasus
peledakan itu masih controversial
Selain Ir. H.M. Sanusi, masih terdapat sejumlah orang yang sama sekali tidak terlibat, namun harus
menderita akibat kasus peledakan 1984 itu, bahkan ada yang meninggal akibat “interogasi di
belakang layar” oleh petugas Satgas Intel Kopkamtib, sebagaimana terjadi pada diri ustadz Jabir
Abubakar Massie yang wafat dalam pemeriksaan (penyiksaan) karena menolak bersaksi atas
tuduhan bahwa Ir. H.M. Sanusi merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soeharto.
Kasus Priok dan Peledakan BCA, sebagaimana diakui para tokohnya masing-masing adalah sebuah
perlawanan terhadap kezaliman Orde Baru. Sebuah perlawanan yang menunjukkan „keberanian‟,
namun mengakibatkan jatuhnya banyak korban yang tak bersalah, dan mereka pada umumnya
adalah rakyat kebanyakan (ummat Islam) yang disamping tidak mengerti politik juga miskin dalam
arti ekonomi maupun dalam pengetahuan agama (Islam).
Berbeda dengan kasus Peledakan BCA 1984 yang mempunyai kaitan emosional secara langsung
dan tegas dengan kasus Priok 1984, kasus Lampung diawali dengan upaya memindahkan persoalan
Priok ke Lampung. Warsidi sebagai tokoh utama kasus Lampung, nampaknya tidak memiliki kaitan
emosional apa-apa, karena sebagai anak transmigran yang sejak kecil sudah mengikuti orangtuanya
bertransmigrasi ke Lampung, ia sama sekali putus hubungan dengan Jawa. Keterkaitan Priok-
Lampung adalah hasil rajutan “aktivis dari Jakarta” sehingga Warsidi yang semula buta politik
menjadi melek politik.
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 4
Sebagaimana halnya Amir Biki, Warsidi pun akhirnya wafat di tempat kejadian. Namun sosok
keduanya sangat jauh berbeda. Almarhum Amir Biki adalah seorang aktivis (Angkatan 66),
berpendidikan formal cukup baik, direktur salah satu perusahaan, paham politik, dan punya
pengikut banyak. Sedangkan almarhum Warsidi hanyalah rakyat kebanyakan, orang kampung yang
pendidikan formalnya tergolong rendah, dan tidak paham politik.
Almarhum Warsidi bukanlah tokoh yang mampu menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu, baik
melalui kharisma dan wibawanya atau dengan uangnya, sebagaimana almarhum Amir Biki yang
punya kharisma dan wibawa serta berasal dari kalangan sosial ekonomi terpandang. Sebagai anak
transmigran dari Jawa yang miskin, Warsidi pada mulanya sama sekali tidak memiliki jiwa
pemberontak. Ia sama sekali tidak layak disejajarkan dengan tokoh Islam Tanjung Priok seperti
almarhum Amir Biki, KH Abdul Qadir Djaelani, Syarifin Maloko, dan sebagainya.
Cita-cita Warsidi pun sangat sederhana. Ketika Jayus menghibahkan satu setengah hektar tanah
kepadanya, yang ia rencanakan adalah sebuah pemukiman sederhana, sehingga ia dan 7 orang
lainnya bisa hidup berkecukupan dari hasil bumi yang ditanamnya, serta bisa meningkatkan
pengetahuan umum dan agama Islam bagi anggota-anggotanya.
Kalau toh akhirnya ia terlibat aksi perlawanan hingga tewas di tempat, ia tetap saja tidak layak
disejajarkan dengan tokoh-tokoh di atas. Karena Warsidi, sebagaimana juga korban (tewas dan
hidup) lainnya, hanyalah korban kenakalan “aktivis dari Jakarta” yang mentransmigrasikan paham
radikalisme dari Jakarta ke Lampung.
Menurut catatan, Warsidi pernah menjabat sebagai “Camat” NII namun mengundurkan diri pada
tahun 1987. Begitu juga dengan Nur Hidayat (salah seorang aktivis dari Jakarta), pernah menjadi
bagian dari komunitas NII faksi Abdullah Sungkar yang salah satu petingginya adalah Ibnu Thayib
alias Abu Fatih. Oleh ICG (International Crisis Group), Ibnu Thayib alias Abu Fatih disebut sebagai
anggota jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI).
Beberapa kemiripan antara kasus Priok dengan Lampung adalah, pertama, pada kasus Priok rencana
melawan aparat disiapkan dalam kurun waktu relatif pendek, sejak siang hingga sore hari sebelum
kejadian. Massa yang mendatangi aparat malam itu hanya sebagian kecil saja yang bersenjata (siap
perang). Sebagian besar dari mereka adalah orang awam yang terbakar oleh tabligh yang digelar
ba‟da „Isya oleh Amir Biki dkk, dan keikutsertaan mereka untuk memberikan tekanan kepada aparat
agar empat kawan mereka yang tak bersalah itu segera dilepaskan dari tahanan.
Mereka tidak cuma menggertak aparat dengan memobilisasi massa. Sebelumnya, sebagaimana bisa
dikutip melalui informasi tertulis, Amir Biki memberikan ultimatum jika hingga jam sebelas malam
keempat kawan mereka tidak dilepaskan dari tahanan Kodim, maka akan terjadi pertumpahan
darah, membakari pertokoan di Koja serta menggorok orang-orang Cina.
Kedua, kehadiran massa tidak langsung disambut dengan berondongan peluru tajam. Sebelumnya
terjadi insiden rebutan senjata antara massa dengan aparat. Bahkan Kapten Sriyanto terancam
jiwanya jika tidak lincah berkelit dari tebasan clurit yang diayunkan orang-orang berbaju pangsi
hitam. Kemudian terjadilah sebuah „perang‟ yang tentu saja tidak seimbang. Dari sinilah
berkembang wacana bahwa kasus Priok adalah sebuah pembantaian terhadap masyarakat sipil yang
tidak bersenjata.
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 5
Sedangkan pada kasus Lampung, rencana perlawanan itu sudah dirancang oleh “aktivis dari
Jakarta” sejak lama (beberapa bulan sebelum Februari 1989). Bahkan setelah “aktivis dari Jakarta”
menghijrahkan sejumlah orang (dari Jawa Tengah dan sebagainya) ke Lampung, persiapan
berperang pun dilaksanakan lebih kongkrit, seperti membuat panah beracun dari jeruji sepeda
motor, melakukan latihan bela diri dan baris berbaris.
Pada kasus Priok (1984), yang terjadi adalah „perang‟ setengah hati. Karena, massa yang berada di
TKP tidak semuanya berniat perang. Mereka hanyalah orang-orang yang terbakar emosinya. Ketika
„perang‟ terjadi, anggota masyarakat yang baru pulang nonton di bioskop Permai, ikut larut di TKP
tanpa mereka sadari, sehingga menjadi korban tewas atau luka-luka. Dari sinilah timbul wacana,
tentang adanya sebuah drama penembakan yang tak mendapat perlawanan sedikit pun. Karena,
seluruh korban tewas adalah rakyat sipil, tak seorang pun aparat yang tewas.
Sedangkan kasus Lampung (1989) adalah sebuah peperangan (qital) sepenuh hati, antara
masyarakat sipil bersenjata „primitif‟ melawan pasukan bersenjata modern yang mendapat
dukungan penduduk setempat yang tidak bersimpati kepada komunitas Warsidi. Peperangan ini
terjadi setelah jatuh korban dari pihak aparat, yaitu Kapten Inf. Soetiman (Danramil Way Jepara),
sehari sebelumnya akibat dibantai mbah Marsudi (kakak kandung Warsidi). Sebuah peperangan
yang konyol. Ibarat sebuah bis yang penuh sesak dengan penumpang, kemudian dibenturkan ke
rangkaian kereta api yang sedang berjalan kencang di atas relnya. Yang pasti, benturan itu
menimbulkan korban cukup banyak di kedua belah pihak.
Peranan Nurhidayat
Nurhidayat pernah bergabung ke dalam gerakan DI-TII (Darul Islam - Tentara Islam Indonesia)
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, namun kemudian ia menyempal dan membentuk kelompok
sendiri di Jakarta. Di Jakarta inilah, Nurhidayat, Sudarsono dan kawan-kawan merencanakan
sebuah gerakan yang kemudian terkenal dengan peristiwa Talangsari-Lampung (Februari 1989).
Nurhidayat, Sudarsono, Fauzi dan sebagainya itu, sebenarnya bukanlah sosok yang mengerti secara
baik esensi perjuangan. Rencana “aksi radikal” yang mereka rancang sesungguhnya lebih dilandasi
oleh sebuah ambisi, sehingga dalam prakteknya mereka begitu mudah mengorbankan pengikut-
pengikutnya sendiri. Selain itu, mereka juga tidak mampu berhitung secara cermat, yang merupakan
modal dasar seorang komandan pergerakan. Sebab, bagaimana mungkin dengan jumlah jama‟ah
yang tidak mencapai 40 orang laki-laki dewasa –dengan persenjataan yang primitif– mampu
menghadapi ratusan tentara bersenjata modern, apalagi melalui perang terbuka.
Nampaknya ambisi besar untuk bisa diperhitungkan di kalangan harakah Islam telah menjadikan
hatinya buta, sehingga tidak bisa lagi memperkirakan resiko (kekalahan) yang akan diderita.
Ambisinya telah menutupi akal sehatnya sendiri, sehingga tanpa perhitungan yang cermat ia dan
kawan-kawannya membuat semacam “negara” di dalam negara yang karena keawamannya sampai
tercium oleh aparat setempat.
Di “negara” Talangsari itu, Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan, dengan
pertimbangan senioritas (usia), juga karena Warsidi pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas
Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh jiwa. Karena tercium adanya
upaya membentuk “negara” di dalam negara, maka Komandan Koramil setempat merasa perlu
meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Kedatangan Danramil Kapten Inf. Soetiman
disambut dengan hujan panah dan golok, sehingga Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 6
wilayah “negara” Talangsari.
Dengan tewasnya Kapten Inf. Soetiman, maka aparat keamanan (Danrem) mengambil tindakan
tegas kepada kelompok jama‟ah Warsidi. Sehingga, terjadilah penyerbuan ke “negara” Talangsari
oleh aparat setempat (Danrem) yang mendapat bantuan dari penduduk kampung di lingkungan
“negara” Talangsari yang selama ini memendam antipati kepada komunitas Warsidi, sehingga
korban pun berjatuhan dari kedua belah pihak.
Di negara mana pun, apabila aparatnya dibunuh oleh sekelompok orang yang diidentifikasi
berpotensi memisahkan diri dari negara yang sah, atau baru ingin memisahkan diri dari negara yang
sah, pasti akan ditindak dengan tegas oleh aparat pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut.
Sebagai contoh di Malaysia, pernah dilakukan tindakan tegas oleh aparat pemerintah Malaysia pada
akhir tahun 1970-an, berupa penyerbuan terhadap kelompok Ibrahim Libya dengan pasukan yang
dipersenjatai tank dan panser. Begitu juga terhadap kelompok David Koresh di AS. Tetapi di kedua
negara tersebut tidak menimbulkan korban banyak karena tidak ada perlawanan. Berbeda dengan
kelompok Warsidi yang memberikan perlawanan sengit dan brutal terhadap aparat pemerintah yang
sah.
Oleh karena itu merupakan konsekuensi logis bila kelompok Warsidi dikenai tindakan tegas dan
dari situ kemudian jatuh sejumlah korban, akibat bentrok dengan aparat yang dibantu penduduk di
lingkungan “negara” kekuasaan Warsidi. Jadi, istilah “pembantaian” pada kasus Talangsari sama
sekali tidak benar, karena sejak dari Jakarta “para aktivis dari Jakarta” sudah merancang sebuah
pemberontakan bersenjata (primitif) dalam rangka mendirikan sebuah daulah di tengah-tengah
Negara Republik Indonesia.
Oleh karena itu, “para aktivis dari Jakarta” adalah orang yang paling bertanggung jawab atas
terjadinya tragedi berdarah di Talangsari, Lampung. Nurhidayat telah memerintahkan untuk
membuat “kota perjuangan” sebagai basis pergerakan, di Talangsari
Sebagai Imam Musafir, Nurhidayat adalah penentu bagi mereka yang akan berhijrah ke Talangsari.
Bahkan siapa saja (dari Jakarta atau Jawa Tengah) yang bermaksud melaksanakan hijrah ke
Talangsari, Lampung, harus mengangkat janji kepada kepemimpinan Nurhidayat, juga harus di-
bai'at (sumpah setia dan taat kepada Nurhidayat tanpa boleh ditentang), bahkan siap mati untuk
perjuangan menegakkan syariat Islam. Jadi sejak awal, mereka yang berhijrah atau dihijrahkan ke
Talangsari, Lampung, sudah bertekad untuk berjuang sampai mati, tidak ada penyesalan apabila
terjadi kekalahan atau resiko apapun yang nantinya bakal terjadi dalam basis pergerakan di
Talangsari, Lampung itu.
Oleh karena itu, mereka yang terlibat kasus Talangsari, Lampung, dan ikhlas dalam perjuangan,
tidak ada agenda tuntut menuntut, atau menyesali “kekalahan” yang diderita. Sebab kalah atau
menang, mati atau hidup sudah merupakan resiko perjuangan. Karenanya, sejak awal bila memang
berniat untuk berjuang tidak boleh gegabah dalam menentukan sikap, sebab setiap perjuangan
selalu mengorbankan nyawa orang banyak. Sedangkan mereka yang terbukti kemudian tidak ikhlas,
lebih cenderung melakukan serangkaian upaya tuntut-menuntut, yang oleh masyarakat banyak
dibaca sebagai upaya komersialisasi semata.
Jadi, peristiwa Talangsari, Lampung, tidak persis sama dengan dengan kasus Priok (1984), berbeda
dengan peristiwa Santacruz di Timor Timur. Karena, peristiwa Talangsari, Lampung merupakan
gerakan yang sudah direncanakan dari Jakarta oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Sejak awal,
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 7
Nurhidayat dan kawan-kawan sudah merencanakan peperangan terbuka dengan aparat. Sebuah
gagasan yang konyol.
AZWAR KAILI
Azwar berasal dari suku Minang. Ia lahir pada tahun 1942 di Pariaman, Padang. Pendidikan
terakhirnya kelas III SMP pada tahun 1957. Ia tidak sempat menamatkan pendidikannya karena
masuk Tentara Pelajar Pasukan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) bagian
kesehatan.
Pada tahun 1959, ia merantau ke Tanjung Karang, Kabupaten Lampung Selatan, dengan profesi
sebagai agen rokok cap Gentong.
Pada tahun 1966 kembali ke Pariaman untuk menikah. Setahun kemudian Azwar kembali ke
Tanjung Karang, namun usaha agen rokok yang dilanjutkan kakak kandungnya telah bangkrut. Sisa
modal digunakan untuk membuka warung nasi masakan padang yang tidak berhasil, sehingga
beralih usaha menjadi pedagang kain keliling.
Sekitar tahun 1969 Azwar bergabung dengan kelompok masyarakat pendatang yang akan membuka
Desa Sidorejo di kawasan Hutan Lindung Gunung Balak. Ia berjualan obat-obatan dan sejak itu
berprofesi sebagai mantri kesehatan swasta di Desa Sidorejo.
Azwar ditahan selama tiga bulan pada tahun 1989 oleh aparat keamanan setempat dengan tuduhan
memberikan pendidikan kesehatan kepada anggota kelompok Warsidi di rumah Zamzuri, tetangga
dekatnya.
Dua puteranya ikut pengajian Abdullah, mantan aktivis Gerakan Usroh Abdullah Sungkar Jawa
Tengah yang ditampung Zamzuri. Pada 4 Januari 1989 kedua puteranya ikut pengajian di Umbul
Cihideung atas ajakan Abdullah. Kedua puteranya twermasuk korban Peristiwa 7 Februari 1989.
Begitulah sosok Azwar Kaili sebagaimana digambarkan Abdul Syukur, penulis buku berjudul
Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989, khususnya pada halaman 196-197.
Sedangkan melalui buku yang ditulis Al Chaidar dan kawan-kawan, berjudul Lampung Bersimbah
Darah, sosok Azwar Kaili digambarkan sebagai berikut:
Azwar Kaili lahir tahun 1942 di Painan, Sumatera Barat. Dia adalah seorang pejuang yang tak kenal
menyerah, berbudi pekerti baik dan bersikap tegas. Dalam hidupnya, segala persoalan dihadapinya
dengan lapang dada dan senantiasa bersabar mencari hikmah dari semua peristiwa-peristiwa
sejarah. Ia berhijrah ke Lampung pada tahun 1960. Baru pada tahun 1969 ia pindah ke Sidoredjo,
sebagai the last frontier bagi hidupnya dan keluarga. Pada tahun 1969 tersebut, jumlah kepala
keluarga yang berpindah ke Sidoredjo sebanyak 600 KK. Dia adalah salah seorang yang diperlukan
sebagai mantri pengobatan di daerah baru tersebut. Pada waktu itu, sekitar tahun-tahun 70-an,
penyakit malaria adalah penyakit yang ditakuti semua warga. Ia menyediakan obat-obat pil kina
yang mencoba mengatasi penderitaan rakyat di sana. Pada awalnya, sebagai mantri pengobatan, ia
juga bercocok tanam kedele dan tanaman tumpang sari lainnya.
Hidup memang terasa sangat keras di Sidoredjo pada tahun-tahun awal pembukaan lahan. Ia juga
mengalami peristiwa tragis yang juga dialami banyak orang di Sidoredjo pada tahun 1971. Pada
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 8
tahun 1971 terjadi sebuah peristiwa yang tidak dimengertinya, segerombolan tentara republik,
tentara kehutanan, datang dan mengusir mereka semua yang tinggal di lahan pembukaan baru di
Sidoredjo. Peristiwa ini sangat mengejutkan karena terjadi tanpa sebab yang jelas. Namun, semua
itu dianggap sebuah “kekerasan formal” yang mungkin harus terjadi pada waktu itu. Pada tanggal 3
Maret 1973, ia menikah dengan seorang perawat bernama Ismini.
Dia merupakan satu-satunya orang dari Sumatera Barat –di samping itu ada lagi yang bernama St.
Malano– yang ditangkap karena peristiwa berdarah itu. Diketahui, keterlibatannya dalam kelompok
Warsidi ini di bawah koordinasi Sudiono dan Zamzuri. Bahkan Azwar merupakan penyelenggara
kursus kesehatan dengan mengambil instruktur dari RSAM Tanjungkarang. Berkat ketekunan
isterinya dalam mempelajari kursus tersebut, sehingga ia mendapat keahlian menyuntik dan
mendapat gelar dari masyarakat setempat sebagai manteri kesehatan. Namun Azwar sendiri, sehari-
harinya bekerja sebagai tukang jahit pakaian.
Deskripsi tentang Azwar Kaili sebagaimana digambarkan Al Chaidar sangat mengagumkan.
Namun, pada suatu hari saya amat sangat terkejut dan merasa begitu prihatin, ketika menyaksikan
testimoni Azwar Kaili bersama istrinya, yang mengaku-ngaku sebagai korban kasus Talangsari
(1989), pada program Buser Petang SCTV yang mengudara sejak 17:30 wib, khususnya segmen B-
File (22 September 2003).
Pada testimoni itu, saya banyak menemukan pernyataan „aneh‟ dari Bapak Azwar Kaili berserta
istrinya. Sebagai mantan Komandan Pasukan Khusus GPK Warsidi, saya tahu persis jatidiri Bapak
Azwar Kaili.
Sebagai penduduk Sidorejo, Bapak Azwar Kaili tergolong aktif mengikuti pengajian-pengajian
yang diselenggarakan anak buah Warsidi bernama Abdullah alias Dulah dan Pak Sediono. Begitu
juga dengan Warsito, anak angkat Bapak Azwar. Putra pak Azwar Kaili yang pernah ikut-ikutan
Warsito mengaji kepada Abdullah seluruhnya empat orang, tiga lainnya adalah Iwan, Haris, dan
Ujang.
Meski usianya masih belasan, Warsito sudah dibina oleh Dulah sebagai calon Mujahid, dan secara
resmi menjadi anggota Jama‟ah Warsidi sekurangnya sejak tahun 1988. Warsito dan beberapa
teman sebayanya sudah menjadi sosok yang militan akibat binaan Dulah.
Beberapa saat sebelum pecah kasus Talangsari, Warsito bersama anak pak Sediono (almarhum
terlibat kasus Talangsari) yaitu Zulkarnaen dan Zulfikar, juga anak pak Zamzuri (Isrul Koto)
mereka pamit kepada orangtua masing-masing untuk berjihad ke Talangsari.
Ada satu momen khusus yang masih teringat, bahwa anak Pak Sediono yang bernama Zulfikar
(teman Warsito) sebelum berangkat ke Talangsari untuk berjihad, menyampaikan kata-kata akhir
kepada adiknya: “seandainya saya mati dik, tolong dirawat ayam-ayam ini…”
Di SCTV pak Azwar mengatakan, bahwa kepergian Warsito ke Talangsari adalah untuk nyantri,
dengan berbekal uang Rp 1.000 dan seekor ayam. Padahal, sebagaimana anak Pak Sediono dan Pak
Zamzuri, keberangkatan Warsito ke Talangsari adalah untuk berjihad (mati syahid).
Azwar Kaili memang pernah ditangkap dan ditahan. Hal ini terjadi pada hampir semua orang yang
punya kaitan dengan pengajian yang diselenggarakan Dulah. Namun tidak lama, setelah melalui
proses pemeriksaan, dan tidak terbukti ada kaitan dengan kasus Talangsari, maka mereka pun
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 9
dilepas, termasuk pak Azwar, yang tidak ditemukan indikasi keterkaitannya dengan gerakan
separatis Warsidi kecuali sebagai jamaah pengajian biasa.
Di SCTV, pak Azwar mengakui, bahwa rumah dan harta lainnya yang ia kumpulkan sejak masih
bujangan, musnah dalam sekejap karena dibakar oleh aparat. Proses pembakaran itu terjadi ketika ia
sedang memenuhi panggilan Danramil.
Pernyataan itu jelas tidak benar. Setahu kami, meski terjadi penangkapan dan penahanan atas diri
beliau, namun tidak ada pembakaran dan perampokan atas harta benda beliau.
Entah motif apa yang mendorong beliau menyampaikan pernyataan dusta kepada khalayak.
Mungkin beliau sakit hati kepada pak Hendro.
Menurut pengakuan Sukardi, salah seorang tokoh kasus Talangsari, pada bulan September tahun
2002, pak Azwar menyampaikan maksudnya untuk bertemu dengan pak Hendro, tujuannya untuk
mendapatkan kompensasi atas musibah yang selama ini ia derita berkenaan dengan kasus
Talangsari.
Namun, permintaan pak Azwar melalui Sukardi untuk dipertemukan dengan pak Hendro itu sama
sekali tidak terlaksana, karena saat itu pak Hendro menurut Sukardi sedang bertugas ke luar negeri.
Ketika itu, pak Azwar Kaili memberi ultimatum kepada Sukardi, bahwa bila dalam waktu satu
bulan tidak bisa dipertemukan dengan pak Hendro maka beliau akan mengajukan tuntutan kepada
pak Hendro.
Jadi, menurut hemat saya, motif yang melandasi Pak Azwar Kaili bukanlah sesuatu yang luhur
(demi kemaslahatan ummat atau korban) tetapi semata-mata ingin mencari peluang mendapatkan
keuntungan materiel (finansial) dengan mengeksploitasi (mengkomersialkan) keterkaitan dirinya
dengan anak angkatnya yang bernama Warsito.
Kini, di usianya yang kian senja, Azwar Kaili berhadapan dengan musibah yang sangat memilukan,
yaitu: dua orang anak kandungnya (Haris dan Ujang) ditangkap aparat kepolisian karena terlibat
tindak kriminal: mereka berdua menjadi penadah sepeda motor curian di Lampung.
FAUZI ISMAN
Fauzi Isman lahir di Tanjung Karang, Bandar Lampung, tanggal 27 Februari 1967. Meski lahir di
Lampung, ia campuran Jawa Timur dan Minang. Ayahnya pensiunan TNI-AD tahun 1973 dengan
pangkat terakhir Peltu (Pembantu Letnan Satu).
Tahun 1979, Fauzi lulus SD XXV Tanjung Karang. Tahun 1982, ia berhasil menyelesaikan
studinya di SMP I Tanjung Karang. Kemudian melanjutkan pendidikan formalnya setingkat Aliyah
di Pondok Pesantren Bahrul „Ulum Jombang, Jawa Timur, hingga selesai pada tahun 1985. Tahun
1988 lulus Akademi Ilmu Statistik tahun.
Tahun 1982 Fauzi Isman mengikuti basic training Pelajar Islam Indonesia (PII) Tanjung Karang,
Lampung, dan aktif dalam Komisariat Masjid Baabus Salam Pelajar Islam Indonesia (PII).
Pertengahan tahun 1987 Fauzi Isman masuk anggota kelompok pengajian mahasiswa Akademi
Ilmu Statistik dan berkenalan dengan Sudarsono, seorang tokoh Peristiwa Lampung 1989. Fauzi
Isman termasuk anggota paling cerdas, sehingga dipercaya menjadi utusan ke Nusa Tenggara Barat
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 10
untuk menjelaskan rencana hijrah ke Umbul Cihideung, Lampung. Ia diangkat menjadi sekretaris
Amir Musyafir Nur Hidayat dalam pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa Barat.
Pada tanggal 3 September 1998, Fauzi Isman bersama-sama dengan Ahmad Yani Wahid,
Sudarsono, Maulana Abd Latief, melakukan unjuk rasa ke gedung DPR/MPR, dengan membawa
sekitar 200 orang demonstran yang dinyatakan sebagai korban peristiwa Talangsari. Peristiwa ini
antara lain diabadikan oleh harian KOMPAS, edisi 4 September 1998, halaman 6:
Fauzi Isnan , salah seorang mantan napol kasus Lampung mengatakan, semua pihak harus
mengakui bahwa luka politik masa lalu yang melibatkan umat Islam dan ABRI adalah suatu
kesalahan. “Dan penyelesaian terbaik, adalah menyisihkan sikap saling curiga dan prasangka buruk
dalam kerangka rekonsiliasi nasional,” ujarnya.
Itu, menurut Fauzi, dapat dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan dan kesejahteraan terhadap
para korban dan keluarganya, termasuk para napol dan keluarganya yang hak perdatanya telah
dimatikan…
Jadi, ketika sebagian napol kasus Talangsari (Lampung) masih berada di LP Nusakambangan,
konsep ishlah sudah disosialisasikan dan digemakan oleh Fauzi Isman dan kawan-kawannya.
Sikap Fauzi Isman dan kawan-kawan itu, ternyata mendapat „perlawanan‟ dari Nur Hidayat. Pada
tanggal 18 September 1998, Nur Hidayat bersama dengan Sukardi dan Ruminah mendatangi kantor
YLBHI. Peristiwa ini diabadikan oleh harian REPUBLIKA, edisi 19 September 1998, halaman 3:
Keluarga dan korban tragedi Lampung kembali mendesak agar pemerintah segera memberikan
tindakan rehabilitasi kepada mereka. Mereka juga berharap pihak ABRI segera melakukan tindakan
konkret dengan mengambil tindakan pidana kepada para prajurit yang terlibat dalam kasus tersebut.
“Yang kami lakukan ini bukanlah berdasarkan kepada dendam. Yang kami tuntut adalah agar
keadilan segera bisa ditegakkan,” kata Nur Hidayat, terpidana korban peristiwa kasus Warsidi
Lampung, di kantor YLBHI, Jakarta, kemarin (18/9).
Dia mengatakan, saat ini pihaknya memang telah mendengar bahwa ada beberapa orang yang
menyatakan diri tidak sepakat bila kasus Lampung itu dibuka kembali. Namun, lanjut Nur Hidayat,
hingga kini dia sama sekali belum tahu isi persis dari sikap penolakan tersebut.
…
Sebelumnya, pada Maret 1998, Nur Hidayat memproklamirkan diri sebagai korodinator KORAMIL
(Korban Kekerasan Militer), menuntut Komnas HAM mengungkap kasus Lampung dengan
membentuk tim pencari fakta independen. KORAMIL nampaknya didirikan oleh Nur Hidayat
dalam rangka memberikan „perlawanan‟ terhadap KORSANDI yang sudah digemakan Sudarsono
sebelumnya.
Entah apa yang terjadi antara kedua tokoh penting kasus Lampung itu, padahal mereka berdua
ditambah Fauzi Isman yang ikut memulai gerakan ishlah, dengan mendatangi kantor Mentrans
Hendropriyono, sebagaimana diabadikan oleh harian REPUBLIKA edisi 30 Januari 1999, halaman
1:
…
Munculnya ide Ishlah nasional ini, menurut mantan Napol Talangsari, Sudarsono, seminggu setelah
lengsernya Pak Harto. Ia dan dua orang temannya yang masih dalam proses asimilasi, yaitu Fauzi
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 11
dan Nurhidayat mendatangi Mentrans Hendropriyono di Deptrans. Ia minta tolong kepada Hendro,
agar ia dan teman-temannya semua kasus Talangsari bisa mendapat grasi dari pemerintah.
…
Dengan demikian, Fauzi Isman, bersama-sama dengan Sudarsono dan Nur Hidayat, sudah sejak
awal reformasi mencetuskan ishlah setidaknya untuk kasus Lampung. Entah apa alasannya ketika
Nur Hidayat kemudian melakukan „perlawanan‟ ketika gerakan ishlah mulai menggelinding.
Entah apa pula yang menyebabkan Fauzi Isman berubah pikiran menentang ishlah, dan bergabung
dengan Kontras dalam kapasitasnya sebagai koordinator KORAMIL (Korban Kekerasan Militer)
yang dua tahun sebelumnya dijabat oleh Nur Hidayat. Peristiwa ini diabadikan oleh harian
KOMPAS edisi 18 April 2000, halaman 8:
Upaya mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi pada pembunuhan sejumlah warga desa
Talangsari, Lampung Tengah, 7 Februari 1989 lalu, kini berusaha dihambat oleh kelompok yang
diperkirakan berhubungan erat dengan mantan Komandan Korem (Danrem) Garuda Hitam selaku
penanggungjawab penyerangan kala itu. Korban dan keluarga korban dibujuk dengan uang, sapi,
tanah dan rumah, bahkan ada juga yang diculik untuk kemudian dipaksa ikut dalam aksi ke Komnas
HAM menuntut Komnas untuk tidak usah ikut campur dalam penyelesaian soal Talangsari.
Hal tersebut disampaikan Ahmad Hambali dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan
(Kontras) sebagai penasihat hukum korban Lampung, dan Koordinator Korban Kekerasan Militer
(Koramil) kasus Talangsari, Fauzi Isman, pekan lalu, di Jakarta. Komandan Korem Garuda Hitam
waktu itu adalah Kolonel (Inf.) AM Hendropriyono.
Isman mengungkapkan, pernyataan mantan Danrem Garuda Hitam bahwa dirinya tidak keberatan
bila kasus Lampung diungkap kembali, tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Melalui
sejumlah orang, upaya pengungkapan kasus Lampung itu berusaha dihambat dengan teror dan
tawaran uang kepada para saksi korban dan saksi mata di sekitar lokasi kejadian.
“Pada tanggal 22. Maret 2000, rumah kediaman kami diteror sekelompok orang yang tidak dikenal
yang menggunakan motor, setelah saya diwawancarai radio Jakarta News FM. Para saksi korban
pembantaian Talangsari yang berada di Solo dan Lampung, terbujuk untuk melakukan demo anti
pengungkapan dengan menandatangani surat pernyataan untuk tidak mengungkap peristiwa
Talangsari tersebut dengan imbalan uang sekitar satu.juta rupiah dan dua ekor sapi,” ungkap Isman.
Isman menegaskan, dia dan kawan-kawan menginginkan adanya pengungkapan agar jelas apa yang
terjadi dan di mana mereka yang hilang itu berada. “Mengenai bagaimana tindak lanjutnya setelah
itu, apakah akan memaafkan atau terus menuntut proses hukum, itu persoalan kemudian. Yang
penting ada pengungkapan dulu agar jelas kejadiannya,” ungkapnya. (oki)
Sikap Fauzi itu mendapat reaksi keras dari mantan korban kasus Lampung, antara lain sebagaimana
terwakili melalui surat pembaca yang dimuat oleh majalah PANJI MASYARAKAT edisi 3 Mei
2000, halaman 10-11, sebagai berikut:
Sehubungan dengan pemberitaan sebuah harian Ibu Kota edisi 18 April 2000, halaman 8, berjudul
“Korban Talangsari Coba Dibungkam”, saya sebagai salah seorang mantan narapidana kasus
Talangsari (Lampung) bersama ini bermaksud menyanggah isi dari berita tersebut, terutama yang
bersumber dari sdr. Fauzi Isman. Adalah tidak benar bahwa korban kasus Talangsari (Lampung)
dibujuk untuk tidak mengungkit kembali masalah tersebut, dan mendapat iming-iming berupa uang
tunai, rumah, tanah, dan sapi.
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 12
Kami melakukan unjuk rasa ke Komnas HAM dan sebagainya, adalah untuk menghentikan langkah
sdr. Fauzi Isman yang tiba-tiba berminat untuk mengungkap kembali kasus Talangsari, padahal
sebelumnya, sekitar 1998, Fauzi dan kawan-kawan pulalah yang menyodorkan penyelesaian damai
(konsep ishlah).
Sepengetahuan kami, sdr. Fauzi Isman dan kawan-kawan ketika itu (1998) sudah banyak
mengatasnamakan korban kasus Talangsari, dan sudah mengeruk keuntungan finansial yang cukup
banyak melalui upaya damai (ishlah) tersebut. Bahkan, Fauzi Isman telah melakukan manipulasi
terhadap mobil Kijang sumbangan Hendropriyono, yang sebenarnya ditujukan guna memperlancar
urusan-urusan bisnis kelompok korban kasus Talangsari (via Yayasan Bunayya). Mobil tersebut
dikuasainya dan sampai sekarang tak jelas keberadaannya.
Kepada korban Talangsari, Hendropriyono memang pernah memberikan santunan Idul Fitri (1420
H) berupa uang tunai beberapa juta rupiah untuk beberapa orang korban kasus Talangsari yang baru
saja keluar dari tahanan dan belum bisa mencari uang sendiri --jadi bukan kepada semua korban.
Dalam hal ini, sdr. Fauzi justru menerima jauh lebih banyak dari uang THR yang diterima sebagian
kecil korban Talangsari.
Begitu juga sumbangan sapi yang jumlahnya hanya empat ekor, dan diperuntukkan bagi
kepentingan komunitas korban Talangsari (asal Solo, Jateng) secara keseluruhan, bukan untuk
keperluan pribadi-pribadi. Namun sampai saat ini keempat ekor sapi tersebut sulit dilacak
keberadaannya, sehingga tidak memberi manfaat apa-apa bagi korban kasus Talangsari asal Solo
itu.
Tujuan kami adalah untuk mengingatkan sdr. Fauzi Isman, yang saat ini masih berstatus “bebas
bersyarat” agar tidak melakukan ulah macam-macam, padahal telah cukup banyak mendapat
keuntungan finansial dan materiel dari Hendropriyono, dengan mengatas-namakan korban kasus
Talangsari. Kami khawatir, jika kasus penggelapan mobil Kijang diperkarakan Hendropriyono,
kemungkinan besar Fauzi akan kembali ke tahanan tanpa proses.
Riyanto, mantan Kopasus GPK Warsidi
Saya berkesimpulan Fauzi Isman yang kembali menuntut agar kasus Talangsari diungkap, adalah
sosok yang tidak saja labil tetapi juga menghalalkan segala cara untuk bisa mendapatkan uang
dengan mudah.
Fauzi Isman memang punya maksud memeras Hendropriyono melalui upaya pengungkapan
kembali kasus Talangsari dengan menjalin kerjasama dengan LSM tertentu. Pernyataan itu
dicetuskan Fauzi pada sebuah kesempatan di gedung Nidya Karya, Jakarta, sekitar tanggal 6 Juni
2001, kepada Sofyan alias Sri Haryadi, dengan disaksikan oleh Fahrudin. Sejak tanggal 7 Juni 2001
Fauzi Isman menjalani status sebagai tahanan Polda Metro Jaya untuk kasus penggelapan mobil
Yayasan Bunayya.
JAYUS
Selama ini saya mengenal Jayus alias Dayat bin Karmo (lahir tahun 1956) sebagai sosok yang
ikhlas berjuang untuk menegakkan negara Islam, dengan menjadikan Cihideung (Talangsari)
sebagai basis perjuangan. Namun saya amat terkejut ketika membaca GAMMA edisi 1-7 Agustus
2001 (hal. 32-33), berjudul Buka Tutup Tak Berujung, antara lain memberitakan bahwa Jayus
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 13
bersama enam orang yang mengaku-ngaku sebagai mantan jamaah Warsidi menghadap LBH
Lampung untuk mengungkap kembali kasus Talangsari.
Selain majalah GAMMA sepak terjang Jayus juga diabadikan majalah GATRA no. 39 tahun VII
edisi 18 Agustus 2001 (hal. 118), berjudul Menahan Laju Garuda Hitam; harian REPUBLIKA edisi
6 September 2001 (hal. 12), berjudul Korban Kasus Talangsari Tolak Islah; juga harian KOMPAS
edisi 21 Desember 2001 (hal. 7), tentang keterlibatan Jayus bersama Kontras dan Smalam untuk
mengungkap kembali kasus Talangsari.
Ketika itu saya berfikir, Jayus sudah banyak berubah menjadi petualang politik yang punya motif
komersial. Mungkin karena terdesak oleh kebutuhan ekonominya yang meningkat.
Dulu, Hendropriyono pernah memenuhi permintaan Jayus untuk menguasai kembali sebidang tanah
miliknya di lokasi bekas kejadian yang pernah dibeli oleh Lurah Amir Puspa Mega, tanpa harus
mengeluarkan uang sepeser pun.
Di antara para elite kasus Talangsari, Jayus satu-satunya pelaku yang mendapat putusan paling
ringan, hanya ditahan selama satu tahun. Padahal, Jayus adalah orang kedua setelah Almarhum
Warsidi. Hal itu bisa terjadi karena Jayus telah “berjasa” (baca: berkhianat) dengan menunjukkan
semua jamaah Warsidi yang ketika itu sedang berusaha melarikan diri ke Jakarta melalui
Bakauheni.
Perlu ditegaskan, bahwa Jayus bukan representasi dari keluarga korban pada umumnya. Mengenai
tujuh orang yang mengaku mantan anggota Jamaah Warsidi yang menghadap LBH Lampung,
mereka adalah anggota keluarga Jayus sendiri, yang pada waktu kejadian belum mengerti
permasalahan karena masih berusia sangat muda. Misalnya, Purwoko yang berusia 6 tahun ketika
kasus Talangsari terjadi.
Dengan demikian, kedatangan mereka ke LBH Lampung tidak mewakili aspirasi dari keluarga
korban pada umumnya. Bahkan Jayus ketika kasus Talangsari terjadi, ia melarikan diri dan
bersembunyi ke dalam sungai di belakang lokasi kejadian. Dengan demikian Jayus sama sekali
tidak mengetahui dengan persis kejadian tersebut. Terbukti, Jayus tidak pernah dijadikan
narasumber (informan) penelitian oleh para peneliti dan penulis buku tentang Talangsari
(Lampung).
Sungguh sangat ironis, Jayus yang dulu dengan penuh semangat mensosialisasikan konsep ishlah
dan memperoleh keuntungan finansial dengan adanya gerakan ishlah, kini justru gencar melakukan
upaya pengungkapan kembali kasus Talangsari. Faktanya, kini hanya Jayus seorang yang menolak
ishlah, sementara itu hampir seluruh keluarga korban dan pelaku kasus Talangsari sudah menerima
ishlah, yaitu mereka yang berada di Jakarta, Solo maupun Lampung. Jayus satu-satunya pelaku
kasus Talangsari asal Lampung yang setelah menerima ishlah kemudian menolak kembali karena
punya motif komersial.
Sikap mencla-mencle Jayus ternyata juga dikhawatirkan oleh keluarganya seperti Joko alias Sadar,
yang sampai saat ini menyesali sikap Jayus yang semula menerima konsep ishlah kemudian
mencabut dukungannya terhadap konsep ishlah, sementara anggota keluarga lainnya yang dulu
dilibatkan Jayus untuk ishlah sampai kini masih tetap memilih ishlah sebagai solusi. Dengan
demikian Jayus telah mengkhianati keluarga korban (dan anggota keluarganya sendiri).
TRAGEDI LAMPUNG
Copied by http://mcb.swaramuslim.net/| Created by http://arikbliz.multiply.com 14
Sebuah buku yang ditulis Abdul Syukur, berjudul Gerakan Usroh Di Indonesia: Peristiwa Lampung
1989, khususnya di halaman 113, menyajikan hasil wawancara penulis buku tersebut dengan
Sukardi yang berlangsung pada 11 Januari 2001 di Jakarta, mendeskripsikan sosok Jayus sebagai
berikut:
… Jayus adalah warga Umbul Cihideung yang menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Jayus
dikenal sebagai penjahat sebelum bergabung dengan kelompok pengajian Warsidi. Kawan Jayus
yang bernama Joko dan Badar turut pula menjadi anggota kelompok pengajian Warsidi. Sedangkan
Badar, kawannya yang lain sudah tertembak mati oleh penembakan misterius. Jayus menyesali
semua perbuatannya di masa lalu dan ingin mengabdikan sisa hidupnya untuk mencari kebaikan
sebagai penebus atas semua dosanya di masa lalu. Ia kemudian menyerahkan sebagian tanah
warisan orangtuanya di Umbul Cihideung kepada Warsidi agar dimanfaatkan untuk keperluan
mengembangkan agama Islam di Umbul Cihideung. Tanah pemberian Jayus di Umbul Cihideung
itulah yang ditetapkan sebagai lokasi hijrah dalam pertemuan 12 Desember 1988 di Cibinong, Jawa
Barat.
Dari berbagai buku tentang kasus Talangsari (Lampung) yang pernah diterbitkan oleh berbagai
penerbit, kesemua buku-buku tersebut hanya menyinggung sosok Jayus sekedarnya. Jayus cuma
disebut sebagai sosok yang menghibahkan 1,5 hektar tanahnya kepada Warsidi, dari sekitar 5 hektar
tanah yang miliknya hasil warisan orangtuanya. Baru pada buku yang ditulis Abdul Syukur
deskripsi tentang sosok Jayus ditampilkan sedikit rinci, itu pun melalui pihak ketiga.
Bagian Akhir : Peperangan Yang Direncanakan
Peristiwa Lampung 1989 adalah tindakan radikal, anarkis, bahkan subversif, yang memang
direncanakan. Selain direncanakan, ia juga merupakan perbuatan yang dilakukan secara bersama-
sama berlandaskan penanaman doktrin ideologis yang kemudian disadari keliru.
Rencana menuju perbuatan radikal, anarkis bahkan subversif itu dapat dilihat dari kronologis
berikut ini:
Setidaknya sejak September 1988, ketika empat aktivis dari Jakarta yaitu Nur Hidayat bin Abdul
Mutholib, Sudarsono, Fauzi Isman dan Wahidin, mengadakan pertemuan di rumah kontrakan
Sudarsono di jalan Remaja 1, Prumpung, Jakarta Timur.
Dari pertemuan itu tercetus gagasan membentuk sebuah tatanan kehidupan bernegara yang
berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul, sebagai tujuan jangka panjang.
Sedangkan tujuan jangka pendeknya adalah membangun Islamic Village di seluruh Indonesia, yang
berfungsi sebagai basis gerakan. Untuk membangun Islamic Village ini, pada Oktober 1998 Nur
Hidayat bin Abdul Mutholib, memerintahkan Fauzi Isman, Wahidin dan Sofyan berangkat ke
Lampung menemui Anwar Warsidi, pemimpin kelompok pengajian yang memiliki lahan seluar 1,5
hektar.
Masih pada bulan yang sama, bertempat di rumah kontrakan Sudarsono, Nur Hidayat bin Abdul
Mutholib bersama-sama dengan Fauzi Isman, Sudarsono dan Wahidin menerima utusan dari Anwar
Warsidi (Lampung), yaitu Ir. Usman, Umar, Heri dan Abdullah (alias Dulah). Isi pertemuan pada
dasarnya menyetujui adanya kerja sama membangun Islamic Village.