TRADISI HIDUP WANITA BAKULDI DESA SUMBER BAHAGIA …a Folklore Study.The purposes of this study are...
Transcript of TRADISI HIDUP WANITA BAKULDI DESA SUMBER BAHAGIA …a Folklore Study.The purposes of this study are...
TRADISI HIDUP WANITA BAKULDI DESA SUMBER BAHAGIA
KABUPATEN BATURAJA SUMATERA SELATAN
DALAM RUMAH TANGGADAN PERDAGANGAN:
SEBUAH KAJIAN FOLKLOR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Oleh
Lusiana Rosarini
024114012
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2007
ii
iii
MOTTO
iv
***Janganlah hendaknya kamu kuatir dengan apapun juga, tetapi nyatakanlah
dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan
ucapan syukur .
(filipi 4:6) ***
***Harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat,supaya nyata bahwa
kekuatan yang melimpah-limpah itu berasal dari Allah,
bukan dari diri kami. (2 Kor, 4-7)***
***Tidak ada kesulitan yang tak dapat dikalahkan oleh kasih yang dalam,…tak
peduli betapa besarnya kesulitan itu,
Betapa sirnanya harapan,
Betapa rumitnya masalah dan betapa besarnya kesalahan.
Maka kesadaran akan kasih yang dalam itu mampu menguraikan
Semuanya…(Elisabet Wisto)***
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan Skripsi ini untuk :
Tuhan Yesus dan Bunda Maria yang suci dan tak bernoda. Puji syukur atas limpahan berkatMu.
( Bapak dan Ibuku terkasih, pembimbing dan semangat hidupku.
Kakak-kakakku tersayang, pendorong yang setia )
v
Ia mengajariku membaca, memahami segala tanda
Ia mengajariku menulis, mengungkapkan petualangan hidup
Ia membesarkanku dengan kasih sayang, menemukan cinta dalam hidup
Ia senantiasa mengatakan dengan diam, dan menjelaskan dengan perbuatan.
( Tunanganku tercinta, pemberi semangatku.
Orang-orang terdekatku, yang selalu memahamiku )
Dengan kamu pijakanku terasa teguh
Dengan kamu peganganku tergenggam erat
Dengan kamu sandaranku semakin kokoh
Dengan kamu pula aku belajar tentang kesederhanaan,
Berpasrah diri dan memaknai hidup.
Dan dengan rendah hati aku persembahkan juga penelitian ini
Kepada yang pantas menerima ucapan
Selamat jalanku
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Tanggal, 22 Januari 2007
Penulis
Lusiana Rosarini
vii
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus, atas rahmat dan
karuniaNya yang melimpah sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dan memperlancar proses penulisan skripsi ini.
1. Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum, selaku dosen pembimbing I.
Terimakasih atas bimbingan, masukan, kesabaran, serta semangat yang
selama ini telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini.
2. Drs. B. Rahmanto, M. Hum, selaku dosen pembimbing II. Terima kasih
atas
bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
3. Dr. Praptomo Baryadi I, M. Hum, Drs.P. Ari Subagyo, M. Hum, Drs .F.X
Santosa, Drs. Hery Antono, M. Hum , S.E. Peni Adji, S. S. M. Hum,
Dra. Tjandrasih, M. Hum. Terimakasih atas ilmu yang diberikan dan atas
jasa-jasanya dalam membimbing sebagai dosen Sastra Indonesia.
4. Staf sekertariat Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas bantuannya
dalam mengurus keperluan kuliah.
5. Staf perpustakaan Universitas Sanata Dharma, terimakasih atas
pelayanannya yang ramah.
viii
6. Orang tuaku terkasih, Bpk. Agustinus Suroto dan Ibu. Veronika. S.
Terimakasih atas pengorbanan, doa, dan kasih sayang yang selama ini
diberikan yang tidak ternilai.
7. Kakakku tersayang, Petrus Fajar Santoadi, S.Pd, dan Maria Indah
Prihutami. Terimakasih atas dukungannya
8. Tunanganku tercinta, Albertus Lukman. Terimakasih karena selalu ada di
setiap waktu, dan selalu memberi dukungan.
9. Omku tersayang, Petrus Pardamean Tamba Tua, S.T. Terimakasih atas
nasehat dan motifasi yang diberikan kepada penulis, hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Bpk. Andi Alfian, Manajer PT. Semesta Prima Mandiri. Terimakasih atas
dukungan dan bantuan yang diberikan kepada penulis.
11. Semua teman-temanku Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
angkatan 2002, dan teman-teman kos. Terima kasih atas persahabatan
yang terjalin baik dan kebersamaan yang indah.
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat berguna bagi pembaca sekalian dan
dapat dijadikan acuan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.
Yogjakarta, 22 Januari 2007
Penulis
Lusiana Rosarini
ix
ABSTRAK
Rosarini, Lusiana. 2006. Tradisi HidupWanita Bakul dalam Rumah Tangga dan Perdagangan: di Desa Sumber Bahagia, Baturaja Sumatra Selatan: Sebuah Kajian Folklor. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Skripsi ini membahas tentang Tradisi Hidup Wanita Bakul dalam Rumah Tangga dan Perdagangan : di desa Sumber Bahagia, Baturaja Sumatra Selatan: sebuah Kajian Folklor. Studi ini memiliki dua tujuan, yakni (1) mendeskripsikan tradisi hidup wanita bakul dalam rumah tangga di desa Sumber Bahagia, Baturaja Sumatera Selatan. (2) menjelaskan tradisi hidup wanita bakul dalam perdagangan di Desa Sumber Bahagia, Baturaja Sumatera Selatan.
Studi ini menggunakan pendekatan folklor. Kerangka teori yamg digunakan dalam studi ini adalah folklor dan kajian etnografis. Penelitian ini menggunakan tiga teknik pengumpulan data yaitu teknik observasi, kepustakaan, dan wawancara mendalam. Hasil penelitian mengenai tradisi hidup wanita bakul ini menunjukkan bahwa (i) kehidupan wanita bakul di desa Sumber Bahagia, Baturaja-SUMSEL memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dengan yang lain, (ii) Usaha yang dilakukan oleh para wanita bakul dalam mencukupi segala kebutuhan, baik dalam kebutuhan rumah tangga maupun untuk pendidikan anak.
x
ABSTRACT
Rosarini, Lusiana, 2006. Living strategy of Woman Vendor in Household and Trade in Sumber Bahagia Village, District of Baturaja, South Sumatra Province: a Folklore Study. Thesis Strata I . Indonesian Letter Study Program, Letter Department, Sanata Dharma University.
The research studies about living strategy of women seller in household and
trade Trade in Sumber Bahagia Village, District of Baturaja, South Sumatra Province: a Folklore Study.The purposes of this study are (1) describing living strategy of woman seller in household in Sumber Bahagia Village, District of Baturaja, South Sumatra Province. (2) describing trade living strategy of woman seller in Sumber Bahagia Village, District of Baturaja, South Sumatra Province. The research use folklore approach. Main Theoretical frame used in this study was folklore and ethnographical approach. Researcher used three methods of data collection: observation, deep interview, and documentation. Result of this research are: (i) Living strategy of woman seller in household in Sumber Bahagia Village, District of Baturaja, South Sumatra Province has its caracterirtics different from others (ii) efforts of woman seller in fulfilling all needs of household and children education.
xi
DAFTAR TABEL
TABEL HAL
I. Jumlah Penduduk Menurut Umur .................................................... 22
II. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan.............................. 24
III. Jumlah Penduduk Yang Bekerja Menurut Jenis Pekerjaan.............. 25
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ ii
MOTTO .................................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................. iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................ vi
ABSTRAK.............................................................................................. viii
ABSTRAC................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL .................................................................................. x
DAFTAR ISI .......................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian..................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian................................................................... 7
1.5 Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori..................................... 7
1.5.1 Tinjauan Pustaka................................................................ 7
1.5.2 Landasan Teori ................................................................. 8
1.5.2.1 Folklor dan Kajian Etnografis .................................. 8
1.5.2.2 Folklor Wanita Bakul................................................ 13
1.6 Metodologi Penelitian............................................................. 18
1.6.1 Pendekatan......................................................................... 18
1.6.2 Metode ............................................................................... 18
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ................................................ 19
1.6.3.1 Observasi .................................................................. 19
1.6.3.2 Wawancara ............................................................... 19
xiii
1.6.3.3 Kepustakaan.............................................................. 20
1.7 Sumber Data ........................................................................... 20
1.8 Sistematika Penyajian............................................................. 20
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ................... 22
2.1 Lokasi Penelitian ..................................................................... 22
2.1.1 Letak dan Keadaan Alam................................................... 22
2.1.2 Penduduk dan Keadaan Sosial Keadaan Ekonomi ............ 24
2.1.3 Pasar Pucok ....................................................................... 29
2.2 Karakteristik Wanita Bakul ..................................................... 34
2.3 Rangkuman.............................................................................. 37
BAB III TRADISI HIDUP WANITA BAKUL DALAM
RUMAH TANGGA ................................................................ 38
3.1 Struktur Rumah Tangga .......................................................... 38
3.2 Aktivitas Rumah Tangga ........................................................ 39
3.3 Alokasi Waktu ........................................................................ 42
3.4 Pengambilan Keputusan dalam Keluarga ............................... 44
3.5 Strategi Rumah Tangga .......................................................... 47
3.6 Pendidikan Anak..................................................................... 52
3.7 Rangkuman............................................................................. 52
BAB IV TRADISI HIDUP WANITA BAKUL DALAM
PERDAGANGAN .................................................................. 55
4.1 Usaha Dagang ........................................................................ 55
4.1.1 Latar Belakang Memilih Jenis Barang Dagangan............ 55
4.1.2 Pengadaan Barang............................................................ 59
4.1.3 Pemasaran......................................................................... 62
4.2 Kehidupan Enam Orang Wanita Bakul .................................. 64
xiv
4.2.1 Ibu Joyo ............................................................................ 65
4.2.2 Ibu Daonah....................................................................... 68
4.2.3 Ibu Roidah........................................................................ 72
4.2.4 Ibu Wastini ....................................................................... 74
4.2.5 Ibu Otang.......................................................................... 78
4.2.6 Ibu Tarso .......................................................................... 79
4.3 Rangkuman............................................................................. 82
BAB V PENUTUP................................................................................. 84
5.1 Kesimpulan............................................................................. 84
5.2 Saran....................................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 86
LAMPIRAN ............................................................................................ 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang banyak dihadapkan
pada berbagai masalah pembangunan, termasuk usaha untuk mencapai
pemerataan pembangunan. Seperti di negara yang sedang berkembang
lainnya, pada saat ini Indonesia juga merupakan negara yang sedang
mengadakan modernisasi di segala bidang atau segala aspek kehidupan.
Modernisasi adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang biasanya
merupakan perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu
perencanaan, yang biasanya dinamakan “Social Planning”
(Soekanto,1977:273). Di Indonesia, modernisasi terutama ditekankan pada
sektor pertanian, karena modernisasi pertanian tidak hanya menyangkut
masalah peningkatan produksi, tetapi juga secara langsung menyangkut
sumber daya manusia yaitu petani dan penduduk pedesaan.
Modernisasi dalam bidang pertanian yang lebih dikenal dengan
sebutan “Revolusi Hijau”, ternyata mempunyai dampak yang sangat besar
terhadap pertanian dan pedesaan pada umumnya; terutama dalam menghadapi
peluang kesempatan kerja di pedesaan. Artinya bahwa dengan adanya
“Revolusi Hijau” mengakibatkan besarnya angkatan kerja yang ada di
pedesaan menjadi tidak seimbang dengan peluang kerja baru yang ada. Hal ini
terutama sangat dirasakan ole h kaum wanitanya karena, sebelum modernisasi
2
pertanian mulai diterapkan oleh pemerintah, banyak tenaga kerja wanita yang
terserap dalam sektor pertanian mulai dari masa menanam sampai masa panen.
Namun dengan adanya modernisasi dalam bidang pertanian, menyebabkan
partisipasi wanita pedesaan dalam sektor pertanian menjadi berkurang. Proses
perubahan tersebut mengakibatkan peranan mereka dalam sektor pertanian
menjadi menurun sehingga sumbangan untuk mencukupi kebutuhan mereka di
dalam rumah tangga pun menjadi menurun pula.
Pembangunan pertanian yang pada mulanya bertujuan untuk
meningkatkan produktivitas pertanian dengan penggunaan teknologi moderen
yang bersifat efisien baik dalam pengolahan maupun tenaga kerja, ternyata
sangat berpengaruh pada penciptaan kesempatan kerja di pedesaan bahkan
mengakibatkan turunnya tingkat pendapatan sebagian penduduk pedesaan. Hal
inilah yang mengakibatkan banyak petani kemudian mencari pekerjaan lain di
luar sektor pertanian, untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Demikian
juga halnya kaum wanita yang kemudian ikut membantu memenuhi
kebutuhan rumah tangga, dengan melakukan aktivitas kerja di luar sektor
pertanian.
Wanita sebenarnya merupakan sumber daya yang tidak kalah
pentingnya dengan pria. Mereka memberi sumbangan yang besar bagi
kelangsungan hidup dan kesejahteraan rumah tangga serta masyarakat
(Kodiran dan Hudayana,1990:1). Pada kenyataannya wanita mempunyai
peranan yang sangat penting dalam keluarga, mulai dari menyiapkan
3
makanan, mengatur keuangan, sebagai orientasi sosialisasi anak-anak, maupun
dalam melekatkan hubungan dengan keluarga lain yang sekerabat.
Namun di sisi lain, Budiman (1985:29) beranggapan bahwa
sebenarnya pekerjaan wanita di dalam rumah tangga dianggap tidak
mempunyai nilai pasar, tidak mempunyai nilai tukar, meskipun pekerjaan itu
berguna. Pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga dianggap sebagai
pekerjaan ‘demi cinta’ oleh karena itu gratis.
Dengan me lihat pandangan tersebut, terdapat pertentangan dalam
melihat peranan wanita dalam rumah tangga. Penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga terdapat pembagian kerja antara
pria dan wanita dengan tujuan agar tercapai keselarasan. Itulah kehidupan
sehari- hari para wanita bakul yang berbeda dengan kehidupan orang-orang
pada umumnya yang bukan berprofesi sebagai wanita bakul. Tradis i hidup
(living strategy) atau dapat disebut juga dengan kebiasaan maupun rutinitas
kehidupan sehari-hari para wanita bakul, memiliki ciri khas yang berbeda
yang dapat kita lihat juga sebagai ciri utama yang membedakannya dengan
wanita yang lain, yaitu para wanita yang berprofe si di luar bakul.
Masyarakat di desa Sumber Bahagia khususnya mereka yang bekerja
sebagai bakul pembagian kerja tidak didasarkan pada jenis kelamin, tetapi
berdasarkan kemampuan dan kesempatan dari masing- masing (pria dan
wanita) dalam memperoleh sumber penghasilan. Hal ini dikarenakan pada
masyarakat pedesaan tenaga kerja wanita dan anak-anak merupakan tenaga
tambahan mutlak di dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka. Selain dalam
4
bidang pertanian yang sudah sangat sulit bagi kaum wanita untuk dapat
memperoleh sumber penghasilan. Wanita-wanita tersebut kebanyakan
melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya di luar pertanian, seperti
bekerja pada industri kecil ataupun berdagang secara kecil-kecilan yang secara
populasi dikenal sebagai bakul kecil. Bakul merupakan aktivitas perdagangan
yang paling banyak diminati dan dilakukan oleh kaum wanita di pedesaan.
Oleh karena itu, keterlibatan wanita desa dalam perdagangan di pasar
sangatlah tinggi.
Di Baturaja, mereka yang bekerja sebagai bakul kecil atau berdagang
kecil-kecilan di rumah kebanyakan adalah kaum wanita. Para wanita bakul
tersebut berjualan sayuran, buah-buahan (yang sebagian dipetik dari
pekarangan sendiri), makanan kecil (jajanan), dan tempe (produksi lokal).
Dari hasil berjualan, para wanita tersebut dapat sedikit membantu memenuhi
kebutuhan harian rumah tangga.
Dari sudut pandang folklor, dapat disebutkan bahwa wanita bakul di
desa Sumber Bahagia merupakan sebuah folk tersendiri yang memiliki tradisi
dan kebiasaan tersendiri pula. Aktivitas hidup para wanita bakul memiliki ciri
khas tersendiri yang dapat dijadikan pembeda dengan aktivitas dan rutinitas
hidup wanita-wanita lain di luar yang tidak berperan sebagai bakul. Ciri yang
khas itu dapat di lihat dari peran mereka, yaitu bahwa Wanita Bakul memiliki
wewenang atau otoritas penuh dalam pengambilan keputusan, yang berbeda
dengan ibu-ibu rumah tangga biasa, yaitu pengambilan keputusan dalam
keluarga cenderung dipegang oleh suami. Begitu pula dengan wanita yang
5
menikah dengan orang-oarang timur, disana wanita benar-benar tidak
memiliki wewenang apa-apa, semua keputusan ada di tangan suami karena,
bagi mereka wanita yang sudah dinikahi sama dengan sudah di beli dan
mereka merasa membelinya dengan mahal maka peran istri hanyalah
mengurus urusan rumah tangga saja, dan semua yang diluar urusan rumah
tangga merupakan urusan suami. Begitu pula dalam hal pengambilan
keputusan, istri tidak memiliki wewenang apa-apa karena, semua keputusan
ada di tangan suami. Itulah yang menjadi pembeda atau ciri khas dari Wanita
Bakul dengan wanita-wanita lain di luar bakul.
Aktivitas atau rutinitas hidup itu dapat juga disebut dengan sebua h
tradisi, yaitu tradisi wanita bakul yang memiliki ciri tertentu. Tradisi hidup
(living strategy) juga dapat diartikan sebagai kebiasaan atau rutinitas yang
dilakukan, dan di sini dimaksutkan sebagai pembeda yang membedakan
rutinitas kegiatan sehari-hari wanita bakul dengan wanita-wanita lain yang
bekerja di luar sektor perdagangan atau disebut dengan istilah bakul.
Sebuah kajian yang menda lam mengenai folklor wanita bakul di
sebuah lokasi tertentu dapat membantu kita memahami secara mendalam
peran ganda yang mereka jalankan, baik dalam sektor publik (perdagangan)
maupun sektor domestik (rumah tangga). Kajian semacam ini akan
bermanfaat pula bagi yang ingin mengkaji tentang studi wanita, khususnya
hal yang menyangkut isu kesetaraan gender.
1.2 Rumusan Masalah
6
Dengan melihat uraian latar belakang tersebut, tampaknya peranan
wanita bakul sangatlah kompleks. Wanita tidak hanya berperan sebagai ib u
rumah tangga, tetapi juga memerankan berbagai peran lain, baik sosial
maupun ekonomi yang seimbang sesuai dengan perkembangan masyarakat
yang ada. Demikian pula dengan wanita pada masyarakat petani di desa
Sumber Bahagia. Bertitik tolak dari uraian tersebut, muncul pertanyaan yang
akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu :
1.2.1 Bagaimana tradisi hidup wanita bakul di desa Sumber Bahagia dalam
kehidupa n rumah tangga?
1.2.2 Bagaimana tradisi hidup wanita bakul di desa Sumber Bahagia dalam
aktivitas perdagangan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menggambarkan
tentang
1.3.1 Tradisi hidup hidup wanita bakul di desa Sumber Bahagia dalam
kehidupan rumah tangga.
1.3.2 Tradisi hidup wanita bakul di desa Sumber Bahagia dalam aktivitas
perdagangan.
1.4 Manfaat Penelitian
7
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat dalam beberapa hal,
diantaranya yaitu :
1.4.1 Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkaya wawasan, terutama
dalam bidang kebudayaan ataupun folklor.
1.4.2 Penelitian ini dapat digunakan sebagai titik tolak untuk mengadakan
penelitian baru di bidang folklor ataupun kebudayaan yang lain.
1.4.3 Penelitian ini dapat digunakan sebagai landasan penelitian atau kajian
tentang kesetaraan gender, da lam bidang studi wanita.
1.5. Tinjauan Pustaka dan Landasan Teori
1.5.1 Tinjauan Pustaka
Abdullah (1986:28) dalam artikel yang berjudul “Strategi Ekonomi
Pedagang Kaki Lima, kasus-kasus orang Minang di Malioboro Yogyakarta”,
membahas tentang bagaimana orang-orang Minang yang berjualan di
Malioboro Yogyakarta menghadapi tantangan untuk hidup dengan jalan
berjualan di kaki lima, serta strategi ekonomi yang mereka gunakan,
bagaimana mereka tetap dapat makan untuk menyambung hidup serta
menyisakan uang untuk berjualan supaya dapat memperoleh uang dan
memenuhi kebutuhan hidup yang lain.
Elip (1986:9-10) dalam artikel yang berjudul ”Peranan Wanita Jawa
pada Masyarakat Jawa”, membahas tentang bagaimana para wanita Jawa ikut
ambil bagian dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga, yang
disebabkan oleh menurunnya pendapatan suami dan sulitnya para suami
8
mendapatkan pekerjaan tetap untuk memperoleh penghasilan tetap sebagai
pemenuhan kebutuhan ekonomi tersebut.
Tinjauan yang secara khusus membahas tentang Tradisi Hidup Wanita
Bakul di Desa Sumber Bahagia belum pernah dilakukan, maka peneliti tertarik
untuk menelitinya. Dalam penelitian yang meneliti tentang Strategi Hidup
Wanita Bakul ini membahas tentang bagaimana strategi hidup yang mereka
jalankan untuk pemenuhan segala kebutuhan, dan bagaimana peran Wanita
Bakul tersebut dalam rumah tangga yang berhubungan dengan hal
pengambilan keputusan, yaitu peran istri yang lebih dominan dibanding peran
suami.
1.5.2 Landasan Teori
1.5.2.1 Folklor dan Kajian Etnografis
Teori folklor digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini
. Sesuai dengan apa yang menjadi objek, akan diungkapkan tentang
folklor wanita bakul. Menurut Dundes (Danandjaja,1998:53) via
Endraswara folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri
pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan
dari kelompok yang lainnya. Ciri fisik, antara lain berwujud warna
kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah mereka memiliki
tradisi tertentu yang telah turun-temurun. Trad isi inilah yang sering
dinamakan lore. Folklor memiliki ragam yang bermacam-macam.
Dalam kaitannya dengan budaya, ada beberapa pendapat tentang
9
unsur-unsur folklor. Misalnya saja menurut Bascom, folklor terdiri
dari: budaya material, organisasi, dan religi (Endraswara, 2006: 217).
Kelompok wanita bakul merupakan folk yang realistis,
mereka memiliki tradisi hidup yang berbeda, perbedaannya adalah
terletak pada peran mereka dalam hal pengambilan keputusan.
Wanita bakul lebih dominan dalam hal penagmbilan kep utusan di
bandingkan suami, mereka memiliki otoritas itu karena, dalam
perekonomian keluarga wanita bakul memiliki penghasilan sendiri
yang sangat membantu kehidupan mereka, dan cenderung
penghasilan wanita bakul lebih besar dibandingkan penghasilan
suami, sehingga mereka tidak harus bergantung pada suami pada saat
mereka hendak memutuskan membeli sesuatu atau mengatur
perekonomian keluarga.
Folklor merupakan bagian kebudayaan suatu kolektif. Ada
beberapa bentuk folklor menurut Brunvand via Danandjaja (2002 21-
22) yaitu: mentifact (folklor lisan), sociofact (folklor sebagian lisan),
dan artifact (folklor bukan lisan). Bentuk folklor yang termasuk
sastra lisan antara lain bahasa rakyat, ungkapan tradisional,
pertanyaan tradisional, puisi rakyat, dan cerita prosa rakyat. Bentuk
folklor sebagian lisan, seperti kepercayaan rakyat, te ater rakyat,
tradisi rit ual rakyat, dan adat istiadat, sedangkan folklor bukan lisan
biasanya akan lebih menarik bidang kajian lain, seperti arsitektur
rakyat. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990:243) melihat atau
10
mengaitkan folklor sebagai adat istiadat tradisional dan cerita rakyat
yang diwariskan turun- temurun tetapi tidak dibakukan. Bekerja
sebagai bakul merupakan sebuah pekerjaan sekaligus kenyataan
hidup yang turun-temurun dialami oleh masyarakat kalangan bawah,
terutama yang berada di desa dan bekerja sebagai petani. Bakul
diartikan sebagai komunitas pedagang yang berjualan disuatu tempat
umum (pasar, pinggir jalan, emperan toko) tanpa menggunakan izin
usaha dari pemerintah, ata u pedagang yang hanya berjualan barang
dagangan tertentu dalam skala kecil-kecilan atau eceran
(Abdullah,1986:28). Jadi wanita bakul adalah wanita yang berjualan
dagangan tertentu dalam skala kecil atau eceran.
Wanita bakul disebut sebagai folklor karena, kelompok ini
memiliki ciri yang menonjol, baik dilihat dari pekerjaan, rutinitas
hidup, sosial, kebudayaan dan ciri fisik yang berbeda dengan
kelompok lain di luar bakul. Dari Pekerjaan mereka jelas sekali
terlihat bahwa para wanita itu bekerja sebagai bakul atau pedagang
kecil. Rutinitas hidup mereka adalah berdagang di pasar selain
mengurus segala urusan rumah tangga, yaitu mengurus suami dan
anak. Dalam hal sosial pun mereka tetap berperan, seperti
berorganisasi, membantu warga yang memerlukan bantuan, dan
lainnya yang berhubungan dengan kahidupan bermasyarakat mereka
tetap turut berperan di dalamnya. Dalam hal kebudayaan atau tradisi
yang merupakan ciri utama adalah peran mereka dalam rumah
11
tangga yang dominan dalam hal pengambilan keputusan. Wanita
bakul memiliki wewenang untuk memutuskan segala sesuatu yang
berhubungan dengan keperluan rumah tangga dan mengurus segala
keperluan anak, baik keperluan sekolah maupun keperluan di rumah.
Dalam penelitian ini juga digunakan kajian etnografis. Model
etnografis adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa
kultural, yang menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek
studi. Studi ini akan terkait bagaimana subjek berpikir, hidup, dan
berprilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa yang unik yang jarang
teramati oleh kebanyakan orang. Penelitian etnografi adalah kegiatan
pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara
sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan
berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat, dan berbagai
peristiwa serta kejadian unik dari komunitas budaya yang menarik
perhatian (Endraswara, 2006: 207). Etnografi pada dasarnya lebih
memanfaatkan teknik pengumpulan data pengamatan. Hal ini sejalan
dengan pengertian istilah etnografi yang berasal dari kata ethno
(bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggambarkan). Etnografi
merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami
cara orang-orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena
yang teramati dalam kehidupan sehari-hari (Endraswara, 2006: 208).
Dari sini akan terungkap pandangan hidup dari sudut pandang
12
penduduk setempat. Hal ini cukup bisa dipahami karena , melalui
etnografi akan mengangkat keberadaan senyatanya dari fenomena
budaya. Dengan demikian akan ditemukan makna dari tindakan
budaya suatu komunitas yang dideskripsikan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kajian etnografis
diartikan sebagai kajian yang dilakukan secara etnografi. Etnografi
sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indone sia diartikan sebagai
kajian deskripsi tentang kebudayaan suku bangsa yang hidup, atau
ilmu tentang pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup
tersebar di muka bumi (KBBI, 1990:237). Kebudayaan masyarakat
yang dijadikan kajian dalam penelitian ini adalah masyarakat yang
berada di Baturaja -Sumsel, khususnya di desa Sumber Bahagia.
Bahan-bahan penelitian etnografi berasal dari masyarakat yang
disusun secara deskriptif. Deskripsi etnografi menurut
Koentjaraningrat (1990:333) via Endraswara sudah baku, yaitu
bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem
pengetahuan, kesenian dan sistem religi.
Di dalam kehidupan manusia, setiap individu mempunyai
kemampuan untuk melakukan usaha sesuai dengan kemampuan yang
ada pada diri manusia itu dan segala sumber daya lain yang tersedia
dilingkungannya guna memenuhi kebutuhan. Namun setiap manusia
mempunyai kemampuan yang berbeda-beda di dalam kehidupan
masyarakat, sehingga hal ini mengakibatkan munculnya tata
13
kelakuan yang berbeda-beda pula di dalam pemenuhan kebutuhan.
Oleh karena itu, dalam usaha memenuhi kebutuhannya, manusia
menggunakan kebudayaan yang dimilikinya sebagai kerangka
kesadaran. (Suparlan,1983:70).
1.5.2.2 Folklor Wanita Bakul
Kata folklor adalah pengindonesiaan dari kata inggris
folklore. Kata itu adalah kata majemuk, yang berasal dari dua kata
dasar folk dan lore. Folk adalah sekelompok orang yang memiliki
ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat
dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri pengenal fisik itu
antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut
yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf
pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun, yang lebih
penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni
kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua
generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping
itu yang paling penting adalah bahwa mereka sadar akan identitas
kelompok mereka sendiri (Danandjaja, 2002:1-2)
Dari uraian di atas bila dikaitkan dengan kehidupan para
wanita bakul yang ada saat ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
wanita bakul merupakan sebuah folk tersendiri, karena mereka
memiliki kekhasan tersendiri, yaitu mereka hidup dalam aktivitas
yang relatif sama dan melakukan kegiatan sosial dalam satu lingkup.
14
Kesamaan yang paling menonjol adalah mereka memiliki mata
pencaharian yang sama, yaitu berdagang eceran di pasar maupun di
rumah yang dikenal dengan sebutan wanita bakul. Kesamaan lain
dari para wanita bakul tersebut adalah bahasa yang mereka gunakan
cenderung sama, untuk konteks bahasa Jawa, sesuai dengan asal
mereka yang mayoritas datang dari Pulau Jawa. Selain itu, para
wanita bakul tersebut taraf pendidikannya tidaklah berbeda jauh
antara satu dengan yang lainnya yaitu SD dan maksimal SMP, begitu
pula dengan agama yang mereka anut, mereka mayoritas beragama
islam.
Dari sekian banyak ciri khas tersebut, dalam kehidupan
rumah tangga sehari-hari pun mereka memiliki rutinitas. Para wanita
bakul tersebut memiliki aktivitas lain selain berdagang, mereka
meiliki kelompok arisan khusus para pedagang, yang lazim
digolongkan sebagai lembaga berciri sosial dan ekonomi, para
wanita bakul yang terlibat dalam kelompok arisan memperoleh
manfaat dari lembaga itu. Jelas bahwa keterlibatan dalam kelompok
arisan ini merupakan bagian dari cara hidup dan strategi yang paling
menonjol di sektor non-produksi. Selain itu juga ada kelompok
pengajian (doa merangkap arisan) yang merupakan contoh lembaga
yang mencoba memadukan tujuan sosial (keagamaan) dan ekonomi.
Dengan cara demikian, orang miskin yang terlibat dalam lembaga itu
15
masih memperoleh manfaat ekonomi (dari arisan), sebagai
kompensasi waktu yang disisihkan untuk mengaji atau berdoa.
Manfaat yang diperoleh dari kelompok arisan ataupun
kelompok pengajian (doa merangkap arisan), umumnya berkenaan
dengan terbukanya kemungkinan untuk membiayai kebutuhan yang
memerlukan biaya agak besar. Penerimaan dari arisan itu lazimnya
dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan yang cukup besar, misalnya
untuk biaya sekolah anak, ataupun untuk modal yang lainnya. Selain
itu juga ada perkumpulan kematian, perkumpulan tersebut
merupakan lembaga yang bertujuan sosial, yaitu membantu anggota
yang mengalami kemalangan. Jadi manfaat yang diperoleh sebagian
besar rumah tangga yang terlibat dalam lembaga itu terutama adalah
kebersamaan atau solidaritas dalam wujud bantuan sosial.
Bagi anggota perkumpulan, bantuan sosial itu membawa
implikasi yang sangat berarti, yaitu keringanan beban yang
diperlukan untuk ritus kemalangan. Dengan demikian dapat
dipahami jika ada rumah tangga yang merasa memperoleh manfaat
dari perkumpulan tersebut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa folklor adalah
sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan
turun temurun, serta memiliki ciri khas. Dari ciri yang ada,
penelitian ini difokuskan pada folk wanita bakul yang berada di
Baturaja dan dikususkan lagi di desa Sumber Bahagia.
16
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia
sebagai makhluk sosial, yang digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan lingkungan dan pengalamannya untuk
mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan
(Suparlan,1983:67). Di samping itu, sebenarnya sistem pengetahuan
yang ada di dalam kebudayaan suatu masyarakat juga berkaitan
dengan masalah peranan wanita, dan hal ini akan tampak dalam pola-
pola tingkah laku dalam berbagai aktivitas yang dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga tersebut (Elip,1985:9).
Begitu pula dengan apa yang terjadi pada wanita-wanita bakul
tersebut, dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya,
mereka mengatur perilaku serta mengikuti aturan-aturan yang ada,
yang berlaku dalam sistem perdagangan di pasar, dan pengetahuan
ini kemudian dijadikan pegangan mereka di dalam melakukan
perdagangan di pasar.
Pasar pada hakikatnya merupakan tempat para penjual dan
pembeli saling bertemu, dan tempat yang menyediakan barang serta
jasa untuk dijual belikan sehingga terjadi perpindahan hak milik.
Adapun bakul merupakan salah satu bagian dalam proses
perdagangan, yaitu sebagai perantara atau orang yang menjual atau
menyampaikan barang ke konsumen. Dengan demikian, bakul juga
merupakan salah satu basis dalam perdagangan ekonomi, karena
melalui bakul inilah maka perekonomian pasar dapat berjalan lancar,
17
dalam arti bahwa melalui bakul ini akan terjadi hubungan timbal
balik serta saling ketergantungan antara kedua belah pihak.
Untuk memahami pasar dapat dilihat dari tiga sudut pandang,
yaitu pasar sebagai arus barang dan jasa menurut pola tertentu,
kemudian pasar sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk
memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut, dan ketiga
pasar sebagai sistem sosial dan kebudayaan di mana mekanisme itu
tertanam (Geertz,1977:31).
Oleh karena itu, pasar sebagai arus barang dan jasa
merupakan tempat yang memungkinkan bagi para wanita bakul
untuk mendapatkan peluang penghasilan karena, di tempat ini
mereka dapat memperoleh pekerjaan yaitu sebagai bakul kecil. Pasar
selain sebagai mekanisme yang menunjang kehidupan setiap orang,
juga merupakan tempat berkumpulnya bermacam-macam pedagang
baik pedagang besar, kecil, maupun menengah yang kesemuanya itu
berdasarkan besar kecilnya usaha yang dilakukan. Masing- masing
bakul tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda pula di dalam
kehidupan rumah tangganya. Namun di antara bakul-bakul tersebut,
peranan bakul kecil yang paling banyak berpengaruh di dalam
kehidupan rumah tangga karena, kebanyakan dari mereka adalah
wanita yang berasal dari masyarakat golongan bawah.
Keterlibatan wanita dalam perdagangan di desa, ternyata
telah didasarkan pada pertimbangan kemampuan fisik alamiah
18
wanita karena, wanita mempunyai sifat telaten dan luwes dalam
aktivitas tawar-menawar yang merupakan unsur pokok dalam
perdagangan.
1.6 Metodologi Penelitian
1.6.1 Pendekatan
Penelitian yang akan membahas tentang wanita bakul ini
menggunakan pendekatan folklore dengan menggunakan kajian
etnografis dan folklore wanita bakul sebagai objeknya.
1.6.2 Metode
Untuk mengumpulkan data di lapangan, penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif, yaitu dengan melakukan
observasi atau terjun langsung ke lapangan untuk mengamati dan
mencatat gejala sosial serta tradisi atau cara hidup sehari- hari wanita
bakul yang ditemui di lapangan atau bisa disebut juga sebagai metode
penelitian di kampung. Selain observasi, juga dilakukan wawancara
tersetruktur dengan kepala kampung, pemuka adat, dan beberapa
informan kunci lainnya. Studi kasus ini juga menggunakan metode
wawancara mendalam terhadap responden, sedangkan terhadap informan
dilakukan wawancara bebas sebagai pelengkap data dari para responden.
Dalam penelitian ini subjek penelitian yang dipakai adalah populasi dan
sampel. Populasinya adalah masyarakat yang tinggal di Baturaja pada
19
umumnya, sedangkan sampelnya dikususkan pada masyarakat yang
tinggal di desa Sumber Bahagia, khususnya wanita bakul.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
1.6.3.1 Observasi
Observasi menghasilkan deskripsi yang khusus tentang apa
yang telah terjadi (Komaruddin,1974:97). Cara ini digunakan untuk
mendukung wawancara. Dengan cara ini dapat diperoleh gambaran
tentang bagaimana tradisi hidup wanita bakul. Cara ini akan menambah
kelengkapan data hasil wawancara.
1.6.3.2 Wawancara
Wawancara adalah suatu proses interaksi dan komunikasi.
Salah satu metode pengumpulan data ialah dengan jalan wawancara,
dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung
kepada responden. Wawancara merupakan salah satu bagian yang
penting dari setiap survei. Tanpa wawancara peneliti akan kehilangan
informasi yang hanya dapat diperoleh dengan jalan bertanya langsung
kepada responden. Dalam proses ini hasil wawancara ditentukan oleh
beberapa faktor yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi.
Faktor-faktor tersebut adalah : pewawancara, responden, topik penelitian
yang tertuang dalam daftar pertanyaan dan situasi wawancara.
(Effendi,1986:145).
20
1.6.3.3 Kepustakaan
Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah,
dan lain sebagainya. (Arikunto,1993:234). Teknik kepustakaan
dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret.
1.7 Sumber Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
populasi dan sampel. Populasi adalah suatu kumpulan menyeluruh dari suatu
objek yang merupakan perhatian peneliti (Kountour , 2003:137-138). Dalam
penelitian ini populasinya adalah wanita bakul yang tinggal (menetap) di desa
Sumber Bahagia, sedangkan sampelnya adalah 6 orang wanita bakul yang
dipilih secara acak.
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I berisi
pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan perihal latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
landasan teori dan tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika
penyajian. Bab II berisi tentang gambaran umum daerah penelitian. Bab III
berisi tentang tradisi hidup wanita bakul dalam pemenuhan kebutuhan rumah
21
tangga. Bab IV berisi tentang tradisi hidup wanita bakul dalam aktivitas
perdagangan. Bab V berisi kesimpulan dan saran.
22
BAB II
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Gambaran umum daerah penelitian ini akan membahas tiga hal pokok,
yakni:(1) Lokasi penelitian. (2) Gambaran tentang Pasar Pucok, (3) Karakteristik
wanita bakul. Pada setiap bab akan di beri sedikit rangkuman dari keseluruhan isi,
supaya dapat dipahami secara mendalam sebelum mengkaji permasalahan
berikutnya. Kemudian pada bagian ke empat berisi rangkuman tentang tradisi
hidup wanita bakul dalam aktivitas rumah tangga dan perdagangan kususnya
masyarakat Baturaja yang berdomisili di desa Sumber Bahagia.
2.1 Lokasi Penelitian
2.1.1 Letak dan Keadaan Alam
Desa Sumber Bahagia adalah salah satu dari beberapa desa yang
berada di Kecamatan Peninjauan, Kabupaten Baturaja (OKU Induk-
SUMSEL). Desa Sumber Bahagia terletak di bagian timur Kecamatan
Peninjauan dengan jarak sekitar 20 km dari kantor camat peninjauan atau
sekitar 23 km ke arah timur dari batas kota Kabupaten Baturaja.
Wilayah desa Sumber Bahagia secara administratif berbatasan dengan
Desa Mandi Angin di sebelah barat, dengan desa Gunung Meraksa di
sebelah timur. Jalan utama menuju ke desa Sumber Bahagia adalah Jalan
Lintas Baturaja- Palembang. Desa Sumber Bahagia ada karena sekitar 25
tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1981 banyak transmigran yang
23
datang ke Sumatera untuk mendapatkan lahan dan pekerjaan dengan
cuma-cuma. Dari sekian banyak transmigran yang datang dari Pulau
Jawa, kurang lebih 100 kepala keluarga ditempatkan di desa tersebut,
yang sekarang ini dikenal dengan Desa Sumber Bahagia oleh
masyarakat setempat.
Desa Sumber Bahagia sebagai salah satu desa yang terletak di
pinggir kota, merupakan desa yang masih mempunyai lahan sawah dan
tegal serta pekarangan yang cukup luas. Tanah yang ada tersebut
dimanfaatkan oleh masyarakat setempat dengan menanam berbagai
tanaman pangan dan juga karet sebagai sumber penghasilan yang cukup
dapat diandalkan untuk membantu memenuhi kebutuhan. Hal tersebut
mereka lakukan karena, potensi tanah di daerah ini sangat baik dan
subur. Berdasarkan data monografi, wilayah desa Sumber Bahagia seluas
42,4928 ha, yang terbagi atas beberapa bagian, di antaranya yaitu: lahan
sawah dengan luas 15,2200 ha (35,82%), tegal 9,6330 ha (22,67%),
pekarangan 9,7275 ha (22,9%), dan selebihnya seluas 7,0098 ha (16,5%)
sebagai tempat pemukiman, sisanya 0,9025 ha (2,12%) merupakan tanah
lain-lain (lapangan, jalan, kuburan, dan lain-lain). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa sebagian wilayah Desa ini terdiri dari tanah
pertanian.
Pertanian di daerah penelitian baik, walaupun tidak cukup
mengandung air, namun masyarakat dapat menyiasatinya dengan cara
menanam padi tegal yang tidak begitu membutuhkan air. Oleh karena
24
itu, potensi tanah di daerah ini sangat baik sebagai penunjang kehidupan
perekonomian masyarakat setempat. Selain itu, keadaan ini juga
ditunjang oleh adanya sebuah jalan beraspal yang dilewati oleh
kendaraan umum, yaitu angkutan kota. Dengan adanya jalan yang baik
serta transportasi umum tersebut, sangat membantu kelancaran kegiatan
penduduk baik yang menyangkut bidang pertanian maupun non
pertanian. Dengan adanya sarana dan prasarana tersebut ternyata sangat
menunjang penduduk dalam mengembangkan perekonomian mereka.
2.1.2 Penduduk dan Keadaan Sosial Ekonomi
Desa Sumber Bahagia dihuni oleh 294 kk dengan jumlah 1,151
jiwa, yang terdiri atas 578 (50,22%) laki-laki dan 573 (49,78%)
perempuan, pada tahun 2006 (berdasarkan sensus RT dan RW Desa
Sumber Bahagia). Kompisisi penduduk menurut umur dapat dilihat secara
rinci pada tabel I berikut.
Tabel I
Jumlah Penduduk Menurut Umur
25
Kelompok Umur Jumlah %
0- 4 128 11,12
5- 9 109 9,47
10- 14 123 10,69
15- 60 752 65,33
60+ 39 3,39
Jumlah 1,151 100,00
Sumber data: Monogarfi tahun 2006 Desa Sumber Bahagia
Pada tabel 1 tersebut, terlihat bahwa penduduk yang berumur 15-
60 tahun merupakan kelompok terbesar, yaitu 65,33%. Adapun penduduk
yang berumur di bawah 15 tahun ( bayi dan anak-anak) sebesar 31,28%,
sedangkan yang berumur d i atas 60 tahun hanya sebesar 3,39%. Dengan
demikian, dari tabel tersebut terlihat bahwa Desa Sumber Bahagia
merupakan desa yang mempunyai jumlah penduduk usia produktif ( 15-
60 tahun ) yang cukup tinggi yaitu 65,33%.
Desa Sumber Bahagia selain mempunyai potensi alam, juga
mempunyai potensi penduduk yang sudah cukup baik. Hal tersebut
ditunjang oleh kesadaran penduduk akan pentingnya pendidikan, walau
pada kenyataannya usaha untuk pendidikan selalu terbentur oleh biaya
(76,5% penduduknya berpendidikan) dan untuk lebih jelasnya dapat
dilihat secara rinci pada tabel 2. Walaupun jarak yang ditempuh cukup
jauh untuk dapat sekolah kejenjang yang lebih tinggi, masyarakat Desa
Sumber Bahagia tetap memiliki kemauan karena, hanya sekolah dasar saja
26
yang jaraknya dekat, sedangkan SMP ataupun SMA hanya ada di kota.
Desa Sumber Bahagia belum memiliki SMP maupun SMA yang dapat
dijadikan sebagai sarana untuk menuntut ilmu, namun penduduk tetap
bersemangat dan berusaha keras. Tidak tersedianya sarana pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi tidaklah menyurutkan niat mereka untuk terus
menuntut ilmu karena, ilmu adalah hal yang sangat berharga dibandingkan
segala-galanya, kata mereka.
Tabel 2
Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan Jumlah %
Blm/ tdk sekolah 370 30,46
SD 319 28,47
SMP 317 27,54
SMU 105 10,81
Sarjana Muda 17 1,16
Sarjana 23 1,56
Jumlah 1.151 100,00
Sumber data: Monografi tahun 2006 Desa Sumber Bahagia
Selain pendidikan, pembangunan di bidang lain di desa ini juga
berkembang, perkembangan ini kemudian mempengaruhi kondisi sosial
ekonomi penduduk. Hal ini tampak dari masyarakat yang mencoba
membuka lahan pertanian lain, yaitu dengan menanam karet karena, karet
adalah tanaman yang harus ditunggu bertahun-tahun baru dapat dipanen
27
hasilnya, jadi kebanyakan petani karet rata -rata dikerjakan oleh kaum laki-
laki, sedangkan para perempuan atau ibu rumah tangga tetap dengan
usahanya sebagai wanita bakul baik di rumah maupun di pasar. Namun
demikian para perempuan juga tetap membantunya dalam hal perawatan,
karena walaupun tanaman berjangka waktu yang lama, karet merupakan
tabungan yang lumayan menjanjikan bagi hidup mereka. Tidak jarang
mereka juga membiayai anaknya dari hasil panen karet setiap bulannya.
Tabel 3
Jumlah Penduduk Yang Bekerja Menurut
Jenis Pekerjaan
Jenis Pekerjaan Jumlah %
Petani 254 52,92
Pedagang/ Bakul 97 20,21
28
Buruh 71 14,79
Karyawan/ Pegawai/ Guru 27 5,63
Pertukangan 18 3,75
Lain- lain 13 2,70
Jumlah 480 100,00
Sumber data: Monografi Tahun 2006 Desa sumber Bahagia
Tabel 3 menunjukkan bahwa penduduk yang mempunyai mata
pencaharian sebagai petani sebesar 254 orang atau (52,92%) merupakan
kelompok terbesar. Mereka rata-rata petani pemilik lahan sendiri.
Sementara itu penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang atau
bakul sebanyak 97 orang (20,21%) yang terdiri dari bakul kecil dan
pedagang warung. Adapun dari ke 97 orang pedagang tersebut, yang
paling banyak adalah mereka yang bekerja sebagai bakul cilik. Pada
umumnya mereka berjualan kebutuhan sehari- hari. Kemudian 71 orang
(14,79%) bekerja sebagai buruh ada yang bekerja sebagai buruh bangunan
dan tukang, tapi yang paling banyak mereka bekerja sebagai buruh di
perkebunan kelapa sawit baik milik pemerintah maupun milik usaha
perorangan atau kelompok. Mereka yang bekerja sebagai karyawan hanya
27 Orang (5,63%). Selebihnya 31orang (6,45%) adalah mereka yang
bekerja sebagai tukang maupun lain- lain. Mereka ya ng termasuk dalam
kelompok lain- lain diantaranya adalah pengusaha industri rumah tangga
yaitu industri tempe, rengginang dan kerupuk dari singkong.
29
Dengan melihat kondisi yang ada di Desa Sumber Bahagia ini
tampak bahwa penduduk di desa ini memiliki keinginan yang besar untuk
maju, baik dalam pendidikan, sistem mata pencaharian, perekonomian,
dan penghasilan, serta hal yang berhubungan dengan perkembangan
wilayah desa tersebut. Walaupun demikian, di dalam kehidupan sehari-
hari mereka mempertahankan sifat kegotong royongan yang merupakan
sifat khas yang dimiliki oleh masyarakat desa di Indonesia.
2.1.3 Pasar Pucok
Di dalam kehidupan sehari- hari, manusia memerlukan berbagai
macam kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
manusia memerlukan berbagai sarana maupun tempat, di antaranya
adalah pasar. Pasar merupakan tempat berbagai macam kebutuhan
sehari- hari rumah tangga tersedia. Selain itu, pasar juga merupakan
tempat para penjual dan pembeli saling bertemu untuk melakukan
kegiatan jual- beli, baik barang maupun jasa. Dengan demikian, pasar
muncul atau ada karena adanya kebutuhan manusia yang bermacam-
macam.
Pasar biasanya berada di persimpangan jalan atau tempat- tempat
yang strategis, dan juga sering kali mengambil nama dari tempat atau
daerah dimana pasar itu berada (Koentjaraningrat, 1984: 187). Demikian
pula dengan Pasar Pucok (Pucok merupakan nama pasar), pasar ini
berada di tengah Kota Baturaja, Di pasar inilah para wanita bakul
30
berjualan sehari-hari. Pasar tersebut diberi nama Pasar Pucok oleh
penduduk setempat karena letak atau posisi pasar berada di tempat yang
berdataran tinggi, maka masyarakat setempat dan para pedagang yang
berjualan di pasar tersebut memberi nama Pasar Pucok. Mengapa diberi
nama Pucok dan menggunakan bahasa daerah? Pemberian nama
tersebut dilatarbelakangi oleh penduduk setempat karena , mereka
mayoritas orang Sumatera (penduduk asli) dan bahasa yang mereka
gunakan adalah bahasa daerah, bahasa itu mereka sebut dengan istilah
Bahasa Ogan (bahasa ibu penduduk Baturaja asli). Nama Ogan sendiri
diambil dari nama sungai yang ada di Baturaja, yaitu sungai ogan. Kota
Baturaja pun memiliki cerita tersendiri. Konon ada orang tua (sesepuh)
yang setiap harinya mencari ikan di Sungai Ogan, pada saat mencari ikan
itulah orang tua tersebut melihat ada bongkahan batu yang amat sangat
besar dipinggir sungai. Orang tua tersebut terkejut dan menggumam
dengan bahasa ogan. “ besaknyo batu ini cak rajo bae, apo ini rajonyo
segalo batu” (artinya: besar sekali batu ini, seperti raja, apa ini rajanya
semua batu).
Setelah saat itu banyak orang yang mengetahuinya, dan orang
mengenalnya kota tersebut dengan nama Baturaja. Bongkahan batu itu
sekarang ini sudah tidak terlihat seiring dengan semakin banyaknya
masyarakat Baturaja yang sering datang ke Sungai, batu terebut habis
terkikis oleh masyarakat setempat yang bermata pencaharian mencari
batu dan pasir di sungai. Mereka terpaksa mengambil batu tersebut
31
karena semakin langkanya batu di sungai, yang telah habis diambil oleh
para pencari batu .
Di pasar inilah para bakul kecil yang berasal dari beberapa desa
yang berada di Baturaja berjualan atau melakukan transaksi. Selain
bertransaksi di pasar itu pula masyarakat banyak belajar dan banyak
mengetahui tentang dunia luar. Apa yang tidak mereka ketahui di rumah,
mereka ketahui di pasar, karena selain berjualan mereka juga
berinteraksi dengan orang-orang yang ada di pasar.
Awal mula berdirinya Pasar Pucok adalah karena adanya
kebutuhan masyarakat yang berada di Baturaja. Pasar ini sudah ada sejak
kira-kira tahun 1970 an. Pada waktu itu Pasar Pucok belum memiliki
bangunan yang bersifat permanen dengan los-los yang berjumlah
banyak, dan bakul-bakul yang ada pun hanya merupakan bakul-bakul
kecil yang menjual keperluan sehari-hari, meliputi sayuran, bumbu
dapur, buah-buahan dan sebagainya yang berasal dari hasil kebun
sendiri, namun dari waktu-kewaktu Pasar Pucok mengalami kemajuan,
dari sarana-prasarananya sampai pada pedagangnya. Hingga pada tahun
1993 pasar yang sudah semakin maju dan ramai penduduknya karena,
penduduk Baturaja pun sudah semakin banyak dan dari semua desa yang
ada rata -rata datang kepasar tersebut. Pasar Pucok kebakaran dan
semuanya terbakar habis, dan kegitan jual beli pun sempat macet dan
terhambat karena mau tidak mau lokasi dan bangunan yang ada harus
32
direnovasi. Akhirnya pasar pun direnovasi dan menjadi lebih bagus serta
rapi hingga saat ini.
Adapun sejarah munculnya Pasar Pucok ini bermula dari
seseorang yang berasal dari desa Kampung Baru yang berjualan di
pinggir jalan. Pada waktu itu, dia hanya menjual sayuran dan buah-
buahan yang merupakan hasil pertanian setempat. Hal ini kemudian
diikuti oleh orang lain, dan lama-kelamaan tempat tersebut menjadi
ramai oleh penjual atau bakul yang tidak hanya berasal dari satu desa
saja. Namun kesemua bakul yang ada tersebut hanya merupakan bakul
kecil ( pedagang kecil). Dengan semakin banyaknya bakul yang
berjualan di tempat tersebut, mengakibatkan tempat yang ada dianggap
kurang memadai lagi. Setelah beberapa tahun ( kurang lebih 6 tahun).
Kemudian oleh pemerintah daerah Baturaja didirik an bangunan pasar
yang permanen yang bertempat di tempat semula, karena tempat yang
sudah ada dianggap tempat yang cukup strategis.
Sekarang dalam perkembangannya, Pasar Pucok merupakan
sebuah pasar yang pe rmanen, artinya pasar yang memiliki prasarana fisik
yang tetap. Bangunan fisik yang tersedia di Pasar Pucok berupa kios-
kios dan los-los. Kios-kios tersebut disewa oleh mereka yang berjualan
agak besar dan mampu. Sedangkan los- los yang ada dipakai oleh para
bakul, namun demikian ba nyak juga para bakul-bakul kecil yang menata
dagangannya di luar los, tapi di tempat yang sekiranya masih dapat
dipakai untuk menata dagangannya dengan hanya dialasi terpal ataupun
33
karung-karung bekas saja (di pinggir-pinggir bangunan induk). Bakul-
bakul yang berjualan di pinggir-pinggir bangunan induk, biasanya
mereka dalam berjualan barang dagangannya hanya diletakkan di atas
tanah yang diberi alas ( di sebut bakul lesehan).
Berdasarkan tempat yang digunakan dalam menyajikan barang
dagangan para pedagang di pasar dibedakan atas dua golongan, yaitu
pedagang pasar dan pedagang kecil ( bakul cilik ). Pedagang pasar
adalah mereka yang menjual barang dagangannya pada tempat-tempat
yang telah ditetapkan sebagai tempat transaksi umum (los), sedangkan
pedagang kecil
( bakul cilik) adalah mereka yang berjualan di luar los. Pedagang yang
berasal dari desa Sumber Bahagia termasuk golongan yang kedua. Para
wanita bakul ini berjualan di Pasar Pucok karena di desa mereka (
Sumber Bahagia ) tidak ada pasar, adanya hanya kalangan saja.
Kalangan juga bisa disebut pasar, bedanya aktivitas yang sama dengan
pasar ini hanya bisa dinikmati se tiap hari minggu saja (satu kali dalam
seminggu).
Oleh karena itu mereka memilih berjualan ke Pasar Pucok.
Wanita bakul yang berjualan di pasar tersebut hanya menjual barang
dagangan dalam jumlah sedikit, baik yang berupa produksi sendiri
seperti tempe, jajanan, ataupun yang berasal dari kulakan ( membeli dari
orang lain untuk dijual lagi) seperti sayuran, bahan-bahan mentah dan
sebagainya. Untuk lamanya waktu berdagang biasanya mereka
34
menghabiskan waktu sampai setengah hari. Mereka pulang apabila
dagangan yang dibawa terjual habis. Dengan demikian, mereka tidak
perlu seharian berada di pasar, sehingga mereka dapat mengurus rumah
tangga. Sebelum pulang terlebih dahulu mereka berbelanja kebutuhan
rumah tangga serta kebutuhan unutk persiapan perdagangan keesokan
harinya, khususnya bagi mereka yang berjualan makanan jadi.
Demikian sedikit gambaran tentang Pasar Pucok, yang
merupakan sebuah pasar dengan aktifitas perekonomian setiap hari, yaitu
dari pagi hingga siang hari dan jenis komoditas yang diperjualbelikan,
meliputi hasil pertanian seperti sayuran, buah-buahan (produksi lokal
seperti pisang, pepaya, nanas dan sebagainya), bumbu dapur dan lain-
lain. Setiap hari tidak kurang dari 300 orang pedaga ng yang melakukan
aktivitas di Pasar P ucok, dan ada sebagian dari para bakul-bakul kecil itu
berasal dari desa Sumber Bahagia .
2.2 Karakteristik Wanita Bakul
Peran wanita dalam ekonomi rumah tangga semakin penting sejalan
dengan menurunnya peranan sektor pertanian dalam perekonomian desa. Hal
ini yang mendorong munculnya perdagangan berskala kecil karena,
perdagangan berskala kecil tidak mengikat wanita untuk terus menerus
berdagang sepanjang hari, sehingga peranannya di dalam rumah tangga tidak
terlalu terganggu. Di samping itu bidang perdagangan kecil-kecilan sangat
mudah dimasuki oleh siapa saja karena , tidak ada syarat tertentu, seperti
pendidikan, keterampilan tertentu atau modal yang cukup besar yang harus
35
dipenuhi. Dengan demikian, keterlibatan wanita dalam perdagangan sangat
menguntungkan bagi rumah tangga petani, karena dengan begitu mereka dapat
membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga harian.
Sebagian besar bakul di Desa Sumber Bahagia adalah wanita, bahkan
mereka yang berjualan di Pasar Pucok kesemuanya adalah wanita. Kesemua
wanita ini merupakan bakul kecil karena , barang yang mereka perdagangkan
hanya dalam skala kecil ata u berjumlah sedikit. Bakul kecil itu terdiri dari
bakul lesehan, bakul los, bakul walik dasar dan bakul ider. Bakul lesehan
adalah mereka yang menjual dagangannya dengan cara menggelar alas ( terpal
ataupun karung) di tanah ( lesehan). Bakul los adalah mereka yang menjual
dagangannya di los-los pasar. Sedangkan bakul walik dasar adalah pedagang
yang memperoleh barang dagangan serta menjual barang dagangan di tempat
yang sama, dan bakul ider adalah pedagang yang menjalankan usahanya
hanya dengan cara berkeliling menjajakan barang dagangannya, baik hasil
pertanian maupun nonpertanian. (Kutanegara, 1989:13- 16)
Di Pasar Pucok, para wanita bakul yang berjualan pada umumnya
berusia antara 40- 60 tahun. Hal ini disebabkan karena mereka yang berusia
relatif muda cenderung memilih bekerja di bidang lain, seperti buruh di
perkebunan, pembantu rumah tangga di kota, penjaga toko di kota dan
pedagang pasar di kota. Para wanita bakul ini pada umumnya berpendidikan
rendah, bahkan ada pula yang tidak berpendidikan. Akan tetapi, mereka
menerapkan arti pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Meskipun para
wanita bakul rata-rata kurang mengenyam bangku pendidikan, tetapi tidak
36
mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan mereka dalam berdagang,
karena menurut mereka keberhasilan dalam berdagang ditentukan oleh faktor
keberuntungan.
Di samping bekerja sebagai baku l, para wanita ini juga mempunyai
aktivitas lain sebagai kerja sampingan. Kerja sampingan adalah semua
pekerjaan yang dilakukan di luar aktivitas rumah tangga. Pekerjaan sampingan
tersebut meliputi sebagai buruh tani, buruh pembuat tempe, membantu suami
mengolah sawah, mencari kayu atau pun rumput, dan lain sebagainya. Namun,
walaupun mereka mempunyai aktivitas kerja yang bermacam- macam, tetapi
mereka tetap tidak melalaikan tugas utama mereka di dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, mereka berusaha mengatur waktu dengan sebaik -baiknya,
sehingga semua pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan baik. Bila
dilihat dari segi waktu yang mereka pergunakan, terkadang tidak seimbang
dengan penghasilan yang mereka peroleh. Namun bagi mereka, hal tersebut
tidaklah menjadi permasalahan, karena yang penting bagi mereka adalah
mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan. Di samping itu semua ini
juga tidak terlepas dari peranan atau keterlibatan suami di dalam aktivitas
mereka.
Dari beberapa suami responden, mereka mempunyai pekerjaan
berragam, ada yang bekerja sebagai petani, buruh dan ada juga yang nyambi
atau mempunyai pekerjaan sampingan sebagai tukang. Keterlibatan mereka
dalam aktivitas istri tampak pada saat mereka mempersiapkan barang
dagangan, bahkan seringkali juga mereka membantu dalam pengolahan,
37
seperti membuat tempe. Misalnya membungkus tempe atau membantu
membuatkan biting ( alat penjepit bungkus tempe).
Dengan demikian, walaupun di antara suami dan istri masing- masing
mempunyai aktivitas kerja sendiri-sendiri, tetapi sebenarnya tidak dapat
bekerja secara terpisah. Contohnya, suami selain bertani seringkali juga ikut
membantu istri, dan istri pun selain mengurus anak, mengurus rumah dan
berdagang juga membantu suami mengolah sawah.
2.3 Rangkuman
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa peran wanita dalam proses
pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga semakin penting dan sangat
dibutuhkan untuk membantu suami yang dianggap sebagai kepala keluarga,
yang bertugas mencarikan nafkah untuk anak dan istri mereka. Sudah jelas
mengapa kebanyakan para istri turut serta mencari nafkah. Alasannya adalah
karena, penghasilan yang diperoleh suami tidak tetap dan tidak mencukupi.
Bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan, hal semacam itu bukanlah
sesuatu yang aneh. Seorang istri ikut mencari nafkah untuk keluarganya
merupakan hal yang sangat lumrah (biasa) karena , yang terpenting bagi
mereka adalah mereka dapat memperoleh penghasilan tambahan. Berbeda
dengan keadaan masyarakat menengah ke atas. Walaupun mereka juga
bekerja, namun mereka bekerja bukan semata-mata untuk mencari nafkah dan
memenuhi kebutuhan rumah tangga karena, mereka memiliki suami yang
berpenghasilan cukup, mereka bekerja hanya untuk mencari kesibukan supaya
38
tidak jenuh dengan rutinitas sebagai ibu rumah tangga. Itulah yang
membedakan antara masyarakat petani didesa dengan masyarakat kalangan
menengah keatas. Sama-sama wanita dan sama-sama bekerja, tetapi peran
mereka sangat jauh berbeda.
39
BAB III
TRADISI HIDUP WANITA BAKUL
DALAM RUMAH TANGGA
3.1 Struktur Rumah Tangga
Di Desa Sumber Bahagia, antara suami dan istri dalam keluarga
mempunyai penghasilan yang tidak terlalu berbeda. Keduanya sama-sama
berusaha untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi kebutuhan rumah
tangga. Oleh karena itu, mereka berusaha melakukan berbagai kegiatan agar
kebutuhan rumah tangga tersebut dapat terpenuhi. Hal ini mereka lakukan
karena, pertanian yang mereka usahakan dianggap tidak lagi menjamin
stabilitas pendapatan rumah tangga mereka. Maka dari itulah banyak wanita
dari desa ini yang memilih bekerja di luar sektor pertanian. Namun, hal ini
ternyata tidak mengakibatkan terjadinya perubahan dalam keseimbangan kerja
antara suami dan istri dalam rumah tangga, walaupun keduanya sama-sama
melakukan aktivitas kerja. Hal tersebut karena antara keduanya sudah ada
pembagian kerja ataupun tugas dan tanggung jawab sesuai peranan masing-
masing, misalnya suami berperan dalam mengolah sawah atau mencari nafkah
dan istri mengurus rumah tangga, walaupun ia juga bekerja sebagai bakul.
Oleh karena itu, walaupun sibuk ia (istri) tetap harus bertanggung jawab
mengurus rumah tangga. Pembagian peran ataupun tanggung jawab tersebut,
bagi mereka sudah merupakan hal yang wajar karena, kesemua aktivitas kerja
40
yang mereka lakukan tersebut semata-mata hanya untuk kepentingan rumah
tangga sendiri.
Adapun yang dimaksud dengan struktur ekonomi keluarga dalam
rumah tangga pada tulisan ini adalah keadaan, hubungan, serta peranan suami
dan istri dalam keluarga bakul, yang berkaitan dengan pendapatan rumah
tangga mereka, karena masing- masing dari mereka melakukan suatu pekerjaan
untuk tujuan yang sama yaitu demi kepentingan rumah tangga. Oleh karena
itu, dalam tulisan ini akan diungkapkan tentang aktivitas rumah tangga,
pembagian waktu, serta peranan suami dan istri dalam rumah tangga dalam
hal pengambilan keputusan.
3.2 Aktivitas Rumah Tangga
Dalam kehidupan masyarakat di daerah penelitian, keterlibatan pihak
laki- laki dalam sektor pertanian sangat menonjol, sedangkan wanita banyak
terlibat dalam sektor non pertanian, yaitu perdagangan. Keterlibatan wanita
dalam perdagangan ternyata menghasilkan keuntungan bagi rumah tangga
mereka, karena dengan berdagang mereka dapat memberikan bantuan dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga harian walaupun hasil yang diperoleh
terbatas.
Masyarakat desa pada umumnya secara normatif masih menganggap
bahwa peranan seorang wanita dalam rumah tangga adalah mengurus seluruh
kebutuhan anggota keluarga, sedangkan mencari nafkah merupakan urusan
kaum pria. Berbeda dengan masyarakat desa yang tinggal di daerah penelitian.
Pada masyarakat desa ini, tidak terdapat perbedaan peranan antara pria dengan
41
wanita (suami dan istri) di dalam rumah tangga. Semua aktivitas sebisa
mungkin dikerjakan bersama-sama, apa yang bisa dilakukan mereka kerjakan
tanpa harus menyinggung peran masing- masing. Oleh karena itu, walaupun
seorang istri ikut berperan dalam membantu perekonomian rumah tangga,
dengan melakukan aktivitas perekonomian di luar rumah, tetapi tanggung
jawab mereka tetap berkewajiban mengelola rumah tangga, karena kegiatan
rumah tangga secara rutin merupakan pekerjaan utama bagi wanita. Begitu
pula dengan laki-laki, mereka tetap membantu pekerjaan rumah walaupun
mereka sudah bekerja mencari nafkah.
Bagi wanita bakul yang ada di desa Sumber Bahagia, peranan
sebagai ibu rumah tangga merupakan peranan yang utama. Jadi semua
aktivitas kerja yang dilakukan di luar aktivitas rumah tangga bagi mereka
hanya merupakan aktivitas sampingan, meskipun usaha kecil-kecila n yang
mereka lakukan tersebut sebenarnya merupakan usaha yang sangat
menguntungkan, walaupun keuntungan yang diperoleh tidak tetap dan
terbatas. Namun bagi mereka bentuk keuntungan yang diperoleh tidaklah
selalu dalam bentuk uang, karena sisa berjualan ya ng tidak laku dapat diolah
kembali di rumah. Hal seperti itu pun bagi mereka juga merupakan bentuk dari
keuntungan.
Aktivitas dalam rumah ta ngga sebagai aktivitas utama ibu-ibu tidak
pernah mereka lupakan, walaupun dalam keadaan sesibuk apa pun. Hal ini
terlihat pada waktu mereka sedang mempersiapkan barang-barang dagangan
atau ketika sedang mengolah bahan-bahan untuk dijual keesokan harinya.
42
Pada waktu mereka sibuk mengurus hal-hal tersebut, mereka selalu
menyisihkan waktu untuk mengurus rumah, mencuci, ataupun memasak,
bahkan mereka juga ke sawah ataupun ke ladang untuk ikut membantu
suaminya. Begitu pula setelah pulang dari berjualan, mereka kemudian
kembali mengurus urusan rumah tangga, dan tidak lupa juga mengurus anak-
anak mereka, mengawasi dan membantunya dalam belajar. Semua aktivitas
tersebut mereka lakukan dari pagi hingga malam. Oleh karenanya, mereka
sering kali harus dapat membagi pencurahan waktu baik untuk aktivitas rumah
tangga maupun di luar rumah tangga.
Para wanita bakul tersebut harus dapat membagi waktu, agar semua
peran dapat dijalankan dengan baik dan seimbang. Selain menjalankan
kewajiban dalam rumah tangga, mereka kadang-kadang juga masih harus
memenuhi kewajiban-kewajiban sosial sebagai anggota masyarakat desa
tempat di mana dia tinggal. Contohnya seperti: nyumbang (memberi
sumbangan kepada saudara atau tetangga yang mempunyai hajat, ataupun ada
acara lainnya) yang melibatkan semua warga kampung atau warga desa.
Dengan demikian terlihat bahwa aktivitas yang harus mereka lakukan
sangatlah banyak, sehingga mereka harus dapat membagi peran dengan
sebaik-baiknya. Selain aktivitas dalam rumah tangga, berjualan sebagai
aktivitas sampingan memang tidak rutin mereka lakukan, misalnya jika
mereka sedang memiliki keperluan seperti pada saat panen, tandur (tanam),
atau keperluan lainnya, mereka akan berhenti berjualan untuk sesaat. Namun
demikian, berdagang merupakan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan
43
rumah tangga karena , selain dapat membantu memenuhi kebutuhan pangan
sehari- hari, pendapatan dari berdagang ini juga memungkinkan bagi mereka
untuk memenuhi kewjiban-kewajiban sosial mereka di lingkungan
masyarakat. Di samping itu, dengan berdagang mereka juga memiliki
kekuatan atau wewenang untuk mengambil keputusan terutama dalam hal
memutuskan masalah kepentingan sehari- hari rumah tangga, seperti keputusan
dalam memberikan sumbangan, dalam mengelola urusan rumah tangga, serta
pengeluaran untuk kebutuhan sehari-hari rumah tangga dan sebagainya. Hal
seperti yang diungkapkan oleh salah seorang wanita bakul dari desa Sumber
Bahagia. Ia mengatakan bahwa aktivitas berjualan merupakan aktivitas
ekonomi yang sangat menguntungkan baginya, karena dengan berdagang
selain dapat membantu keperluan rumah tangga, ia juga dapat memperoleh
otonomi dalam mengelola rumah tangga. Misalnya, apabila ia ingin membeli
sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan rumah tangga sehari-hari, maka ia
tidak perlu menunggu atau meminta uang dari suaminya. Begitu pula jika
anaknya meminta uang untuk jajan atau membeli kebutuhan sekolah, ia dapat
langsung memberikannya. Dengan demikian, adanya kekuatan dalam
memutuskan sesuatu kepentingan harian rumah tangga (otonomi) tersebut,
para wanita bakul tersebut dapat menunjukan peranan mereka yang sangat
penting dalam rumah tangga.
3.3 Alokasi Waktu
Di daerah penelitian, alokasi waktu yang digunakan oleh para wanita
bakul satu dengan yang lainnya berbeda-beda, tergantung dari jenis barang
44
dagangan yang mereka jual. Bagi bakul makanan, waktu yang mereka
butuhkan lebih banyak dalam kegiatan berjualan. Dalam satu hari mereka
memerlukan waktu kurang lebih delapan jam untuk mengurus kegiatan
berdagang, dan sisanya untuk mengurus aktivitas rumah tangga. Adapun
untuk bakul tempe, waktu yang mereka pergunakan untuk mengurus kegiatan
berdagang juga lebih banyak, karena untuk mengolah kedelai memerlukan
waktu yang cukup lama. Pengolahan tersebut dimulai dari mencuci, memasak,
sampai membungkus serta menjualnya, kurang lebih memerlukan waktu 10
jam setiap harinya.
Bagi mereka yang berjualan sayuran dan bahan-bahan mentah, dalam
satu hari hanya memerlukan waktu kurang lebih lima jam untuk
mempersiapkan serta menjual ke pasar, sedangkan sisa waktu yang ada
dipergunakan untuk mengurus rumah tangga, sawah, tegalan, dan sebagainya.
Namun demikian, walaupun waktu yang mereka pergunakan banyak tersita
untuk mengurus kesemua aktivitas tersebut, tetapi mereka tetap menempatkan
suami dan anak sebagai prioritas utama dalam pencurahan waktu, kemudian
barulah dagangan dan lainnya. Dengan demikian, waktu yang mereka miliki
lebih mereka utamakan untuk keluarga, karena kesemua aktivitas tersebut bagi
mereka hanya merupakan aktivitas sampingan dalam rumah tangga. Hal inilah
yang membuat mereka terlihat berbeda dibanding wanita biasa lainnya (ibu-
ibu rumah tangga lain yang tidak bekerja sebagai bakul), karena walaupun
mereka memiliki aktivitas yang bermacam- macam namun kesemua aktivitas
tersebut tidak mempengaruhi peranan utama mereka di dalam rumah tangga.
45
Menurutnya, walaupun berjualan dapat memberikan penghasilan
yang lumayan, namun tidak boleh meninggalkan tugasnya untuk selalu
mengurus suami dan anak. Jadi setiap selesai berjualan, mereka segera cepat
pulang agar dapat mengurus rumah, meskipun kadang-kadang anak
perempuannya sudah membantu mengurusnya. Di samping itu, para wanita
bakul ini pun selalu meluangkan waktu untuk dapat selalu bercakap-cakap
dengan suami dan anak-anak. Hal tersebut mereka lakukan agar antara
anggota keluarga dapat terjalin hubungan yang baik dan harmonis, cara
tersebut juga mereka maksutkan untuk memberikan perhatian kepada anak-
anaknya, karena para wanita bakul tersebut merasa telah menghabiskan
waktunya untuk berjualan.
Bagi para wanita bakul, pembagian waktu sangatlah penting agar
terjadi keselarasan dalam rumah tangga, dan masing-masing dari wanita bakul
tersebut sudah mempunyai pembagian waktu yang rutin dalam setiap harinya,
baik untuk aktivitas rumah tangga, berjualan, ke sawah, maupun kegiatan
kemasyarakatan.
3.4 Pengambilan Keputusan dalam Keluarga
Wanita selain sebagai ibu rumah tangga yang mengelola kegiatan
rutin rumah tangga dan sebagai pencari nafkah juga memiliki peran sebagai
pengambil keputusan. Mereka mempunyai peran sebagai pengambil keputusan
dalam hal mengatur ekonomi rumah tangga. Pada kehidupan keluarga wanita
bakul, mereka mempunyai pembagian peran dalam proses pengambilan
keputusan antara suami dan istri. Dalam berbagai bidang dalam lingkup rumah
46
tangga, keputusan istri cenderung lebih do minan atau berperan. Sebaliknya
keputusan suami lebih berperan pada lingkup yang lebih luas, seperti hal-hal
yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Adapun dalam bidang rumah
tangga seperti perjodohan anak, membangun rumah, ataupun membeli barang-
barang sekunder (televisi, radio, dan lain sebagainya) keputusan bersama lebih
dominan. Untuk pemberian sumbangan kepada orang yang mempunyai hajad,
cenderung diputuskan oleh istri. Hal ini seperti yang dialami oleh dua orang
bakul yang diambil sebagai responden, ketika mereka bermaksud membangun
rumah, mereka membicarakannya dan memutuskan bersama-sama. Dengan
demikian, kegiatan membangun rumah tersebut dapat terlaksana setelah
adanya kesepakatan di antara keduanya. Mereka menganggap kesepakatan
tersebut sanga t penting, karena hal ini menyangkut masalah ekonomi rumah
tangga mereka.
Adapun bakul lainnya mengatakan, ketika ia memutuskan berjualan
guna mencari tambahan penghasilan bagi rumah tangganya, mereka juga
membicarakan terlebih dahulu dengan suaminya, begitu pula dengan jenis
dagangan yang akan dijual juga merupakan kesepakatan bersama suaminya.
Bakul lainnya mengatakan bahwa segala urusan rumah tangga seperti
kebutuhan rumah tangga sehari-hari, biaya sekolah anak-anaknya,
memberikan sumbangan untuk orang yang mempunyai hajad, dan sebagainya
diserahkan kepadanya , katanya : “pokoke kulo sing ngurusi kebutuhan griya,
bapake lare-lare niku mung manut-manut mawon” ( Artinya, pokoknya saya
yang mengurus kebutuhan rumah, bapaknya anak-anak hanya ikut saja).
47
Untuk pengolahan sawah atau tegalan, seperti memilih jenis padi atau sayuran
yang akan ditanam, pemupukan, dan sebagainya, kesemuanya ditentukan oleh
suami.
Salah seorang wanita bakul lainnya mengatakan bahwa semua
pengeluaran ataupun pemasukan dana rumah tangga selalu dipercayakan
kepadanya, karena dia yang dianggap tahu mana kebutuhan rumah tangga
yang perlu dan mana yang tidak. Kadang-kadang ada juga hal- hal tertentu
yang dibicarakan terlebih dahulu dengan suaminya. Hal ini biasanya
menyangkut pengeluaran dalam jumlah besar, seperti pada waktu mereka akan
membangun rumah, membeli kebutuhan sekunder rumah tangga, semua hal
tersebut selalu dibicarakan terlebih dahulu dengan suami. Demikian juga
dengan bakul lainnya, yang mengatakan bahwa semua pendapatan yang
diperoleh suaminya baik dari hasil sawah atau buruh, selalu diserahkan
kepadanya, karena menurut suaminya, wanitalah yang lebih tahu mengenai
urusan rumah tangga. Begitu pula ketika ia memutuskan untuk mengikuti
berbagai arisan guna mengatur strategi ekonomi rumah tangga mereka.
Dari kasus-kasus yang ada di desa Sumber Bahagia tersebut,
menunjukkan bahwa para wanita bakul yang ada di desa ini mempunyai
peranan yang sangat penting dalam memegang atau mengatur kebijaksanaan
keuangan rumah tangga. Mereka dipandang lebih mampu untuk mengatur
keuangan rumah tangga dari pada suaminya, dan terutama yang berkaitan
dengan masalah pengeluaran kebutuhan rumah tangga harian. Begitu pula
dengan pendapat dari Kodiran dan Hudayana (1990:10) yang mengatakan
48
bahwa pria mempunyai wewenang yang lebih kuat dalam pekerjaan teknis
seperti bercocok tanam, sedangkan wanita lebih berkuasa dalam menentukan
anggaran belanja baik dalam aktivitas sosial maupun ekonomi.
3.5 Strategi Rumah Tangga
Dewasa ini, dalam perekonomian pedesaan pun uang telah menjadi
alat tukar yang makin penting. Permintaan akan barang dan jasa yang hanya
dapat diperoleh dengan uang telah mengakibatkan terjadinya peningkatan
kebutuhan akan uang pada kaum wanita di pedesaan. Dengan semakin
meningkatnya kebutuhan tersebut, menyebabkan mereka merasa bahwa hasil
yang diperoleh dari bertani dianggap kurang memadai, sehingga mereka
kemudian melakukan berbagai aktivitas kerja, di antaranya adalah berdagang.
Mereka memilih berdagang, karena berdagang merupakan aktivitas
perekonomian yang paling mudah dimasuki kaum wanita. Oleh karenanya,
sektor ini merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, karena
perdagangan merupakan aktivitas ekonomi yang tidak memerlukan berbagai
macam syarat.
Berdagang bagi wanita bakul yang ada di desa Sumber Bahagia
merupakan aktivitas yang dilakukan untuk membantu ekonomi rumah tangga
atau suami, dan aktivitas ini hanya merupakan aktivitas sampingan di samping
rumah tangga dan bertani yang merupakan aktivitas utama mereka. Sebagai
aktivitas sampingan, berdagang juga memerlukan pencurahan waktu dan
tenaga seperti aktivitas rumah tangga dan lainnya. Untuk itu, mereka harus
49
membuat berbagai strategi agar kesemua tugas dan tanggung jawab mereka
menjadi lebih ringan, sehingga mereka dapat menjalankan peranan di dalam
ataupun di luar rumah tangga dengan baik.
Adapun yang dimaksud dengan strategi dalam tulisan ini adalah segala
usaha yang dilakukan untuk mengatur rumah tangga berdasarkan potensi yang
dimiliki, untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif dan efisien. Jadi
sebagai strategi yang dilakukan oleh para wanita bakul di desa ini merupakan
salah satu usaha yang dilakukan oleh mereka dalam mengatur rumah tangga
dengan melihat kondisi sosial dan ekonomi rumah tangga mereka masing-
masing. Dengan demikian, diharapkan beban dan tanggung jawab mereka
menjadi lebih ringan, sehingga keinginan mereka untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan di dalam rumah tangga dapat tercapai.
Sebagai aktivitas sampingan, ternyata berdagang kadang-kadang dapat
menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada penghasilan yang
diperoleh suaminya. Demikian kata salah seorang bakul. Ia mengatakan,
bahwa suaminya selain bertani juga bekerja serabutan, namun pekerjaan itu
tidak dilakukannya setiap hari. Kerja serabutan adalah pekerjaan yang bersifat
tidak tetap yang hanya dilakukan jika ada yang membutuhkan, serta berkaitan
dengan masalah pembelian suatu barang, dan dari pekerjaan ini pihak yang
membelikan akan mendapat upah sesuai dengan barang yang dibelikan. Jadi
dari kerja yang semacam itu penghasilnya tidaklah tetap, karena besar
kecilnya penghasilan yang diperoleh tergantung dari jenis barang yang
50
dibelikan (seperti ketela, kayu, kacang kedelai, dan sebagainya tergantung
permintaan)
Penghasilan yang diperoleh setiap kali bekerja serabutan kadang-
kadang kurang dari Rp30.000,00 namun dapat juga mencapai Rp50.000,00
jika ia mendapatkan pekerjaan itu lebih dari satu orang. Istrinya sebagai bakul
makanan dalam satu hari dapat memperoleh uang Rp200.000,00 bahkan
kadang-kadang lebih.
Bakul lainnya mengatakan bahwa suaminya juga bekerja sebagai buruh
tani, selain mengolah sawah sendiri. Sebagai buruh tani, setiap kali bekerja ia
hanya mendapatkan kurang lebih Rp40.000,00 Sedangkan istrinya yang
berjualan di pasar, pendapatan hariannya kurang lebih Rp150.000,00 setiap
harinya. Dengan demikian, penghasilan yang diperolehnya kadang-kadang
lebih besar daripada suaminya. Namun para wanita bakul tersebut tidak pernah
mempersoalkan hal tersebut, karena yang terpenting bagi mereka adalah usaha
untuk membantu suami atau rumah tangga. Adapun penghasilan dari
berdagang tersebut sebagian besar dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
atau biaya hidup sehari-hari, dan apabila ada sisa, mereka gunakan untuk
membeli barang kebutuhan sekunder atau disimpan. Jadi strategi dagang yang
mereka lakukan hanya didasarkan pada kepentingan menyelamatkan atau
memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka, sehingga mereka tidak pernah
memikirkan keuntungan yang diperolehnya hari ini, tetapi berapa banyak
kebutuhan hari ini yang dapat tercukupi. Dapat pula dikatakan bahwa mereka
51
berdagang bukan untuk mengumpulkan modal tetapi untuk mendapatkan
barang konsumsi yang mereka butuhkan.
Untuk mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga, masing- masing
dari wanita bakul yang ada di desa Sumber Bahagia memiliki strategi yang
berbeda-beda. Mereka selain bertani juga melakukan berbagai aktivitas kerja
seperti berdagang, menjadi buruh sawah maupun ladang, bahkan ada juga
yang bekerja sebagai tukang serta bekerja serabutan. Di samping itu, mereka
juga mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan, arisan, dan sebagainya. Dari
keenam wanita bakul, tidak semuanya memilih kegiatan arisan sebagai salah
satu strategi dalam mengatur keuangan rumah tangga mereka, walaupun
mereka mengakui bahwa arisan merupakan salah satu saran untuk menyimpan
uang. Dengan demikian, arisan bagi para wanita bakul di desa Sumber
Bahagia ini mempunyai fungsi ekonomis.
Arisan berfungsi ekonomis karena biasanya mereka yang mengikuti
kegiatan arisan sudah mempunyai rencana mengenai uang yang akan mereka
peroleh nantinya, apakah untuk membeli barang, untuk kebutuhan sekolah
anak, atau kebutuhan lainnya. Oleh karena itu, bagi mereka kegiatan arisan ini
sangat menolong dalam memecahkan masalah keuangan. Ini seperti yang
diungkapkan oleh seorang bakul. Bakul tersebut mengatakan bahwa untuk
mengatur ekonomi rumah tangga, dia mempunyai strategi sebagai berikut:
untuk keperluan sehari-hari dan membeli barang dagangan, dia mengambilnya
dari hasil berjualan di pasar, sedangkan untuk membeli beras diperoleh dari
hasil panen sawah dan hasil buruh. Adapun untuk biaya sekolah anak-anaknya
52
diambil dari hasil perolehan arisan yang diikutinya. Bakul tersebut mengikuti
dua kegiatan arisan, yaitu arisan pasar untuk harian sebesar Rp5.000,00 dan
arisan bulanan sebesar Rp50.000,00 Dari kedua arisan yang diikutinya
terkumpul mencapai Rp1.000.000,00 dan dari pendapatan tersebut
dipergunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Arisan baginya
merupakan salah satu cara untuk memecahkan masalah keuangan rumah
tangganya. Alasan lain mengapa mereka mengikuti kegiatan arisan adalah,
karena dengan mengikuti kegiatan arisan ia dapat berkumpul dan
bersosialisasi dengan teman-teman dan tetangganya. Selain itu, ia juga dapat
memperoleh tambahan informasi se rta pengetahuan di luar masalah rumah
tangga dan perdagangan, sehingga dapat menambah wawasan.
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa masing- masing wanita bakul yang
ada di desa Sumber Bahagia mempunyai strategi ekonomi sendiri-sendiri
dalam mengatur ekonomi rumah tangganya agar kebutuhan rumah tangga
mereka dapat tercukupi. Kesemua strategi tersebut mereka lakukan, karena
mereka merasa berkewajiban mengatur pengeluaran-pengeluaran maupun
pemasukan biaya rumah tangga dengan sebaik -baiknya, agar beban ekonomi
menjadi lebih ringan. Adapun berbagai macam strategi tersebut mereka
lakukan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga mereka masing-
masing. Selain itu, kesemua aktivitas tersebut mereka lakukan semata- mata
untuk menjaga kelangsungan hidup seluruh anggota dalam rumah tangga.
3.6 Pendidikan Anak
53
Dalam hal pendidikan anak-anak mereka, para wanita bakul sangat
mengutamakannya. Masalah biaya dan keperluan sekolah selalu menjadi
pertimbangan yang paling utama. Para wanita bakul ini tidak ingin anak-anak
mereka mengikuti jejak sang orang tua. Di luar masalah biaya, para wanita
bakul ini juga sangat memeperhatikan bagaimana anak-anaknya belajar di
rumah, walaupun para wanita bakul tersebut memiliki keterbatasan dalam hal
pelajaran atau ilmu pengetahuan, namun mereka tidak patah semangat untuk
terus melatih anak-anaknya, membimbing dan mengawasi dalam belajar.
Selain pendidikan formal di sekolah, mereka juga memperhatikan
bagaimana pengetahuan anak-anaknya tentang agama. Oleh sebab itu mereka
juga menganjurkan anak-anaknya untuk selalu belajar mengaji setiap sore
hari, karena mayoritas dari mereka adalah beragama islam. Mereka sangat
memperhatikan tentang agama, karena menurut mereka pengetahuan tentang
agama dapat dijadikan bekal hidup anaknya dimasa mendatang.
3.7 Rangkuman
Dari uraian tentang tradisi hidup wanita bakul dalam rumah tangga ini
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
3.7.1 Dalam struktur ekonomi rumah tangga, mereka antara suami dan istri
sama-sama bekerja untuk memperoleh penghasilan guna memenuhi
kebutuhan rumah tangga. Peran wanita bakul dalam rumah tangga sangat
penting, selain mengurus kepentingan rumah tangga, mereka juga sangat
membantu dalam hal mencari nafkah. Para wanita bakul tersebut dapat
54
menunjukkan peran mereka yang sangat penting dalam ekonomi rumah
tangga.
3.7.2 Alokasi waktu yang digunakan oleh para wanita bakul tersebut sangat
berbeda antara satu dengan yang lain, yaitu tergantung dari jenis barang
dagangan yang mereka jual, yaitu berkisar antara pukul 07.00-13.00.
Namun demikian, tanggung jawab untuk keluarga selalu mereka
utamakan
3.7.3 Pada kehidupan keluarga wanita bakul ,mereka mempunyai pembagian
peran dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, para
wanita bakul tersebut memiliki kekuatan dalam memutuskan sesuatu
dalam berbagai bidang dalam lingkup rumah tangga. Keputusan istri
cenderung lebih dominan atau berperan. Sebaliknya keputusan suami
lebih berperan pada lingkup yang lebih luas, yaitu hal-hal yang
berhubungan langsung dengan masyarakat.
3.7.4 Strategi ekonomi yang dilakukan oleh para wanita bakul tersebut adalah
dengan melakukan aktivitas sampingan yaitu dengan berdagang. Dari
berdagang itulah mereka dapat memenuhi kebutuhan atau biaya hidup
sehari- hari.
3.7.5 Mengenai pendidikan anak, para wanita bakul juga sangat
memperhatikan. Baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Biaya pendidikan tersebut mereka peroleh dari hasil berdagang yang
sengaja mereka sisihkan.
55
Demikianlah tradisi hidup para wanita bakul dalam rumah tangga
dengan segala aktivitas dan tanggung jawabnya. Inilah ciri aktivitas rumah
tangga yang menjadi ciri folk kelompok wanita bakul, dengan segala masalah
dan kenyataan hidup yang harus mereka hadapi. Uraiaan tentang tradisis hidup
wanita bakul dalam aktivitas perdagangan akan dikemukakan pada bab
berikutnya.
56
BAB IV
TRADISI HIDUP WANITA BAKUL
DALAM AKTIVITAS PERDAGANGAN
Dalam bab ini akan dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama berisi
tentang aktivitas perdagangan para wanita bakul dari desa Sumber Bahagia, dan
menguraikan tentang usaha dagang yang mereka kerjakan, diantaranya meliputi
latar belakang memilih jenis dagangan atau komoditas tertentu, pengadaan
barang, serta pemasaran. Kemudian yang kedua akan membahas tentang
gambaran atau profil beberapa wanita bakul yang diambil sebagai sampel (contoh
kasus).
4.1 Usaha Dagang
4.1.1 Latar Belakang Memilih Jenis Barang Dagangan
Pasar memiliki peranan yang sangat penting bagi petani, karena
selain sebagai tempat untuk memasarkan barang-barang produksi juga
merupakan tempat untu006B mencari penghasilan dengan cara
berdagang (Wolf, 1983:65). Demikian pula dengan bakul-bakul yang
berasal dari Desa Sumber Bahagia. Pasar bagi mereka merupakan
tempat yang mempunyai peranan sangat penting, baik dari segi
ekonomi maupun dari segi sosial. Di pasar mereka dapat menjual
bermacam barang–barang produksi hasil pertanian maupun non
pertanian, selain itu di pasar mereka juga dapat memperoleh
57
bermacam-macam informasi seperti: Harga barang-barang kebut uhan
sehari- hari, perkembangan suatu desa atau dusun tetangga, tentang
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dan sebagainya. Hal ini dapat
menambah wawasan serta pengetahuan mereka tentang keadaan di luar
aktivitas rumah tangga. Namun hal terpenting bagi mereka adalah
pasar merupakan tempat yang dapat membantu mereka untuk
memperoleh uang. Hal ini seperti diungkapkan oleh salah seorang
responden, yang mengatakan. “Kalau di rumah mau pinjam uang lima
ribu rupiah saja sulit, tetapi kalau di pasar mau pinjam uang ratusan
ribu tidak terasa, karena bisa di bayar dengan barang dagangan.”
Oleh karena itu, mereka memilih berdagang sebagai pekerjaan
untuk mendapatkan tambahan penghasilan, karena jika mereka pergi
ke pasar maka mereka akan mendapatkan uang, tetapi jika mereka
hanya di rumah saja maka sulit untuk mendapatkan uang. Dengan
demikian, dengan ke pasar mereka dapat membantu memenuhi
kebutuhan harian ruamah tangga.
Semua bakul yang ada di desa Sumber Bahagia merupakan bakul
kecil yang menjual barang dagangannya secara eceran. Jenis dagangan
yang mereka jual adalah tempe, sayuran, jajanan dan bahan-bahan
mentah, seperti telur, beras dan kebutuhan sembako lainnya. Adapun
mereka memilih jenis barang dagangan tersebut karena, jenis dagangan
ini merupakan barang-barang yang setiap hari dibutuhkan oleh
masyarakat, dan juga dengan alasan bahwa jenis dagangan semacam
58
itu merupakan jenis dagangan yang cepat laku terjual karena,
masyarakat membutuhkannya setiap hari. Alasan lain mengapa
memilih jenis dagangan tersebut karena, sejak sebelum menikah sudah
berjualan dagangan tersebut, contohnya pedagang tempe. Usaha
dagang tempe telah mereka lakukan sejak belasan tahun lamanya,
mereka hanya meneruskan usaha yang sudah ada atau yang sudah
mereka lakukan ketika masih muda. Dengan demikian berdagang bagi
mereka bukanlah hal yang baru, mereka sudah melakuaknnya selama
bertahun-tahun.
Dari beberapa wanita bakul yang diambil sebagai contoh,
sebenarnya mereka sudah berdagang sejak mereka belum menikah.
Pada waktu itu mereka masih menjual bermacam- macam jenis
dagangan, baik bahan mentah, sayuran atau pun bahan kebutuhan
rumah tangga lain yang dapat langsung terjual. Kesemua barang
dagangan tersebut selain mereka peroleh dari kulakan (membeli dalam
jumlah yang lumayan banyak), ada juga yang merupakan hasil
produksi sendiri. Mereka menyebut cara berjualan seperti ini sebagai
pedagang serabutan. Adapun tempat yang mereka gunakan selain di
pasar adalah di rumah, kalau barang dagangan tidak habis terjual di
pasar mereka juga menjualnya di rumah.
Setelah menikah pun masih banyak dar i mereka yang tetap
berjualan, namun ada juga diantara mereka yang setelah menikah
berhenti berjualan untuk sementara waktu karena melahirkan. Setelah
59
anaknya mulai besar dan bisa ditinggal, barulah kembali untuk
berjualan lagi. Ada pun mereka yang tetap berdagang, ada yang mulai
menjual satu jenis dagangan, bermacam –macam jenis dagangan, atau
pun malah berganti jenis dagangan. Seperti yang dilakukan oleh salah
seorang wanita bakul di desa Sumber Bahagia, pada mulanya hanya
berjualan tempe saja yang diproduksi sendiri, tetapi sekarang pindah
usaha dengan menjual sembako, karena menurutnya berjualan bahan-
bahan mentah lebih mudah dan tidaklah merepotkan.
Wanita bakul yang lainnya mengatakan bahwa alasan mereka
berjualan bermacam jenis dagangan karena pada saat itu anak-anak
mereka masih kecil-kecil sehingga mereka masih memerlukan banyak
biaya mulai dari biaya sekolah, jajan, maupun kebutuhan harian
lainnya. Kesemua biaya tersebut harus mereka peroleh secara cepat,
karena jika menunggu panen, terlalu lama. Bahkan kadang-kadang
hasil yang diperoleh pun belum tentu dapat diandalkan dan bahkan
sering kali habis dipergunakan untuk mengolah sawah berikutnya.
Maka dari itu, mereka lebih memilih untuk berjualan, dengan menjual
bermacam-macam jenis dagangan dapat lebih mudah untuk
mendapatkan uang. Mereka mau berdagang apa saja yang penting
cepat laku sehingga mendapatkan uang, demikian kata mereka.
Di sisi lain, mereka yang hanya menjual satu macam dagangan
saja mengatakan bahwa, mereka memilih jenis dagangan tersebut
(tempe) karena semenjak belum menikah sudah menjual jenis
60
dagangan tersebut bersama orang tuanya, sehingga mereka hanya
meneruskan saja. Namun salah seorang bakul tempe yang lain
mengatakan bahwa dia menjual jenis dagangan ini karena untuk
membuat tempe tidaklah memerlukan modal yang terlalu besar. Selain
jenis dagangan, jumlah barang yang dijual oleh para wanita bakul
tersebut kebanyakan juga dalam jumlah yang cukup banyak. Untuk
mengangkut barang dagangannya ke pasar mereka harus dengan
angkutan umum, karena jarak yang harus ditempuh cukup jauh dan
tidak mungkin bila harus berjalan kaki. Begitu pula dengan bakul
tempe, dalam satu hari tidak kurang dari 30 kg kedelai yang
dibutuhkan untuk membuat tempe. Biasnya mereka merdagang sampai
tengah hari sampai dagangan yang mereka jual habis terjual, namun
jika sudah siang dagangan mereka masih tersisa, mereka membawanya
pulang kembali.
Dari latar belakang tersebut, terlihat bahwa keterlibatan para
wanita dalam usaha dagang ini sebenarnya merupakan alternatif untuk
meningkatkan taraf hidup. Adapun alasan memilih jenis dagangan
sangatlah beragam. Namun pada intinya mereka memilih jenis
dagangan tertentu yang cepat laku dan cepat mendapatkan uang.
Alasan lain karena , barang dagangan tersebut (sembako) merupakan
barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
4.1.2 Pengadaan Barang
61
Untuk pengadaan bahan-bahan mentah biasanya mereka membeli
dari pedagang besar di pasar setelah selesai berjualan, seperti bahan-
bahan untuk membuat makanan jadi atau jajanan. Bahan-bahan
tersebut mereka beli dalam jumlah yang cukup banyak, terutama untuk
bahan-bahan yang tahan lama karena , jika sewaktu-waktu mereka tidak
mempunyai uang mereka sudah mempunyai persediaan bahan. Hal ini
mereka lakukan karena, pendapatan dalam setiap harinya tidak tetap
dan bahkan kadang habis untuk belanja kebutuhan sehari- hari. Seperti
yang dialami oleh pedagang jajanan, untuk dapat berjualan setiap hari
banyak bahan yang dibutuhkan, seperti terigu, gula, minyak, telur dan
bahan-bahan lain yang diperlukan, padahal pendapatan yang
diperolehnya tidak tetap. Oleh karena itu, jika pendapatan yang
diperoleh lebih dari biasanya, maka akan dibelanjakan bahan-bahan
dalam jumlah yang lebih banyak, supaya dapat disimpan dan sewaktu-
waktu diperlukan tidak perlu bingung lagi. Menurut bakul tersebut
untuk menjual jajanan di pasar memerlukan sekitar Rp 200.000,00
setiap kali berjualan, karena sekarang ini harga-harga kebutuhan pokok
sangatlah mahal. Dalam pengolahan ia dibantu ole h suami dan
anaknya. Setiap kali berjualan, kurang lebih menjual 500 butir jajanan.
Berbeda dengan bakul makanan jadi, bakul tempe memperoleh
kedelai dari membeli di KUD (semua bakul tempe yang ada di Desa
Sember Bahagia merupakan anggota KUD). Namun karena letak KUD
yang jauh, maka mereka menggunakan sistem drop per unit di tempat
62
salah seorang penduduk di Desa Sumber Bahagia. Alasan mereka
membeli kedelai di KUD, karena harganya yang lebih murah serta
mutunya lebih baik, seperti sekarang ini (April 2006) satu kg kedelai di
pasar mencapai Rp5.000,00 sedangkan di KUD berkisar antara
Rp4.000,00 sampai dengan Rp4.500,00 . Di samping itu, kedelai yang
berasal dari KUD dapat bertahan lama. Selain harga dan mutu, dalam
pembayarannya pun dapat dibayar sesudahnya (mengambil terlebih
dahulu). Oleh karena itu, mereka lebih memilih membeli di KUD,
sedangkan banyaknya kedelai yang mereka butuhkan dalam satu hari
sebanyak 40-50 kg, yang dapat dibuat menjadi tempe kurang lebih
sebanyak 400-500 bungkus, tergantung besar ke cil serta tinggi
rendahnya harga kedelai, tetapi biasanya mereka membuat tempe
dalam ukuran kecil dengan harga yang murah. Dengan demikian,
modal yang mereka pergunakan untuk berdagang pun juga berbeda-
beda. Para bakul ini tidak mau memakai buruh dalam pengolahan,
karena jika memakai buruh berarti mereka harus mengeluarkan biaya
untuk membayar buruh, sedangkan keuntungan yang mereka peroleh
tidak tetap. Oleh karena itu mereka memilih untuk mengolah sendiri
bersama keluarga (industri rumah tangga).
Berbeda dengan bakul sayuran. Bakul sayuran membeli atau
kulakan barang dagangannya dari tengkulak yang datang dari desa lain
yaitu Danau Ranau dan Liwa. Setiap pagi mereka menunggu sampai
mobil sayuran itu datang, lalu memborong atau membeli dalam jumlah
63
yang tidak terlalu banyak sesuai dengan uang yang ada, baru kemidian
mereka menjualnya di pasar tersebut dengan mengecerkannya dengan
harga yang sudah berbeda karena, mereka juga mengambil untung,
walaupun tidak dalam jumlah yang banyak.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa bakul kecil
merupakan usaha yang tidak memerlukan banyak modal. Ada pun
untuk modal awal, biasanya mereka meminjam dari saudara atau pun
dari hasil sawah. Namun seringkali dalam berjualan, mereka tidak
membedakan antara modal dan keuntungan sehingga hasil yang
diperoleh dari berjualan juga digunakan untuk berbelanja kebutuhan
sehari- hari.
4.1.3 Pemasaran
Bakul kecil merupakan usaha yang tidak memerlukan banyak
modal. Walaupun hanya merupakan jenis usaha kecil-kecilan, namun
di dalam menjalankan usahanya mereka juga berusaha mencari
keuntungan dan mengurangi kerugian sekecil mungkin. Demikian pula
di dalam memasarkan barang dagangannya, mereka juga
mengupayakan agar barang dagangannya cepat laku terjual. Salah satu
cara yang umum mereka lakukan adalah menawarkan barang dengan
harga yang murah. Dengan cara ini, mereka mengambil keuntungan
serendah mungkin untuk setiap jenis satuan barang, seperti untuk
tempe baik di pasar maupun di rumah dijual dengan harga Rp100,00
untuk setiap butirnya (dengan ukuran kacil), tetapi jika yang membeli
64
juga bakul biasanya diberi tambahan, setiap kelipatan sepuluh pasti
ditambah dua, supaya tidak merasa rugi tetapi mendapat untung juga.
Begitulah cara mereka berbagi keuntungan dalam berjualan tempe.
Demikian dengan bakul jajanan, dia juga hanya mengambil
keuntungan sedikit untuk setiap satuan jenis makanan (biasanya
berkisar Rp 100 per butir ). Untuk bakul bahan mentah, mereka
biasanya sudah mempunyai kesepakatan harga dengan pedagang
tempat mereka kulakan, sehingga mereka tinggal mengambil
keuntungan dari harga jual yang diberikan. Selain masalah harga, cepat
tidaknya barang dagangn laku terjual sebenarnya tergantung pula dari
banyak sedik itnya pembeli. Ada saat-saat dimana barang dagangan
mereka lebih cepat laku, seperti pada saat musim liburan. Begitu pula
dengan bakul jajanan, jika musim liburan sekolah mereka dapat
menjual dagangannya lebih banyak, dan biasanya pendapatan pun
lebih banyak yaitu dua kali lipat dari hari biasa. Namun demikian,
tidak jarang pula barang dagangan mereka lambat laku bahkan
mungkin tidak laku. Maka dari itulah, untuk mencegah kerugian
karena barang dagangan cepat membusuk (seperti sayuran dan jajanan,
ataupun barang yang tidak dpat tahan lama) maka bakul harus
membanting harga, tetapi jika ada yang mau menjualkannya maka
barang dagangan tersebut akan dititipkan pada pedagang lain, namun
sering kali bakul harus berkeliling pasar untuk menawarkan barang
dagangannya. Apa bila barang dagangan yang tidak laku tersebut
65
masih dapat diolah menjadi makanan jadi, maka barang dagangan
tersebut akan dibawa pulang ke rumah dan diolah sendiri untuk di
makan sendiri. Bagi mereka, hal ini juga dianggap sebagai bentuk
keuntungan dari usaha mereka.
Dalam pemasaran barang dagangan, mereka tidak pernah
mempermasalahkan tentang persaingan antar sesama bakul. Walaupun
mereka tidak pernah membuat kesepakatan bersama mengenai harga
barang yang dijual, tetapi harga jual yang mereka tawarkan biasanya
hanya berbeda sekitar Rp100,00-Rp200,00 setiap barangnya, dan hal
tersebut bagi mereka sudah dianggap sebagai hal yang wajar. Di
samping itu, diantara mereka sudah ada saling pengertian sebagai
sesama bakul.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa bakul sebagai pedagang
berskala kecil mempunyai pendapatan yang bervariasi
setiap harinya, tergantung ramai atau sepinya pembeli. Padahal
pengeluaran mereka terus-menerus dalam setiap harinya. Dengan
demikian, walaupun pendapatan yang mereka peroleh terbatas, namun
ternyata mereka dapat membantu memenuhi kebutuhan harian rumah
tangga.
4.2 Kehidupan Enam Orang Wanita Bakul
Bakul kecil yang berjualan di Pasar Pucok cukup banyak
jumlahnya, tetapi yang berasal dari Desa Sumber Bahagia ada kurang lebih
66
dua puluh orang. Seperti wanita pedesaan Jawa pada umumnya, mereka juga
ikut membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan berdagang.
Mereka berjualan dengan menggunakan karung atau pun terpal untuk
mengalasi barang dagangannya, kecuali mereka yang menjual makanan,
mereka menggunakan tampah atau baskom untuk tempat dagangannya.
Mereka setiap hari dengan sabar menunggui barang dagangannya di Pasar
Pucok.
Sebagai contoh kasus, disini penulis memaparkan sebagian kecil
dari gambaran kehidupan enam orang wanita bakul dari desa Sumber
Bahagia. Dari studi kasus ini diharapkan dapat diungkapkan secara lebih
mendalam faktor- faktor yang menyebabkan mereka terlibat dalam
perdagangan. Berikut ini pemaparan tentang keenam wanita bakul yang
diambil sebagai responden.
4.2.1 Bu Joyo
Bu Joyo merupakan salah satu responden yang berjualan
tempe, dan ia merupakan responden tertua dari enam responden
dalam penelitian ini. Walaupun usianya sudah mencapai 65 tahun,
tetapi ia masih aktif berjualan, ke sawah, ke ladang, mencarikan
rumput untuk kambing-kanbingnya, maupun mengerjakan rutinitas
rumah tangga lainnya. Selintas terlihat bahwa apa yang dikerjakan
tidak selaras dengan usianya yang sudah tua. Dalam satu hari kurang
lebih selama 12 jam lamanya ia bekerja, mulai dari mengolah
67
kedelai, menjual ke pasar, mengurus rumah tangga sampai pergi ke
ladang. Semua aktivitas dan rutinitas itu ia kerjakan dengan senang
hati dan tanpa mengeluh.
Wanita yang berasal dari desa Sumber Bahagia ini
mempunyai tujuh orang anak, lima orang sudah menikah sedangkan
yang dua orang masih bersekolah yaitu STM dan SMP. Walaupun
Bu Joyo tidak pernah mengenyam bangku pendidikan, namun
hampir semua anaknya mengenyam pendidikan sampai bangku
SMA, kecuali yang masih bungsu dan sekarang masih duduk di
bangku SMP. Bu Joyo dengan susah payah menyekola hkan anak-
anaknya karena, menurutnya pendidikan merupakan hal yang sangat
penting.
Bu Joyo mulai berdagang sejak usia 15 tahun. Pada waktu
itu, ia masih berjualan gula, beras, tempe dan sebagainya termasuk
juga bumbu-bumbu dapur. Di usia itu Bu Joyo hanya membantu
ibunya. Namun karena terus- menerus rugi, akhirnya ia memutuskan
untuk berjualan sendiri. Awal mula berjualan sendiri Bu Joyo
berjualan tempe, sama seperti orang tuanya. Sebagai modal awal, ia
meminta bantuan oarng tuanya. Ia mengambil dagangan orang
tuanya, menjualkannya dan mengambil untung sedikit demi sedikit
dan hasil itu kemudian digunakan untuk membuka usaha sendiri
yang bertahan sampai sekarang ini. Bu Joyo bekerja memproses
kedelai mulai pukul 04.30 pagi hari, kemudian sambil merebus
68
kedelai ia juga mengerjakan pekerjaan rumah sampai pukul 06.30,
lalu setelah itu baru Bu Joyo berangkat ke Pasar Pucok untuk
menjual tempe yang sudah jadi, yang sudah di buat dua hari
sebelumnya. Dalam menjual tempe ini, biasanya ia hanya menjual
dalam jumlah yang tidak terlalu banyak, karena biasanya tempe hasil
buatannya seringkali sudah dibeli oleh tetangganya atau bakul-bakul
lain di rumah. Bu Joyo akan segera pulang apa bila dagangan yang
dibawanya sudah terjual habis, biasanya berkisar antara jam 11.00-
11.30. Sering kali Bu Joyo pulang dengan membawa belanjaan
kebutuhan sehari- hari yang dibelinya di pasar. Kemudian setelah itu,
ia kembali bekerja mengolah kedelai sampai pada pembungkusan,
baru kemudian disimpan dan menjadi tempe yang siap dijual
kembali. Dalam membungkusnya, ia dibantu oleh anak perempuan
dan menantunya.
Sekarang, dalam satu hari Bu Joyo hanya membutuhkan
kedelai sebanyak 40 kg untuk membuat tempe. Hal ini disebabkan
sekarang sudah banyak penduduk di Desa Sumber Bahagia yang
membuat dan menjual tempe. Dengan menurunnya jumlah tempe
yang dijualnya, maka pendapatan yang diperoleh Bu Joyo menurun
pula. Sekarang dalam satu hari, ia hanya memperoleh uang sekitar
Rp 200.000,00. Berbeda dengan dulu, sebelum banyak pedegang
tempe. Pendapatan yang diperolehnya bisa lebih besar, yaitu sekitar
kurang lebih Rp400.000,00.
69
Suami Bu Joyo adalah seorang petani, dan tidak memiliki
penghasilan yang tetap. Itulah alasan mengapa Bu Joyo bertahan
dengan pekerjaannya sebagai seorang pedagang tempe, karena jika
tidak kebutuhan hidupnya akan diperoleh dari mana. Hasil dari
kebun tidak dapat diandalkan, jika ada hasilnya pun itu cuma cukup
untuk biaya sekolah dua orang anaknya. Pak Joyo tidak memiliki
kebun karet seperti yang lainnya, alasan Pak Joyo tidak menanam
karet karena lahan yang dia punya cuma sedikit dan tidak luas, dan
lahan itu tiap tahun ditanami padi. Jadi kalau dia menanam karet
maka dia tidak bisa menanam padi,untunglah apa yang dimiliki
keluarga Pak Joyo, baik rumah maupun tanah adalah miliknya
pribadi yang sah.
Namun demikian, walaupun mereka hidup dengan pas-pasan
tetapi mereka tetap bahagia. Bu Joyo iklas membantu suaminya
mencari nafkah dan bekerja dengan senang hati, karena berdagang
merupakan pekerjaan yang biasa dilakukannya sejak muda, sejak ia
masih tinggal di Salatiga. Dengan penghasilan yang tidak begitu
banyak, berkisar antara Rp40.000,00-Rp50.000,00 pada waktu itu,
dan menurutnya cukup membantu perekonomian rumah tangga. Oleh
karena itu pekerjaan ini tetap dilakukannya, di samping itu dengan
berdagang ia dapat membantu memenuhi kebutuhan harian lainnya,
Jadi menurut Bu Joyo, jika orang ingin mendapatkan sesuatu maka ia
70
harus bekerja. Jika tidak bekerja, maka ia tidak akan mendapatkan
apa-apa.
4.2.2 Bu Daonah
Pengetahuan lebih mendalam tentang kehidupan bakul dapat
dilihat dalam hal- hal yang sungguh di luar dugaan. Pada dasarnya
keberadaan mereka sebagai wanita bakul di desa bukanlah wanita yang
pantas disebut bodoh atau terbelakang. Misalnya Bu Daonah, ibu dari
tiga orang anak ini berhasil menghantarkan dua orang anaknya menjadi
sarjana.
Bu Sarimpi berusia 55 tahun dan berasal dari Wonosobo.
Pekerjaan sebagai bakul sudah dilakukannya sejak masih tinggal di
Wonosobo. Namun pada saat itu, sebelum ia menikah, ia masih
berjualan tempe bersama orang tuanya. Namun setelah ia menikah
dengan Pak Suryo yang berasal dari Banjarnegara, kemudian ia pindah
dan bertransmigrasi ke Sumatra tepatnya di desa yang sampai saat ini
dihuninya yaitu desa Sumber Bahagia, dan untuk sementara waktu ia
berhenti berjualan. Ketika anak-anaknya mulai besar dan dirasa sudah
dapat ditinggal, kemudian ia mulai berjualan kembali sekitar tahun
1986. Hanya dengan bermodalkan Rp15.000,00 akhirnya Bu Daonah
memutuskan untuk berjualan bahan-bahan mentan seperti, beras, telur,
gula. ikan asin, bumbu dapur dan sayuran. Kesemua barang dagangan
tersebut diperoleh dari kulakan pada tengkulak yang ada di Pasar
71
Pucok. Adapun alasan Bu Daonah berganti jenis dagangan dari
berjualan tempe berpindah menjadi berjualan bahan-bahan mentah,
karena menurutnya untuk membuat tempe memerlukan tenaga yang
cukup banyak serta waktu yang lama, dan dia tidak dapat lagi pergi ke
sawah untuk membantu suaminya, padahal sawah yang seluas kurang
lebih 1.000 m2 tersebut harus selalu diolah setiap harinya.
Suami Bu Daonah hanyalah seorang petani dan tidak memiliki
pekerjaan serta penghasilan lain selain dari hasil sawahnya, mereka
sama-sama tidak mengenyam bangku pendidikan jadi mereka merasa
tidak memeliki modal untuk mencari pekerjaan di kota. Dari hasil
sawah yang dikerjakan oleh pak Suryo hasilnya tidak begitu banyak,
dan terkadang sawahnya harus gagal panen. Jadi hasil sawah tersebut
dikhususkan mereka untuk biaya sekolah, dan untuk makan sehari- hari
diambil dari hasil berdagang sang istri, dengan pendapatan yang cukup
lumayan, kurang lebih Rp300.000,00 per hari. Itulah alasan mengapa
Bu Daonah harus tetap bertahan berdagang sampai sekarang, karena
jika ia tidak berdagang maka keluarganya harus makan apa. Namun
mereka tetap beruntung karena lahan sawah dan pekarangan serta
rumah yang mereka tempati adalah milik pribadi, mereka tidak perlu
menyewa lagi. Itu semua mereka dapatkan dari pemerintah semenjak
pertama kali datang, karena mereka adalah keluarga transmigran.
Dahulu Bu Daonah merupakan seorang bakul bahan mentah yang
cukup besar. Ia tidak hanya menjual barang dagangannya ke Pasar
72
Pucok saja, tetapi juga menjualnya setiap kali ada kalangan (pasar
mingguan). Di samping berjualan, sering kali ia juga membelanjakan
bahan-bahan mentah lainnya untuk kemudian dijual kembali. Oleh
karena itu, waktu yang dipergunakan dalam melakukan aktivitas
perdagangan cukup lama. Kesemua usaha tersebut ia lakukan karena
pada waktu itu anak-anaknya masih kecil serta membutuhkan banyak
biaya, di samping kebutuhan harian rumah tangga dan sebagainya,
yang kesemuanya memerlukan biaya yang cukup banyak, bahkan
kadang-kadang harus diperoleh dengan cepat. Sementara hasil sawah
yang diperoleh terkadang sudah habis digunakan untuk pengolahan
sawah selanjutnya, seperti membayar orang-orang yang membantu
menanam padi, membajak, maupun untuk biaya memberi makan dan
minum orang-orang tersebut. Oleh sebab itulah, kemudian ia
berdagang untuk membantu memenuhi tambahan kebutuhan rumah
tangga tersebut.
Setelah anak-anaknya dewasa da n selesai sekolah dan ada yang
sudah menjadi sarjana, kemudian ia berhenti berjualan dalam skala
besar, karena sudah tidak lagi membiayai anak-anaknya yang sudah
tamat sekolah dan bahkan sudah ada yang bekeja. Sekarang, berjualan
bagi Bu Daonah merupakan salah satu aktivitas sehari-hari yang biasa
dilakukannya. Selain dapat untuk menambah kebutuhan harian rumah
tangga, juga dapat untuk menambah wawasan, di samping itu dengan
pergi ke pasar dapat menghilangkan kejenuhan dari aktivitas rumah
73
tangga. Namun satu hal yang terpenting menurut Bu Daonah adalah,
sebenarnya antara sawah dan bakul merupakan dua hal yang berkaitan
dalam membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga.
4.2.3 Bu Roidah
Bu Roidah dan suaminya bukanlah penduduk asli Desa Sumber
Bahagia yang mulanya berangkat menjadi transmigran. Bu Roidah dan
suaminya berasal dari desa Barito. Setelah mereka menikah, kemudian
membeli tanah dan pindah ke Desa Sumber Bahagia pada tahun 1990,
jadi rumah yang ditempatinya sekarang ini sudah sah menjadi miliknya.
Sebelum pindah Bu Roidah sudah berjualan, dan ketika pindah pun Bu
Roidah tetap berjualan. Dia berjualan jajanan (makanan kecil) di Pasar
Pucok sejak tahun 1986, sebelum pindah ke Desa Sumber Bahagia pun
ia sudah berjualan di pasar tersebut. Bu Roidah sekarang berumur 52
tahun, ia memiliki empat orang anak, dan dari keempat anaknya itu
sekarang sudah menikah semua. Sampai saat ini suami Bu Roidah tidak
memiliki pekerjaan apa-apa, mereka pun tidak memiliki ladang atau
sawah yang bisa diolah untuk menambah penghasilan, karena ketika
pindah, uang yang mereka punya hanya cukup untuk membeli rumah
saja. Maka dari itu untuk dapat menyambung hidup dan makan setiap
hari Bu Roidah rela berjualan jajanan. Selain sebagai istri, Bu Roidah
merupakan tulang punggung keluarga. Untungnya ia hanya membiayai
74
hidup dirinya sendiri serta suaminya, karena anak-anak mereka sudah
tidak lagi bergantung padanya melainkan pada suami mereka masing-
masing, karena tidak memiliki pekerjaan tetap, maka suami Bu Roidah
pun hanya bekerja serabutan, ia bekerja apabila ada tetangganya yang
meminta bantuannya, seperti nukang (menjadi tukang), membelikan
kayu, dan lainnya (apapun yang diminta tetangganya ia lakukan), itu pun
tidak setiap hari ada yang membutuhkan tenaganya, namun demikian
menurutnya itu lumayan untuk tambah-tambah uang belanja.
Selain berjualan di Pasar Pucok, Bu Roidah juga menjual
jajanannya di desa. Ia berkeliling desa menawarkan jajanannya pada
penduduk setempat, itu ia lakukan dua kali dalam seminggu, karena bila
setiap hari ia takut orang akan bosan dan tidak laku. Bukan hasil yang ia
dapat tapi malah rugi. Bu Roidah memilih berjualan jajanan karena
modal yang ia punya hanya cukup untuk membuka usaha itu saja. Uang
yang dimiliki sudah habis untuk membeli rumah yang sekarang ini ia
tempati bersama suami. Sebetulnya ia ingin sekali berganti usaha, tapi
apa boleh buat, ia hanya mampu berjualan itu saja. Namun demikian Bu
Roidah tetap bersemangat dan tidak mengeluh, karena menurutnya
memang itu jalan hidup yang harus ia lalui bersama suami.
Ibu berputera empat orang ini berpenampilan tenang dan agak
pendiam dalam kesehariannya. Namun hal ini tidak mengurangi lakunya
dagangan yang ia jual. Dalam satu hari ia dapat memperoleh uang antara
Rp200.000,00-Rp250.000,00 dari hasil berjualan tersebut Bu Roidah
75
mendapatkan keuntungan kurang lebih Rp50.000,00 dan biasanya
pendapatan tersebut langsung dibelanjakan bahan-bahan kebutuhan
untuk dagangan yang akan dijual berikutnya serta kebutuhan harian. Jika
pendapatan yang diperolehnya berlebih, maka ia akan belanja lebih
banyak dari biasanya, dan ia simpan sebagai persediaan. Dalam
mengolahnya Bu Roidah tidak jarang dibantu juga oleh suami. Apalagi
bila akan berjualan di pasar, ia harus bangun lebih awal karena pukul
06.30 sudah harus berangkat. Berbeda ketika ia akan berjualan keliling
desa, karena berangkatnya siang hari maka ia tidak perlu tergesa-gesa
dalam pengolahan, dan ia pun memiliki sedikit waktu untuk istirahat.
Anak-anak Bu Roidah semuanya mengenyam bangku pendidikan
walaupun hanya sampai SMP. Ia tetap bersyukur walaupun anak-
anaknya tidak sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi. Menurutnya itu
lumayan dari pada yang tidak pernah sekolah sama sekali.Tidak terlepas
dari segala usaha yang dilakukan Bu Roidah, sebenarnya usaha tersebut
tidak terlepas dari prinsip yang dimilikinya. Ia berprinsip bahwa di
dalam rumah tangga, baik pria maupun wanita (suami dan istri) sama-
sama mempunyai tanggung jawab terhadap rumah tangga. Oleh karena
itu, mereka harus bersama-sama untuk saling membantu ba ik di dalam
mengolah rumah tangga maupun di dalam memenuhi kebutuhan hidup
keluarga.
4.2.4 Bu Wastini
76
Jam sudah menunjukan pukul 11.00 ketika Bu Wastini di temui
dirumahnya. Ia baru pulang dari pasar, katanya:
“ Nyuwun ngapunten nggih mbak, kulo seg wangsul saking peken amargi
rampung dodolan, kulo langsung belonjo kebutuhan” ( maaf mbak, saya
baru pulang dari pasar, karena setelah selesai berjualan saya langsung
belanja kebutuhan).
Ibu berbadan gemuk tetapi ramah dan supel ini merupakan
responden termuda, ia berusia 41 tahun. Ibu dari enam orang anak ini
berjualan sayuran di Pasar Pucok. Hal yang mengagumkan dari ibu ini
adalah walaupun tidak berpendidikan, namu ia sangat mengutamakan
pendidikan bagi anak-anaknya. Bahkan anak yang tertua sudah menjadi
seorang guru SD di desa Gunung Meraksa. Sedangkan yang lainnya masih
duduk di bangku SMU serta SD.
Berdagang bagi Bu Wastini merupakan usaha yang sudah lama
dilakukannya. Sebelum berjualan sayuran, ia berjualan tape ketan dan ubi,
serta menjualkan atau memb elikan barang kebutuhan harian rumah tangga
tetangganya. Pekerjaan itu kemudian terhenti untuk sementara waktu
karena melahirkan dan d i samping itu juga karena ibu mertua yang biasa
mengasuh anak-anaknya jika ia sedang berjualan, telah meninggal. Jadi ia
harus mengasuh dan merawat anak-anaknya sendiri.
Suami Bu Wastini adalah seorang buruh, ia bekerja mengurus kebun
karet milik kepala desa Sumber Bahagia yang bernama Ir. Didik. Dari
buruhnya itu suami Bu Wastini memperoleh setengah dari hasil yang
77
didapat setiap bulan, dan yang setengahnya lagi diberikan kepada pemilik
ladang. Hasil yang diperolehnya setiap bulan ia gunakan untuk membiayai
sekolah anak-anaknya. Itu sebabnya mengapa Bu Wastini memilih tetap
berjualan sayuran, karena penghasilan suami tidak memungkinkan untuk
mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. “ Dapur tidak akan keluar asap
kalau saya tidak ikut cari uang, mbak. Bagi saya tidak apa-apa hidup
prihatin, yang penting adalah anak-anak saya bisa sekolah dan hidup
senang nantinya. Orang tua kan selalu mengalah demi anak-anaknya”, ujar
Bu Wastini dengan tegar. Mereka tidak memiliki ladang sendiri, yang
mereka miliki adalah rumah yang sekarang ini ditempati dan sedikit
pekarangan di belakang rumah yang hanya ¼ ha. Walaupun tidak luas tapi
tanah dan rumah itu merupakan milik mereka pribadi dengan surat
kepemilikan yang sah. Pada lahan pekarangan yang tidak luas itu, mereka
menanam sayuran dan pisang serta rambutan. Bila saat panen hasil kebun
tersebut mereka jual sendiri ke pasar, walaupun hasilnya tidak seberapa
tapi lumayan untuk tambah-tambah uang belanja dan modal berdagang.
Sayuran lain yang bukan hasil kebun sendiri itu ia peroleh dari membeli
pada tengkulak yang datang dari desa lain yaitu Danau Ranau dan Liwa,
karena memang hanya disanalah sayuran dapat hidup dengan subur.
Suyuran itu berupa sawi, kol, buncis,wortel, dan lainnya. Bu Wastini tidak
pernah membeli dalam jumlah yang terlalu banyak, karena keterbatasan
modal. Ia membeli secukupnya, dengan uang yang dimiliki.
78
Dari menjual sayuran Bu Wastini tidak mengambil keuntungan
yang banyak, yang penting baginya adalah dagangannya terjual habis dan
tidak rugi karena busuk. Sayuran bukanlah barang yang dapat bertahan
lama, jadi setiap hari Bu Wastini harus berusaha bagaimana caranya
supaya dagangannya tidak bersisa. Biasanya bila sampai siang hari dan
sudah waktunya untuk pulang dagangannya masih tersisa, maka ia
menjualnya di rumah, kadang ia pun membawa dagangannya keliling desa
. Dalam sehari Bu Wastini biasanya mendapatkan uang antara
Rp300.000,00-Rp350.000,00. Itulah gambaran keuletan dan kerja keras
seorang wanita yang berjuang untuk keluarganya.
Menurut Bu Wastini, wanita bekerja merupakan hal yang wajar,
apalagi hal itu dilakukannya untuk kepentingan rumah tangga. Hal tersebut
juga berlaku pada dirinya. Sejak kecil ia sudah biasa bekerja, karena orang
tuanya bukanlah orang yang mampu, sehingga sebagai anak pertama ia
harus bekerja membantu orang tuanya, itu ia lakukan sejak ia masih sangat
muda, dengan demikian ia banyak sekali memdapat pengalaman tentang
berjualan. Mulai dari berjualan ketela, tape, daun pisang, gori, atau bahan-
bahan mentah yang dititipkan oleh tetangganya untuk dijualkan. Kesemua
itu dilakukannya untuk membantu ekonomi rumah tangga, karena
penghasilan yang didapat dari bekerja sebagai buruh yang dilakukan
suaminya tidaklah cukup. Demikianlah Bu Wastini, walaupun hanya
seorang wanita desa yang sederhana dan lugu, tetapi merupakan wanita
79
yang sangat ulet dalam bekerja demi membantu kebutuhan ekonomi rumah
tangga.
4.2.5 Bu Otang
Bu Otang berusia 50 tahun dan berasal dari Bandung. Ia dan
suaminya pindah ke Desa Sumber Bahagia pada Tahun 1991, mereka
membeli tanah pekarangan dan sawah milik warga yang hendak di jual
pada waktu itu. Sawahnya seluas 1 ha, sedangkan tanah pekarangannya
seluas ¼ ha, yang sekarang ini sudah sah menjadi miliknya. Suami Bu
Otang bekerja mengerjakan sawah miliknya sendiri, sedangkan Bu
Otang membantu ekonomi rumah tangga dengan cara berjualan kecil-
kecilan. Dengan modal yang sedikit ia mencoba mencari keuntungan
dengan menjual buah pisang, dan hasilnya pun lumayan. Namun,
kadang-kadang ia juga dititipin dagangan lain hasil kebun sendiri oleh
tetangganya, seperti daun ubi, pepaya, kangkung dan lain- lain. Dari situ
pun Bu Otang mendapatkan sedikit keuntungan. Bila dagangannya tidak
laku, biasanya ia tawarkan kepada bakul-bakul lainnya atau di bawa
pulang dan bila masih bagus akan dijual kembali keesokan harinya. Dari
hasil berjualan pisang tersebut, sekarang dalam satu hari ia dapat
memperoleh uang antara Rp250.000,00- Rp300.000,00.
80
Bu Otang berjualan di Pasar Pucok sudah sekitar 14 tahun
lamanya. Namun pengalaman berjualan sudah dialaminya selama
puluhan tahun, karena selama di Bandung ia sudah berjualan ikan di
pasar tempat ia tinggal dulu. Sebagai bakul walik dasar, ia harus pergi
ke pasar pagi-pagi sekitar pukul 05.30 untuk menunggu bakul-bakul
pisang datang dan kemudian membeli atau mengambilnya terlebih
dahulu dan di bayar setelah dagangannya laku. Pada pukul 11.00 barulah
ia pulang dengan membawa be lanja kebutuhan sehari- hari rumah tangga.
Bu Otang selain mengurus rumah tangga dan bakul, ia juga
membantu suami mengolah sawah. Walaupun demikian, semua
pekerjaan tersebut dikerjakannya dengan senang hati, karena menurutnya
semua pekerjaan tersebut merup akan tugas yang harus dikerjakannya.
Adapun untuk biaya sekolah ke tiga anak-anaknya mereka kumpulkan
dari hasil panenan setip tahun yang ketiga-tiganya masih duduk di
bangku SMA.
Bu Otang mengambil keputusan untuk berdagang karena,
penghasilan suami dari mengolah sawah tidak dapat diandalkan,
sedangkan anak-anaknya butuh biaya untuk sekolah, dan setiap harinya
juga butuh makan supaya dapat terus bekerja. Menurutnya, berdagang
adalah pekerjaan yang sudah biasa ia lakukan, dan pendapatan yang di
peroleh juga lumayan untuk tambahan kebutuhan harian dan bisa juga
untuk membelikan seragam sekolah anak-anaknya.
81
4.2.6 Bu Tarso
Bu Tarso berjualan di Pasar Pucok juga sudah puluhan tahun
lamanya. Ibu yang membunyai 6 orang anak ini juga berjualan tempe.
Bu Tarso berjualan tempe sudah sejak sebelum menikah, dan setelah
menikah pun ia tetap berjualan tempe. Selain berjualan tempe, ia juga
membantu suami dan anaknya mengolah sawah. Kedua anaknya sudah
menikah, dan untuk membantu ekonomi keluarga anak-anaknya, suami
Bu Tarso mengajaknya untuk ikut mengolah sawah yang dimilikinya itu,
dan hasil yang diperoleh kemudian dibagi tiga. Sawah yang dimiliki Bu
Tarso seluas 2,5 ha, serta tanah pkarangan seluas ¼ ha. Itu semua milik
pribadi yang sah.
Ibu dengan badan gemuk serta rambut yang mulai memutih ini
selalu kelihan gembira bila berangkat dan pulang dari pasar, walaupun
beban berat ditanggung dipundaknya. Ia sekarang sudah berusia 57
tahun. Bu Tarso mencoba mencari peruntungan dengan berdagang,
karena penghasilan yang diperoleh suami tidak tetap, dan harus dibagi
tiga. Ia setiap hari berangkat ke pasar pukul 06.00 dan pulang pada pukul
10.30.Berbeda dengan Bu Joyo, Bu Tarso menjual tempe dengan harga
lebih mahal, selain ukurannya yang lebih besar, ia juga mengutamakan
mutu ya ng baik dari hasil produksinya. Hal tersebut dibedakan dalam
pemberian ragi sewaktu pembuatan tempe. Biasanya para bakul tempe
yang ada di Desa Sumber Bahagia hanya menggunakan ragi yang
dibelinya dengan harga Rp4.000,00 per kantungnya, sedangkan Bu
82
Tarso lebih suka memakai ragi yang dibelinya dengan harga Rp8.000,00
per kantungnya (orang menyebutnya ragi super). Di lihat dari hasil yang
diperoleh, tempe milik Bu Tarso memang terlihat lebih putih, dan tidak
cepat busuk. Sedangkan untuk pembelinya, kebanyakan adalah bakul-
bakul yang kemudian dijual lagi.
Kegiatan berdagang Bu Tarso ini, ternyata sangat didukung oleh
keluarganya. Hal ini tampak pada saat melaksanakan proses pengolahan
kedelai, karena hampir seluruh anggota keluarganya ikut dalam proses
pembutan tempe. Pada saat membantu dalam proses pembuatan tempe
tersebut, di dalam keluarganya ada pembagian kerja. Untuk memcuci
kedelai dilakukan oleh dua orang anaknya, kemudian yang merebusnya
adalah Bu Tarso. Setelah matang dan diberi ragi, kemudian dibungkus
oleh Bu Tarso, suaminya serta anak-anaknya. Biasanya pada pukul 15.00
semua kegiatan tersebut sudah selesai. Untuk aktivitas rumah tangga
seperti memasak, memcuci, membersihkan rumah, serta kegiatan rumah
tangga lainnya semuanya dikerjakan oleh Bu Tarso sambil mengolah
kedelai, tetapi ketika ke pasar, aktivitas tersebut digantikan oleh
anaknya.
Pekerjaan Bu Tarso sebagai bakul tempe, ternyata sangat
membantu dalam memenuhi kebutuhan harian ruamah tangga mereka.
Dalam satu hari, ia dapat memperoleh uang antara Rp250.000,00-
Rp300.000,00 ,oleh sebab itu Bu Tarso tetap bertahan dengan
pekerjaannya sebagai bakul tempe, selain untuk mencukupi kebutuhan
83
ekonomi sehari- hari, ia juga masih harus membiayai ke empat orang
anaknya yang masih tinggal bersamanya, ka rena belum menikah dan ada
yang masih sekolah. Baginya bekerja merupakan aktivitas yang sudah
biasa dilakukan, selain itu hasil yang di peroleh dapat digunakan untuk
membantu keperluan rumah tangga sehari-hari.
3.3 Rangkuman
Dari uraian tentang profil keenam wanita bakul di atas, dapat disimpulkan
dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Motivasi mereka menjadi wanita bakul adalah untuk membantu memenuhi
kebutuhan harian rumah tangga, dan sedikit meringankan beban suami
mereka.
2. Pendapatan para wanita bakul tersebut sangat beragam, dan terkadang lebih
besar dibanding pendapatan suami.
3. Sistem perdagangan yang mereka lakukan sangat tradisional. Pada umumnya
mereka tidak memikirkan berapa keuntungan yang didapat, tetapi bagaimana
dagangan mereka habis terjual, dan mereka tidak rugi. Dengan terjualnya
semua degangan tersebut berarti mereka telah mendapatkan uang yang dapat
digunakan untuk membeli dan mencukupi kebutuhan hari itu serta modal
untuk berdagang keesokan harinya. Pada intinya dalam berdagang mereka
tidak begitu memiliki sistem perdagangan yang cukup berarti
4. Kepuasan kerja yang mereka rasakan sebagai wanita bakul adalah, ketika
mereka dapat membantu suaminya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan
84
harian rumah tangga, juga dalam hal pengambilan keputusan. Dalam hal
pengambilan keputusan mereka memiliki wewenang untuk dapat memutuskan
segala sesuatu yang berhubungan dengan pengeluaran harian rumah tangga.
Para wanita itu tidak lagi memikirkan tentang pembagian kerja yang
sebagai mana layaknya, yang ada da lam benak mereka adalah bagaimana
mereka dapat bersama-sama bekerja, dan mencari nafkah untuk kelangsungan
hidup dan masa depan anak. Itulah ga mbaran wanita yang hidup Wanita
Bakul, dengan segala macam rutinitasnya. Hal ini dapat dikatakan sebagai
karakteristik wanita bakul yang berbeda dengan karakteristik ibu rumah
tangga biasa.
Ada beberapa hal yang tercakup dalam konsep kebudayaan, para ahli
ilmu sosial mengartikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang sangat
luas,yaitu seluruh total dari pikiran,karya, dan hasil karya manusia yang tidak
berakar kepada nalurinya, dan itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah
suatu proses belajar. Konsep itu adalah amat luas karena, meliputi hampir
seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya (Koentjaraningrat,2000:1-2).
Begitu pula halnya dengan budaya bakul. Aktivitas para wanita bakul yang
diteliti ternyata berbeda dengan aktivitas para wanita yang berprofesi bukan
sebagai bakul dianggap sebagai suatu budaya bakul. Wujud aktiv itas yang
berbeda itu di antaranya adalah prilaku, sistem pengetahuan, organisasi
kemasyarakatan, dan paling utama adalah mata pencaharian yang disebut
dengan istilah bakul.
85
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari uraian yang dikemukakan di atas, telah memberikan banyak
gambaran mengenai peran kaum wanita di Desa Sumber Bahagia yang terlibat
dalam kegiatan perdagangan berskala kecil, yang disebut dengan istilah
bakul, yang dianggap memiliki folk tersendiri. Secara umum, bakul dapat
diartikan sebagai orang yang menjual dagangan dalam skala kecil-kecilan.
Para bakul ini menjual berbagai macam barang mulai dari bahan mentah
sampai makanan jadi. Peranan sebagai bakul mereka pilih tidak lain untuk
mewujudkan tuntutan hidup atau membantu memenuhi kebutuhan keluarga
mereka.
Secara lebih rinci, penulis menyimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi hidup wanita bakul di Desa Sumber Bahagia dalam aktivitas ruma h
tangga. Dalam aktivitas rumah tangga para wanita bakul ini menunjukkan
berperan dan bertanggung jawab mereka dalam menyediakan makanan,
bertanggung jawab mengurus pendidikan anak serta mengurus suami
ditengah-tengah kesibukannya mejadi seorang wanita bakul.
2. Tradisi hidup wanita bakul di Desa Sumber Bahagia dalam aktivitas
perdagangan. Wanita bakul memiliki peran cukup penting dalam hal
perdagangan itu sendiri. Dalam perdagangan mereka bertanggung jawab
atas hal yang berhubungan dengan pemilihan produk, modal, pelanggan,
86
serta keamanan di dalam aktivitas perdagangan. Hal inilah yang
membedakan folk wanita bakul dengan folk ibu rumah tangga biasa.
5.2 Saran
Penelitian ini hanya membahas mengenai tradisi wanita bakul dalam
aktivitas rumah tangga dan perdagangan. Penelitian ini diharapkan dapat
dikembangkan lebih luas oleh peneliti selanjutnya. Peneliti berikut dapat
mengunakan teori dan sudut pandang yang berbeda seperti masalah gender
yang dialami oleh para wanita pedesaan, serta faktor latar belakang agama
para wanita bakul, ataupun permasalahan lainnya yang berhubungan dengan
wanita, sehingga hasil penelitian ini dijadikan acuan untuk penelitian
selanjutnya.
87
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan.1986.”Strategi Ekonomi Pedagang Kaki Lima,
Kasus-kasus orang Minang di Malioboro Yogyakarta”. Buletin
Antropologi.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
_______ . 1989. Wanita Bakul di Pedesaan Jawa. Yogyakarta : Pusat Penelitian
Kependudukan. Universitas Gajah Mada.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek.
Edisi revisi III. Jakarta : P.T. Rineka Cipta.
Budiman, Arif. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Danandjaja, James. 1984. Folklor Indonesia : Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Suparlan, Parsudi. 1984. Kemiskinan Di Perkotaan. Jakarta: Sinar Harapan dan
Yayasan Obor Indonesia.
Effendi, Djoehan. 1982. Masyarakat Petani dan Kebudayaan. Jakarta: CV
Rajawali.
Elip, Emilianus.1986. “Peranan Wanita Jawa pada Masyarakat Jawa”. Bulletin
Antropologi UGM : Yogykarta.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelitian kebudayaan:
Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Geertz, Hildred. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta : Grafis Press.
88
Kodiran, Hudayana B. 1990. Peranan Wanita Dalam Sawah Surjan. Yogyakarta:
Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta : Penerbit Balai Pustaka.
____________ . 2000. Kebudayan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kutanegara, Pande Mede.1989. Pedagang dan Perdagangan Di Jatinom.
Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
Komaruddin, P. 1974. Metode Penulisan Skripsi dan Tesis. Bandung : Angkasa.
Kountour, Ronny. 2003. Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis.
Jakarta : Penerbit PPN.
Soekanto, Soerjono. 1977. Perubahan-Perubahan Sosial dan Kebudayaan Dalam
Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Yayasan Penerbit UI.
Tim Penyusun. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Tjondronegoro, Soediono M.P. 1990. “Revisi Hijau dan Perubahan Sosial di
Pedesaan Jawa “, dalam Prisma. 2. Jakarta : LP3ES.
Wolf, Eric R. 1983. Petani : Suatu Tinjauan Antroplogis. Jakarta : rajawali Press.
LAMPIRAN
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA TERSTRUKTUR
1. Identitas Responden - Nama - Umur - Pendidikan - Status perkawinan - Jumlah anggota keluarga 2. Latar Belakang Responden - Daerah Asal - Awal mula berjualan - Pekerjaan yang pernah dilakukan sebelumnya - Sejarah hidup sampai akhirnya memilih untuk berdagang 3. Pola Pembagian Kerja - Bagaimana kegitan rutin sehari- hari dalam rumah tangga?
- Bagaimana pembagian waktu antara berdagang dengan pekerjan rumah tangga?
- jam mulai berdagang dan pulang berdagang - Bagaiman jika dagangan tidak habis terjual, apa yang dilakukan? - Siapa yang mengurus rumah tangga dan anak ketika sedang berdagang? - Apa kesibukan lain di luar rumah tangga dan berdagang? 4. Pemilihan Jenis Usaha - Jenis barang yang di jual? - Asal barang dan alasan memilih barang tersebut? - Bagaimana penentuan harganya? - Bagaimana perhitungan keuntungannya? 5. Pengetahuan Modal - Modal awal - Asal modal - Pendapatan sehari- hari dan penggunaannya - Pendapatan lain Selain berdagang 6. Pola Pemasaran - Lokasi daerah berdagang sekarang - Perilaku tawar menawar 7. Pandangan Terhadap Pekerjaan - Pandangan mereka tentang wanita yang bekerja di luar rumah - Awal mula atau alasan mereka berdagang - Motif- motif yang mempengaruhi mereka memilih jenis usaha dagang
8. Strategi Rumah Tangga - Berapa penghasilan suami, dan apa pekerjaannya?
- Uang di pegang dan di kelola oleh siapa dalam mengatur keuangan keluarga?
- Status kepemilikan rumah - Luas tanah/rumah
DAFTAR NAMA-NAMA NARA SUMBER
NAMA PEKERJAAN 1. Ir. Didiek Kepala Desa 2. Bpk. Hartono 3. Bpk. Nurdin Kepala Pasar 3. Bu Joyo Bakul 4. Bu Sarimpi Bakul 5. Bu Roidah Bakul 6. Bu Wastini Bakul 7. Bu Otang Bakul 8. Bu Tarso Bakul