TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan … · Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan … · Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian...
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian
Istilah penyuluhan pertama kali dipublikasikan oleh James Stuart (1867-1868)
dari Trinity College (Cambrigde) pada saat memberikan ceramah kepada
perkumpulan wanita dan pekerja pria di Inggris Utara. Pada Tahun 1873 Secara resmi
sistem penyuluhan diterapkan di Cambridge, kemudian diikuti Universitas London
(1876) dan Universitas Oxfor (1878) dan menjelang tahun 1880 gerakan penyuluhan
mulai melebarkan sayapnya ke luar kampus (van den Ban & Hawkins, 1999).
Di Indonesia kegiatan penyuluhan pertanian mulai dikembangkan sejak tahun
1905 bersamaan dengan dibukanya Departemen Pertanian (Department van
Landbouw) oleh pemerintah Hindia Belanda, institusi yang bentuk tersebut antara lain
memiliki tugas melakukan kegiatan penyuluhan pertanian, sedang pelaksanaannya
dilakukan oleh pejabat Pangreh Praja (PP). Pada tahun 1910 dibentuk Dinas
Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichting Dienst), tetapi baru benar-benar
berperan sebagai lembaga penyuluhan pertanian yang mandiri sejak diubah menjadi
Dinas Pertanian Propinsi terlepas dari PP pada tahun 1918 (Mardikanto, 1993).
Di masa kemerdekaan, kegiatan penyuluhan telah dimulai dengan
dibentuknya Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) kemudian dilanjutkan
dengan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dengan metode Latihan dan Kunjungan
(Mardikanto, 2009). Penyuluh sebagai ujung tombak pembangunan pertanian di era
Bimas telah memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi
pertanian khususnya produksi padi, sehingga pada tahun 1984 pemerintah Republik
Indonesia memperoleh penghargaan dari FAO sebagai Negara yang berhasil
mencapai swasembada beras (Suprapto, 2009).
Memasuki dasawarsa 1990-an semakin dirasakan menurunnya peran
penyuluhan pertanian di Indonesia yang dikelola pemerintah (Departemen
Pertanian). Hal ini terjadi karena selain terjadi perubahan struktur organisasi
penyuluhan, juga semakin banyak pihak-pihak yang melakukan penyuluhan pertanian
(perguruan tinggi, swasta, LSM dll) serta semakin beragamnya sumber-sumber
informasi/inovasi yang mudah diakses oleh petani.
Pada tahun 1995 terjadi perubahan struktur kelembagaan penyuluhan
pertanian melalui SKB Mendagri-Mentan tentang pembentukan Balai Informasi
8
Penyuluhan Pertanian (BIPP) di setiap Kabupaten. Namun demikian, kinerja
kelembagaan ini pun banyak menuai kritik karena dianggap kurang berkoordinasi
dengan dinas-dinas teknis terkait Mardikanto (2009). Kondisi seperti ini semakin
diperburuk dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, dimana peran penyuluh pertanian dalam mendukung program
pembangunan pertanian mengalami penurunan yang sangat drastis (Suprapto, 2009).
Mencermati kondisi seperti ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang
Revitalisasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang
dicanangkan pada Tanggal 15 Juni 2005 di Purwakarta oleh Presiden Republik
Indonesia, hingga pada tahun 2006 berhasil disahkannya Undang-undang Nomor 16
Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai
landasan kebijakan, program, kelembagaan, ketenagaan, penyelenggaraan,
pembiayaan, dan pengawasan penyuluhan pertanian (Warya, 2008).
Padmowihardjo (2001) berpendapat bahwa penyuluhan pertanian sebagai
metode pendidikan orang dewasa (andragogi) terdapat falsafah untuk membuat saling
“asah-asih-asuh” dalam suatu interaksi warga belajar, penyuluh sebagai fasilitator dan
motivator yang mampu mendorong petani untuk mandiri dan berswadaya. Penyuluh
dan sasaran mengembangkan hubungan saling timbal balik dan membantu dalam
kegiatan penyuluhan. Penyuluhan Pertanian adalah suatu usaha pendidikan non
formal untuk keluarga-keluarga yang bergerak di bidang pertanian, yang cara, bahan
dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan, baik dari
sasaran, waktu maupun keadaan sehingga kemampuan mereka untuk beradaptasi
terhadap perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat
(Sumardjo, 1999).
Dalam konteks komunikasi dan inovasi, penyuluhan menurut Leeuwis (2004)
adalah serangkaian intervensi komunikatif yang ditanamkan, yang diartikan antara
lain untuk membangun dan/atau mendorong inovasi yang seharusnya membantu
menyelesaikan situasi problematis (biasanya multi-aktor). Sumardjo (1999)
mengatakan bahwa penyuluhan merupakan suatu intervensi komunikasi yang
diselenggarakan oleh suatu lembaga untuk menimbulkan (induce) perubahan kualitas
perilaku secara sukarela (voluntare change) bagi kesejahteraan masyarakat.
Menurut Margono Slamet (Sumardjo, 1999) bahwa, seorang penyuluh harus
menghayati dan berpegang pada falsafah dasar penyuluhan yaitu : (1) penyuluhan
adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3)
9
penyuluhan adalah proses kontinyu. Dalam hal ini terkandung makna filosofi yaitu
membantu orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri melalui
pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya (help people to help
themselves through education means to improve their level of living). Oleh Karena
itu penyuluhan pertanian sebagai upaya membantu masyarakat agar mereka dapat
membantu dirinya dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia (Warya, 2008).
Nasution (2004) menyatakan, penyuluhan pertanian adalah usaha membantu
petani agar senantiasa meningkatkan efisiensi usaha tani. Dalam pengertian
“membantu” masyarakat agar dapat membantu dirinya tersebut terkandung pokok-
pokok pikiran sebagai berikut; (1) penyuluhan pertanian harus mengacu pada
kebutuhan sasaran yang akan dibantu, dan bukannya sasaran harus menuruti
keinginan penyuluh pertanian, (2) penyuluhan pertanian mengarah kepada terciptanya
kemandirian, bukan membuat sasaran semakin menggantungkan diri kepada penyuluh
pertanian, (3) penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup
dan kesejahteraan sasaran, dan bukan lebih mengutamakan target-target fisik yang
sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya.
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, demokrasi dan kontinyu menurut
Sumardjo (1999) memiliki makna bahwa, (1) penyuluh harus dapat membawa
perubahan manusia dalam aspek-aspek perilaku, baik kognitif, afektif maupun
psikomotoriknya, (2) penyuluh harus mampu mengembangkan suasana bebas, untuk
mengembangkan kemampuan masyarakat dalam hal berfikir, berdiskusi,
menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama dibawah
bimbingan orang-orang diantara mereka, sehingga berlaku penyelesaian dari mereka,
oleh mereka dan untuk mereka, dan (3) penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani
kearah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan
kepentingan yang senantiasa berkembang, yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan.
Sumardjo (1999), bahwa kebijakan sistem penyuluhan yang dominan dengan
kepentingan pusat, ternyata berdampak kurang efektif dalam pemberdayaan
masyarakat. Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa sistem penyuluhan yang
partisipatif dan adanya konvergensi kepentingan masyarakat dan pemerintah ternyata
berdampak memberdayakan. Banyak praktek-praktek penyuluhan yang menyimpang
dari filosofi penyuluhan (secara non partisipatif). Akibatnya penyuluhan tidak
berfungsi memberdayakan bahkan sebaliknya cenderung memperdaya masyarakat.
Praktek penyuluhan yang menyimpang tersebut disebabkan karena penyuluhan
10
dilaksanakan oleh orang-orang yang sebenarnya kurang memiliki kompetensi
profesional penyuluh (Sumardjo, 2010).
Margono Slamet (Mardikanto, 1993), bahwa pentingnya kebijakan
desentralisasi penyuluhan pertanian adalah untuk menggantikan sistem penyuluhan
yang bersifat regulatif sentralistis ke arah sistem penyuluhan yang fasilitatif
partisipatif. Selanjutnya menurut Margono Slamet (2001), bahwa penyelenggaraan
penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, yang antara lain memerlukan reorientasi
: (1) dari pendekatan instansi ke pengembangan kualitas kinerja individu penyuluh;
(2) dari pendekatan top down ke bottom up; (3) dari hierarkhi kerja vertikal ke
horizontal; (4) dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis; dan (5) dari
sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan.
Penyuluh Pertanian
Berdasarkan Undang undang Nomor 16 Tahun 2006, penyuluh pertanian,
penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta maupun
swadaya yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga Negara
Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Sedangkan Penyuluh pertanian
sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Bersama Mendagri-Mentan Nomor :
54 Tahun 1996 dan Nomor : 301/Kpts/LP.120/4/96 Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, bahwa Penyuluh Pertanian adalah Pegawai
Negeri Sipil yang diberi tugas melakukan kegiatan penyuluhan pertanian secara
penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian.
Berkaitan dengan penyuluhan sebagai pendidikan non-formal di bidang
pertanian, penyuluh pertanian tidak lain sebagai aparatur pertanian yang berfungsi
sebagai pendidik non formal pada masyarakat petani-nelayan/pedesaan. Menurut
Abbas (1999) bahwa penyuluh pertanian dapat menampilkan dirinya sebagai
penasehat, komunikator dan motivator dalam rangka proses alih ilmu dan teknologi,
pembinaan ketrampilan serta pembentukan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai dasar
dan kebutuhan dinamik yang membangun.
Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai
pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan penyuluhan
kepada petani – nelayan akan pentingnya berusaha tani dengan memperhatikan
kelestarian dari sumber daya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan kepada
petani – nelayan akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan.
11
Penyuluh sebagai motivator berperan mendorong petani mandiri melakukan
perubahan dengan menggunakan ide baru untuk memperbaiki taraf hidupnya.
Penyuluh adalah seorang professional garis depan yang berinisiatif melakukan
perubahan, membantu masyarakat sasaran melaksanakan aktivitas usahataninya,
memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru, mendorong partisipasi dan
mendukung kepentingan masyarakat sasaran Martinez (Mardikanto, 2009).
Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan
benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan
penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus mengalir, sistem
penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan
manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya, 2008).
Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa, penyuluh berperan dalam
berbagai hal yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) membina
hubungan untuk perubahan, (3) mengidentifikasi dan menganalisa masalah, (4)
menumbuhkan rencana perubahan pada sasaran, (5) merencanakan rencana
perubahan, dan (6) menstabilkan perubahan sehingga sasaran mampu
mengembangkan dirinya.
Karakteristik Internal Penyuluh
Sumardjo (1999) membagi faktor internal seperti : tingkat kekosmopolitan,
pengalaman bekerja sebagai penyuluh, motivasi, persepsi, kesehatan dan karakteristik
sosial ekonomi. Samson (Rakhmat, 2001) mengemukakan bahwa karakteristik
individu merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek
kehidupan dan lingkungannya.
Padmowiharjo (2000) menyebutkan beberapa faktor kararakteristik individu
yang mempengaruhi proses belajar yaitu : umur, jenis kelamin, kesehatan, sikap
mental, kematangan mental, kematangan fisik, dan bakat. Spencer dan Spencer (1993)
mengatakan bahwa karakteristik individu yang dapat membentuk kompetensi dan
menciptakan kinerja yang baik adalah: (1) motif individu, (2) ciri-ciri fisik, (3) konsep
diri, (4) pengetahuan, dan (5) kemampuan teknis.
Rogers dan Shoemaker (1971) menegaskan bahwa sifat-sifat penting
(karakteristik personal) agen pembaharu yang berperan dalam adopsi inovasi adalah :
(1) kredibilitas, yang merujuk pada kompetensi, tingkat kepercayaan, dan
kedinamisan agen pembaharu yang dirasakan oleh masyarakat sasaran, (2) kedekatan
12
hubungan dan rasa memiliki antara agen pembaharu masyarakat sasaran, (3) sifat-sifat
pribadi yang dimiliki seperti kecerdasan, rasa empati, komitmen, tingkat perhatian
pada petani, kemampuan komunikasi, keyakinan dan orientasinya pada pembangunan.
Klausmeier dan Goodwin (Huda, 2010) menyatakan bahwa umur merupakan
salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan
berpengaruh terhadap minatnya pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur
seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar. de Cecco
(Mardikanto, 1993) mengatakan bahwa umur akan berpengaruh kepada tingkat
kematangan seseorang (baik kematangan fisik maupun emosional) yang sangat
menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras dengan hal tersebut, Vacca dan
Walker (Mardikanto, 2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan bertambahnya
umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya yang merupakan
semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar lebih lanjut.
Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman kerja. Pengalaman adalah segala
sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang
menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan, dan kompetensi. Pengalaman
seseorang bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pengalaman seseorang dapat
diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang bekerja dalam bidang
yang dijalani (Bandura, 1986).
Menurut Padmowihardjo (1994) pengalaman adalah suatu kepemilikian
pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
Pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama
hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha
menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses
belajar. Pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap perilaku
seseorang. Gagne (1967) mengatakan bahwa, pengalaman adalah akumulasi dari
proses belajar yang dialami seseorang, kemudian menjadi pertimbangan-
pertimbangan baginya dalam menerima ide-ide baru.
Pengalaman kerja menyediakan tidak hanya pengetahuan tetapi juga kegiatan
praktek langsung dalam bidangnya. Padmowihardjo (1994) menambahkan bahwa
pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan, akan
berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami
keberhasilan dalam proses belajar, maka dia akan memiliki perasaan optimis akan
keberhasilan dimasa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah mengalami
13
pengalaman yang mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk
dapat berhasil.
Secara sederhana mengatakan bahwa, hakekat pendidikan adalah untuk
meningkatkan kemampuan manusia agar dapat mempertahankan bahkan memperbaiki
mutu keberadaannya agar menjadi semakin baik. Gilley dan Eggland (1989)
menjelaskan bahwa, konsep behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan
menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan
pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan
efisiensi organisasi.
Margono Slamet, 1992 (Bahua, 2010), bahwa semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan ketrampilan,
efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik
dan lebih menguntungkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bahua (2010)
menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi
kinerja penyuluh, karena dengan pendidikan formal seorang penyuluh dapat
meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Pelatihan menurut American Society for Tranning and Development
sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2005) menyatakan bahwa pelatihan dan
pengembangan merupakan aspek integral dalam area sumberdaya manusia. Hickerson
dan Middleton (1975) mendefenisikan pelatihan adalah suatu proses belajar,
tujuannya untuk mengubah kompetensi kerja seseorang sehingga berprestasi lebih
baik dalam melaksanakan pekerjaannya. Menurut Padmowihardjo (2004), pendidikan
dan latihan (diklat) adalah proses belajar yang dirancang untuk mengubah kompetensi
kerja seseorang sehingga dia dapat berprestasi lebih baik dalam jabatannya.
Pelatihan dilaksanakan sebagai usaha untuk memperlancar proses belajar
seseorang, sehingga bertambah kompetensinya melalui peningkatan pengetahuan,
ketrampilan dan sikapnya dalam bidang tertentu guna menunjang pelaksanaan
tugasnya (Bahua, 2010). Selanjutnya Padmowihardjo (2004) menyatakan bahwa ada
tiga kondisi yang memungkinkan seseorang memerlukan pelatihan yakni; (1) bila
seseorang tidak dapat mengerjakan pekerjaan atau tugas sehari-hari, baik seluruhnya
maupun sebagian, (2) bila seseorang mendapat tambahan tugas baru yang sebagian
atau sama sekali asing baginya, dan (3) bila seseorang ditempatkan dalam jabatan
yang baru yang memerlukan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang baru.
14
Motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang menyebabkan seseorang
berperilaku tertentu, yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan, keinginan,
ataupun minat. Padmowihardjo (1994) motivasi merupakan usaha yang dilakukan
manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan. Bandura
(1986) menjelaskan bahwa motivasi belajar merupakan gabungan antara pendekatan
behavioral yang menekankan pada outcomes dari perilaku (motivasi ekstrinsik)
dengan pendekatan kognitif yang melihat dampak belajar pada keyakinan seseorang
(motivasi intrinsik).
Motivasi internal, yaitu komitmen tinggi dan tanggungjawab terhadap
pekerjaan, adalah merupakan faktor pendorong utama bagi penyuluh untuk tetap
memiliki komitmen dalam mencari informasi untuk menyelesaikan berbagai masalah
peternak (Hubeis, 2008). Motivasi kognitif dalam mencari informasi merupakan unsur
penting yang memotivasi penyuluh untuk selalu memperbaiki kinerjanya (Suryantini,
2003),
Menurut Woolfolk, 1993 ( Huda, 2010 ) seseorang akan terus bekerja sampai
tujuannya tercapai. Jika sumber motivasi tersebut tidak ada, maka motivasi untuk
bekerja mencapai tujuan tersebut tidak akan ada. Dengan demikian, motivasi terkait
dengan kebutuhan atau harapan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara umum,
motivasi diartikan sebagai hal-hal yang mendasari kenapa seorang penyuluh pertanian
mau melakukan atau berprofesi sebagai seorang penyuluh pertanian.
Setiap individu cenderung melakukan sesuatu karena dilatarbelakangi oleh
tingkat motivasinya. Tingkat motivasi sangat dipengaruhi oleh motif yang
berlandaskan pada sejauhmana kebutuhannya dapat terpenuhi. Jadi seorang penyuluh
pertanian yang mempunyai motivasi yang tinggi akan berdampak pada kinerja yang
tinggi pula dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan oleh lembaga atau
organisasinya. Kenaikan pangkat sering terhambat dan pola karir yang tidak jelas
dapat mengurangi motivasi dan kinerja para penyuluh pertanian untuk bekerja lebih
baik dan seringkali menyebabkan frustasi (Margono Slamet, 2010).
Persepsi adalah proses yang berkaitan dengan petunjuk inderawi dan
pengalaman masa lampau yang relevan untuk memberi gambaran terstruktur dan
bermakna pada suatu situasi tertentu. Sangadji (2010) mengatakan bahwa setiap orang
memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan, motif dan minat sehingga persepsi tentang
sesuatupun berbeda menurut kebutuhan, motif, minat dan latar belakang masing-
masing. Oleh karena itu, diperlukan pengertian dan pemahaman yang jelas tentang
15
persepsi seseorang terhadap obyek yang dipersepsikannya. Hasil penelitian Hubeis
(2008) mengemukakan bahwa, antara pekerjaan dan produktivitas kerja penyuluh
bernilai positif. Artinya semakin tinggi sikap positif dan komitmen penyuluh terhadap
pekerjaan maka produktivitas kerjanya pun akan semakin tinggi.
Leeuwis (2004) mengemukakan bahwa persepsi dan pengetahuan sangat
terkait dengan konsep informasi. Persepsi memberitahu seseorang tentang pernyataan
tertentu, yang merupakan informasi. Berkaitan dengan persepsi sorang penyuluh
terhadap tugasnya, bahwa penyuluh yang memiliki pengetahuan dan pemahaman
tentang tugas serta manfaat yang diperoleh dari tugas tersebut, maka mereka akan
melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya.
Peran media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet
sangat penting dalam meyampaikan informasi kepada masyarakat. Media tersebut
selain untuk sumber informasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan
perasaan kepada orang lain (van den Ban dan Hawkins, 1999). Dengan media
pertukaran interpersonal lebih langsung untuk sinkronisasi diantara pihak-pihak yang
berkomunikasi dapat terjadi, yakni media dimana pengirim dan penerima dapat
dengan mudah berubah peran (Leeuwis, 2004).
Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan sangat diperlukan berbagai
sumberdaya, termasuk media massa. Media masa diperlukan karena dapat
menimbulkan suasana yang kondusif bagi pembangunan dan dapat memotivasi
masyarakat serta menggerakan warga masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam
pembangunan (Amri Jahi, 2008). Padmowihardjo (1994) hubungan interpersonal
merupakan kebutuhan setiap individu, karena pada dasarnya manusia memiliki
naluriah untuk berkelompok dengan manusia lainnya. Melalui interaksi dengan
individu lain seseorang akan dapat berkembang untuk menunjukan eksistensi dirinya.
Margono Slamet (2010) mengatakan bahwa, dalam kegiatan penyuluhan,
seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan orang lain sehingga tercipta
komunikasi yang baik, dimana komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat
menimbulkan hubungan timbal balik (feedback). Menurutnya beberapa kemampuan
yang harus dimiliki seseorang dalam membangun hubungan dengan orang lain yakni;
(1) kemampuan berinteraksi, (2) kapasitas untuk percaya pada orang lain, (3)
bersahabat, (4) demokratis atau menghargai pendapat orang lain, (5) modern/terbuka
untuk hal-hal yang baru, (6) tidak berprasangka, (7) bertoleransi.
16
Pengertian kelompok menurut Johnson & Johnson (Margono Slamet dan
Sumardjo, 2010) bahwa sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang
berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari
keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain
yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan
secara positif dalam mencapai tujuan bersama.
Kelompok tani, menurut Departemen Pertanian (1980) sebagaimana dikutip
oleh Mardikanto (1993) diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani,
yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang
terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan
kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang
Kontak tani.
Menurut Margono Slamet (2001) bahwa salah salah satu kelemahan
penyelenggaraan penyuluhan yang muncul pada periode 1986-1991 jumlah kelompok
binaan penyuluh yang semula sekitar 16 kelompok dengan luas wilayah kerja
penyuluh meliputi tiga sampai empat Desa. Karena jangkauan geografis dan
sosiologisnya makin luas, maka jumlah kelompok menjadi menurun sekitar 5 - 8
kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif intensif oleh penyuluh pertanian
lapangan (PPL). Artinya tingkat kinerja penyuluh pertanian dikatakan baik apabila
penyuluh tersebut mampu membina lima sampai delapan kelompok tani dalam satu
wilayah kerja.
Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik internal
tersebut, maka dapat disintesakan/ disimpulkan bahwa karakteristik internal penyuluh
merupakan sifat-sifat yang dimiliki seorang penyuluh pertanian yang berhubungan
dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, dengan faktor-faktor karakteristik
meliputi; umur, masa kerja, pendidikan formal, pelatihan, Motivasi, persepsi terhadap
tugas, pemanfaatan media, hubungan interpersonal, dan jumlah kelompok yang
dibina.
Karakteristik Eksternal Penyuluh
Sumardjo (1999) mengatakan selain faktor internal, faktor eksternal juga
mempengaruhi kesiapan penyuluh dalam mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Menurutnya, faktor eksternal tersebut meliputi; dukungan kelembagaan penyuluhan,
17
sistem nilai, sarana informasi/inovasi terjangkau, potensi lahan dan dukungan
lembaga pelayanan.
Banyak pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, bahwa pada periode
1991-1996 terjadi stagnasi atau kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertannian,
bahkan sebagian mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian (Margono
Slamet, 2001). Menurutnya bahwa administrasi kepegawaian pada masa ini dikelola
secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang menyebabkan perbedaan
perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya.
Sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya
administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward
yang jelas, promosi jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan
pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang
tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo, 2007).
Miles, 1975 (http://h0404055.wordpress.com), menegaskan bahwa dari aspek
organisasi, permasalahan menajemen yang dihadapi penyuluh adalah adanya
perubahan kebijakan mengenai penyelenggaraan penyuluhan, sistem pembinaan dan
profesionalisme penyuluh melalui butir tugas pokok dengan angka kreditnya,
restrukturisasi kelembagaan, fasilitas kerja maupun dana operasional.
Salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkat kinerja seorang
penyuluh adalah sejauh mana kegiatan penyuluhan yang dijalankannya ditunjang
dengan ketersediaan sarana/prasarana yang memadai. Margono Slamet, (2001)
berpendapat bahwa melemahnya kemampuan penyuluh selain disebabkan oleh faktor
pengkotakan dalam kelembagaan penyuluhan, juga disebabkan oleh kurangnya
fasilitas penyuluh untuk menjangkau petani. Sedangkan Mardikanto (2009)
mengemukakan bahwa upaya-upaya perubahan usaha tani yang disampaikan oleh
penyuluh kepada petani sangat bergantung pada ketersediaan sarana produksi dan
peralatan (baru) dalam bentuk jumlah, mutu dan waktu yang tepat. Jika sarana ini
tersedia, maka keberhasilan penyuluh akan tercapai.
van den Ban dan Hawkins (1999) berpendapat bahwa ketidaktersedianya
sarana penunjang untuk kegiatan penyuluhan menimbulkan masalah bagi seorang
penyuluh yang kehilangan kepercayaan dari petani karena dianggap tidak mampu
menyediakan sarana yang mereka butuhkan. Persoalan keterbatasan fasilitas kerja
menurut Sherren, 2005 (Hubeis, 2008) merupakan salah satu faktor yang
18
mempengaruhi etos kerja seorang pekerja. Penyuluh sebagai pekerja lapangan
memang seharusnya memerlukan bantuan fasilitas kerja yang memadai.
Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di lapangan (Suprapto, 2009)
perlu dukungan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan pemangku
kepentingan lainnya khususnya dalam pembiayaan, sarana dan prasarana. Dengan
ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, maka keberadaan dan peran aktif
penyuluh akan semakin terlihat di lapangan.
Penyuluh pertanian akan siap melaksanakan apa yang diperintahkan pimpinan,
namun mereka juga mengharapkan pemimpin dapat membantu mempromosikannya.
van den Ban dan Hawkins (1999), mengemukakan bahwa penting memberikan
penghargaan kepada penyuluh yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik, karena
seorang penyuluh yang melihat rekannya memperoleh promosi karena berhasil
melaksanakan tugas akan cenderung untuk melakukan hal yang sama.
Sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya
administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward
yang jelas, promosi jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan
pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang
tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo, 2007).
Lingkungan kerja yang aman, tertib dan terkendali memberi ketenteraman
bagi penyuluh pada saat bertugas, siang hari atau malam hari. Penyuluh pertanian
umumnya tidak mengenal waktu kerja, dan siap membantu kelompok binaan kapan
saja diperlukan, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan minat mereka. Artinya
semakin tinggi minat penyuluh dalam bertugas dan diikuti dengan lingkungan kerja
yang aman dan tentram, maka produktivitas kerjanya juga semakin tinggi (Hubeis,
2008).
Unsur lingkungan yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah bagaimana
suasana kerja yang mempengaruhi diri seorang penyuluh pertanian dalam melakukan
pekerjaannya. Lingkungan organisasi (organisasi penyuluhan pertanian) dan wilayah
tempat penyuluh pertanian bekerja adalah dua aspek yang mempengaruhi kinerja
seorang penyuluh pertanian (Wibowo, 2007).
Lingkungan kerja yang memiliki gaya kepemimpinan yang partisipatif dan
demokratis juga sangat mempengaruhi kinerja staf/karyawan. van den Ban dan
Hawkins (1999) mengemukakan bahwa tingkat kinerja seorang penyuluh akan sangat
bergantung pada karakteristik pimpinan suatu organisasi penyuluhan. Gaya
19
kepemimpinan yang partisipatif akan mampu mendorong kinerja staf/penyuluh demi
tercapainya sasaran organisasi. Gaya kepemimpinan menurut Margono Slamet
(2010), adalah kepemimpinan yang tidak statis, tetapi fleksibel yang mengalir seperti
air yang mengikuti situasi permukaan. Gaya kepemimpinan yang diharapkan
penyuluh selama 30 tahun terakhir mempunyai kecenderungan yang kuat
berkembangnya gaya kepemimpinan yang lebih demokratis (van den Ban dan
Hawkins, 1999).
Wilayah kerja penyuluhan pertanian, pada umumnya tidak cukup memiliki
pelayanan sosial yang memadai. Karena itu, seringkali sulit untuk mengangkat
penyuluh-penyuluh yang andal yang mau ditugaskan di wilayah yang sulit untuk
jangka waktu yang lama. Konsekuensinya adalah, kita akan berhadapan dengan
sejumlah besar penyuluh dengan kualifikasi rendah, atau menggunakan sedikit
penyuluh yang andal (Mardikanto, 1993).
Tjitropranoto (2005) menjelaskan, bahwa kegiatan penyuluhan pertanian perlu
memperhitungkan perbedaan lingkungan sumberdaya alam dan iklim pada lokasi
petani tersebut berada. Kondisi lokasi tugas yang berbeda berpengaruh pada
efektivitas dan efisiensi kegiatan penyuluhan. Penyuluh yang bertugas di wilayah
dataran rendah dan sedang akan lebih mudah dan cepat melakukan pembinaan pada
petani, dibandingkan dengan yang bertugas di wilayah dataran tinggi. Dengan
demikian keterjangkauan daerah tempat bekerja akan berpengaruh pada kinerja
penyuluh pertanian.
Partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Bank Dunia (Leeuwis, 2004)
adalah suatu proses dimana pemangku kepentingan mempengaruhi dan berbagai
kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumberdaya yang
mempengaruhi. Pengertian ini mengandung makna mempengaruhi dan berbagi
tentang inisiatif, keputusan dan sumberdaya. Margono Slamet, 1992; 2003 (Sumardjo,
2010) mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti
pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah
tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan
memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya.
Kinerja seorang penyuluh dikatakan baik apabila keberadaan dan kegiatan
atau program yang disampaikannya selalu mendapat dukungan dan partisipasi aktif
seluruh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (2010), bahwa apabila
rakyat telah mau bertindak kearah perbaikan kehidupan diri, keluarga dan
20
masyarakatnya barulah dapat dikatakan bahwa rakyat telah berpartisipasi dalam
pembangunan.
Karena kegiatan penyuluhan relatif masih dilakukan dan dibiayai oleh
pemerintah, maka kegiatan pembinaan dan pengawasan penyuluhan pertanian
sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah. Menurut Margono
Slamet (2010), kegiatan supervisi dan monitoring bukan berorientasi pada pemberian
sanksi/penghukuman, tetapi lebih pada kombinasi antara pengawasan dan pembinaan.
Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) evaluasi merupakan alat
manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses. Hasil evaluasi sangat
dibutuhkan dalam memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti
dalam perencanaan, program, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program
untuk merancang kebijakan penyuluhan selanjutnya.
Hasil penelitian Jamal (http://blog-husni.blogspot.com/2010/07/), bahwa
tingkat kinerja penyuluh pertanian terendah di Provinsi Jambi adalah pada aspek
evaluasi dan pelaporan. Menurutnya bahwa lemahnya kegiatan perencanaan serta
evaluasi dan pelaporan penyuluhan tidak disebabkan oleh faktor penyuluh semata
tetapi juga berkaitan erat dengan lemahnya pembinaan dan supervisi terhadap kedua
kegiatan tersebut oleh atasan sebagai pejabat pembina.
Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik eksternal
tersebut, maka dapat disintesakan/ disimpulkan bahwa karakteristik eksternal
penyuluh merupakan faktor-faktor di luar diri seorang penyuluh yang dinilai
mempengaruhi produktivitas kerja, yang meliputi; dukungan administrasi, ketepatan
kebijakan organisasi, ketersediaan sarana dan prasarana, dukungan sistem
penghargaan, kondisi lingkungan kerja, keterjangkauan daerah tempat bekerja, tingkat
partisipasi aktif masyarakat, dan dukungan supervisi dan monitoring.
Kompetensi Penyuluh Pertanian
Spencer dan Spencer (1993) mendefenisikan kompetensi sebagai segala
bentuk motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi
lain yang penting untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja
rata-rata dengan kinerja superior. Selanjutnya Spencer dan Spencer menjelaskan
bahwa ada lima tipe kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, konsep diri, sikap,
dan motif.
21
Kompetensi pengetahuan dan keterampilan tergolong lebih mudah
dikembangkan dibandingkan dengan konsep diri, sikap, dan motif yang tergolong
lebih tersembunyi dan merupakan pusat bagi personal seseorang. Mengacu pada
pendapat tersebut, Mulyasa (2002) menyebutkan bahwa kompetensi merupakan
perpaduan dari pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan yang direfleksikan
dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Menurut Spencer dan Spencer (1993) bahwa kompetensi merupakan
karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik
dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi
tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam
situasi dan peran yang beragam. Dengan demikian, tingkat kompetensi seseorang
dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik atau tidak.
Dalam bidang pendidikan, Mulyasa (2002) menyebutkan bahwa kompetensi
yang harus dikuasai oleh pelajar perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai,
sebagai wujud hasil belajar pelajar yang mengacu pada pengalaman langsung. Dengan
demikian, dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi, penilaian
tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subjektif.
Di bidang penyuluhan, kompetensi digunakan sebagai dasar perubahan
keorganisasian dan peningkatan kinerja. Sumardjo (2006) menyebutkan bahwa,
kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang
untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan
sikap mental sesuai dengan unjuk kerja (kinerja) yang ditetapkan.
Puspadi (2002) menyimpulkan konsep kompetensi menurut Boyatzis (1982),
bahwa kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan
kinerja yang prima. Sedangkan Gilley dan Eggland (1989) mengatakan kompetensi
sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat
menyelesaikan perannya. Oleh karena penyuluhan adalah pembelajaran orang
dewasa, maka dalam konteks penyuluhan, dimensi kompetensi penyuluh dalam
penelitian ini mengacu kompetensi tugas/profesi penyuluh pertanian.
Berkaitan dengan pengembangan kapital manusia dalam konteks penyuluhan
menurut Sumardjo (2010), bahwa human kapital penyuluh setidaknya meliputi
kompetensi-kompetensi (1) personal, (2) sosial, (3) andragogik, dan (4) komunikasi
inovatif. Kompetensi personal adalah kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian
22
penyuluh yang tercermin dalam kemampuan membawakan diri, kepemimpinan,
kesantunan, motif berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan
ciri kepribadian penyuluh lainnya. Kompetensi sosial menyangkut kemampuan
berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerjasama dan bersinergi,
mengembangkan kesetiakawanan, kohesif dan mampu saling percaya mempercayai.
Kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik
pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan
merubah pengetahuan/wawasan, ketrampilan/tindakkan dan sikap (minat) sasaran
penyuluhan, mmembangkitkan kebutuhan belajar/berubah, menyadari tanggung
jawab dan kebutuhan sasaran penyuluhan. Sedangkan kompetensi komunikasi
inovasi menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan
berempati, kemampuan komunikasi partisipatif/konvergensi, menggali dan
mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (enterpreneurship).
Kementrian Pertanian merinci kompetensi kerja penyuluh pertanian menjadi
tiga bagian yaitu; kompetensi umum, kompetensi inti dan kompetensi khusus. (1)
kompetensi umum adalah kompetensi yang berlaku untuk semua level penyuluh
pertanian, terdiri atas materi mengaktualisasikan nilai-nilai kehidupan,
mengorganisasikan pekerjaan, melakukan komunikasi dialogis, membangun jejaring
kerja dan mengorganisasikan masyarakat, (2) kompetensi inti, mencakup kompetensi
bagi Penyuluh level fasilitataor, supervisor dan advisor. Kompetensi yang diperlukan
bagi level fasilitator antara lain merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan
mengembangkan penyuluhan pertanian. Kompetensi inti yang diperlukan bagi
penyuluh pertanian advisor antara lain menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan
dan mengevaluasi penyuluhan pertanian. Sedangkan bagi penyuluh pertanian advisor
kompetensi inti yang diperlukan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengevaluasi
dan melaporkan penyuluhan pertanian serta mengembangkan penyuluhan pertanian,
(3) kompetensi khusus, mencakup kompetensi pilihan pada sub sistem agribisnis yang
dipilih. Pada penyuluh fasilitator harus memilih satu sub sistem agribisnis dan satu
unit kompetensi pada sub sistem agribisnis yang telah dipilih tersebut. Penyuluh
supervisor harus memilih 2 subsistem agribisnis dan 1 unit kompetensi pada
subsistem agribisnis tersebut. Sedangkan pada penyuluh advisor harus memilih 3
komoditas agribisnis dan satu unit kompetensi untuk setiap jenis agribisnis yang
dipilih tersebut.
23
Unsur-unsur yang penting dalam kompetensi merencanakan penyuluhan
meliputi kemampuan mengidentifikasi potensi wilayah dan agroekosistem,
kemampuan identifikasi kebutuhan petani, dan kemampuan menyusun rencana kerja
penyuluhan. Bagi seorang penyuluh pertanian, identifikasi potensi wilayah dan
agroekosistem tentang sebuah tempat dimana penyuluhan diadakan adalah sangat
penting dan mendasar karena berdasarkan data tentang potensi wilayah dan
agroekosistem itulah, penyuluh pertanian kemudian dapat menyusun materi
penyuluhannya dan metode yang akan digunakannya.
Potensi wilayah merupakan semua sumberdaya yang tersedia, yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah yang ada dalam upaya mencapai tujuan. Potensi
wilayah bisa berupa fisik seperti lahan dan sumber air, dan berupa non fisik seperti
minat dan pengetahuan petani. Dari data tentang potensi wilayah dan agroekosistem,
penyuluh akan menemukan berbagai hal tentang keadaan sumberdaya alam,
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia atau tidak tersedia,
karakteristik budaya dan norma setempat, keadaan topografi tanah dan
penggunaannya, keadaan iklim dan curah hujan, dan sebagainya (Departemen
Pertanian, 2002)
Data tentang potensi wilayah dan agroekosistem ini bisa dikumpulkan oleh
seorang penyuluh pertanian baik berupa data primer yakni hasil pengamatan,
wawancara kepada pihak-pihak yang berkompeten, maupun hasil pengumpulan data
sekunder dari berbagai sumber seperti monografi desa, dokumendokumen tertulis dari
Kabupaten/kecamatan/Desa, Badan Pusat Statistik dan lainlain. Data potensi wilayah
dan agroekosistem yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis sebagai
masukan.
Mardikanto (2009), mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan,
seorang penyuluh mutlak harus mengenal potensi wilayah kerja, karena dengan
mengenal dan memahami potensi wilayah akan dapat membantu penyuluh dalam
memahami : (1) keadaan masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan, (2) keadaan
lingkungan fisik dan sosial masyarakat sasaran, (3) masalah-masalah yang pernah,
sedang, dan akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, (4) kendala-kendala
yang akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, dan (5) faktor-faktor
pendukung dan pelancar kegiatan penyuluhan yang akan dilaksanakannya.
Dalam kaitannya dengan pemahaman potensi wilayah, Margono Slamet
(1978) mengemukakan bahwa penyuluh perlu lebih memusatkan kepada kebutuhan
24
pertanian dan petani setempat, ekosistem daerah kerja, ciri-ciri lahan dan iklim di
daerah setempat harus dikuasai serta informasi-informasi yang disediakan harus
sesuai dengan wilayah setempat. Dalam merencanakan kegiatan penyuluhan, seorang
penyuluh harus memperhatikan atau mengetahui kebutuhan petani agar program
penyuluhan yang diberikan sesuai. Untuk itu, penyuluh perlu melakukan identifikasi
terlebih dahulu tentang hal-hal apa saja yang dibutuhkan petani. Informasi yang
diperoleh kemudian dianalisis sehingga penyuluh dapat mengetahui dengan pasti
kebutuhan petani baik felt need maupun real need.
Selanjutnya, Margono Slamet (1978) menekankan bahwa kebutuhan atau
kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluhan pertanian.
Penyuluh harus lebih mendekatkan diri dengan petani. Penyuluh harus benar-benar
mampu mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan petani serta menuangkan dalam
program-program penyuluhan untuk dipecahkan melalui kerjasama sejati dengan
petani. Rencana kerja penyuluh pertanian adalah jadwal kegiatan yang disusun oleh
para penyuluh pertanian berdasarkan program penyuluhan pertanian setempat yang
mencantumkan hal-hal yang perlu disiapkan dalam berinteraksi dengan petani-
nelayan. Program/rencana kerja penyuluhan pertanian yang baik adalah
program/rencana kerja yang dibuat berdasarkan fakta, data, potensi wilayah yang
akurat dan benar.
Margono Slamet dan Asngari (Huda, 2010), bahwa sebelum menetapkan
rencana kerja penyuluhan, penyuluh sebaiknya mengkaji semua potensi dan
sumberdaya dengan menggunakan analisis SWOT. Ketajaman dalam membuat
analisis rencana kerja penyuluhan akan sangat bermanfaat dalam memecahkan
masalah yang dihadapi oleh klien. Salah satu tugas penyuluh dalam melaksanakan
kegiatan penyuluhan adalah pengembangan swadaya dan swakarsa petani-nelayan.
Dalam pengembangan swadaya dan swakarya petani-nelayan, seorang penyuluh
pertanian dituntut untuk mampu : (1) menumbuhkan organisasi petani nelayan berupa
pengembangan dan pembinaan kelompok tani-nelayan dan mengembangkan dan
membina kelompok asosiasi; (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani nelayan
dari kelompok pemula menjadi kelompok lanjut, dari lanjut menjadi madya dan dari
madya ke kelompok utama; (3) melakukan penilaian perlombaan pertanian; (4)
memandu kegiatan swadaya pertanian berupa karyawisata/widyawisata, kursus tani,
sekolah lapang, dan demonstrasi (baik demonstrasi plot, demonstrasi farm maupun
demonstrasi area).
25
Pembentukan, pembinaan dan pengembangan kelompok tani-nelayan sangat
penting guna mempersatukan para petani dalam satu wadah kerjasama yang bisa
memberikan keuntungan bagi penyelesaian masalah yang dihadapi. Penyuluh
pertanian sebagai “guru” dan sahabat petani menanamkan motivasi bagaimana
mengembangkan wadah kelompok sebagai media kerjasama dan wahana terciptanya
solidaritas di antara petani.
Seorang penyuluh pertanian harus memiliki kemampuan dalam melakukan
evaluasi kegiatan penyuluhan dan melaporkannya secara sistematis kepada pihak
yang berwewenang atau atasannya. Evaluasi adalah membuat penilaian menyeluruh
dengan membandingkan antara kinerja yang dipersyaratkan dari suatu program
berdasarkan standar dan tujuan yang diinginkan dengan kenyataan pencapaian ketika
program itu dilaksanakan. Hasil evaluasi akan melahirkan suatu penilaian apakah
tujuan program tercapai, apakah ada masalah dalam menjalankan program dan
bagaimana rekomendasi pemecahan masalah dan lain-lain (Boyle, 1981).
Hal yang sama berlaku pada evaluasi kegiatan penyuluhan. Dalam evaluasi
penyuluhan, terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan dilaksanakannya evaluasi
tersebut. Menurut Margono Slamet (2010), bahwa prinsip-prinsip evaluasi dalam
penyuluhan antara lain : (a) evaluasi harus berdasarkan fakta; (b) evaluasi penyuluhan
adalah bagian integral dari proses pendidikan atau keseluruhan program penyuluhan;
(c) evaluasi hanya dapat dilakukan dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan dari
program penyuluhan yang bersangkutan; (d) evaluasi menggunakan alat pengukuran
yang berbeda; (e) evaluasi penyuluhan dilakukan baik terhadap metode penyuluhan
yang digunakan maupun terhadap hasil kegiatan penyuluhan; (f) evaluasi perlu untuk
mengukur baik hasil kualitatif maupun hasil kuantitatif yang dicapai dari suatu
kegiatan penyuluhan; (g) evaluasi mencakup enam hal pokok yang perlu
dipertimbangkan dengan teliti, yakni : tujuan program penyuluhan, metode/kegiatan
yang digunakan, pengumpulan, analisa, dan interpretasi data, membandingkan hasil
yang dicapai dengan yang diharapkan, pengambilan keputusan, dan penggunaan hasil
evaluasi untuk menyusun program penyuluhan selanjutnya; dan (h) evaluasi harus
dijiwai oleh prinsip mencari kebenaran.
Menurut Hubeis (2007) penyuluhan adalah proses pembelajaran (pendidikan
nonformal) yang ditujukan untuk petani dan keluarganya dalam pencapaian tujuan
pembangunan. Sedangkan Clar et al, 1984 (Nasution, 2004) mengemukakan bahwa
penyuluhan merupakan jenis pendidikan pemecahan masalah (problem solving) yang
26
berorientasi pada tindakan yang mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan dan
memotivasi, tapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan juga melaksanakan
program yang nonedukatif.
Penyuluhan adalah pendidikan luar sekolah (nonformal) yang diberikan
kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar mereka mampu, sanggup dan
berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat
disekelilingnya (Soekartawi, 2005). Dalam pembelajaran orang dewasa, kegiatan
penyuluhan yang diberikan lebih mengacu pada pemecahan masalah yang dihadapi
dalam kehidupan petani dan keluarganya. Seorang penyuluh harus memahami dengan
baik tujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut. Untuk itu, penyuluh harus memiliki
kemampuan yang baik tentang pembelajaran orang dewasa (andragogik).
Sumardjo (1999) mengatakan bahwa Kompetensi andragogik menyangkut
kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar
untuk mempengaruhi dan merubah pengetahuan/wawasan, ketrampilan/tindakan dan
sikap (minat) sasaran penyuluhan, membangkitkan kebutuhan belajar, menyadari
tanggung jawab dan kebutuhan sasaran penyuluhan.
Konsep atau tujuan dari penyuluhan adalah meningkatkan pengetahuan, sikap
mental, dan keterampilan petani dan keluarganya agar mereka tahu, mau, dan mampu
mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, penyuluhan
bertujuan untuk membantu petani dan keluarganya agar mereka mampu menolong
dirinya sendiri. Untuk itu, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang
berkelanjutan. Dalam pendidikan orang dewasa, ada beberapa prinsip yang perlu
diperhatikan agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan dengan baik yaitu : partisipasi,
kemitraan, dan pemberdayaan (Amri Jahi et al, 2006).
Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran, seorang penyuluh harus
mampu menerapkan empat prinsip belajar orang dewasa yakni (1) kesiapan
(readiness), dimana warga belajar secara fisik dan mental siap menerima pelajaran,
(2) hubungan (Assosiation) yakni suatu prinsip belajar yg menghubungkan
pengalaman belajar dengan pelajaran, sehingga penyuluh harus menyadari latar
belakang warga belajar, (3) Akibat (Effect) yakni prinsip belajar yang memperhatikan
kepuasan dan kekecewaan warga belajar dalam belajar, dan (4) latihan (Practice)
yakni penggunaan alat indera (Hubeis et al, 2009).
Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan berkomunikasi. Sebagai komunikator
yang profesional, penyuluh pertanian pertama tama harus mengetahui, menguasai dan
27
mendalami informasi (pesan) yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Ia
harus memiliki pengetahuan yang luas tentang informasi pembangunan, ilmu,
teknologi yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Kompetensi ini harus
dilengkapi dengan kemampuan tentang cara, metode, dan teknik menyampaikannya
sehingga mencapai hasil yang maksimal. Seorang penyuluh seharusnya menguasai
konsep komunikasi dan cara-cara berkomunikasi.
Komunikasi dalam penyuluhan adalah suatu alat untuk menimbulkan
perubahan di dalam penyuluhan (Sumardjo, 1999). Secara umum komunikasi
diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima (Berlo,
1958). Dalam prakteknya komunikasi tidak hanya sebatas pada pesan yang telah
disampaikan atau diterima oleh penerima pesan, akan tetapi diharapkan penerima
dapat memberikan tanggapannya kepada kepada sumber atau pengirim pesan untuk
kemudian untuk kemudian proses komunikasi terus berlangsung (Mardikanto, 2009).
Sumardjo (1999) mengutip pernyataan (Margono Slamet, 1992; Roling, 1983;
dan Asngari, 1996), bahwa penyuluhan dengan pendekatan komunikasi konvergen
(interactive) dirancang sedemikian rupa, bersifat dialogis dan humanis (menghargai
harkat martabat atau hak asasi manusia) sasaran, sehingga kondusif bagi
berkembangnya kemampuan (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) mereka sejalan
dengan perubahan lingkungan sosial dan fisik kehidupannya.
Komunikasi dinilai efektif bila informasi yang disampaikan dan yang
dimaksudkan oleh komunikator berkaitan erat dengan makna informasi yang
ditangkap dan dipahami oleh komunikan (Tubbs and Moss, 1996). Ada empat unsur
dasar efektif tidaknya suatu komunikasi menurut Berlo (Hubeis et al, 2007) yakni;
sumber pesan, saluran pembawa pesan, isi pesan (inovasi) dan penerima pesan.
Sumardjo (1999) mengatakan bahwa kompetensi komunikasi inovasi
menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan
berempati, kemampuan komunikasi partisipatif/konvergensi, menggali dan
mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (enterpreneurship).
Dengan demikian kompetensi berkomunikasi adalah kemampuan seorang
penyuluh pertanian dalam memahami serta menerapkan proses komunikasi menjadi
bagian penting dari metode penyuluhan pertanian (Soekartawi, 2005). Komunikator
yang kompeten akan mampu memberikan informasi secara efektif sehingga
menimbulkan pemahaman, kesenangan serta mempengaruhi sikap dan tindakan dari
penerima informasi (Tubbs and Moss, 1996).
28
Sumardjo (2010), bahwa kompetensi bekerjasama merupakan salah satu ciri
dari kompetensi sosial yakni kemampuan seorang penyuluh pertanian untuk menjalin
hubungan/bekerjasama dan bersinergi dengan sasaran penyuluhan. Lebih jelas
menurutnya, seseorang yang mandiri dicirikan memiliki kemampuan internal untuk
bekerjasama atau berinteraksi dengan pihak lain secara interdependent, sinergis dan
berkelanjutan dalam koridor nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama secara
bermartabat. Oleh karena itu seorang penyuluh seharusnya menguasai konsep
bekerjasama dan teknik-teknik bekerjasama.
Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang kompetensi penyuluh
tersebut, maka disintesakan/ disimpulkan bahwa kompetensi penyuluh adalah
kemampuan-kemampuan fungsional yang dimiliki seorang penyuluh yang dapat
menciptakan kinerja yang baik. Dalam penelitian ini kompetensi fungsional dimaksud
meliputi; perencanaan program penyuluhan, pelaksanaan program penyuluhan,
evaluasi dan pelaporan program penyuluhan, penerapan metode belajar orang dewasa,
komunikasi, dan kemampuan kerjasama.
Kinerja Penyuluh Pertanian
Disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di sisi lain memberikan kepastian
hukum tentang peran penyuluhan di berbagai bidang (pertanian, perikanan dan
kehutanan), tetapi di sisi lain juga menyisakan permasalahan mendasar seperti
penyiapan sumberdaya manusia penyuluh. Sumberdaya Manusia yang handal akan
mampu meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat.
Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi
ekonomi, yaitu menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki
keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam menghadapi persaingan global yang
selama ini terabaikan. Dalam kaitan itu ada dua hal yang penting yang menyangkut
kondisi sumberdaya manusia pertanian di daerah yang perlu mendapatkan perhatian
yaitu sumberdaya petugas dan sumberdaya petani. Kedua sumberdaya tersebut
merupakan pelaku dan pelaksana yang mensukseskan program pembangunan
pertanian.
Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam
memajukan pertanian di Indonesia. Penyuluh yang siap dan memiliki kemampuan
dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya (Marius et al, 2006). Kinerja adalah
29
prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu
organisasi. Agar dapat memberikan umpan balik bagi karyawan maupun organisasi,
maka perlu dilakukan penilaian atas prestasi tersebut (Handoko, 2001).
Kinerja seorang penyuluh dapat dilihat dari dua sudut pandang; pertama
bahwa kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik tersebut
merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk
penyuluh pertanian; Kedua bahwa kinerja penyuluh pertanian merupakan pengaruh-
pengaruh dari situasional diantaranya terjadi perbedaan pengelolaan dan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian disetiap kabupaten yang menyangkut
beragamnya aspek kelembagaan, ketenagaan, program penyelenggaraan dan
pembiayaan (Amri Jahi et al, 2006)
Menurut Gomes (2001) bahwa kinerja seseorang dapat diukur dari : (a)
Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang
ditentukan, (b) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syarat-
syarat kesesuaian dan kesiapannya, (c) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan
mengenai pekerjaan dan ketrampilannya, (d) Creativeness, yaitu keaslian gagasan-
gagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan yang timbul, (e) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan
orang lain (sesama anggota organisasi), (f) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat
dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja, (g) Initiative, yaitu semangat
untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya,
dan (h) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah-
tamahan, dan integritas pribadi.
Kinerja adalah hasil dari suatu perkerjaan yang dapat dilihat atau yang dapat
dirasakan. Kinerja bisa diukur melalui standar kompetensi kerja dan indikator
keberhasilan yang dicapai seseorang dalam suatu jabatan/pekerjaan tersebut
(Padmowihardjo, 2010). Kinerja seseorang ditentukan oleh kemampuan ketiga aspek
perilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selama antara kinerja yang dimiliki
petugas dengan kinerja yang dituntut oleh jabatannya terdapat kesenjangan, petugas
tersebut tidak dapat berprestasi dengan baik dalam menyelesaikan tugas pokoknya.
Kesenjangan kinerja adalah perbedaan kinerja yang dimiliki petugas saat ini dengan
yang diharapkan oleh organisasi atau tuntutan pekerjaan (Hickerson dan Middleton,
1975).
30
Pekerjaan (jobs) tidak lain sebagai rangkaian dari sejumlah tugas spesifik yang
dikerjakan petugas, dimana rincian tugas pekerjaan satu dan lainnya sangat luas dan
bervariasi. Agar seseorang dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik diperlukan
adanya pengetahuan, sikap mental dan ketrampilan yang berkaitan dengan pekerjaan
tersebut. Dengan demikian kinerja (performance) petugas menunjuk kepada tingkat
seseorang mampu melaksanakan tugas-tugasnya berkaitan dengan perkerjaannya.
Seseorang dikatakan memiliki kinerja yang bagus bila berkaitan dan memenuhi
standar tertentu (Hickerson dan Middleton, 1975).
Arnold dan Feldman (1986) mengemukakan sebuah model yang menyebutkan
bahwa kinerja dalam suatu organisasi merupakan fungsi dari motivasi, kemampuan,
persepsi, ciri-ciri personality, sistem organiasasi (struktur organisasi, kepemimpinan,
sistem imbalan) dan sumberdaya (fasilitas fisik). Dari model tersebut faktor motivasi
dan kemampuan merupakan faktor penting dalam menentukan kinerja kerja individu
dalam organisasi.
Sedangkan dari aspek individu menurut Hickerson dan Middleton (1975) secara
spesifik menjelaskan bahwa ada tiga kondisi yang menyebabkan timbulnya
kesenjangan (diskrepansi) kinerja petugas, yakni; (1) tidak mengetahui bagaimana
mengerjakan keseluruhan atau sebagian dari job’s (pekerjaannya), (2) mempunyai
tugas baru (new tasks) dalam mengerjakan pekerjaannya yang membutuhkan
pengetahuan, ketrampilan dan sikap baru serta (3) memperoleh pekerjaan yang sama
sekali baru sehingga diperlukan pengetahuan, ketrampilan dan sikap baru.
Ketiga aspek perilaku yang dikembangkan dalam rangka memperbaiki kinerja
kerja petugas dapat dilakukan melalui pelatihan, baik pelatihan kognitif, afektif
maupun psikomotor. Bila kesenjangan yang berkaitan dengan pekerjaan petugas
dalam rangka jabatannya didalam suatu organisasi telah diidentifikasi akan diketahui
permasalahan nyata dari kinerja yang selanjutnya dilakukan upaya peningkatan
kemampuan berbagai aspek tersebut dalam menunjang pekerjaan petugas (Hickerson
dan Middleton, 1975).
Menurut Berlo dkk, (1958) ada empat kualifikasi yang harus dimiliki setiap
penyuluh pertanian untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu: (1) kemampuan untuk
berkomunikasi yaitu kemampuan dan keterampilan penyuluh untuk berempati dan
berinteraksi dengan masyarakat sasarannya, (2) sikap penyuluh antara lain sikap
menghayati dan bangga terhadap profesinya, sikap bahwa inovasi yang disampaikan
benar-benar merupakan kebutuhan nyata sasarannya, dan sikap menyukai dan
31
mencintai sasarannya dalam artian selalu siap memberi bantuan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan demi adanya perubahan-perubahan pada sasaran, (3) kemampuan
pengetahuan penyuluh, yang terdiri dari isi, fungsi, manfaat serta nilai-nilai yang
terkandung dalam inovasi yang disampaikan, latar belakang keadaan sasaran dan (4)
karakteristik sosial budaya penyuluh.
Departemen Pertanian (2009), merinci standar kinerja seorang penyuluh dapat
diukur berdasarkan 9 (sembilan) indikator keberhasilan yakni; (1) tersusunnya
programa penyuluhan pertanian, (2) Tersusunnya recana kerja tahunan penyuluh
pertanian, (3) Tersusunnya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik
lokasi, (4) Terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata, (5) Tumbuh
kembangnya keberdayaan dan kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha, (6)
Terwujudnya kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha yang menguntungkan, (7)
Terwujudnya akses pelaku utama dan pelaku usaha ke lembaga keuangan, informasi,
dan sarana produksi, (8) Meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan
di wilayahnya, dan (9) Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama.
Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang kinerja penyuluh tersebut,
maka disintesakan/ disimpulkan bahwa kinerja penyuluh hasil kerja yang dicapai
seorang penyuluh sesuai dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh. Dalam penenlitian
ini tingkat kinerja penyuluh yang diukur meliputi; tingkat kinerja dalam perencanaan
penyuluhan, pelaksanaan penyuluhan, pengevaluasian penyuluhan, inisiatif,
kreativitas, kerjasama (mitra kerja), dan kinerja dalam membangun komunikasi.
Strategi Penyuluhan Pertanian
Desain strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian adalah langkah-
langkah atau tindakan tertentu yang dilaksanakan demi tercapainya suatu tujuan atau
sasaran yang dikehendaki (Mardikanto, 2009). Penetapan strategi penyuluhan
pertanian yang dijalankan selama ini terlihat adanya kelemahan, karena penetapan
strategi hanya memusatkan pada kegiatannya untuk menyuluh pelaku utama yaitu
petani dan keluarganya. Padahal, keberhasilan penyuluhan seringkali ditentukan oleh
kualitas penyuluh, dukungan banyak pihak dan persepsi pimpinan wilayah selaku
penguasa tunggal sebagai administrator pemerintahan dan pembangunan.
Roling (Sumardjo, 1999) mendefenisikan penyuluhan sebagai suatu intervensi
komunikasi oleh suatu lembaga untuk menimbulkan perubahan perilaku. Sebagai
suatu bentuk intervensi (intervention), maka penyuluhan merupakan suatu upaya
32
sistematis melalui penerapan strategi dengan mengkondisikan sumberdaya bagi
berlangsungnya proses sosial, perubahan orientasi sehingga mengarahkan proses pada
dorongan terjadinya perubahan yang dikehendaki bersama. Berdasarkan konsep
intervensi sebagai penerapan strategi, maka penyuluhan adalah sesuatu yang
dipikirkan, direncanakan, diprogramkan, dirancang secara sistematis, dan diarahkan
pada suatu tujuan dan aktivitas yang disengaja (Sumardjo, 1999).
Pemilihan strategi penyuluhan pertanian yang efektif perlu dirancang sesuai
dengan kebutuhan, khususnya yang berkaitan dengan tingkat adopsi yang sudah
ditunjukan oleh masyarakat. Berkaitan dengan strategi penyuluhan van den Ban dan
Hawkins (1999), menawarkan adanya tiga strategi yang dapat dipilih yakni; rekayasa
sosial, pemasaran sosial dan partisipasi sosial. Namun demikian pemilihan strategi
yang tepat (Mardikanto, 2009) sangat tergantung pada motivasi penyuluh serta
kondisi kelompok sasaran.