Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

9

Click here to load reader

Transcript of Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

Page 1: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

S k e t s a

INDUSTRI DAN KELAS MENENGAH I n d o n e s i a Sebuah Percobaan untuk Memahami Tradisi Industri

Oleh: Peter Johan Djangoen & Cin P. Hapsarin

Pengantar

Memperbincangkan industri erat kaitannya dengan rancangan tentang masyarakat modern yang

menyandarkan dirinya pada aspek kesadaran individual. Industri selalu dirancang untuk

menghasilkan sebuah bentukan produksi yang dapat digunakan secara massal, tanpa

meninggalkan nilai guna produk tersebut. Untuk mencapai tahapan yang biasa kita sebut sebagai

pasar, pandangan terhadap nilai guna produk dan perkembangan kesadaran manusia merupakan

dua poin yang sangat penting; dimana visibilitas pasar mempersyaratkan fluktuasi demand dan

supply. Nilai guna produk bergantung pada pengembangan teknik dan pola konsumsi masyarakat

secara sosiologis, sementara kesadaran manusia justru bergantung pada strategi kebudayaan yang

ditempuh centre of influence legalitas formal kulturalnya.

Tulisan ini bukanlah upaya membongkar ataupun memberikan kerangka struktural atas

perkembangan industri pada masyarakat Indonesia. Dalam pertarungan gagasan politik yang

menghubungkan langsung antara landasan ideologis dan landasan fungsional-kebijakan, kita

harus berhati-hati dan bersikap terbuka atas arti dan makna industrialisasi dalam perkembangan

masyarakat Indonesia. Hal ini wajar, karena pertarungan idiomatik makna atas kata telah

mempolitisasi arti sesungguhnya dari kata itu sendiri. Dalam upaya inilah tulisan ini dibuat,

bagaimana menengok dinamika industrialisasi dalam wajah masyarakat Indonesia dan potensi

pengembangannya.

Konsep dan Definisi

Industri dapat diartikan sebagai kegiatan memproses atau mengolah barang dengan menggunakan

sarana atau peralatan, misalkan mesin (KBBI: 2005). Keterlibatan mesin dalam pengolahan

barang merupakan bagian dari teknik massifikasi dan pabrifikasi yang berorientasi pada kuantitas,

dimana teknik ini dikembangkan sejalan dengan metode komunikasi publisistik dan percetakan

yang berkembang pada era positivisme modernitas Eropa abad 15-17.

Revolusi Industri di Inggris pada abad 19 berhasil merubah wajah perekonomian sekaligus

menciptakan tata ekonomi baru, dimana industri memberikan landscape baru tentang bagaimana

melakukan penataan ruang kota dan relasi ekonomikal antar manusia. Penataan kota Manchester

Page 2: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

misalkan, memberikan gambaran bagaimana kerangka industrialisasi dan penataan lingkungan

sosial dapat terintegrasikan secara nyata. Barulah di kemudian hari intervensi Amerika Serikat

pada Perang Dunia II dan konsolidasi Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melengkapi sketsa baru

tentang strukturasi dunia yang berlandaskan pada jaringan ekonomi global.

Pergulatan untuk menemukan wajah industri Eropa tidak lepas dari proses pergerakan kesadaran

yang membentuk tatanan sosial masyarakatnya. Prolog pembentukan kesadaran individuasi ini

sesungguhnya bisa ditarik jauh ke belakang, yakni ketika gerakan kelas menengah non-monarki

di Italia pada abad 15 berusaha mendorong perubahan akses kekuasaan lewat pembentukan

konsolidasi ekonomi dan pengetahuan. Secara filosofis, gerakan tersebut membuka kemungkinan

bagi perubahan strukturasi kekuasaan lewat terobosan-terobosan filsafat positivisme dan titik akar

aufklarung-nya. Pembentukan kesadaran individuasipun makin terkristalisasi lewat pembentukan

kesadaran kelas; dimana pembentukan kesadaran ini sejalan dengan landasan relasi ekonomikal

antar individu dan hak kepemilikan individuasi. Perubahan pola kepemilikan kekuasaan

berdasarkan monarki menuju kepemilikan kekuasaan ekonomi menciptakan wajah baru tentang

relasi antar manusia: dari relasi raja-kawula menjadi relasi majikan-buruh.

Di kemudian hari, relasi ini diproyeksikan secara politikal dalam relasi antar negara: antara

negara maju dan negara berkembang; antara negara yang memiliki kemampuan melakukan

pabrifikasi dan negara yang memiliki sumber daya manusia besar. Kita bisa melihat

perkembangan lanjutan ini, atau teori ekonomi menyebutnya sebagai teori ketergantungan, dalam

beragam pandangan. Pada tulisan ini, kita mempersempit pandangan dengan melihat motivasi

industri yang selalu membutuhkan demand yang tinggi, dimana negara-negara berkembang yang

memiliki jumlah sumber daya manusia besar tentu menjadi prospek terbaiknya.

Namun, konsep industri purba ini mengalami perubahan yang sangat besar ketika Amerika di

bawah kepemimpinan Ronald Reagen melakukan revolusi ekonomi dengan menganut pendekatan

pasar bebas tanpa regulasi. Selain sifat fluktuatifnya, pendekatan ini menciptakan kamuflase imaji

atas nilai guna sebuah produk. Bukan lagi pabrifikasi, namun orientasi industri bergerak pada

aspek-aspek idiomatik yang sesungguhnya politis dan determinatif bagi proses pembentukan

kesadaran sosial. Pada tahapan inilah industri kehilangan nilai gunanya, baik sebagai cermin

sejarah peradaban maupun cermin kebudayaan yang menyandarkan diri pada aspek pembentukan

kesadaran.

Ketiadaan Massifikasi di Indonesia

Perkembangan industri di Indonesia sesungguhnya berada tepat di bawah lajur perkembangan

gaya modernisasi politik etis kolonialisme Belanda. Kegagalan integrasi jaringan ekonomi global

pada masa penjajahan bisa ditilik dari berbagai sebab: mulai dari kebangkrutan maskapai

perdagangan VOC hingga metode black market pedagang-pedagang Tionghoa yang justru

membawa benih kecurangan dalam sistem perdagangan Indonesia dewasa ini.

Di luar itu, dalam sejarahnya, pengembangan aspek alat sebagai prasarana teknologi yang dapat

menunjang munculnya kreasi-kreasi teknis sangat berlainan dengan pola perkembangan prasarana

Page 3: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

teknologi a la industri Barat. Besi misalkan, sebagai sebuah logam mutu rendah yang justru dapat

menjadi bahan mentah dasar bagi peralatan untuk pertanian, hanya dapat ditemui di utara Filipina,

tenggara Kalimantan, bagian tengah Sulawesi, Sumatera, dan Sumbawa. Di Jawa sendiri, sebagai

centre of influence, biasa mengolah bahan metalurgi yang disebut dengan ‘batu meteor’—

mungkin karena bahan ini dianggap sebagai satu-satunya bahan dasar logam yang cukup kuat

untuk diolah menjadi senjata. Di luar itu, teknik pengolahan logam biasa ditemui pada bahan-

bahan logam mulia yang memiliki tingkat peleburan elemen yang cukup tinggi, namun kurang

kuat untuk dapat dijadikan alat senjata, seperti tembaga, perunggu, perak, dan juga emas. Itu

sebabnya ketika Belanda pada abad 16-17 memutuskan untuk menggiatkan produksi di Jawa,

mereka mendatangkan bahan besi ke tanah Jawa dalam jumlah yang cukup besar.

Sesungguhnya, kegagalan pengolahan logam besi ini tidak semata-mata terjadi karena ketiadaan

unsur besi di pusat kekuasaan. Masyarakat Jawa, yang menjadi pencitraan struktur mini

masyarakat Indonesia, menempatkan pengolahan logam berbanding lurus dengan pandangan

manusia akan aspek kreativitas yang mitis. Para pande besi bernaung di bawah payung kerajaan,

bekerja demi kepentingan keselarasan yang dirumuskan tatanan kekuasaan. Demikian juga para

pujangga yang dapat menjadi cermin karakteristik kreativitas, tidak kurang bekerja untuk

kepentingan yang sama.1 Aspek harmoni dan keselarasan merupakan satu poin penting dalam

akar kesadaran masyarakat ini. Kita bisa melihatnya pula dalam teknik pengolahan senjata keris,

dimana pamor dan logam-logam pelengkap yang mempercantiknya justru menjadi elemen

penting dalam teknik pengolahannya.

Mitos Penciptaan dan Kerja2

Hampir seluruh format kerja—sebagai bagian dari aspek material budaya—pada masyarakat

tradisional selalu berkait dengan mitos penciptaan. Hal ini tak tertolakkan karna bagaimanapun

mitos penciptaan adalah daya utama, semacam atlas panduan hidup sampai ketingkatan praksis.

Pada tataran global, fenomena ini hanya mampu ditandingi oleh Konfusianisme di Cina sekaligus

dikalahkan secara telak oleh mitos penciptaan agama-agama langit termasuk ruh homogenitas

yang diusung etik protestan, Weber. Setelah masa itu, mitos penciptaan di luar agama-agama

langit, boleh dikata, tidak lagi mendapat tempat.

Sebelum agama langit mendominasi mitos penciptaan, baik langsung maupun tak langsung,

hampir sebagian masyarakat tradisional mempercayai tidak adanya sekat antara kerja, interaksi

maupun doa. Bahkan bagi Orang Jawa misalkan, diantara ketiganya tidak ada perbedaan prinsip

1 Para pande ataupun pujangga pada masa itu terbilang sebagai intelektual pra-modern Indonesia. Mereka adalah kelompok tertentu yang bermodalkan lebih dari sekedar pengetahuan empirik. Dalam ranah ini, yang empirik adalah suatu yang banal, biasa. Seringkali orang harus mencapai tahap suwung, sebuah pengalaman mengalami ada dan bukan bertanya apa, untuk menduduki posisi itu. Jakob Sumardjo menyebutnya ‘tan kena kinaya apa’. Di luar perbincangan kiblatnya ke arah penguasa ataupun tidak, dapat dipastikan jika intelektual pra-modern Indonesia pada dirinya merangkap beberapa fungsi maupun kedudukan; begawan, ilmuwan, guru sekaligus praktisi. Format ‘interdisipliner’ inilah yang menjadi rel untuk membangun dinamika masyarakat. 2 Sebagian dari uraian ini disarikan dari Jakob Sumardjo, Estetika Paradoks, Bandung: Sunan Ambu Press, 2006.

Page 4: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

hakiki (Magnis-Suseno, 2001: 82). Sumber daya alam dan sumber daya manusia pada kasus ini

tidak lagi dipandang sebagai dua komponen yang terpisah, melainkan sebagai satu sumber

kekuatan produksi. Masyarakat Dayak Benuaq di Jahab, Kalimantan Timur mengatakan jika

kayu-kayu di hutan Kalimantan adalah leluhur dan tetangga yang harus diperlakukan dengan

hormat (Kompas, 25/8/08). Kisah ‘sakral’ sejenis dapat ditemui pada masyarakat Asmat. Mereka

percaya jika manusia diciptakan dari kayu—dan bukan tanah—oleh Femuripits, itu mengapa

menebang pohon adalah sama dengan membunuh saudara. Di daerah Riung, Flores, lahan baru

berkembang setelah Te’ze dan suami (merangkap anaknya) menyebarkan darah dan tulang kedua

anak kandung mereka sebagai korban persembahan.

Mitologi-genesis ini pula yang mengantar masyarakat di Sunda maupun Minang untuk melakukan

pembagian kerja maupun penetapan dan penempatan status perempuan dan laki-laki. Penolakan

kedua masyarakat yang tergolong sebagai masyarakat peladang terhadap dualistas yang keras—

yang kerap menjadi pola masyarakat peramu—menyebabkan mereka memerlukan ‘dunia antara’

atau ‘dunia tengah’. Dunia ini menjembatani yang paradoks, akibatnya tercipta iklim baru yang

berbeda dari bentuk oposisi biner yang sebelumnya telah eksis. Pada ruang inilah harmoni

dimungkinkan tercipta. Bentuk turunan dari pola ini adalah penetapan Kampung Cikeusik di

Sunda sebagai pemilik mandat kekuasaan (wakil dunia atas), Kampung Cikertawana sebagai

pelaksanan mandat walau tidak memiliki otoritas kekuasaan (wakil dunia tengah) dan Cibeo

sebagai wakil dunia bawah. Demikian pula yang berlaku pada Tanah Datar, Empat Puluh Kota

dan Agam pada kebudayaan Minang.

Pada masyarakat pengguna pola empat, seperti masyarakat yang tinggal di pulau kecil Nusa

Tenggara Timur dan Maluku Selatan, pembagian kerja mengikuti logika hulu-hilir dalam bentuk

belah ketupat. Hulu biasanya berada di utara. Bagian kiri dari belah ketupat, secara vertikal,

ditempati kaum tua (kampung 1) sementara sisi kanan adalah kaum muda (kampung 3). Ketika

belah ketupat dibagi dua, secara horisontal, kelompok tua dan muda yang berada di bagian atas

memiliki status sosial lebih tinggi dibanding kelompok tua (kampung 2) dan muda di bawah

(kampung 4). Kampung 1 & 3 sangat dipatuhi, tetapi mereka pasif dalam arti tidak menjalankan

pemerintahan, hanya melaksanakan upacara adat, ritual dan norma bersama. Kekuasaan di

seluruh kesatuan dikerjakan kampung 2 walau kampung 3 menduduki posisi yang lebih

terhormat. Justru karena hal itu kampung 3 hanya menjalankan fungsi sebagai eksekutif internal

sementara kampung 4 berlaku sebagai penjaga keamanan kampung baik secara internal maupun

eksternal. Sementara masyarakat pola lima (belah ketupat dengan titik tengah) seperti Jawa,

mengenal mancapat. Sistem ini merumuskan kedudukan pemimpin sebagai sentrum yang

dikelilingi oleh wilayah satelit. Konsep kesatuan geografi ini adalah turunan dari sistem mandala

yang juga sering disebut sebagai perangkat mistik dari lingkar geografi suci. Itu mengapa raja di

Jawa adalah juga wakil Allah di dunia. Hampir seluruh pemahaman ruang itu, termasuk kerja di

dalamnya, dipayungi oleh pola emanasi dan asosiasi yang diadopsi dari paham Hindu-Budha.

Kiranya sistem kerja yang dibangun dari kosmologi dan mitologi-genesis macam itulah yang

mendorong merakyatnya ritus ataupun upacara-upacara penghormatan. Misalkan saja

kepercayaan padi berasal dari tubuh Dewi Sri membuat masyarakat Jawa melangsungkan upacara

Page 5: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

pada awal tanam dan panen padi pada Dewi tersebut; lalu upacara meminta hujan dengan

gamelan; sistem perhitungan masa tanam yang dikenal masyarakat Jawa dengan sebutan pranata

mangsa (di Karo, pranata mangsa dilambangkan dengan apa yang hari ini kita kenal sebagai

bintang Daud atau Yahudi); atau digunakannya petung primbon untuk menangkap maling pun

sebaliknya, menentukan ‘saat’ yang paling tepat agar selamat waktu mencoleng.

Stagnasi Evolusi

Untuk dapat melihat perkembangan kesadaran dalam kebudayaan ini, kita dapat menggunakan

pendekatan Van Peursen mengenai tahapan kesadaran: dari tahapan mitis, tahapan ontologis, dan

tahapan fungsional. Namun, tahapan-tahapan ini bersifat evolusioner, dimana setiap tahapan

merupakan jenjang yang harus dilewati untuk dapat menuju kesadaran fungsional non

operasionalis. Pada perubahan sosial masyarakat Indonesia, tahapan ontologi-eksistensialisme

justru tercetak lewat mimikri-mimikri yang ditularkan pendidikan kolonial. Baik dalam bidang

kesehatan, ilmu pengetahuan, administrasi, maupun teknik-teknik pertanian seluruhnya

berorientasi pada hasil kuantitas.

Ada beberapa hal yang mendasari mengapa perubahan tahapan mitis kepada tahapan ontologi

terjadi bukan karena perubahan internal. Pertama, sifat masyarakat Indonesia yang komunal.

Secara umum sifat ini dapat ditemui pada berbagai bentuk maupun lapisan masyarakat, bukan

saja pada masyarakat sawah melainkan juga pada masyarakat ladang ataupun pesisir. Tak dapat

dipungkiri jika sifat ini mendasari cara-cara dan teknik berorganisasi maupun teknik

bermasyarakat seseorang, dimana teknik inilah yang akan membangun world of view atau cara

pandang dunia seseorang tersebut. Sifat komunal ini juga yang membentuk motivasi dalam

berproduksi, dimana aktivitas produksi akan selalu diarahkan pada pemenuhan produksi subsisten

bagi kebutuhan seluruh anggota kawula warga. Tanpa sifat individuasi, teknik penimbunan yang

berorientasi pada produksi ekspor hampir mustahil terjadi.

Kedua, menguatnya hegemoni wacana dominan yang menggerus kreasi-kreasi yang bersifat

oposan. Kreasi yang bersifat oposan seringkali juga bersifat esoteris, ini bisa dijumpai pada

bentuk-bentuk kesenian oposan seperti tradisi lisan, wayang maupun serat. Sifat esoteris ini

bertalian erat dengan harmoni, tidak saja sebagai konsepsi melainkan harmoni sebagai bangunan

komprehensif dari realisasi tindak-tutur dalam kerangka tubuh sosial. Tubuh sosial yang sehat

mensyaratkan terbangunnya dialektika yang lahir dari pertemuan antara gagasan dengan

pemahaman, yang pada gilirannya dipercaya akan menghasilkan unsur dan senyawa baru yang

berguna bagi proses bersama. Sifat esoterisme di sini men-suport ‘pola’, sesuatu yang jauh lebih

menelisik ke dalam jika dibandingkan dengan struktur maupun wujud, yang dipercaya menjadi

moda paling utama dan mendasar bagi terbentuknya harmoni.3 Salah satu periode terpenting di

3 Pola dapat dianalogikan sebagai elemen sinkronik yang tetap dan tak berwujud sementara wujud karena merupakan elemen diakronik cenderung lekat dengan aspek pluralitas. Hanya struktur yang menjembatani pola dan wujud, ini karena walau ia cenderung elastis, dapat berubah karna susunan strukturnya, namun ia bersetia pada bentuk-wujud. Pola dan struktur ini adalah ‘arkeologi pikiran yang diam’, yang lama mengendap dan tersimpan dalam ingatan dan oleh karenanya menjadi penting sebagai sebuah sumber data hidup.

Page 6: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

Jawa untuk menggambarkan keberhasilan ‘pola’ tersebut adalah puncak konsolidasi ideologi

Negarakertagama pada masa Hindu-Budha maupun politic of equilibrium Islam-Jawa masa

Sultan Agung di kemudian hari. Masuknya Islam dan tawaran ke-Esa-an ternyata tidak cukup

mampu untuk merubah sifat harmoni ini, yang justru makin mengentalkan bentuknya. Terbukti

misalkan, baik metode pewayangan, serat, dan juga tradisi lisan oposan tetap berkembang sejalan

dengan institusionalisme kebudayaan Jawa ke dalam Islam yang dibangun Sunan Kalijaga.

Di lain sisi, hal ini menimbulkan efek domino pada metode pendidikan sosial. Transformasi nilai

menjadi sesuatu yang eksklusif, bersifat sangat personal bahkan menjurus individual. Harmoni

sebagai wacana umum dalam sistem sosial kemasyarakatan yang telah terbangun pada masa

sebelumnya, bergerak memasuki medan-medan yang tak terjamah kaum akademisi yang

positivistik dan makin terpojok oleh adagigum objektivisme dari rasionalisme-empirik.

Kemerosotan ini melahirkan distansiasi dan mengakibatkan makin lemahnya pemahaman kelas

terdidik terhadap pengetahuan lokal yang menjadi basis produksi pengetahuan atau world of view

dari majoritas masyarakat Indonesia yang sangat plural. Benturan hebat tak terelakkan ketika

frame distansiasi kelas terdidik bertemu dengan kungkungan mitos harmoni yang ‘terlanjur’

diamini dan dibangun kelompok oposan dalam ranah publik. Kemenangan untuk sementara

waktu dipegang oleh kelompok kelas terdidik, sementara kekalahan kelompok oposan

meneguhkan mundurnya kreatifitas sebagai daya tawar yang berguna untuk membangun basis

produksi dikalangan massa rakyat dan tidak pada kelas bangsawan-penguasanya.

Ketiga, lemahnya konsolidasi kelas menengah yang seharusnya menjadi jembatan terbaik antara

dua kutub dalam piramida terbalik—antara negara dan masyarakat. Harus disadari jika strukturasi

masyarakat ekonomikal terbentuk karena adanya kemampuan mobilisasi vertikal sebuah kelas,

baik itu dalam gerak vertikal ke atas maupun ke bawah. Pada struktur masyarakat monarki, kelas

menengah hadir dalam perpanjangan tangan kekuasaan, khususnya kelas priyayi—para yayi atau

saudara raja yang menguasai sisi-sisi ekonomi riil—yang kemudian dapat diperluas dalam

konteks perkawinan politik raja. Sebanding dengan itu, struktur masyarakat ekonomikal

menghadirkan para pedagang sebagai jembatan antara konsepsi ideal kekuasaan dan faktor

perkembangan realitas masyarakat.

Pada banyak kasus dalam masyarakat primordial, kerja ‘hanya’ dianggap sebagai alat bantu,

sebagai level kedua dari upaya pemenuhan karya yang biasanya hanya bisa dicapai melalui jalan

permenungan, pencerahan dan kebijaksanaan. Iklim filsafat Hindus dan letak geografis di belahan

bumi bagian selatan menjadi faktor pendukung utama terbentuknya karakter ini. Selain itu, boleh

jadi ini merupakan endapan purba yang tak disadari, sebuah kristalisasi dari keberhasilan

penolakan kaum Budhis terhadap penyangkalan yang asketik. Ide ini memberi kesempatan

plesure bagi kaum priyayi sekaligus kelas menengah berikutnya. Penolakan ini paling tidak

mendudukkan kelas menengah untuk makin segmentatif, birokratif dan strukturatif, terbebas dari

kerja-produksi secara langsung. Etos kerja rendah adalah nada major yang terdengar hingga hari

ini.

Page 7: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

Catur janna dalam konsepsi masyarakat Hindu Jawa dapat menjadi pembanding yang menarik,

dimana kelas pedagang berada pada level ketiga; sebuah tingkatan yang dianggap tidak menarik

bagi kelas priyayi-bangsawan feodal Indonesia pada umumnya. Pada gilirannya hal ini terbukti

saat Mohammad Hatta menuai kegagalan konsep ReRa yang berusaha dikembangkannya pasca

perang kemerdekaan berakhir. Para milisi yang telah menganggap dirinya memasuki tahapan

satriya dalam catur janna menolak untuk direstrukturisasi ke dalam sektor-sektor produksi

dengan alasan seperti yang diungkapkan di atas.

Kegagalan konsolidasi kelas menengah akibat kebongakan para priyayi ini pada akhirnya

melahirkan persoalan yang cukup strategis. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia berlalu-

lalang untuk saling menukar produk barang yang mereka miliki. Di lain sisi, lalu lintas

perdagangan pada daerah pesisir pantai ini secara otomatis diiringi dengan metode-metode

persuasif yang lebih etis. Muncullah perubahan kebudayaan dalam konteks agama. Sementara

daerah pedalaman yang belum memiliki cukup akses justru menjadi benteng pertahanan terakhir

bagi pertarungan-pertarungan idiomatik yang sesungguhnya sangat politis. Cermin kegagalan

rumusan geopolitikal ini bisa dilihat dari perkembangan daerah pariwisata dewasa ini: Bali,

Lombok, Yogyakarta, dan daerah-daerah lain yang sesungguhnya memiliki kekenyalan sejarah

pertahanan terakhir prosesi kebudayaan lokal dari serangan kebudayaan lalu-lalang pedagang

pendatang.

Konsumsi Mengganti Produksi

Tahapan mitis yang belum dilalui masyarakat primordial dan konsekuensi distansiasi yang

dienyam kelas terdidik melahirkan jurang tak berjembatan. Masa-masa pra kebangkitan nasional,

walaupun diklaim berhasil memenangkan wacana akar kebangsaan yang mensyaratkan kesatuan

ekonomi, kesatuan administrasi politik dan kesatuan kebudayaan, nyatanya gagal melakukan

konsolidasi ditingkatan akar rumpun. Pola kebudayaan dan perkembangan masyarakat tidak lagi

berada dalam satu aras yang sejalan dengan perkembangan teknologi yang melingkupi dan inilah

titik balik bagi mula terbentuknya masyarakat konsumtif, menggeser kedudukan masyarakat

produsen yang sudah terbangun sebelumnya.

Pada gilirannya, pergeseran ini menimbulkan kegagapan dalam mengoperasionalkan teknologi

tepat guna. Iklim industri yang sebelumnya mengandalkan pengolahan barang bergerak menjadi

‘penyedia jasa layanan’ bagi terbentuknya jaringan dagang global dan industri besar di wilayah-

wilayah lokal yang potensial. Eksplorasi tambang migas disembarang wilayah adalah salah satu

contoh yang menempatkan masyarakat sekitar menjadi tenaga kerja berupah murah sekaligus

kelas masyarakat konsumtif karena ruang produksi yang mereka miliki dipenggal. Negara,

dengan tiap kebijakan yang tidak berpihak pada rakyatnya, tidak ubahnya berlaku sebagai tenaga

penyalur fasilitas maupun infrastruktur yang dibutuhkan dalam kerja besar tersebut, sementara

kelas menengah terdidik menjadi agen-agennya.

Nasionalisme pada aras ini tidak menjadi payung kesatuan yang cukup kuat, justru rezim yang

berkuasa menderivasi makna tersebut sekedar sebagai jargon bermata dua. Dalih kesatuan

digunakan untuk mendulang keberhasilan perluasan investasi disegala sektor usaha, dengan kata

Page 8: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

kunci keamanan dan stabilitas nasional demi pembangunan berkelanjutan. Lokalitas sendiri baru

diterima dan menemui bentuk mutakhirnya setelah ia mendatangkan devisa bagi negara.

Pariwisata adalah celah utama terbentuknya wacana lokalitas yang ambigu.

Pariwisata: Alih-alih Yang Terbaik dari Yang Terburuk

Kalau kemudian gambaran di atas cukup untuk menjadi sketsa atas kegagalan pembentukan

industri barang di Indonesia, kita juga harus melihat secara jelas bagaimana konsepsi pariwisata

dan segala derivasi yang dapat membuka lahan penghidupan masyarakat sukses menyitir identitas

lokal kedaerahan ke dalam relasi industri yang semu. Ketiadaan elemen mesin dalam tahapan

produksi adalah kunci awal untuk melihat hal ini, dimana elemen mesin ini justru dipompa-

karbitkan oleh pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.

Kita bisa mencari sebab musababnya: mulai dari konsolidasi kebijakan kekuasaan yang bersifat

politik dagang sapi, tipikal masyarakat bayi yang tidak jarang merengek dalam kondisi apapun,

hingga politisasi isu-isu internasional semacam new age dan climate change. Namun, pada

berbagai aspek inilah, masyarakat lokal yang masih berada pada tahapan mitis secara perlahan

bersinggungan dengan jaringan dunia dan menemukan dirinya terkepung dalam relasi-relasi

ekonomi pada derajat struktur sosial masyarakat. Pariwisata di satu sisi bisa menjadi wajah

industri baru, dengan pengukuran pada penerimaan devisa negara dan meningkatnya pendapatan

daerah tersebut.

Pada konsepsi industri pariwisata ini, elemen mesin dialih-fungsikan kepada berbagai spektrum

berjejaring masyarakat lokal: baik itu kurikulum sekolah yang mencantumkan kesenian dan

kebahasaan daerah sebagai mata pelajaran, maupun peraturan pemerintah daerah yang terus-

menerus berusaha menggenjot tampilnya kebudayaan daerah di panggung-panggung pertunjukan.

Dalam pandangan yang positif, industri pariwisata model ini secara bertahap menciptakan relasi-

relasi baru antara pendidikan formal sekolah dan pendidikan kebudayaan, yang justru

melegitimasi identitas lokal untuk dapat berproses dalam tubuh internalnya. Di sisi lain, harus kita

akui, motivasi perdagangan yang melekat pada industri ini justru akan merusak proses

internalisasi di tubuh kebudayaan jika tidak dibarengi dengan kebijakan yang progresif dan

visioner.

Polemik Kebudayaan & Kelas Menengah Indonesia

Kalau kemudian proses perubahan internal ini harus terjadi, posisi kelas menengah dalam konteks

model industri ini harus kehilangan kehormatannya: sebagai jembatan emas. Kegaguan kelas

menengah terdidik formal ketika berhadapan dengan kompleksitas sistem nilai lokal harus diakui

terjadi di hampir seluruh tingkatan, sebuah diskursus yang sesungguhnya telah mencuat pada

Polemik Kebudayaan di masa era Kebangkitan Nasional.

Untuk melihat persoalan ini, ada beberapa titik permasalahan yang mendasari ketidak-bergerakan

kelas menengah sejak era Kebangkitan Nasional hingga saat ini: pertama, gagalnya fungsi politik

sebagai gagasan emansipatoris yang praktis. Kita bisa melihat diskursus Polemik Kebudayaan

secara tegas mempertanyakan pertautan antar berbagai aspek pengetahuan: antara politik dan

Page 9: Tradisi Industri Dan Kelas Menengah Indonesia

ekonomi, antara agama dan perdagangan, antara modernitas dan tradisional, dst. Sebagai kelas

terdidik yang telah memahami kesadaran invididu dan sikap politik, kelas menengah justru

berkembang pada strukturnya sendiri. Perkembangan ini tidak didasari pada kebutuhan-

kebutuhan praksis-pragmatis yang hadir pada realitas kemasyarakatan.

Kedua, keterbataan motivasi ekonomi pada struktur masyarakat kelas menengah. Pengalaman

pembentukan kelas menengah pendatang dalam sejarah nusantara bisa menjadi rujukan betapa

minimnya motivasi ekonomi pada struktur masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah

priyayi dan para kepanjangan tangan raja. Demikian juga studi kawasan regional Asia Tenggara

menunjukkan motivasi investasi korporasi-korporasi dunia di beberapa negara seperti Vietnam

dan Indonesia lebih disebabkan adanya sumber daya manusia yang besar dan murah, bukan

karena pergerakan intelektual di negara-negara tersebut. Kita bisa melihat posisi ‘tanggung’ kelas

menengah ini—antara kehendak berdikari dan terbata-bata membentuk relasi ekonomikal—

sebagai salah satu sebab kegagalan pembangunan industri Indonesia.

Penutup

Paparan di atas setidaknya menunjukkan, kegagalan pembangunan model industri di Indonesia

bisa disebabkan beberapa hal: formatur alam, kekalahan ‘pengetahuan lokal’ dari wacana

dominan yang positivistik—sebelum ia sempat melakukan dialektika dengan konteks sosial hari

ini, kebijakan yang tidak progresif dan visioner, kelas menengah yang belum memfungsikan

dirinya sebagai jembatan, dan sistem politik yang bersifat dagang sapi. Untuk menyiasati kondisi

itu, kita tidak bisa melihat proses pembentukan relasi-relasi ekonomikal dalam satu ranah semata.

Setiap tahapan dalam proses evolusioner pembentukan kesadaran sosial justru akan menunjang

perubahan yang nyata dan berfungsi. Bahwa proses pembentukan industri membutuhkan produk,

mesin, manusia baik sebagai operator, produsen, maupun pembeli, dan tentunya sistem yang

dapat dipertanggungjawabkan hingga keseluruhan elemen ini akan membentuk sinergi yang

saling bertautan.

Jog-Jakarta, 2008.