Tinjauan Pustaka-referat.docx

download Tinjauan Pustaka-referat.docx

of 16

Transcript of Tinjauan Pustaka-referat.docx

BAB IPENDAHULUAN

Sindrom nefritis akut merupakan kumpulan gejala yang timbul akibat proses inflamasi pada glomerulus ginjal. Penyebab SNA yang paling banyak ditemukan pada anak adalah Glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus. Glomerulonefritis merupakan penyakit kelainan ginjal yang muncul sekita 10 15%. Insiden GNAPS telah mengalami penurunan jumlah selama dekade terakhir ini, hal ini terjadi karena peningkatan kualitas pelayanan kesehatan dan peningkatan status sosial ekonomi penduduk. GNAPS dapat muncul dalam berbagau usia, namun biasanya muncul pada anak anak. Kebanyakan kasus muncul pada anak usia 5 15 tahun, hanya 10% kasus muncul pada usia diatas 40 tahun. GNAPS lebih banyak menyerang anak laki laki dibandingkan anak perempuan. Insiden yang lebih tinggi berhubungan dengan perilaku hidup sehat dan pada kelompok dengan status sosial ekonomi yang rendah.GNAPS merupakan penyakit ginjal akibat proses imunologis yang menyebabkan proses inflamasi pada glomerulus ginjal, yang dapat menyebabkan kerusakan pada membarana basalis, mesangium, atau endotel kapiler. GNAPS didefinisikan sebagai hematuria, proteinuria, dan silinder eritrosit yang muncul secara mendadak. Menifestasi klinis ini biasanya diikuti dengan hipertensi, edema, azotemia, dan retensi garam-air. Penatalaksanaan GNAPS mengutamakan terapi suportif, hal ini disebabkan karena ketiadaan terapi spesifik untuk penyakit ginjal. Ketika GNAPS berhubungan dengan infeksi kronik, maka infeksi tersebut yang harus diterapi.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sindrom Nefritis AkutSindrom Nefritik Akut (SNA) merupakan kumpulan gejala klinik berupa oliguria, kelainan urinalisis (proteinuria 2 gram/hari dan hematuria disertai silinder eritrosit), azotemia, hipertensi, bendungan sirkulasi (bendungan paru akut, kenaikan tekanan vena jugularis, hepatomegali), dan edema. SNA merupakan salah satu keadaan darurat medik di bidang nefrologi. Keterlambatan dan pengelolaan yang tidak adekuat dapat menyebabkan kematian (Sukandar, 2006).Bergstein (2000) dalam buku Ilmu Kesehatan Anak Nelson mengungkapkan bahwa SNA merupakan sekumpulan gejala yang timbul akibat peradangan pada glomerulus ginjal. Gejala SNA meliputi Hematuria, edema, hipertensi, dan insufisiensi ginjal. Tanda tanda ini sering sekali ditemukan pada penderita glomerulonefritis paska infeksi (streptokokus), lupus eritromatosus sistemik, glomerulonefritis membranoproliferatif, purpura anafilaktoid, dan glomerulonefritis progesif cepat.

2.2. Etiologi dan Epidemiologi Sindrom Nefritis AkutSindrom Nefritis Akut sering disebabkan oleh respon imun tubuh terhadap infeksi atau penyakit lainnya. Penyebab tersering SNA pada anak meliputi Post streptococcal glomerulonephritis (PSGN), Henoch Schonlein Purpura (HSP), IgA Nephropathy, dan Hemolytic Uremic Syndrome.Penulis membatasi sindrom nefritik akut yang berhubungan dengan paska infeksi streptokokus yang sering dijumpai pada anak anak dan dewasa muda. Sindrom ini biasanya didahului infeksi saluran pernapasan bagian atas (faringitis atau tonsilitis) dan kulit (impetigo) yang disebabkan oleh streptokokus beta hemolitik golongan A tipe 12. Periode laten berlangsung selama 1 - 2 minggu setelah infeksi saluran pernapasan atas dan 21 hari setelah infeksi kulit. Periode laten ini membuktikan bahwa sindrom nefritik akut paska infeksi streptokokus berhubungan dengan immune complexes mediated renal injury (sukandar, 2006).Glomerulonefritis akut menunjukkan adanya kejadian paska infeksi dengan etiologi berbagai macam bakteri dan virus. Kuman penyebab tersering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik. Insiden tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi dari data statistik yang dilaporkan. Glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Jarang menyerang anak dibawah usia 3 tahun. Anak laki laki memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan anak perempuan (Noer, 2010).

2.3. Patogenesis dan PatofisiologiSetiap ginjal terdiri dri sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Karena fungsi primer ginjal adalah menghasilkan urin, maka nefron adalah satuan terkecil yang mampu membentuk urin. Pada saat memasuki ginjal, arteri renalis secara sistematis terbagi bagi untuk akhirnya menjadi pembuluh pembuluh halus yang dikenal sebagai arteriol aferen. Arteriol aferen menyalurkan darah ke kapiler glomerulus, yang menyatu untuk membentuk arteriol lain, arteriol eferen, tempat keluarnya darah yang yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan glomerulus. Arteriol arteriol inilah yang akan membentuk glomerulus.Gambar 1. Bagian bagian Ginjal, Nefron, dan Vaskularisasinyaa) Bagian bagian ginjal; b) Bagian bagian nefron ginjal; dan c) Perdarahan nefron.Sumber: http://kvhs.nbed.nb.ca/gallant/biology/nephron_structure.html

Nefron ginjal terdiri atas tubulus. Komponen tubulus berawal dari dari kapsula bowman, suatu invaginasi berdinding rangkap yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus. Setelah melewati proses filtrasi di glomerulus, selanjutnya hasil filtrasi tersebut akan melalui proses reabsorbsi dan sekresi yang terjadi di dalam tubulus nefron ginjal.Gambar 2. Komponen Penyusun GlomerulusSumber: http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/renal.jpg

Proses pembentukan urin terjadi melalui proses filtrasi, sekresi, reabsorbsi, dan ekskresi. Proses filtrasi terjadi di glomerulus, sementara proses yang tersisa berlangsung di tubulus ginjal. Saat darah melewati glomerulus, terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Semua konstituen dalam darah kecuali sel darah dan protein plasma, seperti H2O, nutrien, elektrolit, zat sisa mengalami filtrasi Setiap hari terbentuk sekitar 180 liter (47,5 galon) sdengan perumpamanaan volume plasma rata-rata pada orang dewasa sektar 2,75 liter hal ini menunjukkan bahwa protein plasma mengalami 60 kali filtrasi perharinya. Apabila semua yang di filtrasi dikeluarkan menjadi urin, volume plasma total akan habis keluar dalam waktu setengah jam, tetapi hal tersebut tidak terjadi karena tubulus-tubulus ginjal dan kapiler peritubulus berhubungan erat dengan panjangnya, sehingga dapat terjadi perpindahan bahan antara cairan di dalam tubulus dan darah dari dalam perifer, darah dan protein tidak termasuk dalam filtrat, karena untuk suatu zat dapat difiltrasi memerlukan 3 proses (sherwood, 2001):1) Harus melewati dinding kapiler glomerulusDinding kapiler glomerulus terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memililiki lubang pori yang besar/fenestra yang, memebuatnya 100 kali lebih permeabek terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler lain.2) Membran basal Terdiri dari glikoprotein (menghambat filtrasi protein kecil, albumin ) dan kolagen (untuk menghasilkan kekuatan). Sebenarnya pori pada membran basal cukup untuk dilewati protein kecil, albumin, tetapi hal ini ditahan oleh glikoprotein yang memiliki muatan negatif sehingga menolak albumin dan protein plasma lain, kurang dari 1% milekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bownman. Hal ini menunjukkan pada orang dengan albuminuria, terdapat gangguan muatan negatif dalam membran glomerulus yang menyebabkan membran lebih permeabel terhadap albumin walaupun ukuran pori tidak berubah (gambar 4)3) Celah filtrasi antara tonjolan podosit (gambar 4)Podosit merupakan sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulur, memiliki tonjolan dimana antara tonjolan tersebut terdapat celah kecil filtration slit memebentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke lumen kapsula bownman. Oleh karena itu apabila terdapat darah (hematuria) atau protein plasma (proteinuria) dalam urin, patut dicurigai adanya kelainan pada ginjal. Gambar 3. Glomerular Filtration BarrierSumber: http://histology-group28.wikispaces.com/file/view/glomerulus_schematic.jpgGambar 4. Proses Filtrasi GlomerulusSumber: http://physrev.physiology.org/content/vol87/issue1/images/large/z9j0010724220003.jpeg

Selain itu, untuk menginduksi filtrasi glomerulus, diperlukan tekanan. Terdapat 3 tekanan yang berperan dalam filtrasi glomerulus (Sherwood, 2001):1) Tekanan darah kapiler glomerulus (rata-rata 55mmHg)Tekanan ini dipengaruhi oleh kontraksi jantung (energi untuk filtrasi glomerulus) dan resistensi arteriol aferen dan eferen terhadap aliran darah, hal ini mengakibatkan terjadi pembendungan tekanan di kapiler glomerulus, dan membantu zat-zat untuk diflitrasi keluar dari kapiler glomerulus menuju lumen kapsula bownmen2) Tekanan osmotik koloid plasma (rata-rata 30mmHg)Tekanan ini untuk melawan filtrasi tujuannya agar tidak merusak pertahanan akibat tekanan kapiler glomerulus yang cukup besar. Tekanan ini ditimbulkan oleh distribusi protein plasma yang tidak seimbang antara kedua sisi membran glomerulus. Tekanan ini bersifat melawan karena H2O yang konsentrasinya lebih besar di kapsula bownman daripada di kapiler glomerulus oleh karena itu kecenderungan H2O untuk berpindah ke arah kapiler glomerulus (sifat gradien konsentrasi dari daerah yang tinggi ke rendah)3) Tekanan hidrostatik kapiler bowman (rata-rata 15 mmHg)Tekanan ini mendorong cairan keluar dari kapsula bownman, melawan filtrasi cairan dari glomerulus ke dalam kapsula bownman.Berdasarkan keterangan di atas, jelas bahwa netto dari tekanan filtrasi glomerulus yaitutekanan yang mendorong filtrasi (tekanan darah kapiler glomerulus) tekanan yang melawan filtrasi (tekanan osmotik koloid plasma + tekanan hidrostatik kapiler bownman) 55 mmHg (30 mmHg + 15 mmHg) = 10 mmHg.Gambar 5. Tekanan Filtrasi GlomerulusSumber : http://legacy.owensboro.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/Image37.gif

Glomerulonefritis paska infeksi streptokokus didahului oleh infeksi Streptococcus hemolyticus grup A. Daerah infeksi biasanya saluran pernapasan dan kulit (Noer, 2010). Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis (Renny & Suwita, 2010). Penyakit ini merupakan penyakit immune-mediated yang berhubungan dengan infeksi salran nafas atas dan infeksi kulit oleh kuman streprokokus. Berbagai macam kandungan streptokokus atau produknya bersifat antigenik dan dapat menyebabkan proses imunopatologis yang menimbulkan glomerulonefritis, tetapi mekanisme yang pasti sebagai penyebab kerusakan ginjal masih diperdebatkan. Pardede (2009) mengungkapkan beberapa teori mengenai patogenesis GNAPS adalah pembentukan kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune complex), terdapat kemiripan molekul antara antigen streptokokus dengan antigen ginjal, pembentukan kompleks imun in situ antara antibodi stretptokokus dan antigen glomerulus, dan aktivasi sistem komplemen secara langsung akibat deposit antigen streptokokus dalam glomerulus.Konsituen somatik dan produk ekstraseluler yang diketahui berperan dalam patogenesis GNAPS yaitu protein M, neuraminidase, endostreptosin, protein kationik, streptococcal pyogenic exotoxin B, streptokinase, dan nephritis associated plasmin receptor. Protein M berperan dalam menginduksi kerusakan ginjal dengan melakukan reaksi silang dengan antigen membrana basalis glomerulus dan IgG yang bersirkulasi. Protein M juga berperan dalam progresivitas kerusakan glomerulus. Neuraminidase yang diproduksi streptokokus akan mengubah IgG autolog endogen menjasi autoimunogenik. IgG autoimunogenik yang dimodifikasi ini akan menstimulasi pembentukan antibodi terhadap IgG (Anti-IgG), kemudian membentuk kompleks imun yang bersirkulasi dan mengendapat membentuk deposit di glomerulus. Deposit endostreptosin pada membran basalis glomerulus mungkin suatu aktivator in situ terhadap jalur alternatif sistem komplemen. Protein kationik menyebabkan pembentukan kompleks imun in situ dan berperan dalam terjadinya inflamasi glomerulus.Streptokinase akan merubah plasminogen menjadi plasmin dan C3 menjadi C3a, hal ini akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan menyebabkan pemecahan protein matriks ekstraseluler (Pardede, 2009).Gambar 6. Patogenesis Immune-mediated glomerulonephritisSumber: Fazio, 2012.Renny & Suwitra (2009) mengungkapkan bahwa mekanisme dasar terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus adalah adanya suatu proses imunologis yang terjadi antara antibodi spesifik dengan antigen streptokokus. Proses ini terjadi di dinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Selanjutnya sistem komplemen memproduksi aktivator komplemen 5a (C5a) dan mediator mediator inflamasi lainnya. Sitokin dan faktor pemicu imunitas seluler lainnya akan menimbulkan respon inflamasi dengan menifestasi proliferasi sel dan edema glomerular. Penurunan laju filtrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan koefisien ultrafiltrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus diikuti penurunan ekdkresi atau kenaikan reabsorbsi natrium, sehingga terdapat penimbunan nantrium dengan air, yang selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma dan volume cairan ekstraselular, sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria, hipertensi, edema, dan bendungan sirkulasi.Edema (80% kasus) biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di daerah periorbital, selanjutnya dapat menjadi edema ansarka. Derajat berat ringannya edema yang terjadi tergantung pada beberapa faktor, yaitu luasnya kerusakan glomerulus, asupan cairan, dan derajat hipoalbuminemia. Hematuria makroskopis terjadi pada 30 50% kasus yang timbul dengan manifestasi urin berwarna seperti cola, teh ataupun keruh dan sering dengan oliguria. Hipertensi merupakan tanda kardinal ketiga bagi APSGN (50 90% kasus). Ledingham mengungkapkan hipotesis terjadinya hipertensi mungkin akibat dari dua atau tiga faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natriu,, peranan sistem renin angiotensinogen, dan substasni renal medullari hypotensive factors, diduga prostaglandin. Bendungan sirkulasi banyak terjadi pada penderita yang dirawat di rumash sakit. Manifestasi klinik yang tampat dapat berupa dyspneu, orthopneu, batuk, dan edema paru (Renny & Suwitra, 2009).

2.4. Manifestasi Klinis Lumbanbatu (2003) mengungkapkan bahwa hampir 50% kasus ini asimptomatik. Kasus klasik diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri tenggorokan 2 minggu sebelum timbulnya udem. Perode laten rata rata 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria dapat timbul berupa gross hematuria maupun mikrokopik. Variasi lain yang tidak spesifik bisa dijumpai sepertti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu. Pada pemeriksaan fisis dijumpai hipertensi, biasanya ringan atau sedang. Hipertensi pada GNAPS dapat mendadak tinggi selama 3 5 hari. Setelah itu tekanan darah turun perlahan dalam 1 2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takineu dan dispneu. Gejala tersebut dapat disertai oligouria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glomerulus.Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan urinalisis. Pemeriksaan urinalisis dapat menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, kelainan sedimen urin dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak seluler, granular, dan eritrosit (Noer, 2010). Hematuri dengan atau tanpa silinder ditemukan pada kira kira 40% pasien. Silinder eritrosit merupakan tanda kerusakan parenkim masih aktif. Pada pemeriksaan faal ginjal sering digunakan ureum, kreatinin serum, dan klirens kreatinin untuk menentukan derajat faal laju filtrasi glomerulus. Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia ringan normokrom normositer. Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan bakteri dengan pengecatan gram/methylen blue dan biakan dari hapus tenggorokan atau pus untuk identifikasi streptokokus. Hasil biakan positif ditemukan hanya 25%dari pasien pasien yang tidak mendapat antibiotik selama infeksi akut oleh streptokokus. Kenaikan titer anti streptolisin O (ASO hanya dapat ditemukan pada 80% pasien yang tidak mendapat antibiotik. Kenaikan titer dapat juga dijumpai pada beberapa keadaan sepertin karier, hiperkolesterolemia, dan infeksi streptokokus yang tidak bersifat nefritogenik (Renny & Suwitra, 2010). Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, sehingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan 2 3 kali lipat berarti adanya infeksi ( Noer, 2010). Peningkatan ASO terjadi 10 14 hari setelah infeksi streptokokus, dan infeksi kulit jarang menyebabkan peningkatan kadar ASO. Antihialuronidase (ASE) dan anti deoksiribonukleasi (ADNASE) umumnya meningkat. Pemeriksaan gabungan ketiga titer antibodi ini dapat mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya pada hampir 100% kasus (Lumbanbatu, 2003).Pada pemeriksaan serum darah ditemukan penurunan kadar C3 dalam minggu pertama. Penurunan kadar C3 ini sangat mencolok dengan kadar antara 20 40 mg/dl (N 50 140 mg/dl). Kadar komplemen akan kembali normal dalam waktu 6 8 minggu (Noer, 2010) .Pemeriksaan pencitraan dengan USG diperoleh adanya pembesaran ginjal bilateral. Foto thoraks sering ditemukan gambaran kongesti vena sentral di area hilus sesuai dengan peningkatan volume ekstraseluler.Lumbanbatu (2003) menyatakan bahwa biopsi ginjal pada GNAPS tidak diindikasikan. Biopsi dipertimbangkan bila gangguan fungsi ginjal berat khususnya bila etiologi tidak jelas (berkembang menjadi gagal ginjal atau sindrom nefrotik), tidak ada bukti infeksi streptokokud, tidak terdapat penurunan kadar komplemen, perbaikan yang lama dengan hipertensi yang menetap, azotemia, gross hematuria setelah 3 minggu, kadar C3 yang rendah setelah 6 minggu, proteinuria yang menetap setelah 12 bulan.

2.5. Diagnosis dan Diagnosis BandingLumbanbatu (2003) menyatakan bahwa kecurigaan akan adanya GNAPS dicurigai bilsa dijumpai gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak, sembab, dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda glomerulonefritis yang khias pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus secara laboratorium, dan rendahnya kadar C3 mendukung bukti untuk menegakkan diagnosis.Diagnosis banding pada kasus GNAPS diantaranya sindrom nefrotik, Glomerulonefritis kronik, Henoch Schonlein Purpura (HSP), IgA Nephropathy, dan Hemolytic Uremic Syndrome. Anak dengan Nefropati IgA sering menunjukkan gejala hematuria yang nyata yang mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas, tetapi pada nefropati IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis, hipertensi dan sembab juga jarang tampak pada nefropati IgA. Kadar komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda yang penting untuk membedakan gelomerulonefritis akut dengan gelomerulonefritis kronik yang lain. kadar komplemen serum C3 akan kembali normal dalam 6 9 minggu pada GNAPS, sedangkan pada glomerulonefritis lain jauh lebih lama. Eksaserbasi hematuria makroskopik sering terlihat pada glomerulonefritis kronik akibat infeksi streptokokus dari strain non-nefritogenik yang lain (Noer, 2010). Sindrom nefrotik merupakan kelainan yang disebabkan oleh peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus terhadap protein. Manifestasi yang khas pada sindrom nefrotik adalah hipoalbuminemia, hiperlipedemia, dan edema (Pardede, 2005).Henoch-Schonlein Syndrome meru[aka penyakit yang menyebabkan purpura pada kulit, nyeri sendi, masalah sistem pencernaan, dan glomerulonefritis. Penyebab pastinya belum diketahui, biasanya menyerang anak anak. Penyakit ini biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas. Hemolytic-uremic syndrome merupakan kelainan yang biasanya muncul akibat toksik yang dikeluarkan oleh bakteri penyebab infeksi saluran pencernaan. Toksik ini dapat menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan kerusakan pada ginjal.2.6. TatalaksanaPenatalaksanaan yang direkomendasikan pada penderita GNAPS adalah terapi supportif dan simptomatik yang berdasarkan padan derajat keparahan penyakit secara klinis. Tujuan utama pengobatan adalah mengendalikan hipertensi dan edema. Selama fase akut pasien dibatasi aktivitasnya dengan pemberian diet 35 kal/kgbb/hari, diet protein hewani 0,5-0,7 gram/kgbb/hari, lemak tak jenuh, dan rendah garam yaitu 2 gr/hari natrium. Asupan elektrolit pun harus dibatasi. Natrium 20 meq/hari, rendah kalium yaitu 140-150/>100 mmHg) diterapi dengan pemberian hidralazin oral atau IM,nifedipin oral atau sublingual. Namun lebih baik merawat pasien hipertensi 1 2 hari daripada memberi anti hipertensi yang lama. Pada hipertensi berat diberikan hidralazin 0.15 0.30 mg/kgbb IV, dapat diulang setiap 2 4 jam atau reserpin 0.03 0.10 mg/kgbb/menit. Pada krisis hipertensi (?180/120 mmHg) diberi diazoxid 2 5 mg/kgbb IV secara cepat bersama furosemid 2 mg/kgbb IV. Pilihan lain, klonidin drip 0.002 mg/kgbb/kali, diulang seiap 4 6 jam atau diberi nifedipin sublingual 0.25 0.5 mg/kgbb dan dapat diulang setiap 6 jam bila diperlukan.Pada beberapa kasus berat dengan kondisi hiperkalemi dan sindrom uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa. Terapi steroid IV terutama diindikasikan untuk glomerulonefritis dengan luas lesi >30% glomerulus total. Metil prednisolon 500 mg/hari IV tebagi dalam 4 dosis selama 3 5 hari. Namun beberapa referensi menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi steroid dalam jangka panjang. Antibiotika diindikasikan untuk pengobatan infeksi streptokokus. Pemakaian antibiotik sebenarnya tidak mempengaruhi perjalanan penyakit. Namun pasien dengan biakan positif harus diberikan antibiotik untuk eradikasi organisme dan mencegah penyebaran ke individu lain. Pilihan obat yang direkomendasikan adalah penisilin G oral 4x250 mg selama 7 hari. Injeksi benzathin penisilin 50.000 U/kgbb IM atau eritromisin oral 40 mg/kgbb/hari selama 10 hari bila pasien alergi penisilin (Lumbanbatu, 2003; Renny & Suwitra, 2009).Perawatan dibutuhkan apabila dijumpai penurunan fungsi ginjal sedang sampai berat (klirens kreatinin 50 mg, anak dengan tanda dan gejala uremia, muntah,letargi, hipertensi ensefalopati, anuria, atau oligouria menetap.

2.7. Komplikasi dan PrognosisFase awal glomerulonefritis akut akan berlangsung beberapa hari 2 minggu. Setelah itu anak akan merasa lebih baik, diuresis lancar, edem hilang, dan hipertensi hilang, LFG kembali normal. Penyakit ini dapat sembuh sendiri, jarang berkembang menjadi kronik. Kronisitas dihubungkan dengan awal penyakit yang berat dan kelainan morfologis berupa hiperseluritas lobuls. Pasien sebaiknya kontrol tiap 4 6 minggu dalam 6 bulan pertama setelah awitan nefritis. Pengkuran tekanan darah, pemeriksaan eritrosit dan protein urin selama 1 tahun lebih bermanfaat untuk menilai perbaikan. Kadr C3 akan kembali normal setelah 8 12 minggu, edem membaik dalam 5 10 hari, tekanan darah kembali normal setelah 2- 3 minggu, walaupun dapat tetap tinggi sampai 6 minggu. Gross hematuri biasanya menghilang dalam 1 3 minggu, hematuria mikroskopik menghilang setelah 6 bulan, namun dapat bertahan sampai 1 tahun. Proteinuria menghilang dalam 2 3 bulan pertama atau setelah 6 bulan (Lumbanbatu, 2003).Terjadi glomerunolefritis kronis bila selam perjalanan penyakit ditemukan salah satu atau lebih tanda klinis, atau proteinuria dengan atau tanpa hematuri asimtomatik yang menetap selama bertahun tahun akan berubah menjadi kronis, akhirnya gagal ginjal kronis (Renny & Suwitra, 2009).Glomerulonefritis kronik sebagai kelanjutan dari glomerulonefritis akut yang tidak mendapat pengobatan secara tuntas.Gagal ginjal akut dengan manifestasi oliguria sampai anuria yang dapat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufiiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialysis (bila perlu).Enselopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak. Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang buka saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. Anemia yang timbul karena adanya hipovolemia disamping sintesis eritropoetik yang menurun.Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagia akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut dengan uremia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hidremia. Walau aliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, namun bila hal ini terjadi maka dialisis peritoneum kadang-kadang di perlukan.Anak kecil memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan anak yang lebih besar atau dewasa. Perbaikan klinis yang sempurna dan urin yang normal menunjukkan prognosis yang baik insiden ginjl berkisar 1 30%. Kemungkinana menjadi kronik 5 10%, sekitar 0.5 2% kasus menunjukkan penurunan fungsi ginjal yang cepat dan progresif dan dalam beberapa minggu atau bulan jatuh ke fase gagal ginjal terminal (lumbanbatu, 2003).

BAB IIIKESIMPULANSindrom Nefritis Akut merupakan sekumpulan gejala yang ditandai dengan adanya hematuria, proteinuria, dan silinder eritrosit yang muncul secara tiba tiba. Kelainan ini dapat juga muncul bersamaan dengan hipertensi, udem, dan retensi natrium-air. Salah satu penyebab sindrom nefritis akut yang paling sering pada anak adalah Glomerulonefritis akut paska infeksi streptokokus (GNAPS). Pada GNAPS manifestasi SNA muncul setelah adanya riwayat infeksi oleh bakteri streptokokus pada saluran pernapasan atas atau infeksi kulit. Masa laten GNAPS berkisar antara 1 2 minggu paska infeksi.Infeksi streptokokus memicu terjadinya proses imunitas dalam tubuh, yang pada akhirnya tubuh akan membentuk kompleks antigen antibodi yang berdeposit pada kapiler glomerulus, bahkan sampai memberana basalis glomerulus. Hal ini menyebabkan kebocroan vaskular, penurunan seletifitas filtrasi ginjal yang menyebabkan manifestasi hematuria dan proteinuria. Kerusakan pada glomerulus akan menurunkan lajur filtrasi glomelurus dan meningkatan reabsorbsi natrium air, hal ini muncul sebagai manifestasi hipertensi dan edema pada pasien. Kerusakan gelomerulus yang tidak segera diatasi akan menyebabkan gagal ginjal akut pada anak. Penegakkan diagnosis GNAPS dapat dilakukan melalui pengamatan manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan serum titer ASO, urinalisis dengan menemukan silinder eritrosit, atau kultur dari sediaan usap tenggorokan atau kulit.Terapi utama dari GNAPS adalah terapi suportif dan mengobatai penyebabnya. Pemberian antibiotik dapat diberikan jika bukti infeksi streptokokus dapat ditemukan. Prognosis GNAPS pada anak umumnya baik, hanya sedikit yang kemudia berkembang menjadi glomerulonefritik kronik, atau gagal ginjal kronik bahkan gagal ginjal terminal.

DAFTAR PUSTAKA

Lumbanbatu, SM. 2003. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak, Sari Pediatri, vol. 5. Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Parmar, SP. 2013. Acute Glomerulonephritis. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/239278-overview#a0101. Accessed at: 18th of May 2013, 06.30 PMNoer, MS. 2010. Glomerulonefritis; Buku Ajar Nefrologi Anak, 2nd edt, hlm. 323 365. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Pardede, SO. 2009. Struktur Sel Streptokokus dan Patogenesis Glomerulonefritis Akut Pascasetreptokokus; Sari Pediatri, Vol. 11. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta.

Renny RA & Suwitra K. 2010. Seorang Penderita Sindrom Nefritik Akut Pasca Infeksi Streptokokus, Vol. 10. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah. Denpasar.

Sherwood, L. 2001. Sistem Kemih : Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, 2nd edt, hlm. 461 502. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Sukandar, E. 2006. Sindrom Nefritik Akut: Nefrologi Klinik, 3rd edt, hlm. 221 232. Pusat Informasi Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/ RS. Dr. Hasan Sadikin. Bandung.

16