Tinjauan Pustaka choledokolitiasis
-
Upload
berliana-napitupulu -
Category
Documents
-
view
145 -
download
19
description
Transcript of Tinjauan Pustaka choledokolitiasis
Tinjauan Pustaka
Kolelitiasis dan Koledokolitiasis
Pendahuluan
Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau
di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.
Umumnya pasien dengan batu empedu jarang mempunyai keluhan, namun sekali batu
empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk
mengalami komplikasi akan terus meningkat. Prevalensi tergantung usia, jenis kelamin, dan
etnis.
I. Anatomi
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah alpukat dengan panjang sekitar 4-
6 cm dan berisi 30-60 mL empedu. Kandung empedu terletak tepat dibawah lobus kanan hati.
Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum. Fundus bentuknya
bulat, ujungnya buntu dari kandung empedu. Bagian fundus umumnya menonjol sedikit
keluar tepi hati, di bawah lengkung iga kanan, di tepi lateral otot rektus abdominis. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Sebagian besar korpus menempel dan
tertanam di dalam jaringan hati. Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu.
Kandung empedu tertutup seluruhnya oleh peritoneum viseral, tetapi infundibulum
kandung empedu tidak terfiksasi ke permukaan hati oleh lapisan peritoneum. Apabila
kandung empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, bagian infundibulum
menonjol seperti kantong (kantong Hartmann).
Empedu yang di sekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang
kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar
yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus
bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
Duktus sistikus panjangnya 1-2 cm dengan diameternya 2-3 mm. Dinding lumennya
mengandung katup berbentuk spiral disebut katup spiral Heister, yang memudahkan cairan
empedu mengalir masuk ke dalam kandung empedu, tetapi menahan aliran keluarnya.
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum hepatoduadenale yang batas
atasnya porta hepatis, sedangkan batas bawahnya distal papila Vater. Bagian hulu saluran
empedu intrahepatik berpangkal dari saluran paling kecil, yang disebut kanalikulus empedu,
yang meneruskan curahan sekresi empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris, dan
selanjutnya ke duktus hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm. Panjang duktus
hepatikus komunis sangat bervariasi, bergantung pada letak muara duktus sistikus. Duktus
koledokus berjalan di belakang duodenum, menembus jaringan pankreas dan dinding
duodenum, membentuk papila Vater yang terletak di sebelah medial dinding duodenum.
Ujung distalnya dikelilingi oleh otot sfingter Oddi, yang mengatur aliran empedu ke dalam
duodenum. Duktus pankreatikus umumnya bermuara di tempat yang sama dengan duktus
koledokus di dalam papila Vater.
Gambar 1. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)
II. Tipe Batu Empedu
Batu empedu merupakan endapan satu atau lebih komponen empedu, yang terdiri dari
kolesterol, bilirubin, garam empedu, kalsium, protein, asam lemak, fosfolipid (lesitin) dan
elektrolit. Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkan atas 3 (tiga), yaitu :
1). Batu kolesterol : berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih
dari 70% kolesterol.
2). Batu kalsium bilirubinat (pigmen coklat) : berwarna coklat atau coklat tua, lunak,
mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama
3). Batu pigmen hitam : berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti
bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.
Di negara barat, 80% terdiri dari batu kolesterol, sedangkan jenis batu pigmen lebih
banyak di temukan di negara asia.
III. Fisiologi
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 mL/hari. Di luar waktu makan,
empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami
pemekatan sekitar 50%.
Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan absorpsi air
dan natrium. Empedu terdiri dari larutan ion-ion anorganik dan organik. Komponen organik
utama empedu adalah asam empedu terkonjugasi, kolesterol, fosfolipid, pigmen empedu dan
protein.
Empedu disekresi dalam dua tahap oleh hepar :
(1) Bagian awal disekresikan oleh sel-sel hepatosit ; sekresi awal ini mengandung sejumlah
besar asam empedu dan kolesterol, kemudian empedu disekresikan ke dalam kanalikuli
biliaris yang terletak diantara sel-sel hati.
(2) Kemudian, empedu mengalir ke perifer menuju septa interlobularis, tempat kanalikuli
mengosongkan empedu ke dalam duktus biliaris terminal dan kemudian mencapai duktus
hepatikus dan duktus biliaris komunis. Dari sini empedu langsung dikosongkan menuju
ke duodenum atau dialihkan melalui duktus sistikus ke dalam kandung empedu.
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati,
kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu
yang diproduksi akan dialihkan ke dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu
berkontraksi, sfingter berelaksasi, dan empedu mengalir ke duodenum. Aliran tersebut
sewaktu-waktu seperti di semprotkan karena secara intermiten tekanan saluran empedu akan
lebih tinggi daripada tahanan sfingter.
Empedu melakukan dua fungsi penting,menurut Guyton &Hall, 1997 :
Empedu berperan penting dalam pencernaan dan absorbsi lemak, karena asam empedu
yang melakukan dua hal antara lain : asam empedu membantu mengemulsikan partikel-
partikel lemak yang besar menjadi partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase
yang disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi
produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk buangan
penting dari darah, hal ini terutama meliputi bilirubin, dan kelebihan kolesterol yang
dibentuk oleh sel-sel hepar.
Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon kolesistokinin, hal ini terjadi
ketika makanan berlemak masuk ke duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang
menyebabkan pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi
efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang bersamaan dari sfingter oddi yang
menjaga pintu keluar duktus biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin,
kandung empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi asetilkolin dari
sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu mengosongkan simpanan empedu pekatnya
ke dalam duodenum terutama sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat
lemak tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu berlangsung buruk,
tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat dalam makanan, normalnya kandung empedu
kosong secara menyeluruh dalam waktu sekitar 1 jam.
IV. Patogenesis dan Pathofisiologi
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada saluran
empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan pembentuknya. Etiologi batu empedu
masih belum diketahui dengan sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat meningkatkan
supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan unsur tersebut. Infeksi
bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui
peningkatan dan deskuamasi sel dan pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu empedu. Berbagai
kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air
dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam- garam empedu dan lesitin dari empedu, dan
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu. Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian
ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol
sebagai salah satu produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang
mendapat diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu. Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus
koledokus melalui duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu
tersebut dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejala kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus karena
diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai
batu duktus sistikus.
Gambar 2. Letak batu pada saluran empedu
Pathofisiologi
Pembentukan batu empedu atau disebut kolelitiasis pada umumnya merupakan satu
proses yang bersifat multifaktorial. Kolelitiasis merupakan istilah dasar yang merangkum tiga
proses litogenesis empedu utama berdasarkan lokasi batu terkait:
1. Kolesistolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di kantung empedu)
2. Koledokolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di duktus koledokus)
3. Hepatolitiasis (litogenesis yang terlokalisir di saluran empedu dari awal percabangan
duktus hepatikus kanan dan kiri).
Dari segi patofisiologi, pembentukan batu empedu tipe kolesterol dan tipe berpigmen
pada dasarnya melibatkan dua proses patogenesis dan mekanisme yang berbeda sehingga
patofisiologi batu empedu turut terbagi atas:
1. Patofisiologi batu kolesterol
2. Patofisiologi batu berpigmen
A. Patofisiologi Batu Kolesterol
Kolesterol bersifat tidak larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam
empedu dan lesitin (fosfolipid). Pembentukan batu kolesterol merupakan proses yang terdiri
atas 4 defek utama :
1. Supersaturasi Kolesterol Empedu
Tingkat supersaturasi kolesterol disebut sebagai faktor paling utama yang menentukan
litogenisitas empedu. Berdasarkan diagram fase, faktor-faktor yang mendukung
supersaturasi kolesterol empedu termasuk:
a. Hipersekresi kolesterol. Hipersekresi kolesterol merupakan penyebab paling utama
supersaturasi kolesterol empedu. Hipersekresi kolesterol dapat disebabkan oleh:
i.peningkatan uptake kolesterol hepatik
ii. peningkatan sintesis kolesterol
iii. penurunan sintesis garam empedu hepatik
iv. penurunan sintesis ester kolestril hepatik
b.Hiposintesis garam empedu/perubahan komposisi relatif cadangan asam empedu.
c. Defek sekresi atau hiposintesis fosfolipid
95% daripada fosfolipid empedu terdiri atas lesitin. Sebagai komponen utama fosfolipid
empedu, lesitin berperan penting dalam membantu solubilisasi kolesterol. Mutasi pada
molekul protein transpor fosfolipid (disebut protein ABCB4) yang berperan dalam
sekresi molekul fosfolipid (termasuk lesitin) ke dalam empedu terkait dengan
perkembangan kolelitiasis pada golongan dewasa muda.
2. Hipomotilitas Kantung Empedu
Motilitas kantung empedu merupakan satu proses fisiologik yang mencegah litogenesis
dengan memastikan evakuasi empedu dari kantung empedu ke dalam usus sebelum terjadinya
proses litogenik.
Hipomotilitas kantung empedu dapat terjadi akibat:
a. Kelainan intrinsik dinding muskuler yang meliputi:
- Perubahan tingkat hormon seperti menurunnya kolesistokinin (CCK), meningkatnya
somatostatin dan estrogen.
- Perubahan kontrol neural (tonus vagus)
b. Kontraksi sfingter melambat hingga menghambat evakuasi empedu normal.
Patofisiologi yang mendasari fenomena hipomotilitas kantung empedu pada batu
empedu masih belum dapat dipastikan.Namun begitu, diduga hipomotilitas kantung
empedu merupakan akibat efek toksik kolesterol berlebihan yang menumpuk di sel otot
polos dinding kantung yang menganggu transduksi sinyal yang dimediasi oleh protein
G.
3. Peningkatan Aktivitas Nukleasi Kolesterol
Empedu yang supersaturasi dengan kolesterol cenderung untuk mengalami proses
nukleasi. Nukleasi merupakan proses kondensasi atau agregasi yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat mikroskopik atau partikel kolesterol amorfus daripada empedu
supersaturasi. Nukleasi kolesterol merupakan proses yang dipengaruhi oleh keseimbangan
unsur antinukleasi dan pronukleasi yang merupakan senyawa protein tertentu yang dikandung
oleh empedu, faktor pronukleasi berinteraksi dengan vesikel kolesterol sementara faktor
antinukleasi berinteraksi dengan kristal solid kolesterol. Antara faktor pronukleasi yang paling
penting termasuk glikoprotein musin, yaitu satu-satunya komponen empedu yang terbukti
menginduksi pembentukan batu pada keadaan in vivo. Nukleasi yang berlangsung lama
selanjutnya akan menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang menghasilkan kristal
kolesterol monohidrat. Waktu nukleasi pada empedu penderita batu empedu telah terbukti
lebih pendek dibanding empedu kontrol pada orang normal. Waktu nukleasi yang pendek
mempergiat kristalisasi kolesterol dan menfasilitasi proses litogenesis empedu.
4. Hipersekresi Mukus di Kantung Empedu
Saat ini, stimulus yang menyebabkan hipersekresi mukus belum dapat dipastikan
namun prostaglandin diduga mempunyai peran penting dalam hal ini.
B. Patofisiologi Batu Berpigmen
Patofisiologi batu berpigmen untuk kedua tipe yakni batu berpigmen hitam dan batu
berpigmen coklat melibatkan dua proses yang berbeda.
1. Patofisiologi batu berpigmen hitam
Pembentukan batu berpigmen hitam diawali oleh hipersekresi blilirubin terkonjugat
(khususnya monoglukuronida) ke dalam empedu. Pada keadaan hemolisis terjadi hipersekresi
bilirubin terkonjugat hingga mencapai 10 kali lipat dibanding kadar sekresi normal. Bilirubin
terkonjugat selanjutnya dihidrolisis oleh glukuronidase-β endogenik membentuk bilirubin tak
terkonjugat. Pada waktu yang sama, defek pada mekanisme asidifikasi empedu akibat
daripada radang dinding mukosa kantung empedu atau menurunnya kapasitas “buffering”
asam sialik dan komponen sulfat dari gel musin akan menfasilitasi supersaturasi kalsium
karbonat dan fosfat yang umumnya tidak akan terjadi pada keadaan empedu dengan pH yang
lebih rendah. Supersaturasi berlanjut dengan pemendakan atau presipitasi kalsium karbonat,
fosfat dan bilirubin tak terkonjugat. Polimerisasi yang terjadi kemudian akan menghasilkan
kristal dan berakhir dengan pembentukan batu berpigmen hitam.
2. Patofisiologi batu berpigmen coklat
Batu berpigmen coklat terbentuk hasil infeksi anaerobik pada empedu, sesuai dengan
penemuaan sitorangka bakteri pada pemeriksaan mikroskopik batu.Infeksi traktus bilier oleh
bakteri Escherichia coli, Salmonella typhii dan spesies Streptococcus atau parasit cacing
seperti Ascaris lumbricoides dan Opisthorchis sinensis serta Clonorchis sinensis mendukung
pembentukan batu berpigmen. Patofisiologi batu diawali oleh infeksi bakteri/parasit di
empedu. Mikroorganisma enterik ini selanjutnya menghasilkan enzim glukuronidase-β,
fosfolipase A dan hidrolase asam empedu terkonjugat. Peran ketiga-tiga enzim tersebut
didapatkan seperti berikut:
i. Glukuronidase menghidrolisis bilirubin terkonjugat hingga menyebabkan pembentukan
bilirubin tak terkonjugat.
ii. Fosfolipase A menghasilkan asam lemak bebas (terutamanya asam stearik dan asam
palmitik).
iii. Hidrolase asam empedu menghasilkan asam empedu tak terkonjugat.
Hasil produk enzimatik ini selanjutnya dapat berkompleks dengan senyawa kalsium dan
membentuk garam kalsium. Garam kalsium dapat termendak lalu berkristalisasi sehingga
terbentuk batu empedu. Proses litogenesis ini didukung oleh keadaan stasis empedu dan
konsentrasi kalsium yang tinggi dalam empedu. Bakteri mati dan glikoprotein bakteri diduga
dapat berperan sebagai agen perekat, yaitu sebagai nidus yang menfasilitasi pembentukan
batu, seperti fungsi pada musin endogenik.
V. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut dapat terjadi leukositosis,
biasanya akan diikuti kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledokus
oleh batu. Kadar bilirubin serum yang yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam
duktus koledokus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin kadar amylase serum
biasanya meningkat sedang setiap kali terjadi serangan akut.
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.Kadang kandung empedu
yang mengandung empedu berkalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos abdomen.
Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung
empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak dikuadran kanan atas yang
menekan gambaran udara dalam usus besar, flexura hepatica.
Ultrasonografi
Pemeriksaan ini merupakan metode noninvasif yang sangat bermanfaat dan
merupakan pilihan pertama untuk mendeteksi kolelitiasis dengan nilai sensitifitas dan
spesifisitas lebih dari 95%. Ultrasonografi dapat memberikan informasi yang cukup
lengkap mengenai :
o Memastikan adanya batu empedu
o Menunjukkan berapa batu empedu yang ada dan juga ukurannya.
o Melihat lokasi dari batu empedu tesebut. Apakah di dalam kandung empedu atau
didalam duktus.
Ada 2 jenis pemeriksaan ultrasonografi, yaitu :
1) Ultrasonografi transabdominal
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa nyeri, murah dan tidak membahayakan
pasien. Hampir sekitar 97% batu empedu dapat didiagnosis dengan ultrasonografi
transabdominal, namun kurang baik dalam mengidentifikasi batu empedu yang
berlokasi di dalam duktus dan hanya dapat mengidentifikasi batu empedu dengan
ukuran lebih besar dari 45 mm.
2) Ultrasonografi endoskopi
Ultrasonografi endoskopik dapat memberikan gambaran yang lebih baik daripada
ultrasonografi transabdominal. Karena sifatnya yang lebih invasif dan juga dapat
mendeteksi batu empedu yang berlokasi di duktus biliaris lebih baik. Kekurangannya
adalah mahal dari segi biaya dan banyak menimbulkan risiko bagi pasien.
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun
ekstrahepatik. Juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem karena peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada
duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi, karena terhalang udara didalam usus.
Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubin serum diatas 2 mg/dl, obstruksi pylorus, dan
hepatitis karena pada keaadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Penilaian
kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu.
CT scan
Menunjukan batu empedu dan dilatasi saluran empedu.
ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus
pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Ercp
sangat bermanfaat dalam mendeteksi batu saluran empedu dengan sensivitas 90%,
spesifitas 98%, dan akurasi 96%. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung
stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk
mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang
disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan
oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala
gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP
ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.
Magnetic Resonance Cholangio-pancreatography (MRCP)
Magnetic resonance cholangio-pancreatography atau MRCP adalah modifikasi
dari Magnetic Resonance Imaging (MRI), yang memungkinkan untuk mengamati
duktus biliaris dan duktus pankreatikus. MRCP dapat mendeteksi batu empedu di
duktus biliaris dan juga bila terdapat obstruksi duktus.
MRCP adalah teknik pencitraan dengan gema magnet tanpa menggunakan zat
kontras, instrumen, dan radiasi ion. Pada MRCP saluran empedu akan terlihat sebagai
struktur yang terang karena mempunyai intensitas sinyal tinggi sedangkan batu
saluran empedu akan terlihat sebagai intensitas sinyal rendah yang dikelilingi empedu
dengan intensitas sinyal tinggi, sehingga metode ini cocok untuk mendiagnosis batu
saluran empedu. Studi terkini MRCP menunjukkan nilai sensivitas antara 91% sampai
dengan 100%, nilai spesifisitas antara 92% sampai 100% dan nilai prediktif positif
antara 93% sampai 100% pada keadaan dugaan batu saluran empedu.
MRCP mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan ERCP, salah
satu manfaat besar adalah pencitraan saluran empedu tanpa resiko yang berhubungan
dengan instrumentasi, zat kontras, dan radiasi.
Sebaliknya MRCP juga memiliki limitasi mayor yaitu bukan merupakan
modalitas terapi dan juga aplikasinya bergantung pada operator, sedangkan ERCP
dapat berfungsi sebagai sarana diagnostik dan terapi pada saat yang sama.
VI. Diagnosa
Anamnesis
Setengah sampai 2/3 penderita batu kandung empedu adalah asimtomatik. Keluhan yang
mungkin timbul berupa dispepsia yang kadang disertai intoleransi terhadap makanan
berlemak.
Pada yang simtomatik, keluhan utamanya berupa nyeri didaerah epigastrium, kuadran
atas kanan. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15
menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan
perlahan-laha tetapi pada 1/3 kasus muncul secara tiba-tiba.
Penyebaran nyeri dapat ke punggung bagian tengah, scapula atau ke puncak bahu,
disertai mual dan muntah. Lebih kurang ¼ penderita melaporkan bahwa nyeri menghilang
setelah makan antacid. Kalau terjadi kolesistitis, keluhan nyeri menetap dan bertambah
sewaktu menarik nafas dalam dan sewaktu kandung empedu tersentuh ujung jari tangan
sehingga pasien berhenti menarik napas yang merupakan tanda rangsangan peritoneum
setempat (murphy sign).
Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut kanan
atas akan disertai dengan tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis.
Biasanya terdapat icterus dan urin berwarna gelap yang hilang timbul. Icterus yang bilang
timbulnya berbeda dengan icterus karena hepatitis.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum di daerah letak
anatomi kandung empedu. Tanda murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang merangsang tersentuh ujung
jari pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
Pada pemeriksaan fisik batu saluran empedum batu tidak menimbulkan gejala atau
tanda pada fase tenang. Kadang teraba hati agak membesar dan sclera ikterik. Patut diketahui
bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3mg/dl, gejala icterus tidak jelas. Apabila
sumbatan saluran empedu bertambah berat, baru akan timbul icterus klinis.
a. Kolelitiasis
Definisi : Kolelitiasis adalah keadaan dimana terdapat batu empedu di dalam kandung
empedu yang memiliki ukuran, bentuk, dan komposisi yang bervariasi. Kolelitiasis lebih
sering dijumpai pada 4F yaitu wanita (female), usia diatas 40 tahun (forty), obese (fat),
dan fertile.
Etiologi : Faktor predisposisi terjadinya batu empedu antara lain perubahan komposisi
empedu (sangat jenuh dengan kolesterol), statis empedu (akibat gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme sfingter oddi), dan infeksi (bakteri dapat berperan sebagai
pusat presipitasi/pengendapan) kandung empedu.
Gejala Klinis : Keluhan timbul bila batu bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau
duktus koledokus. Gejala klinis dapat berupa kolik bilier, mual,muntah, dan lain-lain.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini akibat
obstruksi transien duktus sistikus oleh batu, sehingga menyebabkan peningkatan
intralumen dan distensi kandung empedu. Kolik biasanya timbul malam atau dini hari,
setelah makan berat atau makanan berlemak malam hari. Nyeri meningkat tajam dalam 15
menit dan menetap 3-5 jam. Timbul di kuadran kanan atas atau epigastrium, dapat
menjalar ke punggung kanan, dan dapat menyerupai angina pektoris. Episode kolik sering
disertai mual dan muntah.
b. Koledokolitiasis
Definisi : Koledokolitiasis adalah terdapatnya batu empedu di dalam saluran empedu yaitu
duktus koledokus komunis (CBD). Koledokolitiasis terbagi dua tipe yaitu primer dan
sekunder. Koledokolitiasis primer adalah batu empedu yang terbentuk di dalam saluran
empedu sedangkan koledokolitiasis sekunder merupakan batu kandung empedu yang
bermigrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus. Koledokolitiasis primer
lebih banyak ditemukan di Asia, sedangkan di negara barat banyak koledokolitiasis
sekunder.
Etiologi : Penyebab koledokolitiasis sama seperti kolelitiasis. Batu pada koledokolitiasis
dapat berasal dari batu di kandung empedu yang bermigrasi dan menyumbat di duktus
koledokus, atau dapat juga berasal dari pembentukan batu di duktus koledokus itu sendiri.
Gejala klinis : Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan
yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Gejala koledokolitiasis mirip seperti kolelitiasis seperti kolik bilier, mual, muntah, namun
pada koledokolitiasis disertai ikterus, BAK kuning pekat dan BAB berwarna dempul.
VII.Faktor Resiko
Faktor risiko untuk kolelitiasis, yaitu:
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia.
Orang dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan orang degan usia yang lebih muda. Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari
40 tahun mengidap batu empedu. Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu
semakin tinggi.
Hal ini disebabkan:
Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan
Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia
Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan
eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 %
pria menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol
dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko
untuk menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar
kolesterol yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu
dapat mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan
berat badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
VIII. Diagnosis Banding
a. Pankreatitis Akut
Pankreatitis akut adalah reaksi peradangan akut penkreas, yang diikuti oleh terjadinya
kaskade imunologis kompleks yang mempengaruhi patogenesis maupun perjalanan
penyakit.
Gejala klinis :
- Rasa nyeri, dengan karateristik : timbul tiba-tiba di epigastrium ( tersering), kadang
agak ke kiri atau kanan atau menjalar ke punggung, perut dan abdomen bawah, atau
timbul terus-menerus, makin bertambah dan berhari-hari.
- Bisa disertai mual-muntah serta demam, kadang terdapat tanda kolaps kardiovaskular,
renjatan dan gangguan pernapasan.
Pada pemeriksaan fisik :
- Nyeri tekan perut bagian atas karena rangsangan peritoneum
- Tanda peritonitis lokal maupun umum
- Teraba seperti adanya massa pada bagian pankreas yang membengkak dan adanya
infiltrat radang
- Meteorismus pada 70-80% kasus
- Suhu tinggi menunjukkan kemungkinan kolangitis, kolesistitis, atau abses pankreas
- Ikterus biasanya pada pankreatitis bilier
- Efusi pleura pada sisi kiri, menunjukkan prognosis buruk
b. Hepatitis virus akut
Hepatitis virus akut adalah infeksi sistemik yang meyerang hati. Virus penyebab adalah
hepatitis virus A (HAV), hepatitis virus B (HBV), hepatitis virus C (HCV), hepatitis
virus D (HDV), dan hepatitis virus E (HEV).
Gejala klinis :
- Manifestasi penyakit bervariasi luas dari asimtomatik hingga gagal hati akut
- Gejala prodromal tidak spesifik disertai gejala gastrointestinal seperti anoreksia,
mual,muntah, dan malaise.
- Gejala prodromal akan hilang pada saat ikterus muncul, tapi anoreksia, malaise, dan
mialgia akan menetap. Ikterus akan di dahului oleh urin berwarna gelap dan pruritus.
Pada pemeriksaan fisik :
Pada pemeriksaan fisik bisa ditemukan hepatomegali dan nyeri tekan pada hati.
Splenomegali ringan dan limfadenopati dapat ditemui kira-kira 15-20% pasien. Pada
hepatitis E bisa ditemukan juga nyeri tekan pada kuadran kanan dan transient spider
angiomata.
IX. Penatalaksanaan
a. Konservatif
1). Lisis batu dengan obat-obatan
Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik tidak akan mengalami
keluhan. Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan
dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk melarutkan batu
empedu kolesterol dibutuhkan dengan waktu pemberian obat 6-12 bulan dan
diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi. Dosis lazim yang digunakan ialah
8-10 mg/KgBB terbagi dalam 2-3 dosis harian. Terapi efektif pada ukuran batu
kecil kurang dari 1 cm dengan angka kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.
2). Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL)
Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang
lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang benar-
benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.
b. Operatif
1). Open kolesistektomi
Operasi ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi
trauma CBD, perdarahan, dan infeksi.
2). Kolesistektomi laparoskopik
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di rumah sakit dan
biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang. Kontra
indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi
tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang
terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma
duktus biliaris sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,5–1%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri,
dapat kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan
semua otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.
XI. Prognosis
Kolelitiasis : Kebanyakan pasien dengan batu empedu tetap asimtomatik sepanjang
hidupnya. Kolik bilier timbul pada 1% pasien, dan pilihan terapi adalah kolesistektomi.
Obstruksi duktus sistikus mengakibatkan kolesistitis akut. Terapi adalah antibiotik dan
kolesistektomi.
Koledokolitiasis : koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius
karena komplikasi mekanik berupa sirosis bilier sekunder, dan infeksi berat yang terjadi
berupa kolangitis akut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479 - 481
2. Lumbantobing S. M, Pemeriksaan fisik dan Mental. Jakarta: Fakultas kedokteran
Univeritas Indonesia, 1998.
3. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery.Edisi
6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000.459-64.
4. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
5. Guyton AC, Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran.Edisi ke-9. Jakarta: EGC,1999. 1028-1029.
6. Suzana N. Buku Ajar Gastroenterohepatologi. Jakarta : Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia;2013.h.187-193.