Tradisi Nitik: Studi Etnografi Tradisi Minum Toak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur

download Tradisi Nitik: Studi Etnografi Tradisi Minum Toak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur

If you can't read please download the document

Transcript of Tradisi Nitik: Studi Etnografi Tradisi Minum Toak di Kabupaten Tuban, Jawa Timur

BAB I PENDAHULUANI.1 Latar Belakang Masalah Tuban sebagai salah satu Kabupaten tertua (714 tahun) di Propinsi Jawa Timur memiliki berbagai keeksotisan tradisi lokal. Letak geografisnya yang tepat di garis pantai utara Pulau Jawa dan dikelilingi oleh perbukitan kapur, dan menurut Ernawan (2001), tanah di Tuban didominasi oleh jenis Mediteran merah sebagai barrier geografis menghasilkan salah satu minuman yang terkenal dengan nama tuak (toak: bahasa Jawa-Tuban). Minuman tersebut diproduksi dari getah pohon siwalan1 yang memang banyak terdapat di Kabupaten Tuban. Toak atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan tuak adalah minuman tradisional hasil fermentasi2 dari nira pohon siwalan (Borassus sundaicus), seperti yang dijelaskan oleh Ristiarini dkk.(2000:1):Nira siwalan is the liquid by-product of naturally fermented of Siwalan (Borassus sundaicus) has high sugar content with essential micronutrients that is ideal in condition and composition for microbial growth. Nira Siwalan adalah cairan yang dihasilkan oleh fermentasi alami dari siwalan (Borassus sundaicus) mempunyai kadar gula tinggi dan micronutrien essensial yang sangat ideal dalam hal kondisi dan komposisi untuk pertumbuhan mikroba

Toak sebagai hasil fermentasi memiliki sifat asam dan mengandung alkohol dengan kadar bergantung proses fermentasinya. Di Tuban terdapat tradisi minum tuak bersama yang dikenal dengan nama nitik dan kemudian menjadi ikon bagi kabupaten Tuban. Nitik adalah1 Siwalan, oleh masyarakat Tuban disebut dengan Bogor 2 Proses pengolahan yang menggunakan peranan mikroorganisme (jasad renik), sehingga dihasilkan produk-produk yang dikehendaki

1

tradisi minum toak bersama di suatu tempat yang sudah ditentukan dan konsisten. Para penikmat toak disebut dengan beduak. Toak, beduak dan tradisi nitik adalah tiga hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan selalu menghiasi beberapa sudut kabupaten Tuban setiap harinya. Tradisi ini tetap eksis hingga sekarang, walaupun tradisi nitik kontradiktif dengan ajaran agama yang dianut mayoritas penduduk Tuban, yaitu Islam. Menurut Departemen Agama Pemkab Tuban (2003), penganut Islam sebanyak 1. 050.766 jiwa dari jumlah penduduk sebesar 1.076.205 jiwa. Agama Islam selalu mengajarkan dan menuntun semua umatnya agar tidak mengkonsumsi minuman keras yang memabukan. Pelarangan tersebut nampak pada kitab suci Al Quran surat Al Maidah ayat 91 yang menyebutkan bahwa minuman keras akan menjerumuskan umat Islam ke dalam permusuhan dan perang3. Berdasarkan cerita masyarakat yang dituturkan oleh informan penulis, Katiman (57), orang Tuban dahulu adalah orang yang suka bermalas-malasan dan gemar mabuk minuman tradisional yang disebut toak. Para Sunan penyebar ajaran Islam-pun harus bekerja keras memutar otak agar bisa menyebarkan ajaran Islam dengan mudah. Para Sunan melakukan macam cara dalam mensyiarkan agama Islam, misal melalui wayang kulit, Tayuban, slametan sedekah bumi. Cara penyebaran agama Islam tersebut dilaksanakan secara kontinum sehingga menjadi tradisi yang turun temurun3 Terjemahan surat Al Maidah ayat 91 Sesungguhnya setan itu benar-benar hendak menjerumuskan kamu ke dalam permusuhan dan saling membenci antara sesamamu melalui minuman keras dan judi itu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan mengerjakan Shalat. Maukah kamu berhenti? (QS Al-Maidah:91).

2

antar

generasi.

Namun

demikian,

cara-cara

tersebut

tidak

bisa

menghilangkan nitik dan toak dari kehidupan masyarakat Tuban. Toak telah menjadi bagian (sub sistem) dari sistem budaya masyarakat Tuban. Pada umumnya peminum toak berasal dari kalangan pekerja berat seperti petani, kuli bangunan, tukang becak dan nelayan. Toak yang mengandung alkohol dapat menghangatkan tubuh secara keseluruhan, dan lebih cepat menghangatkan dibandingkan dengan minuman-minuman penghangat lainnya (teh panas, jahe panas), yang panasnya hanya terasa sesaat di daerah tenggorokan sampai lambung saja. Sementara itu, panas yang dihasilkan oleh alkohol akan lebih merata di tubuh. Alkohol bisa masuk ke pembuluh darah dan mengalir ke seluruh tubuh dan menghasilkan energi panas. Pekerja-pekerja berat merasa badannya lemas atau kurang bertenaga saat lupa meminum toak sebelum bekerja. Hampir setiap hari mereka menyisihkan uang sebesar Rp. 1000,- untuk membeli segelas toak. Gelas yang mereka pakai untuk mewadahi toak bukan dibuat dari kaca atau plastik, namun gelas tradisional terbuat dari batang pohon bambu yang dipotong hingga menjadi sebuah wadah dan diberi nama centhak (lihat lampiran gambar 26). Selain sebagai sarana pemuas hasrat untuk minum toak, tradisi nitik juga menjadi ajang pertemuan yang kontinum bagi sesama beduak di Tuban. Tali pertemanan antar beduak ini biasa disebut bolo ngombe dalam istilah lokal. Biasanya bolo ngombe ini terbentuk karena frekuensi bertemu antar beduak yang cukup tinggi saat nitik di tempat yang sama dan pada penjual

3

toak yang sama. Bolo ngombe menjadi semacam komunitas non formal yang memiliki pranata-pranata yang implisit di dalamnya, seperti misal saat salah satu beduak diganggu oleh orang lain, maka beduak-beduak lain yang ada dalam satu kelompok bolo ngombe akan membantu tanpa harus diperintah.

Gambar 1.1 Nitik di salah satu tempat di Kecamatan Tuban

Nitik juga bisa dijadikan ajang pencarian mata pencaharian bagi segolongan orang. Para mandor bangunan yang diberi tugas oleh majikannya membangun rumah dan mencari tukang-tukang sebagai anak buah, akan mengambil tukang-tukang tersebut dari bolo ngombe sendiri. Jadi dalam hal ini nitik mempunyai fungsi yang terkandung di dalamnya dan tidak terlihat langsung saat kita hanya melihat kegiatannya. Nitik sebagai sebuah fakta yang jelas terjadi di Kabupeten Tuban, menjadi suatu entry point bagi kemungkinan-kemungkinan baru interpretasi makna-makna yang ada di dalamnya. Inilah yang mungkin sedikit berbeda dengan budaya minum di budaya lain seperti di Amerika Serikat yang menyediakan minuman4

minuman keras seperti bir, whisky atau vodka di bar dan restoran. Misal, film Myseri, Alaska (1999)4 yang berlatar belakang kondisi lingkungan Alaska dengan cuaca yang santa dingin, sehingga akan membuat orang sering meminum whisky sebagai penghangat. Dengan demikian, minum minuman keras bagi mereka hanya sekedar upaya untuk meninggikan suhu badan karena suhu udara sangat rendah disana. Kegiatan minum seperti itu hanya dilakukan sesuai kebutuhan tubuh mereka, tanpa ada ikatan sosial yang terbentuk. Nitik menjadi ikon positif yang sekaligus menjadi ikon negatif bagi masyarakat Tuban. Toak sebagai ikon positif adalah penilaian dari sebagian orang bahwa nitik adalah ajang temu guyub tanpa mengganggu komunitas lainnya. Namun, sebagian masyarakat lainnya masih menganggap nitik sebagai ikon negatif. Khususnya masyarakat dari latar belakang agama yang kuat5, nitik dianggap sebagai kebiasaan yang kurang berguna bahkan cenderung menyimpan potensi berbahaya karena minuman yang diminum sangat memabukkan dan menyebabkan berbagai macam hal yang tidak diinginkan bersama. Reaksi keras terhadap julukan Kabupaten Tuban sebagai kota toak pernah disampaikan KH Asnawi, Amir, penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tuban dalam artikel wawancaranya yang berjudul Digugat, Penyebutan Tuban Sebagai Kota Tuak (www.jawapos.com, 2008). Beliau4 Dalam salah satu scene yang menceritakan tokoh utama Mike sedang duduk minum di sebuah bar di wilayah Myseri, Alaska. Seorang teman Mike yang berjuluk Big Al menghampirinya dan bertanya hi, Mickey apa yang kamu lakukan disini, bukankah kamu punya rumah?, kemudian Mike menjawab Rumahku tidak sehangat Whiskey ini Al 5 Pernyataan ini didapatkan penulis saat mewawancarai beberapa santri di pondok pesantren Al-Falah, Kecamatan Semanding

5

menyatakan bahwa Tuban dijadikan salah satu pusat penyebaran agama Islam oleh para aulia sejak ratusan tahun lalu. "Karena itu, sangat tidak pas penyebutan Kota Tuak," tandas mantan Ketua MUI Tuban ini. Terlepas dari berbagai pro dan kontra, berbagai macam keperluan dan kepentingan dibawa dan dibicarakan dalam nitik, sehingga tradisi ini tidak lagi menjadi ajang untuk sekedar membeli se-centhak toak. Makna dan fungsi yang terkandung di dalamnya akan lebih dalam dan kompleks bila mau diteliti lebih lanjut. Makna dan fungsi yang kompleks di balik nitik inilah yang membuat penelitian ini menjadi sangat penting dalam perspektif antropologis, karena menurut Saifuddin (2005:23), antropologi menekankan pada analisis masyarakat dan kebudayaan. Toak sebagai materi utama dalam nitik dapat mencerminkan tujuh unsur universal budaya seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:218). Toak dapat mewakili beberapa unsur, yaitu kesenian karena toak adalah bagian dari seni kuliner tradisional. Unsur kedua adalah sistem pengetahuan karena dalam pembuatan toak diperlukan berbagai macam metode hasil local genius masyarakat yang diturunkan antar generasi. Unsur ketiga adalah sistem mata pencaharian karena pembuatan toak dapat dijadikan mata pencaharian dengan menjualnya ke beberapa tempat nitik. Kelompok-kelompok bolo ngombe juga bisa mewakili organisasi sosial. Unsur terakhir adalah sistem religi, karena toak jelas dilarang oleh agama Islam yang dianut oleh sebagian besar penduduk Tuban bahkan oleh sang beduak sendiri6, namun tetap saja dikonsumsi hampir setiap hari.6 Selama penelitian, penulis mencatat bahwa semua beduak yang termasuk dalam bolo ngombe yang diteliti oleh penulis memeluk Agama Islam

6

Jenis hubungan yang terjadi diantara para beduak, beserta efek yang terjadi di dalam hubungan tersebut juga menjadi hal menarik untuk diteliti leih dalam. Analisa yang mungkin untuk dilakukan adalah menggunakan analisa fungsional, jaringan sosial dan jaringan komunikasi. Untuk informasi, Penelitian yang menyangkut nitik sangat jarang dilakukan selama ini, bahkan tidak terdapat arsip resmi dari pemerintah Kabupaten Tuban mengenai industri pembuatan toak tradisional, karena memang selama ini toak dibuat secara home industry yang tidak memiliki izin resmi dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penulisan skripsi ini diharap bisa membuka cakrawala baru pengetahuan mengenai nitik, toak, beduak dan segala macam makna yang dapat digali dalam tradisi nitik.

1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian penulis diatas, maka dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut: Mengapa ikatan sosial (social bond) dapat terbentuk dalam tradisi nitik? 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Apa sajakah faktor pembentuk ikatan sosial dalam tradisi nitik. 2. Proses pembentukan jaringan sosial yang berawal dari ikatan sosial pada tradisi nitik 3. Mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kelangsungan tradisi nitik sampai saat ini 4. Penelitian ini juga dikembangkan untuk mengetahui fungsi tradisi

7

nitik yang berhubungan dengan Pilkadal (Pemilihan Kepala Daerah Langsung), kerjasama antar beduak dalam bidang pertanian, upayaupaya beduak untuk melakukan aktualisasi diri dan kelompok, serta bentuk kegiatan untuk saling berbagi tentang masalah pribadi maupun kelompok.

1.4 Kerangka Pemikiran Karya etnografi ini sebenarnya berangkat karena ketertarikan penulis pada ikatan sosial yang terjadi pada kumpulan bolo ngombe dalam tradisi nitik. Durkin (1999:1) menyatakan, teori mengenai ikatan sosial (social bond) dalam ilmu sosial pertama dicetuskan oleh Travis Hirschi pada tahun 1969,We are moral beings to the extent we are social beingsthe sosial bond essentially refers to connection between the individual and the society. This theory posits that deviance occurs when the social bond is weak or lacking (Durkin,1999:2). Kita adalah makhluk bermoral (bagi diri sendiri), pada tingkatan lebih luas kita adalah makhluk sosialteori ikatan sosial merujuk pada hubungan antara individu dan masyarakat. Teori ini menerima kenyataan bahwa (individu) penyimpang muncul saat ikatan sosial lemah atau kurang (Durkin, 1999:2)

Masih menurut Hischi (Durkin, 1999:2), ikatan sosial memiliki empat elemen utama yang harus dipenuhi. Elemen pertama adalah kasih sayang (attachments), elemen kedua adalah komitmen (commitment), elemen ketiga adalah keterlibatan (involvement), akhirnya elemen keempat adalah keyakinan (belief). Ketertarikan peneliti tidak sebatas ikatan sosial saja, melainkan bagaimana sebuah ikatan sosial tersebut berlanjut menjadi sebuah jaringan

8

sosial. Penulis menggunakan metode analisis jaringan sosial yang diusulkan oleh J.A. Barnes (Koentjaraningrat, 1990:157), yang kemudian

disempurnakan oleh A. Wolfe (Koentjaraningrat 1990:158) dengan memisahkan jaringan sosial menjadi dua jenis yaitu, jaringan sosial total (unlimited social network) dan jaringan sosial bagian (limited social network). Awalnya, secara sederhana definisi jaringan sosial menurut Ritzer & Goodman (2007:382), adalah pola objektif yang menghubungkan anggota masyarakat (individual dan kolektivitas), namun definisi tersebut

berkembang seiring dengan perkembangan pemikiran dengan yang menuntut aplikasi realistis dari teori jaringan konvesional. Aplikasi tersebut bisa berbentuk peta maupun model jaringan sosial yang terdiri dari simpul dan garis-garis yang berhubungan satu sama lain. Menurut definisi dari kamus Wikipedia online, jaringan sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-simpul (yang umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan

(www.wikipedia.org/wiki/jaringan_sosial, 2008). Dalam kajian yang paling sederhana, suatu jaringan sosial digambarkan sebagai peta dari semua ikatan yang relevan antar simpul yang dikaji. Jaringan tersebut dapat pula digunakan untuk menentukan modal sosial aktor individu. Konsep ini sering digambarkan dalam diagram jaringan sosial yang mewujudkan simpul sebagai titik dan ikatan sebagai garis penghubungnya. Nitik sendiri sebenarnya juga bisa dianalisis menggunakan anilisis

9

jaringan komunikasi. Rogers dan Kincaid (1983:82) menjelaskan bahwa analisis ini adalah metode penelitian untuk mengidentifikasi struktur komunikasi dalam suatu sistem, dimana data-data yang terkait dengan alur komunikasi dianalisa dengan menggunakan tipe-tipe hubungan interpersonal sebagai unit analisis. Sebuah jaringan komunikasi terdiri dari interkoneksi antar individu yang dihubungkan oleh pola alur komunikasi. Menurut Rogers dan Kincaid (1981:76), Pertanyaan yang sering muncul di benak para ilmuwan sosial adalah apakah efek dari komunikasi? atau apakah yang diperbuat manusia dengan komunikasi?. Maka dari itu, Analisis jaringan komunikasi berupaya memberikan penjelasan lebih dalam tentang efek selanjutnya dari komunikasi. Penjelasan ini disebut dimensi kedua pada efek dari komunikasi yaitu:Further, communication network analysis has a particular advantage in allowing investigators to determine a second dimension of communication effects: the distribution of the consequences of human communication among the members of clique or system, including the consensus or agreement that emerges among the individuals in a network. (Rogers & Kincaid, 1981) Analisis jaringan komunikasi mempunyai keuntungan tersediri dalam mengijinkan peneliti untuk menentukan sebuah dimensi kedua dari efek komunikasi: distribusi dari segala konsekuensi komunikasi manusia diantara angota clique atau sistem, termasuk konsensus atau persetujuan yang muncul diantara individu-individu dalam suatu jaringan. (Rogers & Kincaid, 1981)

Dalam analisis jaringan komunikasi terdapat prosedur penelitian yang dinamakan identifying clique. Clique diartikan sebagai subsistem dimana elemen-elemen di dalamnya saling berinteraksi lebih sering dan frekuentif daripada anggota-anggota lain dalam suatu sistem komunikasi. Clique dapat dikaitkan dengan kumpulan bolo ngombe yang terdiri dari para beduak dengan intensitas pertemuan yang cukup sering. Dengan mengidentifikasi

10

bolo ngombe sebagai clique, maka penulis dengan mudah menelaah jaringan sosial yang terbentuk diantara para beduak. Sementara itu penulis juga berupaya menganalisis tradisi nitik menggunakan teori-teori fungsional, kajian dengan menggunakan teori fungsional menjelaskan bahwa eksplanasi fungsional dari suatu gejala menempatkan eksplanandum dalam suatu sistem interaktif pada suatu proses perubahan yang terkontrol atau ekuilibrium dinamik. Fungsionalisme menjelaskan hadirnya gambaran dan ciri efek yang berguna pada sistem seperti yang diungkapkan oleh Saifuddin (2005:156). Salah seorang sarjana Antropologi yang bernama M. E. Spiro pernah mendapatkan bahwa di dalam karangan ilmiah terdapat tiga cara pemakaian kata fungsi, pertama pemakaian yang menerangkan fungsi itu sebagai hubungan guna antara sesuatu hal dengan tujuan tertentu (misalnya ballpoint digunakan untuk menulis diatas suatu media penulisan). Kedua adalah pemakaian yang menerangkan fungsi sebagai kaitan korelasi antara satu hal dengan hal yang lain (apabila nilai dari hal A berubah, maka nilai dari hal lain yang dipengaruhi oleh hal A juga ikut berubah). Ketiga adalah pemakaian yang menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal yang lain dalam suatu sistem dan menyebabkan perubahan di berbagai bagian lain, bisa saja menyebabkan perubahan pada semua sistem. Aliran pemikiran mengenai masalah fungsi dari unsur-unsur kebudayaan guna kehidupan suatu masyarakat yang mulai populer semenjak hadirnya karya etnografi seorang antropolog besar yang bernama Bronislaw

11

Malinowski mengenai penduduk di kepulauan Trobriand ini lazim disebut aliran fungsionalisme. Dalam aliran tersebut ada berbagai pendapat dari berbagai sarjana antropologi mengenai apa sebenarnya fungsi dasar dari unsur-unsur kebudayaan manusia. Pendapat Malinowski (Koentjaraningrat, 1986: 229) mengenai aliran fungsionalisme ini adalah berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dari makhluk manusia (basic human needs). Dengan demikian, unsur mata pencaharian berfungsi untuk memenuhi hasrat kebutuhan manusia akan uang sebagai alat tukar kebutuhan mereka dalam kehidupan. Menurut Koentjaraningrat (1986:224), para ahli antropologi biasanya memakai istilah holistik untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati kebudayaan sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi. Dalam penjabaran penulis nanti dapat dilihat bahwa masing-masing dari unsur tradisi nitik saling terkait satu sama lain. Kajian ini, mampu menghadirkan fungsi-fungsi yang tersembunyi dalam budaya lokal masyarakat, termasuk pada tradisi nitik. Penulis memang bertujuan mengungkap beberapa fungsi yang ada dalam tradisi nitik, yang selama ini mungkin tidak banyak digali. Fungsi yang mungkin diungkap adalah fungsi-fungsi yang menguntungkan bagi para beduak sendiri. Ketergantungan tubuh pekerja keras akan minuman penambah energi, menunjukkan bahwa kebudayaan (beserta seluruh unsurnya) dan organisasi sosial merupakan respons terhadap kebutuhan biologis dan psikologis,

12

kebutuhan ini dapat dipenuhi oleh beberapa respons kebudayaan yang berbeda-beda seperti yang dijelaskan oleh Malinowski (Saifuddin, 2005:168). Kajian Malinowski ini bisa menjelaskan bagaimana budaya membentuk dirinya sedemikian rupa, agar mampu mampu menjadi pelindung dan alat pertahanan hidup bagi para penganutnya. Toak sebagai bagian dari budaya menjadi suatu kebutuhan tersendiri bagi komunitas beduak yang tidak bisa lepas darinya. Toak dianggap sebagai suplemen bagi para beduak membantu mereka untuk tetap beraktifitas dengan nyaman tanpa ada gangguan lemah, letih atau lesu. Apabila mereka (para beduak) yang sebagian besar adalah para pekerja keras tidak meminum toak dan merasa badannya pegal, maka akan berpengaruh negatif pada pekerjaan mereka. Berarti kajian ini bisa mengungkap bagaimana tradisi nitik yang notabene merupakan ajang berkumpul minum toak tetap bisa eksis dan merupakan awal pembentuk ikatan sosial diantara para beduak. Teori interaksional simbolik penulis gunakan untuk menganalisa fungsi dan kontinuitas dibalik interaksi yang terjadi antar aktor-aktor sosial yang ada di dalam tradisi nitik, sehingga bisa diketahui faktor-faktor yang membuat nitik masih eksis hingga sekarang. Rumusan yang paling ekonomis dari asumsi interaksionis datang dari karya Herbert Blumer (Craib,1985:112) yaitu Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia, makna-makna

dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses panafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda-tanda

13

yang dihadapinya. Mead (Ritzer dan Goodman, 2004:291) menjelaskan bahwa teoritisi interaksional simbolik cenderung menyetujui pentingnya penyebab dari interaksi sosial dan kontinuitas dari interaksi tersebut. Teori ini memusatkan perhatian pada tindakan dan interaksi manusia, bukan pada proses mental yang terisolasi. Teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana kontinuitas hubungan yang tidak hanya terjadi di luar area nitik, karena hubungan-hubungan yang terjadi diantara para beduak jauh lebih dalam daripada sekilas pandang saat mereka sedang nitik. Hal itu akan menjelaskan bagiamana nitik berfungsi dari segi sosial. Studi Interaksional Simbolik akan lebih mudah dimengerti dan digunakan saat kita menoleh sedikit pada ide-ide mengenai unit tindakan Talcott Parson dalam Craib (1985:110), hal tersebut melibatkan seperangkat asumsi mengenai aktor sosial. Parson membuat beberapa pilihan antara tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan itu dalam situasi baik mengenai objek fisik maupun sosial termasuk norma-norma dan nilai kultural. Proses pelembagaan (institusionalisasi) mencakup pelaku-pelaku (actors) yang menyesuaikan tindakan-tindakan mereka dalam interaksi sosial. Antar individu memberikan kepuasan timbal balik dan kalau hal tersebut berhasil, tindakan tadi berkembang menjadi suatu pola mengenai status-status peranan suatu struktur peranan dalam suatu komunitas kecil atau besar. Melihat makna dalam suatu interaksi sosial menurut Ryle (Geertz,

14

1992:11), agak menyesatkan seperti usaha pemecahan sandi atau kritik terhadap sastra. Spradley (1995:120), telah mngingatkan kita, para etnografer maupun calon etnografer tentang pentingnya pemaknaan pada budaya. Masyarakat dimana saja menata hidup mereka dalam kaitannya dengan makna dari berbagai hal. Simbol, interaksi, tradisi dan makna di dalamnya adalah bagian dari budaya masyarakat. Kebudayaan merupakan seperangkat sistem

pengetahuan yang digunakan oleh penggunanya sebagai alat untuk menginterpretasi alam (Suparlan, 2003: 85), sedangkan Crapo (2002:24), menjelaskan bahwa: adjusment of ways of life to different habitats, it is assumed that culture is an adaptive mechanism, and that those custom that improve a societys ability to adapt to its environment are the ones that are most likely to survive. pembelajaran mengenai cara menyesuaikan diri di lingkungan yang berbeda, hal tersebut mengasumsikan bahwa bahwa kebudayaan merupakan hasil mekanisme adaptasi, dan kebiasaan beradaptasi tersebut menimbulkan kemampuan bagi masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang merupakan syarat utama untuk bisa bertahan hidup

Tiada masyarakat yang lepas dari kebudayaan, masyarakat dan kebudayaan eksis karena satu alasan, yaitu memberi manusia fasilitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti yang dijabarkan Lenski dan Lenski (1978:34). Menurut Koentjaraningrat (1986:136) kebudayaan memiliki tujuh unsur universal yaitu sistem religi, bahasa, sistem pengetahuan, sistem teknologi, organisasi sosial dan kekerabatan, sistem mata pencaharian dan kesenian. Budaya sendiri terimplementasikan dalam tiga wujud menurut Koentjaraningrat (1994:15) wujud pertama adalah sistem ide atau gagasan, wujud kedua adalah perilaku dan wujud ketiga adalah hasil fisik budaya. Wujud pertama dari kebudayaan yaitu sestem ide atau gagasan biasa 15

disebut sebagai blue print budaya. Konsep mengenai nilai, moral, pranata suatu budaya tercetak dalam sistem kognisi masyarakat sebagai hasil interpretasi terhadap alam lingkungannya. Manusia mulai berpikir untuk mamanfaatkan alam sekitarnya untuk kepentingannya, pikiran-pikiran tersebut mulai tercetak dan terkonsep sistematis serta tersusun logis untuk diterapkan dalam rangka mencukupi kebutuhannya. Wujud kedua adalah perilaku, wujud ini merupakan tindak lanjut dari wujud pertama kebudayaan, sistem ide atau gagasan. Wujud kedua ini kelakuan yang terpola dari masyarakat itu sendiri. Wujud ketiga adalah hasil fisik budaya, yaitu hasil yang terabstraksi oleh pancaindera kita termasuk toak dan centhak. Bagi para beduak, kumpul bersama bolo ngombe adalah suatu kepuasan yang tidak bisa diukur dengan materi. Menurut penjabaran dari Mulder (1984: 52), individualitas bisa dianggap sebagai sikap yang membahayakan, bahkan dianggap berdosa dalam masyarakat Jawa. Niels Mulder mencoba menjelaskan bahwa masyarakat Jawa sangat menghargai relasi sosial dan mengenyampingkan individualitas. Tradisi nitik yang dianggap turut menjaga hubungan antar individu tetap dikembangkan dan dipertahankan walaupun berada dalam gelombang modernisasi yang menerpa Indonesia. Merujuk pada Mulder (1984:35), Modern adalah suatu sikap, cara berpikir menghadapi dinamisasi dunia. Modern tidak berarti merubah keadaan tradisional, melainkan pembukaan dimensi-dimensi hidup baru.

16

I.5. Metode penelitian I.5.1 Teknik Pengumpulan Data Penelitian yang akan dilakukan penulis di Kabupaten Tuban mencakup dua metode utama yaitu observasi dan interview untuk menghasilkan data kualitatif. Penelitian ini bertujuan utama membentuk karya tulis etnografi tentang tradisi nitik di kabupaten Tuban. Etnografi, menurut Spradley (1978:3) merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan hasil akhir memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Salah satu pendekatan yang lazim digunakan dalam penelitian etnografi adalah pendekatan holistik. Menurut Garna (Bestari, 2004:5), pendekatan holistik melihat keterkaitan dari keseluruhan bagian-bagian dan menganggap masyarakat adalah suatu sistem yang terbentuk dari bagian yang satu sama lainnya saling berkait, tiap bagian tidak dapat berdiri sendiri sepenuhnya dan tidak dapat diteliti secara terpisah. Keberadaan seseorang harus dilihat dalam hubungannya dengan bagian-bagian lain di lingkup hubungan masyarakat. Oleh karena itu, menurut Spradley (1995:3), penelitian etnografi melibatkan peneliti pada pembelajaran mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berbicara, berpikir dan bertindak dengan cara-cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, namun etnografi berarti belajar dari masyarakat. Karya Etnografi memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui oleh peneliti. Tahapan ini berbeda dengan tahapan yang ada di ilmu-ilmu sosial

17

yang lain. Penelitian etnografi menuntut arus balik yang konstan dari satu tahap ke tahap yang lain. Menurut Spradley (1995:119), Kelima tahapan dalam penelitian etnografi ini dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan terdiri dari: Pertama, memilih masalah. Spradley (1995:119), Permasalahan ini didasarkan kepada teori kebudayaan umum dan cenderung mirip dengan teori interaksi simbolik. Dalam hal ini, penulis memilih Tradisi nitik sebagai pangkal pembentuk ikatan sosial diantara para beduak di Kabupaten Tuban. Kedua, mengumpulkan data kebudayaan. Dalam tahapan kedua ini, penulis mengajukan beberapa pertanyaan deskriptif kepada para informan yang penulis wawancarai di lapangan. Pertanyaan deskriptif yang penulis ajukan semisal bagaimana alur tradisi nitik, bagaimana proses pembuatan toak, bagaimana para beduak bisa akrab satu sama lain, bagaimana cara memilih tempat yang tepat untuk nitik dan pertanyaan deskriptif lainnya yang bisa dilihat di dalam lampiran. Ketiga, Menganalisis data kebudayaan. Berdasarkan tulisan Spradley (1995:119), Tahapan ini meliputi pemeriksaan ulang catatan lapangan untuk mancari makna dan keterkaitan simbol yang ada dalam sebuah kebudayaan. Dalam tahapan ini, penulis menganalisa kertas kerja dan berbagai catatan lapangan lainnya kemudian berusaha menganalisis menggunakan teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian. Keempat, Memformulasikan hipotesis etnografis. Di dalam benak penulis sudah terbentuk suatu hipotesa sederhana bahwa intensitas pertemuan para beduak dalam tradisi nitik, membuat suatu ikatan sosial

18

(social bond) diantara beduak dan seterusnya membentuk jaringan sosial (social network) yang terimplementasi dalam berbagai sektor kehidupan seperti sosial, politik ekonomi dan sektor-sektor lainnya. Sesuai dengan penjelasan dari Tan (Koentjaraningrat ed., 1991: 25), bahwa suatu hipotesa bisa diperoleh dari tiga sumber, yang pertama adalah pengalaman, pengamatan dan dugaan si peneliti sendiri. Sumber kedua adalah hasil dari penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, dan yang ketiga adalah berasal dari teori-teori yang sudah terbentuk. Kelima, menuliskan etnografi. Dalam tahapan ini penulis mencoba menuliskan data dan temuan apa saja yang ditemui di lapangan ke dalam karya etnografi ini dan berusaha menganalisa dengan teori yang tepat sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang kongkrit mengenai tradisi nitik. Sehingga apabila analisa yang dibuat penulis tidak sesuai dengan hipotesa awal, maka penulis akan mengubahnya sesuai dengan data yang telah didapat.

I.5.1. Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive. Penelitian ini berlokasi di beberapa tempat nitik di Kecamatan Semanding dan Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Pemilihan lokasi ini sengaja dilakukan karena kecamatan Semanding merupakan kecamatan tenpat tinggal dari penulis, sehingga cukup mengenal daerahnya. Di kecamatan Semanding banyak terdapat kelompok-kelompok nitik yang kebanyakan terdiri dari komunitas petani desa.

19

Sedangkan pemilihan lokasi penelitian di kecamatan Tuban agar penulis mengetahui varian tradisi nitik di Tuban dan juga sebagai pembanding dengan tradisi nitik yang terdapat di Kecamatan Semanding,. Tradisi nitik di Kecamatan Tuban banyak diikuti oleh beduak-beduak nonpetani, biasanya nelayan, tukang becak atau kuli bangunan. Menurut keterangan informan penulis, Sutiyono (37), kebanyakan nitik di kecamatan Tuban yang biasanya diikuti oleh kalangan non-petani dibuat hanya untuk mabuk-mabukan dan kurang mengetahui makna toak sebagai minuman untuk menambah energi dan obat bagi tubuh warisan luhur nenek moyang.

I.5.2. Teknik Penentuan Informan Informan merupakan sumber informasi untuk penulis, maka penulis harus berhati-hati dalam memilih informan yang akan diwawancarai. Penulis memilih informan berdasarkan beberapa kriteria yang telah ditentukan. Penulis memperjelas batasan kriteria pemilihan informan

menggunakan kriteria yang ditawarkan oleh Spradley (1995:61-70), pertama adalah Enkulturasi penuh, keterlibatan langsung, suasana budaya yang tidak dikenal, cukup waktu dan non analitik. Merujuk pada kriteria pertama, yaitu enkulturasi penuh, penulis memilih Karmidji (52) (lihat lampiran gambar 2), seorang penjual toak yang sudah bertahun-tahun melakukan pekerjaannya, juga ada Warsito (46) (lihat lampiran gambar 5), Tasiran (lihat lampiran gambar 4) dan Taji (48) (lihat lampiran gambar 6). Semasa mudanya, dia adalah petani yang juga beduak dan pada saat

20

masa tuanya, Karmidji tidak lagi bertani di sawah, melainkan aktif dalam menjual toak semenjak tahun 1996. Karmidji biasa berjualan toak di sebuah gubuk pinggir sawah di desa Ngino (lihat lampiran gambar 13), Kecamatan Semanding, Kabupaten Tuban pada sore hari sekitar pukul 15.00. Informan pangkal penulis adalah Sutiyono (37) (lihat lampiran gambar 1), seorang pegawai swasta yang tinggal di desa Sumurgung, Kecamatan Semanding. Alasan penulis memilih Sutiyono (37) karena dia adalah orang yang hapal mengenai seluk beluk Kabupaten Tuban dan merupakan beduak semenjak umur 20 tahun. Hampir setiap hari Sutiyono harus pergi berkeliling Tuban untuk mencari sepeda bekas untuk dijual kembali di pasar dagang sepeda Tuban, sehingga dia bergaul dengan banyak orang dan tahu banyak mengenai kondisi Kecamatan Semanding dan Kecamatan Tuban pada umumnya. Dari Sutiyono inilah, penulis tahu letak-letak tempat nitik baik di desa maupun di daerah perkotaan dan juga berkenalan dengan para beduak maupun penjual yang dikenal oleh Sutiyono seperti Karmidji, Warsito, Jarno. Kriteria kedua adalah keterlibatan langsung. Kriteria ini merujuk pada para informan yang pernah atau secara intens mengikuti tradisi nitik, seperti Jarno (47) (lihat lampiran gambar 3), yang sudah menjadi beduak semenjak umur 20 tahun, dan sampai sekarang hampir setiap hari minum toak di tempat nitik Karmidji di Desa Ngino, Kecamatan Semanding dan telah mencoba toak dari seluruh penjuru Tuban. Dengan pengalamannya yang begitu panjang dan intens, maka penulis merasa tepat memilih Jarno menjadi salah satu informan untuk karya etnografi ini.

21

Kriteria Ketiga, Suasana budaya yang tidak dikenal. Peneliti yang menampakkan pengetahuannya tentang budaya informan cenderung dianggap sombong dan sia-sia dalam melakukan penelitian. Penulis dengan sengaja memberitahu kepada para penjual toak, bahwa keikutsertaan penulis dalam nitik dalam rangka meneliti ikatan sosial para beduak, dan juga ikut memperkenalkan nama tradisi nitik keluar wilayah Tuban. Karena menurut Spradley (1995:49), menyampaikan pemberitahuan tujuan penulisan merupakan salah satu etika penulisan sebuah karya etnogtafi. Penulis secara eksplisit memberitahukan kepada mereka bahwa tradisi nitik dan toak bukanlah hal yang familiar bagi penulis, karena walaupun orang Tuban, penulis tidak pernah ikut langsung dalam kegiatan nitik ataupun meminum toak. Kriteria keempat adalah cukup waktu. Penulis berusaha

memperhatikan kondisi serta jadwal keseharian dari informan tersebut. Kondisi informan akan mempengaruhi data yang mereka berikan. Informan yang sibuk dengan hal yang mereka kerjakan cenderung memecah konsentrasinya untuk menjawab pertayaan peneliti sekaligus mengerjakan pekerjaannya. Seperti yang penulis lakukan saat mewawancarai Karmidji (52), penjual toak di Kecamatan Semanding saat berjualan toak. Karmidji lebih tenang dan jelas saat menuturkan satu demi satu keterangan mengenai nitik pada saat dia menunggu pembeli datang padanya, disaat kami hanya berdua saja. Warsito (46) (lihat lampiran gambar 5), yang juga merupakan penjual toak di desa Genaharjo di Kecamatan Semanding juga lebih lepas saat

22

memberikan informasi pada penulis tentang nitik saat dia berada di rumahnya seusai berjualan toak, pada saat wawancarapun penulis memastikan Warsito dan Karmidji (penjual selalu ikut minum saat berjualan) tidak dalam kondisi mabuk dengan cara bertanya langsung. Kriteria kelima menurut adalah non analitik. Informan non analitik selalu menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dengan bahasa dan pengetahuan yang dimilikinya selama dia tinggal dalam lingkungan budayanya, tanpa ada unsur analisis subyektif dari sang informan ataupun dari orang lain di sekitarnya. Informan yang penulis wawancarai seperti Warsito, Karmidji, Kardji, Jarno, Parman menggunakan bahasa Jawa Ngoko Alus dan kasar dengan dialek Tubanan yang kental. Mereka menggunakan pengetahuan yang diberikan turun temurun oleh nenek moyang mereka dan pengetahuan yang terabstraksi dari kehidupan mereka sehari-hari. Hanya Sutiyono yang menggunakan bahasa Indonesia saat diwawancarai. Pengetahuan mereka tentang nitik, toak dan tambul adalah pengetahuan yang sudah mereka dapatkan semenjak mereka tumbuh dewasa di kampung halaman masing-masing seperti Karmidji yang mengaku sudah sekitar 30 tahun mengkonsumsi toak sampai menjadi penjual toak sekarang, padahal umur Karmidji sekarang sudah 52 tahun, berarti dia mulai mengkonsumsi toak sekitar umur 22 tahun.

I.5.3 Strategi Pengumpulan Informasi Penulis melakukan riset lapangan mengenai tradisi nitik dengan

23

melakukan metode observasi/pengamatan dan wawancara dengan informan. Observasi berdasarkan definisi dari Bestari (2004:3), adalah suatu strategi pengumpulan data melalui pengamatan inderawi dengan melakukan dokumentasi terhadap gejala yang ada pada objek penelitian secara langsung pada lokasi penelitian. Implementasi di lapangan, penulis terjun langsung ke kegiatan nitik pada beberapa tempat di Kabupaten Tuban dan melihat secara langsung bagaimana kegiatan tersebut berlangsung dan mendokumentasikan lewat media fotografi atau catatan lapangan. Sudikan (2001:59) menyarankan dalam kegiatan observasi diperlukan pendekatan antropologi visual, yaitu penggunaan alat bantu dokumentasi seperti kamera untuk mengambil foto pada obyek yang sesuai dengan tema yang diteliti dan berkaitan dengan latar belakang etnografisnya. Penulis juga berusaha melakukan jenis pendekatan observer as participant seperti yang diungkapkan oleh Jimenez (Bautista ed. 1988), yaitu penulis tidak sepenuhnya terlibat dalam kegiatan nitik. Namun dalam penelitian, penulis mengungkapkan identitas penulis sebagai seorang yang sedang melakukan penelitian nitik. Penulis tidak sepenuhnya mengikuti tradisi nitik setiap hari dan bergaul penuh dengan para beduak. Penulis juga tidak meminum toak, karena alasan agama yang dipeluk oleh penulis tidak memperbolehkan untuk meminum munuman yang mengandung alkohol, yang kedua penulis juga tidak menyukai rasa dan aroma toak. Walaupun tidak mengikuti penuh, tetapi penulis tetap melakukan pencatatan-pencatan etnografis seperti yang disarankan oleh Spradley (1995:181), yaitu membuat catatan etnografis.

24

The Observer As Participant...the former does not conceal the fact that he is conducting a field study but, as much as possible, avoids direct participation in group or community activities. This type of role is usually utilized in one-visit interview and in process documentation researches. Jimenez (Bautista ed., 1988:108) Peneliti sebagai partisipanpeneliti-peneliti terdahulu tidak menyembunyikan identitas asli sebagai seseorang yang sedang melakukan penelitian lapangan, tetapi sebisa mungkin menghindari partisipasi langsung dalam suatu kelompok atau komunitas. Tipe seperti ini biasanya memanfaatkan penuh wawancara dalam sekali kunjungan dan di dalam proses penelitian dokumentasinya. Jimenez (Bautista ed., 1988:108)

Penulis akan menurunkan tingkat partisipasi apabila keadaan tidak memungkinkan seperti saat penulis sakit, atau berhubungan dengan ambang batas alkohol yang diminum oleh manusia. Strategi lain yang penulis lakukan adalah wawancara. Menurut Bestari (2004:4), wawancara adalah proses memperoleh keterangan berkenaan dengan riset dengan cara tanya jawab secara langsung berhadapan atau lewat madia komunikasi seperti telephone antara peneliti dan informan. Wawancara dilakukan bertujuan:(1) mencari kebenaran fakta, (2) memperkuat kepercayaan tentang kedaan fakta, (3) mencari keterangan tentang kegiatan tertentu, (4) mencari keterangan tentang kasus tertentu, (5) mencari keterangan tentang seluk beluk kebudayaan masyarakat yang diteliti Bestari (2004:4).

Sevilla (1992:71) menuliskan bahwa salah satu ciri terpenting dalam riset adalah komunikasi langsung antara peneliti dengan informan yang telah ditentukan. Salah satu bentuk komunikasi antara peneliti dan informan adalah melalui wawancara. Bentuk wawancara yang akan dipakai penulis adalah wawancara mendalam (indepth interview) dan tidak terstruktur (unstructured interview) karena bukan berbentuk kuisioner dalam analisa data kuantitatif yang menggunakan wawancara terstruktur (structured interview). Jenis wawancara ini cenderung menggali secara detail dan dalam 25

tentang sebuah fenomena budaya dari keterangan yang diberikan informan berkaitan dengan imitasi, identifikasi, internalisasi dan sosialisasi tradisi nitik di kalangan masyarakat Tuban. Indepth interview diharapkan mampu menghasilkan kajian etnografis yang layak dijadikan acuan valid dalam dunia pendidikan. Menurut Sudikan (2001:64), untuk memfokuskan wawancara diperlukan catatan daftar pokok pertanyaan yang disebut pedoman

wawancara (interview guide). Wawancara akan berlangsung efektif tanpa ada banyak bias dari tujuan asli peneliti dan menghindarkan peneliti lupa pada pertanyaan yang akan disampaikan kepada informan. Penulis mencari beberapa data lain dari penelitian lain yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Untuk tujuan tersebut, penulis berencana untuk aktif mencari di jurnal penelitian melalui internet ataupun dalam bentuk buku. Penulis juga tidak lupa untuk mencari artikel di koran, website, blog, majalah yang dapat membantu penulis untuk membuat karya etnografi dengan memperhatikan aturan penulisan ilmiah agar terhindar dari plagiatisme. Bagan 1.1 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data7 Web site Buku Artikel koran7 Bagan ini diambil dari karya tulis ilmiah berjudul Pijat Fisoterapi Arthritis Sebagai Solusi Low Back Pain di Kalangan Nelayan karya Darundiyo Pandupitoyo. Karya Tulis ini dibuat dalam rangka pemilihan Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga 2006.

Dikumpulkan

26

Filtrasi Data Observasi Ketegorisasi dan Analisis Wawancara

I.5.4. Teknik Analisis Menurut Setyoputro (2006:23), perlu dikemukakan bahwa analisis data dilakukan dalam suatu proses. Analisa data mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif, yaitu sesudah meninggalkan lokasi penelitian Data yang didapatkan dari penelitian akan dianalisis menggunakan acuan teoritik yang mempu nyai relevansi dengan permasalahan yang dibahas. Demi mendukung penulisan karya etnografi yang baik, penulis menggunakan fokus penelitian etnografi yang disarankan oleh James Spradley dalam bukunya yang berjudul Metode Etnografi. Memang terkesan rumit dan kompleks, namun fokus ini mempermudah seorang etnografer dalam mengungkap makna dan tema budaya yangssedag ditelitinya. Alur penelitian seperti yang penulis terapkan ini memang tidak mudah, namun setelah semua tahap selesai dilakukan, maka semuanya akan menjadi mudah. Karya etnografi yang baik harus memperhatikan fokus penelitian etnografis. Spradley (1995:181) menggambarkan tata urutan fokus peneltian etnografis sebagai berikut; Bagan 1.2. Fokus Dalam Penelitian Lapangan 12. Menulis etnografi 27

11. Menemukan tema-tema budaya 10. Membuat analisis komponen 9. Mengajukan pertanyaan kontras 8. Membuat analisis taksonomik 7. Mengajukan pertanyaan struktural 6. Membuat analisis domain 5. Melakukan analisis wawancara etnografis 4. Mengajukan pertanyaan deskriptif

3. Membuat catatan etnografis 2. Melakukan wawancara terhadap informan 1. Menetapkan seorang informanSumber: Spradley: (1995:181)

Untuk tahapan pertama hingga ketiga sudah penulis uraikan pada sub bab 1.5 metode Penelitian. Penulis akan mencoba menguraikan point

keempat sampai dengan point keduabelas, karena berhubungan dengan tahap-tahap analisa data. Point keempat adalah mengajukan pertanyaan deskriptif. Penulis mengajukan pertanyaan dasar mengenai tradisi nitik semisal berapa harga toak se-centhaknya? Atau bagaimana uraian kegiatan tradisi nitik? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang memancing jawaban deskriptif dari informan, sehingga penulis mampu menguraikan data dengan jelas. Melakukan analisis wawancara etnografis (Spradley,1995:117),

28

Istilah tercakup (X)

Analisis adalah pemaknaan penulis yang coba ditelaah menggunakan teoriteori yang bersangkutan semisal dengan menelaah penyebab terbentuknya ikatan sosial di kalangan beduak, lebih dalam lagi teori interaksional simbolik coba menjelaskan bagiamana kontinuitas hubungan antara para beduak setelah tradisi nitik. Analisis yang dilakukan berdasarkan informasi atau data yang didapat penulis dari wawancara dengan informan yang ada di lapangan. Penulis banyak mendapat istilah-istilah lokal maupun pengertianpengertian baru yang dimasukkan ke dalam catatan etnografis. Berikutnya membuat analisis domain. Dalam tahapan ini penulis menggunakan kertas kerja domain agar mengetahui domain-domain dari istilah lokal yang baisa digunakan dalam tradisi nitik. Misal Pada salah satu kertas kerja penulis mendapatkan satu istilah pencakup yaitu bolo ngombe atau dalam bahasa Indonesia disebut teman minum. Istilah tercakup nampak pada identifikasi terhadap istilah bolo ngombe. Yang diidentifikasikan sebagai teman yang sering ikut minum bersama dalam satu tempat nitik, selain ikut dalam satu tempat nitik, dia juga harus sering berbicara dan ngobrol dengannya, memiliki kesamaan dalam berbagai hal seperti pandangan mengenai fakta atau fenomena yang dihadapi dan banyak istilah tercakup lainnya.

Contoh Kertas Kerja 1.1. Kertas Kerja Analisis Domain

hubungan antara x dan y

29

Istilah pencakup (Y)

Kertas kerja domain berisi hubungan diantara istilah pencakup (yang biasa disimbolkan dengan huruf y) dan istilah tercakup (yang biasa disimbolkan dengan huruf x). Memahami istilah pencakup dan tercakup seperti memahami hiponim dan hipernim dalam pelajaran bahasa Indonesia. Analoginya, hiponimnya adalah bunga dan hipernimnya bisa saja mawar, melati, anggrek atau tulip. Hiponim mewakili istilah pencakup (y) dan hipernim mewakili istilah tercakup (x). Satu hubungan antara x dan y disebut dengan satu subset, dan jenis hubungan antara x dan y disebut dengan kerangka subtitusi. Semisal hubungan x adalah salah satu definisi y, atau x adalah salah satu jenis dari y. Analisis ini berguna untuk mengungkap istilah-istilah tersembunyi dari masyarakat lokal yang membantu dalam melakukan pencarian tema budaya. Langkah berikutnya adalah mengajukan pertanyaan struktural (Spradley, 1995:157), Pertanyaan struktural biasanya bersifat mengurai konten atau prosedural kegiatan secara periferal. Semisal dalam kegiatan nitik terdapat tambul sebagai makanan pelengkap minum toak, apa saja jenis tambul itu? Penulis mengajukan pertanyaan struktural berjenis pembuktian. Kebanyakan pertanyaan struktural yang muncul pada kertas kerja domain

30

seperti apa benar salah satu akibat orang mabuk itu gampang emosi? Atau apa benarkah bolo ngombe dapat dijadikan ajang mencari teman?. Tahapan selanjutnya adalah Membuat analisis taksonomik. Dengan mengkategorisasikan jenis-jenis pekerjaan yang banyak ikut dalam tradisi nitik. Pembuatan analisis taksonomik dengan memilih salah satu domain yang dominan. Dari domain tersebut, penulis melanjutkan dengan mencari subset-subset lain dengan kesamaan kerangka subtitusi. Penulis melihat data transkrip wawancara dan melihat kembali hasil jawaban dari pertanyaan struktural yang diajukan penulis kepada beberapa informan. Beberapa domain yang telah terkumpul untuk kemudian dicari domain yang lebih besar atau inklusif untuk mencakup kesemua domain diatas. Pemaparan dari analisis taksonomik ini lebih mudah dilihat bila dituliskan dalam sebuah kertas kerja analisis taksonomik yang penulis buat seperti yang ditunjukan dalam tabel di bawah ini;

Contoh Kertas Kerja 1.2 Kertas Kerja Analisis Taksonomik Domain Istilah tercakup

Domain yang (Diwakili dengan Lebih BesarPenulisan Istilah Pencakup) Domain (Diwakili dengan 31 Istilah tercakup Istilah tercakup Istilah tercakup

Penulisan Istilah Pencakup) Istilah tercakup Istilah tercakup

Istilah tercakup

Domain (Diwakili dengan Penulisan Istilah Pencakup)

Istilah tercakup

Istilah tercakup Istilah tercakup Kemungkinan lain yang tidak tercakup dalam satu domain Dalam pengisian kertas kerja analisis taksonomik, kita hanya perlu mengisikan domain-domain kecil yang bisa disatukan akibat kesamaan kerangka subtitusi. Penulisan domain-domain kecil ini bisa diwakilkan pada istilah pencakup pada masing-masing domain. Kolom besar paling kiri diisi dengan domain inklusif yang ditemukan, dan sebelah kanannya disusul oleh domain yang tercakup dalam domain besar. Pada baris paling kanan diisi dengan istilah-istilah tercakup. Terkadang terdapat istilah dalam baris yang tidak diawali dengan istilah pencakup, karena istilah tersebut berdiri sendiri. Analisis ini berguna memahami berbagai macam taksonomi istilah rakyat 32

Setelah analisis taksonomik, tahapan berikutnya adalah mengajukan pertanyaan kontras. Penulis mengajukan beberapa pertanyaan kontras untuk mencari perbedaan dalam satu rangkaian kontras yang sama dimana di dalamnya terkandung domain-domain dalam kategori besar. Dalam tahapan ini penulis menyajikan media kertas kerja analisis taksonomik yang bertuliskan istilah-istilah rakyat yang tercakup dalam domain-domain dalam kategori besar. Penulis mengintruksikan informan, Sutiyono (37), agar melihat semua istilah dalam domain-domain yang tersedia. Setelah itu penulis mengajukan beberapa pertanyaan kontras dengan jenis pertanyaan perbedaan diadik. Tahapan ini bertujuan mengetahui terdapat fungsi lain yang belum terungkap selama mengadakan penelitian. Berdasarkan wawancara ini juga, penulis menanyakan beberapa perbedaan lagi dalam satu dimensi kontras. Selanjutnya membuat analisis komponen. Tahapan ini, merupakan suatu pencarian sistematik berbagai atribut (komponen makna) yang berhubungan dengan simbol-simbol budaya, penulis menghubungkan rangkaian kontras yang mengandung fungsi tradisi nitik dan dimensi kontras yang terdiri atas konsep-konsep masyarakat lokal mengenai tradisi nitik guna menemukan kesamaan diantara rangakaian kontras dan mempermudah menemukan pola budaya. Aplikasi dari analisis komponen ini dapat dilihat dalam kertas kerja paradigma (analisis komponen) seperti di bawah ini;

Contoh Kertas Kerja 1.3 Kerta Kerja Paradigma (Analisis Komponen)

Dimensi Kontras33

Rangkaian Kontras

Setelah analisis komponen selesai, maka langkah selanjutnya adalah menemukan tema-tema budaya. Tahapan ini bertujuan untuk memahami sifat dasar tema-tema daam sistem budaya. Penulis menggunakan strategi identifikasi tema budaya dengan mencari kemiripan di antara berbagai dimensi kontras sebagaimana ditulis oleh Spradley (1995:266). Langkah terakhir adalah menulis etnografi. Dengan melakukan alur penelitian maju pada fokus penelitian etnografi seperti diatas, maka peneliti mengungkap sumber pengetahuan tersembunyi dari masyarakat lokal. Penulis mengungkap bagaimana ikatan sosial yang terbentuk dari pertemanan saat minum toak bersama nampak pada domain alasan nitik untuk pergaulan sosial (lihat gambar 1.1) dapat terbentuk dalam tradisi nitik dan berlanjut sampai kepada jaringan sosial yang kontinum karena fungsifungsi lain yang menyertainya. Makna dan fungsi ini nampak apabila kita memakai pendekatan yang tepat, yaitu memulai dengan menjalin rapor yang baik dengan informan seperti yang disarankan oleh Spradley (1995:86), 34

penulis terus menjalin hubungan baik dengan semua informan pada saat penelitian. Dalam Spradley (1995:47), penjalinan rapor yang baik dijalankan sesuai beberapa prinsip etika yang dikenal dengan Principle of Proffesional Responsibility yang diperkenalkan oleh the Council of the American Anthropological Association pada tahun 1971. Etika pertama adalah dengan mempertimbangkan informan terlebih dahulu, prinsip ini menganggap bahwa bila terjadi konflik kepentingan, maka tugas seorang etnografer yang mewawancarainya untuk melindungi hak-hak mereka. sejauh penelitian mengenai tradisi nitik ini berlangsung, tidak ada konflik pada tingkat keterlibatan informan.Dalam peneitian, tanggung jawab seorang ahli Antropologi adalah terhadap pihak-pihak yang dipelajarinya jika terjadi konflik kepentingan, individu-individu ini harus dikedepankan terlebih dahulu. Ahli Antropologi harus melakukan segala sesuatu dalam kekuasaannya untuk melindungi kesejahteraan fisik, sosial dan psikologi mereka dengan menghormati martabat serta privasi mereka. (Principles of Professional Responsibility, 1971, par.1)

Prinsip kedua adalah mengamankan hak-hak, kepentingan dan sensitivitas informan. Menyampaikan tujuan penelitian, penulis selalu mengungkapkan pada semua informan sebelum wawancara dimulai bahwa tujuan akhir penelitian ini adalah penulisan skripsi sarjana strata 1 Universitas Airlangga, juga dalam rangka ikut serta melestarikan serta mempopulerkan tradisi masyarakat Tuban. Prinsip ketiga adalah Melindungi privasi informan, penulis selalu mengawali wawancara dengan menanyakan nama, umur dan variabel data diri lainnya, namun penulis juga tidak lupa menanyakan apakah data diri tersebut boleh ditulis dengan benar di dalam proses penulisan skripsi. 35

Sampai pada tahap akhir penulisan, semua informan bersedia disebutkan data diri aslinya karena menurut mereka peminum toak adalah gelar yang wajar dan bukanlah hal yang melanggar tata susila. Prinsip ketiga adalah tidak mengeksploitasi informan. Menurut Principles of Professional Responsibility par.1.d. (Spradley, 1995: , seorang etnografer dilarang mengeksploitasi informan demi kepentingan pribadi, maka balas jasa yang seimbang harus diberkan atas nama jasa yang mereka berikan. Maka dari itu, penulis memberikan uang bagi para beduak yang memintanya saat diambil gambarnya8. Prinsip terakhir adalah memberikan laporan kepada informan, penulis berjanji untuk memberikan salinan skripsi ini kepada informan pangkal, Sutiyono dan beberapa informan seperti Karmidji dan Taji. Dengan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip etika diatas, penulis berhasil mendapatkan respons positif dari para informan berupa

keramahtamahan, kejujuran dan kepercayan. Suasana pada setiap wawancara yang dilakukan penulis dengan beberapa informan sangatlah menyenangkan dengan atmosfer kekeluargaan yang begitu kental. Masyarakat Tuban yang penulis kenal selama ini memang sangatlah terbuka dan ramah terhadap siapapun yang datang pada mereka dengan niat baik dan ketulusan. Dari wawancara-wawancara yang dilakukan oleh penulis tersebut, terungkaplah beragam pengetahuan para informan mengenai fungsi-fungsi8 Kejadian tersebut, penulis alami saat penulis mewawancarai salah seorang beduak dan mengambil gambar dengan kamera digital di saat para beduak tersebut nitik di Kelurahan Latsari. Sang informan yang berasal dari kelangan nelayan tersebut mengucapkan kalimat yang berbunyi mas, mari difoto, ditakon-takoni yo ditinggali piro-piro ngono to. Laute sepi yang berarti mas, setelah difoto, ditanya-tanya, ya (saya) diberi uang. Lautnya lagi sepi (tangkapan). Akhirnya, penulis menyerahkan sejumlah uang untuk sang nelayan.

36

dalam nitik yang selama ini belum diketahui oleh masyarakat yang tidak pernah terjun langsung di dalamnya. Pada saat mengikuti langsung ritual tradisi nitik di beberapa tempat, penulis banyak mendalami makna tanda dan simbol yang ada dan hidup diantara interaksi para beduak. Sehingga penjalinan hubungan baik dengan informan menjadi salah satu faktor penting bagi etnografer demi keberhasilan suatu penelitian. Bahwa untuk menganalisa fenomena ini. Pendekatan kualitatif memungkinkan penulis untuk menggali data lebih dalam dari informan dengan mengadakan observasi (pengamatan) dan indepth interview (wawancara mendalam).

BAB II KABUPATEN TUBAN: SEJARAH DAN PROFIL DAERAHII.1 Kondisi Geografis Tuban

37

Menurut Ernawan (2001:61) Sebenarnya pembentukan kawasan Tuban telah dimulai sejak zaman miosen dengan adanya sedimentasi atau pengendapan batuan gamping karst di dalam lingkungan laut. Sedimentasi batuan gamping ini kemudian terangkat ke permukaan laut oleh gaya endogen pada zaman Pliosen. Sedimentasi batu gamping yang terangkat tersebut kemudian berubah menjadi daratan antiklinal. Selanjutnya pada zaman Plestosen berlangsung kegiatan vulkanis dan gerak tektonis yang dapat menyebabkan pembentukan sesar normal dan sesar geser. Arah sesar menuju utara-selatan dan timurbarat. Pada zaman Holosen terjadi pelapukan serta erosi batuan karst dan berubah menjadi daratan aluvial, dan proses pelapukan tersebut masih terjadi hingga sekarang. Kabupaten Tuban merupakan salah satu kota tua di jalur pantai utara. Berada pada posisi koordinat 11130-11235 bujur timur dan 6 40-7 18 lintang selatan. Secara administratif daerah ini tergabung di dalam Provinsi Jawa Timur. Tuban berbatasan langsung dengan Kabupaten Lamongan di sebelah timur, Kabupaten Bojonegoro di sebelah selatan, Kabupaten Rembang di sebelah barat, sedangkan di sebelah utara berbatasan langsung dengan laut Jawa. Luas wilayah Tuban adalah 1.893,94 km (183.994,562 Ha) daratan dan luas lautan sebesar 22.608 km dengan panjang pantai 65 km membentang dari arah timur kecamatan Palang sampai ke barat kecamatan Bancar. Berdasarkan karakteristik fisik,wilayah kabupaten Tuban termasuk pada ketinggian 0-500 meter diatas permukaan laut dan terbagi menjadi

38

empat kawasan, yaitu kawasan pantai: terletak di bagian utara dan merupakan kawasan yang potensial untuk budidaya kelautan dan pengembangan industri. Kawasan gugusan pegunungan kapur: terletak di bagian tengah yang mengandung bahan tambang galian C (sebagian adalah batu kapur) dan potensial untuk bahan semen. Daerah aliran sungai bengawan Solo: terletak di bagian tenggara yang potensial untuk pengembangan wilayah pertanian. Wilayah dengan lahan pertanian yang subur: terletak di bagian selatan dan potensial untuk pengembangan pertanian. Pola penggunaan lahan di Kabupaten Tuban termasuk kategori pola lahan kering dengan luasan sawah kurang dari 50% luas daratan yang ada. Luas lahan ini dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu lahan sawah (wetland) dengan total luas wilayah sebesar 55.476.729 km dan lahan kering (dryland) seluas 128.517,833 km. adapaun pola tata guna lahan di kabupaten Tuban berdasarkan kondisi sekarang dapat dirinci sebagai berikut: a) Sawah : 54.860,53 Ha b) Tegal : 59.014,00 Ha c) Hutan : 47.160,88 Ha d) Pemukiman : 30.537,77 Ha e) Lain-lain : 2.421,38 Ha Ditinjau dari aspek perencanaan tataruang wilayah, Kabupaten Tuban dibagi dalamlima Sauan Wilayah Pengembangan (SWP) Kabupaten Tuban, seperti yang tercantum dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1 Satuan Wilayah Perencanaan (SWP) Kabupaten Tuban dan orientasi pembangunannya SWP Daerah Orientasi Pengembangan

39

I

Kecamatan Tuban, Merakurak, Jenu, Semanding,Kerek Palang dan Montong. Kecamatan Tambakboyo dan Bancar

II

III Kecamatan Jatirogo dan Kenduruan IV Kecamatan Singgahan,Parengan, Bangilan dan Senori V Kecamatan rengel, Soko, Plumpang dan Widang

Daerah Pertanian,perikananm Industri besar dan kecil, pendidikan dan pariwisata serta kehutanan. Daerah perikanan, pertanian, industri, pariwisata dan kehutanan. Daerah pertanian, perkebunan, pertambangan, peternakan, kehutanan, industri kecil dan pariwisata Daerah pertanian, pertambangan, peternakan, kehutanan, industri kecil, pariwisata dan budidaya perikanan. Daerah pertanian, tanaman pangan, perikanan, pertambangan, pendidikan, pariwisata, industri dan kehutanan.

Sumber: BPS Kabupaten Tuban 2003

II.2 Iklim dan Hidrografi Potensi sebuah wilayah secara alami ditentukan oleh faktor letak dan juga iklim wilayah tersebut, khususnya faktor iklim menjadi sangat menentukan terhadap pembagian karakter wilayah dan pengembangan potensi pertanian yang ada. Perbedaan iklim berpengaruh pada perbedaan curah hujan dan macam produk yang dapat dihasilkan suatu wilayah. Berdasarkan hasil perhitungan curah hujan di Kabupaten Tuban (dengan memperhitungkan bulan basah dan bulan kering sepanjang tahun dalam rentang waktu 1996-2001 yang dilakukan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur, wilayah Tuban dikategorisasikan dalam beberapa iklim, yaitu: 1) Ikim sangat kering: Meliputi 12 Kecamatan, yaitu Kecamatan Widang, Palang, Semanding, Tuban, Merakurak, Jenu, Kerek, 40

Montong, Tambakboyo, Bancar, Jatirogo dan Kenduruan 2) Iklim Kering: meliputi Kecamatan Plumpang, Bangilan dan Senori. 3) Iklim agak kering: meliputi Kecamatan Soko dan Parengan 4) Iklim cukup basah: terdapat di Kecamatan Singgahan. Dari keseluruhan wilayah Tuban, 94, 73% diantaranya (kurang lebih 174.298,06 Ha) merupakan kawasan beriklim kering (dengan variasi kering sampai sangat kering). Sedangkan sisanya 5,27% merupakan kawasan yang cukup basah. Kondisi ini sekilas memberikan kita gambaran iklim dan curah hujan tidak mendukung potensi hasil pertanian Kabupaten Tuban. Ditinjau dari segi geografis tanah, secara umum ada tiga tipe tanah yang terdapat di wilayah Kabupaten Tuban, ketiga tipe tanah tersebut beserta keterangan wilayahnya yaitu, pertama, Mediteranian merah kuning: berasal dari endapan batu kapur di daerah bukit sampai gunung.area tersebut mencakup hampir 3,8% luas wilayah Tuban, antara lain wilayah perbatasan Semanding, montong, Kerek, Palang, Jenu, sebagian Tambakboyo, Widang, Plumpang dan Merakurak. Kedua, Alluvial yang berasal dari endapan di daerah cekungan, mencakup 34% luas wilayah Tuban. Daerah-daerah tipe tanah ini antara lain Tambakboyo, Bancar, Tuban, Palang, Soko, Parengan, Singgahan, Senori dan Bangilan. Ketiga, Gramusol yang berasal dari endapan daerah yang bergelombang. Mencakup 5% wilayah Tuban, jenis tanah ini terdapat di sebagian wilayah Bancar, Jatirogo dan Senori. Kondisi batuan berupa batu kapur sehingga banyak terdapat aliran sungai bawah tanah yang dapat dieksploitasi untuk keperluan industri dan

41

pertanian. Faktor yang dapat mendukung berjalannya pertanian dan perikanan di Kabupaten Tuban adalah terdapatnya 15 (lima belas) aliran sungai yang melewati Tuban dan mampu mengairi areal pertanian seluas 13.881 Ha. Dua diantara sungai-sungai tersebut meyang memiliki alira terpanjang adalah sungai Bengawan Solo dan Kali Kening masing-masing 60 km, dengan areal irigasi seluas 5.430 Ha dan 2.522 Ha, serta ditambah dengan adanya bangunan air meliputi 19 waduk, 37 bendungan, 41 saluran pembuangan dan 242 saluran sadapan air. Sehingga kebutuhan air untuk keperluan pertanian dan perikanan dapat terpenuhi dengan baik.

II.3 Sejarah Umum Kabupaten Tuban Tuban Berasal dari kata metu banyu (bahasa Jawa) yang artinya keluar air, yaitu nama yang diberikan oleh Raden Aryo Dandang Wacana (seorang Bupati) pada saat pembukaan hutan pada awal abad ke-15 M. Papringan yang secara tidak terduga keluar sumber air. Sumber air ini sangat sejuk dan meskipun terletak di tepian pantai utara pulau Jawa, mata air tersebut tidaklah terasa asin dilidah, tidak seperti kota pantai lainnya (Soeparmo, 1971). Tuban merupakan daerah perbukitan dan hutan. Bagian utara kota Tuban merupakan daerah pantai dan bagian selatan merupakan daerah daerah lembah sungai Bengawan Solo. Antara kedua tempat tersebut terdapat terdapat daerah perbukitan kapur Kendeng utara yang kurang subur. Pada daerah perbukitan ini banyak terdapat goa-goa kapur. Daerah yang subur sangat sedikit yaitu di daerah lembah Sungai Bengawan Solo dan di daerah pantai utara, dekat aliran sungai Klero. Oleh karena itu Tuban bukan 42

daerah penghasil beras, tetapi merupakan daerah penghasil non-beras seperti jagung, ketela pohon, kacang dan Siwalan. Toak yang merupakan hasil dari pohon siwalan adalah minuman tradisional masyarakat Tuban yang sudah ada semenjak zaman dahulu, sumber tertua yang bisa didapat oleh penulis adalah cerita mengenai adanya beduak-beduak Tuban yang disadarkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dan menjadi murid dari pesantren Sunan Bonang. Cerita ini sudah menjadi cerita turun temurun dan banyak dituliskan di buku-buku cerita seperti ditemukan di buku kisah Wali Songo (1996:17). Toak sudah ada sebelum bangsa-bangsa asing masuk di Nusantara, bahkan sebelum Belanda menginjakkan kakinya di Tuban. Pada zaman penjajahan Belanda, Tuban dan Lasem (sekarang merupakan bagian dari Kabupaten Rembang) merupakan wilayah yang memiliki hutan jati yang sangat luas (Sedyawati dkk. 1992: 47). Teluk Tuban mempunyai kedalaman yang ideal bagi perahu-perahu besar sehingga sangat aman dan baik untuk transportasi laut. Selain itu juga cukup luas sehingga dapat menampung perahu besar maupun perahu kecil dalamjumlah yang banyak (Veth 1957 dalam Sedyowati dkk. 1992). Pada abad ke-16 Tuban juga dikenal sebagai salah satu pusat industri kapal (kayu) untuk keperluan militer di Kawasan Asia Tenggara (Sedyawati dalam Sedyawati dkk. 1992). Tetapi pada saat perang Diponegoro galangan kapal tersebut terbakar, sehingga terjadi kemunduran dalam pembuatan kapal. Tuban telah dikenal sebagai pusat pemukiman pantai dan pelabuhan sejak pertengahan abad ke-11 (Schrieke 1916 dalam Sedyawati dkk 1992).

43

Hal ini dibuktikan dengan ditemukan empat prasasti di sekitar Tuban. Mengacu pada empat prasasti tersebut, Tuban merupakan kota pelabuhan dan kota pertahanan militer, yaitu pada masa kerajaan Singosari maupun masa pemerintahan Majapahit. Selain itu Tuban juga merupakan pusat perdagangan Nusantara semenjak abad ke-11. Pada abad ini Tuban telah banyak dikunjungi oleh pedagang dari Arab, Persia dan China, selain itu juga oleh orang-orang di sekitar Nusantara (Meilink-Roelofsz 1962 dan Poesponegoro 1984 dalam Sedyawati dkk 1992). Pada zaman pemerintahan Prabu Airlangga (10191041), orang-orang asing yang berdagang berasal dari India utara, India Selatan, Birma, Kamboja dan kerajaan Campa (Casparis 1958 dalam Sedyawati dkk 1992). Sedangkan memasuki abad ke-16 orang-orang Eropa, terutama Portugis dan Belanda masuk ke Tuban (Tjiptoatmodjo 1983 dalam Sedyawati dkk 1992). Hal ini menunjukkan sikap yang terbuka masyarakat Tuban terhadap kelompok-kelompok masyarakat asing. Selain kota Tuban di pantai utara Jawa terdapat juga kota pantai seperti Jepara, Gresik, Jaratan dan Surabaya. Kota-kota tersebut menjadi partner atau sebaliknya pesaing kota Tuban dalam hal perdagangan. Menjelang abad ke-17 kota-kota tersebut makin berkembang. Perkembangan kota-kota pantai semakin cepat sesudah terjadinya penyebaran agama Islam (Rutz dalam Sedyawati dkk 1992). Sesudah Malaka diduduki Portugis pada awal abad ke-16, kota-kota Islam di pantai Jawa dan Sumatera semakin tumbuh. Setelah VOC masuk ke Nusantara pada awal abad ke-17, maka terjadi perubahan-perubahan dalam tata ekonomi dan terjadinya liberalisasi

44

ekonomi. Hal demikian juga terjadi di Tuban (Rutz 1989 dalam Sedyawati dkk. 1992). Tuban merupakan salah satu dari empat kota besar di Jawa yang tidak mempunyai tembok kota (Mills 1970 dalam Sedyawati dkk 1992). Kondisi tersebut ditemukan pada awal abad ke-15, tapi sekitar abad ke-17 Kota Tuban sudah dikelilingi oleh tembok kota. Hal tersebut menunjukkan bahwa Tuban telah berkembang menjadi kota pemukiman, terlebih lagi menjadi pusat kekuatan ekonomi dan politik. Di lain pihak tembok kota tersebut juga merupakan indikasi bahwa kota Tuban merupakan gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar (Sedyawati dkk. 1992). Tuban sebagai kota yang dikelilingi tembok juga menandakan bahwa Tuban sebagai kota aristokrat, yaitu keadaan yang mirip dengan lingkungan keraton, dengan penguasa yang dikelilingi para bangsawan dan masing-masing dilayani oleh sejumlah budak. Sifat aristokrat ini mulai mendominasi semenjak abad ke-15 dari bupati ke bupati9 (Sedyawati dkk 1992).9 Pada zaman kekuasaan Majapahit (permulaan abad ke XV), di Tuban berkuasa para Bupati, yaitu berturut-turut Aryo Pandukung, Aryo Bungah, Aryo Dandang Miring, Aryo Dandang Wacono, Aryo Ronggolawe, Aryo Sirolawe, Aryo Wenang, Aryo Leno dan Aryo Dikoro. Bupati-bupati tersebut memerintah semenjak tahun 1200 sampai datangnya Islam di Kota Tuban. Bupati yang memerintah selanjutnya berturut-turut adalah Aryo Tejo, Raden Aryo Wilotikto, Kyai Ageng Ngraseh, Kyai Ageng Gegilang, Kyai Ageng Batabang, Raden Aryo Balewot, Pangeran Sekartanjung, Pangeran Ngangsar, Pangeran Haryo Parmalat, Pangeran Haryo Salampe, Pangeran Dalem, Pangeran Pojok, Pangeran Anom Pangeran Sujokopuro, Aryo Balabar, Pangeran Sujono Putro, Pangeran Judonegoro, Raden Aryo Surodiningrat, Raden Aryo Diposono, Kyai Reksonegoro, Kyai Purwonegoro, Kyai Lieder Surodinegoro,Raden Suryoadinegoro, Pangeran Citrasoma VI, Pangeran Citrasoma VII, Pangeran Citrasoma VIII, Raden Tumenggung panji Citrasoma IX, Raden Mas Somobroto, Raden Adipati Arya Kusumodigdo, Raden Tumenggung Pringgowonoto, R.A.A. Pringgodigdo Kusumodiningrat, R.M.A.A. Kusumodibroto, RT. Sudiman Hadiatmoko, RM. Mustain, R. Sundari, R. Istomo, M. Widagdo, R. Soeparmo, R.M. Irchamni, H. Moch.Masdoeki, Soerati Moersam, Djoewahiri Martoprawiro, Sjoekoer Soetomo, H.Hindarto dan yang terakhir dan sampai sekarang masih terus memimpin masyarakat Tuban adalah Haeny Relawaty Rini Widyastuti.

45

Sisa-sisa peninggalan masa lalu saat sekarang masih dapat ditemui,misalnya watu gilang, pendopo Kabupaten, makam Sunan Bonang, makam Ronggolawe, masjid Jamik dan klentheng Kong Hu Cu yang semuanya terletak di wilayah Kuterejo dan Kajongan. Di desa Kebonsari terdapat makam Sunan bejagung dan Benteng Kumbakarna. Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel yang wafat pada tahun 1486. Ibu dan kanan Sunan Bonang adalah KI Ageng Manilo dan Nyai Ageng Manyuro, serta murid-murid Sunan Bonang juga dimakamkan di Tuban. Sedangkan Maulana Iskhak yaitu kakak Sunan Ampel yang wafat tahun 1460, dimakamkan di desa Gesik Harjo, Kecamatan Palang. Di kecamatan Semanding terdapat makam Pangeran Penghulu, Kebayan Tuhu dan Kyai Sudimoro. Sedangkan di desa Ngepon terdapat makam Kyai Ngepon yang merupakan utusan Raden Brawijaya dari Majapahit (Soeparmo, 1971). Barang-barang peninggalan yang terdapat di wilayah Tuban antara lain: keramik Chian dan Belanda (dari abad ke-18) serta batu granit (dari luar Jawa) di desa Bancar. Pecahan keramik dari abad ke-10 sampai sampai abad ke-14) di dukuh Bagong dan keramik China dari abad ke-12 ditemukan di situs sawah Gong. Sedangkan pecahan keramik China dari Dinasti Ming ditemukan di sepanjang pantai Sedayu Lawas sampai Banjarwati (Karangbeling) Jalan darat merupakan transportasi utama yang menghubungkan pusat-pusat pemukiman sejak zaman dahulu. Di Wilayah ini juga ditemukan jalan yang dahulu disebut sebagai jalan Daendels yang menghubungkan kota

46

Tuban dengan Lasem. Pada keadaan sekarang jaringan jalan sudah sangat berkembang dengan menempatkan alun-alun sebagai titik pusat kota. Pola tata ruang kota Tuban menunjukkan sebuah tatanan masyarakat yang berorientasi pada aktivitas perdagangan.

II.4 Kabupaten Tuban Saat Ini Kabupaten Tuban sekarang terbagi dalam 19 kecamatan, 311 desa, dan 17 kelurahan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk laki-laki 535.655 orang dan penduduk perempuan berjumlah 548.728 jiwa atau secara keseluruhan mencapai 1.084.383 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk mencapai 589 orang untuk setiap 1 km2. Tuban menjadi kota heterogen yang diisi oleh masyarakat multietnis dengan berbagai latar belakang. Dengan bertambah majunya perkembangan kota, Tuban menjadi hunian serta tempat tinggal masyarakat luar kota yang hendak mencari penghidupan di Tuban, karena Zafrullah (2004:3), Tuban sekarang memiliki keunggulan yang multikompleks dibanding daerah lain seperti (1) tersedia pelabuhan laut; (2) memiliki kawasan industri; (3) memiliki kawasan pariwisata seperti Goa Akbar, Kelenteng10 terbesar di kawasan Asia Tenggara, Kwan Sing Bio, Masjid Agung peninggalan para Wali, wisata religi seperti makam Sunan Bonang, Syekh Siti Jenar, Ibrahim Asmaraqondi (4) memiliki potensi minyak bumi dan gas alam yang menopang Blok Cepu. Dengan ditemukannya potensi

10 Tempat ibadah Agama Kong Hu Cu

47

minyak, maka banyak investor baik penenaman modal asing (PMA), maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) yang berebut mendirikan pabrik pengolahan minyak di Tuban. Sampai sekarang yang sudah mendirikan pabrik pengolahan minyak adalah Trans Petrochina Petroleum Industies (TPPI) dan dalam jangka waktu dekat ini Pertamina juga akan membangun pengolahan minyak dan gas bumi di Tuban. Potensi ekonomi yang telah berkembang di Kabupaten Tuban antara lain : tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, peternakan, kayu pertukangan dan kayu bakar, industri pengolahan besar dan sedang, industri kecil dan kerajinan rumah tangga, perdagangan, hotel, dan restoran, serta hasil tambang, seperti pasir kwarsa, tanah liat, batu kapur, dan batu dolomite. Tuban juga bisa dikatakan sebagai kota Wali, selain memang tempat penyebaran Islam oleh para Wali, Tuban juga memiliki beberapa pesantren dan ulama-ulama terkenal. Mungkin yang paling populer adalah pondok pesantren Langitan, Widang yang dipimpin oleh Kyai Haji Abdullah Faqih. Pengaruh para ulama ini begitu mengakar di Tuban, sehingga Tuban juga menjadi basis yang kuat bagi partai-partai berlatar belakang Islam. Etnis yang paling dominan di Tuban adalah suku Jawa, namun ada beberapa suku bangsa lain yang menetap dan berkelompok di tempat-tempat khusus di Tuban, seperti masyarakat etnis China yang banyak bertempat tinggal di Kelurahan Karangsari dan etnis arab yang banyak berdomisili di Kelurahan Kutorejo. Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah dari

48

masing-masing mereka, namun sampai sekarang belum pernah ada kasus perang antar etnis akibat kesenjangan antara kelompok minoritas maupun mayoritas. Menurut Kusumawati (2007:7), Kohesivitas sosial yang tampak terlihat di kota Tuban diantara keberagaman etnis merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dan diteliti karena secara sosiohistoris, Tuban salah satu kota yang terletak di pesisir pantai utara Jawa yang pada jaman dahulu merupakan kota bandar kuno yang memainkan peranannya di bidang perdagangan sutra dan rempah-rempah. Sebagai kota pelabuhan maka kota Tuban adalah pusat interaksi masyarakat dari berbagai macam kelompok sosial, baik karena perbedaan ras, etnik, agama, bahasa maupun profesi. Kehadiran etnis Tionghoa ke kota Tuban pada berabad-abad lampau juga memiliki banyak peranan yang sangat berarti bagi kota Tuban. Di samping karena kedekatan secara historis, penguasa pada masa itu cenderung ramah terhadap pendatang asing dengan cara menguasai bahasa asing dan memberikan perlindungan keamanan terhadap pendatang yang hendak tinggal di dalamnya. Tuban bagian utara merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan pantai utara Jawa. Daerah ini banyak ditempati oleh nelayan laut turun temurun, khususnya daerah Kingking. Kehidupan nelayan laut Tuban hampir sama dengan kehidupan nelayan laut Indonesia pada umumya, kempung nelayan mereka terkesan kotor dan kumuh. Tingkat pendidikan juga tergolong rendah karena yang terpenting bagi mereka anak laki-laki ataupun perempuan dipersiapkan untuk membantu kinerja ayahnya sebagai

49

nelayan. Anak laki-laki membantu melaut ayahnya dan anak perempuan membantu ibunya untuk mengolah hasil tengkapan ayahnya. Menurut Gardjito dkk. (2004:99), untuk bisa mendapatkan hasil tangkapan yang baik, mereka harus ke tengah laut sejauh 2-3 jam perjalanan dengan perahu bermotor tempel dan mereka biasa pulang menggunakan layar memanfaatkan angin laut yang memakan waktu kurang lebih sama dengan waktu keberangkatan. Kalau mereka berangkat pagi jam 24.00 WIB maka sampai di lokasi sekitar jam 03.00 pagi, sedangkan operasi penangkapan memakan waktu sekitar 3 jam. Wilayah selatan Tuban banyak memiliki sawah dan areal pertanaman, sehingga daerah selatan memiliki banyak petani sawah maupun ladang. Sampai sekarang masih banyak ditemui sawah dan kebun milik petani yang masih natural, sehingga Tuban mampu menghadirkan kesejukan bagi mata orang-orang kota yang penuh kesibukan. Kehidupan di Tuban bagian selatan masih terkesan tradisional dan belum banyak tersentuh modernisasi, penggunaan dokar (kendaraan beroda dua yang ditarik dengan kuda) dan cikar (kendaraan beroda dua yang ditarik menggunakan tenaga dua sapi), masih banyak ditemui di Tuban selatan. Penggembalaan sapi, kambing juga menjadi pemandangan yang umum, dan hal tersebut tidak ditemukan di Tuban utara. Para wanita tua masih setia menggunakan kebaya tradisional dan laki-laki masih saja menghisap rokok klobot (rokok yang pembungkusnya terbuat dari kulit jagung), yang dibuat dengan tangan mereka sendiri.

50

II.5 Produksi Pertanian dan Perikanan II.5.1 Pertanian Bidang pertanian dan perikanan merupakan andalan Kabupaten Tuban. Meskipun hampir seluruh wilayah Kebupaten Tuban beriklim kering, tetapi dengan dukungan sumber air mampu memenuhi kebutuhan pengairan lahan, maka lahan pertanian di Tuban tergolong Produktif. Jenis tanaman yang banyak ditanam dan diusahakan di lahan pertanian Kabupaten Tuban antara lain padi dan jagung merupakan bahan makanan pokok masyarakat Tuban sehingga mendapat areal tanam yang lebih luas dibanding tanaman lain. Tahun 2003, luas lahan tanam padi sebesar 71.651 Ha dengan produksi diatas tiga juta kuintal selama tahun tersebut. Sedangkan tanaman jagung mendapat aral tanam seluas 81.817 Ha dengan produksi mencapai 2,8 juta kuintal/tahun. Tahun 2004 diketahui jagung yang ditanam untuk produksi tahun 2005 mencapai 7000 pohon. Jumlah produksi komoditas ini diperkirakan dapat memenuhi kebutuhan bahan pangan pokok masyarakat Tuban. Kedua adalah ubi jalar, ubi kayu dan kacang tanah. Jenis tanaman ini juga banyak diusahakan di daerah Tuban. Meskipun tidak di semua wilayah, kacang tanah dari Tuban diketahui memiliki varietas yang khas dengan sifat mampu hidup dan bereproduksi di tanah yang beragam. Perlu diketahui bahwa tidak semua varietas kacang tanah dapat hidup pada tanah yang mengandung garam. Kabupaten Tuban merupakan pemasok bahan baku utama pasa perusahaan makanan kacang tanah dalam kemasan yang terdapat di daerah Pati. Ketiga adalah Siwalan. Masyarakat Tuban dengan tradisi

51

minum tuak dan makan daging biawak. Tuak dan biawak biasanya disajikan secara bersamaan dan masyarakat biasa mengkonsumsinya di pinggirpinggir jalan secara bersama-sama atau yang biasa disebut nitik. Tuak adalah sejenis minuman fermentasi dari cairan buah siwalan. buah ini dapat diperoleh dengan mudah di Kabupaten Tuban. Luas wilayah yang ditanami pohon siwalan seluas 1.128 Ha dan tersebar di 7 kecamatan. Tahun 2003 jumlah produksi buah siwalan di Kabupaten Tuban mencapai 5 juta kilogram lebih. Hasil sebesar ini dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Tuban,sehingga budaya minum tuak tetap dapat berlangsung. Keempat adalah Mangga. Salah satu jenis buah yang banyak ditemui di Kabupaten Tuban. Pohon mangga banyak ditanam di pekarangan dan tanah penduduk di hampir semua kecamatan. Produksi buah mangga pada tiap batang pohon di Tuban tergolong banyak. Jenis mangga yang banyak ditanam adalah varietas mangga manalagi. Pada tahun 2003 jumlah pohon mangga di Kabupaten Tuban sekitar 495.246 pohon dengan produksi 72.293 kuintal per tahun. Kelima adalah Sayur. Jenis tanah di wilayah Tuban yang banyak terdiri atas kapur ditambah dengan letaknya yang dekat dengan laut menyebabkan produksi sayuran di Tuban rendah. Sayuran yang banyak ditanam antara lain cabe, terong, kangkung dan tomat.produksi setiap komoditas selama tahun 2003 tercatat berkisar antara 20.000 sampai 50.000 kuintal. Tabel 2.2 Data Komoditas, Luas Lahan dan Produksi Pertanian di Kabupaten Tuban tahun 2003 No Komoditas Luas Lahan 52 Produksi Rata-rata

Tanaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Padi Jagung Ubi Kayu Ubi jalar Kacang Tanah Kelapa Siwalan Sawo Mangga Duku Terong Cabe Kangkung 71.661 81.817 8.812 640 29.116 12.357 1.128 7.803 494.246 220 689 4.161 318

tahun 2003 3.807.875 2.810.607 1.108.695 70.646 351.289 134.588,70 5.184.925 2.614 72.293 67 52.584 124.830 37.050

produksi Kw/Ha 53,46 33,52 141,94 112,80 12,33 0,023/th 7.211

Sumber: BPS Kabupaten Tuban 2003

Meninjau dari prospek Kabupaten Tuban dalam beberapa waktu yang akan datang, bidang pertanian mempunyai potensi besar dalam

pembangunan daerah ini. Disamping potensi perekonomian, ketahanan dan kecukupan pangan juga termasuk potensi budaya masyarakat Tuban.

II.5.2 Perikanan Bidang perikanan merupakan salah satu tulang punggung

perokonomian masyarakat Tuban. Posisi Tuban yang membujur sepanjang pantai utara dan didukung latar belakang sejarah Tuban sebagai kota pelabuhan menjadikan perikanan sebagai sandaran mata pencaharian masyarakatnya. Meskipun demikian produksi perikanan kabupaten Tuban juga berasal dari perikanan darat yang dikelola masyarakat di beberapa wilayah Kabupaten Tuban.

II.5.2.1 Perikanan Laut 53

Didukung oleh luas lautan yang dimiliki., produksi perikanan laut Kabupaten Tuban sangat menonjol sepanjang tahun 2003, tercatat produksi perikanan laut mencapai 9.384,4 ton. Sebagian besar hasil tangkapan ikan merupakan komoditas berpotensi eksport atau mempunyai nilai ekonomis penting seperti teri, tongkol, udang, tengiri, cumi-cumi, bawal, rajungan dan layur.

II.5.2.2 Perikanan Darat Usaha perikanan yang dikelola masyarakat Tuban dapat dibedakan atas beberapa sub sektor perikanan, yaitu perairan umum sungai, rawa, waduk, tambak kolam dan sawah. Jenis-jenis perikanan ini tidak dikelola di semua wilayah kabupaten Tuban. Faktor jenis lahan dan ketersediaan sumber air merupakan faktor utama saat ini. Dalam hal jumlah produksi perikanan darat masih jauh lebih sedikit dibandingkan perikanan laut, hal ini dikarenakan umumnya tinngkat pengusahaan perikanan darat sebagai usaha sampingan dengan jenis ikan ekonomi rendah dengan tujuan untuk konsumsi peningkatan gizi masyarakat di daerah yang kurang sejahtera dan padat penduduknya. Total produksi prikanan Kabupaten Tuban sepanjang tahun 2003 adalah sebesar 5.642 ton yang berasal dari perairan umum seperti sungai, rawa dan waduk sebesar 1.890,8 ton, tambak sebesar 716,8 ton, kolam 104, 81 ton, sawah sebesar 2.930,06 ton. Produksi perikanan darat yang berasal dari kolam dan sawah sebagian besar berasal dari Kecamatan Widang, Plumpang dan Rengel yang

54

terletak di dekat Sungai Bengawan Solo sedangkan produksi perikanan darat dari tambak air payau berasal dari kecamatan Palang, Jenu dan Tambakboyo yang terletak di pinggir pantai laut Jawa. Kebanyakan pemilik tambak adalah orang-orang kaya di daerahnya, sehingga yang bisa menikmati hasil tambak hanya segelintir orang yang memiliki tambak, sedangkan sisanya hanyalah pekerja tambak yang jumlahnya justru lebih besar dari jumlah pemilik tambak. Seperti data yang penulis temukan di kawasan Plumpang yang menyebutkan bahwa satu pemilik tambak rata-rata mempunyai 5 sampai 6 orang petani tambak. nek aku karo wong liyane sing duwe tambak rotoroto nduwe anak buah limo nganti enem ngono mas atau kalau saya dan pemilik tambak yang lain rata-rata mempunyai pekerja tambak sebanyak lima sampai enam orang. Jenis ikan tangkapan dari perairan umum antara lain ikan tawes, gabus, mujair, lele sedangkan jenis ikan yang dihasilkan oleh perikanan darat yang berasal dari hasil budidaya ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2.3 Produksi Budidaya Tambak / Air Payau berdasarkan jenius Komoditi di Kabupaten Tuban. No Jenis Ikan Volume (kg) 1 Bandeng 164.692 2 Udang Windu 450.187 3 Udang lain 11.812 4 Mujair 64.432 5 Ikan lain 25.667 Jumlah 716.790Sumber: BPS kab. Tuban, 2003

Tabel 2.4 Produksi Budidaya Sawah Berdasarkan Jenis Komoditi di Kabupaten Tuban Tahun 2003 No Jenis Ikan 55 Volume (kg)

1 Bandeng 2 Tawes 3 Tombro 4 Mujair 5 Nila 6 Ikan lain JumlahSumber: BPS kab. Tuban, 2003

1.020.194 847.006 580.406 304.112 27.852 180.490 2.930.490

Kebijakan dan arah pembangunan Kabupaten Tuban diharapkan dapat mendukung potensi Kebupaten Tuban, baik pertanian dan perikanan. Pengaturan tataguna lahan secara tepat dapat menjamin kelangsungan produksi pertanian dan perikanan darat yang telah ada. Pembangunan pelabuhan ikan dan pariwisata juga diharapkan dapat memacu pertumbuhan perekonomian dan pencapaian peningkatan produksi perikanan serta pertumbuhan daerah.

II.6 Pembuatan Toak Memasuki kota Tuban dari arah timur, atau lewat kota Babat, pengunjung akan disuguhi pemadangan khas, yaitu banyaknya penjual minuman tradisional Tuak yang banyak di jajakan di sepanjang jalan (di daerah lain, seperti Sulawesi dan Indonesia timur lainnya termasuk di Papua, biasa disebut dengan Saguer). Selain tuak yang bisa membuat peminumnya mabuk karena berkadar alkohol tinggi, juga terdapat Legen yang berasa manis segara tanpa harus takut mabuk saat meminumnya. Minuman tradisional ini dihasilkan dari pohon Siwalan yang banyak tumbuh di wilayah Tuban, selain dibuat minuman, buah Siwalan juga dijual buah mudanya yang memiliki rasa khas layaknya kelapa muda, buah ini 56

bahkan banyak dijajakan sampai kota Jakarta. Memasuki Kota Tuban, gerombolan penggemar mainuman tradisonal ini banyak ditemui, mereka banyak bergerombol di tempat kerumunan orang, seperti di pangkalan ojek, becak, terminal, dll. Ciri khas lain dari minuman ini adalah cara minumnya yang menggunakan gelas dari batang bambu, dengan tutup dari bahan triplek atau papan kayu. Dahulu, penjualnya juga menggunakan wadah dari batang bambu yang dipikulnya (Ongkek), tapi kini mereka sudah banyak menggunakan jerigen plastik. Tambul adalah camilan pendamping disaat minum tuak, Tambul bisa berupa daging puyuh goreng, kacang goreng, dan beberapa makanan kecil lainnya.

II.6.1 Siwalan Siwalan (Borassus Sundaicus) atau Bogor dalam bahasa JawaTuban, juga dikenal dengan nama lontar atau tal adalah sejenis palma yang tumbuh di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di banyak daerah, pohon ini juga dikenal dengan nama-nama yang mirip seperti lonta (Min), ental ( Sunda., Jawa., Bali.), taal (Md.), dun tal (Sas), jun tal (Sumbawa), tala (Sulsel), lontara (Toraja), lontoir (Ambon). Juga manggita, manggitu (Sumba) dan tua (Timor).

57

Gambar 2.1 Jajaran Pohon Siwalan (tengah, berjajar empat)

Pohon palma yang kokoh kuat, berbatang tunggal dengan tinggi 1530 m dan diameter batang sekitar 60 cm. Sendiri atau kebanyakan berkelompok, berdekat-dekatan. daun-daun besar, terkumpul di ujung batang membentuk tajuk yang membulat. Helaian daun serupa kipas bundar, berdiameter hingga 1,5 m, bercangap sampai berbagi menjari; dengan taju anak daun selebar 5-7 cm, sisi bawahnya keputihan oleh karena lapisan lilin. Tangkai daun mencapai panjang 1 m, dengan pelepah yang lebar dan hitam di bagian atasnya; sisi tangkai dengan deretan duri yang berujung dua. Pohon ini terutama tumbuh di daerah-daerah kering. Di Indonesia, siwalan terutama tumbuh di bagian timur pulau Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Siwalan dapat hidup hingga umur 100 tahun atau lebih, dan mulai berbuah pada usia sekitar 20 tahun. Karangan bunga dalam tongkol, 20-30 cm dengan tangkai sekitar 50 cm. Buah-buah bergerombol dalam tandan, hingga sekitar 20 butir, bulat peluru berdiameter 7 - 20 cm, hitam kecoklatan kulitnya dan kuning daging buahnya bila tua. Berbiji tiga butir dengan tempurung yang tebal dan keras. Daunnya digunakan sebagai bahan kerajinan dan media penulisan naskah lontar. Barang-barang kerajinan yang dibuat dari daun lontar antara lain 58

adalah kipas, tikar, topi, aneka keranjang, tenunan untuk pakaian dan sasando, alat musik tradisional di Timor. Sejenis serat yang baik juga dapat dihasilkan dengan mengolah tangkai dan pelepah daun. Serat ini pada masa silam cukup banyak digunakan di Sulawesi Selatan untuk menganyam tali atau membuat songkok, semacam tutup kepala setempat. Kayu dari batang lontar bagian luar bermutu baik, berat, keras dan berwarna kehitaman. Kayu ini kerap digunakan orang sebagai bahan bangunan atau untuk membuat perkakas dan barang kerajinan. Dari karangan bunganya (terutama tongkol bunga betina) disadap orang nira lontar. Nira ini dapat dimasak menjadi gula atau difermentasi menjadi tuak, semacam minuman beralkohol buatan rakyat. Buahnya berbentuk bulat dengan diameter antara 8 sampai 15 cm berkulit hitam dengan ujung dan pangkalnya berwarna hijau. Buah siwalan juga bisa dikonsumsi, terutama yang muda. Biji yang masih muda itu masih lunak, demikian pula batoknya, bening lunak dan berair (sebenarnya adalah endosperma cair) di tengahnya. Rasanya mirip buah enau, namun lebih enak. Biji yang lunak ini kerap diperdagangkan di tepi jalan sebagai buah siwalan(nungu, bahasa Tamil). Daging buah yang tua, yang kekuningan dan berserat, dapat dimakan segar ataupun dimasak terlebih dahulu. Cairan kekuningan darinya diambil pula untuk dijadikan campuran penganan. Tabel 2.5 Taksonomi Ilmiah Siwalan

59

Siwalan (Borassus Sundaisus) Kerajaan: Plantae Divisio: Angiospermae Kelas: Monocotyledoneae Ordo: Arecales Famili: Arecaceae (sin. Palmae) Genus: Borassus Spesies: B. Sundaicus

II.6.2 Cara Pembuatan Toak Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembuatan toak antara lain Babakan (kulit dari pohon juwet yang dikelupas lalu dikeringkan

sampai kandungan airnya habis). bahan lain yang tidak kalah penting adalah Wolo (bunga dari pohon Siwalan yang masih melekat di pohonnya dalam keadaan segar/tidak kering. Sedangkan alat-Alat yang dibutuhkan, pertama adalah Bethek (potongan batang bambu yang panjangnya 60 cm yang berguna mewadahi tetesan nira siwalan). Kedua, Gathik (dua belah bambu yang tebal sepanjang 60 cm yang disatukan kedua pengkalnya menggunakan tali pengikat dan menjadi sebuah penjepit). Ketiga, Glathi/ Pisau. Alat yang terakhir adalah daun 60

lontar sebagai alat penyaring.

Gambar 2.2 Tasiran, seorang penjual toak sedang sedang memasukkan toak segar yang baru saja diambil dari pohon siwalan dan siap untuk dijual

II.6.2.1 Proses Pembuatan Toak Pagi jam 07.00 WIB, penghasil toak memanjat pohon Siwalan membawa serta bethek dan babakan. Diatas pohon, penghasil toak menemukan wolo, yaitu bunga pohon siwalan yang biasanya mempunyai jari-jari panjang berjumlah enam. Wolo tersebut kemudian dijepit dengan gathik berkali-kali ag