TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan...

23
1

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan...

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

1

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

2

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:

Dipresentasikan pada :

Hari/Tanggal :

Jam :

PENATALAKSANAAN ERUPSI OBAT BERAT

Oleh :

Monica Rosalind Kawilarang

Pembimbing:

Prof. Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, FAAADV

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

3

2018

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1

BAB II PENATALAKSANAAN ERUPSI OBAT BERAT ....................... 3

2.1 Definisi Erupsi Obat Berat ................................................................. 3

2.2 Epidemiologi Erupsi Obat Berat ....................................................... 4

2.3 Patofisiologi Erupsi Obat Berat ......................................................... 4

2.4 Diagnosis Erupsi Obat Berat ............................................................. 6

2.5 Etiologi Erupsi Obat Berat ................................................................. 8

2.6 Penatalaksanaan Erupsi Obat Berat ................................................. 9

2.6.1. Penatalaksanaan Acute Generalized Exanthematous Pustulosis

………………………………………………………………………... 10

2.6.2. Penatalaksanaan Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic

Symptoms…………………………………………………………….. 10

2.6.3. Penatalaksanaan Stevens–Johnson Syndrome/Toxic Epidermal

Necrolysis………………………………………………………….… 12

BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 16

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

4

BAB 1

PENDAHULUAN

Erupsi obat berat yang dikenal dengan Severe Cutaneous Adverse Drug

Reactions (SCAR) merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa. SCAR

merupakan bagian dari reaksi simpang obat secara keseluruhan (adverse drug

reaction) dengan persentase kejadian 0.32% dari seluruh reaksi simpang obat.1 SCAR

tidak hanya berdampak jangka pendek namun juga memiliki konsekuensi jangka

panjang dalam hal terdapatnya komplikasi lanjutan yang muncul setelah terjadinya

resolusi dari sebuah episode akut.2 SCAR sendiri merupakan suatu sekelompok

penyakit yang terdiri dari Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal

Necrolysis (TEN), Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms

(DRESS), and Acute Generalised Exanthematous Pustulosis (AGEP).3

Menurut World Health Organization (WHO), SCAR atau erupsi obat berat

dapat menimbulkan kematian, membutuhkan rawat inap yang lama, dapat

menimbulkan kecacatan persisten, atau dapat menimbulkan keadaan yang

mengancam jiwa.4 Data di Instalasi Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin

RSUD dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2009-2011 menunjukkan insiden SJS

sebesar 23.4%, AGEP 6.5%, TEN 2.7%, dan DRESS 2.1%.5 Data dari RSUP Sanglah

Denpasar, pada tahun 2014- april 2018 didapatkan jumlah kasus SJS sebanyak 40

pasien, SSJ/TEN overlap 3 dan TEN sebanyak 14 pasien.6

Meskipun SCAR terbagi menjadi berbagai jenis penyakit, namun secara

keseluruhan kelompok penyakit ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang

tidak kecil. Terdapat sebuah studi yang menyebutkan bahwa angka mortalitas akibat

SJS sebesar 1-5% dan pada kasus TEN sebesar 25-35%.7

Meskipun demikian,

masing-masing dari penyakit yang menjadi bagian dari SCAR memiliki karakteristik

presentasi klinis, obat penyebab, perjalanan klinis, patofisiologi penyakit, serta

modalitas terapi yang dapat berbeda. 8

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

5

Pemahaman mengenai jenis, penyebab, risiko komplikasi serta pilihan terapi

pada SCAR sangatlah diperlukan agar klinisi dapat memberikan penanganan yang

paripurna guna mencegah terjadinya komplikasi jangka pendek maupun panjang di

kemudian hari. Sehingga tujuan dibuatnya tinjauan pustaka ini adalah untuk

membuka wawasan di bidang kegawatdaruratan kulit khususnya pada kasus erupsi

obat berat atau SCAR.

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

6

BAB 2

PENATALAKSANAAN ERUPSI OBAT BERAT

2.1. Definisi Erupsi Obat Berat

Reaksi simpang obat (Adverse Drug Reaction) merupakan reaksi tubuh yang tidak

diinginkan yang terjadi setelah pemberian obat dan bukan merupakan efek

farmakodinamik yang diinginkan.1 Kulit merupakan organ yang paling sering terlibat

dalam kasus reaksi simpang obat.9 Reaksi simpang obat dengan manifestasi kelainan

kulit dapat bervariasi mulai dari eritema singkat hingga bentuk berat yang

mengancam jiwa yang dikenal dengan erupsi obat berat (Severe Cutaneus Adverse

Drug Reactions/SCAR) yang meliputi Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic

Epidermal Necrolysis (TEN), Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP)

dan Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms Syndrome (DRESS).3

Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)

merupakan reaksi mukokutaneus akut dan mengancam jiwa yang ditandai dengan

nekrosis luas dan pengelupasan/ detachment epidermis. SJS dan TEN memiliki

karakteristik keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena persamaan dari

manifestasi klinis, histopatologis, faktor resiko, obat penyebab dan mekanisme,

keduanya kini dianggap sebagai variasi keparahan dari proses yang sama, dengan

perbedaan hanya pada luas area tubuh yang terlibat. SJS ditandai dengan keterlibatan

<10% area tubuh/ body surface area (BSA); SJS overlap TEN dengan keterlibatan

10%–30% dan bentuk paling parah adalah TEN dengan keterlibatan area permukaan

tubuh (BSA) >30%. 10,11

Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms Syndrome (DRESS)

merupakan reaksi hipersensitivitas berat yang melibatkan banyak organ. DRESS juga

disebut Drug-induced Hypersensitivity Syndrome (DiHS) oleh pakar dari Jepang. 12,13

DRESS dulu dikenal dengan istilah anticonvulsant hypersensitivity syndrome, febrile

mucocutaneous syndrome, multisystem hypersensitivity reaction, drug-induced

delayed multiorgan hypersensitivity syndrome. DRESS ditandai dengan sekelompok

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

7

gejala yang melibatkan multi organ, terutama kulit, hepar dan sistem hematologis

dengan perubahan kulit merupakan gejala yang paling tampak. 14

Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan erupsi obat

berat yang mayoritas disebabkan oleh obat (>90% kasus) yang memiliki karakteristik

timbulnya pustule steril secara cepat di atas dasar kulit eritema. Kebanyakan kasus

sembuh sendiri, namun pada kasus yang parah dapat terjadi keterlibatan membran

mukosa dan organ dalam. 15

2.2 Epidemiologi Erupsi Obat Berat

Reaksi simpang obat mencakup semua kejadian simpang yang berhubungan dengan

administrasi obat, baik yang memiliki etiologi imunologis dan non imunologis.

Erupsi obat berat terjadi sekitar 6.7% dari seluruh kasus reaksi simpang obat, dimana

sebanyak 0.32% dari seluruh kasus erupsi obat berat dapat berakibat fatal pada pasien

rawat inap serta memiliki efek berkepanjangan dengan banyak komplikasi jangka

panjang pasca resolusi episode akut. 1 Di Indonesia sendiri belum banyak data yang

melaporkan mengenai angka kejadian dari SCAR. Didapatkan 14 pasien erupsi obat

berat di IRNA Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Soetomo Surabaya, yang

terdiri dari 10 pasien SJS (71.4%), 2 pasien TEN (14.3%), 2 pasien AGEP (14.3%)

dan tidak didapatkan pasien DRESS. Kelompok usia terbanyak yang menderita erupsi

obat berat adalah kelompok 25-59 tahun sebanyak 8 pasien (57.1%), sedangkan

kelompok usia lebih dari 60 tahun (21.4%), kelompok usia 0-9 tahun (14.3%), dan

kelompok usia 15-24 tahun (1 Pasien).5

2.3. Patofisiologi Erupsi Obat Berat

Hipersensitivitas obat dapat disebabkan reaksi yang dimediasi imunologi

(disebut alergi obat) maupun reaksi obat non alergi yang langsung diperantarai sel

mast. Reaksi imunologis menurut Gell and Coombs dibagi menjadi empat: reaksi tipe

1, yang memiliki onset cepat dan dimediasi oleh IgE dan sel mast dan/basofil; reaksi

tipe 1, yang memiliki onset lebih lambat dan disebabkan oleh destruksi sel yang

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

8

dimediasi antibodi, umumnya IgG; reaksi tipe 3, dengan onset lebih lambat dan

disebabkan oleh deposisi imun kompleks IgG dan aktivasi komplemen; dan reaksi

tipe 4 yang merupakan reaksi tipe lambat dan dimediasi oleh sel T. Menurut World

Allergy Organization (WAO), reaksi hipersensitivitas obat dapat dikategorikan reaksi

cepat dan lambat berdasarkan waktu timbulnya gejala. Reaksi tipe lambat umumnya

merupakan reaksi tipe 4, yang merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai

oleh sel T. Reaksi ini timbul beberapa hari hingga minggu setelah paparan obat.16

SCAR merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang dimediasi oleh sel T.

Hipersensitivitas tipe IV dibagi menjadi 4 subgrup, berdasarkan pola sitokin dan

adanya subpopulasi tambahan dari leukosit. DRESS merupakan reaksi

hipersensitivitas tipe IVb dengan pola sitokin Th2 dan adanya eosinofil; SJS/TEN

merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IVc dengan adanya predominasi dari sel CTLs

and NK sebagai sel efektor, dan AGEP merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IVd

dimana produksi IL-8/CXCL8 oleh drug-specific T cells menstimulasi neutrofil ke

kulit. Sel Th17 juga dapat berpartisipasi pada AGEP. Studi in vitro mengkonfirmasi

respon sel T spesifik terhadap obat yang diduga sebagai penyebab. Berbagai model

untuk pengenalan obat oleh drug-specific T cells telah dikemukakan. Adanya limfosit

sitotoksik pada SJS/TEN didukung dengan adanya subpopulasi ini pada cairan bula,

yang dapat membunuh sel target pada drug-dependent manner. Kemudian, Chung

dkk menemukan bahwa granulosin, molekul sitotoksik yang diekspresikan oleh

limfosit sitotoksik, diekspresikan banyak pada blister fluid-infiltrating cells.

Penelitian lain juga menemukan adanya sel NK pada cairan bula. Bagaimanapun,

berbagai leukosit efektor dan mediator berpartisipasi pada SCAR. Reaktivasi dari

infeksi virus herpes dianggap spesifik untuk DRESS. Reaktivitas silang antara virus

dan drug-specific memory T cells dianggap bukan hanya berperan dalam relaps

DRESS tetapi juga pada reaksi kutaneus di SJS/TEN. 17

Analisa genetik telah mengidentifikasi molekul human leukocyte antigen

(HLA)-I sebagai gen yang paling relevan, as the most relevant genes, mendukung

hipotesis respon sel imun drug-specific. Alel HLA-I yang diidentifikasi telah

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

9

membuktikan bukan hanya spesifik obat, tetapi juga dalam beberapa penyakit,

merupakan spesifik ras. Contoh asosiasi kuat dari HLA-B*1502 dan SJS/TEN dengan

carbamazepine pada populasi Asia Tenggara, tetapi tidak pada pasien keturunan

Eropa. Sebaliknya, HLA-A*3101 merupakan faktor resiko DRESS (bukan untuk

SJS/TEN) dari carbamazepine pada kedua populasi. Hubungan spesifik penyakit

dengan HLA-B*3801dan A*24:02 untuk lamotrigine-induced SJS/TEN atau DRESS

telah dikemukakan. Alel HLA-B*5701 memiliki asosiasi kuat dengan

hipersensitivitas abacavir. Sebaliknya, HLA-B*5801 merupakan predisposisi

terjadinya SJS/TEN dan DRESS/DIHS dari allopurinol. Sebuah studi juga

mengemukakan asosiasi antara alel HLA tertentu dan AGEP. Dasar genetik pada

pasien dengan AGEP dengan mutasi pada IL36RN telah dikemukakan. Varian alel

CYP2C9*3, merujuk pada penurunan metabolisme dan peningkatan konsentrasi

serum dari fenitoin, telah diidentifikasi pada SCAR terhadap fenitoin. 17

2.4. Diagnosis Erupsi Obat Berat

Diagnosis erupsi obat berat memerlukan anamnesis yang detail, termasuk obat yang

dikonsumsi sejak beberapa bulan yang lalu, karena pemberian berlanjut dari obat

penyebab dapat memperburuk gejala dan prognosis. Anamnesis dan pemeriksaan

klinis sangat berguna dalam diagnosis erupsi obat berat, pemeriksaan laboratorium

dan uji kulit manfaatnya terbatas. Kita tidak dapat menemukan abnormalitas

laboratorium selain peningkatan enzim hepar pada pasien dengan DRESS dan

peningkatan kadar IgE pada pasien dengan urtikaria dan/atau angioedema. Meskipun

biopsi kulit kadang berguna, namun tidak dapat mengidentifikasi obat penyebab. Tes

provokasi oral berguna dalam mengidentifikasi agen penyebab. Hal ini harus

dilakukan dengan hati-hati karena reaksinya bisa berat dan berakibat fatal.1,18

Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan bentuk

SCAR yang paling ringan dan timbul cepat setelah pemberian obat penyebab,

umumnya hingga 5 hari. Pada AGEP timbul pustul steril pada kulit, sering pada

wajah dan badan, telapak tangan dan kaki umumnya bersih. Pustul yang timbul

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

10

umumnya mengandung banyak neutrofil. Kadang didapatkan gejala demam dan

neutrofilia. 19 Diagnosis AGEP dapat dilakukan secara klinis, hasil penemuan

histopatologis dan bisa pula dengan tes tempel. Kelompok studi European Registry of

Severe Cutaneous Adverse Reaction (RegiSCAR/EuroSCAR) membuat sistem skor

standar pada tahun 2001, skor validasi AGEP, yang meliputi morfologi lesi kulit,

adanya demam, manifestasi klinis, penemuan laboratorium dan histopatologis. Untuk

mengetahui obat penyebab pada kasus dimana pasien mendapat polimedikasi, dapat

dilakukan tes tempel setelah terjadi resolusi kulit sempurna. Sensibilitas tes tempel

pada AGEP lebih tinggi dari reaksi obat lain seperti SJS/TEN (58% positif pada

AGEP dan 24% positif pada SJS/TEN). Hasil positif akan menunjukkan pustul kecil

pada lokasi tes. 20

Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms Syndrome (DRESS)

sulit didiagnosa karena onsetnya yang lambat setelah paparan obat. Gejala dapat

timbul sampai 8 minggu hingga 3 bulan setelah pemberian obat. Pasien biasanya

datang dengan gejala erupsi makulopapular disertai demam, limfadenopati,

eosinofilia dan keterlibatan organ. Diagnosis DRESS paling sering menggunakan

kriteria dari RegiSCAR atau dengan kriteria diagnosis untuk DiHS, yang dibuat oleh

kelompok konsensus Jepang. Kriterianya meliputi 7 hal dan mirip dengan kriteria

RegiSCAR. Perbedaan paling penting adalah reaktivasi HHV-6 dimasukan dalam

kriteria diagnosis. Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS

dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis

untuk DRESS. Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan klinis dan laboratorium. Skor

yang dibuat oleh kelompok studi RegiSCAR mengubah kriteria diagnosis yang

sebelumnya diajukan oleh Bocquet dkk. Diagnosis DRESS menurut kriteria

RegiSCAR paling tidak mencakup 3 kriteria: (1) bercak kulit akut; (2) demam (> 38

°C); (3) limfadenopati minimal pada 2 lokasi; (4) keterlibatan minimal satu organ

dalam; (5) limfositosis atau limfositopenia; (6) eosinofilia dan (7) trombositopenia.

Gejala kulit pada DRESS yang paling sering berupa urtikaria dan erupsi

makulopapular. Edema wajah merupakan karakteristik DRESS. 14,19,21

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

11

Diagnosis Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal Necrolysis

(TEN) dapat ditegakkan secara klinis. Manifestasi klinis SJS/TEN biasanya khas,

diawali dengan gejala prodormal, umumnya berupa demam, infeksi saluran

pernapasan atas lalu diikuti dengan detachment dari membran mukosa (oral,

konjungtiva, anogenital dan nasal). Umumnya lebih dari dua mukosa terlibat. Lesi

kulit, dalam bentuk makula eritema atau purpura yang timbul simetris terutama pada

badan yang menyebar dalam 2 hingga 3 hari pertama disertai rasa nyeri. Bisa tampak

bula berdinding kendur disertai dengan tanda Nikolsky yang positif. 11,19

2.5. Etiologi Erupsi Obat Berat

Berbagai obat telah dilaporkan sebagai pemicu erupsi obat berat, dan semua obat

harus diperhitungkan, beberapa obat berhubungan dengan resiko reaksi yang ebih

tinggi. Sepanjang sejarah, obat anti epilepsi berhubungan dengan resiko tinggi

terjadinya erupsi obat berat. Dalam European SCAR registry (REGISCAR),

carbamazepine merupakan penyebab tersering DRESS dan penyebab kedua tersering

untuk SJS/TEN. Obat anti epilepsi lain seperti fenitoin juga dinyatakan berhubungan

dengan SCAR. Resiko terjadinya SCAR berhubungan dengan obat dan berbagai

variabel termasuk genetik dan non genetik. 19

Faktor pejamu/host meningkatkan risiko terjadinya SCAR seperti adanya

penyakit yang mendasari seperti keganasan, systemic lupus erythematous, infeksi

yang mendasari seperti tuberkulosis dan HIV. Individu dengan HIV memiliki

peningkatan resiko untuk SCAR sebanyak 1000 kali lipat dibandingkan populasi

umum. Selain itu, dosis obat juga mempengaruhi risiko SCAR. Sebagai contoh,

allopurinol dengan dosis lebih besar sama dengan 200 mg per hari berhubungan

dengan risiko lebih tinggi untuk terjadinya SJS/TEN. Selain allopurinol dan agen anti

epilepsi aromatik, obat lain yang behubungan dengan SCAR termasuk agen

antimikroba (cotrimoxazole, vancomycin, aminopenicillin, minocycline,

sulfasalazine, dapsone) dan NSAID (celecoxib, ibuprofen).19

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

12

2.6. Penatalaksanaan Erupsi Obat Berat

Penatalaksanaan perawatan kulit secara hati-hati diperlukan, sehingga pasien lebih

baik dirawat di ruang perawatan intensif atau burn unit, dengan fokus pada

penggantian cairan yang hilang, nutrisi, anti nyeri dan penatalaksanaan untuk

keterlibatan mukosa. Karena penyakit yang susah diprediksi, pasien harus di follow

up dan di monitoring untuk tanda-tanda komplikasi seiring resolusi fase akut, juga

diberikan edukasi untuk menghindari obat penyebab.1

Terdapat tatalaksana SCAR yang berbeda di beberapa institusi. Karena

tingginya morbiditas dan mortalitas pada SCAR, perawatan awal di unit perawatan

intensif dapat dipertimbangkan. Burn unit umumnya digunakan karena dianggap

lebih berpengalaman untuk menangani keterlibatan kulit. Tatalaksana yang tepat pada

kulit yang terkena dapat meminimalkan disregulasi suhu, insensible fluid loss dan

instabilitas hemodinamik. Palmieri dkk menunjukkan perbedaan terapi TEN pada

fasilitas burn unit dan non burn unit. Burn unit biasanya memilih nutrisi enteral,

dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang lebih minimal dan kortikosteroid

sistemik. Beberapa studi menunjukkan bahwa penanganan dini di burn unit memiliki

hasil yang lebih baik pada pasien TEN. Identifikasi dan penghentian segera obat

penyebab merupakan langkah paling penting dalam tatalaksana SCAR. Penghentian

dini dari agen penyebab dapat menurunkan angka mortalitas pada SJS dan TEN.

Meskipun dapat diduga satu agen penyebab yang paling sering dari SCAR,

semua obat-obatan dalam rentang waktu 8 minggu harus dipertimbangkan, termasuk

obat yang dijual bebas. Kini terdapat assesment untuk memprediksi obat penyebab

untuk semua erupsi obat, terutama untuk SJS/TEN dan dapat membantu untuk

identifikasi obat penyebab. Prinsip tatalaksana tambahan termasuk resusitasi cairan

intravena, untuk nutrisi yang adekuat, mengurangi nyeri dan profilaksis terhadap

komplikasi tromboemboli dan pembentukan ulkus. Untuk mencegah sekuel jangka

panjang, seperti striktur mukosa, diperlukan pemeriksaan awal urologi dan

ginekologi, dan mungkin penggunaan urine katether dan/ dilator vagina. Jika

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

13

memungkinkan, intake makanan secara oral lebih baik daripada nutrisi parenteral dan

dapat mencegah adhesi esofagus. Antibiotik profilaksis tidak disarankan.19

2.6.1. Penatalaksanaan Acute Generalized Exanthematous Pustulosis

Penatalaksanaan AGEP umumnya melibatkan terapi kortikosteroid, dengan rute

administrasinya ditentukan oleh keparahan manifestasi. Pada kasus dimana pasien

tampak sehat secara sistemik, dengan keterlibatan area yang terbatas, kortikosteroid

topikal poten dianggap cukup. Pada kasus dengan keterlibatan yang lebih ekstensif,

atau ketika ada kelainan sistemik seperti demam, gangguan sistemik dan

hemodinamik, kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan. Pemberian kortikosteroid

intravena umumnya tidak dibutuhkan. Pada pasien harus diberikan pelembab,

sepanjang fase deskuamasi postpustular hingga integritas kulit sepenuhnya pulih.

Pada kasus dimana ada keterlibatan sistemik seperti gangguan fungsi ginjal dan

hepar, bisa diberikan perawatan suportif seperti cairan intravena dan pemantauan

hemodinamik. Jika pada pasien terdapat demam, harus terlebih dievaluasi untuk

mengeksklusi penyebab infeksi lain. Jika perlu dapat diberikan terapi antibiotik.13

Tatalaksana utama AGEP adalah identifikasi dan penghentian obat penyebab.

Pemulihan dan resolusi dari erupsi kulit biasanya timbul beberapa hari setelah

penghentian obat penyebab. Durasi rata-rata antara resolusi pustul dan penghentian

obat dilaporan antara 6 dan 7,6 hari pada dua studi. Rawat inap mungkin diperlukan

pada beberapa pasien dengan erupsi kulit yang ekstensif, gangguan kondisi umum

dan keterlibatan sistemik. Kortikosteroid topikal dapat digunakan dan berkorelasi

dengan pengurangan lama rawat inap.14,22

2.6.2. Penatalaksanaan Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms

Hal yang paling utama pada DRESS adalah pengenalan dini dan penghentian obat

yang dicurigai. Jika terdapat lesi yang generalisata atau eritroderma, pasien harus

dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Semua pasien harus diberikan terapi

suportif yang adekuat untuk stabilisasi hemodinamik, antipiretik untuk mengurangi

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

14

demam, pelembab dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi gejala kutaneus.

Antibiotik empiris sebaiknya dihindari karena dapat mengeksaserbasi kondisi lebih

lanjut karena reaktivitas silang antara obat-obatan. 14,22,23

Terapi Suportif

Terapi suportif tanpa tambahan terapi lain dapat dipertimbangkan sebagai pilihan

terapi pada pasien dengan DRESS. Uhara dkk melaporkan 12 pasien yang menerima

terapi hidrasi tanpa kortikosteroid topikal. Semua pasien sembuh sempurna dalam 7

sampai 37 hari setelah penghentian obat yang dicurigai. Ushigome dkk juga

menunjukkan 17 kasus yang hanya diterapi suportif, hampir semua pulih dengan

baik. Namun, jumlah laporan kasus ini masih terbatas, perlu dilakukan studi dengan

skala lebih besar untuk mengkonfirmasi. 23

Kortikosteroid

Kortikosteroid sistemik merupakan terapi baku untuk DRESS. Resolusi cepat dari

ruam dan demam terjadi beberapa hari setelah mendapat kortikosteroid.

Kortikosteroid sistemik harus dimulai dengan dosis minimal 1.0 mg/kg/hari setara

prednison, setelah itu diturunkan secara perlahan-lahan selama 6–8 minggu, untuk

mencegah relaps. Pada kasus berat atau refrakter terhadap steroid oral, pasien dapat

diterapi dengan metil prednisolone intravena. Dapat diberikan dosis denyut metil

prednisolone, 30 mg/kg intravena selama 3 hari. Selama ini pemeriksaan

laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, harus rutin

dipantau. 14,23

Imunoglobulin Intravena

Imunoglobulin intravena (IVIG) telah dilaporkan berhasil pada pasien DRESS yang

tidak berespon terhadap steroid sistemik atau dimana pemberian steroid sistemik

merupakan kontraindikasi. Namun ada beberapa studi yang tidak mendukung

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

15

keunggulan terapi IVIG sehingga disarankan bahwa IVIG tidak digunakan sebagai

monoterapi dalam tatalaksana DRESS. 14,,23

Terapi Lain

Modalitas terapi lain pada DRESS, seperti plasmapheresis dan obat imunosupresif

seperti cyclophosphamide, cyclosporine, interferon, mycophenolate mofetil, dan

rituximab. Cyclophosphamide dan cyclosporine digunakan pada beberapa kasus dan

dilaporkan sukses. N-acetylcysteine berperan dalam detoksifikasi obat dan membatasi

metabolit reaktif pada DRESS yang disebabkan oleh obat antikonvulsan.

Valganciclovir untuk meminimalkan penyakit akibat reaktivasi HHV-6 dan dapat

dikombinasi dengan prednisone dan N-acetylcysteine.24

2.6.3. Penatalaksanaan Stevens–Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis

Tatalaksana Umum

Identifikasi tepat dan penghentian secara dini obat yang dicurigai merupakan langkap

paling penting dalam tatalaksana pasien dengan SJS/TEN. Terapi suportif merupakan

terapi dasar paling penting, ini mencakup assessment dan tatalaksana luka pada kulit,

tatalaksana cairan dan status nutrisi, keseimbangan elektrolit, fungsi jalan napas dan

ginjal, dan kontrol nyeri yang adekuat. Untuk perawatan luka pada kulit. Terdapat

kontroversi apakah kulit yang mengelupas harus dibiarkan sebagai pelindung biologis

atau harus di debridement untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dan

hambatan penyembuhan luka. 14

Menjaga keseimbangan cairan penting untuk mencegah hipoperfusi organ

perifer. Hal ini dapat dipantau setiap hari melalui produksi urine atau jika diperlukan

melalui hemodinamik intra-arterial. Produksi urine harus dipertahankan 0.5–

1.0 ml/kg/jam. Nutrisi yang adekuat adalah penting karena status hipermetabolik dan

kehilangan protein yang banyak pada SJS/TEN. Disarankan untuk diberikan nutrisi

sebanyak 20–25 kkal/kg/hari pada fase akut dan hingga 25–30 kkal/kg/hari pada fase

pemulihan, bisa diberikan melalui intake oral atau nasogastrik. Analgesik diperlukan

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

16

dan harus disesuaikan dengan derajat nyeri. Pada kasus ringan, dapat

dipertimbangkan pemberian acetaminophen, sedangkan pada fase akut, analgesik

berbasis opium bisa dipertimbangkan. 22,25

Kortikosteroid

Kortikosteroid merupakan terapi paling sering digunakan pada SJS/TEN selain terapi

suportif. Beberapa tahub terakhir, banyak studi menyatakan pentingnya kortikosteroid

tidak inferior dibanding terapi suportif. Kakourou dkk menyatakan bahwa

kortikosteroid memiliki hubungan signifikan dengan berkurangnya durasi demam dan

lesi kulit. Pada pasien TEN, terdapat kontroversi penggunaan kortikosteroid.

Kebanyakan studi menyatakan keunggulan pada pasien TEN yang mendapat terapi

kortikosteroid. Namun ada juga studi yang menyatakan sebaliknya. Kortikosteroid

sistemik dosis tinggi dinyatakan efektif oleh pakar dari Jepang untuk pasien TEN.

Araki dkk melaporkan keunggulan penggunaan terapi kortikosteroid dosis denyut

dengan metil prednisolone 500 mg/hari selama 3 hari pada 5 pasien dengan TEN

dengan hasil semua pasien tersebut bertahan. Hirahara dkk juga mengemukakan hal

yang sama pada 8 pasien TEN dengan metil prednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari.

Studi meta analisis dari tahun 1990 sampai 2012, menunjukkan keunggulan terapi

kortikosteroid dan menyatakan bahwa kortikosteroid sistemik merupakan terapi

imunomodulasi yang menjanjikan untuk SJS/TEN. 24,26

Imunoglobulin Intravena

Imunoglobulin intravena (IVIG) telah menarik banyak perhatian karena menunjukkan

aktivasi Fas-Fas ligand pada SJS/TEN dan kesuksesan terapi dengan IVIG. Sejak itu

banyak studi dilakukan, beberapa menunjukkan keuntungan IVIG, beberapa tidak.

Dosis IVIG memiliki pengaruh pada hasil terapi. Pada studi dengan hasil yang

menguntungkan, dosis IVIG minimal 2.8 g/kg hingga 4 g/kg. Pada beberapa studi

dengan hasil yang gagal, dosis IVIG yang digunakan umumnya 2 g/kg atau lebih

rendah. Huang skk melakukan metaanalisis terhadap efikasi IVIG untuk terapi TEN

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

17

dan didapatkan hasil mortalitas yang lebih rendah dengan penggunaan IVIG dosis

tinggi dibandingkan yang lebih rendah. 22,27

Cyclosporine

Cyclosporine merupakan agen imunosupresif penghambat sel T sitotoksik CD8+ dan

memiliki efek antiapoptosis melalui inhibisi Fas ligand dan TNF-α. Semua sel dan

mediator ini memiliki peran penting dalam patogenesis SJS/TEN, sehingga

penggunaan cyclosporine sebagai terapi SJS/TEN cukup beralasan. Valeyrie-Allanore

dkk melakukan studi pada 29 pasien dengan SJS/TEN yang diterapi dengan

cyclosporine 3 mg/kg selama 10 hari dengan penurunan secara perlahan selama lebih

dari 1 bulan. Didapatkan hasil bahwa tingkat mortalitas dan progresi pengelupasan

kulit lebih rendah dari yang terjadi pada umumnya sehingga dikemukakan kegunaan

cyclosporine pada pasien SJS/TEN. Chen dkk mortalitas SJS/TEN yang mendapat

terapi cyclosporine lebih rendah dari mortalitas yang diprediksi oleh SCORTEN.

Meskipun penggunaan cyclosporine pada SJS/TEN belum terlalu populer, namun

merupakan terapi yang menjanjikan. Namun masih diperlukan studi dengan skala

lebih besar. 28,29,30

Agen Anti-TNF-α

Peningkatan ekspresi TNF-α pada spesimen kulit, pada cairan bula, dan pada serum

pasien SJS/TEN menyebabkan anggapan terapi anti-TNF-α treatment dapat

bermanfaat. Thalidomide merupakan salah satu pilihan karena memiliki efek anti-

TNF-α. Wolkenstein dkk melakukan studi acak, double-blind, placebo-controlled

untuk mengevaluasi efikasi thalidomide. Penelitian ini dihentikan lebih awal karena

terjadi peningkatan mortalitas pada pasien yang mendapat thalidomide. Namun,

kegagalan terapi dengan thalidomide belum dimupuskan harapan sebagai anti-TNF-

α sebagai terapi. 25,31

Setelah ditemukan anti-TNF-α biologis, beberapa laporan kasus menunjukkan

hasil positif dari infliximab atau etanercept pada terapi SJS/TEN. Paradisi dkk

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

18

melakukan serial kasus untuk penggunaan etanercept pada TEN. Mereka merekrut 10

pasien TEN dan dilakukan injeksi subkutan dengan etanercept 50 mg. Semua pasien

sembuh dan berespon baik dengan reepitelialisasi sempurna. Rata-rata waktu yang

penyembuhan adalah 8.5 hari. Masih dibutuhkan banyak studi untuk mengemukakan

efikasi terapi ini untuk pasien SJS/TEN.,32

Plasmapheresis

Plasmapheresis dapat menghilangkan racun dan mediator yang berbahaya dari pasien

dan beberapa laporan menunjukkan perbaikan cepat. Narira dkk melaporkan

kegunaan plasmapheresis pada pasien yang refrakter terhadap terapi konvensional,

dan telah menunjukkan korelasi antara keparahan penyakit dengan kadar serum

sitokin sebelum dan setelah terapi dengan plasmapheresis. Pada pasien ini, kadar

serum interleukin- (IL-) 6, IL-8, dan TNF-α menurun setelah plasmapheresis. Kini

plasmapheresis direkomendasikan di Jepang untuk pasien TEN yang refrakter

terhadap kortikosteroid dosis tinggi. 32

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

19

BAB 3

KESIMPULAN

SCAR merupakan suatu sekelompok penyakit yang terdiri dari Stevens–

Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), Drug Reaction with

Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), and Acute Generalised

Exanthematous Pustulosis (AGEP). SCAR tidak hanya memiliki dampak jangka

pendek namun juga memiliki konsekuensi jangka panjang dalam hal terdapatnya

komplikasi lanjutan yang muncul setelah terjadinya resolusi dari sebuah episode akut.

Pada penatalaksanaan erupsi obat berat, hal utama yang harus diperhatikan adalah

penghentian obat yang dicurigai sebagai penyebab dan perawatan di ruang perawatan

intensif jika dibutuhkan.

Pada penatalaksanan Acute Generalised Exanthematous Pustulosis (AGEP)

diberikan kortikosteroid. Pada kebanyakan kasus, kortikosteroid topikal dianggap

cukup, jika didapatkan keterlibatan sistemik bisa diberikan kortikosteroid oral atau

kortikosteroid intravena jika ada keterlibatan organ dalam. Penatalaksaan DRESS

yang utama adalah stabilisasi hemodinamik, antipiretik untuk mengurangi demam,

pelembab dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi gejala kutaneus.

Kortikosteroid merupakan terapi baku untuk DRESS, modalitas terapi lain seperti

imunoglobulin intravena, cyclosporine dan lainnya masih membutuhkan studi lebih

lanjut.

Pada penatalaksanaan Stevens–Johnson Syndrome/Toxic Epidermal

Necrolysis, terapi suportif merupakan terapi dasar paling penting, ini mencakup

assessment dan tatalaksana luka pada kulit, tatalaksana cairan dan status nutrisi,

keseimbangan elektrolit, fungsi jalan napas dan ginjal, dan kontrol nyeri yang

adekuat. Untuk perawatan luka pada kulit. Selain itu dapat juga diberikan

kortikosteroid, imunoglobulin intravena, terapi anti-TNF-α, cyclosporine hingga

plasmapheresis. Namun modalitas terapi ini masih membutuhkan studi lebih lanjut.

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Ying XT, Sarah AW. Severe Adverse Drug Reactions. Clinical Medicine

Dermatology. 2016:16;79-83.

2. Jeremy AS, Philip RC. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal

Necrolysis: A Concise Review with a Comprehensive Summary of Therapeutic

Interventions Emphasizing Supportive Measures. Adv Ther. 2017:34;1235-1244.

3. Chung WH, Wang CW, Dao RL. Severe cutaneous adverse drug reactions. J

Dermatol. 2016:43(7);758-66.

4. Sarita S, Najeeba R, Anza K, Uma R, Manikoth P. Severe Cutaneous Adverse

Drugs Reaction: A Clinicoepidemiology Study. Indian J Dermatol.

2015:60(1);102.

5. Damayanti, Sulvia A, Cita RSP, Marsudi H, Hari S. Studi Epidemiologi: Erupsi

Obat Berat. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2017:29(2);151-157.

6. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Morbus Hansen, Poliklinik Kulit

dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Denpasar; 2014 - April 2018.

7. Grando LR, Schmitt TA, Bakos RM. Severe cutaneous reactions to drugs in the

setting of a general hospital. An Brass Dermatol. 2014;89(5):758-62.

8. Yung TC, Chin YC. Treatments for Severe Cutaneous Adverse Reactions.

Journal of Imunnology Reasearch. 2017;9:21-30.

9. Zalewska-Janowska A, Spiewak R, Kowalski ML. Cutaneous manifestation of

drug allergy and hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am. 2017;37(1):165-

81.

10. L. Valeyrie-Allanore & Jean-Claude Roujeau. Epidermal Necrolysis.

Fitzpatrick’s Dermatology In Genral Medicine. 8th

ed. New York: McGraw Hill.

2012. p. 1100-22.

11. Kumar R, Das A, Das S. Management of Stevens-Johnson Syndrome-Toxic

Epidermal Necrolysis: Looking Beyond Guidelines Indian Journal of

Dermatology. 2018;63(2):117-124. doi:10.4103/ijd.IJD_583_17.

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

21

12. Cho Y-T, Yang C-W, Chu C-Y. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic

Symptoms (DRESS): An Interplay among Drugs, Viruses, and Immune System.

Pichler WJP, ed. International Journal of Molecular Sciences. 2017;18(6):1243.

doi:10.3390/ijms18061243.

13. Phillips EJ, Chung WH, Mockenhaupt M, Roujeau JC, Mallal SA. Drug

hypersensitivity: pharmacogenetics and clinical syndromes. J Allergy Clin

Immunol. 2011 Mar; 127(3 Suppl):S60-6.

14. De A, Rajagopalan M, Sarda A, Das S, Biswas P. Drug Reaction with

Eosinophilia and Systemic Symptoms: An Update and Review of Recent

Literature. Indian Journal of Dermatology. 2018;63(1):30-40.

doi:10.4103/ijd.IJD_582_17.

15. De A, Das S, Sarda A, Pal D, Biswas P. Acute Generalised Exanthematous

Pustulosis: An Update. Indian Journal of Dermatology. 2018;63(1):22-29.

doi:10.4103/ijd.IJD_581_17.

16. Chen C-B, Abe R, Pan R-Y, et al. An Updated Review of the Molecular

Mechanisms in Drug Hypersensitivity. Journal of Immunology Research.

2018;2018:6431694. doi:10.1155/2018/6431694.

17. T. Bellon, et al. Approach to Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions. Curr

Treat Options Allergy. 2017; 4:201–221.

18. Akpinar F, Dervis E. Drug Eruptions: An 8-year Study Including 106 Inpatients

at a Dermatology Clinic in Turkey. Indian Journal of Dermatology.

2012;57(3):194-198. doi:10.4103/0019-5154.96191.

19. Mustafa SS, Ostrov D, Yerly D. Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions:

Presentation, Risk Factors, and Management.Curr Allergy Asthma Rep. 2018

Mar 24;18(4):26. doi: 10.1007/s11882-018-0778-6

20. Feldmeyer L, Heidemeyer K, Yawalkar N. Acute Generalized Exanthematous

Pustulosis: Pathogenesis, Genetic Background, Clinical Variants and Therapy.

Jackson C, ed. International Journal of Molecular Sciences. 2016;17(8):1214.

doi:10.3390/ijms17081214.

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

22

21. Cho Y-T, Yang C-W, Chu C-Y. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic

Symptoms (DRESS): An Interplay among Drugs, Viruses, and Immune System.

Pichler WJP, ed. International Journal of Molecular Sciences. 2017;18(6):1243.

doi:10.3390/ijms18061243.

22. Sarah Walsh, Haur Yueh Lee, Daniel Creamer. 2010. Severe Cutaneus Adverse

Reaction to Drugs. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: Wiley-

Blackwell; 2012. p.119.1-119.23.

23. Cho Y-T, Chu C-Y. Treatments for Severe Cutaneous Adverse Reactions.

Journal of Immunology Research. 2017;2017:1503709. doi:10.1155/

24. French LE (ed): Adverse Cutaneous Drug Eruptions. Chem Immunol Allergy.

Basel, Karger, 2012, vol 97, pp 1–17. https://doi.org/10.1159/000335612

25. Gupta LK, Martin AM, Agarwal N, D’Souza P, Das S, Kumar R, Pande S, Das

NK, Kumaresan M, Kumar P, Garg A, Singh S. Guidelines for the management

of Stevens–Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis: An Indian

perspective. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2016;82:603-25

26. Das S, De A. Recent Advances in Severe Cutaneous Adverse Drug Reaction.

Indian Journal of Dermatology. 2018;63(1):16-17. doi:10.4103/ijd.IJD_591_17.

27. Gerogianni, K., Tsezou, A. & Dimas, K. Drug-Induced Skin Adverse Reactions:

The Role of Pharmacogenomics in Their PreventionMol Diagn Ther (2018).

https://doi.org/10.1007/s40291-018-0330-3

28. Çekiç Ş, Canıtez Y, Sapan N. Evaluation of the patients diagnosed with Stevens

Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: a single center experience.

Turkish Archives of Pediatrics/Türk Pediatri Arşivi. 2016;51(3):152-158.

doi:10.5152/TurkPediatriArs.2016.3836.

29. Kumar R, Das A, Das S. Management of Stevens-Johnson Syndrome-Toxic

Epidermal Necrolysis: Looking Beyond Guidelines! Indian Journal of

Dermatology. 2018;63(2):117-124. doi:10.4103/ijd.IJD_583_17.

30. Zimmermann S, Sekula P, Venhoff M, et al. Systemic Immunomodulating

Therapies for Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: A

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis untuk

23

Systematic Review and Meta-analysis. JAMA Dermatology. 2017;153(6):514-

522. doi:10.1001/jamadermatol.2016.5668.

31. Ng QX, De Deyn MLZQ, Venkatanarayanan N, Ho CYX, Yeo W-S. A meta-

analysis of cyclosporine treatment for Stevens–Johnson syndrome/toxic

epidermal necrolysis. Journal of Inflammation Research. 2018;11:135-142.

doi:10.2147/JIR.S160964.

32. Schneider JA, Cohen PR. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal

Necrolysis: A Concise Review with a Comprehensive Summary of Therapeutic

Interventions Emphasizing Supportive Measures. Advances in Therapy.

2017;34(6):1235-1244. doi:10.1007/s12325-017-0530-y.