TIPUS RGB

60
TINJAUAN PUSTAKA FRAKTUR PELVIS II. 1 Definisi Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. 2 II.2 Etiologi Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum. 2 II.3 Epidemiologi Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sepuluh persen diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra,buli-buli,rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10 %. 2 1

description

jtyht

Transcript of TIPUS RGB

TINJAUAN PUSTAKA

FRAKTUR PELVIS

II. 1 Definisi

Patah tulang panggul adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang

tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan

dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari

kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. 2

II.2 Etiologi

Dengan makin meningkatnya kecelakaan lalu lintas mengakibatkan dislokasi

sendi panggul sering ditemukan. Dislokasi panggul merupakan suatu trauma hebat. Patah tulang

pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau

apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau

perineum. 2

II.3 Epidemiologi

Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sepuluh persen

diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra,buli-buli,rektum

serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10 %. 2

II.4 Anatomi Pelvis

Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua

tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang

innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di

bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai

penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis.1

1

          Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur

ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentum-ligamentum sacroiliaca

posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari

tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca

posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari

sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan

ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan

dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat

yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber

ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan

stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum

dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum

iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista

iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima

sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).1

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis.

Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis

anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri

tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri

iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri

2

glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara

langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri

umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri

hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis

dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-

vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2).

Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola

fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah

mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan. 1

 

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor

yang terletak pada dinding dalam pelvis

II.5 Mekanisme Trauma

Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas: 3

Kompresi Antero-Posterior (APC) 

3

Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki kendaraan. Ramus

pubis mengalami fraktur , tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna

disertai robekan simfisis . Keadaan ini disebut sebagai open book injury. Bagian posterior

ligamen sakro iliaka mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian

belakang ilium.

Kompresi Lateral (LC)

Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan . Hal ini terjadi

apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian .

Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan

bagian belakang terdapat strain dari sendi sakro iliaka atau fraktur ilium atau dapat pula

fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.

Trauma Vertikal (SV)

Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur

ramus pubis dan disrupsi sendi sakro iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila

seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.

Trauma Kombinasi (CM)

Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas.

II.6 Tipe Cidera/ Klasifikasi Fraktur

Cidera pelvis dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu : 3

II.6.1 Fraktur yang terisolasi dengan cincin pelvis yang utuh

a. Fraktur avulsi

Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat. Fraktur ini biasanya ditemukan

pada olahragawan dan atlet. Muskulus Sartorius dapat menarik spina iliaca anterior superior,

rektus femoris menarik spina iliaca anterior inferior , adductor longus menarik sepotong pubis,

dan urat-urat lurik menarik bagian-bagian iskium. Nyeri hilang biasanya dalam beberapa bulan.

Avulsi pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dalam hal

ini reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan.

4

b. Fraktur langsung

Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat

menyebabkan fraktur iskium atau ala ossis ilii. Dalam hal ini memerlukan bed rest total sampai

nyeri mereda.

c. Fraktur-tekanan

Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan dan sering dirasakan yidak nyeri. Pada

pasien osteoporosis dan osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah fraktur-

tekanan disekitar sendi sacroiliaca. Ini adalah penyebab nyeri sacroiliaca yang tak lazim pada

orangtua yang menderita osteoporosis.

II.6.2 Fraktur pada cincin pelvis

Telah lama diperdebatkan bahwa karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat cincin

pasti diikuti pada tempat yang lainnya, kecuali fraktur akibat pukulan langsung atau fraktur pada

anak-anak yang simfisis dan sendi sacroiliaca masih elastic. Tetapi, patahan kedua sering tidak

ditemukan, baik karena fraktur tereduksi segera atau karena sendi sacroiliaca hanya rusak

sebagian. Dalam hal ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat

stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang

jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi kedalam fraktur

cincin tunggal dan ganda.

Tekanan anteroposterior, cidera ini biasanya disebabkan oleh tabrakan frontal saat

kecelakaan. Rami pubis mengalami fraktur atau tulang inominata retak terbelah dan berotasi

keluar disertai kerusakan simphisis. Fraktur ini biasa disebut “open book”. Bagian posterior

ligament sacroiliaca robek sebagian, atau mungkin terdapat fraktur pada bagian posterior ilium.

Tekanan lateral, tekanan dari sisi ke sisi pelvis menyebabkan cincin melengkung dan patah. Di

bagian anterior rami pubis, pada satu atau kedua sisi mengalami fraktur dan di bagian posterior

terdapat strain sacroiliaca yang berat atau fraktur pada ilium, baik pada sisi yang sama seperti

fraktur rami pubis atau pada sisi yang sebaliknya pada pelvis. Apabila terjadi pergeseran sendi

sacroiliaca yang besar maka pelvis tidak stabil.5

Pemuntiran vertical, tulang inominata pada satu sisi bergeser secara vertical,

menyebabkan fraktur vertical, menyebabkan fraktur rami pubis dan merusak daerah sacroiliaca

pada sisi yang sama. Ini secara khas terjadi tumpuan dengan salah satu kaki saat terjatuh dari

ketinggian. Cidera ini biasanya berat dan tidak stabil dengan robekan jaringan lunak dan

perdarahan retroperitoneal.

Tile (1988) membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara rotasi

tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil.

Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau tanpa

pergeseran.

o A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin

o A2 : stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur

Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang

mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur

open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur

pada rami iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi

tida ada pembukaan simfisis.

o B1 : open book

o B2 : kompresi lateral ipsilateral

o B3 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)

Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament

posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertical

pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.

o C1 : unilateral

o C2 : bilateral

o C3 : disertai fraktur asetabulum

Klasifikasi fraktur menurut Cey dan Conwell :

a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin

Fraktur avulsi

6

o Spina iliaka anterior posterior

o Spina iliaka anterior inferior

o Tuberositas ischium

Fraktur pubis dan ischium

Fraktur sayap ilium

Fraktur sacrum

Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus

b. Keretakan tunggal pada cincin panggul

Fraktur pada kedua ramus ipsilateral

Fraktur dekat atau subluksasi simpisis pubis

Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka

c. Fraktur bilateral cincin panggul

Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis

Fraktur ganda dan atau dislokasi

Fraktur multiple yang hebat

d. Fraktur asetabulum

Tanpa pergeseran

Dengan pergeseran

II.7 Gambaran Klinik

Fraktur panggul sering merupakan bagian dari salah satu trauma multipel yangdapat

mengenai organ-organ lain dalam panggul . Keluhan berupa gejala pembengkakan ,deformitas

serta perdarahan subkutan sekitar panggul . Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok

karena perdarahan yang hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah.

Dislokasi dan fraktur dislokasi sendi panggul dibagi dalam 3 jenis : 3

1. Dislokasi posterior 

Tanpa fraktur

Disertai fraktur rim posterior yang tunggal dan besar 

Disertai fraktur komunitif asetabulum bagian posterior dengan atau tanpakerusakan pada

dasar asetabulum.

7

Disertai fraktur kaput femur

Mekanisme trauma dislokasi posterior disertai adanya fraktur adalah kaput femur dipaksa

keluar ke belakang asetabulum melalui suatu trauma yang dihantarkan pada diafisis femur

dimana sendi pinggul dalama posisi fleksi atau semi fleksi. Trauma biasanya terjadi karena

kecelakaan lalu lintas dimana lutut penumpang dalam keadaan fleksi dan menabrak dengan keras

yang berada dibagian depan lutut. Kelainan ini juga dapat terjadi sewaktu mengendarai motor.

50% dislokasi disertai fraktur pada pinggir asetabulum dengan fragmen kecil atau besar.

Penderita biasanya datang setelah suatu trauma yang hebat disertai nyeri dan deformitas pada

daerah sendi panggul. Sendi panggul teraba menonjol ke belakang dalam posisi adduksi, fleksi

dan rotasi interna .terdapat pemendekan anggota gerak bawah. Dengan pemeriksaan rontgen

akan diketahui jenis dislokasi dan apakahdislokasi disertai fraktur atau tidak.3

 

2. Dislokasi anterior 

Obturator 

Iliaka

Pubik 

Disertai fraktur kaput femur

 

3. Dislokasi sentral asetabulum

Hanya mengenai bagian dalam dinding asetabulum

Fraktur sebagian dari kubah asetabulum

Pergeseran menyeluruh ke panggul disertai fraktur asetabulum yang komunitif

Mekanisme trauma Fraktur dislokasi sentral adalah terjadi apabila kaput femur terdorong

ke dinding medial asetabulum pada rongga panggul. Disini kapsul tetap utuh. Fraktur asetabulum

terjadi karena dorongan yang kuat dari lateral atau jatuh dariketinggian pada satu sisi atau suatu

tekanan yang melalui femur dimana keadaan abduksi. Didapatkan perdarahan dan

pembengkakan di daerah tungkai bagian proksimal tetapi posisi tetap normal. Nyeri tekan pada

8

daerah trokanter. Gerakan sendi panggul sangat terbatas. Dengan pemeriksaan radiologis

didapatkan adanya pergeseran dari kaput femur menembus panggul. 3

Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha

berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis. Foto

polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur.

Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat

berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapt

bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat

nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf

skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral,

perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga

cukup tinggi.(Apley, 1995).3

Anamnesis :

a. Keadaan dan waktu trauma

b. Miksi terakhir

c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir

d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi

e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala

Pemeriksaan Klinik :

a. Keadaan umum

Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi

Lakukan survey kemungkinan trauma lainnya

b. Lokal

Pemeriksaan nyeri :

o Tekanan dari samping cincin panggul

o Tarikan pada cincin panggul

9

Inspeksi perineum untuk mengetahui asanya Perdarahan, pembengkakan dan

deformitas

Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan

simfisis pubis

Pemeriksaan colok dubur

II.8 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan nyeri subjektif dan objektif, dan pergerakan

abnormal pada gelang panggul. Untuk itu, pelvis ditekan ke belakang dan ke medial secara hati-

hati pada kedua spina iliaka anterior superior, ke medial pada kedua trokanter mayor, ke

belakang pada simpisis pubis, dan ke medial pada kedua krista iliaka. Apabila pemeriksaan ini

menyebabkan nyeri, patut dicurigai adanya patah tulang panggul.4

Kemudian dicari adanya gangguan kencing seperti retensi urin atau perdarahan melalui

uretra, serta dilakukan pemeriksaan colok dubur untuk melakukan penilaian pada sakrum, atau

tulang pubis dari dalam.

Sinar X dapat memperlihatkan fraktur pada rami pubis, fraktur ipsilateral atau kontra

lateral pada elemen posterior, pemisahan simfisis, kerusakan pada sendi sacroiliaca atau

kombinasi. CT-scan merupakan cara terbaik untuk memperlihatkan sifat cidera. 4

II.9 Sistem Klasifikasi dan Nilai Prognostik

Beberapa sistem klasifikasi telah dirumuskan untuk menjelaskan cedera pelvis

berdasarkan sifat dasar dan stabilitas disrupsi pelvis atau berdasarkan besar dan arah tekanan

yang diberikan ke pelvis. Masing-masing klasifikasi telah dikembangkan untuk memberikan

tuntunan pada ahli bedah umum dan ortopedi tentang tipe dan kemungkinan masalah kesulitan

manajemen yang mungkin dihadapi dengan masing-masing tipe fraktur. Sistem klasifikasi

fraktur pelvis ini, salah satu yang dijelaskan oleh Young dan Burgess, paling erat hubungannya

dengan kebutuhan resusitasi dan pola yang terkait dengan cedera. Sistem ini berdasarkan pada

seri standar gambaran pelvis dan gambaran dalam dan luar, sebagaimana dijelaskan oleh Pennal

dkk.1

10

          Klasifikasi Young-Burgess membagi disrupsi pelvis kedalam cedera-cedera kompresi

anterior-posterior (APC), kompresi lateral (LC), shear vertikal (VS), dan mekanisme kombinasi

(CM) (gambar 3). Kategori APC dan LC lebih lanjut disubklasifikasi dari tipe I – III berdasarkan

pada meningkatnya perburukan cedera yang dihasilkan oleh peningkatan tekanan besar. Cedera

APC disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase

simfisis pubis. Ada cedera “open book” yang mengganggu ligamentum sacroiliaca anterior

seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale. Cedera APC

dipertimbangkan menjadi penanda radiografi yang baik untuk cabang-cabang pembuluh darah

iliaca interna, yang berada dalam penjajaran dekat dengan persendian sacroiliaca anterior.1

Gambar 3. Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess. A, kompresi anteroposterior tipe I. B, kompresi

anteroposterior tipe II. C, kompresi anteroposterior tipe III. D, kompresi lateral tipe I. E, kompresi lateral

tipe II. F, kompresi lateral tipe III. G, shear vertikal. Tanda panah pada masing-masing panel

mengindikasikan arah tekanan yang menghasilkan pola fraktur.

 Cedera LC sebagai akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi

benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta

pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Disrupsi pembuluh darah

besar bernama (misal, arteri iliaca interna, arteri glutea superior) relatif luar biasa dengan cedera

LC; ketika hal ini terjadi, diduga sebagai akibat dari laserasi fragmen fraktur.

11

          Cedera VS dibedakan dari pemindahan vertikal hemipelvis. Perpindahan hemipelvis

mungkin dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah. Pola cedera CM meliputi fraktur

pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah.

          Klasifikasi fraktur pelvis Young-Burgess dan dugaan vektor tekanan juga telah

menunjukkan berkorelasi baik dengan pola cedera organ, persyaratan resusitasi, dan mortalitas.

Secara khusus, kenaikan pada mortalitas telah terbukti sebagaimana meningkatnya angka APC.

Pola cedera yang terlihat pada fraktur APC tipe III telah berkorelasi dengan kebutuhan cairan 24-

jam terbesar. Pada sebuah seri terhadap 210 pasien berurutan dengan fraktur pelvis, Burgess dkk

menemukan bahwa kebutuhan transfusi bagi pasien dengan cedera LC rata-rata 3,6 unit PRC,

dibandingkan dengan rata-rata 14,8 unit bagi pasien dengan cedera APC. Pada seri yang sama,

pasien dengan cedera VS rata-rata 9,2 unit, dan pasien dengan cedera CM memiliki kebutuhan

transfusi rata-rata sebesar 8,5 unit. Angka mortalitas keseluruhan pada seri ini adalah 8,6%.

Angka mortalitas lebih tinggi terlihat pada pola APC (20%) dan pola CM (18%) dibandingkan

pada pola LC (7%) dan pola VS (0%). Burgess dkk mencatat hilangnya darah dari cedera pelvis

yang dihasilkan dari kompresi lateral jarang terjadi, dan penulis menghubungkan kematian pada

pasien dengan cedera LC pada penyebab lainnya. Penyebab kematian yang teridentifikasi paling

umum pada pasien di seri ini dengan fraktur LC adalah cedera kepala tertutup. Pada kontras,

penyebab kematian yang teridentifikasi pada pasien dengan cedera APC merupakan kombinasi

cedera pelvis dan viseral. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemampuan untuk mengenali pola

fraktur pelvis dan arah tekanan cedera yang sesuai dapat membantu tim resusitasi mengantisipasi

kebutuhan transfusi cairan dan darah sebagaimana halnya membantu untuk penilaian dan

pengobatan awal langsung. Pasien dengan instabilitas posterior lengkap dapat diantisipasi agar

tidak menjadi perdarahan yang berat. 1

II.10 Manajemen Penanganan Fraktur Pelvis

II.10.1 Identifikasi dan Pengelolaan Fraktur Pelvis 5

12

a. Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur pelvis misalnya

terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki ditabrak kendaraan, tabrakan

sepeda motor.

b. Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma scrotal, darah di meatus

uretra.

c. Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul.

d. Lakukan pemeriksaan rectum, posis dan mobilitas kelenjar prostat, teraba fraktur, atau

adanya darah pada kotoran.

e. Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus , adanya darah.

Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil.

f. Jika dijumpai kelainan pada B sampai E, jika mekanisme trauma menunjang terjadinya

fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme trauma dapat

menjelaskan tipe fraktur).

g. Jika B sampai E normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan tempat nyeri.

h. Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior-posterior dan

lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial dengan melakukan dorongan dan

tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas kranial-kaudal.

i. Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau lakukan

pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma uretra.

j. Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering disertai kehilangan

darah banyak, misalnya fraktur yang meningkatkan volume pelvis.

1. Cocokan identitas penderita pada film

2. Periksa foto secara sistemik ;

a. Lebar simpisis pubis-pemisahan lebih dari 1 cm menunjukkan ada trauma

pelvis posterior

b. Integritas ramus superior dan inferior pubis bilateral

c. Integritas asetabulum, kapsul dan kolum femur

d. Simetri ileum dan lebarnya sendi sakroiliaka

e. Simetri foramen sacrum dengan evaluasi linea arkuata

f. Fraktur prosessus transversus L5

13

3. Ingat, karena tulang pelvis berbentuk lingkaran jarang kerusakan hanya pada satu

tempat saja.

4. Ingat, fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear dan fraktur

open-book, sering disertai Perdarahan banyak.

k. Teknik mengurangi Perdarahan

1. Cegah manipulasi berlebihan atau berulang-ulang

2. Tungkai bawah di rotasi ke dalam untuk menutup fraktur open-book. Pasang

bantalan pada tonjolan tulang dan ikat kedua tungkai yang dilakukan rotasi.

Tindakan ini akan mengurangi pergeseran simpisis, mengurangi volume pelvis,

bermanfaat untuk tindakan sementara menunggu pengobatan definitif.

3. Pasang dan kembangkan PASG. Alat ini bermanfaat untuk membawa/transport

penderita.

4. Pasang external fixator pelvis (konsultasi orthopedi segera)

5. Pasang traksi skeletal (konsultasi orthopedi segera)

6. Embolisasi pembuluh darah pelvis melalui angiografi

7. Lakukan segera konsultasi bedah/ orthopedi untuk menentukan prioritas

8. Letakkan bantal pasir di bawah bokong kiri-kanan jika tidak terdapat trauma

tulang belakang atau cara menutup pelvis yang lain tidak tersedia.

9. Pasang pelvic binder

10. Mengatur untul transfer ke fasilitas terapi definitive jika tidak mampu

melakukannya.

II.10.2 Metode Penatalaksanaan1

a. Military Antishock Trousers

          Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan

kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui

tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk

menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi.

Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan

14

sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih

berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh

penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.

b. Pengikat dan Sheet Pelvis

          Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada

awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran

terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif,

dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan

sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat

pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien

dengan cedera APC (gambar 4).

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis)

yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan

           Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis

disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas

pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki

15

bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan

kompresi melingkar.

c. Fiksasi Eksternal

Fiksasi Eksternal Anterior Standar

          Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada

resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek

menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor.

Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien,

menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi

volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah

menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan

retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi

dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar.

C-Clamp

          Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang

adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior

signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang

diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk menutupi kekurangan ini. Clamp

memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian

yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya

harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur

menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara

cedera APC.1

d. Angiografi

          Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah

berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif.

16

Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan

<10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah

fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi

paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh

penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera

VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan

bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak

stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif

(58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik

persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada

studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis

pada 86-100% kasus. Ben-Menachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”,

menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri

tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi

bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri

iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera

arteri yang disebabkan oleh vasospasme.1

          Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil

akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan

menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan

bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka

ketahanan hidup. Namun, penggunaan angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi

iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena

dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah

lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian

angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan

hidup.

e. Balutan Pelvis

17

          Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis langsung

dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu

dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti

dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk

menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani

menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif

dalam mengontrol perdarahan arteri. 1

          Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal – telah

diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal

melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan

peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat

dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat

untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi

angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat

dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika

balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan

embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat

mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A, dibuat sebuah insisi

vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus

kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara

18

posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons

pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada

ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik kesisi lainnya,

dan proses tersebut diulangi. B, Ilustrasi yang mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang

mengikuti balutan pelvis.

 II.10.3Resusitasi Cairan

          Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dan

mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena harus dibangun

secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus

diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika

respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai

darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch

untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu

dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara keseluruhan

memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga

butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus

kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan

kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non crossmatch

(yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa

kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol

perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan. 1

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa

          Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah besar

cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang

seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP).

Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian

volume.

19

          Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan

koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk

resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko

independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan

bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih

agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk

mencegah kemajuan koagulopati dini.

          Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi akhir jika

koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping pengobatan lainnya. Ini

merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter

dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada

baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara

signifikan berkurang (kira-kira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan

ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.

II.10.4 Evaluasi Status Resusitasi

          Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-tanda

fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut resusitasi.

Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal,

menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral

(CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan

yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan

untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini

menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satu-

satunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan

basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini

secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan

resusitasi yang tidak mencukupi. 1

II.10.5 Algoritma Pengobatan dan Angka Ketahanan hidup 1 

20

Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan secara

dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol tersebut dicari untuk

dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60% kematian pada seri ini, dihubungkan

secara keseluruhan atau sebagai bagian dari fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-

nya dipertimbangkan sebagai penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau

memiliki bukti klinis hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat

fraktur pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit.

          Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan fraktur pelvis

secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan hidup yang cepat. Bosch dkk

melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada pusat trauma mengarah pada menurunnya

mortalitas sehubungan dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl

dkk melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli bedah

ortopedi di departemen gawat-darurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan C-clamp agresif

berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara signifikan, dari 31% mejadi 15% (P <

0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman institusional evidence-based terdiri atas ikatan pelvis

dan pemeriksaan abdomen dalam 15 menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi

ortopedi invasif minimal dalam 24 jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi

PRC 24-jam dari 16 ± 2 U menjadi 11 ± 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas dari 35%

menjadi 7% (P < 0,05).

          Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk diikuti. Satu

alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai penyebab syok dan banyaknya

sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur pelvis. Juga, pengobatan cenderung pada

ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang

ditetapkan berdasarkan kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar

protokol-protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk memodifikasi algoritma-

algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan staf ahli pada masing-masing institusi.

          Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi kami dengan

instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid (gambar 6). Radiografi

21

dada portable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis dan tulang belakang cervical lateral,

diperiksa untuk menyingkirkan sumber kehilangan darah yang berasal dari toraks. Saluran

tekanan vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen terfokus

untuk trauma (focused abdominal sonography for trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif,

pasien dibawa langsung ke ruang operasi untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis

dipasang, dan dilakukan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil

menjalani angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih,

pasien dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan

dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. Jika pasien

membutuhkan transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak

dilakukan, maka harus dilakukan. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan

semua intervensi lainnya.

          Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat. Jika pasien

secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua, pasien dibawa ke ruang

operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap

tidak stabil mendapat angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas

hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan

saat ini. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian angiografi,

jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan. 1

22

Gambar 6. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang muncul dengan instabilitas

hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang

dimulai di ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha

dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien

melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal sonography for trauma, PRBCs = packed

red blood cells.

II.11 Komplikasi 2

a. Nyeri sacroiliaca sering ditemukan setelah fraktur pelvis tak stabil dan kadang

memerlukan artrodesis pada sendi sacroiliaca. Cidera saraf skiatika biasanya sembuh

tetapi kadang memerlukan eksplorasi. Cidera uretra berat bisa menimbulkan striktur

uretra, inkontinensia dan impotensi (Apley, 1995)

b. Ruptur uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang pelvis. Fraktur yang

mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan pada cincin pelvis dapat

menyebabkan robekan uretra pars prostate-membranacea. Fraktur pelvis dan robekan

pembuluh darah yang berada di kavum pelvis menyebabkan hematom yang luas di

23

kavum retzius sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut robek, prostat beserta

buli-buli akan terangkat ke cranial. (Purnomo, 2007)

Ruptur uretra anterior , cidera dari luar yang sering menyebabkan kerusakan uretra

anterior adalah straddle injury (cidera selangkangan) yaitu uretra terjepit diantara tulang

pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa kontusio dinding

uretra, rupture parsial, atau rupture total dinding uretra. Pada kontusio uretra pasien

mengeluh adanya perdarahan per-uretram atau hematuria. Jika terdapat robekan pada

korpus spongiosum, terlihat adanya hematom pada penis atau butterfly hematom. Pada

keadaan ini seringkali pasien tidak dapat miksi. (Purnomo, 2007)

c. Fraktur Acetabulum

Terjadi apabila kaput femoris terdorong ke dalam pelvis. Fraktur ini menggabungkan

antara kerumitan fraktur pelvis dengan kerusakan sendi. Ada 4 tipe fraktur acetabulum

yaitu fraktur kolumna anterior, fraktur kolumna posterior, fraktur melintang, dan fraktur

kompleks. Gambaran klinis agak tersamarkan krena mungkin terdapat cidera lain yang

lebih jelas/mengalihkan perhatian dari cidera pelvis yang lebih mendesak. Pemeriksaan

foto sinar-X perlu dilakukan (Apley, 1995)

d. Cidera pada sacrum dan koksigis

Pukulan dari belakang atau jatuh pada tulang ekor dapat mematahkan sacrum dan

koksigis. Terjadi memar yang luas dan nyeri tekan muncul bila scrum atau koksigis

dipalpasi dari belakang atau melalui rectum. Sensasi dapat hilang pada distribusi saraf

sakralis. Sinar-X dapat memperlihatkan ; 1) fraktur yang melintang pada sacrum dapat

disertai fragmen bawah yang terdorong ke depan, 2) fraktur koksigis kadang disertai

fragmen bagian bawah yang menyudut ke depan, 3) suatu penampilan normal kalau

cidera hanya berupa strain pada sendi sacrokoksigeal.(Apley, 1995)

Kalau fraktur bergeser, sebaiknya docoba untuk melakukan reduksi. Fragmen bagian

bawah dapat terdesak ke belakang lewat rectum. Reduksi bersifat stabil, suatu keadaan

yang menguntungkan. Pasien dibiarkan untuk melanjutkan aktifitas normal, tetapi

dianjurkan untuk menggunakan suatu cincin karet atau bantalan Sorbo bila duduk.

Kadang disertai keluhan sulit kencing.(Apley, 1995). Nyeri yang menetap, terutama saat

24

duduk sering ditemukan setelah cidera koksigis. Kalau nyeri tidak berkurang dengan

penggunaan bantalan Sorbo atau oleh injeksi anastetik lokal kedalam daerah yang nyeri,

dapat dipertimbangkan eksisi koksigis (Apley, 1995).

RUPTUR URETRA

A. Anatomi Uretra

Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju

lingkungan luar. Uretra dimulai dari rongga pelvis dan terletak ekstraperitoneal (Snell,

2008).

.

Gambar 1. Letak Uretra Terhadap Pelvis

Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki

panjang sekitar 20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan

kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 3.5 cm. selain itu, Pria 25

memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan

bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter),

sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung

kemih dan bersifat volunter) (Rosesntein et al, 2006).

Gambar 2. Perbedaan Uretra Maskulina dan Feminina

1. Uretra Maskulina

26

Gambar 3. Letak Uretra Maskulina

Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 20-25cm. Selain berfungsi untuk

mengeluarkan urin, uretra masculine juga berfungsi untuk mengeluarkan cairan semen.

Uretra masculine terbagi atas 3 bagian , yakni (Tobias et al, 2008; Snell, 2008) :

a. Uretra pars prostatica

Sesuai dengan namanya, uretra pars prostatica ini terletak di dalam Prostat.

Uretra pars prostatica memiliki panjang sekitar 3 cm. Uretra pars prostatika

merupakan bagian uretra dengan diameter yang pali besar. Didalam prostat, uretra

menerima sepasang ductus ejaculatorius yang merupakan penyatuan antara ductus

ekskretorius dan ductus vesicular seminalis. Selain itu, uretra pars prostatica juga

mendapatkan muara dari ductus-ductus dari kelenjar prostat itu sendiri (Tobias et al,

2008).

b. Uretra pars membranosa

Uretra pars membranosa merupakan bagian uretra yang paling pendek (1-

2cm) dan juga paling sempit. Uretra pars membranosa terbentang dari apex prostat

sampai ke bulbus penis. Uretra pars membranosa terletak di dalam diaphragma pelvis

(diaphragma urogenitalia). Uretra bagian ini berdinding tipis dan dikelilingi oleh m.

sfingter uretra externa dan merupakan bagian yang mudah robek saat dilakukan

kateterisasi urin.

27

Urethra

c. Uretra pars spongiosum

Uretra pars spongiosa merupakan bagian uretra yang terpanjang (15 cm)

terletak di dalam bulbus penis, corpus spongiosum dan glans penis. Uretra pars

spongiosa juga dimuarai oleh ductus glandula bulbouretralis dan lacuna uretralis

yang merupakan muara dari ductus glandula uretralis. Terdapat 2 buah pelebaran

yakni fossa intrabulbaris (pelebaran pada bulbus penis) dan fossa navicularis

(pelebaran pada glans penis). Uretra pars spongiosa kemudian akan berakhir pada

Orificium (ostium) uretra externum (OUE) pada glans penis (Tobias et al, 2008).

Berdasarkan letaknya, uretra di bagi menjadi dua bagian yang dibatasi oleh

diafragma urogenital. Terdiri dari:

a. Uretra Anterior

Terdiri dari uretra pars prostatika dan pars membranosa

b. Uretra Posterior

Terdiri dari uretra pars spongiosum yang meliputi pars bulbaris, pars spongiosa dan

pars glandis (Tobias et al, 2008; Snell, 2008).

Gambar 4. Potongan Melintang Penis

Penis terdiri dari 3 rongga yang berisi jaringan spons, dua rongga yang terletak

dibagian atas berupa jaringan spons korpus karvenosa. Satu rongga lagi berada dibagian

bawah yang berupa jaringan spons korpus spongiosum. 3 Rongga pada penis dibungkus

28

oleh fascia buck. Korpus spongiosum membungkus uretra. Uretra pada penis dikelilingi

oleh jaringan erektil yang rongga-rongganya banyak mengandung pembuluh darah dan

ujung-ujung saraf perasa (Snell, 2008).

Uretra masculine divaskularisasi oleh cabang dari a. vesicalis inferior, a. rectalis

media, dan a. uretralis. Uretra masculine mendapatkan persarafan dari n.pudendus dan

plexus prostaticus.

2. Uretra Feminina

Gambar 5. Letak Uretra Feminina

Uretra pada wanita hanya berukuran 3,75 - 5cm, berbentuk lurus dan mudah

diregangkan. Karena alasan ini pulalah yang menyebabkan wanita sering mengalami

Infeksi Saluran Kemih (ISK). Uretra akan berakhir pada Orificium (Ostium) Uretra

Externum (OUE) pada vestibulum vagina (Snell, 2008; Jung, J et al. 2012).

B. Histologi Uretra

29

Urethra

Gambar 6. Histologi Uretra

Uretra dilapisi oleh sel epitel transisional sesaat setelah keluar dari vesika urinaria.

Selanjutnya sepanjang uretra disusun oleh sel epitel kolumnar komplek. Pada bagian uretra

pars glandis dilapisi oleh epitel squamous kompleks. Terdapat pula kelenjar uretra kecil yang

menghasilkan lendir untuk membantu melindungi sel epitel dari urin yang korosif

(Eroschenko, 2010).

C. Trauma Uretra

1. Definisi

Trauma uretra adalah trauma yang terjadi pada uretra. Secara klinis dibedakan

menjadi trauma uretra anterior dan trauma uretra posterior (Pineiro et al, 2010).

2. Etiologi

Trauma uretra dapat terjadi akibat cedera dari luar (eksternal) dan cedera

iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra.

a. Cedera Eksternal, misalnya : Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis

menyebabkan ruptura uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada

selangkangan atau sering disebut straddle injury dapat menyebabkan ruptur uretra

pars bulbosa.

b. Cedera iatrogenik, misalnya : pemasangan kateter yang kurang hati-hati atau tindakan

operasi trans uretra (Purnomo, 2010).

30

3. Gambaran Klinis

Dicurigai terjadi suatu trauma uretra apabila didapatkan :

a. Adanya perdarahan peruretram. Perdarahan peruretram adalah keluarnya darah dari

meautus uretra eksternum setelah mengalami trauma.

b. Hematuria, yaitu keluarnya urine bercampur darah.

c. Retensio urine, hal ini sering terjadi akibat terjadinya trauma yang berat. Pada

keadaan retensi urin, tidak boleh dilakukan pemasangan kateter karena dapat

menyebabkan kerusakan uretra yang lebih parah.

Diagnosis ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras

melalui uretra (Rosesntein et al, 2006; Purnomo, 2010).

4. Klasifikasi

a. Ruptura Uretra Anterior

Trauma uretra anterior yang terdiri dari uretra pars glanularis, pars pendulans

dan pars bulbosa. Trauma uretra anterior biasanya disebabkan oleh straddle injury

(cedera selangkangan) dan iatrogenik seperti instrumentasi atau tindakan

endoskopik. Jenis kerusakan yang sering terjadi berupa: kontusio dinding uretra,

ruptur parsial maupun ruptur total dinding uretr (Purnomo, 2010).

1) Patologi

Uretra anterior terbungkus dalam corpus spongiosum penis. Sedangkan

corpus spongiosum bersamaan dengan corpora cavernosum dibungkus oleh

fascia buck dan fascia colles. Apabila terjadi ruptur uretra beserta corpus

spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia

buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun

apabila robek terjadi hingga ke fascia buck, ekstravasasi darah dan urin dapat

menjalar hingga ke scrotum atau ke dinding abdomen dengan gambaran seperti

kupu-kupu sehingga sering disebut butterfly hematoma (Rosesntein et al, 2006).

Trauma uretra pars bulbosa terjadi akibat jatuh terduduk atau

terkangkang sehingga uretra terjepit antara objek yang keras, seperti batu, kayu

atau palang sepeda dengan tulang simfisis (Rosesntein et al, 2006).

31

Gambar 7. Mekanisme trauma tumpul pada uretra anterior. A) Ilustrasi Straddle injury dimana uretra terjepit diantara tulang pelvis dengan benda tumpul. B.) trauma uretra anterior hingga terjadi robekan pada fascia buck, menyebabkan perdarahan meluas ke fascia colles (Rosesntein et al, 2006)

2) Diagnosis

a) Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena daerah perineum atau

riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari uretra yang

merupakan gejala penting.

b) Nyeri daerah perineum dan kadang-kadang ada hematom perineal.

c) Retensio urin bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistostomi suprapubik

untuk sementara, sambil menunggu diagnose pasti. Pemasangan kateter uretra

merupakan kontraindikasi.

d) Jika terjadi rupture uretra beserta korpus spongiosum darah dan urin keluar

dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia Buck, dan secara klinis terlihat

hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fasia Buck ikut robek,

ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia Colles sehingga darah

dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu

robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut

butterfly hematoma atau hematoma kupu-kupu.

32

Gambar 8. Butterfly Hematom pada Straddle Injury

e) Dengan pemeriksaan uretrografi retrograd, gambaran ruptur uretra berupa

adanya ekstravasasi kontras di pars bulbosa. Namun pada keadaan kontusio

uretra, biasanya tidak menunjukan adanya ekstravasasi kontras (Purnomo,

2010).

33

Gambar 9. Ekstravasasi kontras di urethra pars bulbaris pada straddle injury

(Ramchandani, 2009).

3) Tindakan

a) Pada Kontusio uretra umumnya tidak memerlukan tindakan khusus.

b) Pada ruptur uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, dapat dilakukan

sistotomi dan pemasangan kateter foley untuk mengalihkan aliran urine.

Kateter dipertahankan hingga 2 minggu, kemudian dievaluasi dengan

pemeriksaan uretrografi hingga dipastikan tidak ditemukan lagi ekstravasasi

kontras maupun striktur uretra.

c) Pada ruptur uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan

anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter

silicon selama 3 minggu.

d) Pada ruptur dengan ekstravasasi urine dan hematom yang luas perlu

dilakukan debridement dan incisi hematoma untuk mencegah terjadinya

infeksi. Apabila luka sudah membaik, baru dilakukan reparasi uretra

e) Apabila terjadi striktur uretra, dilakukan reparasi uretra atau sachse.

(Sjamjuhidajat, Wim De Jong. 2004).

b. Ruptura Uretra Posterior

Penyebab terseringnya adalah akibat fraktur tulang pelvis.

1) Patologi

Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan kerusakan

pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostato membranasea.

Fraktur pelvis dan pembuluh darah yang berada di dalam kavum pelvis

menyebabkan hematoma yang luas di cavum retzius sehingga apabila

ligamentum pubo prostatikum ikut robek, maka prostat dan vesica urinaria akan

terangkat ke atas (Rosesntein et al, 2006).

2) Diagnosis

Gambaran klinis khasnya berupa :

34

a) Perdarahan peruretram adalah gejala yang paling penting dari ruptur uretra

dan sering merupakan satusatunya gejala, yang merupakan indikasi untuk

membuat urethrogram retrograde. Kateterisasi merupakan kontraindikasi

karena dapat menyebabkan infeksi prostatika dan perivesika hematom serta

dapat menyebabkan laserasi yang parsial menjadi total.

b) Retensi urin

c) Pada pemeriksaan rectal touché didapatkan prostat mengapung (floating

prostate) akibat rupture total dari urethra pars membranacea oleh karena

terputusnya ligament puboprostatika (Purnomo, 2010).

3) Klasifikasi

35

Gambar 9. Tipe Ruptur Uretra Posterior (Rosesntein et al, 2006)

Derajat Ruptura uretra posterior berdasarkan Colapinto dan McCollum

(1976) adalah sebagai berikut (Rosesntein et al, 2006):

a) Colapinto I

Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami peregangan

(stretching).

Gambaran uretrogram : Tidak ada ekstravasasi, uretra tampak memanjang.

36

Gambar 10. Gambaran urethra normal pada urethrogram retrograde

(Ramchandani, 2009)

Gambar 11. Gambaran urethra posterior yang teregang tetapi masih intak

tanpa adanya ekstravasasi kontras pada uretrogram ascending

(Ramchandani, 2009).

b) Colapinto II

Uretra posterior terputus pada perbatasan prostato membranasea, sedagkan

diafragma urogenitalia masih utuh.

Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih

terbatas pada diafragma urogenital.

37

Gambar 12. Tampak ekstravasasi kontras (panah putih) dengan gambaran

diafragma urogenital yang masih intak (panah hitam).

Menunjukan trauma urethra posterior (Ramchandani, 2009).

c) Colapinto III

Uretra posterior, diafragma urogenital dan uretra pars bulbosa proksimal

ikut rusak.

Gambaran uretrogram : menunjukkan ekstravasasi kontras meluas sampai

bawah diafragma urogenital hingga ke perineum.

Gambar 13. Gambaran ekstravasasi kontras meluas sampai bawah diafragma

urogenital hingga ke perineum (Ramchandani, 2009).

4) Tindakan

Ruptura uretra posterior biasanya diikuti oleh trauma mayor pada organ

lain (abdomen dan fraktur pelvis) yang menyebabkan perdarahan hebat, sehingga

pada bidang urologi diminimalkan tindakan invasif agar tidak menambah

perdarahan terutama pada cavum pelvis dan prostat. Perdarahan tersebut hanya

akan memperparah kerusakan uretra (Rosesntein et al, 2006).

38

Ruptur uretra posterior ketika tidak disertai cedera organ intraabdomen

maka sebagai penanganan akut, dilakukan sistotomi untuk diversi urine. Setelah

pasien stabil, dilakukan pemasangan kateter uretra melalui uretroskopi agar kedua

ujung uretra yang terpisah dapat saling didekatkan. Tindakan tersebut dilakukan

sebelum 1 minggu pasca rupture (2-3 hari). Kateter uretra dipertahankan selama

14 hari. Setelah itu dapat dilakukan uretroplasti setelah 3 bulan pasca ruptur,

dimana jaringan parut pada uretra diperkirakan sudah stabil untuk tindakan

rekonstruksi (Purnomo, 2010; Rosesntein et al, 2006).

Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi

dalam waktu kurang dari 1 minggu, sebaiknya dipasang kateter secara langsir

(rail roading) (Rosesntein et al, 2006).

Gambar 14. Teknik kateterisasi railroading (Rosesntein et al, 2006)

39

Keterangan (rail roading) :

A. Selang karet atau plastik diikat ketat pada ujung sonde dari meatus uretra.

B. Sonde uretra pertama masuk dari meatus eksternus dan sonde kedua melalui

sistostomi yang dibuat lebih dahulu saling bertemu, ditandai bunyi denting

yang juga dirasa di tempat rupture.

C. Selanjutnya sonde dari uretra masuk ke kandung kemih dengan bimbingan

sonde dari buli-buli.

D. Sonde dicabut dari meatus uretra.

E. Sonde dicabut dari kateter Nelaton dan diganti dengan ujung kateter Foley

yang dijepit pada kateter Nelaton

F. Ujung kateter ditarik kearah buli-buli sehingga ujung kateter Foley muncul di

buli-buli.

G. Kateter Nelaton dilepas, kemudian balon dikembangkan dan diklem.

H. Selanjutnya dipasang kantong penampung urin dan traksi ringan sehingga

balon kateter Foley tertarik dan menyebabkan luka rupture merapat. Insisi di

buli-buli ditutup.

(Rosesntein et al, 2006)

5. Komplikasi Trauma Uretra

a. Striktur uretra

b. Disfungsi ereksi : akibat kerusakan saraf parasimpatis atau insufisiensi arteria yang

disebabkan oleh kerusakan neurovaskuler disekitar uretra saat terjadi trauma.

c. Inkontinensia urine: akibat kerusakan sfingter uretra eksterna yang disebabkan oleh

kerusakan neurovaskuler disekitar uretra saat terjadi trauma (Purnomo, 2010).

6. Prognosis

Prognosis pada pasien dengan ruptur uretra ketika penanganan awal baik dan

tepat akan lebih baik. Ruptur uretra anterior mempunyai prognosis yang lebih baik ketika

diketahui tidak menimbulkan striktur uretra karena apabila terjadi infeksi dapat membaik

40

dengan terapi yang tepat. Sedangkan pada ruptur uretra posterior ketika disertai dengan

komplikasi yang berat maka prognosis akan lebih buruk (Palinrungi. 2009).

DAFTAR PUSTAKA

1. Ningrum, Manajemen Perdarahan pada fraktur pelvis yang mengancam jiwa. Diakses

dari:www.ejournal.unid.ac.id/manajemen%20%20perdarahan%padafrakturpelvis

%20mengancam%20jiwa%.html.

2. Fraktur pelvis. http://www.scribd.com/doc/52302577/24/Fraktur-tulang-panggul

3. Sulistyanto R. Fraktur Pelvis. 2010. Diakses dari : http://fraktur%20pelvis/fraktur-

pelvis.html

4. Jong Wim de. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Penerbit EGC. 2004: 874-6

5. Advanced Trauma Life Support. Seven edition. American college of surgeons. 2004;

252-253

Eroschenko, V. 2010. Sistema reproduksi, sistema urinaria dalam Atlas Histologi di Fiore. Jakarta : EGC. 263-293

Jung, J et al. 2012. Clinical and Functional Anatomy of the Uretral Sphincter. International Neurourology Journal. Int Neurourol J. 16 (3) : 102-106

Palinrungi AM. Lecture notes on urological emergencies & trauma. Makassar: Division of Urology, Departement of Surgery, Faculty of Medicine, Hasanuddin University; 2009. p. 131-6

41

Pineiro, L. et al. 2010. EAU Guidlines on Uretral Trauma. Journal of European Urology. 57: 791- 803

Purnomo, B. 2010. Trauma Uretra dalam Dasar-dasar Urologi. Jakarta : Sagung Seto. 99-101

Ramchandani P and Buckler P. 2009. Imaging of Genitourinary Trauma. American Journal of Roentgenology. AJR Vol. 192, Issue 6: 12-17

Rosesntein, D et al. 2006. Diagnosis and Classification of Uretral Injuries. America Journal of Urology Clinic. Urol Clin N Am 33: 73-85.

Sjamsuhidajat R, Jong WM. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2.Jakarta : EGC; 2005. p. 770-2

Snell, R et all. 2008. Anatomi Isi Cavitas Pelvis dan Sistem Reproduksi dalam Anatomi Klinik . Edisi 6. Jakarta: EGC. 357-396

Tobias, S et al. 2008. The Lenght of Male Uretra. International Brazil Journal of Urology. Int.braz j urol. Vol 34. No 4: 43-48

42