TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA - repository.ipb.ac.id · Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai...
TINJAUAN PUSTAKA
Program Desa Mandiri Pangan
Menurut BKP (2010) pembangunan ketahanan pangan merupakan
bagian yang tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan nasional, oleh karena itu
pemerintah berupaya membangun ketahanan pangan melalui program–program
yang mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Beberapa upaya untuk mencapai tujuan tersebut,
Badan Ketahanan Pangan melaksanakan 3 program prioritas, yakni: (1) Program
Peningkatan Ketahanan Pangan (PKP), (2) Program Peningkatan Kesejahteraan
Petani (PPKP); dan (3) Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik (PPKB).
Program peningkatan ketahanan pangan bertujuan untuk menjamin
masyarakat agar memperoleh pangan yang cukup setiap saat, sehat dan halal.
Berkaitan dengan tujuan dan sasaran program tersebut, Badan Ketahanan
Pangan melaksanakan 3 kegiatan prioritas: (1) Penguatan Lembaga Distribusi
Pangan Masyarakat (Penguatan LDPM); (2) Pengembangan Desa Mandiri
Pangan (Demapan) dan Penanganan Daerah Rawan Pangan (PDRP); dan (3)
Diversifikasi Pangan.
Program desa mandiri pangan merupakan program pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan di desa rawan pangan, dengan karakteristik kualitas
sumberdaya masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses
teknologi, dan infrastruktur pedesaan. Adapun konsep tujuan utama program
desa mandiri pangan adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep
tersebut merupakan penjabaran dari konsep livelihood.
Konsep Livelihood
Menurut Saragih et. al. (2007) secara etimologis, makna kata livelihood
itu meliputi aset atau modal (alam, manusia, finansial, sosial dan fisik), yang
dimiliki oleh individu maupun keluarga. Adapun kerangka berfikir livelihood
diawali dengan cara suatu individu atau keluarga dapat mempertahankan
hidupnya pada suatu kondisi tertentu, diantaranya dengan menggunkan aset
yang ada misalnya sumberdaya alam, sosial, manusia, finansial, dan fisik yang
kemudian akan memberikan suatu perubahan terhadap suatu struktur
pemerintahan. Perubahan struktur pemerintahan tersebut dilakukan melalui
pembentukan kebijakan-kebijakan baru yang pada akhirnya berupaya
menghasilkan suatu perubahan dalam kehidupan diantaranya pendapatan yang
5
lebih baik, meningkatnya kesejahteraan, serta keamanan pangan yang lebih
baik.
Sumber: Saragih, et. al. (2007)
Gambar 1Kerangka kerja livelihood
Konsep program desa mandiri pangan dengan livelihood menunjukkan
bahwa, program tersebut merupakan suatu program yang ditujukkan untuk
merubah suatu kondisi kerentanan (masyarakat dengan kualitas sumberdaya
masyarakat rendah, terbatasnya sumber daya modal, akses teknologi, dan
infrastruktur pedesaan) menuju suatu kondisi yang lebih baik terhadap
kehidupannya. Kondisi kerentanan terutama di wilayah perdesaan yang sebagian
masyarakatnya bekerja disektor pertanian dengan rata-rata usia lebih dari 45
tahun (Nurmanaf et. al. (2004), Irawan et. al (2007), dan Kustiari et. al. (2008)
dalam Departemen Pertanian 2010). Usia seseorang terutama ayah atau ibu
sebagai sumber nafkah keluarga dikelompokan berdasarkan WNPG (2004)
menjadi usia dewasa awal, dewasa sedang, dewasa lanjut, dan manula. Usia
seseorang tergolong dewasa awal apabila tergolong usia antara 19-29 tahun,
usia tergolong dewasa sedang apabila seseorang berusia antara 30-49 tahun.
6
Usia seseorang tergolong dewasa lanjut apabila usianya berada diantara umur
50-64 tahun, sedangkan seseorang tergolong manula apabila seseorang berusia
lebih dari sama dengan 65 tahun. Bekerja merupakan kegiatan melakukan
pekerjaan dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh
penghasilan atau keuntungan. Usia dan pekerjaan seseorang merupakan salah
satu aset livelihood yang akan digunakan untuk mempertahankan hidup dirinya
atau keluarga. Program desa mandiri pangan sebagai suatu strategi livelihood
dengan fokus kegiatan dibidang ketahanan pangan bertujuan meningkatkan
kesejahteraan terutama meningkatkan akses pangan keluarga sehingga
kebutuhan pangan keluarga dapat tercukupi.
Tahapan Kemandirian Pangan
Menurut Badan Ketahanan Pangan (2010) pencapaian tujuan desa
mandiri pangan dilakukan dalam kurun waktu empat tahun, meliputi tahap
persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan, dan tahap kemandirian.
Tahap persiapan dilaksanakan dalam waktu satu tahun dengan kegiatan
mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui sosialisasi, pelatihan-
pelatihan,dan pendampingan; penetapan desa pelaksana dan penyusunan data
base RTM sasaran dan potensi desa. Indikator keberhasilan pada tahap
persiapan meliputi:
(1) Ditetapkannya lokasi desa pelaksana Proksi Desa Mapan
(2) Meningkatnya pemahaman masyarakat tentang Proksi Desa Mapan
(3) Tersusunnya data base Desa Mandiri Pangan
(4) Terbentuknya Pokja di tiap tingkatan dan terbentuknya Tim Pangan Desa
(5) Terbentuknya kelompok afinitas di lokasi sasaran
(6) Terpilihnya tenaga pendamping
(7)Terlaksananya pelatihan aparat tingkat propinsi, kabupaten, desa,
pendamping dan masyarakat pelaksana Proksi Desa Mandiri Pangan
(8) Tersusunnya Rencana Pembangunan Wilayah Desa secara partisipatif
(RPWD).
Ruang lingkup pelaksanaan kegiatan tahap penumbuhan dalam
pengembangan sistem ketahanan pangan terlihat dari indikator keberhasilannya,
yakni; (1) meningkatnya diversifikasi produksi pangan, (2) berkembangnya
intensifikasi usaha, (3) tumbuhnya lumbung pangan masyarakat, (4)
meningkatnya kegiatan usaha-usaha perdagangan bahan pangan oleh anggota
kelompok afinitas maupun kelompok lainnya di tingkat desa, (5) meningkatnya
7
pemasaran hasil secara kolektif di desa, (6) terbentuknya lembaga pemasaran
(pasar) di tingkat desa maupun wilayah yang lebih luas untuk menampung hasil-
hasil produksi masyarakat, (7) tersedianya informasi pasar harga dan jenis
komoditi pangan, (8) meningkatnya penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis sumberdaya wilayah, (9) tersedianya teknologi pengolahan dan produk
pangan, (10) meningkatnya keterampilan masyarakat dalam mengolah pangan,
(11) meningkatnya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pangan
beragam, bergizi, berimbang dan aman.
Tahap pengembangan merupakan tahapan ketiga pelaksanaan proksi
desa mapan yang ditunjukkan dengan adanya penguatan dan pengembangan
dinamika dan usaha produktif kelompok afinitas, pengembangan fungsi
kelembagaan layanan modal, kesehatan, pendidikan, sarana usaha tani, dan
lain-lain. Terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli,
gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga,
peningkatan pola pikir masyarakat, serta peningkatan keterampilan dan
pengetahuan masyarakat.
Tahap kemandirian merupakan tahapan keempat atau (tahun ke IV)
dalam pelaksanaan Proksi Desa Mapan yang ditunjukkan oleh bekerjanya sistem
ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan dan kecukupan pangan,
kemudahan akses distribusi pangan wilayah, kestabilan harga pangan, serta
konsumsi pangan yang cukup, beragam, bergizi, berimbang dan aman sampai
tingkat rumah tangga.Tahun 2010 kegiatan Desa Mandiri Pangan memasuki
tahap kemandirian, sehingga untuk menentukan capaian kemandirian desa
sasaran yang diharapkan sesuai tujuan dan sasaran program perlu dilakukan
evaluasi (BKP 2009b).
Metode Evaluasi Program
Menurut PNPM Mandiri (2008) evaluasiadalah menilai secara berkala apa
yang telah dihasilkan, untuk mengetahui apakah proyek berhasil mencapai
tujuan-tujuan utamanya. Pemantauan dan evaluasi adalah alat pengelolaan yang
berguna untuk pengambilan keputusan dan memastikan bahwa tindakan
perbaikan dapat segera diambil secara cepat dan tepat. Beberapa jenis evaluasi
yang dapat dilakukan antara lain:
1. Evaluasi Keluaran (Output)
Evaluasi yang dilakukan untuk melihat sejauh mana perubahan
kesejahteraan yang terjadi dengan membandingkan kondisi saat ini dari warga
8
miskin dan kelompok sasaran lainnya, setelah berjalannya program (tahunan).
Dasar pengukuran dan evaluasi ini dari hasil survey dasar yang dilakukan oleh
para konsultan program sektor. Evaluasi ini dapat dilakukan berbagai pihak, baik
penangung jawab program maupun pihak-pihak lain secara independen.
2. Evaluasi Dampak (Impact)
Evaluasi dampak dengan fokus utama pada dampak yang menggunakan
metode campuran, baik menggunakan teknik kuantitatif maupun kualitatif.
Sejumlah survei akan dilakukan untuk mengukur dampak program, dengan
menggunakan survei rumah tangga, Susenas (survey sosial ekonomi nasional),
dan studi kualitatif. Keseluruhan survei menggunakan teknik perbedaan ganda
dengan melihat: kondisi sebelum dan sesudah, serta wilayah perlakuan dan
wilayah kontrol (dengan dan tanpa intervensi program). Kajian Suryahadi (2007)
dalam Bappenas (2007a) dampak suatu program dapat diketahui dengan melihat
selisih indikator antara kelompok penerima dan bukan penerima program.
Ruang lingkup evaluasi dampak meliputi: perubahan tingkat hidup
(livelihood) dan perubahan pola pikir (mindset) dengan Vectorial Project Analysis
(VPA) dilakukan periode tahunan atau setiap tahap pelaksanaan Desa Mandiri
Pangan. Indikator kemajuan tingkat kehidupan (livelihood) dikelompokkan
sebagai indikator yang bersifat fisik (tangible) atau indikator-indikator yang dapat
diukur secara kuantitatif. Indikator tersebut akan menggambarkan kemajuan fisik
status ketahanan pangan yang antara lain diukur melalui beberapa sub indikator
yaitu: (1) Pendapatan, dan (2) Konsumsi pangan.
6.3. Studi Khusus/Tematik
Studi khusus atau tematik merupakan jenis evaluasi untuk mempertajam
hasil pemantauan dan berbagai jenis evaluasi reguler di atas. Evaluasi tematik
dilakukan saat dimulainya program sampai beberapa tahun kedepan setelah
adanya program. Beberapa contohevaluasi tematik diantaranya:kaji cepat
prasarana fisik untuk mengevaluasi mutu infrastruktur yang dibangun dengan
standar PNPM Mandiri, pengkajian operasional dan perawatanuntuk
mengevaluasi tata cara operasional dan perawatan infrastruktur, pengkajian
dampak ekonomi dan tingkat pengembalian untuk mengukur dampak ekonomi
program PNPM Mandiri, dan sebagainya.
Akses Pangan
Bappenas (2007b) menyatakan bahwa akses pangan berkaitan dengan
konsumsi pangan dan tingkat konsumsi pangan dalam keluarga tersebut dapat
9
menggambarkan konsumsi pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan
tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli
masyarakat terhadap pangan. Menurut Rachmat et. al (2010) akses pangan
tingkat keluarga diartikan sebagai kemampuan keluarga dalam memperoleh
pangan yang cukup secara terus menerus melalui berbagai cara, seperti
produksi pangan keluarga, persediaan pangan keluarga, jual beli, dan tukar-
menukar.
Akses pangan dipengaruhi oleh beberapa aspek diantaranya akses fisik,
akses ekonomi, dan akses sosial (Departemen Pertanian 2008). Secara fisik
akses pangan dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan/produksi pangan dan
sarana/prasarana infrastruktur dasar seperti akses jalan, pasar, transportasi yang
mendukung lancarnya distribusi pangan untuk menjamin pasokan pangan
tersedia dengan cukup dimana saja dan setiap waktu. Indikator fisik terdiri dari
ketersediaan pangan pokok (padi, jagung, ubi kayu, dan ubi jalar) dan
infrastuktur. Ketersediaan pangan pokok berupa rasio konsumsi normatif
terhadap ketersediaan bersih pangan dan pokok (padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar
dalam ton GKG, PK, dll). Indikator infrastruktur berupa persentase desa yang
tidak dapat dilalui kendaraan roda empat dan persentase desa yang tidak
mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar lebih dari (minimum) 3 km.
Persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, digunakan
sebagai indikator yang mewakili akses/infastruktur jalan, karena semakin besar
persentase akses desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat, maka
semakin buruk aksesnya terhadap pangan. Persentase desa yang tidak
mempunyai pasar dan jarak terdekat ke pasar minimum 3 km, karena pasar
merupakan sarana untuk memperoleh segala macam kebutuhan manusia
termasuk pangan, akses pasar dan jarak terdekat ke pasar akan mempengaruhi
tingkat akses pangan. Kepemilikan pasar suatu desa akan mempengaruhi rumah
tangga dalam mengakses pangan. Jarak terdekat ke pasar lebih dari 3 km akan
mempengaruhi wkatu tempuh ke pasae yang akan mempengaruhi dalam
mengakses pangan. Semakin sulit akses rumah tangga ke pasar semkin rendah
akses pangannya.
Secara ekonomi akses pangan dipengaruhi oleh daya beli masyarakat
terhadap pangan. Daya beli antara lain dipengaruhi oleh sumber
matapencaharian dan pendapatan. Mata pencaharian merupakan faktor penentu
pendapatan rumah tangga yang selanjutnya menjadi penentu kemampuan akses
10
pangannya. Indikator ekonomi dilihat dari daya beli pangan (ukuran kemampuan
masyarakat rata-rata penduduk dalam membeli pangan) meliputi persentase
penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinann, persentase penduduk yang
bekerja kuarang dari 36 jam per minggu, serta nilai product domestic regional
bruto (PDRB) ekonomi kerakyatan per kapita.
Akses sosial antara lain dipengaruhi oleh tingkat pendidikan penduduk,
bantuan sosial, budaya/kebiasaan makan, konflik sosial/kemanan dan lainnya.
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi kesempatan atau
peluangnya untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik dengan pendapatan
yang lebih baik pula. Konflik sosial yang menimbulkan situasi tidak aman di suatu
wilayah dapat menghambat pasokan pangan ke wilayah dapat menghambat
pasokan pangan ke wilayah tersebut yang menghambat akses penduduk
terhadap pangan. Indikator sosial mencakup persentase penduduk yang tidak
tamat sekolah dasar (SD)
Akses fisik bersifat kewilayahan karena dipengaruhi oleh kondisi
ketersediaan dan produksi pangan serta sarana/prasarana infrastruktur dasar
seperti akses jalan, pasar dan transportasi yang mendukung lancarnya distribusi
pangan. Beberapa contoh indikator akses fisik diantaranya: persentase desa
yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai, dan persentase rumah
tangga tanpa akses listrik.Akses penghubung misalnya kendaraan beroda
empat, merupakan sarana dalam mempermudah penyaluran pangan ke suatu
daerah. Akses ekonomi dipengaruhi oleh persentase penduduk yang hidup
dibawah garis kemiskinan dan persentase penduduk yang bekerja kurang dari 36
jam dalam seminggu. Persentase keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan
diartikan sebagai keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar
diantaranya pangan, hal tersebut menyebabkan akses pangan seseorang
menjadi rendah. Akses ekonomi dilihat dari pengeluaran total dan pengeluaran
pangan per kapita per bulan.
Akses sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan
agar mampu memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari persentase
keluarga yang tidak tamat sekolah dasar. Jumlah anggota keluarga, pendidikan
ayah dan ibu, serta pengetahuan gizi ibu dapat pula dijadikan sebagai indikator
akses sosial.Akses sosial keluarga terhadap pangan merupakan suatu
akses/cara untuk mendapatkan pangan yang dibutuhkan agar dapat memenuhi
kebutuhan pangan. World Food Programme (2005) menjelaskan bahwa
11
pendidikan juga mempengaruhi akses pangan melalui sumber daya tunai/cash
dalam jangka waktu pendek dan berpengaruh terhadap kapasitas produksi dan
pendapatan dalam jangka waktu yang panjang. Akses pangan sosial antara lain
dipengaruhi oleh pendidikan (Departemen Pertanian 2008). Hildawati (2008)
menambahkan jumlah anggota keluarga dalam dimensi akses sosial. Akses
sosial adalah kemampuan keluarga untuk mendapatkan pangan agar mampu
memenuhi kebutuhan keluarga yang dilihat dari jumlah anggota keluarga,
pendidikan ayah dan ibu, dan pengetahuan gizi ibu.
Berbagai komponen yang mempengaruhi akses pangan tersebut
digabungkan untuk mengetahui indeks akses pangan. Berdasarkan indeks
tersebut, akses pangan digolongkan menjadi akses pangan rendah, sedang, dan
tinggi. Akses pangan tergolong rendah apabila indeks kompositnya lebih dari
0,36; akses pangan tergolong sedang apabila indenks kompositnya berada
diantara 0,36-0,68; sedangkan akses pangan tergolong tinggi apabila indeks
komposit akses pangan lebih dari sama dengan 0,68 (Departemen Pertanian
2008).
Menurut Departemen Pertanian (2008) akses pangan secara ekonomi
ditentukan oleh banyaknya penduduk miskin dan daya beli terhadap pangan.
Badan Pusat Statistik tahun 2008 mendefinisikan kemiskinan adalah suatu
kondisi yang dialami seseorang atau sekelompok orang, yang tidak mampu
menyelenggarakan hidup sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.
Kemiskinan juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
seperti pangan, perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Salah satu persoalan kemiskinan adalah kerentanan (Saldanha 1998).
Menurut Sumodiningrat (1999) terdapat lima klasifikasi kemiskinan, yakni:
a. Kemiskinan absolut digolongkan apabila hasil pendapatannya berada
dibawah garis kemiskinan dan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, papan, dan
pendidikan.
b. Kemiskinan relatif digunakan untuk menunjukkan ketimpangan
pendapatan yang berguna untuk mengukur ketimpangan antar
wilayah yang dilakukan pada suatu wilayah tertentu.
c. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diukur atas kurangnya
perlindungan dari hukum dan pemerintah sebagai birokrasi, atau
12
peraturan resmi yang mencegah seseorang memanfaatkan
kesempatan yang ada.
d. Kemiskinan kronis disebabkan oleh beberapa hal, yakni:
(1) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup
masyarakat yang tidak produktif.
(2) keterbatasan sumberdaya dan keterisolasian (daerah-daerah yang
kritis SDA dan daerah terpencil).
(3) rendahnya derajat pendidikan dan perawatan kesehatan,
terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat
dalam mengikuti ekonomi pasar.
e. Kemiskinan sementara terjadi akibat adanya perubahan siklus
ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, perubahan yang
bersifat musiman dan bencana alam atau dampak dari suatu yang
menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.
Berdasarkan golongannya, Sajogyo (1977) mengklasifikasikan orang
miskin dalam tiga golongan yakni: lapisan miskin, miskin sekali, dan paling
miskin. Golongan lapisan miskin adalah golongan orang yang memiliki
pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak lebih dari 360 Kg tetapi kurang
dari 480 Kg. Golongan miskin sekali adalah golongan orang yang memiliki
pendapatan per kapita per tahun beras sebanyak 240-360 Kg, sedangkan
golongan paling miskin adalah golongan yang memiliki pengahasilan per kapita
per tahun beras kurang dari 240 Kg. Cara mengukur kemiskinan dengan
pendekatan kemiskinan absolut adalah memperhitungkan standar kebutuhan
pokok berdasarkan atas kebutuhan beras dan gizi (kalori dan protein) dengan
mengungkapkan masalah garis kemiskinan. Besar kecilnya penduduk miskin
dipengaruhi oleh garis kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk
yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan dibawah garis
kemiskinan. Kemiskinan diartikan sebagai ketidakmampuan secara ekonomi
untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
melalui pengeluaran per kapita per bulan. Semakin tinggi persentase penduduk
miskin maka semakin rendah akses pangan penduduk di wilayah tersebut. Garis
kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan Kabupaten Ciamis adalah
Rp 193652 (BPS 2010).
Menurut Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengklasifikasikan
penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan,
13
apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka tergolong miskin.
Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis
kemiskinan maka tergolong tidak miskin atau sedang. Pengeluaran berada lebih
dari 20% garis kemiskinan maka digolongkan tidak miskin dan tergolong tinggi.
Daya beli keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangan merupakan fungsi
dari akses pangan dimensi ekonomi. Suatu keluarga berdasarkan pekerjaannya
memiliki satu atau lebih sumber pendapatan untuk membeli pangan dan
kebutuhan lainnya. Anggota keluarga yang menjadi sumber keuangan utama
biasanya ayah atau suami, tetapi ada pula pencari nafkah itu ibu atau istri. Suatu
kondisi ditinjau dari akses ekonomi keluarga, apabila suami dan ibu memiliki
pekerjaan maka akses ekonominya menjadi lebih baik (Hildawati 2008). Menurut
Susanti (1999) pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang
diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Tingginya pendapatan tersebut diikuti
dengan tingginya jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi, sehingga tingkat
pendapatan akan mencerminkan kemampuan membeli bahan pangan.
Jumlah Anggota Keluarga
Menurut Sukandar (2009) jumlah anggota keluarga adalah banyaknya
anggota keluarga dalam sebuah keluarga yang pada umumnya terdiri dari ayah,
ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya
yang sama.Berdasakan banyaknya jumlah anggota dalam suatu keluarga,
besarnya keluarga dapat digolongkan menjadi tiga golongan, yakni keluarga
kecil, sedang, dan banyak. Golongan keluarga kecil adalah keluarga dengan
jumlah anggota kurang dari atau sama dengan empat orang. Keluarga tergolong
sedang apabila jumlah anggota keluarganya lima sampai enam orang,
sedangkan golongan keluarga banyak adalah keluarga dengan jumlah anggota
keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang (BKKBN 1998).
Harper et al. (1985) menghubungkan antara besarnya keluarga,
pendapatan, dan konsumsi. Keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak
akan lebih sulit dalam memenuhi kebutuhan pangannya jika dibandingkan
dengan keluarga yang memiliki jumlah keluarga sedikit. Terdapat pula
pernyataan bahwa keluarga yang konsumsi pangannya kurang akan
menyebabkan anak mudah atau sering menderita gizi kurang. Menurut Hildawati
(2008) semakin kecil suatu keluarga maka semakin mudah akses pangan
keluarga dalam memperoleh pangan. Hal tersebut dijelaskan oleh Sanjur (1982)
bahwa jumlah anggota keluarga yang banyak akan berusaha membagi makanan
14
yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan
kebutuhan masing-masing anggota keuarga.
Pendidikan Ayah dan Ibu
Tingkat pendidikan orang tua yakni ayah dan ibu merupakan salah satu
faktor yang mampu mempengaruhi pola asuh anak termasuk pemberian makan,
pola konsumsi pangan, dan status gizi. Pendidikan seseorang pun akan
memengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan
dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu, pendidikan rendah (tidak
bersekolah dan atau belum tamat SD/sederajat), pendidikan menengah (tamat
SD/sederajat hingga tamat SLTP/sederajat), dan pendidikan tinggi (diatas
SLTP/sederajat) (BPS 2007). Pendidikan yang tergolong tinggi belum tentu
menjadikan konsumsi makan suatu keluarga menjadi lebih baik, hal ini
dikarenakan pendidikan ayah tidak mampu berdiri sendiri, melainkan akan
berinteraksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982 dalam Sukandar
2009).
Pengetahuan Gizi Ibu
Pengetahuan gizi ibu merupakan pemahaman seorang ibu tentang ilmu
gizi, zat gizi serta interaksi antara zat gizi terhadap status gizi dan kesehatan.
Pengetahuan gizi yang baik dapat menghindarkan seseorang dari konsumsi
pangan yang salah atau buruk. Pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui
pendidikan formal maupun informal, selain itu pengetahuan gizi dapat diperoleh
dengan melihat, mendengar sendiri atau melalui alat-alat komunikasi seperti
membaca surat kabar atau majalah, mendengar siaran radio, dan menyaksikan
siaran televisi atau pun penyuluhan kesehatan atau gizi (Khomsan 2002).
Khomsan (2002) menyatakan bahwa walaupun keluarga memiliki daya
beli cukup dan pangan juga tersedia, namun apabila pengetahuan pangan dan
gizinya masih rendah maka akan sulit bagi keluarga yang bersangkutan untuk
dapat memenuhi konsumsi pangannya baik secara kuantitas maupun kualitas.
Pengetahuan gizi ibu diperoleh dari pendidikan formal/informal menurut Susanto
(1996) dalam Sihite (2010) merupakan salah satu aspek sosial yang
berpengaruh terhadap ketahanan pangan dimensi akses pangan secara sosial.
Pengetahuan gizi ibu yang tergolong tinggi tidak menjamin keluarga
tersebut memiliki tingkat konsumsi protein yang cukup, hal ini diduga karena
pengaruh pengetahuan gizi ibu terhadap konsumsi makanan tidak selalu linear.
Konsumsi makanan jarang dipengaruhi oleh pengetahuan gizi secara tersendiri
15
tetapi merupakan interaksi dengan sikap dan keterampilan gizi (Suharjo 1982
dalam Sukandar 2009).
Terdapat tiga kategori untuk penilaian tingkat pengetahuan gizi, yaitu
kurang, sedang, dan baik. Contoh yang mendapatkan total skor <60 persen
dikategorikan kurang. Jika contoh mendapatkan total skor antara 60 sampai 80
persen maka termasuk kategori sedang dan jika contoh mendapatkan total skor
>80 persen maka termasuk kategori baik (Khomsan 2000).
Pengeluaran Keluarga
Menurut BPS (2010), data pengeluaran keluarga lebih menggambarkan
pendapatan keluarga yang meliputi penghasilan ditambah dengan hasil-hasil lain
seperti pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, dan pemberian. Data
pengeluaran dapat menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam
pengalokasian pendapatan yang biasanya relatif tetap. Menurut Moho dan
Wagner (1981) dalam Hildawati (2008), data pengeluaran dapat
menggambarkan pola konsumsi keluarga dalam pengalokasian pendapatan yang
biasanya relatif tetap. Pengeluaran pada keluarga yang berpendapatan rendah,
biasanya akan lebih besar jumlahnya daripada pendapatan mereka oleh karena
itu, data pengeluaran lebih mencerminkan pendapatan yang sebenarnya.
Kajian Purwantini dan Ariani (2008) bahwa semakin tinggi persentase
pengeluaran pangan suatu keluarga maka semakin kurang sejahtera keluarga
tersebut. Beras merupakan pangan pokok sehingga proporsi pengeluaran untuk
beras menjadi dominan di Indonesia (Ariani dan Purwantini 2002). Penelitian
Purwanti (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi persentase pengeluaran
pangan maka semakin kurang sejahtera keluarga tersebut. Pengeluaran per
kapita per bulan apabila semakin berada diatas garis kemiskinan maka semakin
tinggi pula kemampuan suatu keluarga dalam mengakses pangan. Pengeluaran
keluarga sebagai pendekatan pendapatan keluarga dikelompokan menjadi akses
pangan rendah, sedang, dan tinggi. Penggolongan tersebut didasarkan pada
konsep Irawan dan Romdiati dalam WNPG (2000) yang mengkalsifikasikan
penduduk miskin berdasarkan jarak pengeluaran terhadap garis kemiskinan,
apabila pengeluaran berada dibawah garis kemiskinan maka akses pangan
rendah. Pengeluaran berjarak antara satu persen sampai dengan 20% dari garis
kemiskinan maka tergolong tidak miskin, atau akses pangan sedang.
Pengeluaran berada lebih dari 20% garis kemiskinan maka dikatakan tidak
16
miskin, dan lebih tinggi diatas garis kemiskinan sehingga digolongkan menjadi
akses pangan tinggi.
Pengeluaran Pangan
Pengeluaran pangan sebagai pendekatan daya beli terhadap pangan
seperti yang dijelaskan menurut Departemen Pertanian (2008) bahwa akses
pangan termasuk didalamnya daya beli terhadap pangan. Kemampuan membeli
pangan terutama kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100
kkalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili
oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu,
sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll).
Akses pangan akan semakin tinggi apabila pengeluaran pangan pun
tinggi, sehingga akses pangan dikategorikan menjadi akses pangan rendah,
sedang, dan tinggi. Pengeluaran pangan semakin tinggi apabila pengeluaran
tersebut berada semakin jauh diatas garis kemiskinan makanan, sebagai
pemenuhan kebutuhan minimum. Pengkategorian tersebut didasarkan melalui
pendekatan seperti halnya pengeluaran total per kapita per bulan, dimana akses
pangan tinggi apabila jarak antara pengeluaran dengan garis kemiskinan
makanan lebih dari 20%. Akses pangan tergolong sedang apabila jarak antara
pengeluaran pangan dengan garis kemiskinan makanan antara satu sampai
dengan 20% dari garis kemiskinan makanan. Akses pangan tergolong rendah
apabila pengeluaran pangan dibawah garis kemiskinan makanan. Garis
kemiskinan makanan yang digunakan adalah garis kemiskinan makanan
Kabupaten Ciamis yaitu Rp 115010.
Konsumsi Pangan
Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994) konsumsi pangan adalah
informasi pangan yang dimakan atau dikonsumsi seseorang atau kelompok
orang, baik berupa jenis maupun jumlahnya pada waktu tertentu, artinya
konsumsi pangan dapat dilihat dari aspek jumlah maupun jenis pangan yang
dikonsumsi.Menurut Hardinsyah dan Briawan (1994), terdapat dua pengertian
tentang penilaian konsumsi pangan, yaitu penilaian terhadap kandungan zat gizi
makanan dan membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi
seseorang atau kelompok orang dengan angka kecukupan. Penilaian terhadap
kandungan zat gizi makanan digunakan apabila ingin membandingkan
kandungan zat gizi antar berbagai makanan atau suatu hidangan, sedangkan
membandingkan kandungan zat gizi makanan yang dikonsumsi seseorang atau
17
kelompok orang dengan angka kecukupan digunakan apabila ingin mengetahui
tingkat konsumsi zat gizi seseorang atau keluarga.
Metode Recall
Menurut Arisman (2007) metode recall merupakan metode yang cukup
baik diterapkan dalam survei terhadap kelompok masyarakat. Metode recall
merupakan metode yang digunakan dengan cara mencatat jumlah dan jenis
bahan pangan yang dikonsumsi pada beberapa waktu lalu, bisanya recall
dilakukan 24 jam. Ukuran keluarga dan jumlah pangan yang dikonsumsi
ditanyakan kepada responden kemudian dikonversikan ke dalam satuan berat.
Wawancara ini hendaknya dilakukan secara mendalam agar responden dapat
memberikan jawaban mengenai jenis dan memperkirakan jumlah bahan pangan
(Suhardjo et. al. 1988). Jumlah pangan yang dikonsumsi diawali dengan
menanyakan bentuk ukuran keluarga (URT) seperti potong, ikat, gelas, piring,
dan alat atau ukuran lain yang biasa digunakan di keluarga yang kemudian akan
dikonversikan ke dalam bentuk gram. Metode ini merupakan metode yang paling
banyak digunakan dan mudah (Kusharto & Sa’diyyah 2008).
Tingkat Konsumsi Energi dan Protein
Tingkat konsumsi energi dan proteinmerupakanindikator kebutuhan
pangan minimum (BPS 2008).Seseorang atau kelompok orang
(rumahtangga/keluarga) yang mengkonsumsi energi dan atau protein kurang dari
70% angka kecukupan (recommended dietary allowances), maka seseorang
atau kelompok orang(rumahtangga/keluarga) tersebut dikatakan konsumsi
pangannya kurang/tidak(Sukandar 2009). Depkes (1996) mengklasifikasikan
tingkat konsumsi energi dan protein ke dalam lima golongan, yaitu defisit tingkat
berat (<70%), defisit tingkat sedang (70-79%), defisit tingkat ringan (80-89%),
normal (90-119%) dan lebih (>120%). Penilaian tingkat konsumsi energi dan
protein rata-rata untuk satu keluarga merupakan perbandingan antara rata-rata
konsumsi energi dan protein aktual dengan rata-rata kebutuhan energi dan
protein keluarga. Rata-rata kebutuhan energi dan proteinkeluarga, didapatkan
dariperhitungan kebutuhan energi dan protein individu anggota keluarga yang
kemudian dirata-ratakan sehingga didapatkan rata-rata kebutuhan energi atau
protein keluarga. Kebutuhan energi dan protein individu dihitung dengan
membandingkan berat badan aktual individu disetiap keluarga dengan berat
badan ideal dikalikan dengan kecukupan energi atau protein yang
dianjurkan(Hardinsyah & Martianto 1992).