TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan...
Transcript of TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth...Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS dan...
1
2
TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:
Dipresentasikan pada :
Hari/Tanggal :
Jam :
PENATALAKSANAAN ERUPSI OBAT BERAT
Oleh :
Monica Rosalind Kawilarang
Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Made Wardhana, SpKK(K), FINSDV, FAAADV
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I
DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR
3
2018
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
BAB II PENATALAKSANAAN ERUPSI OBAT BERAT ....................... 3
2.1 Definisi Erupsi Obat Berat ................................................................. 3
2.2 Epidemiologi Erupsi Obat Berat ....................................................... 4
2.3 Patofisiologi Erupsi Obat Berat ......................................................... 4
2.4 Diagnosis Erupsi Obat Berat ............................................................. 6
2.5 Etiologi Erupsi Obat Berat ................................................................. 8
2.6 Penatalaksanaan Erupsi Obat Berat ................................................. 9
2.6.1. Penatalaksanaan Acute Generalized Exanthematous Pustulosis
………………………………………………………………………... 10
2.6.2. Penatalaksanaan Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms…………………………………………………………….. 10
2.6.3. Penatalaksanaan Stevens–Johnson Syndrome/Toxic Epidermal
Necrolysis………………………………………………………….… 12
BAB III KESIMPULAN ................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 17
4
BAB 1
PENDAHULUAN
Erupsi obat berat yang dikenal dengan Severe Cutaneous Adverse Drug
Reactions (SCAR) merupakan suatu kondisi yang mengancam jiwa. SCAR
merupakan bagian dari reaksi simpang obat secara keseluruhan (adverse drug
reaction) dengan persentase kejadian 0.32% dari seluruh reaksi simpang obat.1 SCAR
tidak hanya berdampak jangka pendek namun juga memiliki konsekuensi jangka
panjang dalam hal terdapatnya komplikasi lanjutan yang muncul setelah terjadinya
resolusi dari sebuah episode akut.2 SCAR sendiri merupakan suatu sekelompok
penyakit yang terdiri dari Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN), Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
(DRESS), and Acute Generalised Exanthematous Pustulosis (AGEP).3
Menurut World Health Organization (WHO), SCAR atau erupsi obat berat
dapat menimbulkan kematian, membutuhkan rawat inap yang lama, dapat
menimbulkan kecacatan persisten, atau dapat menimbulkan keadaan yang
mengancam jiwa.4 Data di Instalasi Rawat Inap (IRNA) Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUD dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2009-2011 menunjukkan insiden SJS
sebesar 23.4%, AGEP 6.5%, TEN 2.7%, dan DRESS 2.1%.5 Data dari RSUP Sanglah
Denpasar, pada tahun 2014- april 2018 didapatkan jumlah kasus SJS sebanyak 40
pasien, SSJ/TEN overlap 3 dan TEN sebanyak 14 pasien.6
Meskipun SCAR terbagi menjadi berbagai jenis penyakit, namun secara
keseluruhan kelompok penyakit ini memiliki angka morbiditas dan mortalitas yang
tidak kecil. Terdapat sebuah studi yang menyebutkan bahwa angka mortalitas akibat
SJS sebesar 1-5% dan pada kasus TEN sebesar 25-35%.7
Meskipun demikian,
masing-masing dari penyakit yang menjadi bagian dari SCAR memiliki karakteristik
presentasi klinis, obat penyebab, perjalanan klinis, patofisiologi penyakit, serta
modalitas terapi yang dapat berbeda. 8
5
Pemahaman mengenai jenis, penyebab, risiko komplikasi serta pilihan terapi
pada SCAR sangatlah diperlukan agar klinisi dapat memberikan penanganan yang
paripurna guna mencegah terjadinya komplikasi jangka pendek maupun panjang di
kemudian hari. Sehingga tujuan dibuatnya tinjauan pustaka ini adalah untuk
membuka wawasan di bidang kegawatdaruratan kulit khususnya pada kasus erupsi
obat berat atau SCAR.
6
BAB 2
PENATALAKSANAAN ERUPSI OBAT BERAT
2.1. Definisi Erupsi Obat Berat
Reaksi simpang obat (Adverse Drug Reaction) merupakan reaksi tubuh yang tidak
diinginkan yang terjadi setelah pemberian obat dan bukan merupakan efek
farmakodinamik yang diinginkan.1 Kulit merupakan organ yang paling sering terlibat
dalam kasus reaksi simpang obat.9 Reaksi simpang obat dengan manifestasi kelainan
kulit dapat bervariasi mulai dari eritema singkat hingga bentuk berat yang
mengancam jiwa yang dikenal dengan erupsi obat berat (Severe Cutaneus Adverse
Drug Reactions/SCAR) yang meliputi Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic
Epidermal Necrolysis (TEN), Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP)
dan Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms Syndrome (DRESS).3
Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal Necrolysis (TEN)
merupakan reaksi mukokutaneus akut dan mengancam jiwa yang ditandai dengan
nekrosis luas dan pengelupasan/ detachment epidermis. SJS dan TEN memiliki
karakteristik keterlibatan kulit dan membran mukosa. Karena persamaan dari
manifestasi klinis, histopatologis, faktor resiko, obat penyebab dan mekanisme,
keduanya kini dianggap sebagai variasi keparahan dari proses yang sama, dengan
perbedaan hanya pada luas area tubuh yang terlibat. SJS ditandai dengan keterlibatan
<10% area tubuh/ body surface area (BSA); SJS overlap TEN dengan keterlibatan
10%–30% dan bentuk paling parah adalah TEN dengan keterlibatan area permukaan
tubuh (BSA) >30%. 10,11
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms Syndrome (DRESS)
merupakan reaksi hipersensitivitas berat yang melibatkan banyak organ. DRESS juga
disebut Drug-induced Hypersensitivity Syndrome (DiHS) oleh pakar dari Jepang. 12,13
DRESS dulu dikenal dengan istilah anticonvulsant hypersensitivity syndrome, febrile
mucocutaneous syndrome, multisystem hypersensitivity reaction, drug-induced
delayed multiorgan hypersensitivity syndrome. DRESS ditandai dengan sekelompok
7
gejala yang melibatkan multi organ, terutama kulit, hepar dan sistem hematologis
dengan perubahan kulit merupakan gejala yang paling tampak. 14
Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan erupsi obat
berat yang mayoritas disebabkan oleh obat (>90% kasus) yang memiliki karakteristik
timbulnya pustule steril secara cepat di atas dasar kulit eritema. Kebanyakan kasus
sembuh sendiri, namun pada kasus yang parah dapat terjadi keterlibatan membran
mukosa dan organ dalam. 15
2.2 Epidemiologi Erupsi Obat Berat
Reaksi simpang obat mencakup semua kejadian simpang yang berhubungan dengan
administrasi obat, baik yang memiliki etiologi imunologis dan non imunologis.
Erupsi obat berat terjadi sekitar 6.7% dari seluruh kasus reaksi simpang obat, dimana
sebanyak 0.32% dari seluruh kasus erupsi obat berat dapat berakibat fatal pada pasien
rawat inap serta memiliki efek berkepanjangan dengan banyak komplikasi jangka
panjang pasca resolusi episode akut. 1 Di Indonesia sendiri belum banyak data yang
melaporkan mengenai angka kejadian dari SCAR. Didapatkan 14 pasien erupsi obat
berat di IRNA Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Soetomo Surabaya, yang
terdiri dari 10 pasien SJS (71.4%), 2 pasien TEN (14.3%), 2 pasien AGEP (14.3%)
dan tidak didapatkan pasien DRESS. Kelompok usia terbanyak yang menderita erupsi
obat berat adalah kelompok 25-59 tahun sebanyak 8 pasien (57.1%), sedangkan
kelompok usia lebih dari 60 tahun (21.4%), kelompok usia 0-9 tahun (14.3%), dan
kelompok usia 15-24 tahun (1 Pasien).5
2.3. Patofisiologi Erupsi Obat Berat
Hipersensitivitas obat dapat disebabkan reaksi yang dimediasi imunologi
(disebut alergi obat) maupun reaksi obat non alergi yang langsung diperantarai sel
mast. Reaksi imunologis menurut Gell and Coombs dibagi menjadi empat: reaksi tipe
1, yang memiliki onset cepat dan dimediasi oleh IgE dan sel mast dan/basofil; reaksi
tipe 1, yang memiliki onset lebih lambat dan disebabkan oleh destruksi sel yang
8
dimediasi antibodi, umumnya IgG; reaksi tipe 3, dengan onset lebih lambat dan
disebabkan oleh deposisi imun kompleks IgG dan aktivasi komplemen; dan reaksi
tipe 4 yang merupakan reaksi tipe lambat dan dimediasi oleh sel T. Menurut World
Allergy Organization (WAO), reaksi hipersensitivitas obat dapat dikategorikan reaksi
cepat dan lambat berdasarkan waktu timbulnya gejala. Reaksi tipe lambat umumnya
merupakan reaksi tipe 4, yang merupakan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai
oleh sel T. Reaksi ini timbul beberapa hari hingga minggu setelah paparan obat.16
SCAR merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang dimediasi oleh sel T.
Hipersensitivitas tipe IV dibagi menjadi 4 subgrup, berdasarkan pola sitokin dan
adanya subpopulasi tambahan dari leukosit. DRESS merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe IVb dengan pola sitokin Th2 dan adanya eosinofil; SJS/TEN
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IVc dengan adanya predominasi dari sel CTLs
and NK sebagai sel efektor, dan AGEP merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IVd
dimana produksi IL-8/CXCL8 oleh drug-specific T cells menstimulasi neutrofil ke
kulit. Sel Th17 juga dapat berpartisipasi pada AGEP. Studi in vitro mengkonfirmasi
respon sel T spesifik terhadap obat yang diduga sebagai penyebab. Berbagai model
untuk pengenalan obat oleh drug-specific T cells telah dikemukakan. Adanya limfosit
sitotoksik pada SJS/TEN didukung dengan adanya subpopulasi ini pada cairan bula,
yang dapat membunuh sel target pada drug-dependent manner. Kemudian, Chung
dkk menemukan bahwa granulosin, molekul sitotoksik yang diekspresikan oleh
limfosit sitotoksik, diekspresikan banyak pada blister fluid-infiltrating cells.
Penelitian lain juga menemukan adanya sel NK pada cairan bula. Bagaimanapun,
berbagai leukosit efektor dan mediator berpartisipasi pada SCAR. Reaktivasi dari
infeksi virus herpes dianggap spesifik untuk DRESS. Reaktivitas silang antara virus
dan drug-specific memory T cells dianggap bukan hanya berperan dalam relaps
DRESS tetapi juga pada reaksi kutaneus di SJS/TEN. 17
Analisa genetik telah mengidentifikasi molekul human leukocyte antigen
(HLA)-I sebagai gen yang paling relevan, as the most relevant genes, mendukung
hipotesis respon sel imun drug-specific. Alel HLA-I yang diidentifikasi telah
9
membuktikan bukan hanya spesifik obat, tetapi juga dalam beberapa penyakit,
merupakan spesifik ras. Contoh asosiasi kuat dari HLA-B*1502 dan SJS/TEN dengan
carbamazepine pada populasi Asia Tenggara, tetapi tidak pada pasien keturunan
Eropa. Sebaliknya, HLA-A*3101 merupakan faktor resiko DRESS (bukan untuk
SJS/TEN) dari carbamazepine pada kedua populasi. Hubungan spesifik penyakit
dengan HLA-B*3801dan A*24:02 untuk lamotrigine-induced SJS/TEN atau DRESS
telah dikemukakan. Alel HLA-B*5701 memiliki asosiasi kuat dengan
hipersensitivitas abacavir. Sebaliknya, HLA-B*5801 merupakan predisposisi
terjadinya SJS/TEN dan DRESS/DIHS dari allopurinol. Sebuah studi juga
mengemukakan asosiasi antara alel HLA tertentu dan AGEP. Dasar genetik pada
pasien dengan AGEP dengan mutasi pada IL36RN telah dikemukakan. Varian alel
CYP2C9*3, merujuk pada penurunan metabolisme dan peningkatan konsentrasi
serum dari fenitoin, telah diidentifikasi pada SCAR terhadap fenitoin. 17
2.4. Diagnosis Erupsi Obat Berat
Diagnosis erupsi obat berat memerlukan anamnesis yang detail, termasuk obat yang
dikonsumsi sejak beberapa bulan yang lalu, karena pemberian berlanjut dari obat
penyebab dapat memperburuk gejala dan prognosis. Anamnesis dan pemeriksaan
klinis sangat berguna dalam diagnosis erupsi obat berat, pemeriksaan laboratorium
dan uji kulit manfaatnya terbatas. Kita tidak dapat menemukan abnormalitas
laboratorium selain peningkatan enzim hepar pada pasien dengan DRESS dan
peningkatan kadar IgE pada pasien dengan urtikaria dan/atau angioedema. Meskipun
biopsi kulit kadang berguna, namun tidak dapat mengidentifikasi obat penyebab. Tes
provokasi oral berguna dalam mengidentifikasi agen penyebab. Hal ini harus
dilakukan dengan hati-hati karena reaksinya bisa berat dan berakibat fatal.1,18
Acute Generalized Exanthematous Pustulosis (AGEP) merupakan bentuk
SCAR yang paling ringan dan timbul cepat setelah pemberian obat penyebab,
umumnya hingga 5 hari. Pada AGEP timbul pustul steril pada kulit, sering pada
wajah dan badan, telapak tangan dan kaki umumnya bersih. Pustul yang timbul
10
umumnya mengandung banyak neutrofil. Kadang didapatkan gejala demam dan
neutrofilia. 19 Diagnosis AGEP dapat dilakukan secara klinis, hasil penemuan
histopatologis dan bisa pula dengan tes tempel. Kelompok studi European Registry of
Severe Cutaneous Adverse Reaction (RegiSCAR/EuroSCAR) membuat sistem skor
standar pada tahun 2001, skor validasi AGEP, yang meliputi morfologi lesi kulit,
adanya demam, manifestasi klinis, penemuan laboratorium dan histopatologis. Untuk
mengetahui obat penyebab pada kasus dimana pasien mendapat polimedikasi, dapat
dilakukan tes tempel setelah terjadi resolusi kulit sempurna. Sensibilitas tes tempel
pada AGEP lebih tinggi dari reaksi obat lain seperti SJS/TEN (58% positif pada
AGEP dan 24% positif pada SJS/TEN). Hasil positif akan menunjukkan pustul kecil
pada lokasi tes. 20
Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms Syndrome (DRESS)
sulit didiagnosa karena onsetnya yang lambat setelah paparan obat. Gejala dapat
timbul sampai 8 minggu hingga 3 bulan setelah pemberian obat. Pasien biasanya
datang dengan gejala erupsi makulopapular disertai demam, limfadenopati,
eosinofilia dan keterlibatan organ. Diagnosis DRESS paling sering menggunakan
kriteria dari RegiSCAR atau dengan kriteria diagnosis untuk DiHS, yang dibuat oleh
kelompok konsensus Jepang. Kriterianya meliputi 7 hal dan mirip dengan kriteria
RegiSCAR. Perbedaan paling penting adalah reaktivasi HHV-6 dimasukan dalam
kriteria diagnosis. Perbedaan ini tidak terlalu signifikan dan tidak menjadikan DRESS
dan DiHS menjadi penyakit yang berbeda. Saat ini belum ada standar baku diagnosis
untuk DRESS. Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan klinis dan laboratorium. Skor
yang dibuat oleh kelompok studi RegiSCAR mengubah kriteria diagnosis yang
sebelumnya diajukan oleh Bocquet dkk. Diagnosis DRESS menurut kriteria
RegiSCAR paling tidak mencakup 3 kriteria: (1) bercak kulit akut; (2) demam (> 38
°C); (3) limfadenopati minimal pada 2 lokasi; (4) keterlibatan minimal satu organ
dalam; (5) limfositosis atau limfositopenia; (6) eosinofilia dan (7) trombositopenia.
Gejala kulit pada DRESS yang paling sering berupa urtikaria dan erupsi
makulopapular. Edema wajah merupakan karakteristik DRESS. 14,19,21
11
Diagnosis Stevens–Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal Necrolysis
(TEN) dapat ditegakkan secara klinis. Manifestasi klinis SJS/TEN biasanya khas,
diawali dengan gejala prodormal, umumnya berupa demam, infeksi saluran
pernapasan atas lalu diikuti dengan detachment dari membran mukosa (oral,
konjungtiva, anogenital dan nasal). Umumnya lebih dari dua mukosa terlibat. Lesi
kulit, dalam bentuk makula eritema atau purpura yang timbul simetris terutama pada
badan yang menyebar dalam 2 hingga 3 hari pertama disertai rasa nyeri. Bisa tampak
bula berdinding kendur disertai dengan tanda Nikolsky yang positif. 11,19
2.5. Etiologi Erupsi Obat Berat
Berbagai obat telah dilaporkan sebagai pemicu erupsi obat berat, dan semua obat
harus diperhitungkan, beberapa obat berhubungan dengan resiko reaksi yang ebih
tinggi. Sepanjang sejarah, obat anti epilepsi berhubungan dengan resiko tinggi
terjadinya erupsi obat berat. Dalam European SCAR registry (REGISCAR),
carbamazepine merupakan penyebab tersering DRESS dan penyebab kedua tersering
untuk SJS/TEN. Obat anti epilepsi lain seperti fenitoin juga dinyatakan berhubungan
dengan SCAR. Resiko terjadinya SCAR berhubungan dengan obat dan berbagai
variabel termasuk genetik dan non genetik. 19
Faktor pejamu/host meningkatkan risiko terjadinya SCAR seperti adanya
penyakit yang mendasari seperti keganasan, systemic lupus erythematous, infeksi
yang mendasari seperti tuberkulosis dan HIV. Individu dengan HIV memiliki
peningkatan resiko untuk SCAR sebanyak 1000 kali lipat dibandingkan populasi
umum. Selain itu, dosis obat juga mempengaruhi risiko SCAR. Sebagai contoh,
allopurinol dengan dosis lebih besar sama dengan 200 mg per hari berhubungan
dengan risiko lebih tinggi untuk terjadinya SJS/TEN. Selain allopurinol dan agen anti
epilepsi aromatik, obat lain yang behubungan dengan SCAR termasuk agen
antimikroba (cotrimoxazole, vancomycin, aminopenicillin, minocycline,
sulfasalazine, dapsone) dan NSAID (celecoxib, ibuprofen).19
12
2.6. Penatalaksanaan Erupsi Obat Berat
Penatalaksanaan perawatan kulit secara hati-hati diperlukan, sehingga pasien lebih
baik dirawat di ruang perawatan intensif atau burn unit, dengan fokus pada
penggantian cairan yang hilang, nutrisi, anti nyeri dan penatalaksanaan untuk
keterlibatan mukosa. Karena penyakit yang susah diprediksi, pasien harus di follow
up dan di monitoring untuk tanda-tanda komplikasi seiring resolusi fase akut, juga
diberikan edukasi untuk menghindari obat penyebab.1
Terdapat tatalaksana SCAR yang berbeda di beberapa institusi. Karena
tingginya morbiditas dan mortalitas pada SCAR, perawatan awal di unit perawatan
intensif dapat dipertimbangkan. Burn unit umumnya digunakan karena dianggap
lebih berpengalaman untuk menangani keterlibatan kulit. Tatalaksana yang tepat pada
kulit yang terkena dapat meminimalkan disregulasi suhu, insensible fluid loss dan
instabilitas hemodinamik. Palmieri dkk menunjukkan perbedaan terapi TEN pada
fasilitas burn unit dan non burn unit. Burn unit biasanya memilih nutrisi enteral,
dengan penggunaan antibiotik profilaksis yang lebih minimal dan kortikosteroid
sistemik. Beberapa studi menunjukkan bahwa penanganan dini di burn unit memiliki
hasil yang lebih baik pada pasien TEN. Identifikasi dan penghentian segera obat
penyebab merupakan langkah paling penting dalam tatalaksana SCAR. Penghentian
dini dari agen penyebab dapat menurunkan angka mortalitas pada SJS dan TEN.
Meskipun dapat diduga satu agen penyebab yang paling sering dari SCAR,
semua obat-obatan dalam rentang waktu 8 minggu harus dipertimbangkan, termasuk
obat yang dijual bebas. Kini terdapat assesment untuk memprediksi obat penyebab
untuk semua erupsi obat, terutama untuk SJS/TEN dan dapat membantu untuk
identifikasi obat penyebab. Prinsip tatalaksana tambahan termasuk resusitasi cairan
intravena, untuk nutrisi yang adekuat, mengurangi nyeri dan profilaksis terhadap
komplikasi tromboemboli dan pembentukan ulkus. Untuk mencegah sekuel jangka
panjang, seperti striktur mukosa, diperlukan pemeriksaan awal urologi dan
ginekologi, dan mungkin penggunaan urine katether dan/ dilator vagina. Jika
13
memungkinkan, intake makanan secara oral lebih baik daripada nutrisi parenteral dan
dapat mencegah adhesi esofagus. Antibiotik profilaksis tidak disarankan.19
2.6.1. Penatalaksanaan Acute Generalized Exanthematous Pustulosis
Penatalaksanaan AGEP umumnya melibatkan terapi kortikosteroid, dengan rute
administrasinya ditentukan oleh keparahan manifestasi. Pada kasus dimana pasien
tampak sehat secara sistemik, dengan keterlibatan area yang terbatas, kortikosteroid
topikal poten dianggap cukup. Pada kasus dengan keterlibatan yang lebih ekstensif,
atau ketika ada kelainan sistemik seperti demam, gangguan sistemik dan
hemodinamik, kortikosteroid oral mungkin dibutuhkan. Pemberian kortikosteroid
intravena umumnya tidak dibutuhkan. Pada pasien harus diberikan pelembab,
sepanjang fase deskuamasi postpustular hingga integritas kulit sepenuhnya pulih.
Pada kasus dimana ada keterlibatan sistemik seperti gangguan fungsi ginjal dan
hepar, bisa diberikan perawatan suportif seperti cairan intravena dan pemantauan
hemodinamik. Jika pada pasien terdapat demam, harus terlebih dievaluasi untuk
mengeksklusi penyebab infeksi lain. Jika perlu dapat diberikan terapi antibiotik.13
Tatalaksana utama AGEP adalah identifikasi dan penghentian obat penyebab.
Pemulihan dan resolusi dari erupsi kulit biasanya timbul beberapa hari setelah
penghentian obat penyebab. Durasi rata-rata antara resolusi pustul dan penghentian
obat dilaporan antara 6 dan 7,6 hari pada dua studi. Rawat inap mungkin diperlukan
pada beberapa pasien dengan erupsi kulit yang ekstensif, gangguan kondisi umum
dan keterlibatan sistemik. Kortikosteroid topikal dapat digunakan dan berkorelasi
dengan pengurangan lama rawat inap.14,22
2.6.2. Penatalaksanaan Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic Symptoms
Hal yang paling utama pada DRESS adalah pengenalan dini dan penghentian obat
yang dicurigai. Jika terdapat lesi yang generalisata atau eritroderma, pasien harus
dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Semua pasien harus diberikan terapi
suportif yang adekuat untuk stabilisasi hemodinamik, antipiretik untuk mengurangi
14
demam, pelembab dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi gejala kutaneus.
Antibiotik empiris sebaiknya dihindari karena dapat mengeksaserbasi kondisi lebih
lanjut karena reaktivitas silang antara obat-obatan. 14,22,23
Terapi Suportif
Terapi suportif tanpa tambahan terapi lain dapat dipertimbangkan sebagai pilihan
terapi pada pasien dengan DRESS. Uhara dkk melaporkan 12 pasien yang menerima
terapi hidrasi tanpa kortikosteroid topikal. Semua pasien sembuh sempurna dalam 7
sampai 37 hari setelah penghentian obat yang dicurigai. Ushigome dkk juga
menunjukkan 17 kasus yang hanya diterapi suportif, hampir semua pulih dengan
baik. Namun, jumlah laporan kasus ini masih terbatas, perlu dilakukan studi dengan
skala lebih besar untuk mengkonfirmasi. 23
Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik merupakan terapi baku untuk DRESS. Resolusi cepat dari
ruam dan demam terjadi beberapa hari setelah mendapat kortikosteroid.
Kortikosteroid sistemik harus dimulai dengan dosis minimal 1.0 mg/kg/hari setara
prednison, setelah itu diturunkan secara perlahan-lahan selama 6–8 minggu, untuk
mencegah relaps. Pada kasus berat atau refrakter terhadap steroid oral, pasien dapat
diterapi dengan metil prednisolone intravena. Dapat diberikan dosis denyut metil
prednisolone, 30 mg/kg intravena selama 3 hari. Selama ini pemeriksaan
laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati dan ginjal, harus rutin
dipantau. 14,23
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah dilaporkan berhasil pada pasien DRESS yang
tidak berespon terhadap steroid sistemik atau dimana pemberian steroid sistemik
merupakan kontraindikasi. Namun ada beberapa studi yang tidak mendukung
15
keunggulan terapi IVIG sehingga disarankan bahwa IVIG tidak digunakan sebagai
monoterapi dalam tatalaksana DRESS. 14,,23
Terapi Lain
Modalitas terapi lain pada DRESS, seperti plasmapheresis dan obat imunosupresif
seperti cyclophosphamide, cyclosporine, interferon, mycophenolate mofetil, dan
rituximab. Cyclophosphamide dan cyclosporine digunakan pada beberapa kasus dan
dilaporkan sukses. N-acetylcysteine berperan dalam detoksifikasi obat dan membatasi
metabolit reaktif pada DRESS yang disebabkan oleh obat antikonvulsan.
Valganciclovir untuk meminimalkan penyakit akibat reaktivasi HHV-6 dan dapat
dikombinasi dengan prednisone dan N-acetylcysteine.24
2.6.3. Penatalaksanaan Stevens–Johnson Syndrome/Toxic Epidermal Necrolysis
Tatalaksana Umum
Identifikasi tepat dan penghentian secara dini obat yang dicurigai merupakan langkap
paling penting dalam tatalaksana pasien dengan SJS/TEN. Terapi suportif merupakan
terapi dasar paling penting, ini mencakup assessment dan tatalaksana luka pada kulit,
tatalaksana cairan dan status nutrisi, keseimbangan elektrolit, fungsi jalan napas dan
ginjal, dan kontrol nyeri yang adekuat. Untuk perawatan luka pada kulit. Terdapat
kontroversi apakah kulit yang mengelupas harus dibiarkan sebagai pelindung biologis
atau harus di debridement untuk mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dan
hambatan penyembuhan luka. 14
Menjaga keseimbangan cairan penting untuk mencegah hipoperfusi organ
perifer. Hal ini dapat dipantau setiap hari melalui produksi urine atau jika diperlukan
melalui hemodinamik intra-arterial. Produksi urine harus dipertahankan 0.5–
1.0 ml/kg/jam. Nutrisi yang adekuat adalah penting karena status hipermetabolik dan
kehilangan protein yang banyak pada SJS/TEN. Disarankan untuk diberikan nutrisi
sebanyak 20–25 kkal/kg/hari pada fase akut dan hingga 25–30 kkal/kg/hari pada fase
pemulihan, bisa diberikan melalui intake oral atau nasogastrik. Analgesik diperlukan
16
dan harus disesuaikan dengan derajat nyeri. Pada kasus ringan, dapat
dipertimbangkan pemberian acetaminophen, sedangkan pada fase akut, analgesik
berbasis opium bisa dipertimbangkan. 22,25
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan terapi paling sering digunakan pada SJS/TEN selain terapi
suportif. Beberapa tahub terakhir, banyak studi menyatakan pentingnya kortikosteroid
tidak inferior dibanding terapi suportif. Kakourou dkk menyatakan bahwa
kortikosteroid memiliki hubungan signifikan dengan berkurangnya durasi demam dan
lesi kulit. Pada pasien TEN, terdapat kontroversi penggunaan kortikosteroid.
Kebanyakan studi menyatakan keunggulan pada pasien TEN yang mendapat terapi
kortikosteroid. Namun ada juga studi yang menyatakan sebaliknya. Kortikosteroid
sistemik dosis tinggi dinyatakan efektif oleh pakar dari Jepang untuk pasien TEN.
Araki dkk melaporkan keunggulan penggunaan terapi kortikosteroid dosis denyut
dengan metil prednisolone 500 mg/hari selama 3 hari pada 5 pasien dengan TEN
dengan hasil semua pasien tersebut bertahan. Hirahara dkk juga mengemukakan hal
yang sama pada 8 pasien TEN dengan metil prednisolone 1000 mg/hari selama 3 hari.
Studi meta analisis dari tahun 1990 sampai 2012, menunjukkan keunggulan terapi
kortikosteroid dan menyatakan bahwa kortikosteroid sistemik merupakan terapi
imunomodulasi yang menjanjikan untuk SJS/TEN. 24,26
Imunoglobulin Intravena
Imunoglobulin intravena (IVIG) telah menarik banyak perhatian karena menunjukkan
aktivasi Fas-Fas ligand pada SJS/TEN dan kesuksesan terapi dengan IVIG. Sejak itu
banyak studi dilakukan, beberapa menunjukkan keuntungan IVIG, beberapa tidak.
Dosis IVIG memiliki pengaruh pada hasil terapi. Pada studi dengan hasil yang
menguntungkan, dosis IVIG minimal 2.8 g/kg hingga 4 g/kg. Pada beberapa studi
dengan hasil yang gagal, dosis IVIG yang digunakan umumnya 2 g/kg atau lebih
rendah. Huang skk melakukan metaanalisis terhadap efikasi IVIG untuk terapi TEN
17
dan didapatkan hasil mortalitas yang lebih rendah dengan penggunaan IVIG dosis
tinggi dibandingkan yang lebih rendah. 22,27
Cyclosporine
Cyclosporine merupakan agen imunosupresif penghambat sel T sitotoksik CD8+ dan
memiliki efek antiapoptosis melalui inhibisi Fas ligand dan TNF-α. Semua sel dan
mediator ini memiliki peran penting dalam patogenesis SJS/TEN, sehingga
penggunaan cyclosporine sebagai terapi SJS/TEN cukup beralasan. Valeyrie-Allanore
dkk melakukan studi pada 29 pasien dengan SJS/TEN yang diterapi dengan
cyclosporine 3 mg/kg selama 10 hari dengan penurunan secara perlahan selama lebih
dari 1 bulan. Didapatkan hasil bahwa tingkat mortalitas dan progresi pengelupasan
kulit lebih rendah dari yang terjadi pada umumnya sehingga dikemukakan kegunaan
cyclosporine pada pasien SJS/TEN. Chen dkk mortalitas SJS/TEN yang mendapat
terapi cyclosporine lebih rendah dari mortalitas yang diprediksi oleh SCORTEN.
Meskipun penggunaan cyclosporine pada SJS/TEN belum terlalu populer, namun
merupakan terapi yang menjanjikan. Namun masih diperlukan studi dengan skala
lebih besar. 28,29,30
Agen Anti-TNF-α
Peningkatan ekspresi TNF-α pada spesimen kulit, pada cairan bula, dan pada serum
pasien SJS/TEN menyebabkan anggapan terapi anti-TNF-α treatment dapat
bermanfaat. Thalidomide merupakan salah satu pilihan karena memiliki efek anti-
TNF-α. Wolkenstein dkk melakukan studi acak, double-blind, placebo-controlled
untuk mengevaluasi efikasi thalidomide. Penelitian ini dihentikan lebih awal karena
terjadi peningkatan mortalitas pada pasien yang mendapat thalidomide. Namun,
kegagalan terapi dengan thalidomide belum dimupuskan harapan sebagai anti-TNF-
α sebagai terapi. 25,31
Setelah ditemukan anti-TNF-α biologis, beberapa laporan kasus menunjukkan
hasil positif dari infliximab atau etanercept pada terapi SJS/TEN. Paradisi dkk
18
melakukan serial kasus untuk penggunaan etanercept pada TEN. Mereka merekrut 10
pasien TEN dan dilakukan injeksi subkutan dengan etanercept 50 mg. Semua pasien
sembuh dan berespon baik dengan reepitelialisasi sempurna. Rata-rata waktu yang
penyembuhan adalah 8.5 hari. Masih dibutuhkan banyak studi untuk mengemukakan
efikasi terapi ini untuk pasien SJS/TEN.,32
Plasmapheresis
Plasmapheresis dapat menghilangkan racun dan mediator yang berbahaya dari pasien
dan beberapa laporan menunjukkan perbaikan cepat. Narira dkk melaporkan
kegunaan plasmapheresis pada pasien yang refrakter terhadap terapi konvensional,
dan telah menunjukkan korelasi antara keparahan penyakit dengan kadar serum
sitokin sebelum dan setelah terapi dengan plasmapheresis. Pada pasien ini, kadar
serum interleukin- (IL-) 6, IL-8, dan TNF-α menurun setelah plasmapheresis. Kini
plasmapheresis direkomendasikan di Jepang untuk pasien TEN yang refrakter
terhadap kortikosteroid dosis tinggi. 32
19
BAB 3
KESIMPULAN
SCAR merupakan suatu sekelompok penyakit yang terdiri dari Stevens–
Johnson Syndrome (SJS)/ Toxic Epidermal Necrolysis (TEN), Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms (DRESS), and Acute Generalised
Exanthematous Pustulosis (AGEP). SCAR tidak hanya memiliki dampak jangka
pendek namun juga memiliki konsekuensi jangka panjang dalam hal terdapatnya
komplikasi lanjutan yang muncul setelah terjadinya resolusi dari sebuah episode akut.
Pada penatalaksanaan erupsi obat berat, hal utama yang harus diperhatikan adalah
penghentian obat yang dicurigai sebagai penyebab dan perawatan di ruang perawatan
intensif jika dibutuhkan.
Pada penatalaksanan Acute Generalised Exanthematous Pustulosis (AGEP)
diberikan kortikosteroid. Pada kebanyakan kasus, kortikosteroid topikal dianggap
cukup, jika didapatkan keterlibatan sistemik bisa diberikan kortikosteroid oral atau
kortikosteroid intravena jika ada keterlibatan organ dalam. Penatalaksaan DRESS
yang utama adalah stabilisasi hemodinamik, antipiretik untuk mengurangi demam,
pelembab dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi gejala kutaneus.
Kortikosteroid merupakan terapi baku untuk DRESS, modalitas terapi lain seperti
imunoglobulin intravena, cyclosporine dan lainnya masih membutuhkan studi lebih
lanjut.
Pada penatalaksanaan Stevens–Johnson Syndrome/Toxic Epidermal
Necrolysis, terapi suportif merupakan terapi dasar paling penting, ini mencakup
assessment dan tatalaksana luka pada kulit, tatalaksana cairan dan status nutrisi,
keseimbangan elektrolit, fungsi jalan napas dan ginjal, dan kontrol nyeri yang
adekuat. Untuk perawatan luka pada kulit. Selain itu dapat juga diberikan
kortikosteroid, imunoglobulin intravena, terapi anti-TNF-α, cyclosporine hingga
plasmapheresis. Namun modalitas terapi ini masih membutuhkan studi lebih lanjut.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Ying XT, Sarah AW. Severe Adverse Drug Reactions. Clinical Medicine
Dermatology. 2016:16;79-83.
2. Jeremy AS, Philip RC. Steven-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis: A Concise Review with a Comprehensive Summary of Therapeutic
Interventions Emphasizing Supportive Measures. Adv Ther. 2017:34;1235-1244.
3. Chung WH, Wang CW, Dao RL. Severe cutaneous adverse drug reactions. J
Dermatol. 2016:43(7);758-66.
4. Sarita S, Najeeba R, Anza K, Uma R, Manikoth P. Severe Cutaneous Adverse
Drugs Reaction: A Clinicoepidemiology Study. Indian J Dermatol.
2015:60(1);102.
5. Damayanti, Sulvia A, Cita RSP, Marsudi H, Hari S. Studi Epidemiologi: Erupsi
Obat Berat. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2017:29(2);151-157.
6. Anonim. Buku Register Kunjungan Sub Bagian Morbus Hansen, Poliklinik Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. Denpasar; 2014 - April 2018.
7. Grando LR, Schmitt TA, Bakos RM. Severe cutaneous reactions to drugs in the
setting of a general hospital. An Brass Dermatol. 2014;89(5):758-62.
8. Yung TC, Chin YC. Treatments for Severe Cutaneous Adverse Reactions.
Journal of Imunnology Reasearch. 2017;9:21-30.
9. Zalewska-Janowska A, Spiewak R, Kowalski ML. Cutaneous manifestation of
drug allergy and hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am. 2017;37(1):165-
81.
10. L. Valeyrie-Allanore & Jean-Claude Roujeau. Epidermal Necrolysis.
Fitzpatrick’s Dermatology In Genral Medicine. 8th
ed. New York: McGraw Hill.
2012. p. 1100-22.
11. Kumar R, Das A, Das S. Management of Stevens-Johnson Syndrome-Toxic
Epidermal Necrolysis: Looking Beyond Guidelines Indian Journal of
Dermatology. 2018;63(2):117-124. doi:10.4103/ijd.IJD_583_17.
21
12. Cho Y-T, Yang C-W, Chu C-Y. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS): An Interplay among Drugs, Viruses, and Immune System.
Pichler WJP, ed. International Journal of Molecular Sciences. 2017;18(6):1243.
doi:10.3390/ijms18061243.
13. Phillips EJ, Chung WH, Mockenhaupt M, Roujeau JC, Mallal SA. Drug
hypersensitivity: pharmacogenetics and clinical syndromes. J Allergy Clin
Immunol. 2011 Mar; 127(3 Suppl):S60-6.
14. De A, Rajagopalan M, Sarda A, Das S, Biswas P. Drug Reaction with
Eosinophilia and Systemic Symptoms: An Update and Review of Recent
Literature. Indian Journal of Dermatology. 2018;63(1):30-40.
doi:10.4103/ijd.IJD_582_17.
15. De A, Das S, Sarda A, Pal D, Biswas P. Acute Generalised Exanthematous
Pustulosis: An Update. Indian Journal of Dermatology. 2018;63(1):22-29.
doi:10.4103/ijd.IJD_581_17.
16. Chen C-B, Abe R, Pan R-Y, et al. An Updated Review of the Molecular
Mechanisms in Drug Hypersensitivity. Journal of Immunology Research.
2018;2018:6431694. doi:10.1155/2018/6431694.
17. T. Bellon, et al. Approach to Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions. Curr
Treat Options Allergy. 2017; 4:201–221.
18. Akpinar F, Dervis E. Drug Eruptions: An 8-year Study Including 106 Inpatients
at a Dermatology Clinic in Turkey. Indian Journal of Dermatology.
2012;57(3):194-198. doi:10.4103/0019-5154.96191.
19. Mustafa SS, Ostrov D, Yerly D. Severe Cutaneous Adverse Drug Reactions:
Presentation, Risk Factors, and Management.Curr Allergy Asthma Rep. 2018
Mar 24;18(4):26. doi: 10.1007/s11882-018-0778-6
20. Feldmeyer L, Heidemeyer K, Yawalkar N. Acute Generalized Exanthematous
Pustulosis: Pathogenesis, Genetic Background, Clinical Variants and Therapy.
Jackson C, ed. International Journal of Molecular Sciences. 2016;17(8):1214.
doi:10.3390/ijms17081214.
22
21. Cho Y-T, Yang C-W, Chu C-Y. Drug Reaction with Eosinophilia and Systemic
Symptoms (DRESS): An Interplay among Drugs, Viruses, and Immune System.
Pichler WJP, ed. International Journal of Molecular Sciences. 2017;18(6):1243.
doi:10.3390/ijms18061243.
22. Sarah Walsh, Haur Yueh Lee, Daniel Creamer. 2010. Severe Cutaneus Adverse
Reaction to Drugs. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Oxford: Wiley-
Blackwell; 2012. p.119.1-119.23.
23. Cho Y-T, Chu C-Y. Treatments for Severe Cutaneous Adverse Reactions.
Journal of Immunology Research. 2017;2017:1503709. doi:10.1155/
24. French LE (ed): Adverse Cutaneous Drug Eruptions. Chem Immunol Allergy.
Basel, Karger, 2012, vol 97, pp 1–17. https://doi.org/10.1159/000335612
25. Gupta LK, Martin AM, Agarwal N, D’Souza P, Das S, Kumar R, Pande S, Das
NK, Kumaresan M, Kumar P, Garg A, Singh S. Guidelines for the management
of Stevens–Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis: An Indian
perspective. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2016;82:603-25
26. Das S, De A. Recent Advances in Severe Cutaneous Adverse Drug Reaction.
Indian Journal of Dermatology. 2018;63(1):16-17. doi:10.4103/ijd.IJD_591_17.
27. Gerogianni, K., Tsezou, A. & Dimas, K. Drug-Induced Skin Adverse Reactions:
The Role of Pharmacogenomics in Their PreventionMol Diagn Ther (2018).
https://doi.org/10.1007/s40291-018-0330-3
28. Çekiç Ş, Canıtez Y, Sapan N. Evaluation of the patients diagnosed with Stevens
Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: a single center experience.
Turkish Archives of Pediatrics/Türk Pediatri Arşivi. 2016;51(3):152-158.
doi:10.5152/TurkPediatriArs.2016.3836.
29. Kumar R, Das A, Das S. Management of Stevens-Johnson Syndrome-Toxic
Epidermal Necrolysis: Looking Beyond Guidelines! Indian Journal of
Dermatology. 2018;63(2):117-124. doi:10.4103/ijd.IJD_583_17.
30. Zimmermann S, Sekula P, Venhoff M, et al. Systemic Immunomodulating
Therapies for Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: A
23
Systematic Review and Meta-analysis. JAMA Dermatology. 2017;153(6):514-
522. doi:10.1001/jamadermatol.2016.5668.
31. Ng QX, De Deyn MLZQ, Venkatanarayanan N, Ho CYX, Yeo W-S. A meta-
analysis of cyclosporine treatment for Stevens–Johnson syndrome/toxic
epidermal necrolysis. Journal of Inflammation Research. 2018;11:135-142.
doi:10.2147/JIR.S160964.
32. Schneider JA, Cohen PR. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal
Necrolysis: A Concise Review with a Comprehensive Summary of Therapeutic
Interventions Emphasizing Supportive Measures. Advances in Therapy.
2017;34(6):1235-1244. doi:10.1007/s12325-017-0530-y.