TK3221_Kromatoagrafi Lapis Tipis
-
Upload
rizkia-kunti-pragati -
Category
Documents
-
view
165 -
download
1
description
Transcript of TK3221_Kromatoagrafi Lapis Tipis
TK 3221 – TEKNOLOGI ENZIMKROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
Makalahdisusun untuk memenuhi nilai tugas
Oleh :Fathiah Rizky Kosasih (13010004)Mario Kristiono (13010018)Fardhila Rochman (13010027)Archi Rifella (13010032)
PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIAFAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRIINSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................iDAFTAR GAMBAR..........................................................................................iiDAFTAR TABEL..............................................................................................iiiKROMATOGRAFI LAPIS TIPIS......................................................................1
A. Prinsip Dasar Kromatografi Lapis Tipis....................................................1
B. Teori Kromatografi Lapis Tipis.................................................................1
B.1 Sejarah Kromatografi Lapis Tipis.......................................................1
B.2 Standardisasi Kromatografi Lapis Tipis.............................................3
B.3 Pembuatan Lapis Tipis........................................................................4
B.4 Pemilihan Bahan Absorbent................................................................6
C. Kegunaan Kromatografi Lapis Tipis........................................................11
D. Bahan dan Alat.........................................................................................12
E. Prosedur...................................................................................................12
E.1 Prosedur Umum................................................................................12
E.2 Teknik-teknik Khusus Kromatografi Lapis Tipis.............................13
F. Analisis Hasil...........................................................................................18
F.1 Dokumentasi Kromatogram Lapis Tipis...........................................18
F.2 Evaluasi Kuantitatif Kromatogram Lapis Tipis................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................30
i
DAFTAR GAMBAR
Gambar E.1.1 Prosedur umum KLT..................................................................13
Gambar E.2.1 Alat untuk melakukan teknik gradien eluen...............................15
Gambar E.2.2 Cryobox......................................................................................16
Gambar E.2.3 Tahapan kerja KLT→ larutan....................................................17
Gambar E.2.4 Tahapan kerja teknik KLT→ reagen..........................................18
Gambar E.2.5 Tahapan kerja KLT→ kertas saring...........................................18
Gambar F.1.1 Uji batas KLT untuk pengotor dalam kodein.............................20
Gambar F.1.2 Gambar kromatogram KLT sederhana.......................................21
Gambar F.1.3 Contoh salinan kromatogram.....................................................23
Gambar F.2.1 Contoh evaluasi kuantitatif.........................................................29
ii
DAFTAR TABEL
Tabel C.1 Penggunaan KLT di berbagai bidang............................................11
Tabel F.2.1 Data reagen analisis KLT...............................................................26
iii
KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
A. Prinsip Dasar Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis berdasar pada prinsip kapilaritas dan perbedaan laju
migrasi suatu senyawa. Kapilaritas adalah kemampuan suatu cairan untuk
menjalar melalui suatu celah sempit tanpa dipengaruhi oleh gaya-gaya lain,
misalnya gaya gravitasi atau gaya elektromagnetik. Efek kapilaritas ini dapat
terjadi karena adanya gaya inter-molekuler antara permukaan cairan dengan
permukaan celah sempit tersebut. Gaya-gaya ini didukung oleh adanya tegangan
permukaan, serta gaya adhesi antara cairan dengan permukaan yang dalam fasa
padat.
Dengan adanya perbedaan laju migrasi, maka dapat dilakukan pemisahan
komponen-komponen yang terdapat dalam suatu sampel. Perbedaan migrasi yang
terjadi disebabkan oleh perbedaan intensitas interaksi senyawa. Interaksi ini
berlaku di antara dua fasa, yaitu fasa stasioner dan fasa gerak. Fasa stasioner
merupakan tempat dimana senyawa yang akan diperiksa, yaitu fasa gerak, berada.
Interaksi yang terjadi antara fasa stasioner dan fasa gerak ditentukan oleh sifat
kepolaran. Baik fasa stasioner maupun fasa gerak memiliki polaritas, tetapi dalam
afinitas yang berbeda. Semakin polar suatu komponen dalam sampel, maka akan
semakin kuat interaksinya dengan fasa yang memliki afinitas polaritas yang lebih
tinggi. Atas dasar ini, kemudian suatu komponen yang berbeda pada sampel yang
memiliki polaritas yang berbeda mampu dipisahkan.
B. Teori Kromatografi Lapis Tipis
B. 1Sejarah Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi berasal dari bahasa Yunani, “Chroma” dan “Graphein”
yang memiliki makna “warna” dan “menulis”. Kromatografi pertama kali
diperkenalkan oleh Michael Tswet pada tahun 1906. Michael Tswet adalah
seorang ahli botani dari Rusia yang memperkenalkan kromatografi kolom. Ia
berhasil memisahkan klorofil dan pigmen warna lain yang terkandung dalam
tumbuhan dengan menggunakan serbuk kalsium karbonat yang dimasukkan
1
ke dalam kolom serta menggunakan eter sebagai pelarut. Kemudian ektrak
tumbuhan dicampur dengan pelarut dan dimasukkan ke dalam kolom
tersebut. Akibatnya tampak pita-pita warna pada kolom.
Kromatografi yang diperkenalkan oleh Michael Tswet selanjutnya
memicu untuk mencapai suatu proses pemisahan dengan kromatografi, tetapi
pada skala mikroskopis. Hal ini kemudian tercapai dengan mengganti sistem
kromatografi yang tadinya tertutup (menggunakan kolom) dengan sistem
terbuka. Pengetahuan ini yang menginisiasi terbentuknya kromatografi lapis
tipis.
Pada tahun 1938, N. A. Ismailov dan M. S. Shraiber memperkenalkan
teknik kromatografi lapis tipis dengan menyebutnya sebagai kromatografi
tetes. Mereka meneteskan ekstrak tanaman medis ke titik tengah suatu lapisan
kering berbentuk bulat, kemudian ditetesi dengan alkohol. Setelah ditetesi
alkohol kemudian terbentuk zona-zona bulat yang memisahkan komponen
satu dengan yang lain.
Riset-riset yang terjadi selanjutnya mulai menggunakan prinsip ini, tetapi
pada praktek teknisnya terdapat 2 perbedaan, yaitu dengan menggunakan
lapis tipis yang menempel pada suatu permukaan atau dengan menggunakan
lapis tipis tanpa menempel pada suatu permukaan. Kemudian pada tahun
1947, mulai digunakan suatu lapis tipis yang disokong dengan suatu lapisan
kaca yang memiliki lubang-lubang kecil yang dapat digunakan untuk
meneteskan eluen dan senyawa. Hal ini mulai menyebabkan ilmuwan untuk
berpikir akan adanya fasa mobil dan fasa diam. Barulah pada beberapa tahun
kemudian dikembangkan suatu metode baru, yaitu kromatografi partisi, yang
mana menggunakan fasa diam (silika bubuk) dan fasa mobil (kloroform) pada
kromatografi kolom.
Selanjutnya teknik pada kromatografi partisi tersebut diaplikasikan pada
kromatografi lapis tipis di tahun 1956 dan berkembang. Riset mulai
bermunculan, tentang bagaimana menemukan eluen yang tepat, komposisi
lapis seperti apa yang paling baik, ukuran dari lapis, dan sebagainya.
Walaupun teknik ini mulai berkembang, pada era tersebut sebenarnya teknik
ini terbilang masih kalah dengan teknik kromatografi gas. Sedikit sekali
2
publikasi jurnal yang menganalisis dengan teknik kromatografi lapis tipis.
Terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan mengenai kromatografi ini,
yaitu:
1. Tidak adanya keseragaman dan standardisasi teknik pembuatan lapis
tipis yang homogen.
2. Tidak adanya peralatan dan alat yang tersedia secara lumrah di
masyarakat.
3. Kurang tersedia informasi mengenai fasa diam (absorben) yang
tepat.
4. Kurang dipelajari mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi.
Kemudian diputuskan untuk dilakukan penelitian secara intensif oleh
beberapa pakar di bidang kromatografi lapis tipis selama lima tahun dan pada
tahun 1958 teknik ini kembali diperkenalkan. Pengenalan ini membuahkan
hasil karena teknik ini mulai banyak digunakan di berbagai laboratorium
penelitian. Keberhasilan tersebut salah satunya didukung oleh kenyataan
bahwa teknik kromatografi lapis tipis relatif lebih cepat. Akhirnya pada tahun
1965 sudah terdapat lebih dari 45000 publikasi ilmiah yang menggunakan
kromatografi lapis tipis.
B. 2Standardisasi Kromatografi Lapis Tipis
1. Dimensi lapis: biasanya 200x200 mm untuk tujuan analitis; 100x200
mm untuk pra percobaan dan 400x200 mm untuk analisis
berkelanjutan
2. Ketebalan lapis: biasanya 150µm untuk pemisahan analitis;
permukaan lembab yang baru saja disemprot ke pelat cetakan
memiliki ketebalan 250µm.
3. Pengeringan lapis:
a. Pengeringan pendahuluan selama 10 menit dengan udara hangat
bila dibutuhkan, kemudian dilanjutkan dengan pemanasan selama
30 menit pada temperatur 110°C pada posisi vertikal. Waktu
pengeringan yang lebih lama dibutuhkan untuk lapis yang
memiliki ketebalan di atas 250µm.
3
b. Pengeringan di udara kering selama 12 jam pada
temperaturruangan.
4. Penyimpanan: Pelat harus dilindungi dari asap (air, asam, basa) dan
disimpan dalam media pengering seperti silika gel biru.
5. Titik mulai: Titik mulai harus terletak pada jarak 15 mm dari sudut
terendah dari pelat, demikian juga 15 mm dari masing-masing
bagian sisinya.
6. Jarak run: normalnya 100 mm dari titik mulai.
7. Chamber: a) Chamber berbahan dasar gelas dan chamber penyerap;
b) sistem S-chamber; c) BN-chamber
8. Kedalaman rendaman lapis: pelat dan lapis harus dibenamkan hanya
sekitar 5 mm ke dalam pelarut dalam chamber dan S-chamber
9. Adsorbent: penggunaan adsorbent yang secara khusus disiapkan
untuk KLT, mengikuti instruksi yang diberikan lebih memberikan
keuntungan.
B. 3Pembuatan Lapis Tipis
Lapis tipis untuk keperluan KLT (kromatografi lapis tipis) terdiri atas
serbuk padatan atau suspensi adsorbent dapat dibuat dengan beberapa
metode. Pemilihan metode pembuatan lapis tipis dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan jumlah pelat KLT yang dibutuhkan perharinya,
pemerataan bahan absorben pada pelat, perlengkapan yang tersedia di
laboratorium, ketersediaan ruang, dan jangkauan nilai Rf yang dibutuhkan.
Berikut penjelasan mengenai metode pembuatan lapis tipis.
1. Metode Tuang (Pouring Procedure)
Metode ini tidak membutuhkan peralatan khusus. Sejumlah
adsorbent ditimbang sesuai kebutuhan dan dikocok hingga menjadi
suspensi yang homogen dengan pelarut tertentu. Suspensi yang telah
diperkirakan volumenya dituang dengan cepat ke pelat gelas sebagai
“cetakan”. Selanjutnya, suspensi diratakan dengan cara digoyang secara
halus, kemudian dikeringkan dalam posisi horisontal.
4
2. Metode Celup (Immersion Procedure)
Dalam metode ini, lapis tipis dibenamkan dalam suspensi adsorbent
yang cocok. Adsorbent harus tersuspensi secara merata dalam pelarut
organik, seperti dalam metode tuang. Dua pelat gelas bersih (bisa berupa
pelat gelas untuk preparat) berukuran sama diletakkan berhadapan dan
dibenamkan dalam suspensi. Hanya satu lapisan pada setiap pelat yang
terlapisi adsorbent sehingga adsorbent terperangkap di antara pelat
gelas. Pelarut dapat menguap dengan cepat dari pelat gelas. Bahan
pengikat (gipsum) pada larutan adsorbent dibuat lebih kuat dengan
meletakkan kepingan dalam steam dengan waktu singkat. Lapis tipis
siap digunakan setelah pengeringan 1-3 menit di atas kisi-kisi kawat
yang diletakkan pada pemanas.
3. Metode Pemerataan (Spreading procedure)
Lapis tipis umumnya dibuat dengan cara menyebarkan suspensi
adsorbent di atas pelat gelas. Rangkaian peralatan untuk teknik ini telah
dikembangkan dan dapat dibagi ke dalam dua tipe dasar, yaitu tipe
Kirchner dan tipe Stahl. Persamaan keduanya adalah penyebaran
suspensi di dalam bak persegi panjang yang memiliki celah berukuran
tertentu pada satu sisi.
a. Fixed Spreader (Tipe Kirchner )
Tipe ini memiliki ciri, yaitu spreader terikat kaku sisi alat. Pelat
cetakan didorong masuk menuju spreader secara berurutan. Alat ini
dapat dioperasikan oleh satu orang, tetapi lebih baik dioperasikan
oleh dua orang. Pelat gelas berukuran lebar 5, 10, 20 cm dapat
dilapisi dengan ketebalan yang bervariasi.
b. Movable Spreader (Tipe Stahl )
Metode ini memungkinkan satu lapisan adsorbent dapat dibuat
menjadi banyak lapis tipis KLT secara kontinu. Prosedurnya
sederhana, sehingga sering digunakan di laboratorium untuk
pelapisan. Spreader berukuran 20 cm dengan selubung yang dapat
diputar. Tebal lapis KLT dapat diatur antara 0 hingga 2 mm. Tipe ini
5
dikembangkan secara komersial pada tahun 1958 dan merupakan
spreader KLT yang paling banyak digunakan.
4. Metode Penyemprotan (Spraying procedure)
Suspensi adsorbent dapat disebar secara merata pada pelat cetakan
menggunakan semprotan komersial. Pemerataan suspensi pada lapis
KLT tergantung pada kemampuan operator ketika peralatan penyemprot
dioperasikan dengan tangan. Suspensi adsorbent, seperti reagen lainnya,
dapat diisikan langsung ke dalam penampung spray aerosol.
B. 4Pemilihan Bahan Adsorbent
Pada kromatografi lapis tipis (KLT), adsorbent yang paling tepat dapat
diketahui dengan mudah dan cepat, bergantung pada sampel yang akan diuji.
1. Silika gel
Silika adalah substansi yang amorf dan berpori. Tahap awal
pembentukan silika gel adalah proses hidrolisis komponen silikon,
misalnya silikon tertaklorida. Setelah hidrolisis terjadi terbentuk asam
monosilikat dan asam hidroklorat yang ditunjukkan pada reaksi di
bawah;
SiCl4 + 4 H2O → Si(OH)4 + 4 HCl
Berat molekul dari silikon yang terlarut dalam komponen adalah
sekitar 60 g/mol, dan diinterpretasikan sebagai SiO2, serta satu SiO2
ekuivalen dengan 1 Si(OH)4. Berikut prosedur preparasi silika gel untuk
kromatografi lapis tipis secara umum:
a. Pulverisasi mekanik dari silika gel murni dan menyusun ukuran
yang tepat.
b. Persiapan larutan suspensi dari material yang telah dipulverisasi
yang digunakan untuk melapisi pelat kaca.
c. Mengeringkan pelat kaca yang telah dilapisi suspensi silika.
Apabila prosedur pulverisasi menurunkan kemurnian dari produk
kromatografi lapis tipis yang penting, pemurnian awal senyawa perlu
dilakukan. Pemurnian ini mungkin saja dapat merubah struktur elemen
6
satu per satu (luas area permukaan, struktur permukaan sebenarnya,
volume pori spesifik atau distribusi pori-pori). Prosedur-prosedur untuk
mempersiapkan silika gel juga dapat diterapkan untuk mempersiapkan
suspensi dan pengeringan lapisan, kecuali pada kasus khusus seperti
bubuk silika gel mengandung sejumlah aditif baik komponen organik
maupun anorganik, suspensi dibuat dari larutan bahan pengikat organik
untuk menyiapkan lapisan dan pelat yang digunakan adalah pelat plastik,
bukan pelat kaca.
a. Air digunakan pada suspensi dengan tujuan mengisi rongga-
rongga. Perbandingan silika gel dan air diperlukan untuk
memperoleh sistem fluida karena bergantung pada volume pori
spesifik silika gel dan kandungan air.
b. Pada proses pengeringan, air harus dihilangkan dari kapiler dan
rongga. Untuk menghindari sintering, temperatur pengeringan
harus di antara 100-200oC. Pada rentang temperatur ini, air dari
kapiler hilang, tetapi tidak ada air yang terpisah dari gugus SiOH.
2. Alumina dan Senyawa-Senyawa Anorganik
Beberapa senyawa anorganik selain silika gel dapat digunakan
sebagai adsorbent. Persiapan alumina dan kieselguhr merupakan hal
yang paling penting.
a. Alumina
Hidroksida merupakan material awal untuk mempersiapkan
alumina. Dehidrasi komponen-komponen hidroksida telah diteliti
selama bertahun-tahun namum tidak seluruhnya berhasil untuk
diproduksi. Aluminium hidroksida yang digunakan untuk
kromatografi ada berbagai macam, yaitu:
Hidrargilit, Al(OH)3. Aluminium hidroksida ini secara teknik
dibuat pada skala besar dengan proses Bayer, yaitu dengan
presipitasi dari larutan natrium aluminat di bawah 60oC oleh
inokulasi dengan kristal dan pengadukan. Hidrargilit adalah
penyusun bauksit tropis di alam.
7
Bayerit, Al(OH)3. Aluminium hidroksida ini merupakan hasil
kesalahan dari proses Bayer, belum diketahui apakah senyawa
ini stabil di alam atau tidak karena hingga saat ini belum
ditemukan di alam.
Bohmit, AlO(OH). Aluminium hidroksida ini merupakan
penyusun bauksit di Eropa yang merupakan modifikasi dari
hidrargilit dan bayerit dalam air atau larutan alkali. Hidrargilit
yang dibuat dengan proses Bayer juga selalu mengandung
bohmit.
Seluruh alumina yang dibuat dari hidrargilit mengandung
setidaknya 10% natrium oksida kecuali telah dipersiapkan dengan
menggunakan asam. Ini menyebabkan munculnya laticce dari
hidrargilit yang distabilisasi dengan alkali. Alkali kemudian bereaksi
dengan oksida yang terlarut Alkali dapat dikurangi atau dihilangkan
dengan menambahkan asam yang menyebabkan suspensi menjadi
netral atau bersifat asam lemah. Alumina-alumina yang cocok untuk
KLT adalah jenis alpha dan gamma aluminium oksida.
b. Kieselguhr
Kieselguhr adalah senyawa-senyawa yang terbentuk di alam,
asam silikat dari fosil, dapat juga berupa diatom dan bakteri. Diatom
dan bakteri mengandung silika dalam jumlah yang banyak, biasanya
diatom dan bakteri ini hidup di tanah. Oleh karena itu, kandungan
silika ini dapat dijadikan adsorbent untuk kromatografi lapis tipis.
c. Silikat
d. Magnesium silikat
Magnesium silikat yang telah dipresipitasi digunakan untuk
memisahkan gula, turunan gula, dan komponen polihidroksi serta
terpen. Talc adalah magnesium silikat dengan komposisi
Mg3[SiO4O10](OH)2 yang memiliki kisi. Permukaannya dapat
mengadsorpsi sesuai dengan keadaan tiap bagian yang dibatasi oleh
kisi-kisi tersebut. Magnesium silikat telah digunakan secara
komersial untuk memisahkan asam lemak dan lanatosida. Namun,
8
dibutuhkan 1,5 kali jumlah etanol dan propanol dari jumlah
magnesium silikat untuk membuat adsorbent.
e. Kalsium silikat
Adsorben dari kalsium silikat dibuat dengan mencampurkan 11 g
kalsium silikat, 3 g kieselguhr, dan 700 mg natrium asetat serta 30
ml air. Sama seperti magnesium silikat, kalsium silikat juga dapat
digunakan untuk memisahkan gula.
d. Fosfat
Trikalsium fosfat terdekomposisi perlahan dalam air
menghasilkan hidroksilapatit dan tidak dapat diperoleh secara murni
dari larutan. Magnesium hidrogen fosfat telah banyak digunakan
sebagai adsorbent untuk memisahkan karotenoid. Terdapat beberapa
prosedur untuk menyiapkan adsorbent dari apetit. Lapisan adhesif
telah dibuat dengan mengaduk 15 g adsorbent dengan 60 ml etanol
70% yang mengandung 40 mg poliamida. Selanjutnya hanya tinggal
melapisi pelat dengan campuran tersebut dan dikeringkan.
e. Kalsium sulfat
Lapisan gipsum merupakan salah satu lapisan yang mengandung
kalsium sulfat serta digunakan untuk memisahkan asam lemak dan
gliserida.
f. Glass Powder
Kaca merupakan elemen yang sangat kuat sehingga permukaan
partikel dapat terkontaminasi saat pulverisasi mekanik. Oleh karena
itu, sebelum digunakan, glass powder harus dibersihkan.
g. Garam-garam heteropoli, tungstat, dan asam tetraborat
Penggunakaan kieselguhr, dicampur dengan natrium tungstat,
molibdat, atau tetraborat sebagai chelating agents telah digunakan
untuk memisahkan adrenalin dan turunan katekol.
h. Seng karbonat dan seng ferrosianida
Seng karbonat yang mengandung pati 5% sebagai komponen
adesif telah digunakan sebagai adsorbent untuk pemisahan aldehid,
9
keton, dan komponen yang mengandung gugus karbonil lain pada
kromatografi lapis tipis.
i. Karbon aktif
Karbon aktif sangat jarang digunakan sebagai adsorbent karena
sulit untuk mengidentifikasi hasil dari pemisahan sampel.
j. Zirkonium fosfat dan hidrozirconium oksida
Pemisahan kation anorganik pada persiapan zirkonium fosfat dan
hidrozirkonium oksida telah diteliti, adsorbent dibuat dengan cara
mencampurkan 20 g senyawa tersebut dengan air 20 mL dan pati
3%.
k. Adsorbent kombinasi
Campuran berbagai adsorbent dengan perbandingan tertentu juga
banyak digunakan sebagai salah satu bagian dari pemisahan pada
kromatografi lapis tipis, misalnya campuran silika gel dengan
alumina dengan perbandingan 1 : 1, silika gel dan kieselguhr, steroid
dan karbohidrat, seng karbonat dan silika gel, serta banyak campuran
lainnya dengan perbandingan 1 : 1.
3. Senyawa Organik
a. Selulosa dan turunannya
Adsorbent-adsorbent anorganik pada bahasan sebelumnya,
kecuali kieselguhr, digunakan sebagian besar untuk pemisahan
komponen lipofilik, sedangkan adsorbent organik banyak digunakan
untuk pemisahan komponen hidrofilik seperti asam amino, asam
nukleat, gula dan turunannya.
- Bubuk n-selulosa
- Bubuk selulosa terasetilasi
- Bubuk selulosa untuk penukar ion
b. Pati
Seperti selulosa, pati juga banyak digunakan untuk memisahkan
komponen hidrofilik.
10
c. Sukrosa
Sukrosa pernah digunakan untuk memisahkan pigmen kloroplas.
Pelarut yang tidak mengandung air dapat digunakan dengan sukrosa
karena sukrosa sangat larut dalam air. Sampel yang mengandung eter
atau aseton juga dapat dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis
dengan menggunakan adsorbent sukrosa.
d. Mannitol
e. Dextran Gel
Biasanya dextran gel digunakan untuk memisahkan protein,
peptida, enzim, hormon, asam nukleat, dan lain sebagainya.
C. Kegunaan Kromatografi Lapis Tipis
Secara umum, kromatografi lapis tipis digunakan untuk menganalisis
komponen yang terkandung dalam suatu campuran. Saat ini, kromatografi lapis
tipis telah banyak diterapkan dalam berbagai bidang untuk keperluan analisis.
Contoh penggunaan KLT dalam berbagai bidang disajikan dalam Tabel C. 1.
Tabel C. 1 Penggunaan KLT di berbagai bidangBidang Contoh penggunaan
Klinis KLT digunakan dalam analisis kandungan lemak,
studi metabolisme, kontrol dopping
Makanan dan bidang
pangan
Quality control, pendeteksian zat aditif (vitamin),
uji pestisida, uji stabilitas zat untuk menentukan
tanggal kadaluarsa
Analisis farmasi Quality control, uji pemerataan komposisi, uji
kemurnian dan identitas, uji stabilitas zat untuk
menentukan tanggal kadaluarsa
Herbal Identifikasi komponen, uji stabilitas
Kosmetik Identitas material bahan baku, pendeteksian bahan
pengawet, identitas material pewarna,
pendeteksian senyawa ilegal dalam kosmetik
Aplikasi industri Optimasi dan pengembangan proses, pengawasan
11
proses
Forensik Investigasi racun
Lingkungan Analisis air, analisis tanah, analisis residu
D. Bahan dan Alat
1. Lapis tipis
2. Mikrokapiler
3. Chamber
4. Pelarut
5. Lampu UV
6. Pensil
7. Penggaris
E. Prosedur
E. 1 Prosedur Umum
Berikut prosedur umum kromatografi lapis tipis (KLT) untuk
penggunaan lapis tipis yang mengandung silika gel.
1. Chamber beserta penutupnya disiapkan, ke dalamnya dituangkan
pelarut.
2. Garis mulai digambar dengan pensil pada jarak 2 cm dari bagian
bawah lapis tipis.
3. Beberapa μl larutan sampel (biasanya campuran zat organik)
ditotolkan secara perlahan pada pelat di garis awal. Jika lebih dari ±1 μl
digunakan sekaligus, noda akan menyebar terlalu jauh. Noda tersebut
harus dapat mengering di antara masing-masing penotolan sebanyak 1
μl, maka dari itu harus dilakukan perlahan-lahan. Sampel yang
dimasukkan biasanya 20 μg. Noda sampel lalu dikeringkan.
4. Sepanjang 0,5 cm dari bagian bawah pelat tersebut dicelupkan ke
dalam pelarut yang sesuai sebagai fasa gerak di dalam chamber. Pelarut
tersebut dapat bergerak naik pada pelat silika gel dengan daya
12
kapilaritas. Pelarut bergerak naik di sepanjang lapis tipis dan bersamaan
dengan pergerakan pelarut tersebut, sampel terbawa dengan laju yang
tergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut dalam fasa bergerak dan
interaksinya dengan zat padat. Semakin polar suatu zat, maka semakin
mudah zat tersebut teradsorpsi fasa diam silika gel. Akibatnya, semakin
pendek jarak yang ditempuh zat tersebut menaiki pelat pada waktu
tertentu.
5. Lapis tipis dikeringkan setelah pelarut bergerak sekitar 10 cm dari
bagian bawah lapis tipis.
6. Noda-noda zat terlarutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Secara kualitatif, lapis tipis dapat diperiksa dengan bantuan sinar UV.
Pemisahan yang efektif dengan metode KLT dapat diperoleh setelah
pergerakan pelarut sejauh 3–6 cm, dan 18–36 sampel dapat dijalankan secara
simultan dengan jalur paralel pada pelat. Prosedur umum KLT lebih jelas
dapat dilihat pada Gambar E. 1.1.
Gambar E. 1.1 Prosedur umum KLT (Watson, 2005)
E. 2 Teknik-teknik Khusus Kromatografi Lapis Tipis
13
Terdapat beberapa teknik khusus yang berkaitan dengan kromatografi
lapis-tipis. Berikut akan dipaparkan beberapa hal yang berkaitan dengan
teknik tersebut.
E. 2. 1 Prosedur Khusus dalam Pemberian Eluen
1. Multiple development
Teknik ini dilaksanakan dengan memberikan eluen yang sama
secara berkala pada lapis tipis. Eluen hanya diberikan bila eluen telah
sampai ke ujung lapis tipis. Kemudian lapis tipis dikeringkan dan
diberi eluen lagi. Ini bertujuan agar peristiwa kapilaritas dapat
berlangsung kembali. Metode ini mengubah persamaan nilai Rf
(dibahas di bagian analisis hasil), menjadi
Rf =1−(1−Rf )n
Di mana n adalah berapa kali eluen diberikan pada lapis tipis.
Teknik multiple development menghasilkan suatu peristiwa mengecil
atau membesarnya titik sampel yang telah dipisahkan. Hal ini terjadi
karena interaksi dari tiap fasa menjadi semakin kuat.
2. Stepwise development
Teknik ini memiliki langkah kerja yang sama dengan multiple
development. Perbedaannya adalah penggunaan eluen pada teknik ini
berbeda-beda untuk setiap pemberian eluen. Umumnya, eluen yang
digunakan pada pencucian yang lebih awal akan lebih kuat afinitas
polaritasnya dibandingkan eluen selanjutnya.
Contoh dari teknik ini adalah penggunaan KLT untuk memisahkan
lignan dan glikosida. Pada pemberian eluen pertama, hanya glikosida
yang terpisahkan sedangkan lignan tetap berada pada titik sampel.
Pemberian eluen kedua yang memiliki polaritas lebih kecil mampu
memisahkan lignan tersebut, tetapi tidak memberikan migrasi pada
glikosida yang telah berpisah, sehingga hasil tidak berubah.
E. 2. 2 Teknik Gradien Pada Kromatografi Lapis Tipis
14
1. Gradien eluen
Teknik ini digunakan untuk memisahkan asam amino, peptida,
protein, nukleotida, dan gula. Teknik gradien eluen secara sederhana
dapat dipahami bahwa pada rentang waktu pelaksanaan terjadi
perubahan konsentrasi dari eluen yang digunakan. Teknik ini
diperkenalkan melalui keberhasilan seorang ilmuwan bernama
Rybicka yang memisahkan gliserida. Ia membentuk suatu alat seperti
pada Gambar E. 2.1.
Gambar E. 2.1 Alat untuk melakukan teknik gradien eluen (No. 1 adalah penahan, 2 adalah magnetic stirrer, 3 adalah tempat masuknya buret, 4
adalah tempat pembuangan overflow, 5 adalah lapis tipis, 6 adalah sampel) (Heftman, 1967)
Ia menggunakan lapis silika gel dan menggunakan eluen eter.
Selama proses pemisahan berlangsung, ia meningkatkan konsentrasi
eter dari 10% hingga 60%. Eter tersebut ditambahkan dengan cara
meneteskan eter dengan buret. Eter yang menjadi eluen
dihomogenisasi dengan menggunakan pengaduk magnetik.
Sayangnya, teknik ini memiliki tingkat reproduksibilitas yang rendah.
2. Gradien lapis
Jika sebelumnya lapis tipis yang digunakan haruslah homogen
dalam struktur dan konsentrasi, maka pada teknik ini konsentrasi dari
komponen penyusun lapis tipis diubah dengan mengubah ketebalan
dari lapis tipis. Dalam teknik pembuatan lapis tipis, harus diperhatikan
bahwa gradien lapis tipis tetap memberikan viskositas maksimum
serta tetap memberikan pengeringan yang merata dan cepat.
15
Contoh dari teknik ini adalah penggunaan lapis tipis yang
ketebalannya bervariasi, dari 0.1 hingga 2 mm. Lapis ini digunakan
dengan arah merambat eluen dari tebal ke tipis. Teknik ini mampu
memisahkan komponen polar yang berafinitas tinggi secara lebih baik.
Meskipun teknik ini dinilai sangat menguntungkan, tetapi pada
keberjalanan perkembangannya tidak begitu dilirik oleh ilmuwan
karena pembentukan lapis tipis bergradien sangatlah sulit.
E. 2. 3 Kaitan Temperatur Dengan Kromatografi Lapis Tipis
Para ilmuwan meyakini bahwa pada temperatur yang bervariasi
akan dihasilkan Rf yang bervariasi. Misalnya, pada pemisahan asam
lemak telah diteliti bahwa pada suhu 4-6˚C berlangsung pemisahan
yang lebih baik bila dibandingkan dengan temperatur ruang. Sebuah
instrumen kemudian digunakan untuk melangsungkan proses
pemisahan ini, yaitu cryobox. Crybox mampu melaksanakan
kromatografi lapis tipis pada suhu -50 hingga 50˚ C. Cryobox
berbentuk seperti sebuah kotak yang di dalamnya terdapat tempat untuk
meletakan lapis tipis dan mengisi eluen. Kotak ini dihubungkan dengan
termometer yang dipasang untuk mengecek suhu di dalamnya, serta
dihubungkan pula dengan thermostat untuk mengatur suhu di dalam
cryobox. Wujud cryobox ditampilkan pada Gambar E. 2.2.
Gambar E. 2.2 Cryobox (Heftman, 1967)
16
Kaitan antara kromatografi lapis tipis dengan temperatur rendah
memberi beberapa perubahan, yaitu:
1. Nilai Rf akan bervariasi bergantung pada jenis sampel, namun
cenderung turun.
2. Titik komponen sampel yang telah dipisahkan akan cenderung
lebih kecil dibandingkan dengan titik sampel pada suhu ruang.
3. Kromatografi dapat digunakan untuk memisahkan komponen yang
lebih volatil, seperti terpen.
E. 2. 4 Teknik Pemindahan
1. KLT → Larutan
Agar komponen sampel yang telah dipisahkan dapat dianalisis,
maka sampel yang telah dipisahkan harus dapat dipindahkan ke dalam
larutan, terutama bila ingin dilakukan analisis secara spektroskopis.
Proses pemindahan ini menggunakan suatu alat yang dinamakan
percolation tube. Alat ini berbentuk seperti tabung dengan panjang 8-
20 cm dan luas penampang 2 mm. Di dalamnya terdapat sebuah kapas
yang berfungsi sebagai filter. Pada Gambar E. 2.3 terlihat tahapan
yang dilakukan untuk teknik ini.
Teknik ini dilakukan dengan mengeruk lapis tipis yang
mengandung komponen yang telah dipisahkan dan hasilnya
dimasukan ke dalam percolation tube. Kemudian ke dalamnya
diteteskan pelarut. Oleh karena silika akan tertahan pada kapas, maka
pelarut dan komponen akan diteruskan agar dapat diambil dengan
micro-pipet.
17
Gambar E. 2.3 Tahapan kerja KLT→ larutan (Heftman, 1967)
2. KLT → Reagen
Untuk analisis menggunakan reagen, umumnya sampel yang telah
dipisahkan langsung dicampur dengan reagen. Oleh karena tidak akan
dipengaruhi silika, teknik ini dilakukan dengan mengeruk bagian dari
lapis yang memiliki komponen tersebut dan dicampur langsung
dengan reagen. Teknik ini dapat dilihat pada Gambar E. 2.4.
Gambar E. 2.4 Tahapan kerja teknik KLT→ reagen (Heftman, 1967)
3. KLT → Kertas Saring
Untuk memastikan kemurnian dari sampel yang ingin dianalisis,
sampel dapat pula diteruskan ke kertas saring untuk dilakukan
kromatografi kertas. Teknik ini dilakukan dengan memotong bagian
lapis tipis yang mengandung sampel yang ingin dipisahkan menjadi
bentuk segitiga. Kemudian kertas saring ditempelkan pada lapis tipis
dan dengan bantuan micro-pipet, komponen dapat berpindah ke kertas
18
saring dari lapis tipis akibat ikut tercuci pada peristiwa kapilaritas.
Visualisasi teknik ini dapat dilihat pada Gambar E. 2.5.
Gambar E. 2.5 Tahapan kerja KLT→ kertas saring (Heftman, 1967)
F. Analisis Hasil
F. 1 Dokumentasi Kromatogram Lapis Tipis
1. Uji Hasil Kromatogafi Lapis Tipis
a. Uji identitas kualitatif
Uji ini dilakukan dengan mengamati warna bercak atau noda.
b. Uji batas
Jika struktur pengotor diketahui
Seperti dalam kasus hidrokortison asetat, ketika hidrokortison
dapat diharapkan terbentuk sebagai hasil hidrolisis ester asetat,
uji-uji yang dilakukan terhadap klorimazol didasarkan pada tahap
terakhir dalam pembuatannya. Imidazol yang tidak bereaksi
adalah pengotor yang nyata dan klorotritanol akan mudah
terbentuk dari klorotriril bromida yang tidak bereaksi melalui
hidrolisis, yang akan terjadi jika klotrimazol diekstraksi dari
campuran reaksi tersebut.
Jika struktur pengotor tidak diketahui
Tipe uji batas KLT dilakukan ketika identitas pengotor belum
sepenuhnya pasti. Tipe pengujian ini digunakan, misalnya, pada
zat asal alam atau yang sebagian berasal dari alam, yang
mungkin mengandung berbagai zat yang strukturnya berkaitan
19
dengan struktur zat uji yang diekstraksi bersama dengan bahan
baku awal.
Asumsi yang dibuat dalam tipe uji ini adalah bahwa zat-zat
sejenis yang tidak diketahui akan menghasilkan intensitas noda
yang mirip dengan uji itu sendiri pada konsentrasi yang sama.
Sebagai contoh, uji batas dilakukan untuk alkaloid sejenis (asing)
dalam kodein, yang diekstraksi dari opium poppy, dengan adanya
sejumlah alkaloid, maka identitas pasti pengotor tersebut
mungkin tidak diketahui. Untuk melalukan uji tersebut, 10μl dari
ketiga larutan ditotolkan secara terpisah pada pelat KLT.
Larutan-larutan tersebut mengandung kodein 4,0% b/v (larutan
1), kodein 0,06% b/v (larutan 2), dan kodein 0,04% b/v (larutan
3).
Dalam uji tersebut, larutan kodein encer digunakan sebagai
pembanding visual untuk semua pengotor dalam sampel. Pelat
dikembangkan dalam etanol/sikloheksan/ammonia 13,5 M
(72:30:6), dikeringkan dan kemudian disemprot dengan reagen
iodobismutat, yang spesifik untuk obat-obat yang mengandung
nitrogen. Pelat mungkin akan tampak seperti diagram yang
ditunjukkan pada Gambar F. 1.1 Uji batas KLT untuk pengotor
dalam kodein
Gambar F. 1.1 Uji batas KLT untuk pengotor dalam kodein
Kondisi-kondisi yang diatur oleh uji batas tersebut antara
lain:
20
- Tidak boleh ada noda sekunder pada kromatogram larutan
1 yang lebih kuat daripada noda yang diperoleh dengan
larutan 2.
- Tidak boleh ada lebih dari satu noda sekunder dengan nilai
Rf yang lebih tinggi daripada Rf kodein yang lebih kuat
daripada noda yang diperoleh dengan larutan 3.
Dalam uji ini, dua batas diatur: 0,06/4 x 100 = 1,5% dan
0,04/4 x 100 = 1,0 %. Tipe uji ini pada mulanya sedikit
membingungkan karena terdapat sejumlah permutasi.
c. Uji menggunakan baku yang diketahui dan tidak diketahui
Pada bidang farmasi, terdapat uji batas lain yang diatur dalam
monografi farmakope, mulai dari uji sederhana untuk pengotor yang
diketahui, ditambah dengan pengotor tak diketahui lain yang
mungkin ada. Uji batas farmakope yang paling rinci dalam hal ini
mungkin dilakukan terhadap tetrasiklin, dengan larutan 1% b/v
ditotolkan di atas pelat KLT dengan larutan dari lima golongan
tetrasiklin yang stukturnya mirip dengan konsentrasi antara 0,02 dan
0,005% b/v.
2. Nilai Rf
Jarak migrasi suatu zat di kromatografi lapis tipis diukur dengan nilai
Rf, seperti pada kromatografi kertas. Berbagai faktor, seperti ketebalan
lapisan, kejenuhan ruang di dalam gelas (chamber), kelembaban udara,
efek pemisahan dari pelarut campuran, yang tidak mudah untuk
dihasilkan, dapat menghasilkan noda.
Gambar F. 1.2 Gambar Kromatogram KLT sederhana
21
Rf = jarak titik pusat bercak dari titik awaljarak muka pelarut dari titik awal
h R st=jarak titik sampel dari titik awal x100
jarak titik senyawa referensi darititik awal
Pada Gambar F. 1.2 Gambar Kromatogram KLT sederhana dapat
dilihat, misalnya untuk senyawa A, nilai Rf sebesar a/S, dan untuk
senyawa B, nilai Rf sebesar b/S. Nilai Rf biasanya dinyatakan sebagai
nilai Rf x 100. Luas/intensitas noda pada pelat KLT secara logaritma
terkait dengan konsentrasi analit yang menghasilkannya. Nilai Rf
merupakan parameter karakteristik kromatografi kertas dan kromatografi
lapis tipis. Nilai Rf digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar
sampel dan juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fasa
diam sehingga nilai Rf sering juga disebut faktor retensi. Nilai Rf adalah
perbandingan jarak yang ditempuh sampel dengan jarak yang ditempuh
pelarut dan merupakan ukuran kecepatan migrasi suatu zat pada
kromatogram dan pada kondisi konstan merupakan besaran karakteristik
dan reprodusibel.
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak
bergeraknya zat tersebut pada pelat kromatografi lapis tipis. Nilai Rf
dapat membandingkan dua sampel yang berbeda di bawah kondisi
kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila zat tersebut
kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari pelat
kromatografi lapis tipis. Nilai Rf dapat pula dijadikan bukti dalam
mengidentifikasi suatu zat. Bila identifikasi nilai Rf memiliki nilai yang
sama maka zat tersebut dapat dikatakan memiliki karakteristik yang
sama atau mirip, sedangkan bila nilai Rfnya berbeda, zat tersebut dapat
dikatakan merupakan zat yang berbeda.
3. Pemeliharaan Kormatogram Lapis Tipis
Dengan metode ini, setelah uji sebelumnya, kromatogram
dikeluarkan dari gelas dan dibiarkan beberapa lama. Untuk menjaga
keaslian dari kromatogram, metode ini terbatas untuk senyawa-senyawa
22
tertentu yang tidak larut atau sedikit larut pada pelarut untuk diawetkan.
Hasil kromatogram akan mudah terhapus jika terus-menerus disemprot
dan warna noda akan cepat memudar jika tidak disimpan di tempat yang
gelap.
4. Salinan Grafis
Untuk mendokumentasikan hasil kromatografi lapis tipis, yaitu pada
kromatogram, noda-noda yang muncul pada kromatogram disalin
dengan menggunakan beberapa cara. Teknik atau cara yang paling
mudah adalah menyalin kromatogram di kertas transparan. Noda-noda
yang hanya terlihat jika disinari dengan sinar UV, ditandai terlebih
dahulu baru kemudian disalin pada kertas. Intensitas warna pada noda-
noda dapat ditandai dengan bayangan, seperti tampak pada Gambar F.
1.3.
Gambar F. 1.3 Contoh salinan kromatogram
Pada Gambar F.1.3 dapat dilihat bahwa (a) salinan kromatogram ke
kertas transparan lalu ke kertas biasa; (b) salinan dengan photostating;
(c) salinan segi empat sesuai dengan luas tiap noda.
5. Dokumentasi dengan Kertas yang Peka terhadap Cahaya
Prinsip yang digunakan adalah dengan menggunakan kertas basa,
dimana secara kimiawi akan terlihat dengan menggunakan cahaya atau
yang akan mengubah total muatan melalui penyinaran. Dokumentasi
yang sering dilakukan adalah dengan:
a. Salinan kertas diazo
23
b. Salinan kertas cetak biru
c. Salinan positif dan foto dengan prosedur sesuai dengan difusi
garam perak
d. Foto
e. Foto elektronik
F. 2 Evaluasi kuantitatif kromatogram lapis tipis
1. Evaluasi Kuantitatif pada Lapisan KLT
a. Perbandingan secara visual
Secara visual, evaluasi yang dapat dilakukan yaitu
membandingkan luas noda satu sama lain. Hubungan antara
sejumlah zat dan luas noda adalah pada jarak migrasi yang sama,
dipengaruhi oleh adsorbent, pelarut, dan kejenuhan di dalam gelas
(chamber). Perbandingan secara visual pada kromatografi kertas
lebih sulit dibanding pada KLT karena luas nodanya lebih kecil. Cara
ini termasuk semi-kuantitatif. Jika kondisi sudah ditetapkan dan
dibatasi, data yang diterima lebih banyak.
b. Pengukuran luas noda
Jika noda-noda yang dihasilkan dapat dengan mudah dilihat dan
cukup luas, ada beberapa cara untuk mengukurnya, yaitu dengan
membandingkan dengan literatur, dievaluasi menggunakan
planimeter, disalin pada kertas dan diukur, disalin dengan cara difoto
dan diukur, atau dengan kertas kotak-kotak. Namun, metode ini tidak
terlepas jauh dari yang namanya galat pengukuran.
Luas noda akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
zat secara cepat. Hubungan linear antara akar dari luas permukaan
dengan log jumlah zat yang akan diukur, akan valid jika rentang
konsentrasi zat besar. Dengan larutan standar, larutan analisis dan
larutan analisis yang menguap, secara kuantitatif dapat digunakan
rumus:
log W =log W s( √ A−√ AS
√ AD−√ A ) log D
24
Dimana,
D : faktor dilusi
W : jumlah materi yang dianalis yang terlihat
WS : jumlah materi standar
AS : luas noda larutan standar
A : luas noda material yang dianalisis
AD : luas noda materi dilusi untuk analisis
c. Pengukuran transmisi pada noda yang diwarnai, hangus , atau
yang menyerap sinar UV
Pada teknik ini, absorpsi cahaya pada bagian lapisan adsorbent
dimana terdapat noda akan dibandingkan dengan absorpsi cahaya
pada bagian lapisan adsorbent tanpa noda. Noda-noda yang dapat
menyerap cahaya UV hanya dapat dievaluasi ketika pelat pembawa
tidak terlalu kuat menyerap pada panjang gelombang yang
diperlukan.
d. Uji kuantitatif noda-noda berpendar
Evaluasi langsung
Noda-noda berpendar dapat dievaluasi secara langsung pada
lapisan adsorbent.
F ≈ S x f
Dimana, F adalah nilai perpendaran yang dapat dibaca pada
detektor, S adalah densitas radiasi noda berpendar, dan f adalah
luas noda.
Evaluasi fotografik
Q=k . log I
D=γ log I +B
B=γ ( log t−log i)
D=K . Q+B dimanaK= γk
Dimana,
Q : jumlah zat
I : intensitas cahaya yang dipancarkan
k : konstanta
25
D : noda yang hilang (densitometer)
t : waktu pencahayaan film
i : inersia film
γ : gamma film
e. Evaluasi reflektansi (remisi) spektrum
Derajat refleksi sebanding dengan konsentrasi zat yang teradsorb
pada warna putih. Hubungannya adalah:
f ( R )= (1−R )2
2R= k
s=
ε . c .(2,303)s
Dimana,
R : reflektansi standar relatif dibandingkan dengan standar
k : koefisien absorpsi molar (Hukum Lambert-Beer)
s : konstanta penghamburan
ε : absorptivitas molar (log)
c : konsentrasi molar
2. Uji Kuantitatif setelah Ekstraksi dari Lapisan Adsorbent
Zat-zat yang telah dipisahkan dengan KLT, kemudian dideteksi
dengan metode yang sesuai, seperti dielusi dari adsorbent dan secara
kuantitatif jenis zat tertentu dapat ditentukan. Metode ini mempunyai
galat yang cukup kecil dibanding dengan metode langsung.
a. Deteksi zat yang telah terpisah
Deteksi pada lapisan akan mudah jika zat-zat yang ada diwarnai
atau diberi cahaya UV. Ada beberapa cara yaitu, menggunakan
kromatogram referensi, menggunakan lapisan fluorescent dan
indikatornya, penyemprotan dengan air (deteksi non-destruktif),
lokalisasi noda-noda terpisah menggunakan uap iodin atau dengan
menyemprotnya menggunakan larutan iodin, serta menggunakan
reagen yang berwarna. Data reagen yang dapat digunakan, warna
yang terlihat, dan komponen yang terdeteksi ditampilkan pada Tabel
F. 2.1 Data reagen analisis KLT (Heftman, 1967)
26
Tabel F. 2.1 Data reagen analisis KLT (Heftman, 1967)
Reagen WarnaKomponen yang
terdeteksi
Cahaya matahari Berbagai warna Komponen berwarna
Sinar ultraviolet (254 dan
366 mµ)
Lapisan yang mengandung
material fluorescent
Titik fluorescent dengan
latar belakang gelap
Titik gelap dengan latar
belakang fluorescent
Banyak senyawa organik
Senyawa aromatik dan
heterosiklik
AirTitik putih dengan latar
belakang gelap
Senyawa hidrofobik
dengan berat molekul
besar
2’,7’-Dichlorofluorescein,
0.2% dalam etanol
Titik kuning-hijau
berlatar belakang ungu
tua pada sinar UV (254
mµ)
Sebagian besar senyawa
organik lipofilik
Uap iodinTitik coklat berlatar
belakang kuning
Kebanyakan senyawa
organik, terutama
senyawa tak jenuh
Asam kromat-sulfat (5%
K2Cr2O7 dalam 40%
H2SO4)
Titik hitam dengan latar
belakang putih setelah
pemanasan (180°).
Perubahan warna terjadi
selama pemanasan
Kebanyakan material
organik nonvolatil
Indikator asam basa,
seeperti 0.1-0.5%
bromkresol hijau dalam
etanol, atau bromofenol
biru dalam larutan asam
sitrat 0.01M, atau
bromtimol biru dalam
larutan NaOH 0.01M
Titik kuning pada latar
belakang hijau atau biruAsam karboksilat
Antimoni klorida,
50% SbCl3 dalam asam Berbagai karakteristik
Steroid, vitamin
27
asetat glasial
25% SbCl5 dalam karbon
tetraklorida
warna
Berbagai karakteristik
warna
alisiklik, karotenoid
Ninhidrin, 0.3% dalam n-
butanol berisi 3% asam
asetat
Titik merah muda
hingga ungu pada latar
belakang putih
Asam amino dan
beberapa senyawa
lainnya
Asam difenilborat β-
aminoetil ester, 1% dalam
etanol
Berbagai karakteristik
warnaBanyak produk alam
b. Penghilangan noda-noda dari pelat dan teknik elusi
Setelah noda terbentuk, noda tersebut dapat digores dengan silet,
spatula, atau alat-alat serupa. Cara yang terbaik adalah dengan
menghilangkan adsorbent di sekitar noda, kemudian noda tersebut
diambil dan dipindahkan ke selembar kertas kaca yang halus. Setelah
itu, noda pada kertas kaca diekstraksi dengan cara melarutkannya
dengan pelarut tertentu dan ekstraknya dibebaskan dari adsorbent
dengan cara filtrasi atau sentrifugasi.
Filtrasi tidak dilakukan dengan kertas saring, melainkan dengan
membran filter. Membran filter tidak dapat digunakan untuk pelarut
organik. Filter kaca atau keramik juga umum digunakan. Untuk
mencegah kehilangan zat yang akan dideteksi, aliran udara harus
dihindarkan ketika proses penggoresan noda dan noda yang telah
digores langsung dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai. Noda
tersebut juga dapat diekstraksi menggunakan ekstraktor vakum
dimana noda yang terlokalisasi dapat disedot ke permukaan filter
atau ke dalam labu ektraksi, kemudian dielusi.
Setelah elusi, adsorbent dapat dipisahkan dengan mudah
menggunakan sentrifugasi dengan syarat pelarut yang digunakan
tidak volatil. Prosedur diulangi dengan menggunakan sejumlah
28
volume pelarut yang diketahui secara pasti. Ekstraksi tunggal dapat
dilakukan cukup dengan pelarut yang memiliki kemampuan elusi
tinggi. Setelah sentrifugasi, alikuot dari cairan supernatan dapat
diambil untuk penentuan secara kuantitatif.
c. Eluen (pelarut untuk ekstraksi)
Pemilihan eluen ditentukan dengan melihat efek desorptif. Efek
elutif diuji dengan membuat noda dari zat secara kuantitatif terhadap
lapisan adsorbent dan mencoba untuk mengkerstrak noda tersebut
tanpa dilakukan kromatografi. Kehilangan kecil harus
diperhitungkan setelah prosedur KLT tergantung jarak migrasi dan
pengotor. Gangguan-gangguan yang mungkin terjadi pada tahap
kuantitatif harus diperhatikan ketika memilih eluen. Misalnya, ketika
pengukuran UV, pelarut harus menyerap secara lemah, atau eluen
teruapkan sampai habis dan diambil sisanya untuk dimasukkan ke
dalam pelarut yang sesuai. Pengotor-pengotor hasil ekstraksi dari
adsorbent sangat sulit untuk dihindarkan. Silika gel dan alumina
yang biasa digunakan sebagai adsorbent juga mengandung pengotor-
pengotor anorganik seperti besi dan klorida.
d. Metode penentuan setelah elusi
Evaluasi dengan mengukur penyerapan UV telah banyak
digunakan pada banyak kasus untuk zat-zat yang menyerap pada
bagian ini karena hal ini adalah tahap selanjutnya setelah
dilakukannya ekstraksi. Contoh evaluasi kuantitatif setelah elusi
disajikan dalam Gambar F. 2.1.
29
Gambar F. 2.1 Contoh evaluasi kuantitatif
DAFTAR PUSTAKA
Christian, Gary D., 2004, Analytical Chemistry, New Jersey: Wiley, hal. 627-631
Heftman, Erich, 1967, Chromatography 2nd edition, New York: Reinhold
Publishing Corporation, hal. 165-181
Kellner, R., J. M. Mermet, M. Otto, M. Valcarcel, H. M. Widmer, 2004,
Analytical Chemistry, Cordoba: Wiley, hal. 584-587
Stahl, Egon, 1969, Thin-Layer Chromatography A Laboratory Handbook, New
York: Springer Verlag
Underwood, A.L, R.A. Day, Jr, 1998, Analisis Kimia Kuantitatif, Terjemahan: Iis
Sopyan, Edisi Keenam, Jakarta: Erlangga, 2001, hal. 551–552
30
Watson, David G., 2005, Analisis Farmasi: Buku Ajar untuk Mahasiswa Farmasi
dan Praktisi Kimia Farmasi, Terjemahan: Winny R. Syarief, Edisi Kedua,
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007, hal. 367–382
31