TorMitigasiBencanaUGM

19
KERANGKA ACUAN LOMBA PENYUSUNAN ZONASI (TATA RUANG) WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS MITIGASI BENCANA UNIVERSITAS Regional Se-JAWA, BALI, dan KALIMANTAN Tema : “Keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu berdasarkan zonasi (tata ruang) yang berbasis mitigasi bencana dan partisipasi masyarakat” (batas akhir penerimaan tanggal 5 Desember 2008 dengan total hadiah Rp 9 juta) A. Dasar Pemikiran Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia pada umumnya dan pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan khususnya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, seperti transportasi industri, agribisnis, agroindustri, pariwisata, pemukiman, dan lain sebagainya. Disamping sumberdaya alamnya yang melimpah dan potensi yang dapat dikembangkan, wilayah pesisir Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan juga memiliki potensi bencana, baik bencana yang diakibatkan oleh alam, manusia, maupun kombinasi keduanya. Potensi bencana di wilayah pesisir antara lain ancaman abrasi/erosi pantai, tsunami, gelombang pasang, kenaikan muka air laut (sea level rise), banjir, sedimentasi dan pencemaran, dan sebagainya. Hal ini diperburuk dengan situasi dan kondisi yang cukup rentan akibat dari kompleksitas pesatnya pertumbuhan wilayah pesisir yang seringkali mengabaikan aspek-aspek mitigasi bencana alam dalam proses pembangunannya. Besarnya potensi bencana tersebut jika tidak disertai dengan tingkat kesiap-siagaan masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi bencana tersebut akan berakibat pada besarnya jumlah korban jiwa dan besarnya kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir. Kurangnya perencanaan yang berbasis mitigasi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut. 1

description

Mitigasi Bencana

Transcript of TorMitigasiBencanaUGM

Page 1: TorMitigasiBencanaUGM

KERANGKA ACUAN LOMBA PENYUSUNAN ZONASI (TATA RUANG) WILAYAH PESISIR

DAN PULAU-PULAU KECIL BERBASIS MITIGASI BENCANAUNIVERSITAS Regional Se-JAWA, BALI, dan KALIMANTAN

Tema :“Keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu berdasarkan

zonasi (tata ruang) yang berbasis mitigasi bencana dan partisipasi masyarakat”

(batas akhir penerimaan tanggal 5 Desember 2008 dengan total hadiah Rp 9 juta)

A. Dasar Pemikiran

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia pada umumnya dan pulau Jawa, Bali, dan

Kalimantan khususnya memiliki potensi ekonomi yang sangat besar, seperti transportasi

industri, agribisnis, agroindustri, pariwisata, pemukiman, dan lain sebagainya. Disamping

sumberdaya alamnya yang melimpah dan potensi yang dapat dikembangkan, wilayah pesisir

Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan juga memiliki potensi bencana, baik bencana yang

diakibatkan oleh alam, manusia, maupun kombinasi keduanya. Potensi bencana di wilayah

pesisir antara lain ancaman abrasi/erosi pantai, tsunami, gelombang pasang, kenaikan muka

air laut (sea level rise), banjir, sedimentasi dan pencemaran, dan sebagainya. Hal ini

diperburuk dengan situasi dan kondisi yang cukup rentan akibat dari kompleksitas pesatnya

pertumbuhan wilayah pesisir yang seringkali mengabaikan aspek-aspek mitigasi bencana

alam dalam proses pembangunannya.

Besarnya potensi bencana tersebut jika tidak disertai dengan tingkat kesiap-siagaan

masyarakat pesisir dalam mengantisipasi potensi bencana tersebut akan berakibat pada

besarnya jumlah korban jiwa dan besarnya kerusakan yang terjadi di wilayah pesisir.

Kurangnya perencanaan yang berbasis mitigasi merupakan salah satu faktor yang

menyebabkan hal tersebut.

Rencana Zonasi (tata ruang) berbasis mitigasi merupakan salah satu cara dalam upaya

mitigasi dampak kerusakan akibat bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang

dirasakan sangat penting dalam aspek pembangunan yang berbasis mitigasi bencana alam.

Dengan konsep zonasi (tata ruang) yang sudah memperhatikan aspek kebencanaan,

diharapkan dapat meminimalkan segala kerugian yang dapat ditimbulkan oleh bencana

tersebut. Untuk itu perlu diketahui informasi yang lebih rinci antara lain mengenai konsep

dasar tata ruang kawasan pesisir, kawasan-kawasan yang diperlukan dalam tata ruang

kawasan pesisir rawan bencana tsunami, dan penataan ruang yang sesuai dengan

karakteristik masyarakat lokal.

Rencana zonasi menurut UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap tiap

1

Page 2: TorMitigasiBencanaUGM

satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada Kawasan

perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta

kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin

UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 35d dan 39 mengamanatkan

pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan. UU No. 26 tahun

2007 tentang Penataan ruang penjelasan pasal 5 ayat (2) menjelaskan penataan ruang harus

memasukkan kawasan rawan bencana, lebih lanjut UU No. 27 tahun 2007 pasal 7 ayat 3

mengamanatkan Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan zonasi wilayah pesisir

yang berbasis mitigasi bencana.

Berkenaan hal tersebut Departemen Kelautan dan Perikanan, Subdirektorat Pengelolaan

Pesisir dan Lautan Terpadu mengadakan lomba penyusunan zonasi (tata ruang) wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana bagi mahasiswa. Melalui lomba ini

diharapkan masyarakat terpacu minatnya untuk menulis dan menuangkan ide tentang

penyusunan zonasi (tata ruang) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi

bencana.

B. Tujuan

1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat, mengenai pentingnya zonasi (tata ruang)

wilayah pesisir berbasis mitigasi bencana.

2. Mendorong dan memotivasi masyarakat dalam menyusun zonasi (tata ruang) wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil berbasis mitigasi bencana.

3. Pengembangan ilmu pengetahuan dan aplikasi kalangan akademisi, terutama di

bidang zonasi (tata ruang) wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu

berbasis mitigasi bencana dan partisipasi masyarakat.

C. Tema

“Keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara terpadu berdasarkan

zonasi (tata ruang) yang berbasis mitigasi bencana dan partisipasi masyarakat”

D. Materi

Sesuai dengan dasar pemikiran tersebut, materi Konsep Zonasi (Tata Ruang) wilayah pesisir

dan pulau-pulau kecil dapat disampaikan dalam bentuk :

1. Lokasi pengkajian yang meliputi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Pulau Jawa,

Bali, atau Kalimantan dengan batas administrasi minimal kecamatan;

2. Peta skala 1 : 10.000 (subzona), gambar, foto, dan animasi 3D.

2

Page 3: TorMitigasiBencanaUGM

Referensi terkait :

1. UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

2. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

3. UU. No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

4. PERMEN 16 tahun 2008 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil.

5. Pedoman Penyusunan Rencana Zonasi, DKP.

6. Pedoman Umum Identifikasi Data Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

DKP.

7. Summary Penyusunan Zonasi (Tata Ruang) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Berbasis Mitigasi Bencana.

Data penunjang point 1, 2, 3, 4, dan 7 tersebut dapat diperoleh dengan mengirimkan email ke

[email protected].

E. Ketentuan Lomba

Ketentuan Umum :

1. Lomba terbuka dan tidak dipungut biaya untuk mahasiswa (S1, S2, S3) baik

perseorangan maupun kelompok, ditunjukkan dengan fotokopi kartu mahasiswa di

wilayah regional Pulau Jawa, Bali, dan Kalimantan.

2. Batas akhir penerimaan naskah tanggal 5 Desember 2008 (sudah diterima panitia).

3. Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat serta tidak

melayani tanya jawab.

4. Karya lomba merupakan karya asli dari para peserta dan dapat

dipertanggungjawabkan. Para pemenang diwajibkan menandatangani surat

pernyataan keaslian hasil karya di atas meterai.

5. Panitia berhak menggunakan karya tersebut untuk keperluan publikasi dan promosi

pihak penyelenggara.

Ketentuan Teknis :

1. Setiap peserta dapat mengirimkan lebih dari satu karya dan peta diolah dengan

software ArcView/ArcGis.

2. Narasi keterangan (paper) maksimum 10 (sepuluh) halaman kwarto A4, dengan font

Arial 11 spasi 1,5.

3. Peta skala 1 : 10.000 (subzona), gambar, foto, dan animasi 3D.

4. Sistematika penulisan naskah :

1. Cover : Judul, Nama peneliti/tim peneliti, universitas

2. Latar Belakang

3

Page 4: TorMitigasiBencanaUGM

3. Tujuan

4. Metode Penelitian

5. Hasil

6. Kesimpulan

7. Daftar Pustaka

8. Lampiran Peta

5. Bahan dikirimkan dalam bentuk hard copy dan soft copy (dalam bentuk CD)

6. Naskah dikirim ke :

PANITIA LOMBA PENYUSUNAN ZONASI (TATA RUANG) WILAYAH PESISIR

DAN PULAU-PULAU KECIL SECARA TERPADU BERBASIS MITIGASI BENCANA

DAN PARTISIPASI MASYARAKAT

Universitas Gadjah Mada

Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM

Bulak Sumur C-16 Yogyakarta 55281

7. Contact Person

Nama : Arry Retnowati

Telephone : 081328222895

Email : [email protected], [email protected]

F. Penyelenggara

Lomba ini diselenggarakan atas kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan dengan

Pusat Studi Bencana (PSBA) Universitas Gadjah Mada

G. Juri

1. Dr. Ir. Subandono Diposaptono, M.Eng

2. Dr. Sudibyakto (UGM)

3. Dr. Sunarto (UGM)

4. Ir. Andy Siswanto, M.Arch, M.Sc, Ph.D

H. Nama Panitia

1. Raditya Jati, M.Si

2. Dyah Rahmawati Hisbaron, M.Sc

3. Arry Retnowati, S.Si

4. Utia Suarma, M.Sc.

I. Hadiah (Uang Tunai dan Sertifikat)

Pemenang I : Rp. 5.000.000,-

Pemenang II : Rp. 3.000.000,-

Pemenang III : Rp. 1.000.000,-

4

Page 5: TorMitigasiBencanaUGM

Membangun Budaya Mitigasi Bencana Berbasis Potensi Kearifan Lokal NiasTuesday, September 21, 2010By borokoa

Tiba-tiba saja Gunung Sinabung meletus. Siapa yang menyangka karena gunung itu tertidur sejak tahun 1600. Masyarakat setempat pun hampir tidak sempat bersiap, sebab tanda-tanda alam absen untuk diantisipasi. Aba-aba dini dari pemda minim, karena gejala hampir tidak terprediksi secara teknologi dan berlangsung dengan begitu cepat. Sekali lagi, terjadi fenomena alam yang menjatuhkan korban jiwa dan pengungsi dimana-mana. Duka terasa, kehidupan pun terusik, baik yang menjadi korban langsung maupun yang tidak. Dari kejadian ini timbul pertanyaan, apakah petugas kita yang lalai memantau? Ataukah masyarakat lokal yang kental pengetahuan lokalnya sepertinya sudah tidak mampu menalar gejala alam ? Atau ada perilaku alam yang sudah tidak dikenal lagi, sampai akhirnya terjadi bencana letusan terjadi tiba-tiba tanpa bisa diantisipasi lebih dini.

Sesungguhnya masyarakat Indonesia diwarisi dengan pengetahuan dari berbagai peristiwa alam yang kerap terjadi. Karena posisi geografis dan geologisnya yang tepat di atas pertemuan tiga lempeng samudra yang terus bergerak dan sering bertumbukan, menyebabkan gempa dan tsunami kerap terjadi. Kondisi wilayah Indonesia dengan banyaknya gunung api baik yang aktif maupun yang sedang tertidur, memberikan banyak pengalaman empiris kejadian letusan yang membawa korban. Dari pengalaman ini masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana alam di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut diperoleh dari pengalaman yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Sebagai contoh, masyarakat yang bermukim di lereng Gunung Merapi, di Jawa Tengah, telah mempunyai kemampuan untuk memprediksi kemungkinan terjadinya letusan. Selain masih kuatnya keyakinan spiritual, masyarakat disana biasanya membaca tanda-tanda alam melalui perilaku hewan, seperti turunnya hewan-hewan dari puncak atau keluar dari rimbun hutan, burung-burung atau hewan lainnya mengeluarkan bunyi suara yang tidak biasa, atau adanya pohon-pohon di sekeliling kawah yang kering dan mati layu.

Kita tentu belum lupa dengan kejadian tsunami dan gempa bumi tahun 2004 yang melanda Aceh dan Nias serta berdampak pada kehancuran massif. Semong adalah kearifan lokal masyarakat di Pulau Simeulue dalam membaca fenomena alam pantai telah menyelamatkan banyak masyarakat dari bencana tsunami. Teriakan semong merupakan peringatan dini yang diartikan adanya situasi dimana air laut surut dan masyarakat harus lari ke bukit. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh dari leluhur belajar dari kejadian bencana yang pernah terjadi puluhan tahun lalu. Semong ini yang

5

Page 6: TorMitigasiBencanaUGM

menyelamatkan masyarakat di pulau Simeulue padahal secara geografis letaknya sangat dekat dengan pusat gempa. Semong bagi masyarakat pulau Simeulue disosialisasikan turun temurun melalui dongeng dan legenda oleh tokoh masyarakat sehingga istilah ini jadi melekat dan membudaya di hati masyarakat pulau itu. Dengan pengetahuan ini yang dimiliki orang Simeulue banyak masyarakat pesisir pantai lainnya di Aceh terselamatkan saat tsunami terjadi. Mereka memaksa orang untuk lari ke gunung. Berbeda dengan di Simeulue, ketika fenomena alam ini terjadi di Pantai Pangandaran Jawa Barat, masyarakat di sekitar justru lari ke laut karena air surut untuk memungut ikan dan kerang. Akibatnya banyak korban jiwa ketika gelombang laut yang tinggi datang tiba-tiba. Fenomena alam dimana letusan yang minim tanda-tanda sebelumnya juga pernah terjadi saat Gunung Kelud akan meletus beberapa tahun yang lalu. Hewan tidak menunjukkan gejala apapun, sekeliling kawah tetap hijau, walau batuk-batuk gunung sudah terasa, makanya masyarakat adem ayem saja. Kemampuan masyarakat sekitar gunung tersebut memahami tanda-tanda alam yang tidak terlihat pada gunung membuat mereka enggan di evakuasi dan terpaksa dilakukan dengan cara tertentu. Demikian pula dengan perilaku gempa yang akhir-akhir ini semakin kerap terjadi, seperti menjaditrend di mana goncangan gempa terjadi di suatu tempat biasanya akan disusul dengan gempa yang lebih besar yang sulit diprediksi terjadi kapan dan dimana.

Nias pasca gempaLima tahun sudah berlalu pasca gempa Nias tahun 2005, proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang sarat dengan pembangunan fisik pun sudah berlangsung. Hampir semua kerusakan sudah direkonstruksi kembali. Bagi yang belum pernah menjejak ke wilayah ini, mungkin sulit percaya bahwa pernah ada bencana besar pernah terjadi. Saat ini hampir tidak tersisa lagi gambaran kehancuran itu karena sudah tergantikan dengan bangunan baru berupa jalan yang lebih bagus dan mulus, gedung dan rumah dari beton dan berbagai fasilitas fisik lainnya. Kini terlihat bangunan perkantoran yang megah, pasar dan pertokoan baru. Bahkan, kalau kita telusuri perkampungan adat, banyak rumah adat tradisionil sudah ikut berubah dengan bangunan baru dari beton. Aktifitas kehidupan masyarakatnya sudah menggeliat kembali seperti semula. Agaknya seperti sudah melupakan dan ingatan tentang kejadian memilukan itu mulai pupus. Anak-anak dan remaja mungkin sudah hampir tidak mengingat lagi bahwa lima tahun yang lalu mereka nyaris menjadi korban gempa. Proses rehabilitasi dan rekonstruksi sudah menghadirkan kehidupan baru kepada masyarakat. Tentu kita bersyukur bahwa kepulauan Nias telah melewati masa sulit dan kini melompat ke dalam kehidupan yang lebih baru. Tetapi sesungguhnya, yang dibutuhkan bukan saja rekonstruksi sarana yang rusak pasca bencana, yang lebih mendasar adalah menyiapkan seluruh komponen masyarakat untuk melanjutkan rekonstruksi kehidupannya dengan mengambil hikmah dari bencana alam yang terjadi.

Nias memiliki sejarah panjang kejadian gempa dengan skala besar dan gelombang tsunami yang tinggi yang berdampak massif hampir ke seluruh wilayah. Catatan penting dari kejadian bencana ini bahwa masyarakat di Kepulauan Nias harus menyadari bahwa mereka hidup di kawasan rawan bencana sehingga fenomena alam harus dikenali dan diakrabi. Periode waktu terjadinya bencana kian pendek, dari ratusan ke puluhan tahun. Para ahli mengatakan terdapat gerakan geologis lempengan yang terus terjadi menyebabkan wilayah ini rentan dengan gempa. Realitas ini tidak perlu

6

Page 7: TorMitigasiBencanaUGM

membuat kita berpikir untuk meninggalkan kepulauan Nias. Hal ini justru menegaskan bahwa perlunya seluruh komponen masyarakat dan pemerintah secara bersama-sama membangun kepulauan ini dengan tatanan yang tepat serta mengambil hikmah pembelajaran dari pengalaman bencana yang pernah melandanya. Penguatan masyarakat dan pemerintah untuk siapsiaga menghadapi bencana alam adalah kunci dari upaya menyeluruh ini. Tujuannya tentu adalah keberlanjutan kehidupan dan mitigasi korban, sebab setiap masyarakat memiliki naluri untuk hidup berkelanjutan dan tidak ada yang ingin menjadi korban sia-sia.

Budaya MitigasiBencana alam beserta dampaknya harus disikapi secara bijak dan tepat. Bencana tidak saja sebagai akibat fenomena alam tetapi juga oleh tangan manusia yang lalai dalam memelihara lingkungan atau gabungan dari keduanya. Jenis bencana alam utama di kepulauan Nias adalah gempa bumi, gelombang tsunami, tanah longsor, dan banjir. Seluruh wilayah kepulauan ini merupakan daerah rawan gempa bumi dan termasuk dalam wilayah zona 6, yang artinya paling rawan terhadap gempa bumi dan tidak mungkin dicegah. Akibat seringnya terjadi gempa bumi maka wilayah ini juga sangat potensial terjadinya gelombang tsunami karena dikelilingi oleh lautan bebas. Kawasan-kawasan yang potensial terkena gelombang tsunami adalah kawasan disepanjang pantai disekeliling Pulau Nias. Keadaan topografi berbukit-bukit terjal serta pegunungan dimana tingginya bervariasi antara 0-800 m dari permukaan air laut. Topografi terdiri dari dataran rendah, dataran bergelombang, berbukit-bukit dan pegunungan. Curah hujan yang tinggi dan sifat tanahnya maka wilayah ini rentan kelongsoran. Daerah potensil terjadi kelongsoran adalah daerah perbukitan dengan kemiringan diatas 40% seperti di bagian tengah Pulau Nias. Kita tentu masih ingat banjir yang melanda wilayah Lahusa yang berdampak luas. Ada ratusan sungai dan anak sungai yang mengairi kepulauan ini yang berpotensi menyebabkan banjir bila tidak terkelola dengan baik. Bencana ini telah menimbulkan kerugian baik korban jiwa, harta benda, rasa traumatik bagi masyarakat yang telah mengalaminya.

Dari berbagai bencana tersebut, diperlukan langkah penanganan yang menyeluruh dan efektif. Dalam konteks penanggulangan bencana sampai saat ini, upaya-upaya yang dilakukan masyarakat dan para pemangku kepentingan belum optimal dan lebih banyak berupa pemberian bantuan pada era tanggap darurat dan rehabilitasi fisik pasca bencana. Adapun upaya efektif pada tahap pra bencana belum dilakukan dengan baik. Padahal yang juga sangat diperlukan adalah paradigma mitigasi melalui antisipasi bencana untuk tujuan meminimalisir korban dan mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Paradigma mitigasi dalam penanggulangan bencana diartikan upaya pengenalan daerah rentan bencana dan dan membekali kesiapsiagaan masyarakat. Dalam konteks pengurangan risiko bencana, mitigasi bencana juga dipahami sebagai upaya meningkatkan kapasitas masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana untuk menghilangkan atau mengurangi akibat dari ancaman dan tingkat bencana. Mitigasi terhadap ancaman bencana dapat dilakukan misalnya melalui perobahan perilaku yang rentan, melalui penataan pemukiman, peraturan-peraturan bangunan, pengaturan struktur bangunan tahan gempa dan penataan ruang dengan mitigasi bencana sebagai salah satu perspektifnya. Untuk konteks daerah yang rawan bencana seperti wilayah kepulauan Nias, hal ini nampaknya belum diposisikan sebagai kebutuhan. Kesadaran ini perlu

7

Page 8: TorMitigasiBencanaUGM

dibangun dan diberdayakan, sehingga kelak masyarakat tidak lagi hanya menjadi korban bencana tetapi lebih menjadi sumberdaya penolong bagi dirinya sendiri dan lingkungan dalam keadaan bencana. Kesadaran masyarakat yang terbangun merupakan kesadaran sosial yang meliputi aspek sosial bencana yaitu sistem peringatan dini, antisipasi bencana dan respon saat terjadi bencana, serta kemampuan penanganan pasca bencana. Kesadaran ini merupakan modal sosial untuk membangun budaya mitigasi di dalam kehidupan setiap elemen masyarakat Nias. Langkah perubahan pertama yang diperlukan di tingkat masyarakat dan para pemangku kepentingan adalah adanya transformasi paradigma dari paradigma bantuan/tanggap darurat ke paradigma mitigasi.

Kita menyadari bahwa sistem peringatan dini yang dimiliki negeri ini belum terselenggara dengan baik dan optimal. Namun masing-masing daerah sebenarnya memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang beragam dan berbeda bentuknya. Walaupun istilah yang digunakan berbeda dan cara-cara yang sudah mentradisi tidak sama, semua ini merupakan potensi dalam membangun mitigasi bencana yang berbasis pada potensi kearifan lokal. Kita mengetahui masyarakat Nias memiliki kearifan lokal seperti ini. Konstruksi rumah adat (omo hada) yang tahan gempa, merupakan salah satu bentuk kearifan tersebut. Kemampuan masyarakat tradisionil membaca arah angin, bintang di langit dan memahami gerak gelombang laut merupakan kearifan para pelaut dan nelayan Nias. Waktu menanam saat tesa’a dan cara menanam yang tepat adalah pengetahuan lokal yang dimiliki oleh para petani tradisionil. Seperti di Jawa kita mengenal keguyuban, maka masyarakat Nias memiliki falulusa dan fabanuasa sebagai pilar sosial kebersamaan dan kegotongroyongan. Nias juga memiliki kearifan dalam mengelola partisipasi masyarakat seperti forum fondrakö atau orahu. Tentunya, masih banyak lagi kearifan dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Nias yang belum disadari dan digali sebagai potensi dalam menata dan mengawal kehidupannya. Kearifan dalam membaca fenomena alam salah satunya, semestinya terus digali dan ditularkan, diinformasikan secara efektif kepada masyarakat sebagai salah satu bentuk upaya mitigasi bencana.

Penataan dan pemanfaatan ruangPerencanaan dan perancangan pembangunan kabupatan/kota merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka mengawal proses pengembangan wilayah yang mampu mengantisipasi dampak bencana. Nias adalah sebuah wilayah tinggal atau rumah bersama berbentuk kepulauan, yang dikelilingi oleh lautan yang sering tidak bersahabat. Dahulu, Nias merupakan subsistem, bagian sistem yang lebih luas yaitu propinsi Sumatera Utara. Nias secara bertahap berkembang dan memuncak dengan pemekaran wilayah dan terbentuknya lima daerah otonom kabupaten-kota yang sudah banrang tentu ingin mengembangkan darehanya masing-masing. Ini adalah sebuah fakta dimana dari sebuah subsistem, Nias berubah menjadi sebuah sistem baru yang terdiri dari lima subsistem yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunung Sitoli. Walaupun secara administratif tiap subsistem ini otonom namun secara genealogis Nias sejak dahulu kala merupakan satu lingkungan budaya, dan secara geografis menghuni kepulauan yang satu dan sama dan tidak berubah luasnya. Kelima daerah otonom ini memiliki kedekatan alamiah-sosial dimana tiap subsistem dengan subsistem lainnya dalam sistem yang sama. Kelimanya menggunakan ruang hidup yang sama, dengan sumberdaya, infrastruktur,

8

Page 9: TorMitigasiBencanaUGM

fasilitas yang sangat terbatas dan dayadukung yang semakin lemah karena telah terbagi-bagi, disertai laju pertumbuhan penduduk yang relatif cukup tinggi. Laju pertumbuhan penduduk sudah pasti akan diikuti pengembangan pemukiman, pembangunan sarana fisik, serta terjadinya ekspolitasi terhadap sumberdaya alam yang ada untuk berbagai aktifitas pembangunan. Kemajuan pembangunan yang dilakukan bisa memberi dampak positif berbeda pada tiap wilayah namun penataan pembangunan yang tidak mempertimbangkan keadaan sekitar akan membawa dampak pengaruh negatif yang sama bagi wilayah lainnya. Karena itu harus dihindari keegoisan wilayah diganti dengan komitmen bersama untuk menata ruang kehidupan secara bersama-sama dan secara bertanggungjawab. Rencana penataan ruang dalam pengembangan wilayah kabupaten/kota harus dilengkapi dengan perencanaan mitigasi bencana sebagai bentuk tanggungjawab kepada masyarakat dengan substansi yang memuat aspek-aspek perlindungan terhadap bencana alam, desain arsitektur merancang bangunan dan konstruksi bangunan berwawasan bencana, diiringi peraturan-peraturan dalam melakukan pembangunan dan pengawasan terhadap ketaatan implementasinya, serta kesiapan sosial masyarakat dengan membangun budaya mitigasi. Untuk kepentingan bersama harus menghindari pemanfaatan kawasan yang rawan bencana untuk dikembangkan sebagai kawasan aktivitas dan melakukan upaya mitigasi pemanfaat ruang dengan tidak mengubah zona lingkungan alam yang dapat melindungi terhadap bencana seperti karang pantai, pasir pantai, hutan, lahan vegetatif, kawasan perbukitan dan unsur geologi lainnya yang dapat meredam dan mengurangi dampak bencana. Tujuan esensial dari semua ini adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat untuk mengurangi korban jiwa dan harta benda, kerusakan lingkungan, dan masalah sosial ekonomi akibat bencana.

Wilayah Kepulauan Nias adalah kumpulan pulau-pulau kecil yang berada pada zona 6 didasarkan atas jenis litologi dan jumlah bangunan yang ada. Zona kegempaan yang ekstrim ini membutuhkan perlakuan mitigasi yang khusus tidak hanya dari sisi fisik namun juga kesiapan manusianya. Aspek keberlanjutan lingkungan harus diperhatikan terutama dalam konteks menjawab kebutuhan pengurangan resiko bencana dan eksploitasi sumberdaya alam untuk pembangunan fisik dan program pembangunan. Dalam penataan wilayah kepulauan Nias perlu memperhatikan faktor keamanan serta efisiensi pemanfaatan ruang dan infrastruktur untuk mewadahi seluruh kehidupan masyarakat yang hidup di dalamnya. Perlu pula diperhatikan potensi dan prospek perkembangan kabupaten/kota dengan memberdayakan partisipasi masyarakat dalam seluruh prosesnya. Gempa bumi tahun 2005 mencatat bahwa korban jiwa terbanyak adalah pada wilayah pemukiman padat yang sarat dengan bangunan berbahan beton. Korban jiwa semakin banyak karena tanpa kesiapsiagaan, diperparah dengan keterbatasan peralatan dan kelambanan penanganan. Karena posisi geografisnya jauh terpencil, bantuan tambahan dari wilayah lain terlambat tiba. Karena itu, masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya penanggulangan bencana karena merekalah jiwa-jiwa yang berkepentingan untuk selamat dari bencana, mereka pula yang mengenal secara geografis wilayah pemukimannya dan memahami berbagai berbagai konteks sosial kehidupannya. Dalam kaitan ini, diperlukan sebuah sitem penataan ruang wilayah Kepulauan Nias sebagai sebuah payung yang menaungi setiap levelnya, yang mampu menjamin terwujudnya bukan saja lingkungan wilayah yang indah dan nyaman, tetapi juga aman bagi seluruh masyarakat serta memberikan keuntungan jangka panjang bagi setiap

9

Page 10: TorMitigasiBencanaUGM

wilayah melalui pengembangan sosio-kultural masyarakat dan keterjaminan keseimbangan ekologi. Dalam konteks ini, potensi kearifan lokal melalui pemahaman pengetahuan lokal, teknologi lokal, budaya dan tradisi lokal yang telah terbukti dan teruji dikonstribusikan dalam perencanaan mitigasi bencana. Cukup banyak kearifan lokal yang telah mentradisi dan teruji mampu mengatasi masalah-masalah lingkungan berbasis mitigasi bencana. Salah satu contoh adalah sistem ‘subak’ di Bali yang dikenal sebagai pola pengelolaan tanah pertanian dan sistem tata kelola air yang mampu mengelola lingkungan lereng gunung rawan longsor untuk tetap terjaga stabilitas tanahnya. Pola ini bukan hanya mengurangi dampak longsor tetapi juga yang secara sosio-kultural mampu menjaga keharmonisan masyarakat petani.

Pendidikan dini mitigasiDalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana mitigasi bencana didefinisikan sebagai sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Namun dalam implementasinya ke masyarakat masih sangat minim akibatnya masyarakat terutama di wilayah rawan bencana belum memiliki pengetahuan memadai akan kebencanaan dan tidak mempunyai kemampuan adaptif dengan keadaan dan proses pemulihan pasca bencana. Pengetahuan masyarakat tentang kearifan lokal terasa semakin menurun karena kurang sosialisasi dan pembinaan. Karena itu peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat sangat mutlak diperlukan. Seiring dengan itu, penggalian terhadap kearifan lokal sangat diperlukan karena memberikan pemahaman dan panduan dalam lingkup tradisi lokal bagaimana menjalani kehidupan sehari-hari, termasuk pengetahuan ciri-ciri bencana dan larangan melakukan kegiatan yang merusak lingkungan atau keseimbangan ekosistem. Menggali potensi kearifan lokal yang ada di dalam masyarakat Nias dapat dilakukan dengan melalui pendekatan partisipatif serta melibatkan dukungan banyak pihak seperti budayawan, sosiolog, tokoh masyarakat dan pendidik. Kearifan lokal yang mulai kurang dikenal dan dihayati dapat diformat dalam bahasa publik, bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Budaya mitigasi berbasis kearifan lokal perlu dibangun sejak dini dalam diri setiap elemen masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang berdaya sehingga dapat meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana. Dalam hal ini, mitigasi dibangun bukan pula hanya sebagai sistem peringatan dini tetapi ia menjadi sebuah budaya dalam perilaku masyarakat. Langkah efektif yang bisa dilakukan antara lain adalah melalui pembekalan kepada masyarakat baik melalui pendidikan di bangku sekolah maupun pelatihan kepada masyarakat umum. Pengetahuan tentang kebencanaan seyogianya menjadi muatan lokal di wilayah yang paling rawan gempa. Pendidikan di sekolah bagi siswa sangat strategis untuk menanamkan pengetahuan tentang kebencanaan sejak usia dini dan sosialisasi tentang kearifan lokal yang dimiliki daerah tersebut. Sekolah adalah sarana yang efektif, dimana dengan peran guru terhadap murid mampu mendorong terbangunnya budaya mitigasi dalam lingkup sekolah dan keluarga.

Sesungguhnya banyak cara kreatif untuk melakukan sosialisasi, diantaranya melalui pelatihan, penyuluhan dan simulasi. Materi yang disosialisasikan berupa panduan yang sifatnya sederhana sehingga mudah dipahami, mudah dibuat, dan dikemas menarik perhatian sesuai dengan daya tangkap masyarakat. Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam pengetahuan

10

Page 11: TorMitigasiBencanaUGM

dan teknologi lokal, serta kelembagaan lokal yang mereka miliki akan lebih mudah bila dapat dikomunikasikan dengan bahasa yang mereka pahami. Upaya lainnya dalam penguatan peran pemangku kepentingan lainnya seperti pemda dalam penanggulangan bencana dapat dilakukan melalui pemberian pelatihan kepada aparatnya yang mencakup pemahaman mengenai kebijakan yang mengatur tentang pengelolaan kebencanaan saat dan pasca bencana, memberikan pelatihan menggunakan perangkat-perangkat sistem peringatan dini, atau mendukung usaha preventif kebencanaan lainnya. Membangun kesiapsiagaan dalam menghadapi dan pengurangan risiko bencana harus dilakukan secara menyeluruh dan terus menerus dengan komitmen penuh. Sudah saatnya pula kita pula belajar menghargai, itikad baik untuk memelihara lingkungan dan upaya positif masyarakat dalam mitigasi dapat diberi perhatian dan dukungan karena telah berkontribusi bagi kepentingan banyak orang. Ini sangat efektif dalam membangun budaya mitigasi, dan disinilah kebersamaan itu memiliki arti yang sesungguhnya.

Tulisan ini sangat jauh dari sempurna, tujuannya sederhana sebagai pembuka wawasan dan guna mengingatkan semua pihak agar jangan menunda dan jangan terlupa. Upaya membangun budaya mitigasi harus dimulai dari sekarang dan tidak perlu menunggu sampai bencana yang lebih besar datang tiba-tiba tanpa diduga. Ya’ahowu! /egnt

* Penulis adalah pemerhati budaya dan pariwisata Nias, dan Ketua Yayasan Tatuhini Nias Bangkit.

11

Page 12: TorMitigasiBencanaUGM

Upaya Menata Kota Pesisir di Wilayah Rawan Bencana Tsunami Melalui Perencanaan Tata RuangPosted on February 18, 2007 by Pasige| Leave a comment Rate This

Upaya Menata Kota Pesisir di Wilayah Rawan Bencana Tsunami Melalui Perencanaan Tata Ruang

Bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda kawasan provinsi NAD dan Sumut telah berakibat hilangnya korban jiwa yang mencapai puluhan ribu lebih. Tidak hanya korban jiwa yang hilang, disamping itu puluhan ribu rumah rusak dan hilang, sarana dan prasarana dasar perkotaan, fasilitas telekomunikasi, kelistrikan, kepelabuhanan dan lainnya hancur ditelan ganasnya gelombang tsunami.

 

Dari sisi akademis, musibah ini merupakan sebuah dampak dari proses alami pergeseran 2 lempeng bumi, yakni lempeng samudera dan lempeng benua. Pergeseran lempeng ini merupakan bagian dari dinamika pergerakan bumi secara keseluruhan. Selanjutnya hal pokok yang perlu mendapat perhatian adalah bagaimana menata ruang suatu kawasan yang berada pada daerah rawan bencana alam dengan pendekatan penataan ruang kawasan yang mempertimbangkan mitigasi bencana dan sifat alami lingkungan.

 

Secara teknis, kondisi demikian membawa konsekuensi dan perhatian lebih, mengingat sebagian besar kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia berada pada daerah rawan bencana alam. Selain itu menurut data statistik kependudukan, hampir 60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir. Katakanlah hampir semua pusat-pusat pertumbuhan wilayah di Indonesia berada di wilayah pesisir, sebut saja Jakarta, Medan, Banda Aceh, Makassar, Balikpapan, Denpasar, Mataram, Kupang, Manado, Nabire, Papua, Sorong, Tual, Ambon dan beberapa kota besar lainnya. Yang lebih buruk lagi hampir sebagian besar kota-kota tersebut berada pada daerah rawan bencana alam.

 

Di tahun 2004 saja, sedikitnya 3 peristiwa bencana alam besar menimpa kota-kota tersebut. Kota Banda Aceh, Pantai Barat Provinsi NAD dan Sumut, Kota Kalabahi di Pulau Alor, Kota Nabire di Papua terkena gempa dan gelombang pasang.

 

Dari sisi perencanaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, para perencana (planners) harus lebih menyadari dan mencermati fenomena alam ini dan kemudian mengadopsinya sebagai pertimbangan dalam menyusun sebuah rencana perkotaan, dan atau wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Secara khusus kebijakan ini akan diterapkan pada kawasan-kawasan rawan bencana alam, dan tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan pada kawasan lain sebagai bagian dari upaya menata kawasan berbasis mitigasi bencana alam.

 

12

Page 13: TorMitigasiBencanaUGM

Fakta

 

Berdasarkan data yang didapat dari hasil interpretasi citra satelit Quikbird dan Ikonos terlihat bahwa dampak gelombang tsunami mencapai daratan sejauh ± 3.3 km di Kota Banda Aceh (Quickbird, 2004), sedangkan untuk kota Meulaboh mencapai hampir ± 5 km (Ikonos, 2004). Dari hasil interpretasi sementara menunjukkan bahwa tingkat kerusakan bangunan (fisik) pada wilayah dalam radius tersebut  ± 90 %. Sumber lain dari Tsunami Research Group-ITB menyebutkan bahwa berdasarkan simulasi yang dilakukan, tercatat tinggi gelombang di Kota Meulaboh mencapai 4.16 meter dengan waktu tempuh 27 menit saat pasang dari pusat gempa. Simulasi tersebut juga menunjukkan tinggi gelombang di Kota Banda Aceh mencapai 5.60 meter dengan waktu tempuh 31 menit saat surut dan 55 menit saat terjadi pasang dari pusat gempa.

 

Dengan hasil perhitungan demikian, maka dapat dipastikan sebagian besar kota-kota di pesisir barat provinsi NAD terkena gelombang tsunami yang cukup dahsyat dalam waktu tercepat 27 menit terhitung dari gempa awal. Terlebih kondisinya, banyak kota-kota di wilayah tersebut tidak memiliki perlindungan pantai yang efektif dapat mencegah gelombang tsunami.

 

Sementara itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pesisir di kota-kota tersebut, belum mempertimbangkan upaya mitigasi bencana alam dan memasukkannya sebagai faktor pembatas dalam rencana detailnya. Sehingga kedepan harus disusun ulang upaya penataan ruang wilayah di sepanjang pantai barat sumatera dan beberapa tempat rawan bencana alam lain.

 

Konsep Ruang

 

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (daratan) menjadi sangat penting dalam mendukung dan memberikan arahan bagi pemanfaatan ruang di sepanjang pantai. Secara teknis akan diatur wilayah penyangga (buffer) yang berfungsi sebagai perlindungan pantai yang efektif, pola permukiman dan konstruksinya, program mitigasi wilayah, pemetaan dan zoning wilayah rawan bahaya, penyadaran masyarakat dan peningkatan/sosialisasi tingkat kewaspadaan masyarakat di wilayah rawan bencana.

 

Suatu model detail yang ditawarkan dalam menyusun tata ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah konsep penataan ruang dengan memberikan perlindungan pantai yang efektif pada zona bahaya rawan gempa/tsunami di suatu kota. Akan diatur zoning daerah perlindungan bahaya dan daerah perlindungan ekosistem serta daerah yang dapat dimanfaatkan (gambar 1). Zoning pada daerah perlindungan bahaya dan ekosistem akan diarahkan dengan membangun perlindungan soft structure yang dikombinasikan dengan kegiatan budidaya perikanan dan wisata ekoturisme, sementara zoning pada daerah yang dapat dimanfaatkan dapat digunakan untuk kegiatan permukiman, wisata pantai/ekoturisme, serta kegiatan kependudukan lainnya (gambar 2).

 

13

Page 14: TorMitigasiBencanaUGM

Tidak menutup kemungkinan, konsep ini dapat diterapkan pada kota-kota lain sesuai dengan karakteristiknya.

 

Solusi

 

Dalam hal ini, semua komponen bangsa dapat berpartisipasi untuk mengantisipasi dan menanggulangi bencana alam secara lebih baik dan terkooordinasi. Khusus dalam tahap rekonstruksi dan rehabilitasi pasca gelombang tsunami, ada beberapa hal yang dapat dilakukan dengan segera, yakni :

1. Menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pesisir dengan mempertimbangkan faktor mitigasi bencana gempa dan tsunami. Kegiatan ini diprioritaskan pada daerah sepanjang ring of fire dari Sumatera – Jawa – Bali – Nusa Tenggara – Banda – Maluku.

2. Menyusun Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota Pesisir di Wilayah Rawan Bencana Alam. Saat ini pedoman tersebut sedang disusun oleh Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil untuk dapat diimplementasikan dengan segera oleh pemerintah daerah setempat dan pihak terkait lain.

3. Merekomendasikan pembangunan vegetasi pelindung pantai yang efektif (latief 2000, harada dkk 2000 dalam Hamzah 2004) dengan model (LIPI, 2004) menanam vegetasi pantai (mangove) dalam radius minimal sejauh 200 meter dari garis pantai ke arah belakang dengan tinggi vegetasi antara 10 – 15 meter.

4. Implementasi Building Code sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada kota-kota pesisir. Upaya ini sedang disusun Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai bagian dalam Petunjuk Teknis Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Pada Wilayah Rawan Bencana Alam.

5. Pembuatan Basis Data dan GIS Tsunami (National Tsunami Database and GIS Programme) yang terintegrasi dengan Basis Data dan GIS penataan ruang wilayah

6. Menyusun strategi komunkasi dan sosialisasi dalam rangka mendidik masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan (Allert) terhadap bahaya bencana gempa dan tsunami melalui penerapan peraturan kampung/desa/ komunitas lokal.

Secara nasional upaya menata kembali wilayah yang terkena bencana tsunami dan gempa dapat dikoordinasikan bersama Bappenas dan instansi terkait lain agar tercipta efisiensi dan efektifitas dalam hal perencanaan, pelaksaanaan dan penganggaran serta konsistensi program rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana.

Gempa bumi dan longsor, kini nyaris telah menjadi bencana 'keseharian' Indonesia. Dua hari setelah

longsor menimpa Kabupaten Solok yang menewasan 18 orang, gempa mengguncang Kabupaten

Mandailing Natal (Madina). Senin (18/12) dini hari, gempa dengan kekuatan 5,6 skala Richter itu

menyebabkan empat orang tewas dan ratusan rumah hancur. Dari catatan BMG, gempa yang

mengguncang Madina adalah gempa ketujuh selama Desember 2006.

Sebelumnya gempa skala kecil sampai medium telah mengguncang Bengkulu (13/12), Banda Aceh

(13/12), Bengkulu (10/12), Bengkulu (10/12), Banda Aceh (9/12), Tebing Tinggi (1/11), dan terakhir Madina

(18/12). Ketiga gempa di Bengkulu dan Banda Aceh tersebut ternyata pusat gempanya berbeda-beda.

Semua ini menunjukkan Pulau Sumatera memang berada di zona yang rawan gempa.

Menurut pakar gempa bumi LIPI, Dr Danny Hilman, gempa Madina ini kemungkinan besar merupakan

pertanda akan munculnya gempa yang lebih besar lagi di kawasan Sumatera Utara, tepatnya di segmen

patahan atau sesar Angkola, sebelah barat sumber gempa Madina. Disebut sesar Angkola karena sesar ini

memotong Sungai Angkola dan jarak sesar ini sekitar 250 km selatan Danau Toba. Segmen patahan

Angkola ini sudah 'matang' --artinya sewaktu-waktu bisa melepaskan energinya, yang berarti akan

14

Page 15: TorMitigasiBencanaUGM

menimbulkan gempa. Tingkat kematangan itu, kata Danny, berkaitan dengan mekanisme kegempaan di

Sumatera yang mempunyai periode 100 tahun sampai 200 tahun. Apalagi pada segmen patahan Angkola

tersebut terdapat tekanan yang amat kuat dari Lempeng Australia terhadap Lempeng Eurasia. Ini artinya,

besar kemungkinan, germpa Madina --ungkap Danny-- merupakan awal dari munculnya gempa yang lebih

besar.

UU Tata Ruang

Pernyataan Danny tentang kemungkinan timbulnya gempa besar di Sumatera perlu mendapat perhatian

serius. Kita masih ingat setelah gempa dahsyat Aceh yang menimbulkan tsunami raksasa, ratusan gempa

skala kecil dan menengah terus menyusul di Aceh dan sekitarnya. Hal ini terjadi karena di kawasan itu

terdapat Sesar Sumatera yan panjangnya 1.600 km yang amat rawan gempa. Dari berbagai penelitian, di

kawasan Pulau Sumatera setiap 10 tahun ada gempa besar. Terakhir, sebelum Aceh, adalah gempa di

Liwa, Lampung, 1994, yang menewaskan ratusan orang.

Dengan melihat kondisi alam seperti itu, mestinya pemerintah memperkuat lembaga yang berfungsi

melakukan mitigasi (untuk serlanjutnya disebut lembaga mitigasi) bencana gempa dan ikutannya seperti

longsor dan tsunami di Pulau Sumatera. Ini penting untuk mengurangi jumlah korban gempa dan

mengurangi kepanikan penduduk bila sewaktu-waktu muncul gempa besar. Lembaga mitigasi tersebut

tentu saja harus bekerja sama dengan semua stake holder untuk membangun kebersamaan dan kesiapan

menghadapi bencana. Salah satu hal yang terpenting dalam lembaga mitigasi tersebut adalah penataan

kembali ruang untuk kehidupan masyarakat. Ini artinya, pemerintah dan DPR sangat perlu untuk membuat

UU Tata Ruang (UUTR) yang komprehensif dan integratif untuk meminimalisasi jumlah korban yang

mungkin timbul.

Seperti kita ketahui, Indonesia adalah sebuah negeri kepulauan yang rentan bencana gempa. Ini terjadi

karena Indonesia terletak pada sabuk gunung berapi yang terbentuk oleh pertemuan lempeng-lempeng

bumi. Sabuk gunung berapi aktif ini dibentuk oleh tumbukan lempeng Indian-Australia di sebelah selatan,

lempeng Eurasia di sebelah utara barat, lempeng laut Filipina dan lempeng Pasifik di sebelah utara timur.

Pergerakan ketiga lempeng ini menyebabkan Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam yang

diakibatkan aktivitas di dalam bumi seperti gempa bumi dan gunung meletus.

Dari perspektif inilah, pemerintah harus menyusun UUTR secara komprehensif dengan melihat faktor-

faktor geologis dan geofisis Indonesia. Dalam penyusunan UUTR tersebut, misalnya, perlu diperhatikan

tata ruang berbasis bencana. Ini artinya, UUTR tersebut harus mempertimbangkan peta geo-spasial yang

meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan lempeng bumi. Dalam kaitan ini,

misalnya, undang-undang tata ruang pusat perekonomian, lokasi permukiman, daerah perkantoran, dan

kawasan industri harus mengacu pada peta geo-spasial.

Seperti kita ketahui, ruang adalah suatu sumber daya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh

seluruhstake holder. Karena itu, jika tak ada pengaturan tata ruang, maka akan terjadi apa yang

disebut tragedy of common. Ruang akan tereksploitasi habis-habisan melampaui daya dukung dan daya

lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang dapat dinikmati bersama lagi --bahkan sebaliknya

mendatangkan bencana yang dahsyat terhadap komunitas dan lingkungannya. Kasus rumah-rumah yang

tertimbun longsor seperti pernah terjadi di Jember, Banyumas, Garut, dan terakhir di Solok merupakan

contoh tidak berfungsinya manajemen tata ruang untuk permukiman dan kegiatan perekonomian.

Mengingat Indonesia adalah negeri rawan bencana, maka penataan ruang tersebut harus dilakukan atas

dasar peta geo-spasial yang mengacu berbagai aspek ilmu kebumian. Dalam kaitan ini, misalnya, perlu

dipikirkan ruang-ruang yang merupakan public space untuk berbagai keperluan penduduk. Public space itu

bukan sekadar ruang hijau, tapi juga ruang-ruang publik tertentu untuk penyelamatan dari bencana alam.

Hal yang sama, misalnya, perlu dipikirkan pula penataan ruang di wilayah rawan longsor. Sebab gempa

bumi dan banjir bisa menyebabkan wilayah-wilayah rawan longsor terkena bencana (longsor) yang

menimbulkan banyak korban. Gambaran tersebut hanya contoh, betapa pentingnya pengaturan tata

ruang di Indonesia yang rawan bencana. Karenanya, UUTR yang kini sedang dalam penggodogan di DPR

harus diperluas cakupannya meliputi semua aspek yang terkait dengan posisi geografis, geologis, dan

geofisis Indonesia. Dan yang lebih penting lagi, jika UUTR tersebut terbentuk, semua stake holder harus

menaatinya tanpa kompromi. Tanpa adanya ketaatan pada UUTR secara tegas dan ketat, maka tak ada

artinya semua pasal dan ayat dalam undang-undang tersebut.

15

Page 16: TorMitigasiBencanaUGM

Wahyudin Munawir

Alumnus Geofisika ITB, Anggota Komisi VII DPR RI

16