Tonsilitis Kronis

37
BAB I PENDAHULUAN Tonsil adalah suatu massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel skuamosa yang berisi beberapa kripta didalamnya. Terdapat beberapa tonsil yang harus diingat yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil) yang membentuk cincin Waldeyer. 1,2 Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen yang menyebabkan timbulnya respon imun yang tidak jarang menyebabkan hipertrofi tonsil atau tonsillitis. 3,4,5 Tonsillitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering dari semua penyakit tenggorokan yang berulang. Gambaran klinisnya yang bervariasi, dan diagnosis sebagian besar tergantung pada inspeksi. 6 Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di Indonesia pada tahun 1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%) (Suwendo, 2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis 1

description

tonsil

Transcript of Tonsilitis Kronis

Page 1: Tonsilitis Kronis

BAB I

PENDAHULUAN

Tonsil adalah suatu massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang diliputi oleh epitel

skuamosa yang berisi beberapa kripta didalamnya. Terdapat beberapa tonsil yang harus

diingat yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, tonsil lingual, tonsil tuba Eustachius

(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil) yang membentuk cincin Waldeyer.1,2

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Lokasi tonsil sangat memungkinkan mendapat paparan benda asing dan patogen

yang menyebabkan timbulnya respon imun yang tidak jarang menyebabkan hipertrofi tonsil

atau tonsillitis.3,4,5 Tonsillitis kronis tanpa diragukan merupakan penyakit yang paling sering

dari semua penyakit tenggorokan yang berulang. Gambaran klinisnya yang bervariasi, dan

diagnosis sebagian besar tergantung pada inspeksi.6

Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di Indonesia pada tahun 1994-1996,

prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut (3,8%) (Suwendo,

2001). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997 sampai

dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari seluruh jumlah

kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14 tahun yang paling sering terjadi,

Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5 persen pada laki-laki, 13,7 persen pada

perempuan).4

Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif dan

operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi, dan

mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan sumbatan

jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak berhasil dengan

pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu dilakukan. 2

Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat

mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai tonsilitis

kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan rasional.

1

Page 2: Tonsilitis Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL

Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat

dengan kriptus didalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil

palatina dan tonsil lingual.1,2,4 Tonsila palatina biasanya disebut dengan istilah “tonsil”.

Tonsila palatina merupakan massa limfoid oval yang cukup besar pada masing-masing sisi di

daerah perbatasan rongga mulut dengan faring dalam sela antara lengkung-lengkung palatum.

Tonsila faringeal atau adenoid merupakan sekumpulan nodus limfatikus yang berdekatan di

daerah perbatasan rongga hidung dengan faring. Pembesaran tonsila faringeal dapat

mengganggu pernafasan. Tonsila lingualis merupakan sekumpulan nodus limfatikus yang

tersusun tidak terlalu padat pada bagian permukaan posterior dari lidah.1,2 Ketiga kelompok

tonsil tersebut disertai dengan tonsil tuba Eustachius merupakan jaringan limfoid yang

membentuk lingkaran di faring yang disebut Cincin Waldeyer.4,6

Epitel yang melapisi tonsil adalah epitel skuamosa yang meliputi kriptus. Didalam

kriptus, biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan.

Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul tonsil.

Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring sehingga mudah dilakukan diseksi pada

tonsilektomi.4

Tonsil dibatasi dari anterior oleh pilar anterior yang dibentuk otot palatoglossus,

posterior oleh pilar posterior dibentuk otot palatofaringeus, bagian medial oleh ruang

orofaring, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor faring superior, bagian superior oleh

palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual. Permukaan lateral tonsil ditutupi oleh

jaringan alveolar yang tipis dari fasia faringeal dan permukaan bebas tonsil ditutupi oleh

epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripta. Kripta

pada tonsil ini berkisar antara 10-30 buah. Epitel kripta tonsil merupakan lapisan membrane

tipis yang bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik

dari pernafasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil. Pembengkakan tonsil akan

mengakibatkan kripta ikut tertarik sehingga semakin panjang. Inflamasi dan epitel kripta

yang semakin longgar akibat peradangan kronis dan obstruksi kripta mengakibatkan debris

dan antigen tertahan di dalam kripta tonsil.7,8

2

Page 3: Tonsilitis Kronis

Gambar 1. Anatomi Tonsil

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, melalui cabang-

cabangnya yaitu: 6,7,8

- Arteri maksilaris eksterna (Arteri fasialis) dengan cabangnya Arteri tonsilaris dan Arteri

palatina asenden

- Arteri maksilaris interna dengan cabangnya Arteri palatine desenden

- Arteri lingualis dengan cabangnya Arteri lingualis dorsal

- Arteri faringeal asenden.

Sumber perdarahan daerah kutub bawah tonsil:

- Anterior : Arteri lingualis dorsal

- Posterior : Arteri palatina asenden

- Diantara keduanya: Arteri tonsilaris.

Sumber perdarahan daerah kutub atas tonsil:

- Arteri faringeal asenden

- Arteri palatina desenden.

3

Page 4: Tonsilitis Kronis

Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil.5

Arteri tonsilaris berjalan ke atas pada bagian luar otot konstriktor superior dan

memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan

cabang-cabangnya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri faringeal

asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar otot konstriktor faring

superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil,

plika anterior dan plika posterior. Arteri palatine desenden atau a. palatina posterior memberi

perdarahan tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina

asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

faring.4,7,8,9

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan

proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:

1. Menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif.

2. Tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari diferensiasi

limfosit B.

Limfosit terbanyak ditemukan dalam tonsil adalah limfosit B. Bersama-sama dengan

adenoid limfosit B berkisar 50-65% dari seluruh limfosit pada kedua organ tersebut. Limfosit

T berkisar 40% dari seluruh limfosit tonsil dan adenoid. Tonsil berfungsi mematangkan sel

limfosit B dan kemudian menyebarkan sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelenjar

sekretori di seluruh tubuh.10 Antigen dari luar, kontak dengan permukaan tonsil akan diikat

4

Page 5: Tonsilitis Kronis

dan dibawa sel mukosa ( sel M ), antigen presenting cells (APCs), sel makrofag dan sel

dendrit yang terdapat pada tonsil ke sel Th di sentrum germinativum. Kemudian sel Th ini

akan melepaskan mediator yang akan merangsang sel B. Sel B membentuk imunoglobulin

(Ig)M pentamer diikuti oleh pembentukan IgG dan IgA. Sebagian sel B menjadi sel memori.

Imunoglobulin (Ig)G dan IgA secara pasif akan berdifusi ke lumen. Bila rangsangan antigen

rendah akan dihancurkan oleh makrofag. Bila konsentrasi antigen tinggi akan menimbulkan

respon proliferasi sel B pada sentrum germinativum sehingga tersensititasi terhadap antigen,

mengakibatkan terjadinya hiperplasia struktur seluler. Regulasi respon imun merupakan

fungsi limfosit T yang akan mengontrol proliferasi sel dan pembentukan imunoglobulin.11

Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4 sampai 10 tahun. Tonsil mulai

mengalami involusi pada saat pubertas, sehingga produksi sel B menurun dan rasio sel T

terhadap sel B relatif meningkat. Pada Tonsilitis yang berulang dan inflamasi epitel kripta

retikuler terjadi perubahan epitel squamous stratified yang mengakibatkan rusaknya aktifitas

sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen. Perubahan ini menurunkan aktifitas lokal

sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi. Kepadatan sel B pada sentrum

germinativum juga berkurang.10

2.1.1 Tonsilla Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil

pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar

posterior (otot palatofaringeus).4,6,9

Gambar. Tonsilla Palatina

5

Page 6: Tonsilitis Kronis

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah :

1.      Anterior : arcus palatoglossus

2.      Posterior : arcus palatopharyngeus

3.      Superior : palatum mole

4.      Inferior : 1/3 posterior lidah

5.      Medial : ruang orofaring

6.      Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. constrictor pharyngis superior.4

Gambar 4. Anatomi normal Tonsil Palatina

Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang

dinamakan fossa supratonsil. Fosa ini berisi jaringan ikat jarang dan biasanya merupakan

tempat nanah memecah ke luar bila terjadi abses. Fosa tonsil diliputi oleh fasia yang

merupakan bagian dari fasia bukofaring dan disebut kapsul yang sebenar-benarnya.4,6

Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.

Aliran limfa dari daerah tonsil akan mengalir ke rangkaian getah bening servikal profunda

atau disebut juga deep jugular node. Aliran getah bening selanjutnya menuju ke kelenjar

toraks dan pada akhirnya ke duktus torasikus. 4

2.1.2 Tonsilla Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang

sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti

suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini

tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa

faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang

6

Page 7: Tonsilitis Kronis

nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan

posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran

adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran

maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.4,6,9

2.1.3 Tonsilla Lingualis

Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum

glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada

apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papila sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang

menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila

ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.4

2.2. TONSILITIS

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin

Waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat

terjadi pada semua umur, terutama pada anak.4,5

2.2.1 TONSILITIS AKUT

A. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya, tonsilitis akut dibagi menjadi tonsilitis viral dan tonsilitis

bakterial3. Virus yang paling sering menyebabkan tonsilitis adalah virus Epstein Barr.

Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus

coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum

dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien. Sedangkan bakteri penyebab radang akut tonsil

dapat berupa kuman grup A Streptokokus β hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat,

pneumokokus, Streptokokus viridan dan Streptokokus piogenes. Penularan infeksi terjadi

melalui kontak dari sekret hidung dan ludah (droplet infections).4,5,6

B. Patogenesis

Bakteri dan virus masuk dalam tubuh melalui saluran nafas bagian atas akan

menyebabkan infeksi pada hidung atau faring kemudian menyebar melalui sistem limfa ke

tonsil. Adanya bakteri dan virus patogen pada tonsil menyebabkan terjadinya proses

7

Page 8: Tonsilitis Kronis

inflamasi dan infeksi sehingga tonsil membesar dan dapat menghambat keluar masuknya

udara.6,9

Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang

berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Detritus ini

merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel yang terlepas. Secara klinis

detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsilitis akut

dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini

menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini

juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu (pseudo-membrane) yang

menutupi tonsil.4

C. Manifestasi Klinis

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri tenggorok.

Pada tonsilitis bakteri terdapat masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering

ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang

tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga

(otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf

n.glosofaringeus (N.IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan

terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh membran semu. Membran semu

pada tonsilitis akut mudah dilepaskan, sedangkan membran “sejati” pada tonsilitis difteri

sangat melekat pada mukosa. Hal ini penting untuk dibedakan dalam menegakkan diagnosis.

Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan4,6,9

Gambar 3. Tonsilitis Akut

D. Penatalaksanaan

8

Page 9: Tonsilitis Kronis

Pada tonsilitis viral, terapinya berupa istirahat, minum cukup, analgetika, dan antivirus,

diberikan jika gejala berat. Pada tonsilitis bakteri dapat diberikan antibiotika spektrum lebar

seperti penisilin dan eritromisin, antipiretik, serta obat kumur yang mengandung desinfektan.4

E. Komplikasi

Pada anak, khususnya tonsilitis bakteri, sering menimbulkan komplikasi otitis media

akut, sinusitis, abses peritonsil (Quincy thorat), abses parafaring, bronkitis, glomerulonefritis

akut, miokarditis, artritis serta septikemia akibat infeksi v. jugularis interna (sindrom

Lemierre). Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernapas melalui mulut, tidur

mendengkur (ngorok), gangguan tidur karena terjadinya sleep apnea yang dikenal sebagai

Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS).4,5

2.2.2 TONSILITIS KRONIS

A. Faktor Resiko dan Etiologi

Tonsilitis kronis adalah peradangan tonsil yang menetap sebagai akibat infeksi akut atau

subklinis yang berulang. Ukuran tonsil membesar akibat hyperplasia parenkim atau

degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripta tonsil, namun dapat juga ditemukan tonsil yang

relatif kecil akibat pembentukan sikatrik yang kronis.5,6 Brodsky menjelaskan durasi maupun

beratnya keluhan nyeri tenggorok sulit dijelaskan. Biasanya nyeri tenggorok dan nyeri

menelan dirasakan lebih dari 4 minggu dan kadang dapat menetap. Brook dan Gober seperti

dikutip oleh Hammouda8 menjelaskan tonsillitis kronis adalah suatu kondisi yang merujuk

kepada adanya pembesaran tonsil sebagai akibat infeksi tonsil yang berulang. Infeksi yang

berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan peningkatan stasis debris maupun

antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan integritas epitel kripta sehingga memudahkan

bakteri masuk ke parenkim tonsil. Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan

mengakibatkan terjadinya infeksi tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya

bakteri pada kripta, namun pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda.

Bakteri yang menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap

tonsil.7

Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang menahun dari

rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik

dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan

tonsilitis akut tetapi kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram

negative.4,9

9

Page 10: Tonsilitis Kronis

B. Patogenesis

Tonsil yang berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak

memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh

kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan

peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil

berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.6,9

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang

berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami

pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi oleh detritus. Proses

berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan

dengan jaringan di sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran

kelenjar limfa submandibula.4

Ukuran besarnya tonsil dinyatakan dengan :

1. T0 : bila tonsil didalam fosa tonsil atau sudah dioperasi

2. T1 : bila besarnya 1/4 jarak arkus anterior dan uvula

3. T2 : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula

4. T3 : bila besarnya 3/4 jarak arkus anterior dan uvula

5. T4 : bila besarnya mencapai uvula atau lebih

10

Page 11: Tonsilitis Kronis

Gambar 4. Gambaran Ukuran Tonsil

C. Manifestasi Klinis

Gejala tonsilits kronis dapat berupa gejala lokal, sistemik, dan klinis. Gejala lokal, yang

bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan.

Gejala sistemis, seperti rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris,

nyeri otot dan persendian. Gejala klinis, seperti tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis

folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik

dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan

kelenjar limfe regional.6,9

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kriptus

melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di tenggorok,

dirasakan kering di tenggorok dan napas berbau.4

Gambar 5. Tonsilitis Kronis

Tonsilitis AkutTonsilitis Kronis

Eksaserbasi akutTonsilitis Kronis

Hiperemis dan edema Hiperemis dan edema Memebesar/ mengecil tapi

tidak hiperemis

Kripte tak melebar Kripte melebar Kripte melebar

Detritus (+ / -) Detritus (+) Detritus (+)

Perlengketan (-) Perlengketan (+) Perlengketan (+)

Antibiotika,

analgetika,

obat kumur

Sembuhkan radangnya, Jika perlu

lakukan tonsilektomi 2 – 6 minggu

setelah peradangan tenang

Bila mengganggu lakukan

Tonsilektomi

11

Page 12: Tonsilitis Kronis

D. Tatalaksana

1) Medikamentosa

Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur,

analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala yang timbul biasanya akan

hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus perlu diobati dengan Penisilin V

secara oral, Sefalosporin, Makrolida, Klindamisin, atau injeksi secara intramuskular Penisilin

Benzatin G. Terapi yang menggunakan Penisilin mungkin gagal (6-23%), oleh karena itu

penggunaan antibiotik tambahan mungkin akan berguna.4,6,9

2) Operatif

Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada pasien

dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari

fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko

menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.

Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum

mempunyai keseragaman indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini

adalah tonsilitis kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis

dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun.3

Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck

Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan Indikasi tonsilektomi

menurut The American Academy of Otolaryngology ,Head and Neck Surgery.4

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali per tahun walaupun telah mendapatkan terapi yang

adekuat.

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan gangguan

pertumbuhan orofacial.

c. Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertropi tonsil dengan sumbatan jalan nafas, sleep

apnea, gangguan menelan, gangguan bicara, dan cor pulmonal.

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak berhasil

hilang dengan pengobatan.

e. Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A streptococcus β haemoliticus.

g. Hipertropi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.

h. Otitis media efusa atau otitis media supuratif.

12

Page 13: Tonsilitis Kronis

Kontraindikasi untuk tonsilektomi antara lain adalah:

a. Infeksi pernapasan bagian atas berulang,

b. Infeksi sistemik atau kronis,

c. Demam yang tidak diketahui penyebabnya,

d. Pembesaran tonsil tanpa gejala-gejala obstruksi,

e. Rhinitis alergika,

f. Asma,

g. Diskrasia darah,

h. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh,

i. Tonus otot yang lemah,

j. Sinusitis.6

E. Komplikasi

Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar

atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai

komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut: 4,6,9

1. Komplikasi ke sekitar tonsil (perkontinuitatum):

- Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya

trismus dan abses.

- Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang

peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami

supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.

- Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah

bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus

paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.

- Abses Retrofaring. Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya

terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi

kelenjar limfe.

- Krista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan

fibrosa dan ini menimbulkan krista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan

berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.

13

Page 14: Tonsilitis Kronis

- Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium

karbonat dalam jaringan tonsil yang  membentuk bahan keras seperti kapur.

2. Komplikasi Organ jauh:

- Demam rematik dan penyakit jantung rematik

- Glomerulonefritis

- Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis

- Psoriasis, eritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura

- Artritis dan fibrositis

F. Dampak Tonsilektomi Terhadap Imunitas

Tonsila palatina menghasilkan antibodi melalui peran sel B. Pertumbuhan tonsil

maksimum terjadi di antara usia 4-7 tahun, sedangkan involusi mulai terjadi pada usia 14

tahun. Tonsil obstruktif merupakan indakasi yang paling sering menjadi alasan tonsilektomi

pada anak. Telah dilakukan sebuah literature review yang ditujukan untuk mengetahui

dampak tonsilektomi terhadap sistem imun yang hasilnya akan dijabarkan selanjutnya. 12

1. Hasil

Total 27 artikel telah dikumpulkan termasuk data yang belum pernah dipublikasikan oleh

peneliti. Artikel ini dipublikasikan di antara tahun 1971 dan 2009, dimana data yang

paling baru adalah data dari peneliti yang didapatkan pada tahun 2010. Studi-studi ini

melibatkan 1.665 pasien dengan rentang usia 1.5 sampai dengan 30 tahun. Dua pulih satu

studi yang melibatkan 943 pasien melaporkan bahwa tonsilektomi tidak memiliki efek

yang negatif terhadap sistem imun, dimana 6 studi yang melibatkan 722 pasien

menunjukkan bahwa tonsilektomi tidak memiliki efek yang negatif terhadap imunitas.12

14

Page 15: Tonsilitis Kronis

2. Kesimpulan

Walaupun studi-studi yang dilibatkan dalam literature review ini memiliki variabilitas

dalam berbagai aspek, dapat kita simpulkan bahwa studi-studi tersebut tidak

menunjukkan adanya dampak yang negatif terhadap sistem imun setelah dilakukan

tonsilektomi. Walaupun ada beberapa studi yang mengatakan hal yang sebalikanya,

namun hasil studi yang menyatakan bahwa tonsilektomi tidak memiliki dampak yang

negatif terhadap sistem imun jumlahnya lebih banyak, lebih baru dan lebih komprehensif

dibandingkan dengan studi yang melaporkan hasil yang sebaliknya.12

2.3. HIPERTROFI ADENOID

A. Etiologi

Adenoid ialah massa yang terdiri dari jaringan limfoid yang terletak pada dinding

posterior nasofaring, termasuk dalam rangkaian cincin Waldeyer. Secara fisiologik adenoid

membesar pada anak usia 3 tahun dan kemudian akan mengecil dan hilang sama sekali pada

usia 14 tahun. Bila sering terjadi infeksi saluran napas bagian atas maka dapat terjadi

hipertrofi adenoid. Akibat dari hipertrofi adenoid ini akan timbul sumbatan koana dan

sumbatan tuda eustachius.4

15

Page 16: Tonsilitis Kronis

B. Gejala

Gejala yang timbul diakibatkan sumbatan koana, pasien akan bernapas melalui mulut

sehingga terjadi a) fasies adenoid yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan

(prominen) arkus faring tinggi yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang

bodoh, (b) faringitis dan bronkitis, (c) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal

sehingga menimbulkan sinusitis kronis.4

Akibat lain dapat terjadi sumbatan tuba eustasius sehingga akan terjadi otitis media akut

berulang, otitis media kronik dan akhirnya otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi

adenoid juga akan menyebabkan gangguan tidur, tidur ngorok, retardasi mental dan

pertumbuhan fisik berkurang.4

C. Diagnosis

Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya

gerakan velum palatum mole pada waktu fonasi, pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak

biasanya sulit), pemerikskaan digital untuk meraba adanya adenoid dan pemeriksaan

radiologik dengan membuat foto lateral kepala (pemeriksaan ini lebih sering dilakukan pada

anak).4

D. Terapi

Pada hipertrofi adenoid dilakukan terapi bedah adenoidektomi dengan cara kuretase

memakai adenotom.4

Indikasi adenoidektomi4

1. Sumbatan

a. Sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas lewat mulut

b. Sleep apnea

c. Gangguan menelan

d. Gangguan berbicara

e. Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid facies)

2. Infeksi

a. Adenoiditis berulang/kronik

b. Otitis media efusi berulang/kronik

c. Otitis media akut berulang

3. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas

16

Page 17: Tonsilitis Kronis

BAB III

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : An. AMW

Umur : 13 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Rembige, Kota Mataram

Pekerjaan : Pelajar

No. Rekam Medik : 118536

Tanggal pemeriksaan : 11 Maret 2015

ANAMNESIS ( autoanamnesis dan heteroanamnesis dengan ayah pasien )

Keluhan Utama:

Sulit menelan

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien datang ke poliklinik THT RSUP NTB dengan keluhan sulit menelan yang

dirasakan sejak sekitar 6 bulan terakhir. Menurut pasien, di tenggorokan seperti ada yang

mengganjal. Keluhan sulit menelan terutama dirasakan pasien sangat mengganggu jika

disertai rasa nyeri di tenggorokan, demam, dan sulit untuk bernafas. Keluhan tersebut

dirasakan pasien kumat - kumatan. Ayah pasien mengatakan keluhan muncul satu hingga dua

kali dalam sebulan, terakhir kambuh sekitar 2 minggu yang lalu. Pasien menyangkal adanya

pilek dan batuk saat datang memeriksakan diri. Ayah pasien mengatakan pasien sering

mendengkur saat tidur. Selain itu, pasien juga dikeluhkan nafas berbau. Nyeri pada telinga,

telinga terasa mendengung dan telinga terasa penuh disangkal oleh pasien. Pasien mengaku

sering mengkonsumsi minuman dingin dan makanan berminyak serta jajanan-jajanan dan

makanan yang pedas. Demam (-), rasa lemah letih lesu (-), nyeri sendi-sendi (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien mengaku memang sudah sering mengalami nyeri tenggorokan, dimana dalam 6 bulan

terakhir ini pasien mengalami keluhan sulit menelan yang sangat mengganggu sebanyak >10

kali. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit berat, riwayat rhinitis (-), sinusitis (-), otitis (-),

17

Page 18: Tonsilitis Kronis

asma (-), riwayat trauma pada tenggorokan (-), riwayat penggunaan obat-obatan dan riwayat

alergi (-).

Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan pasien.

Riwayat Pengobatan:

Jika keluhan sulit menelan yang sangat mengganggu muncul, pasien segera minum antibiotik

dan paracetamol yang kemudian akan mengurangi keluhan yang dirasakan namun pasien

mengaku tidak pernah merasa benar-benar sembuh. Saat kambuh sekitar 2 minggu yang lalu,

pasien berobat ke dokter keluarga, dianjurkan untuk operasi amandel, kemudian pasien

datang ke RSUP NTB.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

- Keadaan umum : Baik

- Kesadaran : Compos mentis

- Tanda vital :

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Nadi : 92 x/menit

Respirasi : 20 x/menit

Suhu : 36,8oC

Status Lokalis

Tidak didapatkan pembesaran kelenjar getah bening di leher

Pemeriksaan telinga:

No Pemeriksaan Telinga Telinga kanan Telinga kiri

1. Daun telinga Bentuk dan ukuran telinga dalam batas normal, nyeri tragus (-), lesi pada kulit (-), hematoma (-), massa (-), fistula (-), nyeri tarik aurikula (-).

Bentuk dan ukuran telinga dalam batas normal, nyeri tragus (-), lesi pada kulit (-), hematoma (-), massa (-), fistula (-), nyeri tarik aurikula (-).

2. Liang telinga luar Serumen (-), edema (-), hiperemi (-), furunkel (-),

Serumen (-), edema (-), hiperemi (-), furunkel (-),

18

Page 19: Tonsilitis Kronis

otorhea (-) otorhea (-)

3. Membran timpani Intak, retraksi (-), bulging (-), warna membran timpani putih, cone of light (+), perforasi (-)

Intak, retraksi (-), bulging (-), warna membran timpani putih, cone of light (+), perforasi (-)

Pemeriksaan hidung:

Pemeriksaan Hidung Hidung Kanan Hidung KiriHidung luar Bentuk (N), inflamasi (-), nyeri

tekan (-), deformitas (-)Bentuk (N), inflamasi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)

Rinoskopi anteriorVestibulum nasi N, ulkus (-) N, ulkus (-)Cavum nasi Bentuk (N), sekret (-), mukosa

hiperemi (-)Bentuk (N), sekret (-), mukosa hiperemi (-)

Meatus nasi media Mukosa hiperemi (-), sekret (-), massa (-)

Mukosa hiperemi (-), sekret (-), massa (-)

Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemia (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-)Septum nasi Deviasi (-), benda asing (-),

perdarahan (-), ulkus (-)Deviasi (-), benda asing(-), perdarahan (-), ulkus (-)

19

Page 20: Tonsilitis Kronis

Pemeriksaan Tenggorokan:

Rongga Mulut KeteranganBibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah mudaGeligi NormalLidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-)Uvula Bentuk normal, hiperemi (-), edema (-), pseudomembran (-)Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)Faring Mukosa hiperemi (-), edema (-), granul (-), ulkus (-), neovaskularisasi (-)Tonsila palatine Kanan Kiri

Ukuran T3, hiperemis (-), permukaan tidak rata (+), kripte melebar (+), detritus (+)

Ukuran T3, hiperemis (-), permukaan tidak rata (+), kripte melebar (+), detritus (+)

Fossa Tonsillaris Arkus Faringeus

hiperemi (-) hiperemi (-)

DIAGNOSIS KERJA

Tonsilitis Kronis

dd/ Adenotonsilitis Kronis

PLANNING

Pemeriksaan Penunjang

- Kultur swab tenggorokan dan uji resistensi bakteri dari swab tonsil untuk mengetahui

mikroorganisme penyebab dan antibiotik yang sesuai

- Pemeriksaan ASTO

20

Kripte (+)

Detritus (+)

T3

T3T3

Page 21: Tonsilitis Kronis

Terapi

1. Medikamentosa

a) Antipiretik-Analgetik: Paracetamol tab 500mg 3 x ½ tab bila nyeri atau demam

b) Obat Kumur dengan desinfektan atau larutan garam: tiap 4 jam, @ selama +30 detik.

2. Operatifa) Pro Tonsilektomi

b) Untuk kepentingan pre operasi:

- Pro Cek DL, CT, BT

- Pro Foto Thoraks AP

- Pro Konsul dokter spesialis anak

3. KIE

- Untuk saat ini tonsil atau amandel pasien tidak dalam keadaan meradang sehingga

untuk mencegah kekambuhan, sementara hindari makanan yang berminyak, minuman

atau makanan dingin, serta makanan yang bersifat iritatif terhadap tenggorokan.

- Menjaga higiene mulut agar tidak terjadi tonsilitis berulang.

- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa tindakan terapi yang paling baik adalah

dengan tindakan operatif. Hal ini dilakukan karena adanya beberapa indikasi yang

menjadi dasar untuk dilakukan tindakan operasi pada pasien yaitu berupa adanya

riwayat kekambuhan yang lebih dari 3 kali dalam 6 bulan terakhir, adanya keluhan

sulit menelan, nafas berbau serta gangguan ketika tidur berupa mengorok.

- Edukasi kepada orangtua pasien untuk mengambil keputusan tindakan operatif untuk

mencegah kekambuhan dan apabila setuju akan dilakukan pemeriksaan yang lengkap

untuk persiapan operasi.

- Menjelaskan kepada keluarga pasien bahwa apabila tidak dilakukan operasi maka

resiko kekambuhan akan tinggi, terutama jika tidak menjaga higienitas rongga mulut,

dan dapat menimbulkan infeksi ke daerah sekitar mulut apabila tidak ditangani

dengan baik.

PROGNOSIS

Dubia ad bonam

21

Page 22: Tonsilitis Kronis

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, diajukan suatu kasus seorang anak berusia 13 tahun dengan diagnosis

tonsilitis kronis. Diagnosa tonsillitis kronis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesa dan

pemeriksaan fisik dimana didapatkan bahwa pasien mengeluhkan adanya keluhan sulit

menelan yang dialami sejak 6 bulan terakhir dan dirasakan sangat mengganggu kumat –

kumatan, yakni > 10 kali. Pada pemeriksaan fisik tenggorokan dengan spatula lidah

didapatkan pembesaran pada daerah tonsil (tonsila palatina), dengan ukuran pembesaran

tonsil T3 (kanan) –T3 (kiri), tampak kripte yang melebar dengan detritus di dalamnya tanpa

disertai tanda meradang.

Untuk mendukung diagnosa dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan

pemeriksaan kultur bakteri dan uji sensitifitas dari usap tenggorok atau fine neddle aspiration.

Hal ini dapat mengefektifkan pengobatan dan mengetahui bakteri penyebab sehingga dapat

pula diketahui penyukit-penyulit yang mungkin dapat terjadi di kemudian hari. Selain itu,

dilakukan pemeriksaan ASTO untuk mencari tahu apakah ada kemungkinan tonsilitis yang

dialami pasien disebabkan oleh bakteri Streptokokus β Hemolitikus Grup A.

Terapi yang direncanakan untuk penderita ini adalah tonsilektomi. Pada pasien ini

direncanakan untuk dilakukan tonsilektomi. Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi

dilakukan dalam usaha untuk mengendalikan penyakit faring berulang, obstruksi jalan nafas

atas, dan otitis media kronis.

Hal ini sesuai dengan indikasinya yaitu serangan tonsilitis yang lebih dari tiga kali dalam

setahun walau telah diberikan terapi yang adekuat, terdapat obstructive sleep apnea yang

tidak berhasil dengan pengobatan, serta nafas berbau. Penderita ini sudah bisa dilakukan

tonsilektomi karena tidak sedang berada dalam keadaan infeksi/eksarsebasi.

Namun sebelum itu, perlu dinilai apakah terdapat kontraindikasi tindakan tonsilektomi,

antara lain riwayat penyakit perdarahan, resiko anestesi yang buruk atau riwayat penyakit

yang tidak terkontrol, anemia, dan infeksi akut.

Untuk tindakan operatif ini perlu diberikan KIE yang jelas kepada penderita khususnya

keluarga penderita.

22

Page 23: Tonsilitis Kronis

DAFTAR PUSTAKA

1. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology. Sixth Edition. New York: McGraw-

Hill Companies; 2004.

2. Moore KL, Agur AMR. Essential Clinical Anatomy. Second Edition. New York:

Lippincott Williams and Wilkins; 2002.

3. Amarudin T, Christanto A. Kajian Manfaat Tonsilektomi. Cermin Dunia Kedokteran.

2007; 155: Hal. 61-8.

4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Faringitis, Tonsilitis dan Hipertrofi

Adenoid. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan

Leher. Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008. Hal. 217-25.

5. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. Seventeenth

Edition. USA: Saunders Elsevier; 2004.

6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Penyakit – penyakit Orofaring. Dalam: BOIES: Buku

Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC; 1997. Hal. 327-42.

7. Brodsky L, Poje Ch. Tonsillitis, Tonsilectomy and Adenoidectomy. Dalam: Bailey BJ,

Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck Surgery. 4th Ed Vol

1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006: Hal.1183-98.

8. Bluestone CD. Controversies in tonsillectomy, adenoidectomy, and tympanostomy tubes.

In: Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD editors. Ototlaryngology Head and Neck

Surgery, 4th Ed Vol 1 Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006:p.1199-208.

9. Ballenger JJ. Dissease of the Oropharynx. Dalam: Otorhinolaryngology Head and Neck

Surgery. Ed 16. Lea Febiger Book. Baltimore, Philadelphia, Hongkong, London, Munich,

Sydney, Tokyo 2003: Hal. 332-69.

10. Wiatrak BJ, Woolley AL. Pharyngitis and Adenotonsilar Desease. Dalam : Cummings

CW editor. Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th ed. Philadelphia Elsevier Mosby.

2007: Hal.4136-65.

11. Health Technology Assessment (HTA) Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa. Jakarta. 2004.

12. Bitar, M.A. Effect of tonsillectomy on the immune system: where do we stand now?. US:

Institutional Review Board at the American University of Beirut. 2012.

23

Page 24: Tonsilitis Kronis

LAPORAN KASUSTONSILITIS KRONIS

PEMBIMBING:dr. I Gusti Ayu Trisna, Sp.THT-KL

OLEH:Ajeng SavitriH1A 009 021

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAMRUMAH SAKIT UMUM PROPINSI NTB

2015

24