TINJAUAN PUSTAKA ku

49
BAB I PENDAHULUAN Penyakit alergi yang kita kenal dalam praktek sehari-hari antara lain ialah, reaksi atopi (rhinitis alergika, asthma bronehiale, urticaria, eezema atopik) alergi obat, dermatitis kontak, dan serum sickness yang sudah jarang dilihat lagi. Dari kepustakaan dikatakan bahwa 30% dari penduduk itu mempunyai kemungkinan selama dalam hidupnya untukmenunjukkan suatu reaksi alergi, tapi hanya 10% yang membutuhkan pertolongan medik.Rhinitis alergika adalah penyakit alergi yang paling banyakditemukan, lalu disusuloleh asthma bronchiale dan urticaria. Meskipun rhinitis alergika kelihatannya tidak seberapa payah,tapi dalam praktek kita, banyak sekali yang mendapat cukup gangguan-gangguan hidungnya antara lain berair terus sehingga memakai lebih dari 10 saputangan sehari, matanya berair dan gatal-gatal yang hilang timbul, berbangkis-bangkis yang tak henti-henti, terutama dipagi hari atau kalau penderita banyak kena debu. Kalau hal ini dibiarkan terus, kelak akan timbul berbagai komplikasi yang menyangkut kesulitan-kesulitan didaerah hidung Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap, serbuk/tepung sari yang ada 1

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA ku

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA ku

BAB IPENDAHULUAN

Penyakit alergi yang kita kenal dalam praktek sehari-hari antara lain ialah,

reaksi atopi (rhinitis alergika, asthma bronehiale, urticaria, eezema atopik) alergi

obat, dermatitis kontak, dan serum sickness yang sudah jarang dilihat lagi. Dari

kepustakaan dikatakan bahwa 30% dari penduduk itu mempunyai kemungkinan

selama dalam hidupnya untukmenunjukkan suatu reaksi alergi, tapi hanya 10% yang

membutuhkan pertolongan medik.Rhinitis alergika adalah penyakit alergi yang paling

banyakditemukan, lalu disusuloleh asthma bronchiale dan urticaria.

Meskipun rhinitis alergika kelihatannya tidak seberapa payah,tapi dalam

praktek kita, banyak sekali yang mendapat cukup gangguan-gangguan hidungnya

antara lain berair terus sehingga memakai lebih dari 10 saputangan sehari, matanya

berair dan gatal-gatal yang hilang timbul, berbangkis-bangkis yang tak henti-henti,

terutama dipagi hari atau kalau penderita banyak kena debu. Kalau hal ini dibiarkan

terus, kelak akan timbul berbagai komplikasi yang menyangkut kesulitan-kesulitan

didaerah hidung

Rinitis alergi adalah penyakit umum yang paling banyak di derita oleh

perempuan dan laki-laki yang berusia 30 tahunan. Merupakan inflamasi mukosa

saluran hidung dan sinus yang disebabkan alergi terhadap partikel, seperti debu, asap,

serbuk/tepung sari yang ada di udara. Meskipun bukan penyakit berbahaya yang

mematikan, rinitis alergi harus dianggap penyakit yang serius karena karena dapat

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Tak hanya aktivitas sehari-hari yang

menjadi terganggu, biaya yang akan dikeluarkan untuk mengobatinya pun akan

semakin mahal apabila penyakit ini tidak segera diatasi karena telah menjadi kronis.

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang menyerang kira-

kira 10-50% penduduk dunia. Sejak pertama kali ditemukan di Inggris pada tahun

1819, prevalensinya semakin meningkat mencapai sekitar 40% dari populasi umum.

Sebagian besar penderita ternyata mengalami penurunan kualitas hidup, kualitas

pendidikan di sekolah dan produktvitas kerja, akibat dari gejala-gejala yang dialami.

Selain itu, kebanyakan penderita tidak menyadari penyakit alergi ini, sehingga biaya

medis yang dikeluarkan untuk berulang kali berobat sangat tinggi. Oleh karena itu

1

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA ku

sangat penting untuk mengenali gejala dan tanda rinitis alergi, sehingga dapat

didiagnosis dengan tepat dan ditatalaksana dengan adekuat.

Diagnosis dari rinitis alergi dapat ditegakkan dengan anamnesis yang cermat,

pemeriksaan THT serta beberapa pemeriksaan yang dapat menyingkirkan

kemungkinan jenis rinitis lainnya. Rinitis alergi ini merupakan salah satu manifestasi

dari reaksi hipersensitifitas tipe 1 Gell & Comb yang diperantarai oleh IgE dengan

mukosa hidung sebagai organ sasaran. Gejala-gejala yang banyak dikeluhkan yaitu

bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore dan gatal pada hidung, yang dapat disertai

dengan keluhan lain atau juga tidak. Penyakit ini dapat menimbulkan gejala sistemik,

menurunkan kualitas hidup, mengganggu sekolah dan kegiatan akademis serta

mengurangi produktivitas kerja. Hal ini menyebabkan penatalaksanaan yang baik

sangat diperlukan bagi penderita rinitis alergi sehingga dapat menjalani hidup dengan

kualitas yang lebih baik

2

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA ku

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Rinitis alergi menurut WHO (2001) adalah kelainan pada hidung setelah

mukosa hidung terpapar oleh alergen yang diperantarai oleh IgE dengan gejala

bersin-bersin, rinore, rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.

Rinits alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi pada

pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta

dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen

spesifik tersebut.

B. Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan penyakit umum dan sering dijumpai. Prevalensi

penyakit rinitis alergi pada beberapa negara berkisar antara 4.5-38.3% dari jumlah

penduduk dan di Amerika, merupakan 1 diantara deretan atas penyakit umum yang

sering dijumpai. Meskipun dapat timbul pada semua usia, tetapi 2/3 penderita

umumnya mulai menderita pada saat berusia 30 tahun. Dapat terjadi pada wanita dan

pria dengan kemungkinan yang sama. Penyakit ini herediter dengan predisposisi

genetik kuat. Bila salah satu dari orang tua menderita alergi, akan memberi

kemungkinan sebesar 30% terhadap keturunannya dan bila kedua orang tua menderita

akan diperkirakan mengenai sekitar 50% keturunannya.

C. Etiologi

Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya

tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta

jamur.

2. Alergen ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya

penisilin dan sengatan lebah.

3

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA ku

4. Alergen kontaktan , yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

Gambar 1.Alergen.

Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara

garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini

bersifat non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil

seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga

kemungkinan ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya

dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila

Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka

reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

4

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA ku

D. Patofisiologi

Reaksi tipe I atau anafilaktik

Reaksi ini terjadi pada waktu alergen atau antigen bereaksi dengan zat anti

yang spesifik, yang dikenal dengan nama reagin. Berdasarkan penyelidikan

ISHIZAKA dan ISHIZAKA, ternyata bahwa aktivitas reagin itu bukan dibawakan

oleh IgG, IgA, IgM maupun IgD, melainkan oleh satu kelas imunoglobulin yang

disebut IgE. Imunoglobulin ini mempunyai suatu keistimewaan, yaitu dapat melekat

pada sel basofil dan/atau mastosit ('mast cell'); oleh karena itu IgE disebut juga

sebagai zat anti homositotropik. Dengan timbulnya reaksi antara antigen dengan zat

anti itu, maka terjadilah proses degranulasi di dalam sel tersebut, yang diikuti dengan

keluarnya zat farmakologik aktip, yaitu: histamin, zat bereaksi lambat ('slow-reacting

substance'), serotonin dan bradikinin. Zat-zat ini pada umumnya menyebabkan

kontraksi otot polos, vasodilatasi dan meningginyapermeabilitaspembuluh darah

kapiler. Akibat reaksi alergi ini, maka secara klinik ditemukan penyakit-penyakit

seperti : asma bronkial, demam rumput kering (Hay-fever), rinitisalergika dll.

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap

sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu

immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang

berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase

allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam

dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat

berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan

menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses,

antigen akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul

HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major Histocompatibility

Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel

penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL 1) yang akan mengaktifkan Th0

untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin

seperti IL 3, IL 4, IL 5, dan IL 13.

5

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA ku

IL 4 dan IL 13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,

sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE).

IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di

permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi

aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang

tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama,

maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi

(pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia

yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga

dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),

Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin. Platelet Activating

Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (IL3, IL4, IL5, IL6, GM-CSF (Granulocyte

Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai

Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Gambar 2, Reaksi alergi type I

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga

menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan

6

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA ku

menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).

Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak

berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam

setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel

inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung

serta pengingkatan sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala

hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator

inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic

Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase

(EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik

dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca

dan kelembaban udara yang tinggi

7

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA ku

Gambar 3.Proses terjadinya gejala rinitis

Tabel 1 Reaksi Alergi tipe lambat dan cepat

8

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA ku

E.Gambaran Histologi

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan

pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang

interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil

pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.

Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus

(persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang

ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga

tampak mukosa hidung menebal.

E. Klasifikasi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat

berlangsungnya, yaitu :

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

Di Indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara

yang mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari

(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu nama yang tepat adalah polinosis atau

rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada hidung dan

mata (mata merah, gatal disertai lakrimasi).

9

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA ku

Gambar 4.Rinitis alergi

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala pada penyakit ini timbul intermiten atau terus-menerus, tanpa

variasi musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun.

Penyebab yang paling sering adalah alergen inhalan, terutama pada orang

dewasa, dan alergen ingestan. Alergen inhalan utama adalah alergen dalam rumah

(indoor) dan alergen luar rumah (outdoor). Alergen inhalan dalam rumah terdapat

di kasur kapuk, tutup tempat tidur, selimut, karpet, dapur, tumpukan baju dan

buku-buku, serta sofa. Komponen alergennya terutama berasal dari serpihan kulit

dan feses tungau D. Pteronyssinus, D. farinae dan Blomia tropicalis, kecoa dan

bulu binatang peliharaan (anijng, kucing, burung). Alergen inhalan di luar rumah

berupa polen dan jamur. Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-

anak biasanya disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria, gangguan

pencernaan. Gangguan fisiologik pada golongan perenial lebih ringan

dibandingkan dengan golongan musiman tetapi karena lebih persisten maka

komplikasinya lebih sering ditemukan.

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya.

10

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA ku

Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 munggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4

minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi :

1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian,

bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

F. Diagnosis

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan dengan cara :

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjajdi di

hadapan pemeriksa. Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pagi hari atau

bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri. Bersin ini merupakan gejala pada

RAFC dan kadang-kadang RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain

ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hisung dan mata

gatal, yang kadang-kadang disertai air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering

disertai oleh gejala konjungtivitis alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap,

terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan

utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner,

yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat

obstruksi hidung. Selain itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis

melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung

11

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA ku

yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Mulut sering

terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan

gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak

granuler dan edema (cobblestone appearance). Lidah tampak seperti gambaran peta

(geographic tongue).

Gambar 5.gambaran klinis

12

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA ku

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior

tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang

dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan

konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan

otitis media.

Gambar 6 rhinoskopi anterior

3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,

tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam

jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5

sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel

PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial

atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi

pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang

13

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA ku

tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test)

atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test).

c. Uji kulit alergen penyebab dapat dicari secara invivo.

Ada beberapa cara, yaitu uji intrakutan atau intradermal yang tunggal

atau berseri (Skin End-point Titration/SET), uji cukit (Prick Test) dan uji

gores (Scratch Test). Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit (uji

cukit dan uji gores), sama. SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi

serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat

diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan

provokasi (“Challenge Test”).Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh

dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang

dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya

diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan

14

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA ku

dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan

meniadakan suatu jenis makanan.

Uji kulit untuk alergi makanan yang akhir-akhir ini banyak dilakukan

adalah Provocative Food Test (IPFT).

Dengan lengkapnya pemeriksaan ini, selain alergen jenis penyebab,

juga dapat diketahui besarnya konsentrasi alergen yang dapat menetralkan

reaksi akibat alergen tersebut.

G. Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang paling sering adalah :

1. Polip hidung.

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung.

2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.

3. Sinusitis paranasal.

Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis

alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.

H. Penatalaksanaan

Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi, yaitu:

1. Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung.

Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab.

2. Tahap penetrasi alergen ke dalam jaringan subkutan/submukosa menuju IgE

pada permukaan sel mast atau basofil. Tahapan ini diterapi secara kompetitif

dengan imunoterapi.

3. Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih

lanjut reaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan

ini dinetralisir dengan obat-obatan antihistamin yang secara kompetitif

memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.

15

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA ku

4. Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan

timbulnya gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan

sistematik atau lokal.

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu:

menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan

imunoterapi, sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi

komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.

1. Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap,

yaitu: Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses

pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan pertama adalah

mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil

diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester

3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6

bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan

terhadap alergen dan polutan.

2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak

berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi

tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan

dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang

dapat diketahui dengan uji kulit.

3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya

penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

Penghindaran Alergen

Pada pasien dengan gejala menetap akibat paparan alergen dalam rumah

(seperti tungau, kutu binatang, jamur tembok, kecoa) pencegahan alergen merupakan

langkah pertama yang sangat penting dalam penatalaksanaan. Perjalanan dan beratnya

penyakit berhubungan dengan konsentrasi alergen di lingkungan. Walaupun konsep

pengobatan ini sangat rasional namun dalam prakteknya sangat sulit dilakukan. Di

negara tropis, alergen utama yaitu debu rumah dan serpihan kulit tungau/serangga

(Dermatophagoides pteronysinus dan farinae) yang hidup pada debu rumah, karpet,

kasur, kapuk, selimut, tumpukan pakaian dan buku lama. Di samping itu terdapat

partikel alergen lain yang menempel pada debu rumah misalnya kotoran kecoa,

16

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA ku

serpihan bulu kucing dan anjing yang juga berperan aktif. Jamur yang terdapat dalam

rumah seperti jenis Aspergillus dan Penicillium sering ditemukan pada daerah yang

lembab seperti kamar mandi, gudang, serta atap yang bocor.

Pencegahan kontak dengan alergen dapat dilakukan dengan menjaga

kebersihan rumah, menghindari penggunaan karpet, memperbaiki ventilasi dan

kelembaban udara. Edukasi terhadap penderita perlu diberikan secara teratur

mengenai penyakit, penatalaksanaan, kepatuhan dalam berobat baik secara lisan

maupun pertanyaan.

Untuk mengurangi populasi tungau dan paparan terhadap alergen terdapat

beberapa cara, yaitu: 1) tidak menggunakan karpet, kapuk dan menyingkirkan mainan

berbulu dari kamar tidur, 2) mencuci selimut, bed cover, sprei, sarung bantal dan

guling serta kain gorden pada suhu 60oC, 3) melapisi kasur, bantal dan guling dari

bahan impermeablel/ antitembus tungau, 4) menggunakan perabot yang mudah

dibersihkan seperti dari kayu,plastik, logam dddan hindari sofa dari kain, 5)

pembersihan yang sering dan teratur dengan penghisap debu atau lap basah, 6) hindari

binatang peliharaan.

17

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA ku

Algoritma evaluasi dan pengobatan Rinitis alergi

Farmakoterapi

Pemberian medikamentosa harus dipertimbangkan secara individual

berdasarkan gejala dan tipe rinitis yang ada pada pasien. Hal ini karena pengobatan

yang berbeda akan memberikan efek yang berbeda terhadap tipe rinitis dan gejala

yang berbeda. Direkomendasikan utnuk memberikan terapi secara langkah demi

langkah, menekankan penatalaksanaan secara individual berdasarkan derajat

keparahan gejala, dengan mempertimbangkan efektivitas biaya dan dengan

pendekatan naik satu langkah atau turun satu langkah.

Antihistami H1

Antihistamin H1 merupakan obat yang sering dipakai untuk rinitis alergi dan

bekerja secara inhibisi kompetitif pada reseptor H1. Walaupun begitu, antihistamin

18

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA ku

H1 ini juga menunjukkan efek antiinflamasi, yaitu dengan berkurangnya ekspresi dari

adhesi molekul. Secara umum, antihistamin H1 mengurangi gejala bersin, gatal,

rinore dan injeksi okuler tetapi memiliki efek yang kecil terhadap kongesti hidung.

Karena sebagian besar antihistamin bekerja cepat dalam 1-3 jam, maka

penggunaannya secara intermiten sering dipakai dan cukup efektif, sehingga

merupakan terapi lini pertama untuk rinitis alergi ringan. Untuk penggunaan lama,

obat ini dapat menimbulkan subsensitivitas terapeutik.

Dikenal ada dua generasi obat antihistamin H1, yaitu generasi pertama atau

klasik dan generasi kedua. Generasi pertama tersedia secara luas baik secara terpisah

maupun kombinasi dengan dekongestan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini

adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin serta azelastin yang

dapat diberikan secara topikal. Antihistamin generasi pertama ini bersifat lipofilik

sehingga dapat melewati sawar darah otak, dan tidak hanya berikatan dengan reseptor

histamin H1 saja tetapi juga dengan reseptor dopaminergik, serotinergik dan

kolinergik. Hal ini menyebabkan adanya efek samping dari obat ini, yaitu efek

terhadap SSP (seperti sedasi, lelah, pusing, turunnya penampilan), serta efek

kolinergik seperti mulut dan mata kering, glaukoma, atau retensi urin. Efek samping

ini dapat berimplikasi sebagai penyebab fatal dari kecelakaan lalu lintas, penurunan

daya kerja dan produktivitas, berkurangnya konsentrasi belajar anak sehingga

pemberiannya perlu diperhatikan sesuai dengan status dan pekerjaan pasien.

Antihistamin generasi kedua berukuran lebih besar dan lebih bersifat lipofobik

daripada generasi pertama, sehingga tidak melewati sawar darah otak. Generasi kedua

ini berikatan secara spesifik dengan reseptor histamin H1 dan memiliki afinitas yang

kecil terhadap reseptor lain. Sehingga generasi kedua ini memiliki efek samping

sedasi yang lebih sedikit atau tidak ada, tidak mengganggu penampilan dan tidak

memiliki efek antikolinergik. Yang termasuk kelompok ini yaitu loratadin, astemisol,

azelastin, terfinadin dan cetirisin. Terfenadin dan astemisol diketahui dapat

menyebabkan perpanjangan repolarisasi jantung sehingga memperpanjang interval

QT pada EKG, dan bila dikombinasikan dengan obat lain yang dimetabolisme di hati

melalui enzim sitoktrom P450 (seperti antibiotik makrolid, antijamur golongan azol)

keduanya dapat menyebabkan torsades de pointes serta aritmia ventrikel. Hal ini

menjadikan kedua obat ini tidak lagi direkomendasikan.

Akhir-akhir ini sedang dikembangkan antihistamin generasi ketiga yang

memiliki keuntungan lebih besar dibandingkan generasi kedua, termasuk tidak ada

19

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA ku

efek kardiotoksis. Salah satu contohnya yaitu fexofenadine yang merupakan metabolit

terfenadin.

Terdapat juga sediaan antihistamin intranasal, yaitu azelastin dan levocabastin.

Kedua jenis obat ini secara efektif dan spesifik bekerja sebagai antagonis reseptor H1

untuk mengatasi gejala bersin dan gatal pada hidung dan mata. Bila digunakan 2 kali

sehari dapat mencegah timbulnya gejala.

Tabel.2 Macam Antihistamin

Dekongestan

Sejumlah preparat agonis adrenergik dipakai sebagai dekongestan oral, seperti

pseudoefedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin. Obat ini secara primer dapat

mengurangi sumbatan hidung dan sedikit mengatasi rinore, tetapi tidak memiliki efek

dalam mengurangi bersin, gatal ataupun gejala okular. Efek samping yang

ditimbulkan berupa efek SSP seperti insomnia, cemas, iritabilitas, sakit kepala, atau

berupa efek kardiovaskuler seperti palpitasi, takikardi. Golongan obat ini juga dapat

meningkatkan tekanan darah, tekanan intraokuler dan menyebabkan obstruksi saluran

kemih. Hal ini menjadikan pemberiannya harus hati-hati pada pasien usia lanjut dan

tidak diberikan pada pasien dengan penyakit jantung iskemik, glaukoma dan obstruksi

kemih.

20

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA ku

Dekongestan topikal seperti oxymetazolin, fenilefrin, xlometazolin, nafazolin,

dapat mengurangi gejala hidung tersumbat. Namun penggunaannya harus dibatasi 3-5

hari untuk menghindari terjadinya rebound nasal congestion (rinitis medikamentosa).

Pemberian dekongestan topikal pada rinitis alergi berat selama beberapa hari pertama

dapat membantu kemajuan terapi.

Tabel 3 obat dekongestan topical dan durasinya.

Kombinasi antihistamin-dekongestan

Kombinasi antihistamin dengan dekongestan banyak digunakan. Kombinasi

loratadine atau fexofenadin dengan pseudoefedrine banyak tersedia dan memberikan

efek yang lebih baik dibandingkan pemberian antihistamin secara tersendiri.

Kortikosteroid

Preparat kortikosteroid topikal memiliki efek melalui mekanisme multipel,

yaitu vasokontriksi dan mengurangi edema, menekan produksi sitokin dan

menghambat influks sel radang. Preparat ini merupakan terapi yang paling efektif

pada rinitis alergi terutama derajat berat. Yang termasuk pada golongan kortikosteroid

topikal ini yaitu budesonid, beklometason, flunisolid, flutikason, mometaso furoat dan

triamnicolon asetonid.

Tidak didapatkan efek samping sistemik yang signifikan pada dewasa, tetapi

pada anak dilaporkan terdapat hambatan pertumbuhan pada pemakaian

21

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA ku

beclomethasone intranasal. Efek samping lokal yang timbul berupa kering dan iritasi

pada mukosa hidung serta epistaksis ringan. Dalam pemakaiannya, harus

diberitahukan kepada pasien agar dalam menyemprotkan obat tidak mengarah ke

septum karena dapat terjadi erosi mukosa yang akhirnya menimbulkan perforasi

septum.

Kortikosteroid oral digunakan pada kasus tertentu dengan gejala hidung

yangsangat berat. Contoh obat yang digunakan yaitu prednison atau metiprednisolon.

Ipratropium Bromida

Ipratropium bromida intranasal dalam bentuk larutan 0,03% merupakan suatu

agen antikolinergik yang cukup efektif dalammengurangi sekresi hidung, tetapi tidak

signifikan terhadap gejala hidung yang lain. Pemberian preparat ini sangatt membantu

bila rinore tidak dapat dikurangi dengan kortikosteroid topikal dan/atau antihistamin.

Selain itu, dapat pula diberikan pada pasien yang mengalami rinore akut dengan sebab

yang jelas sebagai profilaksis. Efek samping yang sering timbul yaitu iritasi hidung,

timbulnya krusta dan epistaksis ringan.

Sodium Kromoglikat

Sediaan sodium kromoglikat intranasal sudah tersebar penggunaannya dalam

terapi rinitis alergi. Biasanya kurang efektif bila dibandingkan dengan antihistamin

atau kortikosteroid. Pemberian optimal 4-6 kali sehari. Idealnya, obat ini diberikan

sebelum gejala mayor timbul karena cara kerjanya sebagai stabilisator sel mast. Jika

diberikan 4 kali sehari, obat ini sama efektif dengan antihistamin dalam mengurangi

bersin, rinore dan gatal pada hidung. Selain itu, dapat juga digunakan sebagai

profilaksis akut sebelum terpapar dengan alergen yang sudah diketahui.

Leukotriene Modifier

Golongan obat ini merupakan antagonis reseptor leukotrien. Pengaruhnya

terhadap gejala rinitis yaitu dengan dihambatnya produksi leukotrien dapat

mengurangi gejala, terutama sumbatan hidung, karena diduga leukotrien berperan

dalam menyebabkan sumbatan hidung pada rinitis alergi. Akan tetapi, obat ini bukan

merupakan pilihan utama untuk rinitis.

22

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA ku

Imunoterapi

Imunoterapi alergen sangat efektif dalam mengendalikan gejala rinitis alergi

yang berat. Penelitian-penelitian pada dekade terakhir ini mengemukakan bahwa

imunoterapi alergen menyebabkan toleransi terhadap limfosit T alergen spesifik

dengan adanya penurunan pengeluaran mediator dan inflamasi jaringan. Pemberian

imunoterapi dipertimbangkan pada pasien-pasien yang (1) tidak responsif terhadap

kombinasi pengendalian lingkungan dan medikasi, (2) mengalami efek samping

medikasi yang cukup berat, (3) mengalami gejala sepanjang tahun yang memerlukan

terapi setiap hari, atau (4) menginginkan pengendalian jangka panjang terhadap gejala

alergi.

ARIA

merekomendasikan penggunaan obat-obatan pada rinitis sebagai berikut:

·

Rinitis intermiten, gejala ringan: H1- antihistamin

oral

·

Rinitis intermitent, gejala sedang-berat: intranasal kortikosteroid. Jika dibutuhkan

setelah pengobatan 1 minggu dapat diberikan H-1 antihistamin oral dan atau

kortikosteroid oral jangka pendek (short course)

·

Rinitis persisten, gejala ringan: H-1 antihistamin oral atau dosis rendahkortikosteroid

intranasal.

·

Rinitis persisten, gejala sedang-berat: Kortikosteroid intranasal. Jika gejala berat

tambahkan H1-aantihistamin oral dan atau kortikosteroid oral short-course.

Beberapa pakar mengingatkan bahwa dalam memilih sediaan kortikosteroid intranasal

perlu diperhatikan selain efektifitasnya juga bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas yang

rendah seharusnya merupakan pilihan utama tetapi yang juga harus menjadi

pertimbangan adalah masalah harga (cost).

Secara garis besar dalam menentukan jenis kortikosteroid intranasal perlu

diprtimbangkan efektifitas, bioavailabilitas, efek samping, dan faktor harga. Selain hal

di atas, ARIA merekomendasikan bila terdapat gejala pada mata (keterlibatan pada

23

Page 24: TINJAUAN PUSTAKA ku

mata) maka dapat dianjurkan pemberian H-1 bloker oral/intraokuler, atau kromolin

intraokuler

24

Page 25: TINJAUAN PUSTAKA ku

Operatif

Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka

inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25% atau triklor asetat.

Penggunaan Farmakoterapi pada Kelompok Tertentu

Anak

Karena beberapa kortikosteroid nasal dilaporkan menghambat pertumbuhan,

anak yang menerima terapi obat ini harus dimonitor pertumbuhannya.

Orang Tua

Alergi bukan penyebab rinitis menetap yang biasa pada orang tua di atas 65

tahun. Biasanya, rinitis pada orang tua disebabkan oleh hiperreaktivitas kolinergik

yang berhubungan dengan hidung berair, dimana timbul setelah mengunyah, juga oleh

hiperreaktivitas adrenergik-a berupa kongesti yang berhubungan dengan obat

antihipertensi, atau sinusitis.

Pemberian antihistamin non sedatif dan kortikosteroid intranasal lebih

direkomendasikan pada orang tua jika dipilih golongan ini sebagai terapi rinitis alergi,

karena pada orang tua terjadi peningkatan respon terhadap efek SSP dan

antikolinergik dari antihistamin. Pemberian dekongestan oral harus dengan hati-hati

karena adanya efek obat tersebut terhadap SSP, jantung dan fungsi kandung kemih.

25

Page 26: TINJAUAN PUSTAKA ku

Wanita Hamil

Rinitis alergi dapat bertambah parah selama kehamilan. Untuk gejala rinore,

bersin atau gatal pada hidung, dapat diberikan sodium kromoglikat intranasal sebagai

terapi lini pertama karena merupakan golongan yang paling aman. Jika tidak efektif,

dapat diberikan antihistamin oral seperti klorfeniramin atau tripelennamin. Jika

sumbatan hidung menetap, dapat diberikan kortikosteroid intanasal yang sama aman

dan efektifnya. Dekongestan oral sebaiknya dihindari pada trimester pertama karena

risiko terjadi gastroskizis pada anak.

I. Prognosis

Prognosis dari rinitis alergi bervariasi. Penyakit kadang-kadang dapat

membaik dengan tiba-tiba, tetapi bisa juga resisten terhadap pengobatan yang

diberikan.

26

Page 27: TINJAUAN PUSTAKA ku

BAB III

PENYAJIAN KASUS

1.ANAMNESIS

Identitas

Nama : An. R

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 21 Tahun

Alamat : jl. Darul Falah no.46

Pekerjaan : Mahasiswa

Nomor RM : -

Tanggal Masuk RS : 3 Maret 2009

Anamnesis dilakukan pada tanggal 5 april pukul 10.30 WIB

Keluhan Utama

Sering pilek dan telinga sering mendenging

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sering pilek sejak kurang lebih

1 bulan yang lalu. Pilek berupa cairan berwarna kehijauan dan berbau. Beberapa hari

yang lalu pasien juga mengeluh demam tapi sekarang demam sudah sembuh. Batuk,

sakit kepala, sakit tenggorokan, telinga berdengung, dan sering bersin disangkal oleh

pasien dan ibu pasien yang mengantar. Ternyata kurang lebih 2 minggu yang lalu,

pasien sudah datang berobat ke dokter spesialis anak dan oleh dokter spesialis anak

diberi 3 macam obat, yaitu puyer, parasetamol, dan vitamin. Lalu 1 minggu lebih 4

hari kemudian atau sekitar 3 hari yang lalu, pilek pasien agak berkurang.

Dokter spesialis anak menganjurkan pasien agar datang berobat juga ke dokter

THT sehingga pasien datang ke dokter spesialis THT. Keluhan yang dirasakan,

menurut pasien kadang-kadang mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

27

Page 28: TINJAUAN PUSTAKA ku

Pasien sering mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

Riwayat asma disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.

2.PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada tanggal 3 Maret 2009 pukul 08.30 WIB

Keadaan umum : baik

Status Lokalis

Telinga

Inspeksi, Palpasi :

Inspeksi, Palpasi :

Telinga kanan Telinga kiri

Aurikula Edema (-), hiperemis (-),

massa (-).

Edema (-), hiperemis (-),

massa (-).

Retroaurikula Edema (-), hiperemis (-),

massa (-)

Edema (-), hiperemis (-),

massa (-)

Palpasi Nyeri pergerakan aurikula (-),

nyeri tekan tragus (-).

Nyeri pergerakan aurikula (-),

nyeri tekan tragus (-).

Otoskopi :

Telinga kanan Telinga kiri

MAE Edema (-), hiperemis (-),

serumen (+), furunkel (-).

Edema (-), hiperemis (-),

serumen (+), furunkel (-).

Membran

timpani

Intak, berwarna putih, refleks

cahaya (-).

Intak, berwarna putih, refleks

cahaya (-).

Hidung dan Sinus Paranasal

Inspeksi, Palpasi :

- Deviasi tulang hidung (-), bengkak daerah hidung dan sinus paranasal (-)

28

Page 29: TINJAUAN PUSTAKA ku

- Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung dan sinus paranasal (-)

Rinoskopi Anterior :

Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra

Mukosa hidung Edema (+), berwarna pucat.

Sekret (-).

Edema (+), berwarna

pucat. Sekret (-).

Septum Deviasi (-), dislokasi (-). Deviasi (-), dislokasi (-).

Konka inferior Membesar (hipertrofi).

Berwarna pucat.

Membesar (hipertrofi).

Berwarna pucat.

Meatus inferior dan

media

Sekret (-), polip (-). Sekret (-), polip (-).

Rinoskopi Posterior : tidak dilakukan pemeriksaan.

Tenggorokan

Inspeksi, Palpasi :

- Mukosa : hiperemis (-), edema (-)

- Tonsil : T1-T1

- Pembesaran kelenjar limfe : (-)

Laringoskopi Indirek : tidak dilakukan pemeriksaan.

3. PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DIUSULKAN

Pemeriksaan radiologi : foto Rontgen sinus paranasalis (Waters)

Laboratorium : IgE total serum, hitung eosinofil hapus darah tepi.

4.DIAGNOSIS

Diagnosis kerja : Rinitis Alergi

Diagnosis banding : Rinitis vasomotor

Sinusitis

29

Page 30: TINJAUAN PUSTAKA ku

5.TATALAKSANA

Non Medikamentosa :

Menghindari kontak dengan alergen penyebabnya dan eliminasi.

Menghindari makanan yang dapat merangsang kambuhnya penyakit

Rutin Berolahraga

Medikamentosa :

- Antihistamin: interhistin 2 x sehari dengan dosis 50 mg

- Kortikosteroid oral : budesonid

- Antibiotik : ampisilin, amoksisilin

- Kontrol ulang.

6.PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanactionam : malam

30

Page 31: TINJAUAN PUSTAKA ku

BAB IVPEMBAHASAN

Pasien datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sering pilek sejak kurang lebih

1 bulan yang lalu. Pilek berupa cairan berwarna kehijauan dan berbau. Beberapa hari

yang lalu pasien juga mengeluh demam tapi sekarang demam sudah sembuh. Batuk,

sakit kepala, sakit tenggorokan, telinga berdengung, dan sering bersin disangkal oleh

pasien dan ibu pasien yang mengantar. Ternyata kurang lebih 2 minggu yang lalu,

pasien sudah datang berobat ke dokter spesialis anak dan oleh dokter spesialis anak

diberi 3 macam obat, yaitu puyer, parasetamol, dan vitamin. Lalu 1 minggu lebih 4

hari kemudian atau sekitar 3 hari yang lalu, pilek pasien agak berkurang.

Dari pemeriksaan rinoskopi anterior didapatkan konka hidung kanan dan kiri

edem serta berwarna pucat. Pada pemeriksaan telinga ditemukan serumen tapi tidak

ditemukan kelainan baik pada telinga kanan ataupun telinga kiri. Pada pemeriksaan

tenggorokan juga tidak ditemukan kelainan.

Berdasarkan anamnesis dimana keluhan yang paling dirasakan oleh pasien

adalah pilek yang berulang sejak 1 bulan yang lalu disertai dengan keluarnya cairan

kental berwarna hijau. Serta dari hasil pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan

mukosa hidung kanan dan kiri yang edema dan berwarna pucat, maka diagnosis kerja

yang diambil pada pasien ini adalah “Rinitis Alergi”, dengan diagnosis banding rinitis

vasomotor dan sinusitis.

Rinitis vasomotor diambil sebagai diagnosis banding pada pasien ini

didasarkan pada anamnesis didapatkan adanya keluhan hidung tersumbat dan keluar

cairan dari hidung (rinorea) serta sering kambuh bila cuaca dingin. Untuk

menyingkirkan diagnosis rinitis vasomotor dari pemeriksaan rinoskopi anterior

didapatkan mukosa hidung kiri yang edema dan berwarna pucat serta konka inferior

pada hidung kiri tampak membesar (hipertrofi) dan berwarna pucat. Sedangkan pada

rinitis vasomotor karakteristiknya konka berwarna merah gelap atau merah tua dan

permukaan konka dapat licin atau berbenjol (tidak rata). Untuk lebih memastikan

dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tes alergi yang biasanya hasilnya negatif dan

juga pemeriksaan jumlah eosinofil di dalam sekret hidung yang biasanya jumlahnya

sedikit pada rinitis vasomotor.

31

Page 32: TINJAUAN PUSTAKA ku

Untuk memudahkan dalam membedaan rinitis alergi dan rinitis vasomotor,

dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Diagnosis banding sinusitis diambil pada pasien ini didasarkan pada

anamnesis dimana adanya keluhan pilek berulang disertai cairan kental yang berbau

dan ditambah dengan data bahwa sinusitis merupakan komplikasi rinitis alergi yang

paling sering. Untuk memastikan dugaan ke arah tersebut perlu dilakukan suatu

pemeriksaan lanjutan. Untuk itu usulan pemeriksaan selanjutnya yang perlu dilakukan

adalah pemeriksaan radiologi foto rontgen posisi Waters.

Alergi terhadap partikel yang pada individu umum, tidak membahayakan dan

tidak menimbulkan respon imun tetapi pada penderita alergi, kontak dengan partikel

tersebut (yang disebut allergen) menyebabkan sistem imun tersensitisasi. Reaksi yang

terjadi menghasilkan antibody terhadap allergen dan mengakibatkan pelepasan zat

yang disebut histamine (dan beberapa jenis lain) ke dalam darah. Zat tersebut

menimbulkan reaksi gatal, pembengkakan jaringan yang berkaitan, sekresi selaput

lendir seperti air, dan kemerahan serta gejala lainnya bergantung kepada individu

yang alergi.

Pada rinitis alergi didasari oleh suatu proses alergi yang diawali oleh adanya

proses sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen

akan tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal

ini menyebabkan sel Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang

32

Page 33: TINJAUAN PUSTAKA ku

menempel tersebut. Kemudian antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II

membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex) kelas

II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini

akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2

akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL13 dan

lainnya. IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga

sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan

terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator.

Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.

Selanjutnya, apabila individu dengan atopi yang sudah tersensitisasi jika

terpapar dengan alergen yang sama akan terjadi degranulasi sel mast atau basofil. Hal

ini menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang terdiri atas dua fase, yaitu fase cepat

dan fase lambat.

Tujuan pengobatan adalah mengurangi gejala dan mencegah komplikasi.

Pengobatan yang utama adalah menghindari atau meminimalkan kontak dengan

allergen.

Beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain bagi penderita alergi terhadap serbuk

sari dari luar rumah dapat menutup jendela rumah dan menggunakan air condition

atau mengurangi kegiatan di luar rumah pada musim tertentu.

Penatalaksanaan pada pasien ini dibagi menjadi 2 macam yaitu terapi non

medikamentosa dan terapi medikamentosa. Pada terapi non medikamentosa pasien

diupayakan untuk hindari memencet hidung dengan keras pada saat mengeluarkan

ingus, karena ini bisa mengakibatkan perdarahan di hidung. Meminimalisasi /

mengurangi kontak dengan alergen yang diduga penyebab, misalnya dengan

menggunakan masker dan rutin berolahraga, misalnya jalan cepat selama 30 menit (3-

4 x seminggu).Terapi medikamentosa yang diberikan pada pasien ini adalah

kortikosteroid topikal : budesonid, 2 x sehari dengan dosis 100 mikrogram selama 2

minggu, interhistin 2 kali sehari dosis 50 mg, serta antibiotik (ampisilin atau

amoksisilin 3 kali sehari).

Prognosis pada pasien ini adalah ad vitam : bonam, ad functionam : dubia ad

bonam, ad sanactionam : malam. Ad sanactionam malam dikarenakan hal ini sangat

tergantung sekali terhadap imunitas dan kepatuhan penderita dalam menghindari

alergen.

33

Page 34: TINJAUAN PUSTAKA ku

DAFTAR PUSTAKA

Budi, RA. Rinitis Alergi. Dalam Cermin Dunia Kedokteran No. 90. 2004.

Higler, PA. Penyakit Hidung dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Editor :

George L. Adams, Lawrence, R. Boies, & Peter A. Higler. Alih Bahasa : Caroline

Wijaya. Jakarta. EGC. 1997

Mangunkusumo, E. & Rifki, N. Rinorea, Infeksi Hidung dan Sinus dalam Buku Ajar

Ilmu

Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 5. Editor: Efiaty

Arsyad Soepardi & Nurbaiti Iskandar. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2006.

Nizar, Nuti. Rhinitis Alergi. Available from : http://www.pd-persi.com/alergic-

rhinitis.pdf

http://hennykartika.wordpress.com diunduh pada tanggal 10 februari 2009.

34