TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf ·...

45
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Sebelum penelitian ini di lakukan, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang memiliki latar belakang tema yang hampir sama dengan penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh peneliti. Namun beberapa penelitian terdahulu tersebut juga memiliki ketidaksamaan dengan penelitian ini, berikut uraian beberapa penelitian terdahulu: Pertama, skripsi yang berjudul Permohonan Orang Tua Sebagai Wali terhadap Anak Kandung (Analisis Komparatif Putusan Pengadilan

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf ·...

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Sebelum penelitian ini di lakukan, terdapat beberapa penelitian

terdahulu yang memiliki latar belakang tema yang hampir sama dengan

penelitian yang saat ini sedang dilakukan oleh peneliti. Namun beberapa

penelitian terdahulu tersebut juga memiliki ketidaksamaan dengan

penelitian ini, berikut uraian beberapa penelitian terdahulu:

Pertama, skripsi yang berjudul Permohonan Orang Tua Sebagai

Wali terhadap Anak Kandung (Analisis Komparatif Putusan Pengadilan

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

12

Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA.Dpk. Dan Putusan

Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA.JP),

oleh Muhammad Farid Wajdi (2010), mahasiswa Ahwal Syakhshiyyah

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penelitian tersebut penulis menggambarkan bagaimana

hukum permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandung,

penulis juga menggambarkan penyebab penetapan orang tua sebagai wali

bagi anak kandung mereka sendiri, dan yang terakhir penulis

menggambarkan tentang pertimbangan hakim yang memberikan atau

menolak penetapan orang tua sebagai wali bagi anak kandung mereka.

Penulis mengatakan bahwa permohonan penetapan orang tua

sebagai wali terhadap anak kandung adalah bertentangan dengan peraturan

di Indonesia dimana orang tua secara otomatis menjadi wali bagi anak-anak

mereka, yaitu merupakan hak yang di dapat akibat hukum dari perkawinan

dan mereka berhak secara langsung untuk mewakili anak baik di dalam

maupun luar pengadilan. Pertimbangan Majelis hakim menolak permohonan

orang tua menjadi wali berlandaskan pada konsep perwalian yang berlaku di

Indonesia, bahwa perwalian di khususkan terhadap selain orang tua.

Sedangkan pertimbangan Majelis Hakim yang menerima permohonan orang

tua tersebut sebagai wali terhadap anak kandungnya dengan berlandaskan

kepada hukum internasional, seperti untuk pengurusan paspor. Dalam hal ini

penulis lebih setuju dengan putusan Perkara Pengadilan Agama Depok yang

menolak permohonan perwalian.

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

13

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Erni Nurosyidah (2011),

mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember, dengan judul Kedudukan

Hukum Wali Dari Anak Di Bawah Umur Dalam Melakukan Transaksi

Penjualan Harta Warisan (Studi Terhadap Penetapan Pengadilan Agama

Jember No.95/Pdt.P/2010/PA.Jr).

Penulis dalam penelitian tersebut membahas bagaimana hak dan

kewajiban perwalian terhadap anak di bawah umur, membahas batasan-

batasan perbuatan hukum yang dapat dilakukan oleh wali dalam pengurusan

harta kekayaan anak yang ada di bawah perwaliannya, dan membahas

bagaimana permohonan perwalian untuk menjual harta warisan anak yang

ada di bawah perwaliannya dapat dikabulkan. Kemudian penulis

menjelaskan bahwa setiap orang tua kandung itu berhak menjadi wali atas

anaknya yang masih dibawah umur. Selain itu, setiap orang tua kandung

berhak mewakili anaknya yang masih dibawah umur dalam melakukan

transaksi penjualan harta warisan selama mereka tidak dicabut

kekuasaannya. Selanjutnya dalam penelitian yang penulis bahas mengenai

perwalian ini mengatakan bahwa dikabulkannya perkara tersebut oleh

Majelis Hakim berdasarkan dengan bukti-bukti dan saksi-saksi yang

dihadirkan dalam persidangan.

Ketiga¸skripsi dari Universitas Islam Negeri Surabaya yang ditulis

oleh Siti Fatimah (2014) dengan judul Analisis Hukum Islam terhadap

Penetapan Pengadilan Agama Malang Nomor: 69/Pdt.P/2013/PA.Mlg

tentang Pengajuan Perwalian Anak di Bawah Umur.

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

14

Skripsi yang ditulis oleh Siti Fatimah ini menggunakan metode

penelitan document research (penelitian dokumen). Penulis dalam

penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pertimbangan hakim dalam

mengabulkan penetapan Nomor: 69/Pdt.P/2013/PA.Mlg dan pertimbangan

hakim tersebut dianalisis dengan menggunakan hukum Islam. Penulis

mengatakan bahwa pertimbangan hakim dalam mengabulkan permohonan

pemohon, Hakim mengatakan bahwa hakim dilarang untuk menolak dalam

memeriksa dan mengadili perkara yang telah diajukan ke pengadilan.

Pertimbangan lain dalam mengabulkan permohonan pemohon untuk

memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum, dalam hal ini penetapan

tersebut dapat dijadikan sebagai bukti otentik. Menurut hukum Islam

pertimbangan hakim tersebut memiliki tujuan hukum untuk memberikan

kemanfaatan dan kepastian hukum kepada pemohon agar dapat melakukan

transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini,

pertimbangan hakim sesuai dengan teori maslahah mursalah serta tujuan

hukum Islam yaitu memberikan kemanfaatan atau kemaslahatan kepada

umat manusia.

Penulis berpendapat seharusnya orang tua tidak perlu mengajukan

permohonan ke pengadilan karena orang tua otomatis adalah wali bagi

anaknya selama kekuasaannya tidak dicabut oleh Pengadilan. Begitupun

menurut pendapat para ulama mazhab bahwa wali anak kecil adalah

ayahnya serta dalam KHI pasal 107 ayat 3 dan 4 yang juga menjelaskan

bahwa orang tua adalah wali dari anaknya.

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

15

Berikut tabel untuk mempermudah memahami perbedaan

penelitian yang peneliti lakukan dengan peneliti-peneliti terdahulu;

No Judul Skripsi Nama Penulis Perbedaan

1. Permohonan Orang

Tua Sebagai Wali

terhadap Anak

Kandung (Analisis

Komparatif

Putusan Pengadilan

Agama Depok

Perkara Nomor

22/Pdt.P/2010/PA.

Dpk. Dan Putusan

Pengadilan Agama

Jakarta Pusat

Perkara Nomor

0046/Pdt.P/2009/P

A.JP.

Muhammad

Farid Wajdi

(2010)

Skripsi ini penulis

membandingkan putusan

Pengadilan Agama Depok dan

Pengadilan Agama Jakarta

Pusat tentang permohonan

Wali terhadap anak kandung.

Sedangkan skripsi peneliti

tidak membandingkan

penetapan Majelis Hakim

melainkan hanya fokus

mengkaji satu penetapan saja.

2. Kedudukan Hukum

Wali Dari Anak Di

Bawah Umur

Dalam Melakukan

Transaksi

Penjualan Harta

Warisan (Studi

Terhadap

Penetapan

Pengadilan Agama

Jember

No.95/Pdt.P/2010/

PA.Jr).

Erni Nurosyidah

(2011)

Dalam skripsi yang dibahas

oleh penulis ini fokus kepada

batasan-batasan wali untuk

melakukan transaksi penjualan

tanah waris milik anak di

bawah umur, sedangkan dalam

skripsi peneliti lebih

memfokuskan kepasa alasan-

alasan bagaimana bisa

terjadinya suatu permohonan

perwalian oleh ibu kandung

dan membahas bagaimana

pertimbangan dari Pengadilan

Agama mengenai permohonan

perwalian yang diajukan oleh

ibu kandung.

3. Analisis Hukum

Islam terhadap

Penetapan

Pengadilan Agama

Malang Nomor:

69/Pdt.P/2013/PA.

Mlg tentang

Pengajuan

Siti Fatimah

(2014)

Perbedaan skripsi yang ditulis

oleh penulis ini dengan peneliti

bahwa penulis dalam skripsi ini

menggunakan Hukum Islam

untuk menganalisis

pertimbangan Hakim dalam

mengabulkan penetapan

Nomor: 69/Pdt.P/2013/PA.Mlg

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

16

Perwalian Anak di

Bawah Umur.

Dari tabel diatas bisa disimpulkan bahwa penelitian yang peneliti

lakukan ini tidak sama dengan penelitian yang sudah dilakukan oleh

peneliti-peneliti terdahulu.

B. Landasan Teori

1. Permohonan

Permohonan adalah suatu permasalahan perdata yang diajukan

dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya

yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama.9 Permohonan ini biasa

di sebut dengan jurisdictio voluntaria (peradilan yang tidak sebenarnya).

Permohonan pada intinya tidak mengandung sengketa. Definisi lain dari

permohonan adalah suatu perkara yang di dalamnya berisi suatu tuntutan

hak perdata oleh satu pihak yang berkepentingan terhadap suatu hak yang

tidak mengandung sengketa, sehingga badan-badan peradilan dalam

mengadili suatu perkara permohonan bisa dianggap sebagai suatu proses

yang bukan sebenarnya.10

Produk hukum dari permohonan disebut dengan penetapan.

Penetapan dalam bahasa Belanda disebut dengan Beschiking yang artinya

adalah produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan

sesungguhmya. Dikatakan bukan peradilan yang sesungguhnya karena

disana hanya ada permohonan, yang memohon untuk ditetapkan tentang

9 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) h. 29

10 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama: Dilengkapi Format

Formulir Perkara (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012) h. 82

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

17

sesuatu, sedangkan pemohon tidak ada lawan.11

Penetapan itu mucul

sebagai produk pengadilan atas pemohonan pemohon yang tidak

berlawanan maka diktum penetapan tidak berbunyi menghukum

melainkan hanya bersifat menyatakan.

Sesuai dengan proses pemeriksaannya kekuatan hukum

penetapan yaitu hanya mengikat pada diri pemohon sendiri, untuk ahli

warisnya serta untuk orang yang memperoleh hak daripadanya dan tidak

tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau pihak ketiga.

Berbeda dengan putusan, yang benar-benar sempurna dan mengikat serta

kekuatan hukumnya memiliki lebih banyak kekuatan hukum dan dapat

berlaku untuk pihak-pihak yang bersangkutan maupun untuk dunia luar

atau pihak ketiga.

Selain itu penetapan ini juga merupakan akta autentik. Karena

setiap produk yang diterbitkan hakim atau Pengadilan dalam

menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan

sendirinya merupakan akta autentik.12

Akta autentik merupakan akta

resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dan nilai pembuktiannya

sempurna.

Pada prinsipnya yang disebut dengan permohonan itu adalah

perkara yang tidak terdapat sengketa atau bisa juga disebut dengan

perkara voluntaria. Tapi di dalam Pengadilan Agama, dalam perkara-

perkara perkawinan, walaupun disebutkan dengan “permohonan”

11

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia (Malang: UIN-Malang Press, 2009) h. 276 12

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 41

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

18

tidaklah mutlak selalu berarti voluntaria. Ada beberapa perkara yang

walaupun menggunakan istilah permohonan, tetapi termasuk perkara

contentiosa.13

Sehingga bisa disimpulkan bahwa ada dua macam

penetapan, yaitu:

a. Penetapan dalam bentuk murni voluntaria

Penetapan merupakan hasil atau produk hukum dari perkara

permohonan yang bersifat tidak berlawanan dari para pihak. Perkara

yang seperti ini yang dimaksud dengan perkaran murni voluntaria.

Secara singkat cirinya adalah:

1) Merupakan gugatan secara sepihak atau pihaknya hanya terdiri

dari pemohon;

2) Tidak ditunjukan untuk menyelesaikan suatu persengketaan.

Tujuannya hanya untuk menetapkan suatu keadaan atau status

tertentu bagi diri pemohon;

3) Petitum dan amar pemohon bersifat deklatoir.

Sedangkan asas dari penetapan dalam bentuk murni voluntaria yaitu:

1) Asas kebenaran yang melekat pada putusan hanya kebenaran

sepihak. Bernilai hanya untuk diri pemohon.

2) Kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon.

3) Penetapan tidak memiliki nilai kekuataan pembuktian kepada

pihak manapun.

13

Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah (Jakarta: Sinar

Grafika, 2009) h. 81

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

19

b. Penetapan bukan dalam bentuk voluntaria

Selain penetapan dalam bentuk murni voluntaria, di

Pengadilan Agama ada beberapa jenis perkara yang produk

hukumnya berupa penetapan, tetapi bukan merupakan penetapan

yang murni voluntaria. Meskipun di dalam produk penetapan

tersebut ada pihak pemohon dan termohon, tetapi para pihak tersebut

harus dianggap sebagai penggugat dan tergugat, sehingga penetapan

seperti itu harus dianggap sebagai putusan.

Contoh dari jenis perkara ini adalah penetapan ikrar talak

dan izin poligami. Mengenai penetapan ikrar talak ini diatur dalam

Pasal 66 dan Pasal 69 jo Pasal 82 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama. Dari ketiga dasar hukum tersebut

terdapat adanya kontraversi. Pasal 66 menyatakan bahwa ikrar talak

termasuk perkara permohonan yang menghasilkan produk hukum

penetapan. Namun proses pemeriksaannya bersifat contradictoir.

Bahkan kepada pihak istri (termohon) diberikan hak mutlak untuk

mengajuan upaya banding dan kasasi, seperti yang diatur dalam

Pasal 60 dan 63 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam

perkara ini sifat perkara permohonan tidak diberlakukan

sepenuhnya.14

Fundamentum patendi atau posita (disebut juga dengan positum)

permohonan, tidak serumit dalam gugatan perkara contentiosa. Landasan

14

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia , h. 280

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

20

hukum dan peristiwa yang menjadi dasar pemohonan cukup memuat dan

menjelaskan hubungan hukum antara diri pemohon dengan permasalahan

hukum yang dipersoalkan. Sehubungan itu, posita permohonan pada

prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang yang menjadi

alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentutan itu dengan

peristiwa yang sedang dihadapi oleh pemohon.15

Seperti sudah dijelaskan diatas bahwa pada perkara permohonan

pihak yang ada hanya pihak pemohon sendiri. Tidak ada pihak lain yang

menjadi lawan atau tergugat. Pada prinsipnya tujuan permohonan untuk

menyelesaikan kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak

lawan. Dalam kerangka demikian, petitum permohonan harus mengacu

pada penyelesaian kepentingan permohonan secara sepihak. Oleh karena

itu, petitum permohonan pemohon tidak boleh melanggar atau

melampaui hak orang lain.

2. Kewenangan Peradilan Agama

Kewenangan sering disebut juga dengan kekuasaan atau

kompetensi. Berbicara mengenai kekuasaan atau kewenangan Peradilan

Agama, biasanya menyangkut dua hal yaitu kewenangan relatif dan

kewenangan absolut. Penjelasan mengenai kewenangan relatif dan

kewenangan absolut akan dijabarkan sebagai berikut:

a. Kewenangan Relatif

15

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 33

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

21

Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan

yang satu jenis dan satu tingkatan. Masing-masing Pengadilan Agama

memiliki wilayah hukum tertentu dalam menangani perkara. Jadi

setiap Pengadilan Agama hanya berwenang menangani perkara yang

berada dalam wilayah hukumnya saja. Pada intinya penentuan

kewenangan relatif ini untuk menetapkan ke Pengadilan Agama mana

gugatan atau permohonan tersebut akan diajukan.

Kompetensi relatif Pengadilan Agama menurut ketentuan

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan

Agama mengatakan bahwa Pengadilan Agama yang berkedudukan di

ibu kota kabupaten/kota maka daerah hukumnya meliputi wilayah

kabupaten/kota.16

Dasar hukum kewenangan relatif Pengadilan Agama

berpedoman pada Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Dalam

Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menjelaskan bahwa

hukum acara berlakunya pada lingkungan Peradilan Agama adalah

hukum acara yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum.

Sehingga, landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan

Agama merujuk kepada ketentuan Pasal 118 HIR atau 142 RBg jo

Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.17

16

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perbuahan atas Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 17

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia , h. 200

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

22

b. Kewenangan Absolut

Kewenangan absolut adalah kewenangan Pengadilan yang

berhubungan dengan jenis perkara atau jenis Pengadilan.18

Contohnya

seperti perkara perkawinan. Untuk yang tunduk pada hukum Islam

maka mengajukan perkara perkawinan maka di Pengadilan Agama.

Sedangkan untuk mereka yang tunduk pada agama lain maka

penyelesaian perkaranya di Pengadilan Umum.

Ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

berdasarkan asas personalita keislaman menyebutkan bahwa:

Pasal 49

Pengadilan agama bertugas dan berwenang dalam memeriksa,

memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama

antara orang-oranag yang beragama Islam di bidang:

1) Perkawinan;

2) Waris;

3) Hibah;

4) Wakaf;

5) Zakat;

6) Infaq;

7) Shadaqoh;

8) Ekonomi syari’ah;

Pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini perubahan

dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang pada awalnya

kewenangan absolut Pengadilan agama hanya ada 7 macam. Pada

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1989 ini ditambah dengan adanya

kewenangan menangani perkara yang berhubungan dengan ekonomi

Syariah. Sehingga, sekarang kewenangan absolut Pengadilan Agama

menangani 8 macam perkara perdata.

18

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia , h. 204

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

23

Dalam penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 menjelaskan ada 22 macam perkara yang berada di

bawah ruang lingkup perkara perkawinan. Berikut 23 macam perkara

yang berada di bawah ruang lingkung perkara perkawinan.

1) Izin beristri lebih dari seorang

2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia

21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau

keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;

3) Dispensasi kawin;

4) Pencegahan perkawinan;

5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;

6) Pembatalan perkawinan;

7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;

8) Perceraian karena talak;

9) Gugatan perceraian;

10) Penyelesaian harta bersama;

11) Mengenai penguasaan anak-anak;

12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak

memenuhinya;

13) Penentutan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami

kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas

isteri;

14) Putusan tentang sah atu tidaknya seorang anak;

15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;

16) Pencabutan kekuasaan wali;

17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut;

18) Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum

cukup umur 18 (delapan belas) tahun ditinggal kedua orang

tuanya pada hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;

19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah

kekuasaannya;

20) Penetapan asal usul seorang anak;

21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran;

22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

dijalankan menurut peraturan yang lain.19

19

Penjelasan Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

24

3. Ultra Petitum dalam Putusan

Ultra petitum adalah penjatuhan putusan/putusan yang

mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam

gugatan.20

Berbicara mengenai ultra petitum kaitannya erat dengan amar

putusan atau dictum. Amar putusan adalah isi dari putusan hakim yang

merupakan jawaban atau tanggapan terhadap petitum dari pada gugatan

yang di ajukan oleh penggugat. Dalam praktik amar putusan diberikan

oleh hakim yang memeriksa perkara setelah melalui proses persidangan.

Dalam amar putusan berisi tentang dikabulkan atau tidak diterimanya

suatu gugatan atau permohonan yang diajukan oleh penggugat atau

pemohon.

Petitum adalah apa yang diminta atau diharapkan

penggugat/pemohon agar diputuskan oleh hakim. Jadi tuntutan itu akan

terjawab di dalam amar atau dictum putusan.21

Amar putusan tidak boleh

mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan dalam gugatan atau

permohonan. Larangan yang seperti itu disebut dengan ultra petitum. Ultra

petitum dijelaskan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBg

dan Pasal 50 Rv. Inti dari pasal-pasal tersebut mengatakan bahwa hakim

tidak boleh menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau

mengabulkan lebih dari yang diminta.

Putusan yang melebihi atau tidak sesuai dengan petitum dapat

dikatakan sebagai keputusan yang cacat hukum, dan dapat batal demi

20

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata. h. 801 21

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara dan Proses Persidangan, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006) h. 28

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

25

hukum, karena pada dasarnya Pasal 178 ayat (3) HIR jo Pasal 189 ayat (3)

RBg dibuat untuk membatasi kebebasan hakim agar dalam menjalankan

tugasnya yaitu memberikan putusan atau penetapan tidak berlebihan.

Selain itu juga untuk mencegah agar hakim tidak memberikan amar

putusan yang tidak sesuai dengan petitum yang diajukan oleh penggugat

atau pemohon.22

4. Perwalian

a. Perwalian Bagi Anak kecil Menurut Hukum Islam

Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar

waliyah, wilayah atau walayah. Kata wilayah dan walah mempunyai

makna lebih dari satu, diantaranya dengan makna pertolongan, cinta,

kekuasaan atau kemampuan. Abdul Aziz Dahlan dalam Eksiklopedi

Hukum Islam mengartikan wilayah secara etimologis dengan dekat,

mencintai, menolong, mengurus, menguasai, daerah dan pemerintah.23

Wahbah Zuhayli mengartikan perwalian sebagai kekuasaan/otoritas

(yang dimiliki) seseorang untuk secara langsung melakukan suatu

tindakan sendiri tanpa harus bergantung atas seizin orang lain.24

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat dipahami bahwa

perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh

atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan

pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan

22

Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011) h. 233 23

Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed, Ensiklopedi Hukum Islam, vol.6 (Jakarta: PT. Ichtiar Van Hoeve,

2003) h. 1934 24

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2005) h. 134

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

26

perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta

maupun dengan dirinya. Dan orang yang mengurusi atau menguasai

sesuatu disebut dengan wali.

Perwalian dalam Islam dibedakan kedalam tiga kelompok,

yaitu perwalian terhadap jiwa, perwalian terhadap harta, serta

perwalian terhadap jiwa dan harta sekaligus. Perwalian dalam nikah

termasuk kedalam perwalian terhadap jiwa, yaitu perwalian yang

berhubungan dengan pengawasan terhadap urusan yang berhubungan

dengan masalah-masalah keluarga seperti perkawinan, pemeliharaan

dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang

hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau

kakek dan para wali yang lain.25

Perwalian terhadap harta ialah perwalian yang berhubungan

dengan ihwal pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan,

pemeliharaan (pengawasan) dan pembelanjaan. Adapun perwalian

terhadap jiwa dan harta ialah perwalian yang meliputi urusan-urusan

pribadi dan harta kekayaan, dan hanya berada di tangan ayah dan

kakek.26

Para ulama sepakat bahwa wali bagi anak kecil adalah

ayahnya, sedangkan untuk ibunya tidak mempunyai hak perwalian,

kecuali menurut pendapat ulama syafi’i.27

Selanjutnya para ulama

berbeda pendapat mengenai wali yang bukan ayah. Menurut Hambali

25

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam, h. 135 26

Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam, h. 136 27

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian, h. 208

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

27

dan Maliki, wali sesudah ayah adalah orang yang mendapat wasiat

dari ayah. Kalau ayah tidak memiliki orang yang diwasiati maka wali

jatuh kepada hakim syar’i. Sedangkan kakek sama sekali tidak

mempunyai hak dan perwalian, sebab menurut mereka kakek tidak

bisa menggantikan posisi ayah. Kalau posisi kakek dari pihak ayah

sudah seperti itu, apalagi kakek yang dari pihak ibu. Selanjutnya

Hanafi mengatakan, “Para wali sesudah ayah adalah orang yang

menerima wasiat dari ayah. Sesudah itu, kakek dari pihak ayah, lalu

orang yang menerima wasiat darinya, dan kalau tidak ada, maka

perwalian jatuh ketangan hakim”. Dan imam Syafi’i mengatakan,

“Perwalian beralih dari ayah kepada kakek, dan dari kakek kepada

orang yang menerima wasiat dari ayah., seterusnya, perwalian beralih

kepada penerima wasiat dari ayah, lalu kepada penerima wasiat kakek,

dan sesudah itu baru kepada hakim”.28

Wali dan orang-orang yang menerima wasiat untuk menjadi

wali dipersyaratkan harus balig, mengerti, dan seagama, bahkan

banyak di antara mereka yang menyaratkan bahwa wali itu harus adil,

sekalipun ayah dan kakek. Ulama madzhab mengatakan bahwa

tindakan hukum yang dilakukan wali atas harta orang yang berada di

bawah perwaliannya dinyatakan sah selama hal itu mendatangkan

maanfaat bagi orang yang berada di bawah walinya, sedangkan

tindakan hukum yang menimbulkan madharat tidak dianggap sah.

28

Muhammad Jawad Mughniya, Fiqh Lima Madzhab (ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan

Hanbali), (Jakarta: Lentera, 2001) h. 683

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

28

Tetapi, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama madzhab

tentang tindakan yang dianggap tidak bermanfaat, tetapi juga tidak

madharat. 29

b. Perwalian Bagi Anak Kecil Menurut Hukum Positif di Indonesia

Perwalian merupakan suatu perbuatan hukum yang

melahirkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban sehingga dalam

pelaksanaannya dituntut harus sesuai dengan aturan-aturan hukum

yang berlaku. Menurut Prof Subekti mengatakan bahwa perwalian

adalah pengawasan terhadap anak yang dibawah umur, yang tidak

berada di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan benda atau

kekayaan anak tersebut diatur oleh undang-undang.30

Dalam perundang-undangan di Indonesia pengertian

perwalian terdapat dalam beberapa perundang-undangan, diantaranya

di Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 poin (h), yang menjelaskan

bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada

seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil

untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua

orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan

hukum.31

Dapat ditafsiri bahwa perwalian yang dimaksud dalam

peraturan ini adalah perwalian secara khusus apabila anak tidak

mempunyai orang tua ataupun apabila orang tua tidak cakap dalam

bertindask hukum. Diatur juga dalam Undang-Undang Perlindungan

29

Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian, h. 208 30

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Bandung: PT. Intermasa, 2003) h. 52 31

Pasal 1 poin (h) Kompilasi Hukum Islam

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

29

Anak, Pasal 1 poin (5) bahwa wali adalah orang atau badan yang

dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua

terhadap anak.32

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan

perwalian dalam Buku ke Satu BAB lima belas, mulai pengertian dari

Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 menerangkan bahwa yang

dikatakan belum dewasa itu adalah mereka yang masih belum

mencapai umur 21 tahun dan belum pernah menikah. 33

Walaupun

pernikahan mereka putus sebelum berusia 21 tahun maka mereka yang

telah menikah itu tetap dianggap sudah dewasa. Mereka yang belum

dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, maka berada

di bawah perwalian dengan ketentuan yang sudah diatur dalam

Undang-undang.

Perwalian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada

umumnya menganut asas tak dapat dibagi-bagi. Pada setiap perwalian

hanya ada satu orang wali saja (Pasal 331 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata).34

Dalam Pasal 345 dijelaskan apabila salah satu

orang tua dari anak yang belum dewasa itu meninggal maka perwalian

ada kepada orang tua yang masih hidup, kecuali apabila status

perwalian dicabut.

32

Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak 33

Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 34

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang dan Keluarga (Surabaya: Airlangga University

Press, 2008) h. 223

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

30

Pembahasan mengenai perwalian didalam Undang-Undang

No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada pada Pada Pasal 50-54,

dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 1 poin (h) dan Pasal 107-

112, selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003

Tentang Perlindungan Anak dibahas dalam Pasal 30-36, dan terakhir

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bab XV tentang

kebelumdewasaan dan perwalian ada pada Pasal 330-432.

Pasal 47 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menentukan,

bagi anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau

belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan

orang tuanya. Syaratnya asal orang tua itu tidak dicabut kekuasaannya.

Artinya orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan

hukum. Baik itu di dalam maupun di luar pengadilan.35

Dalam

menjalankan kekuasaannya itu sesuai Pasal 48 Undang-Undang No. 1

Tahun 1974, orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap yang dimilki anaknya itu, kecuali

apabila kepentingan anak itu menghendakinya.36

Orang tua baik kedua-duanya ataupun salah seorang di

antaranya dapat dicabut kekuasaannya terhadap anak untuk jangka

waktu tertentu. Permintaan pencabutan itu sesuai Pasal 49 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 dapat dimintakan oleh:

35

Pasal 47 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 36

Pasal 48 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

31

1) Orang tua yang lain.

Maksutnya apabila yang akan dicabut kekuasaannya itu adalah si

ayah, maka dapat dimohonkan oleh ibu. Demikian sebaliknya bila

kekuasaan yang dicabut itu adalah ibu, maka dapat dimohonkan

oleh ayah.

2) Keluarga anak dalam garis lurus ke atas.

Misalnya keluarga anak dalam garis lurus ke atas itu seperti kakek,

nenek dan selanjutnya.

3) Saudara kandung yang telah dewasa.

Kakak dari anak yang belum dewasa yang sudah memenuhi batas

usia dalam Undang-undang itu merupakan contoh dari saudara

kandung yang telah dewasa.

4) Pejabat yang berwenang dengan keputusan Pengadilan.37

Adapun alasan-alasan untuk itu adalah apabila orang tua

sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya, atau berkelakuan

buruk sekali. Akan tetapi meskipun orang tua itu sudah dicabut

kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban memberi baiaya

pemeliharaan kepada anaknya tersebut.

Anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun,

atau belum pernah kawin (Pasal 50 Undang-Undang No.1 Tahun

1974) yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, maka

37

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997) h. 91

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

32

berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak

bersangkutan maupun harta bendanya.38

Wali sebisa mungin diambil dari keluarga anak tersebut, atau

bisa juga orang lain. Syarat menjadi wali, haruslah orang yang sudah

dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Untuk itu

wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah

kekuasaannya. Ini dilakukan pada saat yang bersangkutan sudah

menjadi wali. Di samping itu wali juga wajib mencatat semua

perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu, karena

wali harus bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada

di bawah perwaliannya, dan wajib mengganti kerugian yang timbul

akibat kesalahan atau kelalaian.39

5. Usia Dewasa

a. Usia Dewasa dalam Fiqh (Ahliyah)

Dalam fiqh usia dewasa disebut dengan Ahliyah, yang

merupakan kemampuan seseorang untuk menerima kewajiban dan

menerima hak. Selanjutnya mengenai Ahliyah akan dijabarkan sebagai

berikut:

1) Pengertian Ahliyah

Dari sisi etimologi ahliyah berarti “kecakapan

menangani suatu urusan”. Misalnya, seseorang dikatakan ahli

38

Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 39

Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, h. 93

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

33

untuk menduduki suatu jabatan/posisi; berarti ia punya

kemampuan pribadi itu.

Secara terminologi, para ahli ushul fiqh mendefinisikan

ahliyah dengan:

ا لخطب تشريعي ارع في الشخص تجعله محل صالح رها الش صفة يقد

Suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan

ukuran oleh Syar’i untuk menentukan seseorang telah cakap

dikenai tuntutan syara’.

Maksudnya, ahliyah adalah sifat yang menunjukkan

seseorang itu telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga

seluruh tindakannya dapat dinilai oleh Syara’. Apabila seseorang

telah mempunyai sifat ini, maka ia dianggap telah sah melakukan

suatu tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat menerima

hak dari orang lain. Oleh sebab itu, jual belinya sah, hibahnya sah,

dan telah cakap untuk menerima tanggung jawab, seperti nikah,

nafkah, dan menjadi saksi. Sifat kecakapan bertindak hukum itu

datang kepada seseorang secara bertahap, sesuai dengan

perkembangan jasmani dan akalnya, tidak sekaligus. Oleh sebab

itu para ulama membagi ahliyah sesuai dengan tahapan jasmani

dan akalnya.40

2) Pembagian Ahliyah

a) Ahliyah Al Wujȗb

40

Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997) h. 308

Page 24: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

34

Ahliyah Al Wujȗb ialah kecakapan seseorang untuk

menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum

mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.41

Pada dasarnya,

seseorang merupakan makhluk Allah yang berjenis manusia,

semua orang yang sejak dilahirkan sampai wafatnya

dipandang cakap dalam melaksanakan kewajiban dan

menerima hak. Akan tetapi dalam perjalanan hidupnya,

manusia mengalami fase-fase pertumbuhan dan

perkembangan menuju tahap kesempurna an relatifnya

sebagai manusia. Oleh karena itu, menurut pandangan syara’,

sesuai dengan kenyataannya, kecakapan manusia

melaksanakan kewajiban dan menerima hak juga bertingkat-

tingkat. 42

Ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyah

al-Wujȗb adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi

oleh umur, baligh, kecerdasan, dan lain-lain. Sifat ini telah

dimiliki seseorang semenjak dilahirkan dan akan hilang dari

seseorang apabila orang tersebut meninggal dunia.

Berdasarkan Ahliyah Al-Wujȗb anak yang baru lahir berhak

menerima wasiat, dan berhak pula untuk menerima

pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh

dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali, karena anak

41

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) h. 341 42

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2011) h. 96

Page 25: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

35

tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan hak atau

menunaikan kewajiban. Dengan ini ulama membagi Ahliyah

Al-Wujȗb menjadi dua bagian,43

yaitu:

(1) Ahliyah Al-Wujȗb Al-Nâqishah (kecakapan

melaksanakan kewajiban secara tidak sempurna)

Ahliyah Al-Wujȗb Al-Nâqishah adalah anak

yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin).

Janin sudah dianggap memiliki Ahliyah Al-Wujȗb, tetapi

belum sempurna. Hak-hak yang harus ia terima belum

dapat menjadi miliknya, sebelum ia terlahir kedunia

dengan selamat. Dan apabila ia telah lahir, maka hak-hak

yang ia terima dapat menjadi miliknya.44

(2) Ahliyah al-Wujȗb al-kâmilah (kecakapan melaksanakan

kewajiban secara sempurna)

Pengertian Ahliyah Al-Wujȗb Al-Kâmilah yaitu

kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah

lahir ke dunia sampai dinyatakan balig dan berakal.

Dalam status Ahliyah Al-Wujȗb, seseorang tidak dibebani

tuntutan syara’, baik yang bersifat ibadah mahdlah,

maupun yang bersifat tindakan hukum duniawi.45

Namun

apabila mereka melakukan tindakan hukum yang dapat

43

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 341 44

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 341 45

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 342

Page 26: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

36

merugikan orang lain maka wajib

mempertanggungjawabkannya.

Apabila tindakannya berkaitan dengan harta,

maka wali wajib memberikan ganti rugi terhadap harta

orang yang telah dirusak dari harta anak itu sendiri.

Kemudia apabila tindakannya berkaitan dengan hal-hal

yang bersifat fisik seperti melukai seseorang, maka

tindakan hukum anak kecil yang memiliki Ahliyah Al-

Wujȗb Kâmilah belum bisa dipertanggungjawabkan

secara hukum. Karena ia dianggap belum cakap dalam

melakukan tindakan hukum. Maka hukuman tersebut

tidak bisa dilakukan dengan qishâsh, melainkan

dianggap perbuatan semisengaja, yang hukumannya

berupa diyât.46

b) Ahliyah Al Adâ’

Ahliyah Al Adâ’ merupakan kecakapan bertindak

secara hukum, maksutnya kepantasan seseorang untuk

dimintai pertanggungjawaban secara hukum, atas semua

perbuatannya, (baik aktif maupun pasif, gerak dan diam),

baik dalam bidang ibadah maupun muamalah sehingga semua

perbuatannya menimbulkan akibat hukum, baik yang

46

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 343

Page 27: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

37

menguntungkan maupun yang merugikan baginya.47

Ahliyah

merupakan kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang

telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan

seluruh perbuatannya.48

Apabila perbuatannya memenuhi

tuntutan syara’ maka ia berhak mendapat pahala, sebaliknya

apabila melanggar tuntutan syara’ maka ia dianggap berdosa

dan harus menerima konsekuensinya. Dengan kata lain ia

sudah dianggap cakap dalam menerima hak dan kewajiban.

Ukuran yang menjadi patokan seseorang dipandang

sebagai ahliyah al-Adâ’ atau memiliki kecakapan secara

sempurna apabila telah baligh, berakal dan bebas dari semua

yang menjadi penghalang dari kecakapan ini, seperti keadaan

tidur, gila, lupa, terpaksa dan lain-lain. Ukuran ini disepakati

ulama berdasarkan firman Allah dalam Surat An-Nisa’ Ayat

6, yaitu sebagi berikut:

....

6. dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup

umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu

47

Firdaus, Ushul Fiqih (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) h. 28 48

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 340

Page 28: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

38

mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka

serahkanlah kepada mereka harta-hartanya....

Kalimat “cukup umur” dalam ayat diatas, menurut

ulama ditunjukkan kepada seseorang yang sudah bermimpi

mengeluarkan mani untuk pria dan telah keluar darah haid

untuk wanita. Orang yang seperti itulah yang dianggap sudah

cakap untuk melakukan tindakan hukum. Sehingga sudah

mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan tindakan

hukum.49

Khusus berkaitan dengan harta, kewenangan dan

kecakapan seseorang dipandang sah selain telah baligh,

berakal, juga harus cerdas (rusyd).50

Pembagian Ahliyah Al-Adâ’ ada tiga tingkatan

(a) ‘Adim Al-Ahliyah (tidak memiliki kecakapan)

Yang dimaksud dengan ‘Adim Al-Ahliyah yaitu

seorang yang sama sekali tidak memiliki kecakapan

bertindak secara hukum. Mereka ini adalah seorang anak

yang masih berusia antara nol sampai dengan tujuh tahun.

Pada usia ini seseorang dipandang sama sekali belum

memiliki akal yang dapat mempertimbangkan

perbuatannya.51

49

Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, h. 340 50

Firdaus, Ushul Fiqih (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) h. 28 51

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. h. 99

Page 29: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

39

(b) Ahliyah al-Adâ’ al qâshirah (kecakapan bertindak tidak

sempurna)

Adapaun yang dimaksud dengan kecakapan ini ialah

mereka yang memiliki akal yang belum sempurna, yaitu

berusia antara tujuh tahun sampai sebelum berusia

dewasa, sebagian tindakannya telah dikenai hukum dan

sebagian lagi tidak dikenai hukum. Mereka belum

dianggap mukallaf. Namun semua ibadahnya dianggap

sah. Semua perbuatan yang pasti menguntungkan

baginya dipandang sah, meskipun tanpa persetujuan

walinya, contohnya seperti menrima hibah. Sebaliknya

semua perbuatannya yang pasti merugikan baginya,

dipangang batal demi hukum, seperti memberi hibah.

Akan tetapi, jika ia melakukan transaksi yang berpeluang

menimbulkan keuntungan atau kerugian maka

keabsahannya itu tergantung pada persetujuan wali.

Selanjutnya, apabila melakukan tindakan yang

merugikan, maka tidak dapat dijatuhi hukuman badan,

melainkan dijatuhi hukuman ganti rugi yang diambil dari

hartanya atau harta orang tuanya.

(c) Ahliyah al-Adâ’ al-Kâmilah (kecakapan bertindak secara

sempurna)

Page 30: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

40

Kecekapan seperti ini adalah kecakapan yang dilakukan

oleh seseorang yang telah memiliki akal yang sempurna,

yaitu yang telah mencapai usia dewasa, sehingga

dipandang mukallaf. 52

Dari penjelasan diatas dapat diketahui, bahwa semua manusia

memiliki kecakapan hukum untuk dikenakan kewajiban dan diberi

hak. Tetapi tidak semua manusia dipandang cakap untuk bertindak

secara hukum. Seseorang baru dipandang cakap bertindak secara

hukum, apabila seseorang telah mencapai kedewasaan dari segi usia

dan akalnya. Dalam keadaan seperti ini barulah seseorang dapat

disebut sebagai mukallaf.53

b. Usia Dewasa dalam Perundang-undangan di Indonesia

Usia dalam hukum perdata memegang peranan penting,

karena ia dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak. Ada banyak

tindakan-tindakan tertentu atau berlakunya hukum tertentu yang

mensyaratkan telah tercapainya umur tertentu. Jika unsur usia

dikaitkan dengan kecakapan bertindak, maka syarat umur bisa

dikaitkan dengan tindakan hukum pada umumnya.54

Selain itu, hukum

berangkat dari asas bahwa manusia di dalam pergaulan hidup bebas

untuk menyelenggarakan atau mengatur kepentingan hidupnya.

Karena manusia memiliki kewenangan hukum, bebas untuk mengatur

hidupnya, dan bebas menggunakan hak-haknya, maka setiap manusia

52

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. h. 99 53

Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh. h. 100 54

J. Satrio, Hukum Pribadi Bagian I Persoon Alamiah, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999) h. 49

Page 31: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

41

dalam hukum perlu diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan

hukum yang disebut dengan kecakapan bertindak.

Tindakan hukum adalah tindakan-tindakan yang

menimbulkan akibat hukum dan akibat hukum itu dikehendaki atau

dianggap dikehendaki oleh orang yang melakukan tindakan hukum

tersebut.55

Agar suatu tindakan menimbulkan suatu akibat hukum

yang sempurna, maka orang yang bertindak pada saat tindakan

dilakukan harus mempunyai kematangan berfikir, yang secara normal

mampu menyadari sepenuhnya tindakannya dan akibat dari

tindakannya. Orang yang secara normal mampu menyadari tindakan

dan akibat dari tindakannya itu disebut dengan kecakapan bertindak.56

Dari penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa umur

memegang peranan yang penting untuk lahirnya hak-hak tertentu.

Dengan kata lain, untuk berlakuknya ketentuan-ketentuan hukum

tertentu, ada kalanya harus dipenuhi unsur kedewasaan dan

kebelumdewasaan, yang semua itu pada akhirnya akan berpatokan

kepada umur tertentu.

Undang-Undang di Indonesia berbeda-beda dalam

menyebutkan batasan usia orang dikatakan dewasa, dengan

banyaknya yang melatarbelakangi Undang-Undang tersebut maka

memungkinkan adanya perbedaan dalam batasan usia dewasa.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkwainan dalam Pasal

55

Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur (Kecakapan dan

Kewenangan Bertindak Berdasa Batasan Umur), (Jakarta: PT. Gramedia, 2010) h. 8 56

J. Satrio, Hukum Pribadi, h. 55

Page 32: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

42

47 dan Pasal 50 yang bisa disimpulkan bahwa Undang-Undang

perkawinan berpegang pada patokan usia dewasa adalah 18 tahun.

Karena kekuasaan orang tua dan perwalian kepada anak belum

dewasa, berakhir pada saat anak mencapai usia 18 tahun atau setelah

menikah maka dengan demikian menurut Undang-Undang

Perkawinan orang yang sudah mencapai umur genap 18 tahun telah

dewasa, dengan konsekuensi telah cakap untuk bertindak hukum.57

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membahas tentang

kedewasaan dikaitkan dengan usia. Orang yang telah mencapai usia

genap 21 tahun atau telah menikah sebelum mencapai usia itu

dianggap sudah dewasa. Karena kedewasaan dikaitkan dengan

kecakapan melakukan tindakan hukum, maka pembuat undang-

undang berangkat dari anggapan bahwa mereka yang telah mencapai

usia genap 21 tahun atau telah menikah sudah dapat merumuskan

kehendaknya dengan benar dan sudah dapat menyadari akibat hukum

dari perbuatannya, dan sejak itu mereka dianggap sudah cakap untuk

bertindak hukum. Namun karena anggapan seperti itu tidak selalu

sesuai dengan kenyataan, maksutnya seseorang yang sudah berusia 21

tahun terkadang masih ada yang belum bisa merumuskan

kehendaknya dengan benar, dan belum bisa mengukur akibat hukum

dari perbuatannya, maka demi kepastian hukum ditetapkan ukuran

seseorang dianggap cakap hukum adalah seseorang yang sudah

57

Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum, h. 13

Page 33: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

43

berusia 21 tahun.58

Ketentuan tersebut sesuai dengan Pasal 330 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata.

Banyak peraturan yang membicarakan tentang usia dewasa

yang berhubungan dengan kemampuan untuk bertindak/kecakapan

hukum, berikut tabelnya;

Peraturan Kemampuan untuk

bertindak/kecakapan

Kedewasaa

n

Keterangan

Hukum

Perdata (BW)

Umur 21 tahun atau

sudah menikah (Pasal

330)

Umur 21

tahun

Undang-

Undang No. 1

Tahun 1974

tentang

Perkawinan

Perempuan 16 tahun,

pria 19 tahun (Pasal 7

ayat 1)

Tidak

mengatur

Ketentuan

tersebut hanya

menyatakan

umur minimal

untuk menikah,

bukan

kedewasaan

Undang-

Undang

No.23 Tahun

2002 tentang

Perlindungan

Anak

Tidak mengatur 18 tahun

(Pasal 1

ayat 1)

Ditafsirkan dari

pengertian anak,

namun untuk

batasan umur

dewasa tidak

secara tegas

dinyatakan.

Undang-

Undang

No.39 Tahun

1999 tentang

Hak Asasi

Manusia

Tidak mengatur 18 Tahun

(Pasal 1

Angka 5)

Ditafsirkan dari

pengertian anak,

namun untuk

batasan umur

dewasa tidak

secara tegas

dinyatakan.

Undang-

Undang

No.27 Tahun

1948 tentang

DPR

18 Tahun (Pasal 3

Ayat 1 huruf b)

Tidak

mengatur

Tidak secara

tegas

menyatakan

kedewasaan,

hanya mengatur

kewenangan

untuk bertindak.

58

Ade Maman Suherman, Penjelasan Hukum, h. 10

Page 34: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

44

Undang-

Undang No.

19 Tahun

1955 tentang

Pemilihan

Anggota

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah

18 tahun/sudah kawin

(Pasal 2)

Tidak

mengatur

Undang-

Undang No. 7

Tahun 1953

tentang

Pemilihan

Anggota

Konstituante

dan Anggota

Dewan

Perwakilan

Rakyat

18 Tahun/sudah

kawin (Pasal 1 ayat 1)

Tidak

mengatur

Tidak secara

tegas dinyatakan

Undang-

Undang No.

29 Tahun

1954 tentang

Pertahanan

Negara

Republik

Indonesia

umur 18 tahun (Pasal

8)

Tidak

mengatur

Undang-

Undang No.

66 Tahun

1958 tentang

Wajib Militer

18 tahun/sudah kawin

(Pasal 2 ayat 1)

Tidak

mengatur

Undang-

Undang

Republik

Indonesia No.

21 Tahun

2007 tentang

Pemberantasa

n Tindak

Pidana

Perdagangan

Orang

Tidak mengatur

mengenai

kecakapan/kewenanga

n untuk bertindak

Lebih dari

18 tahun

(Pasal 1

Angka 5)

Ditafsirkan dari

pengertian anak,

namun demikian

batas usia

dewasa tidak

secara tegas

dinyatakan.

Undang- 17 tahun atau sudah Tidak Menyatakan

Page 35: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

45

Undang

Republik

Indonesia No.

2 tentang

Partai Politik

pernah kawin (Pasal

14)

mengatur diperbolehkanny

a menjadi

anggota politik,

namun tidak

menyatakan

bahwa itu

otomatis dewasa

Undang-

Undang

Republik

Indonesia

No.10 Tahun

2008 tentang

Pemilihan

Umum

Anggota

Dewan

Perwakilan

Rakyat,

Dewan

Perwakilan

Daerah, dan

Dewan

Perwakilan

Rakyat

Daerah.

17 tahun atau sudah

pernah kawin

Tidak

mengatur

Menyatakan

diperbolehkanny

a untuk memilih

dalam pemilu

suatu partai

politik, namun

tidak

menyatakan

bahwa itu

otomatis

dewasa.

Dari tabel diatas bisa diketahui berbagai macam batasan

umur dan kecakapan/kewenangan seseorang dalam melakukan

tindakan hukum. Diamana ada 12 peraturan semuanya, ada yang

hanya menyebutkan kecakapan/kewenangan, ada juga yang hanya

menyebutkan tentang usia dewasa, dan ada juga yang menyebutkan

keduanya yaitu menyebutkan kecakapan/kewenangan bertindak serta

menyebutkan usia dewasa sekaligus.

Page 36: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

46

6. Jual Beli

a. Jual Beli

Dalam pergaulan masyarakat yang senantiasa berkembang

telah berkembang pula berbagai macam bentuk hubungan antar

manusia. Guna memenuhi kebutuhan hidup manusia yang beraneka

ragam, maka terjadi pula perbuatan-perbuatan hukum antar manusia

tersebut, diantaranya perbuatan jual beli, sewa menyewa, perjanjian

untuk melakukan pekerjaan, hingga yang sekarang marak seperti

waralaba.

Jual beli merupakan perbuatan hukum yang paling banyak

berlangsung di masyarakat, terjadi di pasar tradisional, toko-toko, mall,

sampai dengan transaksi jual beli yang dilakukan secara online dengan

aneka macam tawaran. Jenis barang yang diperjual belikan pun sangat

beragam, sembilan bahan pokok, sandang, barang-barang elektronik,

sampai dengan tanah dan bangunan dapat menjadi objek jual beli.

Banyak berbagai definis mengenai jual beli, seperti dalam

fiqih jual beli itu berarti pertukaran sesuatu dengan sesuatu.59

Secara

etimologi jual beli diartikan:

ئ يء بالش مقاب لة الش

Artinya: “Pertukaran sesuatu dengan sesuatu (yang lain)”60

Secara terminologi fiqh mengartikan jual beli adalah menukar

barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan

59

Dimyati Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008) h. 69 60

Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001) h. 73

Page 37: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

47

melepaskan hak milik dari yang satu kepada yang lain atas dasar

merelakan.61

Secara umum jual beli menurut fiqh adalah suatu

perjanjian tukar-menukar benda atau barang yang antara kedua belah

pihak suka rela untuk melakukannya, yang satu menerima benda dan

pihak lain menerima uang atau benda lain sesuai dengan perjanjian

atau kesepakatan.

Kitab Undang-undang Hukum Perdata membahas tentang

jual beli dalam BAB Kelima tentang Jual beli. Dalam Pasal 1457

disebutkan bahwa; “ jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu

kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah

dijanjikan”. 62

Maksud dalam Pasal 1457 ini bahwa jual beli itu adalah

suatu perjanjian timbal balik antara dua pihak, yang mana pihak satu

merupakan penjual yang berjanji untuk menyerahkan hak milik atas

suatu barang, sedang pihak yang lainnya merupakan pembeli yang

berjanji untuk membayar harga yang sudah menjadi kesepakatan.

Ketentuan jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah

pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang

akan diperjualbelikan maupun sepakat mengenai harga. Pada saat

terjadi kesepakatan belumlah terjadi peralihan hak milik apabila

belum dilakukan. Penyerahan barang yang menjadi objek jual beli

menentukan telah terjadinya peralihan hak milik atas barang yang

61

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013) h.67 62

Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Page 38: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

48

menjadi objek jual beli.63

Pada saat ini adanya peralihan hak secara

juridis sangat penting bagi berbagai pihak. Dengan adanya peralihan

secara juridis anggota masyarakat dapat mengetahui telah terjadinya

peralihan hak milik atas barang yang menjadi objek jual beli secara

sah, anggota masyarakat pun mengetahui pemilik baru dari barang

yang menjadi objek jual beli. Pada saat ini peralihan secara juridis

seperti dibuatnya bukti tertulis yang berupa akta jual beli. Sehingga

bukti tertulis tersebut bisa menjadi alat pembuktian atas terjadinya

peralihan hak atas barang yang menjadi objek jual beli.

Barang yang menjadi obyek perjanjian jual beli harus ada

cakupan tertentu, setidaknya dapat ditentukan wujud dan jumlahnya

pada saat ia akan melakukan transaksi jual beli. Unsur pokok dalam

perjanjian jual beli adalah barang dan harga. Sesuai dengan asas

konsensualisme perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik

tercapainya sepakat mengenai barang dan harta. Begitu kedua belah

sudah sepakat tentang barang dan harta, maka terjadilah jual beli.64

Konsensualisme berasal dari kata konsensus yang berarti

kesepakatan.65

Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara

pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu kesesuaian kehendak,

dalam artian; apa yang dikehendaki oleh pihak penjual juga

dikehendaki oleh pihak pembeli.

63

Sahat H.M.T. Sinaga, Jual Beli Tanah dan Pencatatan Peralihan Hak, (Bandung: Pustaka Sutra,

2007) h. 14 64

R. Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995) h. 2 65

R. Subekti, Aneka Perjanjian, h. 3

Page 39: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

49

b. Jual Beli Tanah

Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) pada tanggal 24 September 1960 jual beli dalam Undang-

Undang Pokok Agraria (UUPA) disebutkan dalam Pasal 26. Dalam

Pasal-pasal lainnya tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi

disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas

tanah kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar-menukar, dan

hibah wasiat. Jadi, meskipun dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan,

termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas

tanah karena jual beli.66

Meskipun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak

mengatur secara khusus mengenai jual beli, dapat dipahami pengertian

jual beli tanah dalam hukum tanah nasional adalah jual beli tanah

dalam pengertian Hukum Adat, mengingat Hukum Agraria yang

berlaku adalah hukum adat. Sebagaimana hal tersebut termuat dalam

Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang berbunyi:

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah

hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan

sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum

dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya,

66

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya,(Jakarta: Sinar Grafika, 2007) h.

76

Page 40: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

50

segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar

pada hukum agama”.67

Dengan adanya Pasal 5 dalam Undang-Undang

Pokok Agraria (UUPA) disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional

kita adalah Hukum Adat, berarti kita menggunakan konsepsi, asas-

asas, lembaga hukum, dan sistem Hukum Adat. 68

Pengertian jual beli menurut Hukum Adat adalah perbuatan

hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan penjual

menerima pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian (yang

sepenuhnya atau sebagiannya dibayar tunai).69

Pengertian lain dari

jual beli tanah menurut Hukum Adat yaitu perbuatan penyerahan hak,

yang sifatnya tunai, riil dan terang.70

Dalam masyarakat hukum adat

jual beli tanah dilaksanakan secara terang dan tunai. Terang berarti

perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan

dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa atau kini dihadapan Pejabar

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Tunai berarti adanya

dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan

hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli dari penjual kepada

pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi

bersamaan.71

67

Pasal 5 Undang-undang Republik Indonesia No. 05 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria. 68

Adrian Sutedi, Peralihan Hak, h. 76 69

Sahat H.M.T. Sinaga, Jual Beli Tanah, h. 18 70

Adrian Sutedi, Peralihan Hak, h. 77 71

Sahat H.M.T. Sinaga, Jual Beli Tanah, h. 19

Page 41: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

51

Jual beli yang sudah terjadi secara terang dan tunai tersebut

dibuatlah “Surat Jual Beli Tanah” yang ditandatangi oleh pihak

penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh Kepala Desa, yang

berfungsi untuk menjamin kebenaran tentang status tanah, pemegang

hak, keabsahan bahwa jual beli tersebut sudah dilaksanakan dengan

hukum yang berlaku. Dibuatnya “Surat Jual Beli Tanah” ini sebagai

bukti telah terjadinya jual beli dan adanya pula pemindahan hak atas

tanah yang menjadi obyek jual beli tersebut.

Sejak berlakunya PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah, jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT yang

bertugas membuat aktanya. Dengan dilakukannya jual beli di hadapan

PPAT, dipenuhi syarat ternag. Akta jual beli yang ditandatangani para

pihak membuktikan telah terjadi pemindahan hak dari penjual kepada

pembelinya dengan disertai pembayaran harganya, telah memenuhi

syarat tunai dan menunjukkan bahwa secara nyata atau riil perbuatan

hukum jual beli yang bersangkutan telah di laksanakan.

Syarat jual beli tanah ada dua, yaitu syarat materiil dan syarat

formiil;72

1) Syarat Materiil

Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli

tanah tersebut, antara lain sebagai berikut;

a) Pemberli berhak membeli tanah yang bersangkutan

72

Adrian Sutedi, Peralihan Hak, h. 77-78

Page 42: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

52

b) Penjual berhak menjal tanah yang bersangkutan

c) Tanah hak yang bersangkutan boleh diperjualbelikan dan

tidak sedang dalam sengketa.

2) Syarat Formiil

Setelah semua akta materiil sudah terpenuhi maka

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) akan membuat akta jual beli

menurut Pasal 37 PP No 24 Tahun 1997 harus dibuat oleh

PPAT.73

Sebelum akta jual beli dibuat oleh PPAT, maka

disyaratkan bagi para pihak untuk menyerahkan surat-surat yang

diperlukan kepada PPAT, yaitu:

a) Jika tanahnya sudah bersertifikat: sertifikat tanahnya yang

asli dan tanda bukti pembayaran biaya pendaftaran.

b) Jika tanahnya belum bersertifikat: surat keterangan bahwa

tanah tersebut belum bersertifikat, surat-surat tanah yang ada

yang memerlukan penguatan oleh Kepala Desa dan Camat,

dilengkapi dengan surat-surat yang membuktikan identitas

penjual dan pembelinya yang diperlukan untuk

persertifikatan tanahnya setelah selesai dilakukan jual beli.

Setelah akta dibuat, selambat-lambatnya 7 hari kerja

sejak akta tersebut ditandatangani, PPAT menyerahkan akta

tersebut kepada kantor pendaftaran tanah untuk pendaftaran

73

Pasal 37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah

Page 43: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

53

pemindahan haknya sesuai dengan Pasal 40 PP No. 24 Tahun

1997.74

Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak

terdapat ketentuan mengenai status bangunan atau rumah yang

berdiri diatas tanah, karena berdasarkan asas pemisahan

horizontal dimungkinkan pemilikan dan peralihan benda-benda di

atas tanah itu terlepas dari tanahnya. Oleh karena itu pelaksanaan

jual beli tanah berikut rumah atau bangunan harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:75

a) Bahwa bangunan tersebut menurut sifatnya menjadi satu

kesatuan dengan tanahnya;

b) Bahwa pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, pemilik

bangunan tersebut;

c) Dalam akta jual belinya disebutkan secara tegas bahwa obyek

jual belinya adalah tanah berikut rumah atau bangunannya.

c. Jual Beli Tanah Waris

Pada dasarnya jual beli tanah waris itu sama dengan jual beli

tanah biasa. Hanya saja pada penjualan tanah waris harus ada

menyertakan penetapan ahli waris. Di pembahasan sebelumnya sudah

disebutkan bahwa ada dua klasifikasi jual beli tanah, yaitu jual beli

tanah bersertifikat dan jual beli tanah belum bersertifikat. Adapun

74

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas, h. 79 75

Sahat H.M.T. Sinaga, Jual Beli Tanah, h. 22

Page 44: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

54

tahap-tahap dalam persiapan jual beli tanah warisan bersertifikat

adalah sebagai berikut:

Jual beli tanah yang sudah bersertifikat sebaiknya meminta

terlebih dahulu Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang

menentukan status tanah dari tanah yang akan diperjualbelikan pada

kantor Agraria tersebut yang bertujuan untuk mengetahui dengan pasti

apakah data yang tercantum dalam fotokopi sertifikat yang diterima

calon penjual sama dengan SKPT yang diminta dari Kantor Agraria,

dan hal ini juga untuk mengetahui siapakan yang berhak atas tanah

yang disebut sebagai subjek hukum, dimana lokasi dan luasnya

sebagai objek hukum, mengetahui status hukumnya dari siapa dan

dipindahkan pada siapa, untuk mengetahui apakah tanah tersebut

dipakai sebagai jaminan hutang atau tidak. Apabila pemilik dari tanah

tersebut telah meninggal dunia berarti pemiliknya adalah para ahli

waris. Maka harus ada balik nama kepemilikan pada pihak ahli

warisnya.

Sedangkan jual beli tanah yang belum bersertifikat untuk

melakukan pelepasan haknya maka harus diketahui dengan pasti

bahwa hak seseorang atau badan hukum benar-benar melekat atas

suatu bidang tanah yang harus dilengkapi dengan surat keterangan

dari Kepala Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan dikuatkan oleh

Camat disertai surat-surat pajak.

Page 45: TINJAUAN PUSTAKA - etheses.uin-malang.ac.idetheses.uin-malang.ac.id/186/6/11210100 Bab 2.pdf · transaksi jual beli atas anaknya yang masih di bawah umur. Dalam hal ini, Dalam hal

55

Dalam transaksi jual beli tanah yang bersertifikat, Pejabat

Pembuat Akta Tanah akan meminta dokumen-dokumen sebagai

berikut yang harus dilengkapi, yaitu;

1) Surat permohonan pendaftaran tanah.

2) Sertifikat asli tanah yang bersangkutan, berkaitan dengan keaslian

sertifikat ini maka harus dilakukan pengecekan ke Kantor

Pertanahan.

3) Foto Copy bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.

4) Foto Copy KTP penjual dan pembeli.

5) Foto Copy Kartu Keluarga.

6) Surat/Akta pernikahan bagi yang sudah menikah.

7) Surat persetujuan suami/isteri apabila salah satu tidak hadir.

8) Surat Keterangan ahli waris. Jika tanah merupakan tanah warisan

yang belum dibagi.

9) Izin mendirikan bangunan jika di atas tanah berdiri sebuah

bangunan.76

Syarat-syarat yang harus dilengkapi untuk jual beli tanah

yang belum bersertifikat hampir sama dengan syarat-syarat jual beli

tanah yang sudah bersertifikat. yaitu;

1) Surat permohonan konversi, format dari surat permohonan ini

sudah ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional yang berisi

permohonan kepada Kepala Kantor Pertanahan

2) Foto Copy KTP penjual dan pembeli, dengan melampirkan

identitas lengkap, serta identitas wali jika penjual belum atau

tidak cakap hukum, persetujuan dari pihak istri/suami jika penjual

sudah menikah.

3) Foto Copy pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan untuk tanah

yang diperjualbelikan tersebut.

4) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang menyatakan

bahwa hak atas tanah itu belum disertifikatkan atau sertifikat

sementara.

5) Surat tanda bukti hak atas tanah, yang dikeluarkan oleh Kepala

Desa yang dikuatkan oleh Camat.77

76

Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011) h. 81 77

Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria h. 82