Tinjauan Pustaka Luka Bakar
-
Upload
ad268ghoszth -
Category
Documents
-
view
232 -
download
0
Transcript of Tinjauan Pustaka Luka Bakar
DEFINISI
Luka bakar (combustio/burn) adalah cedera (injuri) sebagai akibat kontak langsung atau
terpapar dengan sumber-sumber panas (thermal), listrik (electrict), zat kimia(chemycal), atau
radiasi (radiation) .Luka bakar adalah suatu keadaan dimana integritas kulit atau mukosa
terputus akibat trauma api, air panas, uap metal, zat kimia, dan listrik atau radiasi.
ETIOLOGI
Ada enam penyebab timbulnya luka bakar:
1.Api: kontak dengan kobaran api.
2.Luka bakar cair: kontak dengan air mendidih, uap panas, dan minyak panas.
3.Luka bakar kimia: asam akan menimbulkan panas ketika kontak dengan jaringan organik.
4.Luka bakar listrik: Bisa timbul dari sambaran petir atau aliran listrik. Luka bakar listrik
memiliki karakteristik yang unik, sebab sekalipun sumber panas (listrik) berasal dari lua r
tubuh, kebakaran/kerusakan yang parah justru terjadi di dalam tubuh.
5.Luka bakar kontak: kontak langsung dengan obyek panas atau knalpot sepeda motor.
6.Luka bakar karena radiasi
FASE LUKA BAKAR
Untuk mempermudah penanganan luka bakar maka dalam perjalanan penyakitnya dibedakan
dalam 3 fase akut, subakut dan fase lanjut. Namun demikian pembagian fase menjadi tiga
tersebut tidaklah berarti terdapat garis pembatas yang tegas diantara ketiga fase ini. Dengan
demikian kerangka berpikir dalam penanganan penderita tidak dibatasi oleh kotak fase dan
tetap harus terintegrasi. Langkah penatalaksanaan fase sebelumnya akan berimplikasi klinis
pada fase selanjutnya (Sunarso, 2008).
1. Fase akut
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami
ancaman gangguan airway (jalan nafas), breathing (mekanisme bernafas), dan circulation
(sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi segera atau beberapa saat setelah
terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat cedera inhalasi dalam
48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada
fase akut
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik.
2. Fase sub akut
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan :
Proses inflamasi dan infeksi
Problem penutupan luka dengan titik perhatian pada luka yang tidak berepitel luas
atau pada struktur atau organ fungsional
Keadaan hipermetabolisme
3. Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyakit berupa sikatrik yang
hipertrofik, keloid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
DERAJAT KEDALAMAN
Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas, sumber,
penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita. Dahulu Dupuytren membagi atas 6
tingkat, sekarang lebih praktis hanya dibagi 3 tingkat/derajat, yaitu sebagai berikut :
1. Luka bakar derajat I :
Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (surperfisial), kulit hiperemik berupa eritem, tidak
dijumpai bullae, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan
terjadi secara spontan tanpa pengobatan khusus.
2. Luka bakar derajat II
Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi disertai proses
eksudasi. Terdapat bullae, nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi, dibedakan atas 2
(dua) bagian :
Derajat II dangkal/superficial (IIA)
Kerusakan mengenai bagian epidermis dan lapisan atas dari corium/dermis.
Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar sebecea masih banyak.
Semua ini merupakan benih-benih epitel. Penyembuhan terjadi secara spontan
dalam waktu 10-14 hari tanpa terbentuk sikatrik.
Derajat II dalam / deep (IIB)
Kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis dan sisa – sisa jaringan
epitel tinggal sedikit. Organ – organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebacea tinggal sedikit. Penyembuhan terjadi lebih lama dan
disertai parut hipertrofi. Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
3. Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh tebal kulit dan lapisan yang lebih dalam sampai mencapai
jaringan subkutan, otot dan tulang. Organ kulit mengalami kerusakan, tidak ada lagi sisa
elemen epitel. Tidak dijumpai bullae, kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan lebih pucat
sampai berwarna hitam kering. Terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang
dikenal sebagai esker. Tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi karena ujung – ujung
sensorik rusak. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terjadi epitelisasi spontan.
LUAS LUKA BAKAR
Wallace membagi tubuh atas 9 % atau kelipatan 9 yang terkenal dengan nama rule of nine
atau rule of Wallace:
1. Kepala dan leher : 9%
2. Lengan masing-masing 9% : 18%
3. Badan depan 18% : 36%
4. Tungkai masing-masing 18% : 36%
5. Genetalia perineum : 1%
Total : 100 %
Rumus rule of nine dari Wallace tidak digunakan pada anak dan bayi karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Oleh
karena itu, digunakan rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 dari Lund dan Browder
untuk..anak.
Untuk mengkaji beratnya luka bakar harus dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:
1. Persentasi area (luasnya) luka bakar pada permukaan tubuh
2. Kedalaman luka bakar
3. Anatomi/lokasi luka bakar
4. Umur penderita
5. Riwayat pengobatan yang lalu
6. Trauma yang menyertai atau bersamaan
KRITERIA BERAT RINGAN LUKA BAKAR
Kriteria berat ringannya luka bakar menurut American Burn Association yakni :
a. Luka Bakar Ringan.
- Luka bakar derajat II <15 %
- Luka bakar derajat II < 10 % pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 2 %
b. Luka bakar sedang
- Luka bakar derajat II 15-25 % pada orang dewasa
- Luka bakar derajat II 10 – 20% pada anak – anak
- Luka bakar derajat III < 10 %
c. Luka bakar berat
- Luka bakar derajat II 25 % atau lebih pada orang dewasa
- Luka bakar derajat II 20 % atau lebih pada anak – anak.
- Luka bakar derajat III 10 % atau lebih
- Luka bakar mengenai tangan, wajah, telinga, mata, kaki dan genitalia/perineum.
- Luka bakar dengan cedera inhalasi, listrik, disertai trauma lain.
PENANGANAN LUKA BAKAR
1. Pernapasan
Trauma inhalasi merupakan faktor yang secara nyata memiliki kolerasi dengan angka
kematian. Kematian akibat trauma inhalasi terjadi dalam waktu singkat 8 sampai 24 jam
pertama pasca operasi. Pada kebakaran dalam ruangan tertutup atau bilamana luka bakar
mengenai daerah muka / wajah dapat menimbulkan kerusakan mukosa jalan napas akibat gas,
asap atau uap panas yang terhisap. Edema yang terjadi dapat menyebabkan gangguan berupa
hambatan jalan napas karena edema laring. Trauma panas langsung adalah terhirup sesuatu
yang sangat panas, produk produk yang tidak sempurna dari bahan yang terbakar seperti
bahan jelaga dan bahan khusus yang menyebabkan kerusakan dari mukosa lansung pada
percabangan trakheobronkhial.
Keracunan asap yang disebabkan oleh termodegradasi material alamiah dan materi yang
diproduksi. Termodegradasi menyebabkan terbentuknya gas toksik seperti hydrogen sianida,
nitrogen oksida, hydrogen klorida, akreolin dan partikel – partikel tersuspensi. Efek akut dari
bahan kimia ini menimbulkan iritasi dan bronkokonstriksi pada saluran napas. Obstruksi jalan
napas akan menjadi lebih hebat akibat adanya tracheal bronchitis dan edem. Efek intoksikasi
karbon monoksida (CO) mengakibatkan terjadinya hipoksia jaringan. Karbon monoksida
(CO) memiliki afinitas yang cukup kuat terhadap pengikatan hemoglobin dengan kemampuan
210 – 240 kali lebih kuat disbanding kemampuan O2. Jadi CO akan memisahkan O2 dari Hb
sehingga mengakibatkan hipoksia jaringan. Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada
penderita luka bakar mengalami hal sebagai berikut.
1. Riwayat terjebak dalam ruangan tertutup.
2. Sputum tercampur arang.
3. Luka bakar perioral, termasuk hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran termasuk confusion.
5. Terdapat tanda distress napas, seperti rasa tercekik. Tersedak, malas bernafas atau
adanya wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan, menandakan
adanya iritasi mukosa.
6. Adanya takipnea atau kelainan pada auskultasi seperti krepitasi atau ronhi.
7. Adanya sesak napas atau hilangnya suara.
Bilamana ada 3 tanda / gejala diatas sudah cukup dicurigai adanya trauma inhalasi.
Penanganan penderita trauma inhalasi bila terjadi distress pernapasan maka harus dilakukan
trakheostomi. Penderita dirawat diruang resusitasi instalasi gawat darurat sampai kondisi
stabil.
2. Sirkulasi
Pada luka bakar berat / mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti
dengan ekstrapasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan
interfisial mengakibatkan terjadinya hipovolemik intra vaskuler dan edema interstisial.
Keseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal
terhambat, menyebabkan gangguan perfusi/sel/jaringan/organ. Pada luka bakar yang berat
dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan cairan
massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan
intravaskuler mengalami deficit, timbul ketidakmampuan menyelenggaraan proses
transportasi oksigen ke jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul
harus diatasi dalam waktu singkat, untuk mencegah kerusakan sel dan organ bertambah
parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalaksanaan syok dengan metode resusutasi
cairan konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok
dalam waktu singkat, menunjukkna perbaikkan prognosis, derajat kerusakan jaringan
diperkecil (pemantauan kadar asam laktat), hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil
kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostic terhadap angka mortalitas.
a. Resustasi Cairan
BAXTER formula
Hari Pertama :
Dewasa : Ringer Laktat 4 cc x berat badan x % luas luka bakar per 24 jam
Anak : Ringer Laktat: Dextran = 17 : 3
2 cc x berat badan x % luas luka ditambah kebutuhan faali.
Kebutuhan faali :
< 1 Tahun : berat badan x 100 cc
1 – 3 Tahun : berat badan x 75 cc
3 – 5 Tahun : berat badan x 50 cc
½ jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
½ diberikan 16 jam berikutnya.
Hari kedua
Dewasa : ½ hari I
Anak : diberi sesuai kebutuhan faali
Menurut Evans – Cairan yang dibutuhkan :
1. RL / NaCl = luas combustio ……% X BB/ Kg X 1 cc
2. Plasma = luas combustio ……% X BB / Kg X 1 cc
3. Pengganti yang hilang karena penguapan D5 2000 cc
Hari I à 8 jam X ½
à16 jam X ½
Hari II à ½ hari I
Hari ke III à hari ke I
b. Penggantian Darah
Luka bakar pada kulit menyebabkan terjadinya kehilangan sejumlah sel darah merah sesuai
dengan ukuran dan kedalaman luka bakar. Sebagai tambahan terhadap suatu kehancuran yang
segera pada sel darah merah yang bersirkulasi melalui kapiler yang terluka, terdapat
kehancuran sebagian sel yang mengurangi waktu paruh dari sel darah merah yang tersisa.
Karena plasma predominan hilang pada 48 jam pertama setelah terjadinya luka bakar, tetapi
relative polisitemia terjadi pertama kali. Oleh sebab itu, pemberian sel darah merah dalam 48
jam pertama tidak dianjurkan, kecuali terdapat kehilangan darah yang banyak dari tempat
luka. Setelah proses eksisi luka bakar dimulai, pemberian darah biasanya diperlukan
3. Perawatan luka bakar
Setelah keadaan umum membaik dan telah dilakukan resusitasi cairan dilakukan perawatan
luka. Perawatan tergantung pada karakteristik dan ukuran dari luka. Tujuan dari semua
perawatan luka bakar agar luka segera sembuh rasa sakit yang minimal.
Setelah luka dibersihkan dan didebridement, luka ditutup. Penutupan luka ini memiliki
beberapa fungsi: pertama dengan penutupan luka akan melindungi luka dari kerusakan epitel
dan meminimalkan timbulnya koloni bakteri atau jamur. Kedua, luka harus benar-benar
tertutup untuk mencegah evaporasi pasien tidak hipotermi. Ketiga, penutupan luka
diusahakan semaksimal mungkin agar pasien merasa nyaman dan meminimalkan timbulnya
rasa sakit
Pilihan penutupan luka sesuai dengan derajat luka bakar. Luka bakar derajat I, merupakan
luka ringan dengan sedikit hilangnya barier pertahanan kulit. Luka seperti ini tidak perlu di
balut, cukup dengan pemberian salep antibiotik untuk mengurangi rasa sakit dan
melembabkan kulit. Bila perlu dapat diberi NSAID (Ibuprofen, Acetaminophen) untuk
mengatasi rasa sakit dan pembengkakan. Luka bakar derajat II (superfisial ), perlu perawatan
luka setiap harinya, pertama-tama luka diolesi dengan salep antibiotik, kemudian dibalut
dengan perban katun dan dibalut lagi dengan perban elastik. Pilihan lain luka dapat ditutup
dengan penutup luka sementara yang terbuat dari bahan alami (Xenograft (pig skin) atau
Allograft (homograft, cadaver skin) atau bahan sintetis (opsite, biobrane, transcyte, integra).
Luka derajat II (dalam) dan luka derajat III, perlu dilakukan eksisi awal dan cangkok kulit
(early exicision and grafting ).
4. Nutrisi
Penderita luka bakar membutuhkan kuantitas dan kualitas yang berbeda dari orang normal
karena umumnya penderita luka bakar mengalami keadaan hipermetabolik.
Kondisi yang berpengaruh dan dapat memperberat kondisi hipermetabolik yang ada adalah:
Umur, jenis kelamin, status gizi penderita, luas permukaan tubuh, massa bebas lemak.
Riwayat penyakit sebelumnya seperti DM, penyakit hepar berat, penyakit ginjal dan
lain-lain.
Luas dan derajat luka bakar
Suhu dan kelembaban ruangan ( memepngaruhi kehilangan panas melalui evaporasi)
Aktivitas fisik dan fisioterapi
Penggantian balutan
Rasa sakit dan kecemasan
Penggunaan obat-obat tertentu dan pembedahan.
Penatalaksanaan nutrisi pada luka bakar dapat dilakukan dengan beberapa metode yaitu :
oral, enteral dan parenteral. Untuk menentukan waktu dimulainya pemberian nutrisi dini pada
penderita luka bakar, masih sangat bervariasi, dimulai sejak 4 jam pascatrauma sampai
dengan 48 jam pascatrauma.
PERMASALAHAN PASCA LUKA BAKAR
Setelah sembuh dari luka, masalah berikutnya adalah jaringan parut yang dapat berkembang
menjadi cacat berat. Kontraktur kulit dapat mengganggu fungsi dan menyebabkan kekakuan
sendi atau menimbulkan cacat estetik yang buruk sekali sehingga diperlukan juga ahli ilmu
jiwa untuk mengembalikan kepercayaan diri.
Permasalahan-permasalahan yang ditakuti pada luka bakar:
Infeksi dan sepsis
Oliguria dan anuria
Oedem paru
ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome )
Anemia
Kontraktur dan scar
Kematian
KOMPLIKASI
• Gagal ginjal akut
• Gagal respirasi akut
• Syok sirkulasi
• Sindrom kompartemen
• Ileus paralitik
• Ulkus curling
PROGNOSIS
Prognosis pada luka bakar tergantung dari derajat luka bakar, luas permukaan badan yang
terkena luka bakar, adanya komplikasi seperti infeksi, dan kecepatan pengobatan
medikamentosa. Luka bakar minor dapat sembuh 5-10 hari tanpa adanya jaringan parut. Luka
bakar moderat dapat sembuh dalam 10-14 hari dan mungkin menimbulkan luka parut. Luka
bakar mayor membutuhkan lebih dari 14 hari untuk sembuh dan akan membentuk jaringan
parut. Jaringan parut akan membatasi gerakan dan fungsi. Dalam beberapa kasus,
pembedahan diperlukan untuk membuang jaringan parut.
Hipertrofi scar sebagai akibat deposit kolagen pada luka bakar yang menyembuh.
Beratnya hipertrofi scar bergantung pada kedalaman luka bakar, ras, uisa dan tipe autografi.
Metode nonoperasi untuk meminimalkan hipertrofi scar adalah dengan terapi tekan (pressure
theraphy) yaitu dengan menggunakan pembungkus dan perban elastik. Sedangkan tindakan
pembedahan untuk mengatasi kontraktur dan scar hipertrofik adalah dengan skin graft atau
pencangkokan kulit
Skin graft adalah penempatan lapisan kulit baru yang sehat pada daerah luka
(Blanchard, 2006:1). Diantara donor dan resipien tidak mempunyai hubungan pembuluh
darah lagi sehingga memerlukan suplai darah baru untuk menjamin kehidupan kulit yang
dipindahkan tersebut (Heriady, 2001:1).
Indikasi
Skin graft dilakukan pada pasien yang mengalami kerusakan kulit yang hehat
sehingga terjadi gangguan pada fungsi kulit itu sendiri, misalnya pada luka bakar yang hebat,
ulserasi, biopsi, luka karena trauma atau area yang terinfeksi dengan kehilangan kulit yang
luas. Penempatan graft pada luka bertujuan untuk mencegah infeksi, melindungi jaringan
yang ada di bawahnya serta mempercepat proses penyembuhan. Dokter akan
mempertimbangkan pelaksanaan prosedur skin graft berdasarkan pada beberapa faktor yaitu:
ukuran luka, tempat luka dan kemampuan kulit sehat yang ada pada tubuh. Daerah resipien
diantaranya adalah luka-luka bekas operasi yang luas sehingga tidak dapat ditutup secara
langsung dengan kulit yang ada disekitarnya dan memerlukan tambahan kulit agar daerah
bekas operasi dapat tertutup sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung secara optimal.
Klasifikasi
Beberapa perbedaan jenis skin graft menurut adalah:
1.Autograft: Pemindahan atau pemotongan kulit dari satu lokasi ke lokasi lain pada orang
yang sama.
2.Allograft: Kulit berasal dari individu lain atau dari kulit pengganti.
3.Xenograft: Pencangkokkan dibuat dari kulit binatang atau pencangkokkan antara dua
spesies yang berbeda. Biasanya yang digunakan adalah kulit babi.
Klasifikasi skin graft berdasarkan ketebalan kulit yang diambil dibagi menjadi 2, yaitu :
a. Split Thicknes Skin Graft ( STSG ) STSG mengambil epidermis dan sebagian dermis
berdasarkan ketebalan kulit yang dipotong, Revis (2006) membagi STSG sendiri menjadi 3
kategori yaitu :
a.Tipis (0,005 - 0,012 inci)
b.Menengah (0,012 - 0,018 inci)
c.Tebal (0,018 - 0,030 inci)
STSG dapat bertahan pada kondisi yang kurang bagus mempunyai tingkat aplikasi
yang lebih luas. STSG digunakan untuk melapisi luka yang luas, garis rongga, kekurangan
lapisan mukosa, menutup flap pada daerah donor dan melapisi flap pada otot. STSG juga
dapat digunakan untuk mencapai penutupan yang menetap pada luka tetapi sebelumnya harus
didahului dengan pemeriksaan patologi untuk menentukan rekonstruksi yang akan
dilakukan.Daerah donor STSG dapat sembuh secara spontan dengan sel yang disediakan oleh
sisa epidermis yang ada pada tubuh dan juga dapat sembuh secara total. STSG juga
mempunyai beberapa dampak negatif bagi tubuh yang perlu dipertimbangkan. Aliran
pembuluh darah serta jaringan pada STSG mempunyai sifat mudah rusak atau pecah terutama
bila ditempatkan pada area yang luas dan hanya ditunjang atau didasari dengan jaringan
lunak serta biasanya STSG tidak tahan dengan terapi radiasi. STSG akan menutup selama
penyembuhan, tidak tumbuh dengan sendirinya dan harus dirawat agar dapat menjadi lebih
lembut, dan tampak lebih mengkilat daripada kulit normal. STSG akan mempunyai pigmen
yang tidak normal salah satunya adalah berwarna putih atau pucat atau kadang
hiperpigmentasi, terutama bila pasien mempunyai warna kulit yang lebih gelap. Efek dari
penggunaan STSG adalah kehilangan ketebalan kulit, tekstur lembut yang abnormal,
kehilangan pertumbuhan rambut dan pigmentasi yang tidak normal sehingga kurang sesuai
dari segi kosmetik atau keindahan. Jika digunakan pada luka bakar yang luas pada daerah
wajah, STSG mungkin akan menghasilkan penampilan yang tidak diinginkan. Terakhir, luka
yang dibuat pada daerah donor dimana graft tersebut dipotong selalu akan lebih nyeri
daripada daerah resipien.
b.Full Thickness Skin Graft ( FTSG ) FTSG lebih sesuai pada area yang tampak pada wajah
bila flap (potongan kulit yang disayat dan dilipat) pada daerah setempat tidak diperoleh atau
bila flap dari daerah setempat tidak dianjurkan. FTSG lebih menjaga karakteristik dari kulit
normal termasuk dari segi warna, tekstur/ susunan, dan ketebalan bila dibandingkan dengan
STSG. FTSG juga mengalami lebih sedikit pengerutan selama penyembuhan. Ini adalah sama
pentingnya pada wajah serta tangan dan juga daerah pergerakan tulang sendi. FTSG pada
anak umumnya lebih disukai karena dapat tubuh dengan sendirinya. Prosedur FTSG memiliki
beberapa keuntungan antara lain : relatif sederhan, tidak terkontaminasi / bersih, pada daerah
luka memiliki vaskularisasi yang baik dan tidak mempunyai tingkat aplikasi yang luas seperti
STSG.
Daerah Donor Skin Graft
Pilihan daerah donor biasanya berdasarkan pada penampilan yang diinginkan pada
daerah resipien. Hal ini lebih penting pada FTSG karena karakteristik kulit pada daerah donor
akan lebih terpelihara oleh bahan yang dipindahkan pada tempat yang baru. Ketebalan,
tektur, pigmentasi, ada atau tidaknya rambut harus sangat diperhatikan . Menurut Heriady
(2005), daerah donor untuk FTSG dapat diambil dari kulit dibelakang telinga, dibawah atau
diatas tulang selangka (klavikula), kelopak mata, perut, lipat paha dan lipat siku. Sebagian
besar daerah donor ini sering dipakai untuk menutup luka pada daerah wajah atau leher.
Pemotongan yang dilakukan pada daerah wajah sebaiknya harus berhati-hati untuk
mempertahankan kesimetrisan wajah dari segi estetik. Bagian kulit yang tidak ditumbuhi oleh
rambut dan berfungsi untuk melapisi tangan dapat diambil dari batas tulang hasta dan telapak
kaki dengan penyesuaian warna, tekstur dan ketebalan yang tepat. Graft dengan pigmen yang
lebih gelap diperoleh dari preposium (kulup), scrotum, dan labia minora . Daerah donor untuk
STSG dapat diambil dari daerah mana saja di tubuh seperti perut, dada, punggung, pantat,
anggota gerak lainnya. Namun, umumnya yang sering dilakukan diambil dari kulit daerah
paha. Daerah donor dari paha lebih disukai karena daerah ini lebih lebar dan lebih mudah
sembuh . Daerah pantat juga dapat digunakan sebagai daerah donor, tetapi biasanya pasien
akan mengeluh nyeri setelah operasi dan akan memerlukan bantuan untuk merawat luka.
Menurut Rives(2006), kulit kepala dapat digunakan pada prosedur FTSG untuk melapisi
daerah wajah yang luas dan terutama berguna untuk luka bakar yang hebat dengan
ketersediaan daerah donor yang terbatas. Untuk luka pada tangan, daerah lengan atas bagian
dalam dapat dipertimbangkan untuk dijadikan daerah donor.
Daerah Resipien Skin Graft
Komponen penting yang menjamin suksesnya skin graft adalah persiapan pada daerah
resipien. Kondisi fisiologis pada daerah resipien harus mampu menerima serta memelihara
graft itu sendiri. Skin graft tidak akan dapat bertahan hidup pada jaringan yang tidak dialiri
darah. Skin graft akan dapat bertahan hidup pada periosteum, perikondrium, dermis, fasia,
otot, dan jaringan granulasi. Pasien dengan luka akibat aliran vena yang lamban (stasis vena)
atau ketidakcukupan arteri perlu untuk diobati terlebih dahulu sebelum melakukan
pemindahan kulit. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan graft dapat bertahan
hidup. Luka juga harus bebas dari jaringan yang mati dan bersih dari bakteri. Bakteri yang
berjumlah lebih dari 100.000/cm² akan berkumpul sehingga dapat menyebabkan graft gagal
Prosedur Operasi
Teknik operasi yang hati-hati adalah syarat penting agar graft dapat hidup. Setelah
melakukan prosedur anestesi dengan tepat baik menggunakan lokal, regional atau general
anestesi, tindakan selanjutnya adalah mempersiapkan luka untuk pemindahan kulit. Ini
termasuk membersihkan luka dengan larutan garam atau betadine yang diencerkan, kemudian
membersihkan luka dengan pengeluaran benda asing dan membuang jaringan yang rusak atau
yang terinfeksi atau biasa disebut debridement serta mencapai hemostasis dengan cermat.
Kontrol hemostatik yang baik dapat diperoleh dengan pengikatan, tekanan yang lembut,
pemberian substansi topikal sebagai vasokonstriksi, misalnya epinefrin atau alat bedah
pembakar dengan tenaga listrik (electrocautery). Penggunaan alat ini harus diminimalkan
karena dapat mengganggu kehidupan jaringan. Penggunaan obat topikal atau epinefrin yang
disuntikkan pada daerah donor atau resipien tidak akan membahayakan kelangsungan hidup
graft . Teknik operasi yang dilakukan pada tiap jenis skin graft tentunya akan berbeda-beda,
tergantung pada jenis yang akan digunakan. Menurut Rives (2006), teknik operasi yang
dilakukan antara lain sebagai berikut:
1. Full Thickness Skin Graft (FTSG) FTSG dipotong menggunakan pisau bedah. Pada
awalnya dilakukan pengukuran pada luka, pembuatan pola serta pola garis yang dibuat lebih
besar pada daerah donor. Pola sebaiknya diperluas atau diperbesar kurang lebih 3-5 % untuk
mengganti kerusakan dengan segera terutama terjadinya penyusutan atau pengerutan akibat
kandungan serat elastik yang terdapat pada graft dermis. Kemudian daerah donor mungkin
akan diinfiltrasi menggunakan anestesi lokal dengan atau tanpa epinefrin. Infiltrasi sebaiknya
dilakukan setelah sketsa graft dilukis pada kulit untuk mencegah terjadinya penyimpangan.
Setelah pola di insisi, kulit diangkat pada sisi epidermis dengan tangan yang tidak dominan
menggunakan penjepit kulit. Tindakan ini akan memberikan ketegangan dan rasa pada
ketebalan graft ketika tangan memotong graft hingga ke dasar lemak subcutan. Beberapa sisa
jaringan lemak harus dipotong dari sisi bawah graft, karena lemak ini tidak mengandung
pembuluh darah dan akan mencegah hubungan langsung antara dermis graft dan dasar luka.
Pemotongan sisa lemak subcutan secara profesional menggunakan alat yang runcing, gunting
bengkok, dan sisa-sisa dermis yang berkilau pada bagian dalam.
2. Split Thickness Skin Graft (STSG): Ada beberapa tahap pelaksanaan prosedur skin graft
dengan jenis STSG, antara lain: proses pemotongan, pemasukan graft, dan proses
pembalutan:
a.Pemotongan: Untuk memperoleh hasil pemotongan terbaik pada graft tentunya harus
ditunjang dengan teknik pemotongan yang benar. Pemotongan pada STSG dapat ditempuh
dengan beberapa cara yaitu:
1)Mata pisau dermatom: Biasanya teknik ini menggunakan mata pisau dermatom, yang
mampu memotong pada graft yang luas dengan ketebalan yang sama. Dermatom dapat
dioperasikan dengan tenaga udara atau manual. Dermatom yang biasa digunakan termasuk
Castroviejo, Reese, Padgett-Hood, Brown, Davol-Simon, dan Zimmer. Tanpa memperhatikan
alat yang digunakan, anestesi yang cukup harus segera ditentukan karena pemotongan pada
skin graft merupakan prosedur yang dapat menyebabkan nyeri. Lidocain dengan epinefrin
disuntikkan ke daerah donor untuk mengurangi hilangnya darah dan memberikan turgor kulit
yang bagus sehingga dapat membantu dalam pemotongan.
2). Drum Dermatom: Drum dermatom ( Reese, Padgett-Hood ) akhir-akhir ini jarang
digunakan tetapi masih tersedia untuk keperluan pemindahan kulit tertentu. Alat ini memiliki
mata pisau yang bergerak dengan tenaga manual seperti drum yang berputar diatas
permukaan kulit. Alat ini dapat digunakan lembaran kulit yang luas dengan ketebalan yang
tidak teratur. Ini sangat berguna pada daerah donor dengan kecembungan, kecekungan atau
keadaan tulang yang menonjol (leher, panggul, pantat), karena potongan kulit yang pertama
menempel pada drum dengan menggunakan lem khusus atau plester pelekat. Alat ini juga
dapat mengikuti pola yang tidak teratur dengan tepat untuk dipotong dengan perubahan pola
yang diinginkan dengan direkatkan pada kulit dan drum. Kerugian dari penggunaan alat ini
adalah kemungkinan terjadinya cedera pada operator sendiri akibat ayunan mata pisau,
penggunaan agen yang mudah terbakar seperti eter atau aseton untuk membersihkan daerah
donor dan memindahkan permukaan minyak untuk memastikan terjaminnya perlekatan yang
kuat antara kulit dan drum dermatom serta diperlukannya teknik keahlian yang tinggi agar
dapat menggunakan peralatan operasi dengan aman dan efektif (River, 2006:8).
3). Free-Hand: Metode pemotongan lain untuk jenis STSG adalah free hand dengan pisau.
Meskipun ini metode ini dapat dilakukan dengan pisau bedah, alat yang lain seperti pisau
Humby, mata pisau Weck dan pisau Blair. Kelemahan dari metode ini adalah tepi graft
menjadi tidak rata dan perubahan ketebalan. Sama seperti drum dermatom, keahlian teknik
sangat diperlukan dan perawatan kualitas graft lebih bergantung pada operator daripada
menggunakan dermatom yang menggunakan tenaga listrik atau udara.
4). Dermatom dengan tenaga udara dan listrik: Bila menggunakan dermatom jenis ini, ahli
bedah harus terbiasa dengan pemasangan mata pisau dan bagaimana mengatur ketebalan graft
serta memeriksa peralatan sebelum operasi dimulai. Terdapat dua pemahaman yang tepat dan
kurang tepat mengenai mata pisau. Hal ini akan membingungkan bagi anggota ruang operasi
yang kurang berpengalaman. Penempatan mata pisau bedah nomor 15 digunakan pada
ketebalan 0,015 inci dan dapat digunakan untuk memeriksa penempatan ketebalan yang sama
dan tepat. Langkah awal pada proses pemotongan adalah dengan mensterilisasi daerah donor
menggunakan betadine atau larutan garam yang lain. Kemudian daerah donor diberi minyak
mineral untuk melicinkan kulit dan dermatom sehingga dermatom akan mudah bergerak
diatas kulit. Dermatom dipegang dengan tangan dominan dengan membentuk sudut 30-45º
dari permukaan daerah donor. Tangan yang tidak dominan berfungsi sebagai penahan dan
diletakkan di belakang dermatom. Asisten operasi bertugas sebagai penahan pada bagian
depan dermatom, memajukan dan mengaktifkan dermatom dengan lembut serta melanjutkan
gerakan pada seluruh permukaan kulit dengan tekanan yang menurun dengan lembut. Setelah
ukuran yang sesuai dipotong, dermatom dimiringkan menjauhi kulit dan diangkat dari kulit
untuk memotong tepi distal graft dan tahap pemotongan selesai. Bila pada proses
pemotongan terjadi pembukaan pada lapisan lemak, ini mengindikasikan bahwa insisi yang
dilakukan terlalu ke dalam atau mungkin karena teknik yang salah dalam pemasangan
dermatom.
b.Pelubangan: Teknik ini berguna untuk memperluas permukaan area graft hingga 9 kali
permukaan area donor. Teknik ini juga sangat berguna jika kulit donor tida cukup untuk
menutup area luka yang luas, misalnya pada luka bakar mayor atau ketika daerah resipien
memiliki garis yang tidak teratur. Bagian graft dilubangi agar cairan pada luka dapat keluar
melalui graft daripada berakumulasi dibawah graft. Perluasan bagian graft ini tidak akan
dapat mengatasi adanya hematom pada dasar graft. Bila telah mengalami proses
penyembuhan, graft akan tampak seperti kulit buaya. Karena teknik ini kurang baik dari segi
estetika dan terjadinya pengerutan yang lebih lanjut, maka penggunaan teknik ini harus
dihindari pada daerah pergerakan dan wajah, tangan dan area lain yang terlihat.
c.Pemasukan graft: Setelah graft dipotong, tindakan selanjutnya adalah mengamati
hemostasis. Setelah semuanya sempurna, kemudian graft ditempatkan pada dasar luka. Pada
tahap ini perhatian harus difokuskan pada sisi bawah kulit. Meskipun terlihat sederhana dan
nyata, dermis dan epidermis kadang tampak serupa bila tidak dilakukan inspeksi dengan
sangat dekat dan teliti pada kulit individu yang berwarna terang. Perawatan juga harus
dilakukan untuk mencegah pengkerutan atau peregangan yang berlebihan pada graft. Graft
harus benar-benar diletakkan dengan benar pada daerah resipien untuk menjamin perlekatan
dasar serta proses penyembuhan. Tahap ini diakhiri dengan penjahitan atau penggunaan
staples untuk menjaga agar graft menempel kuat pada kulit disekitar dasar luka. Staples
sangat berguna untuk luka yang lebih dalam daripada permukaan kulit sekitarnya. Efek dari
penggunaan staples adalah rasa nyeri yang hebat dan dapat mengganggu perlekatan graft
pada luka ketika dilakukan pengambilan kira-kira 7 – 10 hari setelah operasi.Kemampuan
penyerapan benang juga perlu diperhatikan. Biasanya benang dengan empat sudut digunakan
untuk menahan graft dengan beberapa pertimbangan, kemudian penjahitan dilakukan
disekitar perifer. Ini membantu sebagai jalan keluar pertama jarum melewati graft kemudian
melalui margin disekitar luka untuk mencegah pengangkatan graft dari dasar luka.
d.Pembalutan: Pembalutan dilakukan untuk memberikan tekanan yang sama pada seluruh
area graft tanpa adanya perlekatan. Pembalutan juga bertujuan untuk mengimobilisasikan
area graft dan mencegah pembentukan hematom pada bagian bawah graft. Menurut
Blanchard (2006), pembalutan awal dilakukan pada daerah resipien segera setelah
pemindahan kulit dilakukan dan baru diganti setelah 3 hingga 7 hari berikutnya. Pembalutan
yang baru dapat dilakukan pada seluruh daerah graft hingga skin graft benar-benar sembuh.
Biasanya pada lokasi donor ditempatkan langsung lembaran kasa yang halus dan tidak
melekat. Kemudian diatasnya dipasang kasa absorben untuk menyerap darah atau serum dari
luka. Kasa selaput (seperti Op-Side) dapat digunakan untuk memberikan manfaat tertentu,
yaitu kasa ini bersifat transparan dan memungkinkan pemeriksa untuk melihat luka tanpa
menggangu kasa pembalutnya semantara pasien tidak perlu khawatir ketika mandi karena
kasa pembalut tersebut tidak menyerap air (Smeltzer & Bare, 2002:1899). Setelah skin graft
dilakukan, proses yang terjadi selanjutnya adalah regenerasi termasuk pertumbuhan kembali
rambut, kelenjar keringat dan kelenjar sebasea. Pada prosedur STSG, kelenjar keringat tidak
akan dapat sembuh secara total sehingga akan berdampak pada masalah pengaturan panas.
Tidak adanya kelenjar sebasea pada kulit dapat menyebabkan kulit menjadi kering, gatal dan
bersisik. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya dilakukan pemberian lotion dengan frekuensi
sering.
Proses Penyembuhan
Menurut Rives (2006), masa penyembuhan dan kelangsungan hidup graft terdiri dari
beberapa tahap yaitu:
1.Perlekatan dasar: Setelah graft ditempatkan, perlekatan dasar luka melalui jaringan fibrin
yang tipis merupakan proses sementara hingga sikulasi dan hubungan antar jaringan telah
benar-benar terjadi.
2.Penyerapan Plasma: Periode waktu antara pemindahan kulit dengan revaskularisasi pada
graft merupakan fase penyerapan plasma. Graft akan menyerap eksudat pada luka dengan
aksi kapiler melalui struktur seperti spon pada graft dermis dan melalui pembuluh darah
dermis.Ini berfungsi untuk mencegah pengeringan terutama pada pembuluh darah graft dan
menyediakan makanan bagi graft. Keseluruhan proses ini merupakan respon terhadap
kelangsungan hidup graft selama 2–3 hari hingga sirkulasi benar-benar adekuat. Selama tahap
ini berlangsung, graft akan mengalami edema dan beratnya akan meningkat hingga 30-50%.
3.Revaskularisasi: Revaskularisasi pada graft dimulai pada hari ke 2-3 post skin graft dengan
mekanisme yang belum diketahui. Tanpa memperhatikan mekanisme, sirkulasi pada graft
akan benar-benar diperbaiki pada hari ke 6 – 7 setelah operasi. Tanpa adanya perlekatan
dasar, imbibisi plasma dan revaskularisasi, graft tidak akan mampu bertahan hidup.
4.Pengerutan luka: Pengerutan pada luka merupakan hal yang serius dan merupakan masalah
yang berhubungan dengan segi kosmetik tergantung pada lokasi dan tingkat keparahan pada
luka. Pengerutan pada wajah mungkin dapat menyebabkan terjadinya ektropion, serta retraksi
pada hidung. Kemampuan skin graft untuk melawan terjadinya pengerutan berhubungan
dengan komponen ketebalan kulit yang digunakan sebagai graft.
5.Regenerasi: Epitel tubuh perlu untuk beregenerasi setelah proses pencangkokkan kulit
berlangsung. Pada STSG, rambut akan tumbuh lebih jarang atau lebih sedikit pada daerah
graft yang sangat tipis. Graft mungkin akan kering dan sangat gatal pada tahap ini. Pasien
sering mengeluhkan kulit yang tampak kemerahan. Salep yang lembut mungkin akan
diberikan pada pasien untuk membantu dalam menjaga kelembaban pada daerah graft dan
mengurangi gatal.
6.Reinnervasi: Reinnervasi pada graft terjadi dari dasar resipien dan sepanjang perifer.
Kembalinya sensibilitas pada graft juga merupakan proses sentral. Proses ini biasanya akan
dimulai pada satu bulan pertama tetapi belum akan sempurna hingga beberapa tahun.
7.Pigmentasi: Pigmentasi pada FTSG akan berlangsung lebih cepat dengan pigmentasi yang
hampir serupa dengan daerah donor. Pigmentasi pada STSG akan terlihat lebih pucat atau
putih dan akan terjadi hiperpigmentasi dengan kulit tampak bercahaya atau mengkilat. Untuk
mengatasi hal ini biasanya akan dianjurkan untuk melindungi daerah graft dari sinar matahari
secara langsung selama 6 bulan atau lebih.
Komplikasi
Skin graft banyak membawa resiko dan potensial komplikasi yang beragam tergantung dari
jenis luka dan tempat skin graft pada tubuh. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain :
1.Kegagalan graft: Menurut Revis (2006), skin graft dapat mengalami kegagalan karena
sejumlah alasan. Alasan yang paling sering terjadi adalah adanya hubungan yang kurang baik
pada graft atau kurangnya perlekatan pada dasar daerah resipien. Timbulnya hematom dan
seroma dibawah graft akan mencegah hubungan dan perlekatan pada graft dengan lapisan
dasar luka. Pergerakan pada graft atau pemberian suhu yang tinggi pada graft juga dapat
menjadi penyebab kegagalan graft. Sumber kegagalan yang lain diantaranya adalah daerah
resipien yang buruk. Luka dengan vaskularisasi yang kurang atau permukaan luka yang
terkontaminasi merupakan alasan terbesar bagi kegagalan graft. Bakteri dan respon terhadap
bakteri akan merangsang dikeluarkannya enzim proteolitik dan terjadinya proses inflamasi
pada luka sehingga akan mengacaukan perlekatan fibrin pada graft. Teknik yang salah juga
dapat menyebabkan kegagalan graft. Memberikan penekanan yang terlalu kuat, peregangan
yang terlalu ketat atau trauma pada saat melakukan penanganan dapat menyebabkan graft
gagal baik sebagian ataupun seluruhnya.
2.Reaksi penolakan terhadap skin graft
3.Infeksi pada daerah donor atau daerah resipien.
4.Cairan yang mengalir keluar dari daerah graft.
5.Munculnya jaringan parut
6.Hiperpigmentasi
7.Nyeri: Nyeri dapat terjadi karena penggunaan staples pada proses perlekatan graft atau juga
karena adanya torehan, tarikan atau manipulasi jaringan atau organ (Long, 1996:60). Hal ini
diduga bahwa ujung-ujung saraf normal yang tidak menstransmisikan sensasi nyeri menjadi
mampu menstransmisikan sensasi nyeri (Smeltzer, 2002:214). Reseptor nyeri yang
merupakan serabut saraf mengirimkan cabangnya ke pembuluh darah lokal, sel mast, folikel
rambut, kelenjar keringat dan melepaskan histamin, bradikinin, prostaglandin dan macam-
macam asam yang tergolong stimuli kimiawi terhadap nyeri. Nosiseptor berespon mengantar
impuls ke batang otak untuk merespon rasa nyeri.
8.Hematom: Hematom atau timbunan darah dapat membuat kulit donor mati. Hematom
biasanya dapat diketahui lima hari setelah operasi. Jika hal ini terjadi maka kulit donor harus
diambil dan diganti dengan yang baru (Perdanakusuma, 2006:1). Hematom juga menjadi
komplikasi tersering dari pemasangan graft.
9.Kulit berwarna kemerahan pada sekitar daerah graft
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakar, I. A. (2003). Cangkok kulit merupakan alternatif pilihan. (Online), (www.
kompas.com/ver1/Muda/0606/14/192815.htm-17k- diakses tanggal 11 Juli 2006)
2. Blanchard, D. K, Lin, P & Lumsden, A. (2006). Skin graft. (Online),
(www.debakeydepartmentofsurgery.org/home/content.cfm?proc_name=Skin+Graft+&conte
t_id=272-19k- diakses tanggal 31 Juli 2006)
3. Brooker, C. (2001). The nurse’s pocket dictionary (31st ed.). Terjemahan oleh Andry
Hartono. Jakarta: EGC.Carpenito, L. J. (2001). Handbook of nursing diagnosis (8th ed.).
Terjemahan oleh Monika Ester. Jakarta: EGC.
4. Departemen Kesehatan RI. (2000). Informatorium obat nasional indonesia 2000. Jakarta:
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan 2000.
5. Doenges, M. E. (2000). Application of nursing process and nursing diagnosis an
intervensive text for diagnostic reasoning (2nd ed.). Terjemahan oleh Made Karisa. Jakarta:
EGC.
6. Heriady, Yusuf. (2005). Manfaat transplantasi kulit pada pengobatan kanker. (Online),
(www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=konsultasi&id=103880-31k- diakses
tanggal 11 Juli 2006)
7. Long, B. C. (1996). Perawatan medikal bedah: Suatu pendekatan proses keperawatan.
Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan UNPAD.
Potter, P. A & Perry, G. A. (2006). Fundamentals of nursing: concepts, process and practice
(4th ed.). Terjemahan oleh Monika Ester. Jakarta: EGC.
8. Gallagher JJ, Wolf SE, Herndon DN. Burns. In: Townsend CM, Beauchamp RD, Evers
BM, Mattox KL. Editors. Sabiston Textbook of Surgery. 18th Ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier. 2008.
9. Gibran NS. Burns. In: Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Gerard M, Ronald V,
Upchurch GR. Editors. Greenfield’s Surgery: Scientific Principles and Practice. 4 th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2006.
10. Klein MB. Thermal, Chemical and Electrical Injuries. In: Thorne CH, Beasley RW,
Aston SJ, Bartlett SP, Gurtner GC, Spear SL. Editors. Grab and Smith’s Plastic Surgery. 6 th
Ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins. 2007.
11. R Sjamsuhidajat. Wim De Jong. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Penerbit Buku Kedokteran.
EGC.
12. Rue, L.W. & Cioffi, W.G. 1991. Resuscitation of thermally injured patients. Critical
Care Nursing Clinics of North America, 3(2),185
13. Wachtel & Fortune 1983, Fluid resuscitation for burn shock. In T.L. Wachtel et al (Eds.),
Current topic in burn care (p. 44). Rockville,MD: Aspen Publisher, Inc.