TITIPAN - semarangkab.bawaslu.go.id€¦ · Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, karya-karya sastra...

207

Transcript of TITIPAN - semarangkab.bawaslu.go.id€¦ · Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, karya-karya sastra...

  • i

    TITIPAN

    Untuk Pemilu Yang Berintegritas

    “Sehimpunan Cerita Pendek Kelingan”

    Dewi “Dedew” Rieka, dkk

    Bawaslu Kabupaten Semarang

  • ii

    TITIPAN Untuk Pemilu Yang Berintegritas “Sehimpunan Cerita Pendek Kelingan” Penulis Dewi “Dedew” Rieka, dkk Penerbit Bawaslu Kabupaten Semarang Jalan Purnakarya Raya, Gedanganak, Ungaran Timur, Kabupaten Semarang Telp. (024) 7690143 Email : [email protected] Website : https://semarangkab.bawaslu.go.id Cetakan 1 Editor Kafha Desain & Ilustrasi sampul Muhlasin xiii + 193 halaman, 14,8 x 21,0 cm ISBN 978-623-92365-1-9 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All right reserved

  • iii

    Mata Air Demokrasi (Sajak Pembuka Lukas Jono)

    Telah menjadi abu-abu

    Ribuan rintik-rintik air mata

    Kadang membutuh benih-benih suara yang keluar dari

    mercusuar suci.

    Tak bening

    Seperti medsos

    Membubuhi segala makna

    Di pikiran orang

    Penuh dendangan

    Kelak, waktunya tiba muncul dari bilik pemilu penuh

    kertas-kertas suara.

    Tingkir, 4/12/2016

    *) Lukas Jono, penggiat Kelingan

  • iv

  • v

    Kata Pengantar

    Seribu Cara Sosialisasi Pengawasan Pemilu

    Terobosan-terobosan dalam menggandeng masyarakat

    untuk terlibat dalam pengawasan pemilu harus terus

    digalakan. Ada seribu cara untuk melakukan sosialiasi

    pengawasan pemilu kepada publik. Tidak hanya menoton,

    itu-itu saja. Cara-cara unik dan menarik harus terus

    digalakan.

    Upaya pencegahan pelanggaran pemilu yang dilakukan

    Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Semarang

    tiada hentinya. Upaya itu juga dalam berbagai bentuk. Tak

    hanya melalui diskusi, seminar atau ceramah. Tapi juga

    melalui pendekatan sastra. Buku yang Anda pegang ini

    menjadi buktinya. Selama ini sosialisasi sering kita

    temukan melalui cara yang monoton. Orang di undang, di

    beri ceramah, kalau perlu ada diskusi/dialog, setelah itu

    selesai.

    Cara seperti ini boleh-boleh saja dilakukan. Tapi cara ini

    cenderung menempatkan publik/masyarakat sekedar

    menjadi obyek sosialisasi. Bawaslu Kabupaten Semarang

    bergandengan tangan dengan para penulis dari Kelompok

    Literasi Ungaran (Kelingan) dari berbagai kelompok usia

    dan profesi, untuk bersama-sama melakukan upaya

  • vi

    sosialisasi pengawasan partisipatif. Mereka saling bertukar

    ide. Ide-ide itu dituangkan dalam tindakan praktis.

    Masyarakat dilibatkan sejak perencanaan kegiatan. Tidak

    hanya sekedar diundang untuk mendengarkan ceramah

    setelah itu pulang. Lebih dari itu, masyarakat harus

    ditempatkan sebagai subyek atau pelaku untuk bersama-

    sama melakukan sosialisasi. Kali ini, jalan yang ditempuh

    adalah melalui cerita pendek.

    Cerpen adalah bentuk prosa naratif yang sifatnya fiktif.

    Cerpen merupakan prosa fiksi yang menceritakan suatu

    peristiwa dengan melibatkan tokoh. Cerpen cenderung

    lebih panjang dibanding dengan karya puisi. Tapi cerpen

    cenderung lebih pendek dibanding dengan novel.

    Sosialisasi melalui cerpen dilakukan sebagai salah satu

    upaya. Kita berharap melalui cerpen ini banyak orang

    tersadarkan betapa pentingnya proses dan hasil pemilu.

    Jika selama ini pemilu dianggap sesuatu yang serius,

    penuh ketegangan hingga sering diliputi tipu muslihat

    para politisi. Maka, melalui pendekatan sastra ini, kita

    berharap publik bisa tercerahkan. Mendapatkan kesadaran

    betapa pentingnya pemilu harus didorong ke arah yang

    bersih, berintegritas dan pelaksanaannya harus jujur dan

    adil.

  • vii

    Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, karya-karya sastra

    sangat banyak mempengaruhi kesadaran masyarakat.

    Menariknya, karya sastra seringkali “lolos” dari jeratan

    belenggu otoritarianisme penguasa . Di saat pemerintahan

    Orde Baru, misalnya, media massa yang menjadi arus

    informasi masyarakat, sangat tidak bisa memiliki daya

    kritis dan kebebasan. Sebab, media massa yang kritis akan

    mendapatkan intimidasi. Surat izin penerbitannya akan

    dicabut atau dibredel.

    Dalam situasi pemberitaan media massa sangat diatur

    maka karya sastra menemukan jalan kelolosan. Sastrawan

    Seno Gumira Ajidarma pernah menulis buku berjudul

    “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”. Ini

    menunjukan bahwa penyebaran opini publik tak hanya

    melalui media massa. Tapi juga bisa melalui karya sastra.

    Dalam situasi tertentu, sastra bisa jadi menjadi jalan

    strategis dan taktis dalam rangka membangun kesadaran

    publik.

    Menariknya, karya sastra seringkali bisa melenggang

    meskipun isinya sangat kritis terhadap kekuasaan.

    Kenapa bisa begitu? Karena karya sastra, termasuk

    cerpen, hanya berbahasa simbolik. Dengan bahasa yang

    meliuk-liuk dan sifat rekaan (fiksi) maka karya ini agak

    sulit digugat.

  • viii

    Meski bersifat fiksi, tapi cerpen seringkali merefleksikan

    realitas sosial. Ia bisa menyindir ketidakadilan. Bisa

    menggungat kedzoliman. Mengandung kritikan pedas

    terhadap elit penguasa. Tapi, cerpen tidak saja melulu

    soal kritik yang serius. Bisa saja cerpen berkisah tentang

    kelucuan, keluguan hingga percintaan. Muaranya bisa

    menggembirakan juga bisa menyedihkan. Yang pasti,

    cerpen bisa menghadirkan kesadaran.

    Atas dasar itulah, Bawaslu Kabupaten Semarang bersama

    dengan Keluarga Literasi Ungaran (Kelingan) menerbitkan

    buku berjudul: “Titipan untuk Pemilu yang berintegritas:

    sehimpunan cerita pendek Kelingan”. Bawaslu Kabupaten

    Semarang memang mendorong penerbitan buku ini agar

    Keluarga Literasi Ungaran (Kelingan) bisa terus menerus

    melahirkan karya-karya terbaiknya. Harapannya, publik

    bisa tercerahkan dan mendapatkan kesadaran.

    Cerpen dalam buku ini mengangkat berbagai tema

    tentang pengawasan pemilu/pilkada. Cerita yang

    dibangun sangat beragam. Ada realitas di masyarakat.

    Cerita berlatar anak sekolahan. Cerita pelaksanaan

    pemilu/pilkada. Cerita tentang teknologi dalam pemilu.

    Dan masih banyak cerita pendek lainnya.

    Tulisan ini berisi gagasan-gagasan yang mencerahkan.

    Balutannya melalui cerita pendek yang mudah dibaca.

    Narasi yang dibangun melalui bahasa-bahasa puitis.

  • ix

    Dibumbui dengan dialog-dialog antar pemeran dalam

    cerpen ini. Pembaca juga bisa mendapatkan istilah-istilah

    nyeleneh untuk menyinggung pelaksanaan pemilu/pilkada.

    Kata dan kalimat berisi narasi melangit dan membumi.

    Yang namanya cerpen pasti ada liukan-liukan kata yang

    berbunga-bunga dan sangat puitis. Penulisnya juga dari

    berbagai latar: ada “sastrawan asli”, ada cerpenis yang

    sehari-hari berprofesi guru. Ada yang memang sehari-hari

    bergelut di organisasi masyarakat. Ada pula yang sehari-

    hari memang berkecimpung dalam dunia literasi. Mereka,

    baik yang usianya sudah menapaki jalan tua maupun yang

    masih muda-muda.

    Selamat kepada Bawaslu Kabupaten Semarang yang telah

    menerbitkan buku cerpen ini. Semoga bermanfaat untuk

    publik.

    Sukoharjo, Akhir November 2019

    M. Rofiuddin, S.H.I, M.I.Kom.

    (Anggota Bawaslu Provinsi Jawa Tengah 2018-2023).

  • x

  • xi

    Daftar Isi

    Mata Air Demokrasi ~ ...................................................... iii Kata Pengantar Muhammad Rofiuddin ~ .................................................. v Rekening Gendut Agustina Dwi Jayanti ~ ..................................................... 1 Dongeng Kong Kalikong Estu Pitarto ~ ................................................................... 11

    Warung Makan Mas Topo Kafha ~ ............................................................................. 23

    Amanah Di Balik Amplop Kirachusnul ~ ................................................................... 37

    Pemiluku Kelabu Musyarofah A.R ~ ............................................................ 51

    Bijak Memilih Putu Ayub ~ ...................................................................... 63

    “MoccaLatte” Rizky Rahardian ~ ........................................................... 75

    Sebuah Pertaruhan Tri Astuti Ari Winarti ~ .................................................. 85 Take and Give, Eh? Wahyu Yoshinoyuki ~ ..................................................... 95

  • xii

    Titipan Winda Oei ~ ..................................................................... 105

    Andai Aku Bisa Menutupimu Dari Dunia Rie ~ .................................................................................. 121

    Politik Cokelat Tri Astuti Ari Winarti ~ ................................................... 129

    Cinta Black Campaign Dewi “Dedew” Rieka ~ .................................................... 137

    Black Campaign Akbar Uniek Kaswarganti ~ ........................................................ 149

    Suara Kita Sangat Berharga Listiani R ~ ........................................................................ 159

    Bahaya Golput Rahmatan ~ ....................................................................... 165 Pak Lukas Jono Keren Kafha~ ............................................................................... 175

    Biodata Penulis ................................................................. 187 Sekilas Kelingan ................................................................ 193

  • 1

    Rekening Gendut Agustina Dwi Jayanti

    “Hai, lagi lihat apa Kamu? Dari tadi asyik sendiri

    dengan gadget!”

    “Emm…” Yang ditanya hanya asyik scroll layar

    gadget dengan mulut mengunyah bakso.

    Novi terbiasa dengan kebiasaan teman kuliahnya

    satu ini, kebiasan buruk Aldi. Bermain gadget kapan pun

    di mana pun bila ada waktu. Seperti saat ini dia asyik

    dengan dirinya sendiri, kebisingan di kantin kampus tidak

    akan bisa membuyarkan konsentrasinya dari layar gadget.

    Tiba-tiba Aldi mendongakkan kepala dan matanya

    teralih dari layar beralih menatap tajam Novi yang tepat

    berada di depannya. Yang dipandang bersikap masa bodoh,

    asyik dengan sepiring nasi rames.

    “Nov, Kamu tahu nggak sebentar lagi pemilihan

    kepala daerah yang biasa disingkat pilkada itu loh.” Aldi

    menunggu respon Novi dengan gemas, tapi yang diajak

    bicara malah asyik-asyik saja dengan nasi di piringnya

    “Hai, jawab dong!”

  • 2

    Terlihat wajah jengkel dari raut Novi. Lagi enak-

    enak makan malah dipaksa menjawab sesuatu yang semua

    orang juga sudah tahu kalau sebentar lagi akan ada

    pilkada. “Iya, lalu?” jawab Novi.

    “Kok Kamu keliatan nggak antusias sih?”

    “Lha aku harus ngapain? Lagian juga belum tahu

    siapa yang akan maju.”

    “Bukan masalah siapa yang akan maju. Tapi dengan

    adanya pilkada ini rekening kita bisa menggendut.” jelas

    Aldi.

    “Maksud Kamu?”

    Aldi menjawab dengan menaikkan bahu dan

    berwajah songong.

    ****

    Sepanjang mata memandang selalu ada spanduk

    bahkan baliho yang sudah terpasang berjejeran di

    sepanjang jalan. Ada tiga warna dominan. Warna Merah,

    Kuning dan Hijau, tepat persis seperti traffic light. Untung

    yang ikut kali ini hanya ada 3 kandidat pasangan kalau

    lebih, bisa seperti pemilihan daerah. Terlalu banyak yang

  • 3

    maju tapi tidak tahu apa prestasi yang sudah ditorehkan

    untuk daerahnya masing-masing.

    Tidak masalah siapa saja yang maju, toh semua

    warga negara Indonesia, mulai berumur 17 tahun sudah

    boleh mengajukan diri sebagai calon. Namun, yang

    membuat Novi gerah dari tadi adalah adanya pemasangan

    spanduk yang ditempelkan di pohon. Pemasangan

    spanduk yang tidak sesuai dengan peraturan, asal dipaku

    di pohon.

    Tiba di rumah, Novi mengecek handphone siapa

    tahu ada chat penting. Ternyata hanya dari Aldi “Sudah

    lihat spanduk-spanduk di jalan kan? Besok setelah jam

    kuliah pertama temui aku di lapangan basket ya. Gak usah

    di bales, aku lagi sibuk. See you.”

    Wajah Novi tampak sangat kelelahan. Dengan

    padatnya jadwal kuliah dan masih ditambah kelakuan Aldi,

    Novi perlahan-lahan menutup mata, merasakan punggung

    nyaman di atas kasur.

    ****

    Malam hari di lingkungan rumah Novi tak seperti

    biasa, di depan jalan sudah terpasang tenda yang cukup

  • 4

    panjang. Panjang tenda bisa untuk menampung lebih dari

    satu RT, bila berdiri berjajar berimpit-impitan. Tampak

    ibu-ibu dan remaja bergotong royong menata tikar dan

    sound system yang biasa untuk pengajian.

    Ibu Novi melihat Novi hanya berdiri di depan pintu

    memperhatian kegiatan warga.

    “Kakak, sini loh bantu ibu nyiapin tempat. Jangan

    malah bengong di depan pintu!” panggilnya.

    Novi segera menghampiri ibu dan tak lupa

    menutup pintu. “Bu, ini ada apa sih?”

    “Akan ada penyuluhan pilkada.”

    “Penyuluhannya itu nanti kita disuruh mengenali

    orang-orang yang maju pilkada ya, Bu.”

    “Iya to paling, Ibu nggak tahu.”

    “Lha terus ngapain coba dikumpulkan kalo nggak

    tahu?” Novi mengejar jawaban.

    “Daripada Kamu banyak tanya, sana ganti baju dulu,

    terus ke sini! Duduk dekat Ibu! Dengarkan penyuluh mau

    bilang apa!” Sudah tak tahu harus jawab apa lagi, yang

    memang sedari kecil selalu mengejar jawaban yang benar-

    benar jawaban.

  • 5

    Tampak sudah selesai penataan jalan yang disulap

    menjadi tempat layak rapat. Para bapak, ibu-ibu, dan

    remaja telah berganti baju. Serasa sedang menunggu

    orang penting.

    Tak beberapa lama orang yang disebut-sebut akan

    memberi penyuluhan pilkada datang. Seorang laki-laki

    dan seorang perempuan menggunakan baju tren saat ini.

    Bukan seorang paruh baya, mungkin seumuran Novi.

    Seperti penyuluhan pada biasanya kenapa harus

    menggunakan hak suara dan tidak boleh golput. Dari

    penjelasan yang cukup mendayu-dayu dari tadi hanya

    menyebutkan satu nama calon. Seperti penggiringan opini.

    “Sudah paham ya kenapa tidak boleh golput! Untuk

    itu bagi warga sini bila memilih calon ini per rumah akan

    mendapat sembako. Juga uang tanda terima kasih tidak

    melakukan golput sebesar Rp 50.000.” kata penyuluh laki-

    laki.

    “Tapi, ada syaratnya. Setiap warga yang sudah

    memilih harap memfoto lembar pilih atau nanti

    kumpulkan KTP di RT saja. Ngonten geh, Pak RT!” tambah

    penyuluh perempuan.

  • 6

    Acara yang tadinya senyap tiba-tiba riuh, ada warga

    yang tergoda dengan sembako dan tergoda uang.

    “Pak, itu uang Rp 50.000 untuk setiap rumah atau

    setiap KTP?”

    Bapak mata duitan ini memang terkenal kritis kalau

    soal uang, satu sen saja akan dicari jika hilang. Ada

    guratan senyum kecil di ujung bibir Novi, lantaran

    pertanyaan si bapak itu juga yang dia tunggu.

    “Setiap KTP dapat Rp 50.000 jadi kalau satu

    keluarga ada hak pilih 5 orang, ya dikalikan saja!” jawaban

    manis, diakhiri senyuman bisnis. Sempurna.

    Novi mengerti sekarang, tujuan diadakan rapat

    dadakan yang mengumpulkan semua warga.

    ****

    Seperti waktu yang dijanjikan, pertemuan Novi dan

    Aldi di lapangan basket setelah mata kuliah pertama.

    Sebelum Novi sempat melangkahkan kaki ke pintu, tiba-

    tiba tangannya digeret Aldi menuju ruang BEM. Selalu

    begitu bila berjanji, berubah sewaktu-waktu tergantung

    mood.

  • 7

    BEM merupakan ruangan yang bisa dikatakan

    tenang buat negosiasi. Ruangan yang sudah terkenal

    sebagai ring tinju untuk para kritis. Orang-orang yang jago

    debat. Apalagi Novi ketua BEM.

    “Baiklah, apa yang mau Kamu bicarakan? Bila ini

    nanti tidak mutu, Kamu harus mentraktir aku bakso

    selama seminggu full!” jutek Novi. Tanda dia mulai bosan.

    “Huuuu saya takut nyonya.” Aldi menjawab konyol.

    “Baiklah aku mau berbisnis denganmu. Tolong jangan sela

    dulu apa yang kubilang. Pemilihan sebentar lagi, otomatis

    setiap calon akan membutuhkan banyak suara. Dari situ

    aku ingin berbisnis denganmu. Saat ini aku sedang

    memegang calon nomor 3.”

    Aldi berhenti sejenak untuk mengetahui reaksi

    Novi.

    “Terus!” Novi melipat tangan di depan dada.

    “Oke, aku terusin. Kamu kan ketua BEM, otomatis

    Kamu punya power besar untuk menggerakkan teman-

    teman mahasiswa. 70% mahasiswa asli orang sini.”

  • 8

    Novi diam cukup lama, menunggu apa lagi yang

    akan Aldi katakan, tapi kelihatan justru Aldi yang

    menunggu reaksi Novi.

    “Hanya ini? Kamu buang-buang waktuku!”

    Saat Novi akan beranjak, “Tunggu dulu!” Telapak

    tangan Aldi terulur ke depan, meminta Novi tak pergi.

    “Nilai bisnisnya, bila Kamu bisa mengumpulkan 1

    suara Kamu bisa mendapatkan Rp 75.000. Jadi kalau

    dikalikan jumlah mahasiwa yang menggunakan suaranya,

    Kamu bisa bayangkan berapa uang yang akan masuk ke

    kita. Belum lagi kalau kita juga masuk ke RT dan

    komunitas. Setiap RT dan ketua komunitas akan

    mendapatkan fee tersendiri. Tidak akan mempengaruhi

    pendapatan kita. Menarik kan? Rekening kita akan sangat

    menggendut.”

    “Rekening gendut!” Jari-jari lentik Novi mengetuk-

    ngetuk meja. “Cukup menarik.”

    Seakan angin surga, Aldi merasa telah bisa

    mempengaruhi Novi. Ya, sama saja, pikirnya, Novi bisa

    tergiur uang.

  • 9

    Namun, “Tidak usah bahas uang yang besar dulu.

    Ambil contoh, warga menerima uang Rp 50.000 , tapi

    nantinya mereka mempertaruhkan 5 tahun pemerintahan

    di tangan orang yang tidak jelas trade record. Bila pilihan

    salah maka kota ini tidak akan pernah maju, bisa saja

    mundur. Susah mencari pekerjaan, angka kemiskinan

    meningkat, dan parahnya akan meningkat angka kriminal.

    Pernah berpikir sampai situ, Aldi?”

    “Hah kenapa Kamu berpikir sejauh itu? Yang

    penting rekening kita.” elak Aldi.

    “Mau sampai kapan Kamu akan seperti ini? Kamu

    tidak berpikir, sebentar lagi lulus. Dan orang-orang yang

    tidak tepat sedang menikmati jabatan. Apa Kamu yakin

    uang yang dijanjikan turun?”

    Enggan berlama-lama mendengarkan argumen Aldi,

    Novi beranjak pergi dari ruangan. “Oh ya, coba Kamu cari

    nama calon yang Kamu usung. Aku baru saja lihat dunia

    maya sedang memperbincangkan dia atas

    ketidakbecusannya mengelola perusahaan sampai banyak

    pegawai yang belum dibayar selama 3 bulan.” tambahnya,

    sebelum benar-benar meninggalkan ruangan.

  • 10

    Ting! Suara chat masuk. “Mau rekening gendut?

    Kerja yang bener dan coba belajar saham!”

  • 11

    Dongeng Kong Kalikong Estu Pitarto

    Terik matahari cukup menyengat menembus kulit

    tropisku. Siang itu aku kembali berjalan menyusuri jejak

    langkah yang sama saat aku berangkat ke sekolah pagi ini.

    Jarak rumah dengan sekolahku cukup dekat. Perjalanan

    menuju sekolah, cukup dengan berjalan kaki saja. Setiap

    hari aku selalu melewati rumah Engkong Kalikong. Rumah

    yang berdiri di atas sepetak tanah berukuran 4 x 4 m²

    terlihat mungil tetapi cukup rapi. Engkong Kalikong

    tinggal sendiri. Nama asli Engkong Kalikong adalah Bijak

    Darmawan, Kalikong adalah julukan yang disematkan oleh

    masyarakat karena kemampuannya melakukan negosisasi

    jika terdapat masalah yang terjadi di desaku. Siang ini aku

    menyempatkan mampir ke rumah Engkong Kalikong.

    Tampak hadir Ahsan dan Yudha.

    “Sudah lama, San, Yud?” sapaku kepada mereka.

    “Lumayan, sekitar lima menitan.” jawab Ahsan.

    Kami bertiga duduk dibangku kayu jati kuno di teras

    rumah Engkong. Tak berapa lama, Engkong keluar sambil

  • 12

    membawa sebuah cangkir di tangan kiri dan piring seng

    berisi ketela rebus.

    “Ayo, ini ketela rebusnya! Jangan dibiarkan merana

    karena tak disentuh!” kata Engkong Kalikong.

    “Iya, Kong. Aku siap merampok semua ketela

    rebusnya.” celetuk Yudha terkekeh-kekeh.

    “Hush, nggak ada bahasa yang lebih baik, Yud?

    Melahap misalnya.” seruku ketus.

    “Sudah, sudah! Tentang rampok merampok,

    Engkong punya cerita nih.” seru Engkong. Jika Engkong

    Kalikong sudah memberi ultimatum seperti ini, kami

    langsung terdiam bersiap menanti cerita seru Engkong.

    Pokoknya masalah bercerita, Engkong Kalikong jagonya.

    “Baiklah, Engkong akan mulai bercerita….“

    “Pada suatu hari....” jawab kami serempak

    memotong kata Engkong.

    “Hahaha...nggaklah. Engkong tidak akan memulai

    cerita dengan kata pada suatu hari. Sudah umum!” jawab

    Engkong sambil terkekeh.

    “Begini ceritanya. Ada sebuah negara bernama

    Gloos. Letak negara Gloos sangat unik. Tidak sembarang

  • 13

    manusia dapat menemukan lokasi negara ini baik di peta

    maupun teknologi GPS sekali pun. Negara ini dikelilingi

    oleh hutan lebat, lebih lebat dari hutan Amazon maupun

    belantara Kalimantan. Tak heran jika banyak yang awam

    dengan keberadaan negara ini.

    Kondisi negara Gloos yang jauh dari peradaban

    manusia saat ini, tidak serta merta membuat negara

    tersebut terbelakang. Justru sebaliknya, negara ini telah

    memiliki peradaban yang sangat tinggi terutama dalam

    bidang teknologi. Salah satu teknologi yang tidak ada di

    negara belahan mana pun yakni Glasgow, sebuah

    kacamata tembus pandang.”

    “Wah, tembus pandang, Kong? Bisa melihat isi

    dompet Ahsan dong?” selaku.

    “Tidak seperti itu, Glasgow memiliki kemampuan

    melihat dua dunia yakni dunia astral yang dihuni makhluk

    halus dan dunia kasat mata dengan manusia sebagai

    penghuni utamanya. Teknologi ini ternyata mampu

    menyatukan hubungan dua jenis makhluk yang berbeda

    ini. Mereka dapat hidup berdampingan dan saling

    berinteraksi satu sama lain di berbagai bidang.”

  • 14

    “Apa tidak serem, Kong? Melihat makhluk halus?

    Hiii...!”

    “Eh, sebentar. Apa yang membuat manusia

    ketakutan melihat hantu?” tanya Yudha.

    “Karena hantu menyeramkan.” jawabku.

    “Salah, karena kalian nggak pernah melihat hantu.

    Coba kalau kalian terbiasa melihat hantu pasti nggak

    bakal takut deh. Hahaha...” celoteh Yudha dilanjutkan

    dengan gelak tawa kami semua.

    “Bagaimana? Engkong lanjutkan nggak ceritanya?”

    tanya Engkong Kalikong.

    “Iya, Kong.” jawab kami serempak.

    “Masih tentang negara Gloos. Negara ini terdiri dari

    beragam golongan dari dua dunia. Yakni dunia astral dan

    dunia kasat mata. Dunia astral dihuni oleh golongan Kunti,

    Pocong, Genderuwo, tuyul dan para siluman sedangkan

    manusia tinggal di dunia kasat mata. Negara ini dipimpin

    oleh seorang presiden. Sesuai dengan undang-undang

    dasar negara tersebut, presiden dipilih dari calon yang

    diajukan oleh tiap wakil golongan dua dunia. Dengan

    demikian maka golongan makhluk halus pun dapat

  • 15

    menjadi presiden melalui pemungutan suara setiap lima

    tahun sekali. Memimpin warga negara Gloos gampang-

    gampang susah. Karakter dan sifat masing-masing warga

    sudah masuk pada taraf individualisme akut. Teknologi

    yang berkembang ternyata mampu mengubah pola

    perilaku sosial masyarakat Gloos. Perilaku ini merata dari

    anak-anak hingga dewasa. Bagi mereka yang paling

    penting dalam hidup adalah bertahan hidup atas

    kemampuan diri sendiri. Mereka tak lagi membutuhkan

    orang lain, toh dengan sebuah alat canggih kebutuhan

    mereka terpenuhi. Anak-anak selalu asyik dengan game

    online-nya, para wanita asyik dengan toko online dan

    sosialita dunia maya, sedangkan para lelaki bekerja atas

    kehendak masing-masing.”

    “Kayak Ahsan ya, Kong. Kalau sudah pegang gawai,

    dunia serasa milik dia saja. Dipanggil pun tak akan

    menengok.” kata Yudha.

    “Memang kamu tidak, Yud? Sama saja.” balas

    Ahsan.

    “Sudah, sudah! Kalau begini terus ceritanya nggak

    bakal selesai ini.” kata Engkong.

  • 16

    “Baik, Engkong lanjutkan ya. Meskipun demikian

    sebuah negara tentu membutuhkan pengelola yakni

    pemerintah. Tahun ini merupakan tahun politik.

    Pemilihan presiden bakal digelar menjadi pesta warga

    negara Gloos. Berbagai golongan bersiap menyediakan

    calon pemimpin. Kunti, pocong, genderuwo, tuyul, para

    siluman bahkan manusia telah memiliki calonnya masing-

    masing.”

    “Kong, apakah pemilihannya sama seperti

    pemilihan umum di negara kita?” tanyaku kepada

    Engkong.

    “Hampir sama tetapi ada perbedaan cara

    memilihnya. Negara Gloos memiliki teknologi yang sangat

    canggih. Oleh karena itu pemungutan suara dilakukan

    secara online melalui telepon genggam masing-masing.

    Warga tidak perlu beranjak dari tempat tinggalnya. Cukup

    melakukan polling dari aplikasi yang telah disediakan oleh

    PPDB.”

  • 17

    “Apa PPDB itu, Kong?” tanya Ahsan.

    “PPDB ialah Panitia Pemilihan Dunia Bersama. Ya,

    kalau di negara kita fungsinya mirip KPU. Baik tugasnya

    maupun kewenangannya.” jelas Engkong Kalikong.

    “Bukan hanya pemilihannya saja, tata cara

    kampanye pun dilakukan dengan teknologi. Calon

    presiden cukup memiliki channel video di internet. Dari

    channel tersebut, mereka dapat menyampaikan program

    kerjanya. Video dalam channel tersebut disebarkan

    melalui media yang ada di negara Gloos.”

    “Wah, keren. Pasti calon presidennya akan bilang

    jangan lupa klik tombol subscribe, like, share karena

    subscribe itu gratis....tis, enjoyyy!” celetuk Yudha kembali.

    “Huuuu...” timpalku bersama Ahsan.

    “Kong, kenapa mereka melakukan cara kampanye

    dengan video seperti itu, Kong? Nggak seperti di negara

    kita yang menghadirkan banyak orang di tengah lapangan.”

    tanyaku kepada Engkong.

    “Namanya saja negara dengan peradaban teknologi

    tinggi, Jul. Mereka tidak mau repot dan sangat efektif

    dalam hal pemanfaatan waktu. Pun jika melalui internet,

  • 18

    jika terjadi perselisihan paling hanya sebatas kata-kata

    komentar bukan adu fisik di lapangan,” terang Engkong

    Kalikong.

    “Baiklah, lalu siapa kandidat calon presidennya,

    Kong?”

    “Kandidat calon presiden ada 3 makhluk. Yakni

    pocong, tuyul dan manusia. Pocong diusung oleh

    golongan kunti dan genderuwo, tuyul diusung oleh para

    siluman dan bangsa tuyul sendiri, sementara manusia

    diusulkan oleh bangsa manusia. Singkat cerita, ketiganya

    mulai melakukan kampanye secara online. Badan

    pengawas pemilihan terus memantau perkembangan

    jalannya kampanye. Jika terjadi pelanggaran, mereka

    tinggal menghapus konten para kandidat maupun

    simpatisannya karena Bawas ini memiliki akses penuh

    untuk mengendalikan media yang digunakan untuk

    kampanye.”

    “Wah, seandainya...” celetuk Yudha.

    “Seandainya, apa!” kata Ahsan sambil mengepalkan

    tangannya kepada Yudha.

  • 19

    “Akhirnya siapa yang jadi, Kong?” tanyaku tidak

    sabar.

    “Setelah dilakukan pemungutan suara melalui

    aplikasi, akhirnya diputuskan bahwa tuyullah yang

    mendapatkan suara paling banyak.” kata Engkong.

    “Lho, tuyul yang berbadan kecil seperti itu kok bisa

    memenangkan pemilihan suara, Kong? Bagaimana bisa?”

    protes Ahsan.

    “Tuyul sangat cerdik. Ia mampu memainkan

    strategi berdasarkan jumlah penduduk negara Gloos. Ia

    tahu bahwa penduduk yang menduduki populasi tertinggi

    di negara itu adalah manusia. Tuyul tahu bahwa

    kelemahan manusia ada pada harta. Sesuai dengan

    kemampuan tuyul mendapatkan uang pada saat fajar

    didukung oleh sifat manusia yang serakah maka strategi

    itu berhasil dilakukan. Jika tuyul menawarkan uang

    kepada para makhluk astral maka mereka pasti akan

    menolak karena kunti, genderuwo, siluman, pocong hanya

    doyan kemenyan bukan uang jajan.”

  • 20

    “Hahaha...” kami tertawa bersama-sama.

    “Jadi, akhirnya tuyul jadi presiden ya, Kong!”

    tanyaku.

    “Ya, betul. Tuyul ditetapkan oleh PPDB menjadi

    presiden tanpa melalui persidangan di MKDB sebab tidak

    ada yang menyanggah hasil pemilihan suara berdasarkan

    hasil terakhir.”

    “MKDB itu...” tanyaku kepada Engkong tetapi

    dipotong langsung oleh Ahsan.

    “Mahkamah Konstitusi Dunia Bersama! Betul,

    Kong?”

    “Ya, benar.”

    “Tetapi tuyul kan curang, Kong. Ia menggunakan

    uang untuk membeli suara dari para manusia. Apakah

    tidak ada yang melaporkan?” protesku kepada Engkong.

    “Tidak ada. Para manusia saat itu berpikir sangat

    praktis. Bagi mereka yang paling penting adalah uang yang

    saat ini bisa dirasakan. Masa bodoh dengan siapa pun

    yang akan jadi presiden. Toh, mereka tetap hidup dan

    mencari makan sendiri!” jawab Engkong.

  • 21

    “Bagaimana nasib penduduk setelah tuyul jadi

    presiden, Kong?”

    “Nah, ini yang menarik. Sejak tuyul menjadi

    presiden, banyak rakyat kehilangan uangnya. Hampir

    setiap malam uang yang mereka simpan hilang selembar

    demi selembar. Rakyat menjadi semakin sengsara dan

    menderita. Tahukah kalian siapa yang suka mencuri uang

    rakyat itu?”

    “Tuyul!” jawab kami serempak.

    “Hahaha, kalian memang cerdas. Hanya para

    tuyullah yang pandai mencuri uang tanpa ketahuan.

    Begitulah jika ada calon pemimpin yang melakukan cara

    dengan membeli suara rakyat. Ia pasti akan berpikir untuk

    mengembalikan uang yang telah diberikannya dan syukur

    bisa menambah jumlah yang ada.”

    “Untung ya, Kong. Negara kita tidak ada pemimpin

    yang melakukan cara-cara seperti tuyul tadi.” kataku

    kepada Engkong.

    “Benar. Satu hal yang tak kalah penting adalah kita

    sebagai rakyat jangan mau dibeli suaranya oleh para tuyul

    itu!”

  • 22

    “Tetapi, Kong. Jika ternyata di negara kita ada calon

    pemimpin yang melakukan cara seperti tuyul tadi

    bagaimana, Kong?” tanya Ahsan.

    “Berarti dia...?”

    “Tuyul...!” jawab kami serempak.

  • 23

    Warung Makan Mas Topo Kafha

    Semalam terlalu sedikit tidurku. Bahkan nyaris tak

    tidur. Pukul 04.30 baru bisa merebahkan badan di atas

    kasur. Tak aneh, pukul 09.00 aku baru bisa membuka

    mata, meski masih bergolek di kamar tidur. Itu pun

    karena dibangunkan Rahma untuk sarapan pagi. Anak-

    anak sudah berangkat sekolah.

    “Maafin Ayah ya, Bun! Ayah bangun kesiangan,

    sehingga tak sempat mengantar anak-anak ke sekolah,”

    ucapku sambil berjalan ke meja makan.

    Istriku itu sudah menunggu untuk makan bersama.

    Aku mencium aroma khas kopi yang mengundang selera.

    Aku lihat nasi putih terhidang dalam mangkuk besar.

    Sayuran rebus tanpa kuah di atas piring dan di sebelahnya

    satu mangkuk kecil sambal pecel. Beberapa helai daun

    kemangi di atas piring kecil. Ada pula tempe mendoan

    dan telur dadar kesukaanku. Terakhir, rempeyek yang

    masih terbungkus plastik, jelas ini baru saja dibeli.

    “Wow kopi rempah!” teriakku sembari menyeruput

    sedikit kopi setelah meletakkan pantatku di atas kursi.

  • 24

    Duduk menghadap piring kosong dengan sendok di

    atasnya, berhadapan dengan istri.

    “Tadi Bunda yang antar anak-anak ke sekolah,”

    Rahma buka suara.

    “Don’t worry, Honey. Besok-besok, tak cuma anak-

    anak, Dirimu pun kan kuantar keliling kampung.”

    “Kok hanya keliling kampung?”

    “Ya wis ke mana?”

    “Udah ah! Paling cuma obral janji!”

    Istriku mengambilkan nasi putih, sayuran rebus, dan

    kemangi ke atas piring. Dia siram dengan sambal pecel,

    kemudian ia sodorkan kepadaku. Ia ambil bungkusan

    plastik isi rempeyek dan menggunting pucuknya.

    “Rempeyek, Yah!” Ia taruh di atas piringku. Hal yang

    sama ia lakukan di atas piringnya. Kemudian sama-sama

    makan. Sarapan pagi tanpa gaduh anak-anak.

    “Bagaimana pecelnya, Yah?”

    “Enak! Tidak seperti biasa. Coba resep baru nih?

    Rempeyek ini juga gurih.”

    “Enaklah. Itu Bunda beli di warung pojok Pasar

    Ungaran.”

  • 25

    “Oalah beli! Ayah kira Bunda yang masak. Namun

    serius, enak banget.”

    “Bunda hanya masak nasi putih dan air pagi ini.

    Habis Ayah juga bangun siang. Kan Bunda kudu antar

    anak-anak sekolah. Nah, habis dari sekolah, Bunda

    sekalian mampir pasar.”

    “Ya, ya, maafin Ayah, bangun kesiangan! Oh iya,

    Bunda kenal pemilik warung yang jual pecel ini kan?”

    “Kenal! Emang kenapa?”

    “Ya, kenapa tidak sejak dulu langganan pecel dari dia?

    Kan enak sarapan pagi dengan menu istimewa kayak

    begini.”

    “Ah, dasar hamba perut! He-he....” Rahma tertawa

    meledek. “Ya, Bunda juga baru kenal tadi pagi kok, Yah.

    Itu pun semula iseng. Tak sengaja melihat warung kecil

    tetapi dikerubuti antrean pembeli.”

    “Pemilik warung itu,” sambung Rahma, “pasangan

    muda suami-istri. Ya, seumuran kitalah. Beda tipis.

    Mereka urban dari Blora. Baru tiga tahun ini mengadu

    nasib di kota kecil kita ini. Anak mereka baru satu,

    perempuan, dan kini duduk di kelas VI SD Negeri Induk

  • 26

    Ungaran. Mereka tinggal di rumah kontrakan dekat pasar,

    persisnya di gang sempit belakang Bank Perkreditan,

    samping rumah makan padang.”

    “Oh ya, Ayah kenal daerah itu. Terus warung pecel

    yang mereka tempati sebelah mana?”

    “Sabar, Sayangku! Pelan-pelan, nanti keselek dan

    nasinya tumpah ke lantai. He-he....” lagi-lagi istriku

    meledek. Kemudian ia melanjutkan cerita. “Mereka sewa

    kios di pojok timur-utara, ya deretan kios-kios bagian luar

    Pasar Ungaran yang memang disewakan untuk warung

    makan dan toko kelontong. Mereka buka warung makan

    sederhana yang menjajakan: tahu campur, sambal pecel,

    dan ketoprak. Menu selingan sayur pepaya muda, oseng-

    oseng daun singkong, kacang panjang, oseng tahu tempe,

    orak-arik sayur, tempe dan tahu mendoan, serta telur

    dadar. Oh ya nama mereka Mas Topo dan Mbak Tini,

    Martini lengkapnya. Namun orang-orang pasar kerap

    memanggil Mbak Tini. Menu minuman yang mereka

    tawarkan hanya teh, jahe, dan kopi.”

    “Dan air putih tentu saja.” Aku potong paparan istri

    sembari menambah nasi dan menuang sambal pecel ke

  • 27

    atas piringku. Aku coba pula telur dadar yang menganggur

    belum terjamah. Memang istriku tak doyan telur dadar.

    Dan, aku yakin tiga lapis telur dadar itu ia sengaja untuk

    aku dan sang sulung. Lantaran si bungsu juga tidak gemar

    telur.

    “Ya, air putih. Mereka sajikan dalam kendi. Jadi

    minum air putihnya gratis.”

    “Kok aneh? Hari gini masih ada yang pamer kendi.”

    “Itulah yang bikin Bunda penasaran dengan Mas

    Topo dan Mbak Tini. Maka Bunda berlama-lama

    nongkrong di sana. Bunda jajal tahu campur mereka. Dan,

    ini yang tak wajar, saat Bunda minta air putih kemasan,

    mereka geleng kepala. Ternyata mereka tak menyediakan

    botol air kemasan. Mas Topo mengulurkan gelas dan

    minta Bunda tuang air putih dari kendi yang mereka taruh

    di tengah meja. Ya, di atas meja itu ada tiga kendi ukuran

    sama yang sama-sama berisi penuh air putih.”

    Aku tertegun menyimak paparan Rahma. Sesaat aku

    pun istirahat mengunyah. Takjub, terlebih riasan Rahma

    yang apa adanya pada pagi ini sungguh bikin merak hati.

  • 28

    “Lantas Bunda tanya ke Mas Topo, kenapa tidak

    sedia botol kemasan yang menurut pendapat Bunda lebih

    sehat ketimbang air dalam kendi. Bunda tak menyangka

    jawaban Mas Topo, yang mengatakan justru air dalam

    kendi itulah yang lebih menyehatkan ketimbang bikinan

    pabrik, dan bla bla.... Banyak sekali uraian Mas Topo

    tentang pabrik, korporasi modal, dan kedaulatan air. Coba

    Ayah bayangkan, betapa malu Bunda tadi pagi yang salah

    persepsi dan dikuliahi seorang penjual di warung makan.

    Untung, pembeli yang lain sudah tak mengantre. Tinggal

    Bunda dan seorang bapak tua bersama anak kecil, entah

    cucu atau anaknya, Bunda tak tahu. Dan satu hal lagi yang

    sungguh-sungguh menarik, Mas Topo sempat diminta jadi

    tim sukses Pak Jono….”

    “Lukas Jono!” aku sela uraiannya.

    “Tepat! Sang caleg DPR RI dari Partai Padi. Namun,

    Mas Topo menolak. Ia takut konsekuensinya. Ia nggak

    mau terlibat politik obral uang. Ia tidak mau turut

    melestarikan tradisi umbar janji dan memberi uang bagi

    pemilih. Bahkan ia tolak tawaran Pak Jono yang mau

    membikinkan rumah sederhana untuknya. Konyol kan?

  • 29

    Padahal, hari gini ketimbang terus-terusan jadi kontraktor,

    ngontrak rumah sana sini, mending bernaung di rumah

    sendiri ta! Pikir Bunda, tawaran rumah itu nanti, selain

    untuk tempat tinggal, bisa buat melangsungkan usaha

    warung makan mereka. Namun, sekali lagi Mas Topo dan

    Mbak Tini menolak uluran Pak Jono. Alasan mereka,

    hidup cuma sesaat kudu bersih dari praktik money politics.

    Gimana tuh, Yah, keren kan!”

    Lagi-lagi, pikiranku langsung mengawang tinggi. Aku

    tak sanggup menghapus rasa penasaran atas diri Mas Topo

    dan istrinya, Mbak Tini. Mereka bak dongeng, yang terus

    mengiang di telingaku. Korporasi, kedaulatan air, pemodal,

    dan pabrik kerap kudengar dalam diskusi-diskusi bersama

    teman-teman seangkatan kuliahku dulu. Namun, berjarak

    dari rayahan obral uang di masa kampanye, sungguh

    teramat sangat istimewa. Mas Topo, termasuk jenis langka,

    lantaran tak sedikit yang kepincut, menjadikan obral uang

    sebagai jalan hidup. Apalagi di tengah krisis macam hari

    ini. Uang jadi segalanya. Sehingga, lazimlah bahwa seolah

    yang berhak duduk di kursi legislatif (juga eksekutif)

    adalah orang-orang yang berduit, walau minus

  • 30

    kemampuan, dan tanpa integritas. Minim keberpihakan

    pada rakyat. Uang sedemikian rupa telah menjelma jadi

    senjata ampuh untuk memuluskan seorang kandidat

    menduduki kursi sebagai anggota dewan atau kepala

    daerah. Hmmm, aku harus ketemu Mas Topo. Ia harus

    menjelaskan kenapa begitu getol menolak jadi tim sukses?

    Kenapa menolak dibangunkan rumah? Terus soal kendi,

    sekadar gaya-gayaan, atau memang bagian dari

    perlawanannya terhadap serangan politik uang?

    Ah, tiga tahun ia telah mengontrak rumah di

    Ungaran. Ia berasal dari Blora, dan sontak tebersit: adakah

    hubungan kekerabatan antara Mas Topo dengan

    pengarang realis terkenal, Pramoedya? Yang aku tahu,

    Pramoedya Ananta Toer sedemikian tegas menolak kuasa

    uang. Pramoedya dalam tulisan-tulisannya bertutur

    tentang kekuasaan uang yang benar-benar memorat-

    maritkan kehidupan masyarakat bawah. Dan, Mas Topo!

    Siapa dia? Kenapa pula ia bersama istrinya seakan

    meneguhkan diri sebagai pegiat antipolitik-uang? Bahkan

    menu makan dan minum yang mereka sajikan, seolah

    mencerminkan kedaulatan pangan lokal. Tahu campur,

  • 31

    sambal pecel, dan oseng-oseng tak lain merupakan produk

    menu lokal yang hanya dijajakan di warung-warung

    sederhana, dengan hasil pendapatan yang juga sedikit.

    Mereka buka warung sederhana.

    “Heran kan?”

    “Ya, Bun. Ayah tergoda oleh cerita Bunda. Menurut

    pendapat Ayah, Mas Topo dan istrinya itu sedang

    melakoni hidup sebagai pejuang antikerakusan. Mereka

    rela hidup pas-pasan.”

    “Tepatnya bersahaja, Yah. Dan berkarakter. Warung

    mereka kecil, tetapi sajian yang mereka hidangkan adalah

    menu sehat yang mengingatkan kita agar berani

    mengambil jarak dari segala yang berbau kemaruk dan

    seabrek ambisi atas sandang, pangan, papan.”

    “Baiklah. Bagaimana kalau besok atau nanti sore kita

    ajak anak-anak ke warung Mas Topo?”

    “Besok saja. Sekalian jalan-jalan pagi. Kan Sabtu,

    anak-anak libur. Bagaimana? Oh ya, mau tambah sambal

    pecel?” Rahma menyorongkan mangkuk berisi sambal

    pecel kepadaku.

  • 32

    “Sudah. Perut Ayah sudah tak berkeruyuk lagi.

    Baiklah, besok pagi saja kita ke Mas Topo.”

    Istriku membereskan piring dan gelas kotor ke

    tempat cucian. Kemudian menutup sisa nasi, sayuran,

    tempe, dan sambal pecel dengan tutup makanan. Lalu,

    kami beranjak ke ruangan depan.

    ****

    Anak-anak bangun pagi. Mereka riang, karena

    semalam Rahma memberi tahu pagi ini akan mengajak

    jalan-jalan. Mereka sudah mandi dan kini bermain di

    halaman rumah, sembari menunggu persiapanku dan istri.

    Sengaja Rahma tidak masak hari ini. Bahkan masak air

    pun tidak, apalagi nasi dan sayuran. Hari ini kami

    berencana sarapan pagi di warung pecel Mas Topo. Tas

    kecil berisi uang, ponsel, pensil, dan buku catatan sudah

    kuselempang ke pundakku. Ya, hari ini aku bawa buku

    catatan. Aku ingin mengorek dan mencatat keterangan

    sebanyak mungkin dari lisan Mas Topo. Siapa gerangan

    sesungguhnya ia? Apa motivasinya buka warung di tengah

    gaya hidup yang serba siap saji ala pabrik modern?

  • 33

    “Ayah! Ada asap dari arah timur!” teriak Isa. Anak

    sulungku itu lari tergopoh masuk rumah dan lantas

    menarik tanganku ke luar rumah.

    Benar. Asap hitam disusul api berkobar membubung

    tinggi ke udara. Rumah siapa yang terbakar? “Oh tidak!”

    jeritku. Asap hitam itu mengepul persis di atas Pasar

    Ungaran. Jangan, jangan, ya, lantas aku masuk ke dalam

    rumah, cepat-cepat ajak istri ke luar.

    “Bun, pasar terbakar!”

    “Hah?” Rahma melongo tak percaya. “Terus

    bagaimana dengan Mas Topo, Mbak Tini, dan warung

    mereka?”

    “Ya, Ayah juga belum tahu. Maka Ayah ingin ajak

    Bunda ke sana sekarang.”

    “Ayah sendiri saja ke sana! Biar cepat.”

    “Ayah kan belum tahu persis warung Mas Topo.

    Ayah juga belum paham rupa wajah Mas Topo dan Mbak

    Tini. Sudah! Bunda harus ikut, sekalian anak-anak kita

    ajak!”

    ****

  • 34

    Sepeda butut milik kami membelah Jalan Pattimura.

    Jalanan ramai. Orang-orang tumpah ruah naik sepeda

    motor dengan tujuan yang sama: Pasar Ungaran. Saking

    ramai pengguna jalan, biasanya sepuluh menit tiba di

    pasar, kini lebih. Benar saja. Arus di Jalan Gatot Subroto

    macet. Bus-bus besar antarprovinsi berhenti.

    “Ah! Bisa-bisa setengah jam baru sampai pasar, Bun.

    Arus macet begini.”

    “Ayah, itu apinya sudah tak setinggi tadi!” anak

    sulungku menimpali.

    Benar, kulihat api tak membubung tinggi. Tinggal

    asap yang menghitam. Berarti pemadam kebakaran sudah

    berhasil menjinakkan api yang mengganas. Hmmm,

    bagaimana dengan Mas Topo? Aku bertanya-tanya

    kembali dalam hati, seraya mendremimilkan doa agar

    warung Mas Topo tak apa-apa. Mas Topo, Mbak Tini, dan

    putri semata wayang mereka selamat dari kobaran api.

    Injak pedal kuat-kuat dan jalan berkelak-kelok, aku

    terjang kemacetan. Di tengah bising suara klakson serta

    sirine pemadam kebakaran, benar dugaanku, setengah jam

    baru bisa mendekati pasar. Jarak seratus meter dari pasar,

  • 35

    kami berdiri di samping kerumunan orang. Lagi-lagi kami

    hanya sanggup menatap sedih, menyaksikan ibu-ibu

    pedagang di pasar panik mengangkuti barang-barang.

    Sementara pasar sudah ludes. Tinggal menyisakan tembok

    hitam tak beratap serta asap menghitam. Mas Topo, istri,

    dan putrinya? Entahlah....

    Ungaran, 18/11/2019

  • 36

  • 37

    Amanah di Balik Amplop Kirachusnul

    Kegaduhan terdengar dari beberapa kelas yang

    berderet pada suatu kompleks bangunan bertingkat tiga.

    SMA Bina Dharma digegerkan oleh pengumuman yang

    baru saja disuarakan dari pengeras suara pusat. Beberapa

    siswa bahkan tampak sudah mulai memenuhi koridor dan

    meninggalkan kelas masing-masing.

    “Ta, besok ke Setos yuk! Mumpung dapat libur.”

    Nova menyenggol bahu Gita berusaha menarik perhatian

    sahabatnya itu di tengah keriuhan kelas XII MIPA 6.

    “Duh, nggak bisa deh kayaknya, Nov. Aku kan besok

    harus udah di rumah. Ini juga mau langsung cari tiket

    buat pulang.” Raut Gita menampilkan sorot penyesalan

    karena terpaksa menolak ajakan sahabatnya.

    “Yah, sekali aja deh Lo nggak pulang pas libur.”

    “Nggak bisa, Nov. Kali ini emang harus pulang, aku

    nggak mau melewatkan momen pertamaku.”

    Nova memberengut mendengar keteguhan Gita.

    Gadis sebayanya itu memang bukan warga asli kota ini.

    Sebenarnya mereka berdua sama-sama anak kos yang

  • 38

    berasal dari luar kota. Gita dari Semarang. Sudah jadi

    kebiasaan Gita pula untuk mudik setiap masa libur tiba.

    “Emang kenapa sih harus buru-buru? Besok kan

    Jumat, kita ada jatah libur sampai Minggu. Kenapa Lo

    nggak balik Sabtu aja?” Nova masih berusaha membujuk

    sahabatnya itu.

    “Nggak bisa, Nova,” jelas Gita dengan nada sedikit

    lelah.

    Mendengar ucapan Gita membuat Nova akhirnya

    menyerah dan melempar ekspresi kecewanya. Gita jadi

    tidak enak hati, tapi mau bagaimana lagi? Dia tidak

    mungkin bisa memenuhi permintaan sahabatnya itu kali

    ini.

    “Aku balik ke sini hari Sabtu siang deh. Malam

    Minggu aku temani Kamu ke Setos.”

    Nova menarik sudut bibirnya yang sempat turun dan

    menggantung. Kedua mata sipitnya berbinar mendengar

    keputusan Gita. Sebelum mata itu kembali meredup. “Tapi

    malam Minggu besok gue pengin ke tempat lain?”

    “Ke mana?”

  • 39

    “Gue ada janji sama Devan di Light Garden.” Nova

    tampak merona saat mengatakannya. Gita tahu

    sahabatnya itu sedang dirayu monyet, eh mengalami cinta

    monyet.

    “Oh, ya udah kalau gitu aku balik Minggu sore aja.

    Biar bisa lebih lama perbaikan gizi pakai masakan nyokap,”

    kata Gita sembari menggendong tas punggungnya. Sedari

    tadi mereka memang masih di kelas, membereskan

    peralatan sekaligus menunggu euforia kawanan manusia

    jarang libur yang kelewat bahagia saat mendapat

    pengumuman hari libur.

    Nova mengikuti Gita menggendong tas

    selempangnya. “Jangan gitulah, temanin gue. Masa iya gue

    ketemu Devan sendirian. Nanti timbul fitnah gimana? Kan

    kami bukan mahram,” ujar Nova kemudian. Gita hanya

    memutar bola matanya menanggapi ocehan Nova.

    Mereka kemudian melangkah beriringan

    meninggalkan ruang kelas. SMA Bina Dharma tetap saja

    ramai meski anjuran untuk langsung pulang sudah

    digaungkan oleh para guru. Kebanyakan siswa lelaki masih

    asyik bermain basket atau futsal, sedangkan beberapa

  • 40

    gerombol siswi tampak mengobrol di pinggiran lapangan

    yang cukup teduh. Ngakunya jarang dapat libur, giliran

    dapat libur malah nognkrong di sekolah. Dasar bocah

    sekarang, batin Gita saat melewati lapangan dan berjalan

    ke gerbang.

    “Jadi Lo mau balik jam berapa?” Nova menyenggol

    siku Gita yang berjalan di sampingnya.

    “Jam empatan kali ya? Aku mau mandi sama nyuci

    baju dulu biar besok balik sini tinggal nyetrika aja.” Gita

    menghentikan langkahnya sesaat. “Emang kenapa?”

    imbuhnya sambil menghadap Nova.

    “Gue antar nanti, mau naik bis apa kereta?”

    “Uluuuhh baiknya... Kamu mau nganter pakai apa,

    Bambang? Motor aja kita nggak ada.”

    Nova menggetok pelan kepala Gita sembari

    memberengut kesal. “Kan ada taksi online, Jubaedah! Gue

    nggak tega kalau Lo ke terminal atau stasiun sendiri. Pasti

    banyak yang mudik juga, gue nggak mau aja sahabat gue

    kenapa-kenapa terus nggak jadi nemanin gue ngebucin.”

    “Siapa bilang aku mau nemenin Kamu ngebucin?”

    Gita mengangkat sebelah alisnya. Gadis berkuncir ekor

  • 41

    kuda dengan tahi lalat kecil di pelipis kirinya itu

    tersenyum jail, menunjukkan satu lesung pipit di pipi

    kanannya.

    “Ta...”

    Gita hanya tertawa dan mendahului langkah Nova.

    Gerbang kos mereka sudah tampak beberapa meter di

    depan. Nova yang saat itu mengenakan flat shoes sedikit

    kesulitan menyusul langkah Gita. Gadis bertubuh sedikit

    tambun itu menyelipkan poninya yang mulai panjang ke

    belakang telinga sambil memanggil Gita.

    ****

    Malam sudah menggantikan posisi senja saat Gita

    memasuki gerbang desanya. Setelah menempuh tiga jam

    perjalanan menggunakan bus dan berjalan kaki dari

    pinggir jalan besar hingga ke desanya. Sayup-sayup

    terdengar keramaian pemuda desa mempersiapkan tenda

    dan beberapa papan penunjuk lokasi.

    Masih dengan langkahnya di bawah siraman lampu

    jalan, Gita dikagetkan oleh panggilan seorang lelaki.

    Seorang pemuda yang cukup mengenalnya. Gita berhenti

  • 42

    di mulut gang, menunggu pemuda yang memanggilnya

    mendekat.

    “Ada apa ya, Mas?” tanya Gita saat pemuda itu

    berada di depannya.

    “Baru pulang? Kemarin aku tanya Bulik katanya

    Kamu nggak pulang.”

    “Ya benar, kan Gita pulangnya sekarang, bukan

    kemarin, Mas.” Gita terkikik melihat ekspresi cengo

    pemuda di depannya. “Emangnya kenapa Mas Anwar nyari

    Gita?”

    “Nanti saja habis bantuin anak-anak masang tenda,

    aku ke rumah ya?”

    “Oke. Kalau gitu Gita pulang dulu ya, Mas.” Gita

    melangkah memasuki gang meninggalkan Anwar yang

    juga segera kembali ke lokasi pemasangan tenda.

    ****

    Sesampainya di rumah, Bapak dan Ibu menyambut

    Gita dengan sangat antusias. Terutama Randy, adiknya

    yang masih duduk di bangku TK itu langsung minta

    gendong.

  • 43

    “Mbak biar mandi dulu, Nang. Randy sama Ibu dulu

    ya.” Ibu berusaha mengambil alih Randy dari gendongan

    Gita yang masih menggendong tasnya. Gita terkekeh saat

    adiknya itu menolak uluran tangan ibunya.

    “Turun dulu, ya. Mbak mau mandi nih bau asem.”

    Gita mencoba menjelaskan pada adiknya. Dengan muka

    masam akhirnya Randy mengalah dan turun dari

    gendongan Gita.

    “Mandi dulu, Nduk. Terus makan malam, jangan

    sampai mag-mu kambuh.”

    “Nggih, Pak.” Gita pun segera masuk kamar,

    meletakkan tas dan meraih handuk merah kesayangannya.

    Selesai mandi dan berganti baju, Gita merasa lebih

    segar. Rambut sebahunya ia biarkan tergerai dengan sisa

    titik air di ujungnya. Ia menikmati santap malam sembari

    bercengkerama dengan kedua orangtuanya juga

    menikmati ocehan Randy yang menceritakan aksinya di

    sekolah tadi.

    Masih asyik guyon dengan sang adik, suara ketukan

    pintu terdengar dari depan. Gita perlahan bangkit dan

  • 44

    membukakan pintu. Sementara Bapak dan Ibu masih

    meladeni Randy.

    “Siapa, Nduk?” tanya Ibu beberapa saat kemudian.

    “Mas Anwar, Bu.”

    “Oalah, diajak masuk sini aja, biar main sama Randy

    sekalian.”

    “Ndak usah, Bu. Anwar cuma sebentar kok.”

    Gita kemudian menyilakan Anwar duduk dan

    menawarinya minum, tetapi dengan halus Anwar

    menolaknya. Anwar duduk di salah satu sudut kursi kayu

    ruang tamu itu diikuti Gita di seberangnya. “Ada apa,

    Mas?”

    “Jadi, gini. Kemarin aku niatnya antar undangan

    pemilih buatmu tapi kan Kamu belum pulang, jadi aku

    titipin Bulik. Nah, ini aku mau ngasih penjelasan sedikit

    buat pemilu besok, Kamu kan pemilih pemula nih, apa

    lagi besok pemilu serentak yang cukup ribet,” terang

    Anwar langsung ke duduk permasalahan. Perannya

    sebagai ketua KPPS juga harus bisa memberi edukasi ke

    pemilih-pemilih pemula seperti Gita.

    “Oke, Gita dengerin.”

  • 45

    Anwar melanjutkan penjelasannya. Ia bahkan

    membawa tiga contoh surat suara yang berbeda. Pada

    intinya ia menjelaskan bagaimana tata cara memilih yang

    baik dan sesuai dengan asas pemilu. Selebihnya Anwar

    mewanti-wanti agar tidak termakan issue hoax apa lagi

    sampai terlibat dalam politik uang. Anwar memperkirakan

    sekitar tengah malam atau justru subuh nanti akan ada

    ‘serangan amplop’ yang harus Gita hindari.

    Gita hanya manggut-manggut mendengar penjelasan

    Anwar. Sedikit-banyak ia paham dengan penjelasan Anwar.

    Untuk lebih jelasnya nanti Gita berencana tanya ke Bapak

    atau Ibu, sekaligus meminta undangan dan kartu

    pemilihnya.

    Tak lama, Anwar pamit. Gita mengantar pemuda itu

    sampai ke depan pintu kemudian menutupnya saat Anwar

    mejauh. Namun, baru beberapa langkah Gita

    meninggalkan pintu, ketukan kembali terdengar. Ia pun

    berbalik dan membukakan pintu. Rupanya Pak Santoso

    salah satu tetangganya yang bertamu. Gita kemudian

    mempersilakan Pak Ssntoso duduk dan mohon diri untuk

    memanggil Bapak.

  • 46

    Gita memilih berdiam di ruang tengah bersama

    Randy saat Bapak dan Ibu menemui Pak Santoso, sampai

    kemudian Ibu memanggilnya.

    “Dalem, Bu?”

    “Duduk sini, Pak Santoso mau matur sesuatu.”

    Gita menurut dan duduk di samping Ibu sambil

    memangku Randy. Raut wajahnya penuh tanda tanya,

    mengingat Pak Santoso sebenarnya cukup tertutup dan

    jarang main ke rumah tetangga. Tumben saja malam ini

    Pak Santoso mampir dan malah ingin ngobrol dengannya.

    “Begini saja, Bapak, Ibu, dan Gita, ini saya ada sedikit

    amanah,” ujar Pak Santoso sembari mengeluarkan tiga

    lembar amplop putih.

    Seketika Gita teringat pesan Anwar beberapa waktu

    lalu. Ia melempar pandangan pada Bapak yang kebetulan

    sedang memandangnya juga. Tatapan mereka bertemu

    kemudian Gita menggeleng kecil. Bapak paham maksud

    anaknya itu.

    “Maksudnya gimana ya, Pak?” Bapak menanggapi

    awalan dari Pak Santoso.

  • 47

    “Begini, Pak. Ini ada amanah dari...” Pak Santoso

    menghentikan ucapannya sejenak untuk membuka satu

    contoh surat suara seperti yang tadi Anwar bawa. Dengan

    ujung jari telunjuk Pak Santoso menunjuk satu foto lelaki

    berpeci yang cukup semringah. “Pasti Njenengan mpun

    paham maksudnya.” Pak Santoso kembali melipat surat

    suara tersebut.

    “Ngapunten nih, Pak. Tanpa mengurangi rasa hormat

    saya dan keluarga, tapi kami sekeluarga tidak suka dengan

    hal-hal seperti ini. Biarlah kami menentukan pilihan kami

    sendiri. Jika memang pilihan ini tepat, kami yakin ke

    depannya kehidupan negara ini jauh lebih baik. Dengan

    saya menerima amplop ini, apa bukan berarti saya justru

    memilih tanpa nurani? Belum tentu besok ketika dia

    terpilih akan ingat dengan saya atau pun Njenengan.”

    Bapak menimpali kemudian beranjak dari duduknya. Satu

    sikap yang Bapak tujukan untuk mengusir halus Pak

    Santoso dan maksud buruknya.

    Tanpa berujar apa-apa Pak Santoso berpamitan

    dengan muka merah. Entah menahan kesal atau pun malu.

  • 48

    “Besok pilih satu calon yang memang Kamu paham

    tujuannya dan latar belakangnya ya, Nduk. Sekarang udah

    canggih, mau cari tahu latar belakang, visi, misi, bahkan

    pendukung calon yang mau Kamu pilih sudah bisa lewat

    hape. Jangan sampai malah golput,” pesan Ibu saat Gita

    menutup dan mengunci pintu.

    “Nggih, Bu. Makanya Gita pulang. Gita ingin suara

    Gita turut berarti untuk nasib negeri ini. Walau banyak

    teman-teman Gita yang memilih golput dengan alasan

    tidak kenal atau tidak tahu dengan siapa dan bagaimana

    latar belakang calon yang mau mereka pilih.”

    Ibu mengusap kepala Gita lembut. “Justru kalau

    golput, surat suaranya bisa disalahgunakan. Bisa

    dimanfaatkan sama oknum-oknum yang ingin calonnya

    memenangkan pemilu.”

    “Iya juga ya, Bu. Gita tadi mau jelasin ini ke Nova kok

    lupa.”

    “Lho, Nova golput juga?”

    “Iya, alasannya karena kehabisan tiket pulang ke

    Bogor.”

  • 49

    Ibu geleng-geleng kepala mendengarnya. “Padahal

    bisa saja dia ajukan diri ke RT kosanmu, Nduk. Jadi salah

    satu daftar pemilih tambahan, ndak usah pulang ke

    daerah asal.”

    Gita manggut-manggut mendengar penuturan

    ibunya. Ia mencerna ucapan ibunya dan berniat

    mencarinya di laman internet nanti. Sekarang ia sudah

    diserang rasa kantuk dan memilih berisitirahat di kamar.

  • 50

  • 51

    Pemiluku Kelabu Musyarofah A.R

    Asap rokok terus mengepul dari mulutnya.

    Matanya nanar, memandang langit yang sedang tidak

    bersinar. Wajahnya gundah tak bergairah. Pikirannya

    melayang, bersama mentari yang kian menghilang. Kopi

    panas dan gorengan yang terhidang tak lagi menarik

    perhatian.

    “Kena PHk bukannya cari kerja lagi, malah

    bengong.” Di depan laki-laki paruh baya itu sudah berdiri

    seorang perempuan dengan wajah masam.

    “Sabar to Bune, ini juga lagi jalan keluar.” Laki-laki

    itu masih tetap menatap langit yang semakin gelap.

    “E..ladalah, nggak doyan kopi to?“ Sekonyong-

    konyong diminumnya segelas kopi itu sampai tandas,

    hanya tinggal ampas.

    “La kok dihabiskan to, Bu?”

    “Yo ben, kapok !”

    Perempuan itu kemudian kembali masuk rumah dengan

    tetap memperdengarkan suara merdunya. Laki-laki itu

  • 52

    hanya pasrah. Menganggap omelan istrinya seperti

    sampah yang membuatnya semakin resah.

    ****

    “Bu, Minggu depan Andi Ulangan Tengan

    Semester.”

    “Ya belajar to Le, agar nilanya bagus.”

    “Maksud Andi bukan itu.”

    Dikeluarkannya selembar kertas buram dari tasnya

    dengan wajah muram.

    “Ini gara-gara bapakmu males, Kamu jadi nunggak

    SPP.”

    Perempuan itu bergegas mencari suaminya ke halaman,

    meninggalkan setumpuk cucian. Tubuhnya yang tidak lagi

    langsing, membuat gerak tubuhnya tidak bisa selincah

    gangsing.

    “Paaak...!” suara baritonnya mulai menggema.

    “Ada apa to Bune?“

    Pak Harjo yang tengah memberi makan ayam bergegas

    menemui istrinya, sebelum wajahnya semakin kelam.

    Dengan seksama ia dengarkan ceramah meskipun

    sejatinya telinganya sudah memerah.

  • 53

    “Sudah Bune?“ Pak Harjo bertanya dengan wajah

    tak bersalah.

    “Apanya yang sudah?“ volume suara Bu Harjo

    semakin meninggi.

    “Nesu-nesune. Bapak laper je!”

    “No...no...tidak ada sarapan gratis.” tegas dan lugas

    Bu Harjo menjawab. Tak dipedulikan wajah memelas

    suaminya.

    “Nanti kalau magku kumat, gimana?“ Pak Harjo

    masih terus berjuang agar mendapatkan sarapan.

    “Terserah.”

    “Bapak janji, habis makan terus cari kerja.” Pak

    Harjo mengalah demi menenangkan perutnya yang

    semakin keroncongan.

    “Bener?“ Bu Harjo mulai luluh meskipun ada gurat

    keraguan di wajahnya.

    “Suer Bune. Sama suaminya sendiri kok nggak

    percaya!”

    “Awas kalau ngapusi!“

    Bu Harjo keluar dari dapur dengan membawa sepiring

    nasi. Pak Harjo menyambutnya dengan wajah berser-seri.

  • 54

    “Monggo, Pak, silakan dinikmati sarapannya.“

    Berulang kali Pak Harjo mengerjapkan mata, tak percaya

    dengan menu yang terhidang di hadapannya.

    “Sayur oblok-oblok maniingi...!” gerutunya dalam

    hati.

    ****

    Malam telah larut. Pak harjo yang seharian

    meninggalkan rumah telah pulang dengan wajah cerah,

    tak lagi carut marut.

    “Ini Bune hasil kerja Bapak hari ini.”

    Lima lembar uang kertas warna merah ditunjukkan

    kepada istrinya dengan wajah penuh kebanggaan. Seketika

    mata Bu Harjo yang telah meredup kembali terbuka,

    bangkit dari kasur dengan wajah bergairah.

    “Bukan dari hasil mencuri atau menipu, kan?“ tanya

    Bu Harjo penuh selidik

    “Nggaklah Bune, suamimu ini masih waras.”

    “Terus, dari mana?“

    “Bapak dapat proyek. Kalau sukses, hasilnya bisa

    untuk biaya hidup 6 bulan.”

    “Proyek opo kuwi?“ Bu Harjo penasaran.

  • 55

    “Mau tahu aja, atau tahu banget?“ Pak harjo

    bertanya dengan mimik menggoda.

    “Iiiih Bapak! Takcubit lho,” ucap Bu Harjo dengan

    suara manja.

    “Sini Bapak bisikin! Tapi,..ini masih rahasia.”

    “Jadi timses caleg, Pakne? Apa Kamu bisa?“

    “Husss...jangan keras-keras!” Pak Harjo

    menempelkan jari telunjuk di bibir istrinya.

    Malam itu mereka tidur dengan bahagia. Terbayang

    gunungan rupiah yang akan diterima. Biarlah kena PHK,

    asal bisa kaya raya. Yah, tiga bulan ke depan mereka akan

    bergelimang harta. Bukan hanya mimpi, tapi benar-benar

    nyata.

    ****

    “Bapak-Bapak warga RT 01 RW 15, Seminggu lagi

    masa kampanye terbuka akan tiba. Sesuai dengan

    kesepakatan, kita menerima caleg siapa yang ingin

    sosialisasi di wilayah kita. Namun kita menolak tegas

    politik uang.” Pak RT mengakhiri sambutannya.

    “Kalau ada warga yang ketahuan bagi-bagi uang

    bagaimana, Pak RT?“ tanya salah seorang warga.

  • 56

    “Jika terbukti benar, akan kita laporkan kepada

    Panwas,” jawab Pak RT dengan tegas.

    “Tapi, ni kesempatan kita menambah kekayaan RT

    lho, Pak!” sahut warga yang lain.

    “Betul, Pak RT. Pemilu kemarin saja RT kita dapat

    kursi 100 buah dan lima plong tratak.”

    Pak Harjo tak mau ketinggalan, angkat suara juga.

    “Lima tahun lalu, setiap orang malah dapat 200.000.

    Sayang kalau dilewatkan, Pak RT,“ ucap Pak Harjo lagi.

    “Ada lagi yang mau menyampaikan pendapat

    Bapak-Bapak?” Pak RT kembali memberi kesempatan

    kepada warga untuk menyampaikan aspirasinya.

    “Saya sepakat dengan Pak RT. Kita harus pilih caleg

    yang bersih dan jujur.” Pak Yadi menguatkan.

    “Betul sekali, Pak Yadi. Satu suara kita ini sangat

    berharga. Relakah Bapak-Bapak menjualnya hanya demi

    uang yang tidak seberapa?“ ucap Pak Rudi sekretaris RT.

    “Setelah itu kita ditinggalkan. Mending kita pilih

    caleg yang sudah kenal dan terbukti banyak memberikan

    kemanfaatan.” Pak Yadi kembali berpendapat

  • 57

    “Baik Bapak-Bapak. Saya sepakat dengan pendapat

    Pak Yadi dan Pak Rudi. Marilah kita menjadi pemilih yang

    cerdas. Memilih caleg bukan karena uangnya, tapi dari

    kinerjanya.” Pak RT kembali memberikan himbauan

    untuk warganya.

    Rapat RT usai. Sebagaian warga masih melanjutkan

    obrolan tentang hiruk pikuk kampanye. Pak Harjo

    memilih pulang, menyusun strategi agar aksinya nanti

    berjalan lancar. Terbayang kembali pundi-pundi harta

    yang nanti akan memenuhi kantongnya. Dan itu membuat

    semangatnya semakin membara.

    ****

    “Ada apa to, Bune, pulang PKK kok wajahnya

    manyun?”

    “Sebel sama Bu RT.”

    “Ada apa dengan Bu RT?“ tanya Pak Harjo lagi.

    “Dia menghimbau warga agar tidak pilih caleg yang

    bagi-bagi uang,” Bu Harjo menjawab dengan wajah kesal.

    “Ya benar to, Bu, apa yang dilakukan Bu RT,” sahut

    Yanti anak sullung Bu Harjo calon pemilih pemula.

    “Huss...anak kecil nggak usah ikut-ikutan.”

  • 58

    “Yanti bukan anak kecil lagi. Pemilu besok aku

    sudah punya hak pilih.”

    “Eeeh...berani sama orang tua. Kamu nanti harus

    pilih caleg yang didukung bapakmu.” Bu Harjo mulai

    mengintimidasi anaknya.

    “Yanti akan memilih sesuai dengan hati nurani.

    Yang jelas bukan caleg yang bagi-bagi uang,” kata Yanti

    sambil ngeloyor meningkah bapak dan ibunya.

    “Dinasihati orang tua malah jawab terus, bisa

    kualat Kamu.” Bu Harjo emosi.

    “Sudahlah, Bu! Yanti nanti jadi urusan Bapak.”

    “Gimana, Bapak sudah mencatat nama-nama

    tetangga yang mau mendukung caleg kita to?“

    “Pastilah, Bu. Bapak juga sudah melebarkan sayap

    ke RT lain.”

    “Suamiku ini memang jos gadhos.”

    “Mana catatan Ibu? “

    “Ini, ada 23 orang yang sudah berhasill kupengaruhi.

    Bahkan Yu Nah dan suaminya siap membantu kita.”

    “Kamu juga top markotop, Bu.” Pak Harjo memuji

    hasil kerja istrinya.

  • 59

    “Target 250 suara di TPS kita pasti bisa kita

    dapatkan.“ Bu Harjo meyakinkan suaminya dengan penuh

    optimis.

    Mereka pun menghentikan pembicaraan, ketika

    tetangga sebelah rumah datang memberikan undangan

    untuk mencoblos pada tanggal 17 April nanti.

    ****

    Minggu, 14 April 2019 puku 22.15 WIB....

    Sepasang suami istri itu siap bergerak menjalankan

    aksinya. Setumpuk amplop berisi uang dan stiker siap

    mereka distribusikan. Keberlimpahan materi membuat

    mereka berani. Siap dengan segala resiko yang akan

    menghampiri. Mereka tak peduli, kenikmatan harta telah

    membutakan mata hati.

    “Ayo Pak!” bisik Bu Harjo

    “Situasi aman?”

    “Yes, aman terkendali. Yu Nah dan suaminya sudah

    siap di posnya masing-masing.” Bu Harjo melaporkan

    keadaan terkini. Mereka menuju pintu. Pelan, tanpa suara

    mereka ke luar dari rumahnya. Tak ingin kedua anaknya,

    Andi dan Yanti terbangun.

  • 60

    “Lek Harjo, mau ke mana?“ Terdengar suara yang

    sudah tidak asing dari arah belakang mereka. Tubuh

    gemetar, jantung berdebar, pandangan nanar. Namun tak

    sanggup untuk menghindar.

    “E...e...ehm...mau nengok simbok, Pak RT,“ jawab

    Bu Harjo dengan gagap.

    “Kok malam-malam?“

    “Njih, Pak. Baru saja dikabari sama Dek Marti.”

    Nama adik iparnya yang tidak tahu apa-apa, terpaksa

    dibawa-bawa. Berharap Pak RT segera berlalu dari

    hadapan mereka.

    “Alhamdulillah, Pak RT tidak curiga,” ucap Pak

    Harjo lega. Seperti terlepas dari sebongkah batu yang

    mengimpit dada.

    ****

    Siang, Rabu Wage, 17 April 2019....

    Perhitungan suara hasil Pemilu Legislatif masih

    berlangsung. Pak Harjo duduk manis di TPS mengikuti

    dengan seksama. Pulpen dan kertas tidak lepas dari

    genggamannya. Bu Harjo menanti di rumah dengan wajah

  • 61

    gundah dan hati gelisah. Bahkan makan pun tak bergairah.

    Serba salah, mau SMS suami tak ada nyali.

    Pukul 16.15 WIB Pak Harjo menginjakkan kaki

    kembali di rumah. Tergopoh-gopoh Bu Harjo menyambut

    kepulangan suaminya.

    “Bagaimana hasilnya, Pak? Kok lemes?”

    “Lumayan, Bu.” Pak Harjo menjawab lirih seperti

    tak berenergi.

    “Lumayan bagaimana?“ Bu Harjo Kepo.

    “Daripada nggak ada yang milih sama sekali.”

    “Pak Alex jadi nggak?“

    “Belum tahu Bu. Suaranya banyak yang jeblos.” Pak

    Harjo semakin lemes.

    ****

    Lima hari kemudian. Warga RT 01 RW 15

    berbondong-bondong menuju Rumah Sakit Bina Kasih

    menengok Bu Harjo. Tifusnya kumat.

    “Bener nasehatmu, Yan. Nggak usah ikut-ikutan

    jadi timses. Malah jadi stress.” Yanti tersenyum sambil

    menyuapkan bubur ke mulut Bu Harjo.

  • 62

    “Ibu tergoda sama iming-iming Bapakmu. La wong

    males kok diikuti yo, Yan. Ibu kok jadi pengen ngguyu

    kalau ingat polah tingkahe Ibu kemarin.”

    “Nggih, Bu, dapat dosa lagi.”

    Azan magrib berkumandang, malam pun menjelang. Tak

    henti-hentinya Bu Harjo beristigfar, memohon ampun atas

    segala kekhilafan. “Gusti Allah, kula nyuwun pangapunten.

    Berilah kepada kami pemimpin yang amanah dan jujur.“

    Rona bahagia seakan menjalar ke seluruh raganya.

    Ia bersyukur Allah memberi kesempatan untuk bertaubat

    kepada-Nya.

  • 63

    Bijak Memilih Putu Ayub

    “Balik… balik… balik” teriak Nanda. Sambil berlari

    dengan ngos-ngosan, Nanda terus berteriak agar berbalik

    dari jalan menuju pusat kecamatan.

    “Ada apa to?”

    “Pokoknya balik dah. Ndak usah tanya-tanya.” ucap

    Nanda.

    “Lha, napa harus balik?” tanyaku kepo. Sambil ikut

    Nanda berlari, kubertanya terus apa yang menjadi alasan

    harus berbalik jalan.

    Setiba di posko ujung gang Nanda pun berkata “Itu

    lho, ada tawuran.”

    “Lha, sopo sing tawuran?”

    “Anak motor kampung Bengkung dengan anak

    motor kampung Langgeng Asri.”

    “Langgeng Asri, kampung kita?” tanyaku pada

    Nanda.

  • 64

    “Ya, mana ada kampung Langgeng Asri selain

    kampung kita.” jelas Nanda.

    “Masalahe opo to?”

    “Itu lho, gara-gara si Ujang yang ngamuk di posko

    anak motor kampung Bengkung.”

    “Wis, sabar sik. Ayo minum dulu.” Kutawarkan

    minum air mineral di posko pada Nanda.

    Sembari menenangkan Nanda, tiba-tiba datang si

    Komang.

    “Ngol… Bongol…, tolong aku.” Dengan pincang si

    Komang berlari menuju arah posko. Rupanya dalam

    kerusuhan tadi, ia tidak berhasil meloloskan diri.

    “Lha kamu kenapa?” tanyaku pada Komang.

    “Itu lho aku habis ikut tawuran lawan anak motor

    kampung Bengkung. Nah pas tarung rupanya mereka

    jumlahnya terus bertambah, belum lagi masyarakat sekitar

    ikut lawan kelompok kita.”

    “Jadi kamu tadi sama-sama Nanda?”

    “Ya, cuman sudah kubilang ke Komang agar tidak

    usah ikut tarung.” sahut Nanda.

    “Ya, betul.” tegas Komang.

  • 65

    “Piye to duduk perkaranya?”

    “Gini lho, si Ujang dengar dari si Agus kalau anak

    motor kampung Bengkung sudah mendukung caleg

    nomor 1 dari Partai Pelangi yang Poskonya di ujung Jalan

    Mangga.”

    “Trus?” tanyaku kepo.

    “Katanya kalau anak geng motor kampung

    Bengkung berhasil menangkan caleg tersebut di tiga

    kampung, maka mereka akan dapat imbalan Rp 1.000.000

    per orang anggota geng motor itu.” jelas Komang.

    “Lha kalau cuman begitu kok harus tawuran?”

    “Gini masalahnya, caleg itu juga janjikan ke Ujang

    kalau mereka juga akan beri uang Rp 800.000 per anggota

    kelompok kita kalau berhasil menangkan caleg itu di tiga

    kampung.” tambah si Nanda.

    “Kan cuman selisih Rp 200.000 kok diributin?”

    memang dasar aku orang kepo maka terus kutanya saja.

    “Tapi menurut si Agus, anak geng motor kampung

    Bengkung mau ambil kawasan kampung Mujur, sementara

    kampung Mujur kan masuk kawasan kekuasaan kita. Anak

    geng motor kampung Bengkung tahu kan kita yang sudah

  • 66

    jadi penguasanya. Lha kok mereka mau menguasainya

    juga?” jelas Komang.

    “Emang bener kalau anak motor kampung

    Bengkung mau ambil kekuasaan kita?”

    “Ndak tahu, Ujang bilang A1 menurut Agus.” balas

    Nanda.

    “Trus menurut kamu Mang?”

    “Menurutku sepertinya A1.”

    “Emang kalian punya bukti?” tanyaku penasaran.

    “Ada kok, itu di WA grup kita kana da foto mereka

    lagi bagi bingkisan dan pasang poster di simpang sawah.”

    Jelas Nanda. “Kamu tidak baca?” tanya Nanda.

    “Belum. Kalian tahu dari mana kalau foto di WA

    grup kita itu A1?”

    “Dari Ujang” ucap Nanda dan Komang serentak.

    Tidak lama, tiba-tiba Ujang datang dengan motor

    sport-nya. Dengan wajah lebam, Ujang meringis kesakitan.

    Sontak ku berlari dan menolongnya untuk berbaring di

    posko. Aku dan Nanda coba membersihkan luka-lukanya.

    Sambil membersihkan luka-lukanya, kutanya Ujang “Jang,

    ini Kamu korban tawuran juga ya?”

  • 67

    “Lha dia sih bukan korbanya, tapi provokator kita.

    Dia yang ngajak kita tawuran.” sahut Komang.

    “Piye to kok bisa kalian tawuran dengan anak motor

    kampung Bengkung?” tanyaku pada Ujang.

    “Itu lho, Agus bilang anak motor kampung

    Bengkung mau ambil daerah kekuasaan kita.” Ujang

    kemudian menjelaskan bagaimana asal mula mengapa ia

    menyerang anak motor kampung Bengkung. Dengan

    sedikit emosional ia bercerita dan seolah-olah akan

    kembali membalas mereka.

    Tak lama, Agus datang “Hai, kenapa wajahmu pada

    lebam, Mang?”

    “Kau penyebabnya, tuh Ujang juga lebih parah?”

    balas Komang.

    “Kok sampai para gitu?”

    “Ujang nyerang anak motor kampung Bengkung.”

    sahut Nanda. “Katanya menurut kamu, anak motor

    kampung Bengkung mau ambil kekuasaan kita.

    Mangkanya si Ujang marah dan nyerang mereka. Soalnya

    kalau kita tidak berhasil menangkan caleg nomor 1 itu,

    kita tidak dapat Rp 800.000 per orang.”

  • 68

    “Kamu dapat berita itu dari mana?” tanyaku pada

    Agus.

    “Dari Feri, menurut Feri itu berita A1.”

    “Lha emang sudah kau cek kebenarannya?” tanyaku

    pada Agus.

    “Ya, menurut Feri kan A1. Ya udah tidak usah dicek.

    Menurut Feri, kalau kita bisa menangkan caleg itu di lebih

    dari tiga kampung, malahan kita bisa dapat lebih dari Rp

    800.000.”

    “Trus sekarang Feri ada di mana?” tanya Nanda.

    “Kata tentangganya, si Feri lagi pulang kampung.”

    “Inilah, masalahnya kita buat perkara dengan orang

    kampung sebelah tanpa tahu kejelasan informasinya.

    Harusnya cek dulu ke Feri, baru ambil langkah.” jelasku

    pada mereka.

    “Yo, wis pulang istirahat sik.”

    Kami pun pulang dalam cemas takut anak motor

    kampung bengkung tiba-tiba datang untuk menyerang.

    ****

    Keesokan harinya sepulang dari sekolah, kami pun

    ngumpul di posko untuk bicarakan kasus dengan anak

  • 69

    motor kampung Bengkung. Tiba-tiba Ujang datang

    dengan semangatnya. “Ngol, Mang, Gus, aku baru dapat

    tawaran dari caleg nomor 5 partai Gagak. Kalau kita

    berhasil menangkan dia di enam kampung maka kita akan

    dapat Rp 6 juta tiap orang. Ayo siapa mau ikut?”

    “Moh… kalau ujung-ujungnya bonyok aku moh…”

    balasku.

    “Menurutku itu tawaran bagus, bagaimana Gus kita

    join dengan Ujang?” ucap Komang.

    “Oke kalau itu A1.” balas Agus. “Ayo Ngol, kita join.”

    “Tidak ah, malas, takut kejadian kayak kalian

    kemarin.”

    “Aman kok.” ucap Ujang.

    “Piye to, kemarin dukung caleg nomor 1 Partai

    Pelangi, sekarang malah dukung caleg nomor 5 Partai

    Gagak? Coba seperti aku, pilih dukung caleg nomor 1 dari

    partai Bunga Matahari.”

    “Ngol, caleg nomor 1 Partai Bunga Matahari itu

    ndak bagus. Dia dari suku Dayak, masak orang Dayak mau

    mewakili orang-orang kita?” balas Ujang.

  • 70

    “Emang, kita milih suku atau milih orang

    berdasarkan kinerjanya?” tanyaku pada mereka.

    “Ah itu tidak penting, sing penting kita dapat uang.

    Mau mereka kinerjanya bagus atau tidak, sing penting kita

    dapat amplopnya.” jelas Agus dengan semangat.

    “Oke… oke, gini saja kesimpulannya aku, Agus, dan

    Komang yang kerjakan.” ucap Ujang. “Bongol tidak ikut.

    Kalau gitu jangan ngiri ya kalau tidak dapat bagian. Ayo

    kita temui calegnya.” Ujang, Komang, dan Agus pun pergi

    mengurus kampanye caleg nomor 5 Partai Gagak itu.

    Selama dua bulan mereka terus kampanye dan

    ribut dengan anak motor kampung Bengkung maupun

    kampung lainnya. Dalam hati aku hanya merenung

    jangan-jangan mereka hanya bermain dengan berita

    bohong dan politik uang.

    ****

    Satu bulan setelah usai pemilihan umum, Ujang,

    Komang, dan Agus kembali ke posko. Sambil kumenonton

    pertandingan Liga 1, mereka dengan gembira datang

    dengan motor barunya.

    “Piye, calegmu menang?” tanyaku pada mereka.

  • 71

    “Menang to, ini buktinya kubeli motor paling

    keren.” sahut Agus.

    “Iya ini juga kubeli motor baru ganti motor butut

    yang lalu.” ucap Komang.

    Tampak hanya Ujang yang tidak membawa motor

    baru. Lantas kutanya, “Jang mana motor barumu?”

    “Belum kuambil dari dealer.”

    “Kok belum?”

    “Lha calegnya belum ngasih aku uang.”

    “Trus itu si Agus dan Komang kok sudah dapat

    motor?” tanyaku pada mereka.

    “Kami kan akan dapat uang dari caleg itu, jadi ku

    jual motor lama untuk DP dan nanti kreditnya dari uang

    hasil kampanye.” Jelas Agus dengan semangat.

    Tidak lama tiba-tiba Feri datang. “Hai, kudengar

    kalian berapa bulan ini tawuran terus dengan anak motor

    kampung sebelah?”

    “Ya, gegara kamu tuh ngasih kabar tidak jelas.”

    Ucap Ujang sambil memukul kepala Feri.

    “Emang betul berita itu Fer.” Tanyaku pada Feri.

  • 72

    “Tidak jelas kok. Aku dapat foto dari caleg nomor 3

    Partai Bunga Matahari kok. Tidak pasti bener atau tidak.”

    Jelas Feri. “Tapi kalai ini, kalian mau dapat berita bagus

    tidak?” ucap Feri.

    “Yakin A1?” tanyaku pada Feri.

    “Yakin, coba lihat berita di TV Semarang.”

    Bergegas ku pindah chanel tayangan dari

    pertandingan favoritku ke berita TV Semarang. Sontak

    saja kami terkaget karena caleg nomor 1 dari Partai Pelangi

    diperkarakan Bawaslu karena politik uang. Tidak lama

    kemudian, diberitakan caleg nomor 5 partai Gagak

    ditangkap karena OTT Kasus Suap petugas PPS dan kasus

    korupsi dana bansos.

    “Jang, piye iki? Caleg kita ditangkap?” ucap Agus.

    “Iya, piye iki Jang. Motorku baru DP. Kreditnya

    piye?” balas Komang.

    “Lha buntug semua kalian to? Kok mau diapusi?

    Katanya A1 sekarang calegmu bermasalah. Sudah capek-

    capek kerja, bonyok karena tawuran akitab berita bohong,

    sekarang uang serupiahpun kalian tidak dapat.” ucapku

    pada mereka sambil tertawa.

  • 73

    “Kalau mereka batal jadi anggota dewan, wah batal

    deh aku dapat motor baru dan lamar si Mawar. Duitnya

    habis untuk kampanye mereka.” ucap Ujang.

    “Memang kalian sudah bonyok, bunting lagi.

    Makanya hati-hati dengan berita bohong dan politik uang.

    Tidak ada politikus yang tulus jika sudah main politik

    uang. Pilih yang kerjanya sudah pasti-pasti saja. Lihat tuh

    pilihanku terpilih tanpa harus main uang dan berita

    bohong.”

    Politik memang penting tetapi ketika ada

    kebohongan dan politik uang maka itu menjadi kejam.

    Kupikir, di masa mudaku kuharus belajar menjadi bijak

    untuk memilih.

  • 74

  • 75

    “MoccaLatte” Rizky Rahardian

    Abahku dulu pernah berkata bahwa di dunia ini

    tidak ada yang namanya manusia bodoh, yang ada

    hanyalah manusia yang tak yakin bahwa dirinya bisa. Yah,

    setidaknya kata-kata itu merupakan salah satu warisan

    yang pernah Abah berikan untukku. Hari ini aku gagal lagi

    dalam tes penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil. Ku-

    refresh halaman website itu berkali-kali, tak ada yang

    berubah. Kutinggalkan warnet dengan wajah murung, tak

    bersemangat. Dalam situasi seperti ini, biasanya aku

    punya ritual khusus. Seperti yang sudah-sudah, setiap kali

    suasana hatiku tampak buruk, aku selalu pergi ke pantai.

    Tempat di mana angin akan meniupkan seluruh masalah

    yang ada di kepalaku. Deruan ombak akan merobohkan

    batu karang yang terpagar rapi mengunci pintu hati.

    Seringai cahaya senja menerpa wajah yang murung dan

    kusam, membuatnya bersinar seketika. Dengan ritual ini,

    aku tak pernah merasa sedih atau pun bimbang. Bicara

    tentang kegagalan aku punya satu cerita,

  • 76

    Waktu itu pukul enam pagi, seperti biasanya Mak

    selalu saja mengomel. Ada saja hal yang dia omelkan.

    “Adek! Ini sudah jam berapa? Kamu belum mandi

    juga?”

    “Ini, Mak, Mbak Yari masih didalam kamar mandi.”

    jawabku kesal.

    “Yari, Kamu ngapain saja sih dari tadi di kamar

    mandi? Semedi? Mencari wangsit supaya dapat pacar

    kayak Oppa Korea?”

    “Sebentar, Mak, lima jam lagi.” sahut kakakku.

    “Yaelah buruan, adikmu nanti telat. Ini sudah jam

    enam lewat lima belas menit. Adikmu hari ini Ujian

    Nasional lho!”

    “Iya, iya bawel. Sebentar.”

    Abah yang sudah kenyang melihat kegaduhan kami

    setiap pagi tetap santai menikmati secangkir kopi di teras

    rumah sembari membaca koran.

    Empat hari ujian telah berlalu, aku mengerjakan

    semua soal dengan sangat serius dan teliti. Hingga hari

    pengumuman kelulusan pun datang. Kupandangi papan

    daftar peserta yang lulus dengan seksama, kudapati

  • 77

    namaku di antara duapuluh orang teratas. Aku lulus

    dengan nilai yang cukup memuaskan, 36,80. Dengan

    bangga kutunjukkan hasil pengumuman itu kepada Abah.

    Ia turut senang melihat hasil yang aku dapat. Dengan nilai

    segini, aku yakin bisa masuk ke sekolah favorit yang aku

    idam-idamkan sejak lama.

    Dua hari setelah pengumuman kelulusan, sekolah

    itu membuka pendaftaran calon siswa baru dengan jalur

    nilai. Beberapa piagam dapat digunakan untuk mendapat

    nilai lebih. Pada hari pertama aku mendaftar, aku dan

    abah berangkat sangat pagi.

    “Silahkan, Pak, letakkan berkas yang diminta di

    sini!” ucap seorang petugas.

    Abah menaruh berkas kemudian lekas duduk,

    menunggu hasil peringkat sementara. Karena kami datang

    terlalu pagi, belum banyak murid yang mendaftar. Setelah

    pendaftaran hari itu ditutup, Abah mengajakku melihat

    peringkat sementara.

    “Dek, Alhamdulillah Kamu ada di peringkat enam

    puluh lima. Semoga besok tidak

  • 78

    merosot lagi ya karena masih ada tiga hari pendaftaran

    lagi.”

    “Iya, Bah, semoga saja.”

    Akhirnya kami pun memutuskan untuk pulang.

    Pada hari ke-2 peringkatku semakin merosot dari

    peringkat enam puluh lima ke peringkat seratus tiga puluh

    dua.

    Pada hari ke-3 peringkatku kembali turun ke

    peringkat dua ratus empat puluh tiga. Dan di hari ke-4

    atau hari akhir pendaftaran peringkatku bertengger di

    angka dua ratus sembilan puluh tujuh.

    “Dek, Kamu lolos! Selamat ya! Walau di posisi akhir

    tapi yang paling terpenting Kamu sudah berusaha

    maksimal.”

    Aku hanya bisa mengangguk sambil memeluk erat

    Abah. Tak lama berselang salah satu petugas

    mengumumkan suatu hal. “Untuk peserta dengan nama

    Alya Dewi Susanti, Muhammad Gunawan, dan

    Muhammad Akan Susetyo telah dinyatakan gugur atau

    tidak dapat masuk ke SMA Tarang Karuna.”

  • 79

    Seketika itu juga, aku dan Abah tersontak kaget.

    Namaku disebutkan di sana. Pertanyaan-pertanyaan asing

    mulai muncul. Bagaimana bisa? Kenapa? Bukankah semua

    sistem pendaftaran sudah dihentikan dan hasil akhir

    sudah diumumkan? Lantas kenapa aku bisa gugur

    bersama dua anak lainnya? Perasaanku campur aduk,

    marah, sedih, kesal semua menjadi satu.

    Belum sempat aku menjawab semua pertanyaan itu,

    Abah dengan sigap beranjak dari kursi dan bergegas

    menuju Ruang Pelaksana. Wajahnya sangat menunjukkan

    bahwa ia sedang marah, tidak terima, sama seperti yang

    aku rasakan pada saat itu. Beberapa orangtua yang nama

    anaknya dinyatakan gugur juga menyatakan ketidak

    terimaan mereka.

    “Pak, tidak bisa begitu dong, pendaftaran kan

    sudah ditutup sejak sepuluh menit yang lalu, saya juga

    tidak melihat ada yang pergi mendaftar di saat-saat

    terakhir. Bagaimana bisa anak saya yang sudah dipastikan

    lolos tiba-tiba saja gagal?” semprot Abah kesal.

    “Benar itu, bagaimana bisa anak saya tersisih begitu

    saja? Jangan bersikap kotor seperti itu pak. Jangan-jangan

  • 80

    ada anak yang masuk lewat jalur belakang?” lanjut

    orangtua lain.

    “Begini, Pak, update kebetulan selesai dilakukan

    setelah penutupan. Dan dtemukan di sini bahwa anak

    Panjengengan semua tidak lolos karena tergeser anak lain.”

    jelas petugas.

    “Tapi bukannya tadi diberitahukan bahwa itu hasil

    final?” balas salah satu orangtua.

    “Mohon maaf sebelumnya Bapak-Bapak sekalian.

    Begini, setelah kami lakukan rekapitulasi lanjutan,

    ternyata ada beberapa anak yang memang memenuhi

    syarat untuk masuk.”

    Kemudian ada seorang petugas yang datang untuk

    mengganti nama siswa yang gugur tadi dengan nama anak

    yang baru saja masuk. Saat dilihat, ternyata nilai anak-

    anak yang baru masuk itu ada dibawah nilai anak yang

    gugur. Sonta