Toksisitas nikel [ni] terhadap ikan nila gift (Oreochromis niloticus) … · 2019-07-03 ·...

149
TOKSISITAS NIKEL [Ni] TERHADAP IKAN NILA GIFT (Oreochromis niloticus) PADA MEDIA BERKESADAHAN LUNAK (SOFT HARDNES) MARDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

Transcript of Toksisitas nikel [ni] terhadap ikan nila gift (Oreochromis niloticus) … · 2019-07-03 ·...

  • i

    TOKSISITAS NIKEL [Ni] TERHADAP IKAN NILA GIFT (Oreochromis niloticus) PADA MEDIA BERKESADAHAN

    LUNAK (SOFT HARDNES)

    MARDIN

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2011

  • ii

    PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini, saya menyatakan bahwa Tesis Toksisistas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak (Soft Hardnes) adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

    Bogor, Juni 2011

    Mardin NIM C151080191

  • iii

    ABSTRACT

    MARDIN. Toxicity of Nickel (Ni) against Nila GIFT (Oreochromis niloticus) on the Soft Hardnes Water. Under direction of KUKUH NIRMALA and TATAG BUDIARDI

    .

    Nickel is a member of heavy metals. It can potentially poison the blood, interfere the respiratory system, damage tissues and membranes of lenders, and change the cell system. This research aimed to determine the effect of nickel toxicity on various biochemical processes in body GIFT tilaphia such as : level of oxygen consumption, hematological system, histopathology system, level of nickel accumulation,growth rate, and on survival rate. This research was conducted in three stages: test value range, acute test, and sub-chronic test. Acute test consisted of 5 treatment concentrations (0.00, 10.67, 18.98, 33.76, and 60.05 ppm). Sub-chronic test consisted of 3 phases (0.00, 1.39, and 4.18 ppm). Lc-50 value of 96 hours was 13.93 ppm. The level of nickel accumulations in flesh on treatment with concentrations of 60.05, 33.76, 18.98, 10.67, and 00:00 ppm respectively were: 73.37, 56.08, 42.00, and 32.90 mg/kg, while at 0:00 ppm, nickel was not detected. Generally, level of oxygen consumption in chronic sub test decreased significantly. After 32 days nickel exposure, treatment with concentration 4,18 and 1,39 ppm was respectively down: 0,47 to 0,14, and 0,46 to 0,21. At 0,00 ppm, it also decreased level of oxygen consumption but it was still stable relatively, from 0,49 to 0,42. Nickel exposure for 30 days also decreased hematocrit level, hemoglobin, erythrocyte, increased number of leukocytes, reduced growth rate, and damaged gill and liver.

    Key words: nickel, toxicity, GIFT tilapia (Oreochromis niloticus)

  • iv

    RINGKASAN

    MARDIN. Toksisitas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila GIFT (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak (Soft Hardnes). Dibimbing oleh KUKUH NIRMALA dan TATAG BUDIARDI.

    Nikel merupakan salah satu anggota kelompok jenis logam berat yang memiliki sifat toksik bagi organisme perairan. Dampak dari logam berat nikel terhadap biota perairan adalah dapat meracuni darah, menganggu sistem pernapasan, merusak jaringan, selaput lendir, dan mengubah sistem sel. Pencemaran perairan yang disebabkan oleh nikel dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya kegagalan dalam proses akuakultur. Hal ini dapat ditemukan pada kasus terjadinya kematian massal pada tingkat pencemaran berat dan efek yang lebih jauh, pada tingkat pencemaran yang lebih rendah akan berdampak pada kesehatan manusia yang menempati posisi top level dalam rantai makanan.

    Penelitian ini bertujuan mencari potensi toksisitas akut dari nikel yang dapat diekspresikan oleh nilai LC50 nikel dan mempelajari pengaruh dan sifat toksik nikel terhadap tingkat konsumsi oksigen, bioakumulasinya di dalam darah dan daging/otot, kondisi hematologi, dan kondisi histopatologi ikan nila GIFT. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: uji nilai kisaran, uji akut, dan uji sub kronik. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila GIFT dengan bobot rata – rata 13 – 15 gram per ekor, sedangkan nikel yang digunakan sebagai sumber toksikan adalah nikel klorida (NiCl2

    Hasil penelitian menunjukan bahwa nikel memiliki sifat toksik yang relatif tinggi terhadap ikan nila GIFT. Nilai LC

    ). Wadah penelitian berupa akuarium berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm yang diisi air sebanyak 30 liter. Pada uji akut digunakan 5 taraf konsentrasi yaitu tanpa nikel (A); 10.67 ppm (B); 18.98 ppm (C); 33.76 ppm (D); dan 60.05 ppm (E). Selanjutnya pada uji sub kronik digunakan 3 taraf yaitu tanpa nikel (A); 1.39 ppm (B); dan 4.18 ppm (C).

    50 96 jam sebesar 13.93 mg/L. Dampak kematian merupakan respon karena nikel merupakan xenobiotik yang mengganggu proses dalam sel organisme, menghambat kerja asetilkolinesterase sehingga terjadi akumulasi asetilkolin dalam susunan saraf pusat, menginduksi tremor, inkoordinasi, kejang-kejang sampai menyebabkan ikan uji menjadi kaku dan mati. Akumulasi pada neuromuscular akan mengakibatkan kontraksi otot yang diikuti dengan kelemahan, hilangnya reflex dan paralisis. Toksisitas nekel berdampak merusak jaringan insang yang disebabkan oleh bereaksinya ion Ni2+

    Pada pengukuran kualitas air, secara keseluruhan kisaran nilai pada setiap parameter masih dalam kisaran yang layak bagi kehidupan ikan nila GIFT. Ini berarti parameter kualitas air bukan sebagai faktor pembatas bagi kehidupan ikan nila GIFT dalam penelitian ini.

    dengan lender insang yang menyebabkan insang diselimuti oleh lender yang mengandung nikel dan merusak struktur lamella. Toksisitas nikel juga berdampak menurunkan konsumsi oksigen danmenyebabkan penyimpangan hematologi. Mulai dari konsentrasi 1,39 ppm, nikel menurunkan persentase hematokrit, persentase hemoglobin, kadar eritrosit, dan menaikan kadar leukosit darah ikan nila GIFT.

    Kata kunci : nikel, toksisitas, ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus)

  • v

    © Hak cipta milik IPB, tahun 2011

    Hak cipta dilindungi Undang-undang

    1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

    a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

    b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya

    tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

  • vi

    TOKSISITAS NIKEL (Ni) TERHADAP IKAN NILA GIFT (Oreochromis niloticus ) PADA MEDIA BERKESADAHAN

    LUNAK (SOFT HARDNES)

    MARDIN

    Tesis Sebagai salah satu syarat untuk untuk memperoleh gelar

    Magister Sains pada Mayor Ilmu Akuakultur

    SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR 2011

  • vii

    Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. D. Djokosetiyanto, DEA

  • viii

    Judul Tesis : Toksisitas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila GIFT (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak (Soft Hardnes)

    Nama : Mardin NIM : C151080191

    Disetujui

    Komisi Pembimbing

    Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc. Ketua Anggota

    Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Si.

    Diketahui,

    Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Akuakultur

    Prof. Dr. Enang Harris, M.S.

    Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

    Tanggal Ujian : 28 April 2011 Tanggal Lulus : Juni 2011

  • ix

    PRAKATA

    Sesungguhnya atas berkat dan karunia Allah SWT, proses perkuliahan dan

    penyusunan tesis dengan judul “Toksisitas Nikel (Ni) terhadap Ikan Nila GIFT

    (Oreochromis niloticus) pada Media Berkesadahan Lunak” dapat terselesaikan

    dengan baik.

    Ucapan terima kasih disampaikan kepada seluruh pihak yang telah

    memberikan doa, bantuan, motivasi dan dorongan untuk melakukan tugas belajar

    pada Program Magister Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut

    Pertanian Bogor. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin

    menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada :

    1. Bapak Dr. Ir. Kukuh Nirmala, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.Sc

    sebagai komisi pembimbing, atas curahan waktu, perhatian, motivasi dan

    pikiran dalam penyusunan tesis ini

    2. Bapak Prof. Dr. D. Djokosetiyanto, DEA selaku penguji luar komisi dan

    selaku Ketua Mayor Ilmu Akuakultur atas saran dan masukan untuk

    kesempurnaan tesis ini.

    3. Terima kasih pada tunanganku Wa Ode Lili Rahalia, S.P atas segala doa,

    dukungan dan motivasi yang telah diberikan

    4. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda La Udu dan ibunda Wa

    Aima, Kakak (Zubiah, Rabiana, Jamil), adik (Sahbir, S.Pd, Kamil, S.Pd,

    Aida, dan Masroni), Kakak dan Adik Ipar (Drs. Sulfa, M.Si, Haerun, Nur

    Hamidah, dan Zaidah), dan semua keluarga atas segala doa, dukungan dan

    motivasi selama penulis menempuh studi.

    5. Rekan-rekan mahasiswa pascasarjana Mayor Ilmu Akuakultur angkatan 2008

    atas kebersamaan dan kerjasamanya

    Akhirnya, penulis berharap semoga karya ini dapat bermanfaat dan hanya

    kepada Allah SWT kita berserah diri.

    Bogor, Juni 2011

    Mardin

  • x

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Pulau Maginti Kecamatan Maginti Kabupaten Muna

    Provinsi Sulawesi Tenggara pada tanggal 26 Juli 1978 dari pasangan Bapak La

    Udu dan Ibu Wa Aima. Penulis merupakan anak ke empat dari delapan

    bersaudara.

    Pendidikan Sekolah Dasar diselesaikan penulis di SD Negeri No.2 Pulau

    Maginti, lulus tahun 1991, SMP Satria Kendari lulus tahun 1994 dan SMAN 2

    Kendari lulus tahun 1997. Pada tahun 1997, penulis diterima sebagai mahasiswa

    pada program studi Budidaya Perairan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian,

    Universitas Haluoleo melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

    Penulis tamat dari Universitas Haluoleo pada tahun 2005.

    Tahun 2006 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negri Sipil

    pada Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Timur Provinsi

    Maluku Utara. Pada tahun 2008, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan

    S2 di Mayor Ilmu Akuakultur, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

  • xi

    DAFTAR ISI Halaman

    PRAKATA ................................................................................................ x DAFTAR ISI .............................................................................................. xii DAFTAR TABEL ..................................................................................... xiv DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ............................................. ............................... xvi

    I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2 Kerangka Pemikiran ................................................................. 2 1.2 Tujuan dan Manfaat .................................................................. 3 1.3 Hipotesis ................................................................................... 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5

    2.1 Klasifikasi dan Morfologi ikan Nila .......................................... 5 2.2 Logam Berat Nikel .................................................................... 7 2.3 Toksisitas Logam Berat ............................................................. 8 2.4 Toksisitas Logam Berat Nikel .................................................. 11 2.5 Akumulasi Logam Ni pada Tubuh Ikan Nila ............................ 14 2.6 Sistem Pernapasan Ikan ............................................................. 15

    2.7 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Tingkat Konsumsi Oksigen ..................................................................................... 16 2.8 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Kondisi Hematologi Ikan .. 17 2.9.1 Eritrosit ............................................................................. 18 2.9.2 Leukosit ........................................................................... 19 2.9.3 Hematokrit ........................................................................ 20 2.9.4 Hemoglobin ...................................................................... 21

    2.9 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Histopatologi ................... 21 2.10 Bioassay .................................................................................... 24 2.11 Kualitas Air ............................................................................... 25

    III. METODE PENELITIAN .................................................................... 28 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................... 28 3.2. Bahan dan Alat Penelitian ........................................................... 28 3.2.1. Bahan dan Ikan Uji ............ ............................................. 28 3.2.2. Media Uji ....................................................................... 28 3.2.3. Alat Uji ........................................................................... 28 3.2.4. Wadah Penelitian ........................................................... 29 3.3 Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 29 3.3.1 Uji Nilai Kisaran ........................................................... 29 3.3.2. Uji Toksisitas Akut ........................................................ 30 3.3.3. Uji Sub-Kronik ............................................................... 31 3.4. Analisis data ............................................................................. 39

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 39 4.1. Hasil ........................................................................................... 39

    4.1.1. Uji Nilai Kisaran ............................................................ 39

  • xii

    4.1.2. Uji Akut .......................................................................... 39 4.1.3. Uji Sub Kronik .............................................................. 46

    4.2. Pembahasan Umum .................................................................... 58

    V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 68 5.1 Kesimpulan .............................................................................. 70 5.2 Saran .......................................................................................... 70

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 71

    LAMPIRAN ........................................................................................... 76

  • xiii

    DAFTAR TABEL

    Halaman

    1 Sifat toksisitas nikel pada beberapa jenis ikan ................................... 14 2 Persentase tingkat kematian ikan nila GIFT selama uji nilai kisaran

    pemaparan nikel ................................................................................... 39

    3 Rata-rata tingkat konsumsi oksigen ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel .................................................................................. 46

    4 Rata-rata hematokrit, hemoglobin, eritrosit, dan leukosit darah ikan nila GIFT setelah 30 hari pemaparan nikel ......................................... 48

    5 Kondisi jaringan organ hati dan insang …………… ........................... 53

    6 Kisaran rata-rata nilai beberapa parameter kimia dan fisika air media selama uji sub kronik .......................................................................... 58

  • xiv

    DAFTAR GAMBAR

    Halaman

    1 Morfologi ikan nila GIFT ........................................................................ 5

    2 Bagian-bagian lamela insang ................................................................... 21

    3 Persentase tingkat mortalitas ikan nila GIFT selama uji akut pemaparan nikel .......................................................................................................... 40

    4 Tingkat akumulasi nikel pada darah ikan nila GIFT selama uji akut ...... 42

    5 Tingkat akumulasi nikel pada daging/otot ikan nila GIFT selama uji akut ............................................................................................................ 43

    6 Rata-rata frekuensi pergerakan operculum ikan nila GIFT selama uji akut pemaparan nikel ............................................................................... 43

    7 Nilai LC508 Tingkat konsumsi oksigen ikan nila selama 30 hari pemaparan nikel ..... 47

    ikan nila GIFT pada uji akut pemaparan nikel ....................... 45

    9 Rata-rata kadar hematokrit darah ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ....................................................................................... 49

    10 Rata-rata kadar hemoglobin darah ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ........................................................................................ 50

    11 Rata-rata kadar eritrosit darah ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel .......................................................................................................... 51

    12 Rata-rata jumlah leukosit darah ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ....................................................................................... 52

    13 Rata-rata pertumbuhan berat mutlak ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ....................................................................................... 56

    14 Rata-rata laju pertumbuhan spesifik ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ....................................................................................... 56

    15 Rata-rata tingkat kelangsungan hidup ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ....................................................................................... 57

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Halaman

    1 Data mortalitas ikan pada uji nilai kisaran .............................................. 74

    2 Data mortalitas ikan pada uji lanjut ( uji akut) ......................................... 75

    3 Diagram dari tahap proses pengukuran kandungan nikel dalam daging ikan nila dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption

    Spectroscpic)……………………………………………………………… 76 4 Tingkat rata-rata akumulasi logam berat nikel dalam darah ikan nila gift pada uji akut ………………………………………………………….... 78

    5 Tingkat rata-rata akumulasi logam berat nikel dalam daging ikan nila gift pada uji akut ..................................................................................... 80

    6 Out put analisis probit LC507 Out put analisis probit LC

    -24 jam ......................................................... 82

    50

    8 Output analisis probit LC

    -48 jam ......................................................... 84

    50

    9 Output analisis probit LC

    -72 jam ............................................................ 86

    50

    10 Rata-rata frekuensi gerak operculum ikan nila GIFT selama uji

    -96 jam ............................................................ 88

    akut pemaparan nikel ................................................................................. 90

    11 Analisis ragam konsumsi oksigen ikan nila GIFT selama 32 hari pemaparan nikel ............................................................................. 96

    12 Analisis ragam kadar hematokrit ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel .......................................................................... 102

    13 Analisis ragam kadar haemoglobin ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ............................................................................ 107

    14 Analisis ragam jumlah eritrosit ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel ........................................................................... 112

    15 Analisis ragam jumlah leukosit ikan nila GIFT selama 30 hari pemaparan nikel .......................................................................... 117

    16 Pertumbuhan mutlak berat rata-rata ikan nila GIFT pada media yang terkontaminasi nikel selama 32 hari pemaparan nikel ............................. 122

    17 Laju pertumbuhan spesifik rata-rata ikan nila GIFT pada media yang terkontaminasi nikel selama 32 hari pemaparan ...................................... 124

    18 Tingkat konsumsi pakan rata-rata ikan nila GIFT … .............................. 129

    19 Derajat kelangsungan hidup (survival rate) ikan nila GIFT pada media yang terkontaminasi nikel selama 32 hari pemaparan nikel .................... 130

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Nikel (Ni) merupakan salah satu anggota kelompok logam berat. Logam ini

    termasuk logam transisi golongan VIIIB yang berwarna putih perak mengkilat,

    keras, mudah dibentuk dan mudah ditempa. Pemanfaatan nikel bagi kebutuhan

    manusia terutama sebagai pelapis logam tahan karat, pembuatan aliasi logam

    (monel, nikron, dan alkino), dan sebagai katalis pada hidrogenasi lemak dalam

    pembuatan margarine (Sunardi 2006).

    Didorong oleh kebutuhan ini, aktivitas penambangan nikel dunia terus

    mengalami peningkatan. Di Indonesia, potensi penambangan nikel terdapat di

    Sulawesi, Kalimantan bagian Tenggara, Maluku, dan Papua (Anonim 2011).

    Lokasi penambangan nikel yang umumnya berdekatan dengan sungai dan laut

    memungkinkan nikel masuk ke perairan melalui limpasan air hujan dari tumpukan

    tanah tambang dan debu tanah tambang yang mengendap dari atmosfir. Kondisi

    ini dapat membuat konsentrasi alami nikel di perairan bergeser pada kondisi

    ekstrim, yaitu konsentrasi nikel di perairan meningkat melewati batas sehingga

    nikel akan bersifat toksik bagi biota perairan. Biota laut yang hidup di perairan

    tercemar secara biologis akan mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan

    tubuhnya, semakin tinggi tingkat pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi

    pula kadar logam berat yang terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di

    dalamnya (Bryan 1976).

    Dalam kondisi ekstrim, nikel dapat meracuni darah ikan, menyebabkan

    gangguan saraf, kerusakan hati, kerusakan insang, dan lain-lain. Menurut Connel

    dan Miller (1995) terdapat pengaruh toksik Ni pada ikan salmon. Pada kadar

    1200 ppb (1,2 ppm) logam Ni dapat mematikan 50% embrio dan larva kerang C

    Virginica (LC50, 24 jam), dan pada kadar 1300 ppb (1,3 ppm) dan 5700 ppb) (5,7

    ppm) dapat mematikan 50% embrio dan larva kerang M. Marcenaria. Nilai LC50

    nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100

    ppm. Peningkatan kesadahan, pH, dan konsentrasi bahan toksik memberikan

    pengaruh signifikan terhadap konsentrasi LC50 ikan (Isaac 2009). Pada perairan

    yang berkesadahan lunak (soft hardnes), nikel akan bersifat lebih toksik. Sifat

  • 2

    toksik akan berkurang seiring dengan meningkatnya kesadahan. Dengan

    demikian, Ni akan lebih toksik pada ikan yang dibudidayakan di air tawar,

    dibanding yang dibudidayakan di air payau atau laut yang kesadahannya lebih

    tinggi.

    Ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus) adalah salah satu jenis ikan air

    tawar yang termasuk dalam komoditas ekspor perikanan unggulan. Pengimpor

    ikan nila dari Indonesia mencakup Amerika, Eropa, dan Jepang. Pada tahun 2015,

    perluasan tujuan ekspor ikan Indonesia adalah menembus negara-negara Timur

    Tengah. Kondisi ini membuka peluang yang sangat luas untuk meningkatkan

    produksi ikan nila. Hal ini didukung pula dengan kemudahan dalam

    membudidayakan ikan nila yang dapat dipelihara di jaring apung atau kolam, dan

    pertumbuhannya yang relatif lebih cepat dibanding dengan ikan nila lokal, serta

    tahan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan.

    Di Indonesia, penelitian tentang toksisitas nikel khususnya pada ikan air

    tawar masih jarang dilakukan sementara dampak toksik yang ditimbulkan oleh

    keberadaan unsur ini terhadap organisme perairan berpotensi terjadi. Oleh karena

    itu penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh toksisitas logam berat nikel

    terhadap ikan nila GIFT yang dipelihara pada media yang berkesadahan lunak

    (soft hardnes) dengan variabel penelitian meliputi: kondisi hematologi, kondisi

    histopatologi, tingkat akumulasinya, laju pertumbuhan, dan derajat kelangsungan

    hidupnya (SR).

    1.2 Kerangka Pemikiran

    Nikel merupakan salah satu jenis logam berat non esensial yang bersifat

    toksik pada ikan. Dampak toksisitas yang ditimbulkan dapat meracuni darah ikan,

    menyebabkan gangguan saraf, kerusakan hati, kerusakan insang, dan lain-lain.

    Ikan yang hidup pada perairan yang tercemar nikel secara biologis akan

    mengakumulasi nikel tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tinggi tingkat

    pencemaran perairan maka semakin tinggi pula kadar nikel yang terakumulasi

    dalam tubuh ikan nila yang hidup di dalamnya. Absorbsi nikel dalam tubuh ikan

    dapat terjadi secara langsung melalu insang dan kulit atau secara tidak langsung

    melalui rantai makanan. Pada perairan yang berkesadahan lunak seperti air tawar,

  • 3

    nikel akan bersifat lebih toksik terhadap biota perairan. Untuk itu, penelitian

    tentang toksisitas Ni pada ikan air tawar/berkesadahan lunak, termasuk ikan nila,

    sangat diperlukan.

    1.3 Tujuan dan Manfaat

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksik nikel pada

    berbagai konsentrasi terhadap berbagai proses fisiologis dan histologi di dalam

    tubuh ikan nila GIFT seperti: tingkat konsumsi oksigen, kondisi hematologi,

    kondisi histopatologi, derajat akumulasi logam berat nikel pada darah dan daging

    (otot), laju pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidupnya (SR).

    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu informasi mengenai efek

    toksik yang ditimbulkan oleh logam berat nikel terhadap proses fisiologis dan

    histologi dalam tubuh ikan nila GIFT yang diperoleh melalui perlakuan dengan

    pemberian fariasi konsentrasi nikel terhadap media pemeliharaannya. Lebih jauh

    dalam jangka panjang diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan pengelolaan

    air limbah bagi Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang lebih baik pada

    perusahaan yang mengeksplorasi nikel alam, sehingga tidak ikut mengambil andil

    dalam mensuplai nikel pada lingkungan perairan dan akuakultur.

    1.4 Hipotesis

    Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:

    1. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon

    konsumsi oksigen yang berbeda terhadap ikan nila GIFT.

    2. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon kondisi

    hematologi ikan nila GIFT yang berbeda.

    3. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon kondisi

    histopatologi ikan nila GIFT yang berbeda.

    4. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon tingkat

    akumulasi yang berbeda pada daging dan darah ikan nila GIFT.

    5. Konsentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon derajat

    laju pertumbuhan ikan nilam GIFT yang berbeda.

  • 4

    6. Konesentrasi nikel yang berbeda dalam perairan memberikan respon derajat

    kelangsungan hidup (SR) ikan nila GIFT yang berbeda.

  • 5

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nila

    Ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus Linne) merupakan salah satu jenis

    ikan budidaya yang penting dan telah menjadi komoditas ekspor. Sejauh ini

    Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor ikan nila GIFT terbesar

    (sekitar 10 juta ton/tahun) (Suria 2003, diacu dalam Nur 2004) disamping Taiwan,

    Costa Rica, Filipina dan Thailand. Oleh karenanya budidaya ikan tersebut terus

    berkembang dan produksinya selalu ditingkatkan.

    Ikan nila GIFT (Genetic Improvement of Farmed Tilapias) merupakan hasil

    persilangan beberapa varietas nila yang ada di beberapa negara di dunia (Beniga

    dan Circa 1997). Menurut Eknath et al. (1993), ikan nila GIFT merupakan

    varietas baru dari jenis ikan nila yang dikembangkan oleh ICLARM di Filipina.

    Ikan ini merupakan hasil seleksi famili dari 25 pasangan terbaik yang dilakukan

    oleh GIFT Project di Filipina dan merupakan hasil perkawinan 4 jenis strain nila

    dari Afrika dan 4 jenis strain nila dari Asia. Ikan nila GIFT tersebut diintroduksi

    dari Filipina oleh Balitkanwar pada tahun 1995 dan 1997 (Gupta dan Acosta

    2004, diacu dalam Madinawati 2005).

    Klasifikasi ikan nila GIFT adalah :

    Filum : Chordata

    Sub-filum : Vertebrata

    Kelas : Osteichthyes

    Sub-kelas : Acanthoptherigii

    Ordo : Percomorphi

    Sub-ordo : Percoidea

    Famili : Cichlidae

    Genus : Oreochromis

    Spesies : Oreochromis niloticus (Suyanto 1993, diacu dalam Nur 2004).

  • 6

    Gambar 1 Morfologi ikan nila GIFT

    Nila GIFT dapat dibedakan dari nila lokal dengan melihat ketebalan

    tubuhnya, yaitu tubuh nila GIFT memanjang dengan perbandingan panjang dan

    tinggi 2 : 1, sementara perbandingan tinggi dan lebar tubuh 4 : 1. Ikan nila lokal

    tubuhnya lebih memanjang dan tipis karena perbandingan panjang dan tinggi 2,5 :

    1 dan perbandingan tinggi dan lebar 3 : 1 (Arie 2001). Selanjutnya dinyatakan,

    bahwa pada bagian bawah tutup insang ikan nila GIFT berwarna putih sedangkan

    ikan nila lokal berwarna putih agak kehitaman, bahkan ada yang kuning.

    Tubuh ikan nila pipih, berwana kelabu kehijauan dengan garis melintang

    pada kedua sisinya dan pada sirip punggung dan sirip ekor. Panjang kepala ikan

    nila lebih pendek daripada ikan mujair sedangkan tinggi badan sebaliknya (Mc

    Bay 1961; Schmittou dan Dendy 1961; Soejanto 1971, diacu dalam Brojo 1992).

    Ciri-ciri morfologi ikan nila adalah: sirip punggung ikan nila XV-XVI. 12-

    13, sirip duburnya III, 10-15, jumlah sisik pada linea lateral ada 31-33, sisik di

    atas linea lateral ada 4-5 sedangkan sisik pipinya ada 2-3, panjang kepala 0,28 –

    0,33 kali panjang baku, tinggi badan 0,40 – 0,45 kali panjang baku, panjang

    rahang bawah 0,29 – 0,33 kali panjang baku (Beckman 1962, diacu dalam Brojo

    1992). Jumlah tapis insang pada lengkung insang pertama bagian bawah ikan nila

    adalah 22-23 (Selam 1989, diacu dalam Brojo 1992).

    2.2 Logam Berat Nikel

    Nikel (Ni) merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIIIB yang

    berwarna putih perak mengkilat, keras, mudah dibentuk dan mudah ditempa. Di

    alam, nikel terdapat dalam bentuk senyawa, misalnya pentlandite (FeS.NiS),

    nickeliferous pyrrhotite dan lain-lain. Ditemukan oleh Axel Cronstedt pada tahun

    1751. Nikel mempunyai masa atom 58,6934 sma, massa jenis 8,90 gram/cm³,

    Jantan Betina

  • 7

    nomor atom 28, jari-jari atom 1,24 Å, konfigurasi elektron 2 8 16 2, konduktivitas

    listrik 14,6 x 10⁶ ohm ¹ cm ¹, dan konduktivitas kalor 90,7 W/mK, serta dalam

    senyawa mempunyai bilangan oksidasi +2 dan +3. Nikel digunakan sebagai

    pelapis logam tahan karat, membuat aliasi logam seperti monel, nikron dan alkino,

    dan serbuk nikel digunakan sebagai katalis pada hidrogenasi lemak dalam

    pembuatan margarin (Sunardi 2006). Menurut Setiono (1990), logam nikel (Ni)

    larut dalam asam klorida encer dan pekat, serta asam sulfat encer membentuk

    hidrogen . Nikel mempunyai titik didih 1453,0 °C dan titik leleh 2732,0 °C

    (Anonim 2005, diacu dalam Zulkarnain et al. 2008).

    Kadar nikel (Ni) pada kerak bumi sekitar 75 mg/kg (Moore 1991, diacu

    dalam Effendi 2003). Pada proses pelapukan, nikel membentuk mineral hidrolisat

    yang tidak larut. Di perairan, nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-

    garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat

    larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa

    kompleks dengan hidroksida karbonat dan sulfat. Pada pH > 9 nikel membentuk

    senyawa kompleks dengan hidroksida dan karbonat, dan selanjutnya mengalami

    presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore

    1990, diacu dalam Effendi 2003).

    Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,001 – 0,003 mg/L (Scoullus

    dan Hatzianestis 1989; Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Pada perairan

    laut berkisar antara 0,005 – 0,007 mg/liter (McNeely et al. 1979). Untuk

    melindungi kehidupan organisme akuatik, kadar nikel sebaiknya tidak melebihi

    0,025 mg/liter (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Untuk air minum < 0,1

    mg/L (WHO 1984, diacu dalam Effendi 2003). Nikel termasuk unsur yang

    memiliki toksisitas rendah. Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air

    tawar dan ikan air laut berkisar 1 – 100 mg/liter. Urutan toksisitas beberapa

    logam dari sangat rendah sampai yang sangat tinggi berturut-turut adalah

    Sn

  • 8

    (Bryan 1976). Nikel di muara sungai menunjukkan konsentrasi yang semakin

    meningkat dengan peningkatan kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut

    pada tingkat kekeruhan yang tinggi terjadi karena proses desorbsi dari partikel-

    partikel yang ada di muara sungai dan proses tersuspensi.

    Di perairan, nikel ditemukan dalam bentuk koloid. Garam-garam nikel

    misalnya nikel amonium sulfat, nikel nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam

    air. Pada kondisi aerob dan pH < 9, nikel membentuk senyawa kompleks dengan

    hidroksida, karbonat, dan sulfat dan selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian

    juga pada kondisi anaerob, nikel bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam

    Effendi 2003). Nikel digunakan dalam berbagai aplikasi komersial dan industri,

    seperti : pelindung baja (stainless steel), pelindung tembaga, industri baterai,

    elektronik, aplikasi industri pesawat terbang, industri tekstil, turbin pembangkit

    listrik bertenaga gas, pembuat magnet kuat, pembuatan alat-alat laboratorium

    (nikrom), kawat lampu listrik, katalisator lemak, pupuk pertanian, dan berbagai

    fungsi lain (Gerberding 2005).

    2.3 Toksisitas Logam Berat

    Toksisitas logam-logam berat yaitu melukai insang dan struktur jaringan

    luar lainnya, dapat menimbulkan kematian terhadap ikan yang disebabkan oleh

    proses anoxemia, yaitu terhambatnya fungsi pernafasan berupa sirkulasi dan

    ekskresi dari insang (Nicodemus 2003, diacu dalam Jalius 2008).

    Keracunan Cu dapat menyebabkan kehilangan ion-ion natrium dan sodium

    dalam tubuh ikan, sehingga ikan menjadi lemas dan akhirnya mati (Zahner et al.

    2006). Unsur Cd dalam tubuh hewan dapat menyebabkan oksidasi yang

    berlebihan, sehingga timbul perasaan lapar terus-menerus dan akhirnya mati

    (Sandrini et al. 2006). Keracunan Hg, Cu, Zn, Fe, Cd, dan Pb pada larva Haliotis

    rubra, dapat menyebabkan abnormalnya bentuk tubuh larva tersebut (Gorski dan

    Nugegoda 2006).

    Di pertambangan uranium yang mengandung Selenium (Se), ikan rainbow

    trout dan Brook trout memiliki kandungan Se tinggi dalam telurnya (8,8 – 10,5

    µg/g bobot basah telur) dan terjadi kelainan pada anak ikan yaitu tulang kepala

    (craniofacial) dan rangka tubuh (skeletal) serta terjadi oedema (Holm et al. 2005,

    diacu dalam Jalius 2008).

  • 9

    Keracunan Pb dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan sebagai akibat

    dari gangguan penyerapan kalsium (Grosel et al. 2005). Ikan salmon yang

    diekspose dalam air dengan dosis 1 ppm Hg selama 30 menit akan menurunkan

    fertilitas spermatozoanya (Darmono 1995).

    Afinitas yang tinggi terhadap unsur S menyebabkan logam ini menyerang

    ikatan belerang dalam enzim, sehingga enzim bersangkutan menjadi tak aktif.

    Gugus karboksilat (-COOH) dan amina (-NH2) juga bereaksi dengan logam berat.

    Kadmium, timbal, dan tembaga terikat pada sel-sel membran yang menghambat

    proses transformasi melalui dinding sel (Manahan 1977).

    Di perairan, logam berat dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak

    terlarut. Logam berat terlarut adalah logam yang membentuk senyawa kompleks

    dengan senyawa organik dan anorganik, sedangkan logam berat yang tidak

    terlarut merupakan partikel-partikel yang berbentuk koloid dan senyawa

    kelompok metal yang teradsorbsi pada partikel-partikel yang tersuspensi (Connel

    dan Miller 1995).

    Sedikitnya terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang

    telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Berdasarkan sudut pandang

    toksikologi, logam berat dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama, logam berat

    esensial, yang keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh

    organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek

    racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Ni, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya.

    Jenis kedua, logam berat tidak esensial atau beracun, yang keberadaannya dalam

    tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti

    Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Connel dan Miller 1995).

    Sebagian dari logam berat bersifat essensial bagi organisme air untuk

    pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan

    haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada biota (Darmono 1995).

    Berdasarkan sifat kimia dan fisikanya, maka tingkat atau daya racun logam berat

    terhadap hewan air dapat diurutkan (dari tinggi ke rendah), yaitu merkuri (Hg),

    kadmium (Cd), seng (Zn), timah hitam (Pb), krom (Cr), nikel (Ni), dan kobalt

    (Co) (Sutamihardja 1982). Menurut Darmono (1995) daftar urutan toksisitas

    logam paling tinggi ke paling rendah terhadap manusia yang mengkomsumsi ikan

  • 10

    adalah sebagai berikut Hg2+ > Cd2+ >Ag2+ > Ni2+ > Pb2+ > As2+ > Cr2+> Sn2+ >

    Zn2+

    a) Bersifat toksik tinggi (Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn)

    . Menurut Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

    (1990) sifat toksisitas logam berat dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok,

    yaitu :

    b) Bersifat toksik sedang (Cr, Ni, dan Co)

    c) Bersifat tosik rendah (Mn dan Fe).

    Adanya logam berat di perairan berbahaya baik secara langsung terhadap

    kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan

    manusia. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat logam berat (Sutamihardja 1982)

    yaitu :

    a) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan

    keberadaannya secara alami sulit terurai

    b) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan, dan akan

    membahayakan kesehatan manusia yang mengkomsumsi organisme tersebut

    c) Mudah terakumulasi di sedimen, sehingga konsentrasinya selalu lebih tinggi

    dari konsentrasi logam dalam air

    d) Mudah tersuspensi karena pergerakan masa air yang akan melarutkan kembali

    logam yang dikandungnya ke dalam air, sehingga sedimen menjadi sumber

    pencemar potensial dalam skala waktu tertentu.

    Walaupun terjadi peningkatan sumber logam berat, namun konsentrasinya

    dalam air dapat berubah setiap saat. Hal ini terkait dengan berbagai macam proses

    yang dialami oleh senyawa tersebut selama dalam kolom air. Parameter yang

    mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan adalah suhu, salinitas, arus, pH

    dan padatan tersuspensi total atau seston (Nanty 1999).

    Fungsi-fungsi perilaku secara umum akan lemah akibat adanya zat-

    pencemar, dan ikan sering memperlihatkan tanggapan ini pertama ketika

    terekspos polutan (Little et al. 1993). Perubahan tingkah laku seperti gerakan

    vertikal terjadi karena hilangnya keseimbangan. Pada toksisitas yang tinggi

    membuat gerakan ikan kacau balau dan akhirnya mati. Aktifitas renang

    merupakan indikator sensitif akan hadirnya senyawa berracun diperairan

    (Rose et al. 1993). Toksisitas cadmium menyebabkan gerakan operculum yang

  • 11

    tidak beraturan dan hilangnya keseimbangan pada Tilapia mossambica (Ghatak

    dan Konar 1990).

    2.4 Toksisitas Logam Berat Nikel

    Ketoksikan nikel pada kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH,

    kesadahan dan faktor lingkungan lain (Blaylock dan Frank 1979). Peningkatan

    pH dan kesadahan air serta konsentrasi bahan toksik memberikan pengaruh

    signifikan terhadap konsentrasi LC-50

    Nikel termasuk unsur yang memiliki toksisitas rendah. Toksisitas nikel

    (LC

    ikan. Setelah 72 jam, ikan yang hidup di

    dalam konsentrasi nikel 8,0 – 12,0 ppm menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh

    luka-luka sebagai indikasi dari tekanan pH (Isaac 2009). Menurut Nebeker et al.

    (1985), nikel dinyatakan sebagai logam beracun sedang untuk ikan dan hewan

    invertebrata ketika konsentrasinya lebih tinggi dibandingkan logam yang lain.

    50) terhadap Lemna minor adalah 0,45 mg/liter, Nilai LC-50

    Dampak limbah pertambangan nikel (Ni) yang mengandung Cu, nolin, dan

    garson dapat menyebabkan penurunan daya hidup dan depresi tingkat hormon

    testosteron ikan creek chub dan pearl dace. Kemampuan hidup berkurang dari

    60% pada limbah yang mengandung Cu dan garson, juga terjadi penurunan bobot

    badan. Effluent pertambangan nikel juga banyak mengandung nikel, rubidium,

    strontium, lithium, selenium yang dapat berakumulasi dalam jaringan ikan (Dube

    et al. 2005, diacu dalam Jalius 2008).

    nikel terhadap

    Daphnia magna adalah 19,5 mg/loter, terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan

    ikan air laut berkisar antara 1 – 100 mg/liter. Bersama-sama dengan Cu dan Zn,

    nikel memiliki sifat aditif (Moore 1991, diacu dalam Effendi 2003).

    Nikel merupakan logam berat non essensial yang dapat menyebabkan toksik

    bagi mahluk hidup. Meski racun ini bersifat kumulatif, artinya sifat racun akan

    timbul apabila terakumulasi dalam jumlah yang cukup besar dalam tubuh mahluk

    hidup. Ketoksikan nikel pada organisme akuatik bergantung pada kesadahan, pH

    dan kandungan bahan organik, seperti parameter monitor lingkungan lainnya

    (Sanusi 2009). Pada pH < 9, nikel di perairan bersifat sebagai kation bebas

    (Effendi 2003). Chapman et al. (1980) melaporkan ketoksikan nikel akut itu

    pada Daphnia makin berkurang dengan meningkatnya kesadahaan. Kematian

  • 12

    organisme khususnya ikan akibat logam berat dapat terjadi karena bereaksinya

    kation logam berat dengan oksigen dan fraksi tertentu dari lendir sehingga

    menyebabkan insang diselimuti gumpalan lendir logam berat. Oksigen

    merupakan komponen yang utama bagi pernapasan, metabolisme atau pertukaran

    zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan pembiakan serta

    untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam proses aerobik (Anonim

    1985).

    Nikel (Ni) mempunyai dampak negatif bagi kesehatan terutama jika

    kadarnya sudah melebihi ambang batas. Walaupun pada konsentrasi rendah, efek

    ion logam berat dapat berpengaruh langsung hingga terakumulasi pada rantai

    makanan. Seperti halnya sumber-sumber polusi lingkungan lainnya, logam berat

    tersebut dapat ditransfer dalam jangkuan yang sangat jauh di lingkungan (Hapsari

    2008). Nikel dalam jumlah kecil dibutuhkan oleh tubuh, tetapi bila terdapat

    dalam jumlah yang terlalu tinggi dapat berbahaya untuk kesehatan manusia, yaitu

    : menyebabkan kanker paru-paru, kanker hidung, kanker pangkal tenggorokan dan

    kanker prostat, merusak fungsi ginjal, menyebabkan kehilangan keseimbangan,

    menyebabkan kegagalan respirasi, kelahiran cacat, menyebabkan penyakit asma

    dan bronkitis kronis serta merusak hati.

    Nikel terdapat di dalam air sebagai Ni2+ dan kadang-kadang sebagai NiCO3.

    Kadar nikel di perairan tawar alami adalah 0,1-0,3 ppb, sedangkan pada perairan

    laut berkisar antara 0,5 – 2 ppb (Lawrence 2003). Fitoplankton mengandung 1-10

    ppb nikel, alga (air tawar dan air asin) mengandung 0,2 - 84 ppb nikel, lobsters

    mengandung 0,14-60 ppb nikel, moluska 0,1-850 ppb, dan ikan antara 0,1 dan 11

    ppb (Conard 2005). Garam-garam nikel misalnya nikel amonium sulfat, nikel

    nitrat, dan nikel klorida bersifat larut dalam air. Pada kondisi aerob dan pH < 9,

    nikel membentuk senyawa kompleks dengan hidroksida, karbonat, dan sulfat dan

    selanjutnya mengalami presipitasi. Demikian juga pada kondisi anaerob, nikel

    bersifat tidak larut (Moore 1990, diacu dalam Effendi 2003). Di muara sungai,

    nikel menunjukkan konsentrasi yang semakin meningkat dengan peningkatan

    kekeruhan. Peningkatan konsentrasi nikel terlarut pada tingkat kekeruhan yang

    tinggi terjadi karena proses desorpsi dari partikel-partikel yang ada di muara

    sungai dan proses resuspensi.

  • 13

    Gerberding (2005) melaporkan bahwa dalam konsentrasi tinggi nikel di

    tanah berpasir merusak tanaman dan di permukaan air dapat mengurangi tingkat

    pertumbuhan alga. Lebih lanjut dikatakan bahwa nikel juga dapat menghambat

    pertumbuhan mikroorganisme, tetapi mereka biasanya mengembangkan

    perlawanan terhadap nikel setelah beberapa saat. Ketoksikan nikel pada

    kehidupan akuatik bergantung pada spesies, pH, kesadahan dan faktor lingkungan

    lain (Blaylock dan Frank 1979).

    Beberapa faktor-faktor telah dihubungkan dengan tingkah laku abnormal

    pada ikan lele akibat toksisitas logam berat Ni, termasuk kerusakan saraf karena

    terganggunya transmisi antara sistem saraf dan berbagai lokasi-lokasi efektor,

    kelumpuhan dan gangguan sistem pernapasan karena kelainan fungsi enzim

    tubuh, dan penyalahgunaan energi yang mengakibatkan penghabisan energi (Isaac

    2009).

    Nilai LC50 nikel terhadap beberapa jenis ikan air tawar dan ikan air laut

    berkisar 1 – 100 mg/liter. Peningkatan pH dan kesadahan air serta konsentrasi

    bahan toksik memberikan pengaruh signifikan terhadap konsentarasi LC50

    Tabel 1. Sifat toksisitas nikel pada beberapa jenis ikan

    ikan.

    Setelah 72 jam, ikan yang hidup di dalam konsentrasi nikel 8,0-12,0 ppm

    menyebabkan kulit akan rusak dan tubuh luka-luka sebagai indikasi dari tekanan

    pH (Isaac 2009). Menurut Nebeker et al. (1985), ketika konsentrasi nikel lebih

    tinggi dibandingkan logam yang lain, nikel dinyatakan sebagai logam beracun.

    Tingkat toleransi beberapa jenis ikan terhadap nikel tertera pada Tabel 1.

    No Uraian Nilai Sumber 1. LC50 26,560 ppm -96 jam terhadap

    Atherinops affinis Hunt et al. 2002

    2. Larva abalone LC50 14,5 ppm -48 jam Hunt et al. 2002 3. Abalone fase juvenil LC50 26,43ppm -48

    jam Hunt et al. 2002

    4. LC50 8,87 ppm -96jam terhadap Clarias gariepinus

    Isaac 2009

    5. Daphnia hyaline LC50 1.9 ppm – 48 jam Chapman et al. 1980 6. Daphnia magna LC50 30-150 ppb – 48 jam Chapman et al. 1980

  • 14

    2.5 Akumulasi Logam Berat Ni pada Tubuh Ikan Nila

    Biota laut yang hidup di perairan tercemar secara biologis akan

    mengakumulasi logam berat tersebut dalam jaringan tubuhnya, semakin tingkat

    pencemaran suatu perairan maka semakin tinggi pula kadar logam berat yang

    terakumulasi dalam tubuh hewan air yang hidup di dalamnya (Bryan 1976, diacu

    dalam Salamah 2002).

    Bahan pencemaran seperti logam berat atau logam masuk ke dalam tubuh

    melalui mulut, insang, dan kulit (Darmono 1995, diacu dalam Jalius 2008). Ikan

    yang hidup pada media yang tercemar oleh logam berat, secara alami akan

    mengakumulasi logam berat ke dalam tubuhnya, baik secara langsung melalui

    permukaan kulit dan insang maupun melalui makanannya. Ikan mas dan nila dari

    Waduk Saguling dan Waduk Cirata mengakumulasi Hg, Cu, dan Zn dengan kadar

    yang cukup membahayakan. Kerang dari Pantura Semarang ditemukan

    mengandung logam Cd 40 kali lipat di dalam dagingnya (Anonim 2002, diacu

    dalam Marwati 2005).

    Ikan umumnya mengambil logam berat melalui insang, kemudian ditransfer

    melalui darah ke ginjal. Bentuk logam berat anorganik disimpan dalam jaringan,

    kemudian ditransfer ke ginjal dan diekskresikan. Logam organik tidak

    diekskresikan tetapi terakumulasi dalam jaringan otot. Selain itu, masuknya

    logam berat dalam tubuh ikan juga dapat melalui rantai makanan

    (Mokoagouw 2000).

    Akumulasi logam berat dipengaruhi oleh faktor biologis dan fisik seperti

    musim, reproduksi, salinitas dan kedalaman air. Bioakumulasi logam berat

    bergantung pada zat kimia, peredarannya dan mekanisme masuknya logam

    interseluler kompartemen dan aspek homeostatis seluler logam (Gosling 1992,

    diacu dalam Jalius 2008).

    Menurut Sanusi (1985), hati dan ginjal ikan memiliki kemampuan yang

    lebih besar dibandingkan dengan ototnya dalam mengakumulasi logam berat Hg

    dan Cd. Tingginya kandungan logam berat tersebut disebabkan karena logam

    berat tersebar memiliki afinitas yang besar terhadap metallothionein pada organ

    tersebur (Goldwater dan Clarkson 1972; Miettinen 1977; Forstner dan Wittmann

    1979; Boline 1980; Hodgson dan Guthrie 1980; Ward 1982a, diacu dalam Sanusi

  • 15

    1985). Dari hasil penelitian terhadap 21 jenis ikan laut, diketahui bahwa sejenis

    protein metallothionein pengikat logam berat pada hati dan ginjal ikan dijumpai

    lebih tinggi daripada yang terdapat pada ototnya. Hal tersebut diduga sebagai

    penyebab tingginya akumulasi logam berat (Hg dan Cd) pada hati dan ginjal ikan

    uji dibandingkan dengan yang terjadi pada ototnya (Takeda dan Shimizu 1982,

    diacu dalam Sanusi 1985). Selanjutnya Darmono dan Arifin (1989) menyatakan,

    bahwa logam berat banyak terakumulasi pada tulang daripada organ lain.

    Sistem kekebalan pada ikan, umumnya hampir sama dengan hewan

    mamalia, yaitu terbagi menjadi sistem kekebalan non spesifik dan spesifik.

    Kekebalan ini bisa diperoleh karena bawaan atau akibat respon tanggap kebal

    terhadap suatu agen (Ingram 1979; Gudkovs 1998, diacu dalam Saptiani 1997).

    2.6 Sistem Pernapasan Ikan

    Pernapasan adalah proses pengikatan oksigen dan pengeluaran

    karbondioksida oleh darah melalui permukaan alat pernapasan. Proses pengikatan

    oksigen selain dipengaruhi struktur alat pernapasan juga dipengaruhi oleh

    perbedaan tekanan parsial O2

    Insang merupakan komponen penting dalam proses pertukaran gas. Insang

    terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras dengan beberapa filamen

    insang didalamnya. Tiap-tiap filamen insang terdiri atas banyak lamela insang

    yang merupakan tempat pertukaran gas. Tugas ini ditunjang oleh struktur lamela

    insang yang tersusun atas sel-sel epitel yang tipis pada bagian luar, membran

    dasar dan sel-sel tiang sebagai penyangga pada bagian dalam. Pinggiran lamela

    insang yang tidak menempel pada lengkung insang ditutupi oleh epitelium dan

    mengandung jaringan pembuluh darah kapiler (Harder 1975, diacu dalam Funjaya

    2004).

    antara perairan dengan darah. Perbedaan tekanan

    tersebut menyebabkan gas-gas berdifusi kedalam darah atau keluar melalui alat

    pernapasan (Fujaya 2004).

    Bila oksigen telah berdifusi dalam darah insang, oksigen ditranspor dalam

    gabungan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan tempatnya dilepaskan untuk

    digunakan oleh sel. Adanya hemoglobin didalam sel darah merah memungkinkan

    darah mengangkut oksigen 30-100 kali dari pada yang dapat diangkut hanya

  • 16

    dalam bentuk oksigen terlarut dalam darah. Pergerakan oksigen kedalam kapiler

    darah insang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan dari tempat pertama

    ketempat lainnya. Karena tekanan oksigen (PO2) didalam insang lebih besar dari

    pada PO2 kapiler darah insang maka oksigen berdifusi dari insang ke kapiler darah

    insang kemudian darah insang ditranspor melalui sirkulasi ke jaringan perifer.

    Pada jaringan perifer, PO2 sel lebih rendah dari pada PO2 darah arteri yang

    memasuki kapiler. Tekanan oksigen yang jauh lebih tinggi di dalam kapiler

    menyebabkan oksigen berdifusi keluar dari kapiler melalui ruang intertistial ke

    sel. Sebaliknya bila oksigen dimetabolisasi dengan bahan makanan dalam sel akan

    membentuk karbondioksida, sehingga CO2 dalam sel akan meningkat. Keadaan

    ini menyebabkan CO2

    2.7 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Tingkat Konsumsi Oksigen

    berdifusi kedalam kapiler jaringan. Setelah berada dalam

    darah, karbon dioksida ditranspor ke kapiler insang dan keluar melalui insang

    (Fujaya 2004).

    Kebutuhan oksigen biologi didefinisikan sebagai banyaknya oksigen yang

    diperlukan oleh organisme pada saat pemecahan bahan organik, pada kondisi

    aerobik. Pemecahan bahan organik diartikan bahwa bahan organik ini digunakan

    oleh organisme sebagai bahan makanan dan energinya diperoleh dari proses

    oksidasi (Pescod 1973). Banyaknya oksigen yang dikonsumsi oleh biota akuatik

    dalam waktu tertentu berhubungan linear dengan banyaknya oksigen terlarut

    di perairan tersebut (Evans dan Chaiborne 2005).

    Tingkat kebutuhan oksigen pada ikan berbeda-beda bergantung pada

    spesies, ukuran (stadia), aktifitas, jenis kelamin, saat reproduksi, tingkat konsumsi

    pakan, dan suhu. Kebutuhan oksigen untuk ikan dalam keadaan diam relatif lebih

    sedikit dibandingkan dengan ikan pada saat bergerak atau memijah (Vernberg dan

    Vernberg 1972).

    Organisme perairan khususnya ikan yang mengalami keracunan logam berat

    akan mengalami gangguan pada proses pernapasan dan metabolisme tubuhnya.

    Hal ini terjadi karena bereaksinya logam berat dengan fraksi dari lendir insang

    sehingga insang diseliputi oleh gumpalan lendir dari logam berat yang

    mengakibatkan proses pernafasan dan metabolisme tidak berfungsi sebagaimana

  • 17

    mestinya (Palar 2004). Insang merupakan salah satu jaringan tubuh organisme

    yang cepat terakumulasi logam berat. Jika proses pertukaran ion-ion dan gas-gas

    melalui insang terganggu, dapat meyebabkan ikan mati lemas (Wardoyo 1987).

    Ghalib et al. (2002) melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal

    yang dipaparkan maka konsumsi oksigen pada juvenil ikan bandeng dari hari ke

    hari semakin rendah. Hal tersebut disebabkan karena pada jaringan insang juvenil

    bandeng terjadi kerusakan akibat terakumulasinya logam timbal pada jaringan

    tersebut, sehingga pertukaran oksigen dan gas-gas yang melalui insang menjadi

    terganggu.

    2.8 Pengaruh Toksisitas Nikel Terhadap Kondisi Hematologi Ikan

    Gambaran darah suatu organisme dapat digunakan untuk mengetahui

    kondisi kesehatan yang sedang dialami oleh organisme tersebut. Penyimpangan

    fisiologis ikan akan menyebabkan komponen-komponen darah juga mengalami

    perubahan. Perubahan gambaran darah dan kimia darah, baik secara kualitatif

    maupun kuantitatif, dapat menentukan kondisi kesehatannya. Fungsi vital darah di

    dalam tubuh antara lain sebagai pengangkut zat-zat kimia seperti hormon,

    pengangkut zat buangan hasil metabolisme tubuh, dan pengangkut oksigen dan

    karbondioksida (Ganong 1983).

    Apabila nafsu makan ikan menurun, maka nilai hematokrit darahnya

    menjadi tidak normal, jika nilai hematokrit rendah maka jumlah eritrositpun

    rendah. Sel darah merah, sel darah putih dan trombosit (platelet) merupakan

    bagian dari elemen darah, sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan

    serta imunoglobulin adalah unsur penting dari protein plasma total (Bastiawan et

    al. 2001)

    Fungsi utama sel darah merah adalah mengikat haemoglobin untuk transport

    oksigen, sedangkan sel darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh

    terhadap infeksi mikrobial. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari

    humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah ikan dari

    agen infeksi (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990).

    Hasil penelitian Narayanan (2008), menunjukkan terjadi peningkatan secara

    signifikan konsentrasi sel darah putih, gula darah dan kolesterol Cyprinus carpio

  • 18

    pada media yang dicemari oleh logam berat kadmium (Cd), Cromium (Cr) dan

    Timbal (Pb).

    2.8.1 Eritrosit

    Eritrosit membawa hemoglobin dalam sirkulasi. Eritrosit dibentuk dalam

    sumsum tulang, terutama dari tulang pendek, pipih dan tak beraturan.

    Perkembangan eritrosit dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula

    besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati

    hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam

    sirkulasi darah. Jumlah eritrosit normal pada ikan teleost berkisar antara 1,05 juta-

    3 juta sel/mm3

    Eritrosit merupakan sel yang paling banyak jumlahnya. Inti sel eritrosit

    terletak sentral dengan sitoplasma dan akan terlihat jernih kebiruan dengan

    pewarnaan Giemsa (Chinabut et al. 1991, diacu dalam Mulyani 2006). Seperti

    halnya pada hematokrit, jumlah eritrosit yang rendah menunjukkan terjadinya

    anemia, sedangkan jumlah tinggi menandakan bahwa ikan dalam keadaan stres

    (Wedemeyer dan Yasutake 1977, diacu dalam Taufik 2005).

    (Robert 2001).

    2.8.2 Leukosit

    Leukosit (SDP) berwarnanya bening, berukuran lebih besar dibandingkan

    dengan eritosit, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Leukosit dibuat pada sumsum

    tulang dan berisi sebuah inti yang berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir

    karena itu disebut sel berbulir granulosit (Tortora dan Anagnostakos 1990).

    Jumlah leukosit darah ikan berkisar antara 20.000-150.000 sel/mm3 (Rostagi

    1977). Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang

    berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk

    diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram,

    amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi

    untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang

    komponen darah lainnya harus ada. Protein plasma total, konsentrasi fibrinogen,

    parameter darah merah (hematokrit, hemoglobin, dan eritrosit), dan jumlah

    retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram. Jumlah

    total leukosit bervariasi antar spesies ikan dan hal ini dipengaruhi oleh umur ikan.

  • 19

    Saat ikan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap menurun sampai

    nilai dewasa yaitu pada umur 2-12 bulan. Meningkatnya jumlah leukosit disebut

    leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia. Leukositosis lebih umum

    daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang serius, bahkan mungkin bisa

    fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin terjadi sebagai reaksi

    “ephinephrine”, yaitu neutrofil dan limfosit dimobilisasi kedalam sirkulasi umum

    sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering terjadi pada ikan muda dan

    biasanya akibat stres, juga adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa

    terjadi dalam keadaan sehat ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun

    patologis. Leukopenia umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral

    (Dierauf 1990, diacu dalam Aliambar 1999).

    2.8.3 Hematokrit

    Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase volume eritrosit dalam

    darah ikan. Hasil pemeriksaan terhadap hematokrit dapat dijadikan sebagai salah

    satu patokan untuk menentukan keadaan kesehatan ikan, nilai hematokrit kurang

    dari 22% menunjukkan terjadinya anemia. Kadar hematokrit bervariasi

    bergantung pada faktor nutrisi, umur ikan, jenis kelamin, ukuran tubuh dan masa

    pemijahan. Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40%

    sel darah merah (Kuswardani 2006). Persentase nilai hematokrit ikan lele normal

    berkisar antara 30,8%-45,5% (Angka et al. 1985).

    Aliambar (1999) menyatakan bahwa perhitungan hematokrit dilakukan

    setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan

    disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung.

    Pada saat yang sama, plasma yaitu suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan

    akan naik ke atas. Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total, dan nilai

    ini dinamakan packed cell volume (PCV) atau hematokrit (HCT), yang dinyatakan

    dalam persen.

    Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode

    mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi

    plasma yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada

    kambing dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang

  • 20

    lebih lama (10-20 menit), sedangkan spesies lainnya (termasuk ikan), waktu

    centrifuse dilakukan dalam waktu kurang lebih 5 menit. Perbedaan nilai

    hematokrit dapat terjadi akibat kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh

    metode pengambilan darah, tipe dan konsentrasi antikoagulan serta metode yang

    dipakai untuk determinasi perhitungan SDM dan SDP, konsentrasi HB dan HCT

    (Aliambar 1999).

    Nilai hematokrit juga berbeda berdasarkan ketinggian, individu yang tinggal

    di pegunungan memiliki nilai hematokrit yang lebih tinggi bila dibandingkan

    dengan individu yang tinggal di tepi pantai (Tortora dan Anagnostakos 1990).

    2.8.4 Hemoglobin

    Hemoglobin (Hb) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah

    merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi.

    Hemoglobin (Hb) sangat penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia

    membawa dan mengirim oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul

    hemoglobin ada dalam sel darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya.

    Sintesis hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis

    dan adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan

    hematologis yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).

    Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme.

    Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen.

    Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung

    dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin

    dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara

    hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan

    oleh agen penyebab hemolisis (Ressang 1984).

    2.9 Pengaruh Toksisitas Nikel terhadap Histopatologis

    Tingkat konsumsi oksigen pada dasarnya menunjukkan tingkat

    metabolisme. Konsumsi oksigen adalah indikator respirasi yang juga

    menunjukkan metabolisme energetik (Fujaya 2004). Kematian ikan yang

    disebabkan oleh bahan pencemar, umumnya terjadi karena kerusakan pada bagian

    insang dan organ-organ yang berhubungan dengan insang. Insang terletak di luar

  • 21

    dan berhubungan langsung dengan air sebagai media hidupnya. Insang merupakan

    organ yang pertama kali mendapat pengaruh apabila lingkungan air tercemar oleh

    bahan pencemar, baik terlarut maupun tersuspensi (Siahaan 2003).

    Insang terdiri dari sepasang filamen insang. Setiap filamen terdiri dari serat

    melintang yang tertutup epithelium yang tipis disebut lamela. Lamela merupakan

    penyusun filamen. Sebuah rangkaian lamela pada satu sisi dari septum

    interbranchiale disebut hemibranchium. Dua hemibranchium dan septum

    interbranchia membentuk insang lengkap disebut holobranchia (Lagler et al.

    1977).

    Keterangan: 1. Eritrosit 2. Epitelium 3. Sel pillar 4. Lumen kapiler 5. Lamela 6. Sel sel interlamela 7. Sel mukus 8. Tulang rawan penopang

    Gambar 2 Bagian-bagian lamela insang (Lagler et al. 1977)

    Keberhasilan ikan dalam mendapatkan oksigen ditentukan oleh kemampuan

    fungsi insang untuk menangkap oksigen dalam perairan. Proses penyerapan

    oksigen dalam jaringan insang dilakukan oleh darah yang mengalir ke dalam

    filamen-filamen insang dan akibat adanya perbedaan tekanan gas antara darah dan

    filamen dengan air sehingga terjadi difusi gas. Rusaknya jaringan insang akibat

    adanya pengaruh benda asing atau racun, menyebabkan ikan mengalami

    gangguan pernafasan atau lebih lanjut dapat mengakibatkan kematian pada ikan

    (Lagler et al. 1977).

    Hasil uji histologi yang dilakukan oleh Ghalib et al. (2002) menunjukkan

    bahwa Pb dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan insang khususnya pada

    lamela primer dan lamela sekunder sehingga insang tidak dapat berfungsi dengan

    baik. Sejalan dengan laporan Casarett dan Doult (1975) bahwa pada konsentrasi

    yang cukup tinggi daya konsentrasi insang juga menurun akibat adanya reaksi

    antara logam berat timbal dengan protein dan lendir insang yang membentuk

    methallotionin yang dapat menghambat kerja enzim pernapasan.

  • 22

    Vernberg dan Vernberg (1972) menyatakan bahwa oksigen terlarut

    dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme atau

    pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan dan

    pembiakan, jika ikan berada pada medium dengan tekanan parsial oksigennya

    lebih rendah dari lingkungan (ambien), maka untuk mencukupi kebutuhan

    oksigennya ikan akan melakukan pemompaan air yang lebih besar melalui

    peningkatan frekuensi pergerakan operculum. Selanjutnya dikatakan bahwa

    meningkatnya CO2

    Hati sangat rentan terhadap pengaruh berbagai zat kimia dan sering menjadi

    organ sasaran utama dari efek racun zat kimia. Oleh karena itu, hati merupakan

    organ tubuh yang paling sering mengalami kerusakan. Menurut Lu (1995) hal ini

    disebabkan sebagian besar toksikan yang masuk ke dalam tubuh setelah diserap

    oleh usus halus di bawa ke hati oleh vena porta hati. Kerusakan hati tersebut dapat

    terjadi karena : 1) senyawa kimia yang terserap melalui oral akan diabsorbsi dari

    saluran cerna ke dalam hati melalui vena porta; 2) senyawa kimia yang

    dimetabolisme di dalam hati dieksresikan ke dalam empedu dan kembali lagi ke

    duodenal; serta 3) senyawa asing yang dimetabolisme oleh hati sebagian

    dilokalisir di dalam hati. Dengan demikian hati merupakan organ yang banyak

    berhubungan dengan senyawa kimia sehingga mudah terkena efek toksik (Loomis

    1978, diacu dalam Siahaan 2003).

    lebih menstimulir respon meningkatnya frekuensi gerakan

    operculum dalam respirasi dari pada penurunan kandungan oksigen.

    Kerusakan hepatosit menurut Robert (2001) dapat dibagi menjadi dua yaitu

    taksohepatik dan trofohepatik. Kerusakan taksohepatik, yaitu kerusakan yang

    disebabkan oleh pengaruh langsung dari agen toksik, baik berupa zat kimia

    maupun kuman. Kerusakan trofohepatik, yaitu kerusakan yang disebabkan adanya

    kekurangan faktor-faktor penting untuk kehidupan sel seperti oksigen atau zat

    makanan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Darmono (1995)

    mengatakan bahwa hati ikan yang tercemar logam timbal, kadmium, copper, atau

    merkuri mengalami kerusakan berupa pembendungan, hemoragi dan degenerasi

    vakuola. Degenerasi vakuola atau pembekakan sel merupakan salah satu indikasi

    terjadinya perlemakan hati, pada keadaan ini sel hati tampak membesar. Menurut

    Ressang (1984), perlemakan yang berlangsung lama dapat menyebabkan

  • 23

    terjadinya kerusakan hati yaitu kongesti. Kongesti adalah terjadinya

    pembendungan darah pada hati yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang

    dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi.

    2.10 Bioassay

    Ikan merupakan indikator biologik dalam pencemaran air, sedangkan

    kematian merupakan tolok ukur toksisitas akut pencemar air pada ikan. Pengaruh

    pencemar air dapat menyebabkan :

    1) Merusak insang : gangguan respiratorik dan sirkulatorik, anoksemia dan

    gangguan fungsi ekskretorik insang.

    2) Membunuh ikan setelah absorpsi lewat permukaan mulut, insang dan kulit.

    3) Membunuh ikan setelah absorpsi lewat permukaan saluran pencemaan.

    Studi bioassay dilakukan sebagai tes spesifik untuk menentukan dampak

    dari polutan dan faktor lingkungan pada biota akuatik dalam keadaan tertentu dan

    waktu tertentu (APHA 1979). Menurut Sanusi (2009), terdapat dua tipe dari

    keracunan akibat logam berat, yaitu :

    1) Efek akut, biasanya letal dimana biota akan lansung menderita sesaat setelah

    dimasukan kedalam media yang terdapat konsentrasi yang tinggi dari polutan

    dan biasanya berlanjut pada kematian.

    2) Efek kronis, biota akan mengalami efek yang lebih lama, biasanya akan

    berdampak pada pertumbuhan, reproduksi dan pola tigkah laku. Efek dari

    kronis dapat berupa lethal ataupun sublethal.

    Berdasarkan tingkatan dari kematian yang disebabkan, polutan atau faktor

    lingkungan diklasifikasikan dalam lima kategori :

    1) Lethal Concentration (LC)

    LC ditentukan pada saat mortalitas mencapai >50% dan terjadi setelah 24 jam,

    48 jam, atau 96 jam setelah dimasukkan kedalam media.

    2) Effective Concentration (EC)

    EC ditentukan pada waktu konsentrasi dapat menyebabkan efek berbahaya

    seperti perbedaan pola tingkah laku biota dan ketidakseimbangan pada 50%

    populasi biota akuatik.

    3) Incipent Lethal Concentration (ILC)

    ILC ditentukan pada saat paling tidak 50% dari populasi yang bertahan.

  • 24

    4) Save Concentration (SC)

    Konsentrasi tertinggi yang paling aman bagi biota akuatik

    5) Maximum Allowable Toxicant Concentration (MATC)

    Konsentrasi tertinggi yang diperbolehkan ada di perairan yang tidak akan

    menyebabkan bahaya apapun bagi organisme akuatik (APHA 1979; Effendi

    1993).

    Dari harga LC50

    sangat tinggi : < 1 mg/L

    , selanjutnya potensi ketoksikan akut senyawa uji dapat

    digolongkan menjadi :

    tinggi : 1 -50 mg/L

    sedang : 50 – 500 mg/L

    sedikit toksik : 500 – 5000 mg/L

    hampir tidak toksik : 5 – 15 g/L

    relatif tidak berbahaya : > 15 g/L, (Balazs 1970)

    2.11 Kualitas Air

    Kelarutan logam dalam air dikontrol oleh pH air. Kenaikan pH menurunkan

    kelarutan logam dalam air, karena kenaikan pH mengubah kestabilan dari bentuk

    karbonat menjadi hidroksida yang membentuk ikatan dengan partikel pada badan

    air, sehingga akan mengendap membentuk lumpur (Palar 2004). Menurut

    Swingle (1969) diacu dalam Boyd (1984), akibat variasi pH pada ikan di kolam

    adalah pada pH 6,5- 9 pertumbuhan baik, pada 4-6,5 atau 9-11 ikan tumbuh

    lambat, dan pada pH < 4 atau > 11 ikan akan mati. Selanjutnya dikatakan bahwa

    paling tinggi perairan alami memiliki nilai pH 6,5-9,0 (Swingle 1969, diacu dalam

    Boyd 1984).

    Parameter kualitas air yang secara signifikan sangat berpengaruh terhadap

    akumulasi logam berat di perairan adalah: pH, suhu, dan kandungan oksigen

    (Kurniastuty et al. 2008). Penurunan pH akan menyebabkan tingkat bioakumulasi

    semakin besar (Sorense 1991; NOAA 2000, diacu dalam Kurniastuty et al. 2008).

    Odum (1971) menyatakan bahwa kadar oksigen dalam air laut akan

    bertambah dengan semakin rendahnya suhu dan berkurang dengan semakin

    tingginya salinitas. Kandungan oksigen terlarut (DO) minimum adalah 2 ppm

    dalam keadaan normal dan tidak tercemar oleh senyawa beracun (toxit),

  • 25

    Kandungan oksigen terlarut minimum ini sudah cukup mendukung kehidupan

    organisme (Swingle 1968). Bila DO < 1 mg/L ikan mati jika lama pemaparan

    selama beberapa jam, 1,00-5,00 mg/L ikan hidup tetapi reproduksi rendah dan

    pertumbuhan lambat jika pemaparan kontinyu, > 5 mg/L reproduksi dan

    pertumbuhan normal (Swingle 1969, diacu dalam Boyd 1984).

    Tingkat kesadahan 0,00-75,00 mg/L (lunak), 75,00-150,00 mg/L (sedang),

    150,00-300,00 mg/L (sadah), dan > 300,00 mg/L (sangat sadah) (Sawyer dan Mc

    Carty 1967, diacu dalam Boyd 1984).

    Kenaikan suhu air dan penurunan pH akan mengurangi absorpsi senyawa

    logam berat pada partikulat. Suhu air yang lebih dingin akan meningkatkan

    absorpsi logam berat ke partikulat untuk mengendap di dasar. Sementara saat suhu

    air naik, senyawa logam berat akan melarut di air karena penurunan laju adsorpsi

    ke dalam partikulat. Logam yang memiliki kelarutan yang kecil akan ditemukan

    di permukaan air selanjutnya dengan perpindahan dan waktu tertentu akan

    mengendap hingga ke dasar, artinya logam tersebut hanya akan berada di dekat

    permukaan air dalam waktu yang sesaat saja untuk kemudian mengendap lagi. Hal

    ini ditentukan antara lain oleh massa jenis air, viskositas air, temperatur air, arus

    serta faktor-faktor lainnya (Palar 2004).

    Daya larut logam berat dapat menjadi lebih tinggi atau lebih rendah

    tergantung pada kondisi lingkungan perairan. Pada daerah yang kekurangan

    oksigen, misalnya akibat kontaminasi bahan-bahan organik, daya larut logam

    berat akan menjadi lebih rendah dan mudah mengendap (Lawrence 2003).

    Suhu air yang optimum untuk mendukung pertumbuhan ikan nila berkisar

    antara 25-30 oC, sedangkan pH optimal adalah 6,5-8,5, namun masih dapat hidup

    pada kisaran pH 4-12 (Bardach dan lelono, 1986 diacu dalam Haryono et al.

    2001). Hal ini diperkuat pula oleh Anonim (2011) bahwa suhu air yang

    disarankan untuk nila adalah 28-30 oC (82-86 oF). Tingkat pertumbuhan akan

    menurun secara dramatis jika air dingin sampai 20 oC (50 oF) dan ikan biasanya

    akan mulai mati di sekitar 10 oC (50 oF). Juga penting untuk diingat bahwa air

    dingin akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh ikan dan membuatnya lebih

    rentan terhadap kesehatan yang buruk sehingga suhu air di bawah 13 ˚C (55 ˚F)

    tidak pernah dianjurkan. Kebutuhan oksigen pada ikan bervariasi bergantung

  • 26

    pada spesies, kondisi lingkungan yang ada dan aktivitas ikan (Pescod 1973).

    Selanjutnya dikatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang layak bagi kehidupan

    ikan tidak boleh kurang dari 2 ppm dengan asumsi tidak ada bahan-bahan toksik

    yang masuk. Kisaran oksigen terlarut yang layak untuk kehidupan biota air tawar

    menurut EPA (1991) adalah tidak boleh kurang dari 4,0 ppm, sedangkan menurut

    Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 1990 persyaratan kandungan oksigen yang

    minimum untuk perikanan adalah tidak boleh kurang dari 3,0 ppm.

  • 27

    III. METODE PENELITIAN

    3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2009 sampai Maret

    2010. Lokasi pelaksanaan penelitian yaitu: Laboratorium Lingkungan

    Departemen Budidaya Perairan, Laboratorium Kesehatan Ikan Departemen

    Budidaya Perairan, dan Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri

    Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    3.2 Bahan dan Alat Penelitian

    Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas:

    3.2.1 Bahan dan Ikan Uji

    Bahan kimia yang digunakan adalah nikel klorida (NiCl2

    3.2.2 Media

    ). Ikan uji yang

    digunakan dalam penelitian ini adalah ikan nila GIFT (Oreochromis niloticus)

    dengan bobot 13 – 15 gram/ekor sebanyak 510 ekor. Ikan tersebut digunakan

    dalam tahap uji nilai kisaran sebanyak 180 ekor, tahap uji toksisitas akut sebanyak

    150 ekor, dan tahap uji sub kronik sebanyak 180 ekor.

    Media uji yang digunakan adalah air tawar yang berasal dari bak air tawar

    Laboratorium Lingkungan Akuakultur Departemen Budidaya Perairan, Fakultas

    Perikanan Institut Pertanian Bogor, yang berkesadahan lunak (rata-rata 57,66

    mg/L).

    3.2.3 Alat

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blower, aerator,

    termometer, selang plastik, timbangan elektrik, DO meter, dan pH meter. Alat-

    alat yang digunakan untuk pembuatan preparat histologi antara lain: seperangkat

    alat bedah (disecting unit), inkubator, timer, kotak preparat, object glass, cover

    glass, botol sampel, peralatan gelas, baskom plastik, hotplate, mikroskop cahaya,

    mikroskop binokuler serta seperangkat peralatan fotomikroskop merek Olympus

    model PM-10 AD.

  • 28

    3.2.4 Wadah Penelitian

    Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak penampungan air

    berukuran 100 x 95 x 110 cm sebanyak 2 buah, akuarium penampungan ikan stok

    berukuran 100 cm x 50 cm x 50 cm sebanyak 2 buah, dan akuarium yang

    digunakan untuk uji pendahuluan, uji toksisitas akut, dan uji sub kronik yang

    berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm sebanyak 18 buah.

    3.3 Pelaksanaan Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan atas tiga tahap, yaitu: uji nilai kisaran, uji akut,

    dan uji sub-kronik. Ikan uji yang digunakan adalah ikan nila GIFT ukuran 13 – 15

    gram/ekor, diperoleh dari Perusahaan Nurul Maulida Berkah yaitu perusahaan

    penyedia ikan konsumsi dan bibit ikan tawar. Logam berat nikel yang digunakan

    sebagai sumber toksisitas dalam penelitian adalah nikel klorida (NiCl2

    3.3.1 Uji Nilai Kisaran

    ) yang

    diperoleh dari Toko Setia Guna, Bogor. Wadah yang digunakan dalam penelitian

    berupa akuarium berukuran 50 cm x 30 cm x 30 cm, yang diisi air tawar sebanyak

    30 liter.

    Uji nilai kisaran bertujuan untuk mencari nilai konsentrasi batas bawah dan

    nilai konsentrasi batas atas nikel, yang digunakan terhadap ikan nila GIFT. Batas

    atas merupakan konsentrasi yang menyebabkan dampak kematian ikan nila 100

    % dalam waktu 24 jam, sedangkan batas bawah adalah konsentrasi nikel pada saat

    100% ikan nila yang dicobakan masih dapat hidup setelah 48 jam pemaparan.

    Tahap uji ini menggunakan 150 ekor ikan uji, kepadatan 1 ekor/3 L yang dibagi

    menjadi 4 taraf yaitu 0,6; 6; 60 ; dan 600 ppm dan 1 perlakuan kontrol negatif

    dengan masing-masing 3 ulangan. Penentuan konsentrasi nikel pada perlakuan

    dilakukan dengan membuat larutan stok (stock solution) 1000 ppm dan

    selanjutnya dikonversi menggunakan rumus pengenceran, sebagai berikut:

    N1 V1 = N2 V2 Keterangan: N

    ……………….. (1)

    1

    V

    = Konsentrasi larutan Ni standar (ppm)

    1

    N = Volume air media yang digunakan (liter)

    2

    V = Konsentrasi Ni yang diinginkan (ppm)

    2 = Volume larutan standar yang digunakan (liter)

  • 29

    Tingkat kematian ikan nila GIFT dihitung pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12,

    14, 16 18, 20, 22, dan jam ke-24. Perhitungan berikutnya dilakukan setiap 6 jam

    sampai jam ke-48. Berdasarkan uji nilai kisaran diperoleh nilai ambang bawah

    yaitu 6 ppm dan nilai ambang atas yaitu 60 ppm.

    3.3.2 Uji Toksisitas Akut

    Pada uji ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksik nikel terhadap

    tingkat mortalitas, akumulasi nikel dalam darah dan daging, frekuensi bukaan

    operculum, dan nilai Lc-50Penghitungan konsentrasi yang digunakan dalam uji akut dengan

    menggunakan rumus Wardoyo (1981), sebagai berikut:

    24, 48, 72, dan 96 jam.

    Log (N/n) = k (log a / log n) ……………….. (2)

    Dengan ketentuan :

    a/n = b/a = c/b = d/c = … = N/d ………… (3)

    Keterangan: N = nilai konsentrasi ambang atas (ppm)

    n = nilai konsentrasi ambang bawah (ppm) k = jumlah interval konsentrasi yang di uji (k=4) a = konsentrasi terkecil deret konsentrasi yang ditentukan (ppm)

    Dengan menggunakan persamaan (2) ditentukan konsentrasi terkecil dan

    dengan persamaan (3) ditentukan nilai konsentrasi untuk uji akut sebanyak 4

    perlakuan, sehingga didapatkan konsentrasi 10,67 ppm untuk perlakuan B,

    konsentrasi 18,98 ppm untuk perlakuan C, konsentrasi 33,76 ppm untuk perlakuan

    D, dan konsentrasi 60,05 ppm untuk perlakuan E. Setiap perlakuan dilakukan

    dengan 3 ulangan dan 1 perlakuan kontrol negatif (perlakuan A).

    Kepadatan ikan uji 10 ekor per unit percobaan (1 ekor/liter). Selama uji

    akut, pada akuarium diberi aerasi. Feses dan sisa pakan di dasar akuarium disipon

    setiap hari dan dilakukan pergantian air dengan konsentrasi Ni sesuai perlakuan.

    Pengamatan terhadap perubahan tingkah laku dan mortalitas ikan nila GIFT

    dilakukan pada jam ke-0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16 18, 20, 22, dan jam ke-24.

    Perhitungan berikutnya dilakukan tiap 6 jam sekali sampai jam ke-96. Indikator

    yang diamati adalah frekuensi bukaan operkulum per menit, pola gerak renang

    dan refleksi (normal, diam di dasar, ke permukaan, tidak seimbang, gerakan

    seperti gerak terkejut, atau kehilangan gerak refleks) dan perubahan warna sisik.

  • 30

    Penghitungan gerak operculum dimulai 30 menit setelah pemberian bahan uji,

    penghitungan dilakukan selama 1 menit dan diulangi setiap 10 menit sampai

    menit ke 30 dan selanjutnya dibandingkan dengan kontrol.

    Pengukuran kualitas air media pada setiap unit percobaan, dilakukan pada

    jam ke-0, 24, 48, 72 dan ke-96.

    a. Tingkat Mortalitas

    Banyaknya populasi ikan nila yang mati dihitung dan ditampilkan dalam

    bentuk tabel dan gambar pada setiap pengamatan (jam ke-24, 48, 72, dan 96).

    b. Tingkat Akumulasi Logam Ni

    Untuk menganalisis tingkat akumulasi logam berat Ni oleh tubuh ikan nila,

    maka dilakukan pengukuran kandungan logam berat Ni di daging dan darah ikan

    nila tersebut. Metode yang digunakan adalah AAS (Atomic Absorption

    Spectroscopy). Diagram dari tahap proses pengukuran kandungan nikel dalam

    daging ikan nila dengan menggunakan metode AAS ini disajikan pada Lampiran

    3.

    c. Frekuensi Bukaan Operculum

    Frekuensi bukaan operculum hewan uji pada setiap perlakuan dihitung rata-

    ratanya berdasarkan pembagian zona waktu yaitu pagi (08.00 – 09.00), siang

    (12.00 – 13.00), sore (15.00 – 16.00), malam (20.00 – 21.00), dan subuh( 04.00 –

    05.00), selanjutnya dibandingkan menggunakan Anova dan uji Tukey.

    d. Lc-

    Nilai Lc-

    50

    50

    3.3.3 Uji Sub-Kronik

    pada jam ke- 24, 48, 72, dan 96, didapatkan dengan cara analisis

    probit dengan membandingkan konsentrasi nikel pada setiap perlakuan dengan

    tingkat mortalitas rata-rata ikan nila GIFT pada setiap perlakuan.

    Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh toksisitas nikel

    terhadap tingkat konsumsi oksigen, kondisi sistem hematologi, kondisi sistem

    histopatologi, tingkat akumulasi nikel, laju pertumbuhan, dan tingkat

    kelangsungan hidup (SR) ikan nila GIFT. Uji sub-kronik ini dilakukan dengan 3

  • 31

    perlakuan dan 3 ulangan yaitu : perlakuan A (tanpa nikel) sebagai kontrol,

    perlakuan B (10% dari LC50-96 jam), perlakuan C (30% dari LC50

    a. Tingkat Konsumsi Oksigen

    -96 jam). Pada

    tahap ini, digunakan ikan uji sebanyak 180 ekor dengan masing-masing unit

    sebanyak 20 ekor. Percobaan dirancang mengikuti Rancangan Acak Lengkap

    (RAL). Uji sub-kronik dilakukan selama 32 hari. Variabel yang diamati, sebagai

    berikut :

    Tingkat konsumsi oksigen diukur dengan menghitung rasio oksigen terlarut

    pada awal dan akhir penelitian persatuan waktu. Botol respirasi yang digunakan

    diisi air sampai penuh, selanjutnya diaerasi dengan kuat (bubling) selama 2 hari

    agar kandungan oksigennya bertambah. Setelah diaerasi air media dibiarkan

    selama setengah jam, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut. Oksigen

    terlarut diukur dengan menggunakan DO-meter terkalibrasi. Ikan ditimbang

    kemudian dimasukkan kedalam botol respirasi, diukur DO awal, kemudian

    ditutup dan diukur setiap 1 jam dengan waktu pengukuran selama 3 – 4 jam.

    Kemudian diukur DO akhir, maka akan didapatkan tingkat konsumsi oksigen

    menggunakan rumus dibawah ini (Liao dan Huang 1975) :

    TKO = {(DO0 – DOtKeterangan: TKO = Tingkat Konsumsi oksigen (mg O

    )/W x t} x V……….(4)

    2 DO

    / g tubuh /jam) 0

    DO = Oksigen terlarut pada awal pengamatan (ppm)

    t W = Bobot ikan uji (g)

    = Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (ppm)

    t = Periode pengamatan (jam) V = Volume air dalam respirometer (L)

    Pengukuran konsumsi oksigen dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke-0, 8,

    16, 24, dan 32.

    b. Kondisi Hematologi

    • Kadar Hematokrit (Ht)

    Pengukuran hematokrit menggunakan Microhematocrit method. Ujung

    mikrohematokrit/mikrokapiler berheparin (untuk mencegah pembekuan darah

    dalam tabung) ditempelkan pada tetesan darah dan dibiarkan mengalir sendiri

    memasuki ruangan sampai volume darah mencapai ¾ bagian tabung kemudian

    salah satu ujung tabung disumbat dengan crestaseal. Darah disentrifuge pada

  • 32

    kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu akan terbentuk lapisan-lapisan

    yang terdiri dari lapisan plasma yang jernih di bagian atas, kemudian lapisan putih

    abu-abu (buffy coat) yang merupakan trombosit dan leukosit, serta lapisan eritrosit

    yang berwarna merah. Nilai hematokrit ditentukan dengan mengukur persentase

    volume eritrosit dari darah dengan menggunakan alat baca mikrohematokrit dan

    dinyatakan dalam persentase (% Ht).

    • Kadar Hemoglobin (Hb)

    Pengukuran kadar hemoglobin pada prinsipnya adalah mengkonversikan

    hemoglobin dalam darah ke dalam bentuk asam hematin oleh asam klorida. Mula-

    mula darah diisap menggunakan pipet sahli hingga skala 20 mm3

    • Eritrosit

    , kemudi