TOKSIN

7
Beberapa mikroorganisme menghasilkan bahan beracun yang dikenal sebagai toksin. Toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat berupa eksotoxin yaitu toxin yang dikeluarkan ke sekeliling medium;atau endotoksin, toksin yang berada dalam sel sebagai bagian dari sel. 1. Eksotoksin Eksotoksin dikeluarkan dari sel mikroorganisme ke suatu medium biakan atau ke dalam jaringan inang. Eksotoksin dapat ditemukan di medium yang diproses dengan tidak tepat, contoh; sayuran dicemari Clostridium botulinum. Eksotoksin merupakan protein, yang dapat dihasilkan oleh bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Efeknya pada jaringan manusia biasanya sangat spesifik. Sebagai contoh, toksin botulism dan tetanus merupakan neurotoksin. Vibrio cholerae mengeluarkan eksotoksin yang mengurangi retensi cairan oleh intestin, sehingga menyebabkan diarrhea. Jadi eksotoksin biasanya mempunyai afinitas untuk suatu jaringan khusus dimana dia dapat menyebabkan kerusakan. Eksotoksin kehilangan toxisitasnya jika dipanaskan atau diberi perlakuan secara kimia. Fenol, formaldehid, dan berbagai asam dapat merubah eksotoksin secara kimia sehingga kehilangan toksisitasnya yang disebut toksoidEndotoksin 2. Enterotoksin Enterotoksin merupakan eksotoksin yang beraksi dalam usus halus, umumnya menyebabkan pengeluaran cairan secara besar-besaran ke dalam lumen usus, menimbulkan symptom diare. Enterotoksin dihasilkan oleh bermacam bakteri termasuk organisme peracun- makanan Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, dan Bacillus cereus, dan patogen usus Vibrio cholerae, Escherichia coli, dan Salmonella enteritidis. 3. Endotoksin Beberapa mikroorganisme, khususnya bakteri Gram-negatif, tidak mengeluarkan suatu toksin terlarut, tetapi membuat suatu endotoksin yang dibebaskan ketika sel mengalami pembelahan, lisis dan mati. Endotoksin dari bakteri Gram-negatif merupakan komponen struktural membran luar dari dinding sel bakteri Gram-negatif. Komponen ini merupakan polisakarida (lipid A). Endotoksin

Transcript of TOKSIN

Page 1: TOKSIN

Beberapa mikroorganisme menghasilkan bahan beracun yang dikenal sebagai toksin. Toksin yang dihasilkan oleh mikroorganisme dapat berupa eksotoxin yaitu toxin yang dikeluarkan ke sekeliling medium;atau endotoksin, toksin yang berada dalam sel sebagai bagian dari sel.

1. EksotoksinEksotoksin dikeluarkan dari sel mikroorganisme ke suatu medium biakan atau ke dalam jaringan inang. Eksotoksin dapat ditemukan di medium yang diproses dengan tidak tepat, contoh; sayuran dicemari Clostridium botulinum. Eksotoksin merupakan protein, yang dapat dihasilkan oleh bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Efeknya pada jaringan manusia biasanya sangat spesifik. Sebagai contoh, toksin botulism dan tetanus merupakan neurotoksin. Vibrio cholerae mengeluarkan eksotoksin yang mengurangi retensi cairan oleh intestin, sehingga menyebabkan diarrhea. Jadi eksotoksin biasanya mempunyai afinitas untuk suatu jaringan khusus dimana dia dapat menyebabkan kerusakan. Eksotoksin kehilangan toxisitasnya jika dipanaskan atau diberi perlakuan secara kimia. Fenol, formaldehid, dan berbagai asam dapat merubah eksotoksin secara kimia sehingga kehilangan toksisitasnya yang disebut toksoidEndotoksin

2. EnterotoksinEnterotoksin merupakan eksotoksin yang beraksi dalam usus halus, umumnya menyebabkan pengeluaran cairan secara besar-besaran ke dalam lumen usus, menimbulkan symptom diare. Enterotoksin dihasilkan oleh bermacam bakteri termasuk organisme peracun-makanan Staphylococcus aureus, Clostridium perfringens, dan Bacillus cereus, dan patogen usus Vibrio cholerae, Escherichia coli, dan Salmonella enteritidis.

3. EndotoksinBeberapa mikroorganisme, khususnya bakteri Gram-negatif, tidak mengeluarkan suatu toksin terlarut, tetapi membuat suatu endotoksin yang dibebaskan ketika sel mengalami pembelahan, lisis dan mati. Endotoksin dari bakteri Gram-negatif merupakan komponen struktural membran luar dari dinding sel bakteri Gram-negatif. Komponen ini merupakan polisakarida (lipid A). Endotoksin merupakan racun yang efektif pada tempat terikatnya ( ketika menjadi bagian dari dinding sel yang utuh) dan ketika dilepaskan sebagai produk litik pada pembelahan sel. Dibandingkan dengan eksotoksin , endotoksin lebih stabil terhadap pemanasan, tidak membentuk toksoid dan kurang toksik. Endotoksin bertanggung jawab untuk beberapa gejala penyakit seperti demam dan “shock”

4. HemolisinHemolisin merupakan enzim ekstraseluler yang bersifat toksik. Toksin ini merupakan bahan yang menghancurkan sel darah merah dan melepaskan hemoglobin. Sebenarnya strain hemolitik bakteri patogen lebih virulen daripada beberapa spesies strain nonhemolitik. Hemolisin bakteri dari beberapa spesies yang berbeda dalam senyawa kimia alaminya dan cara aksinya. Beberapa hemolisin menghasilkan perubahan yang dapat dilihat pada lempeng agar-darah. Pada lempeng ini, koloni bakteri hemolitik tertentu, dikelilingi oleh suatu zona bening tanpa warna dimana sel darah merah sudah dihancurkan secara sempurna. Peristiwan ini disebut α-hemolisis. Tipe lain dari bakteri dapat mereduksi hemoglobin menjadi meta-hemoglobin, yang menghasilkan zona berwarna kehijauan di sekitar koloni. Ini disebut β-hemolisis. Reaksi hemolitik seringkali

Page 2: TOKSIN

digunakan dalam laboratorium klinis untuk membantu mengindentifikasi suatu patogen; sebagai contoh, streptococci group A, suatu penyebab strep tenggorokan , menghasilkan ( hemolisis pada lempeng agar-darah. Sintesis hemolisin sitotoksik terdapat di antara bakteri Gram-positif dan Gram-negatif.

Pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan mikroorganisme patogen terjadi dengan berbagai cara. Pertama, pertahanan non-spesifik (innate) dengan mengeluarkan agen infeksi atau membunuhnya pada kontak pertama. Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons non-adaptif dini penting untuk mengendalikan infeksi dan mempertahankan pengawasan terhadapnya, sampai terbentuk respons imun adaptif. Respons imun adaptif memerlukan waktu beberapa hari, mengingat limfosit T dan B harus menemukan antigen spesifik untuk mengadakan proliferasi, dan berdiferensiasi menjadi sel efektor. Respons sel B yang tergantung pada sel T (T-cell dependent B-cell responses) tidak akan dapat dimulai sebelum sel mempunyai kesempatan untuk mengadakan proliferasi dan diferensiasi.

Terdapat perbedaan mendasar antara respons imun terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler. Bagi patogen ekstraselular sistem imun ditujukan untuk menghancurkan pathogen-nya sendiri serta menetralisir produknya. Dalam merespons patogen intraseluler terdapat 2 pilihan, sel T dapat bersifat sitotoksik menghancurkan sel yang terinfeksi, atau dapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen tersebut. Sebagai contoh, adalah sel penolong T (helper T cells) melepas sitokin yang akan mengaktivasi makrofag untuk menghancurkan organisme yang telah mengalami endositosis.

Infeksi Bakteri Intraseluler

Respon host terhadap patogen intraseluler tergantung pada lokasi bermukimnya patogen tersebut. Setelah terjadi fagositosis oleh makrofag, bakteri berada dalam fagosom, namun kejadian selanjutnya tergantung pada strategi untuk mempertahankan hidup bagi bakteri masing-masing. Penyesuaian aktivasi sel pejamu yang diinduksi oleh efek mikrobisidal dapat berakibat bakteri intraseluler bertahan hidup atau mati. Berbagai imunomodulator, yaitu sitokin, dapat meningkatkan kemampuan antimikrobial fagosit, sehingga pembersihan bakteri intraseluler tejadi secara efisien dan cepat. Dalam hal bakteri tidak mempunyai mekanisme survival, fagosom yang mengandung bakteri akan mengadakan fusi dengan kompartemen lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30 menit. Berbagai bakteri memiliki strategi yang berbeda-beda untuk memagari diri terhadap intracellular killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi (resting phagocytes). Patogen dapat mengadakan replikasi dalam sitoplasma (cytosolic pathogens), termasuk di sini adalah Listeria. Selain itu terdapat patogen yang berada dalam endosom (endosomal pathogens), seperti Legionella pneumophila, Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium, Listeria monocytogenes.

Intracellular Killing

Page 3: TOKSIN

Aktivitas antimikrobial fagosit dimediasi oleh mediator-mediator yang bervariasi secara luas, dan dapat dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan non-oksidatif. Mekanisme oksidatif dimediasi oleh produksi reactive oxygen intermediates (ROIs) dan reactive nitrogen intermediates (RNIs). Produksi ROIs dan RNIs membekali fagosit dengan aktivitas sitostatik atau sitotoksik terhadap virus, bakteri, jamur, cacing, dan sel tumor. Dalam mekanisme non-oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal, perampasan nutrien (nutritional deprivation ) dan perlakuan polipeptida mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur oksidatif dan non-oksidatif ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi terwujudnya suatu lingkungan yang tidak menunjang bagi kehidupan patogen selanjutnya. Fagosit harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat mengekspresikan satu atau lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk mengendalikan infeksi intraseluler.

Berbagai sitokin dan faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran penting dalam mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan dini pejamu.

Cara kerja sitokin pada lalu lintas bakteri intraseluler belum diketahui dengan jelas. Sitokin-sitokin tertentu dapat menyebabkan Listeria monocytogenes, Mycobacterium avium, Legionella pneumophila, dan Chlamydia spp tidak dapat lolos dari sasaran dalam lisosom. Sebagai contoh, interferon-γ menghalangi L. monocytogenes untuk melarikan diri ke dalam sitosol dan mengurung bakteri dalam vakuol fagosom yang asidik,sehingga menjadi lebih sensitif terhadap efek toksik ROIs dan RNIs. Interferon-γ juga mempercepat pematangan sepenuhnya fagosom yang mengandung M. avium, dan L. pneumophila dan fusinya dengan lisosom. Ini terjadi melalui asidifikasi fagosom, yang berhubungan dengan peningkatan proton ATP-ase dalam fagosom, sehingga dapat membunuh bakteri lebih banyak.

Produk respiratory burst dan nitric oxide (NO) memegang peran penting dalam proses mikrobisidal oksidatif dan sitosidal dalam sel-sel fagositik. Jumlah produk oksigen toksik dan NO yang dibebaskan oleh sel-sel fagositik tergantung pada derajat diferensiasi sel dan sifat rangsangan yang diberikan. Pada umumnya sitokin Th1 menyesuaikan respiratory burst dalam monosit, makrofag, dan neutrophil secara positif, sedang sitokin Th2 sebaliknya. Interferon-γ (profil Th1) meningkatkan oxidative burst dan produksi NO oleh sel-sel fagositik, serta mempunyai peran dalam membunuh patogen intraseluler melalui produksi ROIs dan RNIs yang toksik. Sebagai contoh, produksi ROIs yang diinduksi oleh interferon-γ, oleh berbagai makrofag dan jajaran sel makrofag berperan serta dalam membunuh Listeria monocytogenes,Leishmania infantum, Penicillium marneffei, dan Candida albicans.

Produksi NO yang diinduksi interferon-γ, oleh fagosit dan sel fagosit non-profesional bersifat mikrobisidal terhadap Listeria monocytogenes, Brucella spp, Pneumocystis carinii, Bordetella pertussis, Rickettsia prowazekii, Mycobacterium avium, Pseudomonas aeruginosa, serta patogen fungi.

itokin lain seperti TNF-α,(19) IL-12,(10) TNF-β,(21) IL-21, granulocyte colony- stimulating factor dan granulocyte-macrophage colony- stimulating factor dapat meningkatkan kadar produk oksigen reaktif dan NO yang dilepaskan oleh sel-sel fagositik. Di sisi lain, sitokin Th2 memegang peran penting dalam supresi oxidative burst dalam fagosit, sehingga menunjang pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis penyakit infeksi. Sebagai contoh, IL-4 menghambat produksi anion hidrogen peroksida dan superoksida dalam monosit (yang telah diaktivasi dengan IFN-γ atau TNF-α), dan menekan aktivitas

Page 4: TOKSIN

antifungal lekosit mononuklear terhadap Candida albicans. Interleukin-4 dan IL-13 meningkatkan fagositosis yang dimediasi reseptor mannose, mekanisme yang dianut patogen untuk menyelamatkan diri dari ancaman intracellular killing. Interleukin-10 merupakan sitokin lain yang meniadakan aktivasi makrofag, menghambat pembebasan hidrogen peroksida, mengurangi imunitas antimycobacterial dan antilisterial, meningkatkan pertumbuhan Legionella pneumophila dalam fagosit manusia dan membalik efek protektif interferon-γ terhadap patogen ini. Interleukin-10 juga menekan aktivitas bakterisidal monosit manusia terhadap Staphylococcus aureus dan C. albicans. Sitokin penghambat tersebut penting karena mengurangi oxidative burst agar jaringan normal terlindung dari kerusakan yang disebabkanROIs serta RNIs yang toksik, namun dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.

Intracellular killing patogen intraseluler dengan mekanisme perampasan nutrien antara lain adalah cara pengosongan asam amino esensial dan zat besi, yang diinduksi oleh sitokin. Ini merupakan cara efisien bagi fagosit untuk mengendalikan serta membunuh patogen. Dengan demikian sel-sel yang diaktivasi menghambat replikasi Chlamydia psittaci, Chlamydia pneumoniae (22) dan enterococci dengan cara menginduksi katabolisme triptofan melalui indolamin-2,3-dioxygenase

Pengosongan triptofan dalam makrofag secara aktivasi interferon-γ dan TNF-α juga menghambat pertumbuhan Streptokokus grup B. Dengan suplementasi triptofan tidak terjadi hambatan pertumbuhan bakteri. Pembunuhan yang dimediasi interferon-γ terhadap Bordetella pertussis oleh makrofag alveolar, terjadi sedikitnya sebagian melalui induksi tryptophan-degrading enzymes dan pengosongan zat besi. Makrofag manusia yang telah diaktivasi interferon membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan cara meregulasi ke bawah (downregulate) reseptor transferrin, sehingga menurunkan kemampuan zat besi dalam sel yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Legionella spp. Efek listerisidal juga berkaitan dengan kadar zat besi dalam makrofag.

Defensin, protein yang sudah kodratnya bersifat antimikrobial (natural antimicrobial protein), merupakan peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-bakteri luas. Terdapat 2 kelas, α dan β, berperan dalam pertahanan tubuh antara lain dengan cara mematahkan struktur atau fungsi membran sitoplasma mikroba. Biasanya defensin diinduksi oleh sitokin dalam respons terhadap infeksi atau inflamasi, interleukin-1β, interferon-γ, dan TNF-α. Defensin mempunyai aktivitas antimikrobial pada bakteri Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus, Yersinia enterocolitica, Candida albicans, jamur serta virus bersampul.

Resistensi Bakteri

Di antara bakteria intraseluler, obligatori dan fakultatif, banyak yang lambat laun memiliki mekanisme untuk menghindari atau melawan efek mikrobisidal fagosit, sehingga dapat bertahan hidup di dalamnya. Mekanisme resistensi bakteri terhadap intracellular killing bermacam-macam, antara lain dengan mengsekresi eksotoksin yang membunuh fagosit dan membantu melawan atau mencegah fagositosis.24,25Bakteria tertentu dapat memodifikasi intracellular endocytic traffic yang mentargetkan bakteri pada destruksi fagolisosomal, untuk selanjutnya bermukim dalam fagosit profesional. Patogen yang memiliki pore-forming cytolysins dapat melarikan diri dari fagosom, dan terdapat patogen yang mengadakan replikasi dalam fagosom yang tidak diasamkan (nonacidified), serta terlindung dari fusi

Page 5: TOKSIN

dengan lisosom pada fagosit tidak teraktivasi (non-activated phagocytes). Bakteria fagolisosomal tertentu menyesuaikan untuk melawan aktivitas antimikrobial hydrolase serta keasaman (pH) yang rendah dalam lisosom. Bakteri tertentu mampu menekan produksi metabolit sitotoksik sel fagosit, sedang bakteri lain dilengkapi dengan protein antioksidan sehingga dapat melawan efek ROIs dan RNIs , selanjutnya mengganjal fungsi antimikrobial fagosit. Mekanisme lain dengan menghambat produksi sitokin inflamatori yang terkait dengan pembersihan patogen, atau menginduksi produksi sitokin imunoregulatori seperti interleukin-10 sehingga terjadi deaktivasi fagosit. Bakteri dapat pula meningkatkan survival dengan mengubah ekspresi gen.

DAFTAR PUSTAKA

Parwati Setiono Basuki Divisi infeksi dan Pediatri Tropik Bagian Ilmu Kesehatan Anak

FK UNAIR/ RSUD Dr Soetomo Surabaya JURNAL INFEKSI BAKTERI INTRASELULER PADA ANAK (INTRACELLULAR BACTERIAL INFECTION IN CHILDREN)