TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai...

14
TINJAUAN PUSTAKA Program Desa Mandiri Pangan Menurut BKP (2010) pembangunan ketahanan pangan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan nasional, oleh karena itu pemerintah berupaya membangun ketahanan pangan melalui programprogram yang mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa upaya untuk mencapai tujuan tersebut, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 program prioritas, yakni: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP), (2) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani (PPKP); dan (3) Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik (PPKB). Program peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin masyarakat agar memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal. Berkaitan dengan tujuan dan sasaran program tersebut, Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 kegiatan prioritas: (1) Penguatan Lembaga Distribusi Pangan Masyarakat (Penguatan LDPM); (2) Pengembangan Desa Mandiri Pangan (Demapan) dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP); dan (3) Diversifikasi Pangan. Program desa mandiri pangan merupakan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di desa rawan pangan, dengan karakteristik kualitas sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan infrastruktur pedesaan. Adapun konsep tujuan utama program desa mandiri pangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep tersebut merupakan penjabaran dari konsep livelihood. Konsep Livelihood Menurut Saragih et. al. (2007) secara etimologis, makna kata livelihood itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), yang dimiliki oleh individu maupun keluarga. Adapun kerangka berfikir livelihood diawali dengan cara suatu individu atau keluarga dapat mempertahankan hidupnya pada suatu kondisi tertentu, diantaranya dengan menggunkan aset yang ada misalnya sumberdaya alam, sosial, manusia, finansial, dan fisik yang kemudian akan memberikan suatu perubahan terhadap suatu struktur pemerintahan. Perubahan struktur pemerintahan tersebut dilakukan melalui pembentukan kebijakan-kebijakan baru yang pada akhirnya berupaya menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan diantaranya pendapatan yang

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai...

TINJAUAN PUSTAKA

Program Desa Mandiri Pangan

Menurut BKP (2010) pembangunan ketahanan pangan merupakan

bagian yang tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan nasional, oleh karena itu

pemerintah berupaya membangun ketahanan pangan melalui program–program

yang mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Beberapa upaya untuk mencapai tujuan tersebut,

Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 program prioritas, yakni: (1) Program

Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP), (2) Program Peningkatan Kesejahteraan

Petani (PPKP); dan (3) Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik (PPKB).

Program peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin

masyarakat agar memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal.

Berkaitan dengan tujuan dan sasaran program tersebut, Badan Ketahanan

Pangan melaksanakan 3 kegiatan prioritas: (1) Penguatan Lembaga Distribusi

Pangan Masyarakat (Penguatan LDPM); (2) Pengembangan Desa Mandiri

Pangan (Demapan) dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP); dan (3)

Diversifikasi Pangan.

Program desa mandiri pangan merupakan program pemberdayaan

masyarakat yang dilakukan di desa rawan pangan, dengan karakteristik kualitas

sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses

teknologi, dan infrastruktur pedesaan. Adapun konsep tujuan utama program

desa mandiri pangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep

tersebut merupakan penjabaran dari konsep livelihood.

Konsep Livelihood

Menurut Saragih et. al. (2007) secara etimologis, makna kata livelihood

itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), yang

dimiliki oleh individu maupun keluarga. Adapun kerangka berfikir livelihood

diawali dengan cara suatu individu atau keluarga dapat mempertahankan

hidupnya pada suatu kondisi tertentu, diantaranya dengan menggunkan aset

yang ada misalnya sumberdaya alam, sosial, manusia, finansial, dan fisik yang

kemudian akan memberikan suatu perubahan terhadap suatu struktur

pemerintahan. Perubahan struktur pemerintahan tersebut dilakukan melalui

pembentukan kebijakan-kebijakan baru yang pada akhirnya berupaya

menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan diantaranya pendapatan yang

5

lebih baik, meningkatnya kesejahteraan, serta keamanan pangan yang lebih

baik.

Sumber: Saragih, et. al. (2007)

Gambar 1Kerangka kerja livelihood

Konsep program desa mandiri pangan dengan livelihood menunjukkan

bahwa, program tersebut merupakan suatu program yang ditujukkan untuk

merubah suatu kondisi kerentanan (masyarakat dengan kualitas sumberdaya

masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan

infrastruktur pedesaan) menuju suatu kondisi yang lebih baik terhadap

kehidupannya. Kondisi kerentanan terutama di wilayah perdesaan yang sebagian

masyarakatnya bekerja disektor pertanian dengan rata-rata usia lebih dari 45

tahun (Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008)

dalam Departemen Pertanian 2010). Usia seseorang terutama ayah atau ibu

sebagai sumber nafkah keluarga dikelompokan berdasarkan WNPG (2004)

menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia

seseorang tergolong dewasa awal apabila tergolong usia antara 19-29 tahun,

usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun.

6

Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada diantara umur

50-64 tahun, sedangkan seseorang tergolong manula apabila seseorang berusia

lebih dari sama dengan 65 tahun. Bekerja merupakan kegiatan melakukan

pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh

penghasilan atau keuntungan. Usia dan pekerjaan seseorang merupakan salah

satu aset livelihood yang akan digunakan untuk mempertahankan hidup dirinya

atau keluarga. Program desa mandiri pangan sebagai suatu strategi livelihood

dengan fokus kegiatan dibidang ketahanan pangan bertujuan meningkatkan

kesejahteraan terutama meningkatkan akses pangan keluarga sehingga

kebutuhan pangan keluarga dapat tercukupi.

Tahapan Kemandirian Pangan

Menurut Badan Ketahanan Pangan (2010) pencapaian tujuan desa

mandiri pangan dilakukan dalam kurun waktu empat tahun, meliputi tahap

persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan, dan tahap kemandirian.

Tahap persiapan dilaksanakan dalam waktu satu tahun dengan kegiatan

mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui sosialisasi, pelatihan-

pelatihan,dan pendampingan; penetapan desa pelaksana dan penyusunan data

base RTM sasaran dan potensi desa. Indikator keberhasilan pada tahap

persiapan meliputi:

(1) Ditetapkannya lokasi desa pelaksana Proksi Desa Mapan

(2) Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang Proksi Desa Mapan

(3) Tersusunnya data base Desa Mandiri Pangan

(4) Terbentuknya Pokja di tiap tingkatan dan terbentuknya Tim Pangan Desa

(5) Terbentuknya kelompok afinitas di lokasi sasaran

(6) Terpilihnya tenaga pendamping

(7)Terlaksananya pelatihan aparat tingkat propinsi, kabupaten, desa,

pendamping dan masyarakat pelaksana Proksi Desa Mandiri Pangan

(8) Tersusunnya Rencana Pembangunan Wilayah Desa secara partisipatif

(RPWD).

Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan tahap penumbuhan dalam

pengembangan sistem ketahanan pangan terlihat dari indikator keberhasilannya,

yakni; (1) meningkatnya diversifikasi produksi pangan, (2) berkembangnya

intensifikasi usaha, (3) tumbuhnya lumbung pangan masyarakat, (4)

meningkatnya kegiatan usaha-usaha perdagangan bahan pangan oleh anggota

kelompok afinitas maupun kelompok lainnya di tingkat desa, (5) meningkatnya

7

pemasaran hasil secara kolektif di desa, (6) terbentuknya lembaga pemasaran

(pasar) di tingkat desa maupun wilayah yang lebih luas untuk menampung hasil-

hasil produksi masyarakat, (7) tersedianya informasi pasar harga dan jenis

komoditi pangan, (8) meningkatnya penganekaragaman konsumsi pangan

berbasis sumberdaya wilayah, (9) tersedianya teknologi pengolahan dan produk

pangan, (10) meningkatnya keterampilan masyarakat dalam mengolah pangan,

(11) meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pangan

beragam, bergizi, berimbang dan aman.

Tahap pengembangan merupakan tahapan ketiga pelaksanaan proksi

desa mapan yang ditunjukkan dengan adanya penguatan dan pengembangan

dinamika dan usaha produktif kelompok afinitas, pengembangan fungsi

kelembagaan layanan modal, kesehatan, pendidikan, sarana usaha tani, dan

lain-lain. Terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli,

gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga,

peningkatan pola pikir masyarakat, serta peningkatan keterampilan dan

pengetahuan masyarakat.

Tahap kemandirian merupakan tahapan keempat atau (tahun ke IV)

dalam pelaksanaan Proksi Desa Mapan yang ditunjukkan oleh bekerjanya sistem

ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan dan kecukupan pangan,

kemudahan akses distribusi pangan wilayah, kestabilan harga pangan, serta

konsumsi pangan yang cukup, beragam, bergizi, berimbang dan aman sampai

tingkat rumah tangga.Tahun 2010 kegiatan Desa Mandiri Pangan memasuki

tahap kemandirian, sehingga untuk menentukan capaian kemandirian desa

sasaran yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran program perlu dilakukan

evaluasi (BKP 2009b).

Metode Evaluasi Program

Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai secara berkala apa

yang telah dihasilkan, untuk mengetahui apakah proyek berhasil mencapai

tujuan-tujuan utamanya. Pemantauan dan evaluasi adalah alat pengelolaan yang

berguna untuk pengambilan keputusan dan memastikan bahwa tindakan

perbaikan dapat segera diambil secara cepat dan tepat. Beberapa jenis evaluasi

yang dapat dilakukan antara lain:

1. Evaluasi Keluaran (Output)

Evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan

kesejahteraan yang terjadi dengan membandingkan kondisi saat ini dari warga

8

miskin dan kelompok sasaran lainnya, setelah berjalannya program (tahunan).

Dasar pengukuran dan evaluasi ini dari hasil survey dasar yang dilakukan oleh

para konsultan program sektor. Evaluasi ini dapat dilakukan berbagai pihak, baik

penangung jawab program maupun pihak-pihak lain secara independen.

2. Evaluasi Dampak (Impact)

Evaluasi dampak dengan fokus utama pada dampak yang menggunakan

metode campuran, baik menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif.

Sejumlah survei akan dilakukan untuk mengukur dampak program, dengan

menggunakan survei rumah tangga, Susenas (survey sosial ekonomi nasional),

dan studi kualitatif. Keseluruhan survei menggunakan teknik perbedaan ganda

dengan melihat: kondisi sebelum dan sesudah, serta wilayah perlakuan dan

wilayah kontrol (dengan dan tanpa intervensi program). Kajian Suryahadi (2007)

dalam Bappenas (2007a) dampak suatu program dapat diketahui dengan melihat

selisih indikator antara kelompok penerima dan bukan penerima program.

Ruang lingkup evaluasi dampak meliputi: perubahan tingkat hidup

(livelihood) dan perubahan pola pikir (mindset) dengan Vectorial Project Analysis

(VPA) dilakukan periode tahunan atau setiap tahap pelaksanaan Desa Mandiri

Pangan. Indikator kemajuan tingkat kehidupan (livelihood) dikelompokkan

sebagai indikator yang bersifat fisik (tangible) atau indikator-indikator yang dapat

diukur secara kuantitatif. Indikator tersebut akan menggambarkan kemajuan fisik

status ketahanan pangan yang antara lain diukur melalui beberapa sub indikator

yaitu: (1) Pendapatan, dan (2) Konsumsi pangan.

6.3. Studi Khusus/Tematik

Studi khusus atau tematik merupakan jenis evaluasi untuk mempertajam

hasil pemantauan dan berbagai jenis evaluasi reguler di atas. Evaluasi tematik

dilakukan saat dimulainya program sampai beberapa tahun kedepan setelah

adanya program. Beberapa contohevaluasi tematik diantaranya:kaji cepat

prasarana fisik untuk mengevaluasi mutu infrastruktur yang dibangun dengan

standar PNPM Mandiri, pengkajian operasional dan perawatanuntuk

mengevaluasi tata cara operasional dan perawatan infrastruktur, pengkajian

dampak ekonomi dan tingkat pengembalian untuk mengukur dampak ekonomi

program PNPM Mandiri, dan sebagainya.

Akses Pangan

Bappenas (2007b) menyatakan bahwa akses pangan berkaitan dengan

konsumsi pangan dan tingkat konsumsi pangan dalam keluarga tersebut dapat

9

menggambarkan konsumsi pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan

tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli

masyarakat terhadap pangan. Menurut Rachmat et. al (2010) akses pangan

tingkat keluarga diartikan sebagai kemampuan keluarga dalam memperoleh

pangan yang cukup secara terus menerus melalui berbagai cara, seperti

produksi pangan keluarga, persediaan pangan keluarga, jual beli, dan tukar-

menukar.

Akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik,

akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Secara fisik

akses pangan dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan/produksi pangan dan

sarana/prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, transportasi yang

mendukung lancarnya distribusi pangan untuk menjamin pasokan pangan

tersedia dengan cukup dimana saja dan setiap waktu. Indikator fisik terdiri dari

ketersediaan pangan pokok (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dan

infrastuktur. Ketersediaan pangan pokok berupa rasio konsumsi normatif

terhadap ketersediaan bersih pangan dan pokok (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar

dalam ton GKG, PK, dll). Indikator infrastruktur berupa persentase desa yang

tidak dapat dilalui kendaraan roda empat dan persentase desa yang tidak

mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar lebih dari (minimum) 3 km.

Persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, digunakan

sebagai indikator yang mewakili akses/infastruktur jalan, karena semakin besar

persentase akses desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, maka

semakin buruk aksesnya terhadap pangan. Persentase desa yang tidak

mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar minimum 3 km, karena pasar

merupakan sarana untuk memperoleh segala macam kebutuhan manusia

termasuk pangan, akses pasar dan jarak terdekat ke pasar akan mempengaruhi

tingkat akses pangan. Kepemilikan pasar suatu desa akan mempengaruhi rumah

tangga dalam mengakses pangan. Jarak terdekat ke pasar lebih dari 3 km akan

mempengaruhi wkatu tempuh ke pasae yang akan mempengaruhi dalam

mengakses pangan. Semakin sulit akses rumah tangga ke pasar semkin rendah

akses pangannya.

Secara ekonomi akses pangan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat

terhadap pangan. Daya beli antara lain dipengaruhi oleh sumber

matapencaharian dan pendapatan. Mata pencaharian merupakan faktor penentu

pendapatan rumah tangga yang selanjutnya menjadi penentu kemampuan akses

10

pangannya. Indikator ekonomi dilihat dari daya beli pangan (ukuran kemampuan

masyarakat rata-rata penduduk dalam membeli pangan) meliputi persentase

penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinann, persentase penduduk yang

bekerja kuarang dari 36 jam per minggu, serta nilai product domestic regional

bruto (PDRB) ekonomi kerakyatan per kapita.

Akses sosial antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk,

bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial/kemanan dan lainnya.

Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi kesempatan atau

peluangnya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan

yang lebih baik pula. Konflik sosial yang menimbulkan situasi tidak aman di suatu

wilayah dapat menghambat pasokan pangan ke wilayah dapat menghambat

pasokan pangan ke wilayah tersebut yang menghambat akses penduduk

terhadap pangan. Indikator sosial mencakup persentase penduduk yang tidak

tamat sekolah dasar (SD)

Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi

ketersediaan dan produksi pangan serta sarana/prasarana infrastruktur dasar

seperti akses jalan, pasar dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi

pangan. Beberapa contoh indikator akses fisik diantaranya: persentase desa

yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan persentase rumah

tangga tanpa akses listrik.Akses penghubung misalnya kendaraan beroda

empat, merupakan sarana dalam mempermudah penyaluran pangan ke suatu

daerah. Akses ekonomi dipengaruhi oleh persentase penduduk yang hidup

dibawah garis kemiskinan dan persentase penduduk yang bekerja kurang dari 36

jam dalam seminggu. Persentase keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan

diartikan sebagai keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar

diantaranya pangan, hal tersebut menyebabkan akses pangan seseorang

menjadi rendah. Akses ekonomi dilihat dari pengeluaran total dan pengeluaran

pangan per kapita per bulan.

Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan

agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari persentase

keluarga yang tidak tamat sekolah dasar. Jumlah anggota keluarga, pendidikan

ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu dapat pula dijadikan sebagai indikator

akses sosial.Akses sosial keluarga terhadap pangan merupakan suatu

akses/cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan agar dapat memenuhi

kebutuhan pangan. World Food Programme (2005) menjelaskan bahwa

11

pendidikan juga mempengaruhi akses pangan melalui sumber daya tunai/cash

dalam jangka waktu pendek dan berpengaruh terhadap kapasitas produksi dan

pendapatan dalam jangka waktu yang panjang. Akses pangan sosial antara lain

dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008)

menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses

sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu

memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga,

pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu.

Berbagai komponen yang mempengaruhi akses pangan tersebut

digabungkan untuk mengetahui indeks akses pangan. Berdasarkan indeks

tersebut, akses pangan digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan

tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya lebih dari

0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indenks kompositnya berada

diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks

komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian

2008).

Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi

ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan.

Badan Pusat Statistik tahun 2008 mendefinisikan kemiskinan adalah suatu

kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang, yang tidak mampu

menyelenggarakan hidup sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan

seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.

Salah satu persoalan kemiskinan adalah kerentanan (Saldanha 1998).

Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat lima klasifikasi kemiskinan, yakni:

a. Kemiskinan absolut digolongkan apabila hasil pendapatannya berada

dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi

kebutuhan minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan

pendidikan.

b. Kemiskinan relatif digunakan untuk menunjukkan ketimpangan

pendapatan yang berguna untuk mengukur ketimpangan antar

wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu.

c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diukur atas kurangnya

perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi, atau

12

peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan

kesempatan yang ada.

d. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yakni:

(1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup

masyarakat yang tidak produktif.

(2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang

kritis SDA dan daerah terpencil).

(3) rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan,

terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat

dalam mengikuti ekonomi pasar.

e. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus

ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang

bersifat musiman dan bencana alam atau dampak dari suatu yang

menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

Berdasarkan golongannya, Sajogyo (1977) mengklasifikasikan orang

miskin dalam tiga golongan yakni: lapisan miskin, miskin sekali, dan paling

miskin. Golongan lapisan miskin adalah golongan orang yang memiliki

pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 Kg tetapi kurang

dari 480 Kg. Golongan miskin sekali adalah golongan orang yang memiliki

pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240-360 Kg, sedangkan

golongan paling miskin adalah golongan yang memiliki pengahasilan per kapita

per tahun beras kurang dari 240 Kg. Cara mengukur kemiskinan dengan

pendekatan kemiskinan absolut adalah memperhitungkan standar kebutuhan

pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan

mengungkapkan masalah garis kemiskinan. Besar kecilnya penduduk miskin

dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk

yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis

kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur

melalui pengeluaran per kapita per bulan. Semakin tinggi persentase penduduk

miskin maka semakin rendah akses pangan penduduk di wilayah tersebut. Garis

kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Ciamis adalah

Rp 193652 (BPS 2010).

Menurut Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengklasifikasikan

penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan,

13

apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka tergolong miskin.

Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis

kemiskinan maka tergolong tidak miskin atau sedang. Pengeluaran berada lebih

dari 20% garis kemiskinan maka digolongkan tidak miskin dan tergolong tinggi.

Daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan fungsi

dari akses pangan dimensi ekonomi. Suatu keluarga berdasarkan pekerjaannya

memiliki satu atau lebih sumber pendapatan untuk membeli pangan dan

kebutuhan lainnya. Anggota keluarga yang menjadi sumber keuangan utama

biasanya ayah atau suami, tetapi ada pula pencari nafkah itu ibu atau istri. Suatu

kondisi ditinjau dari akses ekonomi keluarga, apabila suami dan ibu memiliki

pekerjaan maka akses ekonominya menjadi lebih baik (Hildawati 2008). Menurut

Susanti (1999) pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang

diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Tingginya pendapatan tersebut diikuti

dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga tingkat

pendapatan akan mencerminkan kemampuan membeli bahan pangan.

Jumlah Anggota Keluarga

Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya

anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah,

ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya

yang sama.Berdasakan banyaknya jumlah anggota dalam suatu keluarga,

besarnya keluarga dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni keluarga

kecil, sedang, dan banyak. Golongan keluarga kecil adalah keluarga dengan

jumlah anggota kurang dari atau sama dengan empat orang. Keluarga tergolong

sedang apabila jumlah anggota keluarganya lima sampai enam orang,

sedangkan golongan keluarga banyak adalah keluarga dengan jumlah anggota

keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang (BKKBN 1998).

Harper et al. (1985) menghubungkan antara besarnya keluarga,

pendapatan, dan konsumsi. Keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak

akan lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan

dengan keluarga yang memiliki jumlah keluarga sedikit. Terdapat pula

pernyataan bahwa keluarga yang konsumsi pangannya kurang akan

menyebabkan anak mudah atau sering menderita gizi kurang. Menurut Hildawati

(2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan

keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982)

bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan

14

yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan

kebutuhan masing-masing anggota keuarga.

Pendidikan Ayah dan Ibu

Tingkat pendidikan orang tua yakni ayah dan ibu merupakan salah satu

faktor yang mampu mempengaruhi pola asuh anak termasuk pemberian makan,

pola konsumsi pangan, dan status gizi. Pendidikan seseorang pun akan

memengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan

dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak

bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat

SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas

SLTP/sederajat) (BPS 2007). Pendidikan yang tergolong tinggi belum tentu

menjadikan konsumsi makan suatu keluarga menjadi lebih baik, hal ini

dikarenakan pendidikan ayah tidak mampu berdiri sendiri, melainkan akan

berinteraksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982 dalam Sukandar

2009).

Pengetahuan Gizi Ibu

Pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seorang ibu tentang ilmu

gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan.

Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi

pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui

pendidikan formal maupun informal, selain itu pengetahuan gizi dapat diperoleh

dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti

membaca surat kabar atau majalah, mendengar siaran radio, dan menyaksikan

siaran televisi atau pun penyuluhan kesehatan atau gizi (Khomsan 2002).

Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun keluarga memiliki daya

beli cukup dan pangan juga tersedia, namun apabila pengetahuan pangan dan

gizinya masih rendah maka akan sulit bagi keluarga yang bersangkutan untuk

dapat memenuhi konsumsi pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas.

Pengetahuan gizi ibu diperoleh dari pendidikan formal/informal menurut Susanto

(1996) dalam Sihite (2010) merupakan salah satu aspek sosial yang

berpengaruh terhadap ketahanan pangan dimensi akses pangan secara sosial.

Pengetahuan gizi ibu yang tergolong tinggi tidak menjamin keluarga

tersebut memiliki tingkat konsumsi protein yang cukup, hal ini diduga karena

pengaruh pengetahuan gizi ibu terhadap konsumsi makanan tidak selalu linear.

Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri

15

tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982

dalam Sukandar 2009).

Terdapat tiga kategori untuk penilaian tingkat pengetahuan gizi, yaitu

kurang, sedang, dan baik. Contoh yang mendapatkan total skor <60 persen

dikategorikan kurang. Jika contoh mendapatkan total skor antara 60 sampai 80

persen maka termasuk kategori sedang dan jika contoh mendapatkan total skor

>80 persen maka termasuk kategori baik (Khomsan 2000).

Pengeluaran Keluarga

Menurut BPS (2010), data pengeluaran keluarga lebih menggambarkan

pendapatan keluarga yang meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain

seperti pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, dan pemberian. Data

pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam

pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Menurut Moho dan

Wagner (1981) dalam Hildawati (2008), data pengeluaran dapat

menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang

biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah,

biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka oleh karena

itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.

Kajian Purwantini dan Ariani (2008) bahwa semakin tinggi persentase

pengeluaran pangan suatu keluarga maka semakin kurang sejahtera keluarga

tersebut. Beras merupakan pangan pokok sehingga proporsi pengeluaran untuk

beras menjadi dominan di Indonesia (Ariani dan Purwantini 2002). Penelitian

Purwanti (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi persentase pengeluaran

pangan maka semakin kurang sejahtera keluarga tersebut. Pengeluaran per

kapita per bulan apabila semakin berada diatas garis kemiskinan maka semakin

tinggi pula kemampuan suatu keluarga dalam mengakses pangan. Pengeluaran

keluarga sebagai pendekatan pendapatan keluarga dikelompokan menjadi akses

pangan rendah, sedang, dan tinggi. Penggolongan tersebut didasarkan pada

konsep Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengkalsifikasikan

penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan,

apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan

rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis

kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang.

Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak

16

miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi

akses pangan tinggi.

Pengeluaran Pangan

Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan

seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses

pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Kemampuan membeli

pangan terutama kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100

kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili

oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,

sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).

Akses pangan akan semakin tinggi apabila pengeluaran pangan pun

tinggi, sehingga akses pangan dikategorikan menjadi akses pangan rendah,

sedang, dan tinggi. Pengeluaran pangan semakin tinggi apabila pengeluaran

tersebut berada semakin jauh diatas garis kemiskinan makanan, sebagai

pemenuhan kebutuhan minimum. Pengkategorian tersebut didasarkan melalui

pendekatan seperti halnya pengeluaran total per kapita per bulan, dimana akses

pangan tinggi apabila jarak antara pengeluaran dengan garis kemiskinan

makanan lebih dari 20%. Akses pangan tergolong sedang apabila jarak antara

pengeluaran pangan dengan garis kemiskinan makanan antara satu sampai

dengan 20% dari garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah

apabila pengeluaran pangan dibawah garis kemiskinan makanan. Garis

kemiskinan makanan yang digunakan adalah garis kemiskinan makanan

Kabupaten Ciamis yaitu Rp 115010.

Konsumsi Pangan

Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) konsumsi pangan adalah

informasi pangan yang dimakan atau dikonsumsi seseorang atau kelompok

orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya

konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang

dikonsumsi.Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), terdapat dua pengertian

tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi

makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi

seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan. Penilaian terhadap

kandungan zat gizi makanan digunakan apabila ingin membandingkan

kandungan zat gizi antar berbagai makanan atau suatu hidangan, sedangkan

membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau

17

kelompok orang dengan angka kecukupan digunakan apabila ingin mengetahui

tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau keluarga.

Metode Recall

Menurut Arisman (2007) metode recall merupakan metode yang cukup

baik diterapkan dalam survei terhadap kelompok masyarakat. Metode recall

merupakan metode yang digunakan dengan cara mencatat jumlah dan jenis

bahan pangan yang dikonsumsi pada beberapa waktu lalu, bisanya recall

dilakukan 24 jam. Ukuran keluarga dan jumlah pangan yang dikonsumsi

ditanyakan kepada responden kemudian dikonversikan ke dalam satuan berat.

Wawancara ini hendaknya dilakukan secara mendalam agar responden dapat

memberikan jawaban mengenai jenis dan memperkirakan jumlah bahan pangan

(Suhardjo et. al. 1988). Jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan

menanyakan bentuk ukuran keluarga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring,

dan alat atau ukuran lain yang biasa digunakan di keluarga yang kemudian akan

dikonversikan ke dalam bentuk gram. Metode ini merupakan metode yang paling

banyak digunakan dan mudah (Kusharto & Sa’diyyah 2008).

Tingkat Konsumsi Energi dan Protein

Tingkat konsumsi energi dan proteinmerupakanindikator kebutuhan

pangan minimum (BPS 2008).Seseorang atau kelompok orang

(rumahtangga/keluarga) yang mengkonsumsi energi dan atau protein kurang dari

70% angka kecukupan (recommended dietary allowances), maka seseorang

atau kelompok orang(rumahtangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi

pangannya kurang/tidak(Sukandar 2009). Depkes (1996) mengklasifikasikan

tingkat konsumsi energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat

berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%),

normal (90-119%) dan lebih (>120%). Penilaian tingkat konsumsi energi dan

protein rata-rata untuk satu keluarga merupakan perbandingan antara rata-rata

konsumsi energi dan protein aktual dengan rata-rata kebutuhan energi dan

protein keluarga. Rata-rata kebutuhan energi dan proteinkeluarga, didapatkan

dariperhitungan kebutuhan energi dan protein individu anggota keluarga yang

kemudian dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata kebutuhan energi atau

protein keluarga. Kebutuhan energi dan protein individu dihitung dengan

membandingkan berat badan aktual individu disetiap keluarga dengan berat

badan ideal dikalikan dengan kecukupan energi atau protein yang

dianjurkan(Hardinsyah & Martianto 1992).