Tinjauan Pustaka b. Bassiana

download Tinjauan Pustaka b. Bassiana

of 26

description

Tinjauan Pustaka b. Bassiana-tinjauan, pustaka, beuveria, bassiana, padi, oryza, sativa

Transcript of Tinjauan Pustaka b. Bassiana

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangSerangan hama merupakan salah satu faktor pembatas untuk peningkatkan produksi pertanian yang dalam kasus ini adalah pemeliharaan trembesi. Untuk megendalikan hama seringkali digunakan pestisida kimia dengan dosis yang berlebih. Padahal akumulasi senyawa-senyawa kimia berbahaya dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Ditengah maraknya budidaya pertanian organik, maka upaya pengendalian hama yang aman bagi produsen/petani dan konsumen serta menguntungkan petani, menjadi prioritas utama.Adanya kekhawatiran akan pengaruh negatif tentang pemakaian agrokhemikal telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai alternative teknologi untuk menurunkan populasi hama. Salah satu alternatif pengendalian adalah pemanfaatan jamur penyebab penyakit pada serangga (bioinsectisida), yaitu jamur patogen serangga Beauveria bassiana.

Di Indonesia, hasil-hasil penelitian B. bassiana juga telah banyak dipublikasikan, terutama dari tanaman pangan untuk mengendalikan serangga hama kedelai (Riptortus linearis dan Spodoptera litura), walang sangit pada padi (Leptocoriza acuta) (Prayogo, 2006), Plutella xylostella pada sayursayuran (Hardiyanti, 2006), hama bubuk buah kopi Helopeltis antoni, dan penggerek buah kakao Hypothenemus hampei (Sudarmadji dan Prayogo, dalam Prayogo, 2006).Saat ini produk bioinsektisida berbahan aktif B. bassiana telah tersedia secara komersial di Indonesia. Meskipun demikian, tampaknya pemanfaatannya di lapang khususnya untuk tanaman perkebunan belum optimal. Padahal,lingkungan mikro tanaman perkebunan sangat ideal bagi perkembangan epizootik cendawan-cendawan entomopatogen, termasuk B. bassiana. Keberlangsungan epizootik cendawan sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban lingkungan, dan kriteria ini dapat ditemukan pada tanaman-tanaman perkebunan yang banyak diusahakan di Indonesia. Disamping itu, pemanfaatan cendawan ini dan patogen serangga secara umum dalam pengendalian hama berpotensi memberi keuntungan ekologis jangka panjang terhadap keseimbangan hayati maupun keberlanjutan sistem pertanian.

Menurut klasifikasinya, B. bassiana termasuk klas Hypomycetes, ordo Hypocreales dari famili Clavicipitaceae (Hughes, 1971). Cendawan entomopatogen penyebab penyakit pada serangga ini pertama kali ditemukan oleh Agostino bassi di Beauce, Perancis. (Steinhaus, 1975) yang kemudian mengujinya pada ulat sutera (Bombyx mori). Ulat jengkal (Plusia chalcites) menyerang daun muda maupun tua. Ulat ini juga menyerang pucuk tanaman dan polong muda. Daun pada mulanya tampak berlubang-lubang tidak beraturan. Pada tahap selanjutnya, tinggal tersisa tulang-tulang daun saja. Pada tingkat berat, daun akan habis sehingga menimbulkan kerugian cukup besar. Maka dari itu dibutuhkan adanya pengendalian terhadap serangan yang ditimbulkan ulat jengkal tersebut pada tanaman terembesi. Tanaman Trembesi itu sendiri merupakan tumbuhanpohonbesar, tinggi, dengan tajuk yang sangat melebar. Tumbuhan ini pernah populer sebagai tumbuhan peneduh. Pohon ini mempunyai beberapa julukan nama seperti Saman, Pohon Hujan dan Monkey Pod, dan ditempatkan dalam genus Albizia.Perakarannya yang sangat meluas membuatnya kurang populer karena dapat merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Namanya berasal dari air yang sering menetes dari tajuknya karena kemampuannya menyerap air tanah yang kuat serta kotoran daritonggeretyang tinggal di pohon (Duke and Wain, 1981).Berdasarkan penelitian Hartwell (1967-1971) di Venezuela, akar Rain Tree dapat digunakan sebagai obat tambahan saat mandi air hangat untuk mencegah kanker. Ekstrak daun Rain Tree dapat menghambat pertumbuhan mikrobakterium Tuberculosis (Perry, 1980) yang dapat menyebabkan sakit perut. Rain Tree juga dapat digunakan sebagai obat flu, sakit kepala dan penyakit usus (Duke and Wain, 1981)Beauveria bassiana sebagai Entomopatogen yang dapat dijadikan untuk mengendalikan Ulat Jengkal pada tanaman Trembesi. Beauveria bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30C, kelembapan tanah yang berkurang dan adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya. Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga Ulat mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, ulat akan mati. Ulat yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.

Dalam infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih. Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala dengan toraks atau di antara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut

Ulat yang telah terinfeksi B.bassiana selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi. Jalur ini dinamakan transmisi horizontal patogen (inter/intra generasi).1.2.Tujuan Praktikum

Adapun Tujuan dari kegiatan praktikum adalah untuk mengetahui Pengaruh Kematian Ulat Jengkal (Plusia chalcites) dengan pemberian Entomopatogen Beauvaria bassiana pada Tanaman Trembesi dan cara pengendaliannya.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trembesi

Ki hujan,pohon hujan, atautrembesi(Albizia saman(Jacq.) Merr. sinonimSamanea saman(Jacq.) Merr.) merupakan tumbuhanpohonbesar, tinggi, dengan tajuk yang sangat melebar. Tumbuhan ini pernah populer sebagai tumbuhan peneduh. Pohon ini mempunyai beberapa julukan nama seperti Saman, Pohon Hujan dan Monkey Pod, dan ditempatkan dalam genus Albizia.[1]Perakarannya yang sangat meluas membuatnya kurang populer karena dapat merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Namanya berasal dari air yang sering menetes dari tajuknya karena kemampuannya menyerap air tanah yang kuat serta kotoran daritonggeretyang tinggal di pohon (Duke and Wain, 1981).Klasifikasi ilmiah Trembesi ;

Kerajaan

: PlantaeDivisi

: MagnoliophytaKelas

: MagnoliopsidaOrdo

: FabalesFamili

: FabaceaeUpafamili

: MimosoideaeGenus

: AlbiziaSpesies

: Albizia samanNama binomial: Albizia saman (Jacq.) Merr.Albizia Saman adalah spesies pohon berbunga dalam keluarga kacang polong. Tumbuhan ini berasal dari Amerika tropik namun sekarang tersebar di seluruh daerah tropika. Albizia Saman dapat mencapai ketinggian rata-rata 30 - 40 m,lingkar pohon sekitar 4,5 m dan mahkota pohon mencapai 40 - 60 m. Bentuk batangnya tidak beraturan kadang bengkok, menggelembung besar. Daunnya majemuk mempunyai panjang tangkai sekitar 7-15 cm (Duke and Wain, 1981).Daunnya melipat pada cuaca hujan dan di malam hari, sehingga pohon ini juga di namakan Pohon pukul 5. Kulit pohon hujan ini berwarna abu-abu kecokelatan pada pohon muda yang masih halus. Sedangkan lebar daunnya sekitar 4-5 cm berwarna hijau tua, pada permukaan daun bagian bawah memiliki beludru, kalau di pegang terasa lembut (Duke and Wain, 1981).Pohon hujan berbunga pada bulan Mei dan juni. Bunga berwarna putih dan bercak merah muda pada bagian bulu atasnya. Panjang bunga mencapai 10 cm dari pangkala bunga hingga ujung bulu bunga. Tabung mahkota berukuran 3,7 cm dan memiliki kurang lebih 20-30 benang sari yang panjangnya sekitar 3-5 cm. Bunga menghasilkannektaruntuk menarik seranga guna berlangsungya penyerbukan (Perry, 1980). Buah pohon hujan bentuknya panjang lurus agak melengkung, mempunyai panjang sekitar 10-20 cm, mempunyai lebar 1,5 - 2 cm dan tebal sekitar 0,6 cm. Buahnya berwarna cokelat kehitam-hitaman ketika buah tersebut masak. Bijinya tertanam dalam daging berwarna cokelat kemerahan sangat lengket dan manis berisi sekitar 5 - 25 biji dengan panjang 1,3 cm.

Berdasarkan penelitian Hartwell (1967-1971) di Venezuela, akar Rain Tree dapat digunakan sebagai obat tambahan saat mandi air hangat untuk mencegah kanker. Ekstrak daun Rain Tree dapat menghambat pertumbuhan mikrobakterium Tuberculosis (Perry, 1980) yang dapat menyebabkan sakit perut. Rain Tree juga dapat digunakan sebagai obat flu, sakit kepala dan penyakit usus (Duke and Wain, 1981).2.2. Beauveria bassianaCendawan B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselia dan konidia (spora) yang dihasilkan berwarna putih. Bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiopornya. Cendawan ini memiliki kisaran inang serangga yang sangat luas, meliputi ordo Lepidoptera, Coleoptera, dan Hemiptera. Selain itu, infeksinya juga sering ditemukan pada serangga-serangga Diptera maupun Hymenoptera (McCoy et al., 1988). Serangga inang utama B. bassiana yang dilaporkan oleh Plate (1976) antara lain: kutu pengisap (aphid), kutu putih (whitefly), belalang, hama pengisap, lalat, kumbang, ulat, thrips, tungau, dan beberapa spesies uret. Sedangkan habitat tanamannya mulai tanaman kedelai, sayur-sayuran, kapas, jeruk, buah-buahan, tanaman hias, hingga tanaman-tanaman hutan. Mekanisme infeksi dimulai dari melekatnya konidia pada kutikula serangga, kemudian berkecambah dan tumbuh di dalam tubuh inangnya. Hunt et al. (1984) menyatakan bahwa perkecambahan konidia cendawan baik pada integumen serangga maupun pada media buatan umumnya membutuhkan nutrisi tertentu, seperti glukosa, glukosamin, khitin, tepung, dan nitrogen, terutama untuk pertumbuhan hifa (Thomas et al., 1987). Kingdom : Fungi

Filim

: Ascomycota

Kelas

: Sordariomycetes

Ordo

: Hypocreales

Famili

: Clavicipitaceae

Genus

: Beauveria Spesies : B. bassiana

Beberapa strain isolat B.bassiana yang dikoleksi saat ini adalah berasal dari berbagai spesies serangga hama yang merupakan inang spesifiknya. Semua isolat telah diuji di aboratorium pada ulat H.armigera dan ternyata dua diantaranya menunjukkan virulensi tinggi .B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kuera dan Samikov, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus serangga, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada serangga yang terinfeksi. Selain secara kontak, B. bassiana juga dapat menginfeksi serangga melalui inokulasi atau kontaminasi pakan. Broome et al. (1976) menyatakan bahwa 37% dari konidia B. bassiana yang dicampurkan ke dalam pakan semut api, Selenopsis richteri, berkecambah di dalam saluran pencernaan inangnya dalam waktu 72 jam, sedangkan hifanya mampu menembus dinding usus antara 60-72 jam. Di dalam tubuh inangnya cendawan ini dengan cepat memperbanyak diri hingga seluruh jaringan serangga terinfeksi. Serangga yang telah terinfeksi B. bassiana biasanya akan berhenti makan, sehingga menjadi lemah, dan kematiannya bisa lebih cepat. Serangga yang mati tidak selalu disertai gejala pertumbuhan spora. Contohnya, aphid yang terinfeksi B.bassiana hanya mengalami pembengkakan tanpa terjadi perubahan warna. Demikian pula tempayak lalat yang terinfeksi B. bassiana sering ditemukan secara berkelompok pada ujung-ujung rerumputan (Plate, 1976).Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Ulat yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu serangga ditentukan oleh besar kecilnya ukuran serangga tersebut. Setiap serangga terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi serangga sehat di sekitarnya. Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi serangga hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh Ulat menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi ulat hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.

Faktor lingkungan, terutama kelembaban dan temperatur serta sedikit cahaya sangat penting perannya dalam proses infeksi dan sporulasi cendawan entomopatogen (Roberts dan Campbell, 1977; McCoy et al., 1988). Temperatur optimum untuk perkembangan, patogenisitas, dan kelulusan hidup cendawan umumnya antara 20-30C (McCoy et al., 1988). Untuk perkecambahan konidia dan sporulasi pada permukaan tubuh serangga dibutuhkan kelembaban sangat tinggi (> 90% RH), terutama kelembaban di lingkungan mikro sekitar konidia sangat penting perannya dalam proses perkecambahan dan produksi konidia (Millstein et al., 1983; Nordin et al., 1983). Tetapi sebaliknya untuk melepaskan konidia B. bassiana dari konidifor hanya dibutuhkan kelembaban sekitar 50% (Gottwald dan Tedders, 1982).

Meskipun pengaruh cahaya terhadap infeksi cendawan belum diketahui secara jelas, tetapi intensitas sinar ultraviolet tertentu dapat merusak konidia cendawan (Callaghan, 1969). Fuxa (1987) menyatakan bahwa intensitas cahaya matahari dengan rata-rata panjang gelombang antara 290-400 nm cukup efektif menurunkan persistensi deposit konidia pada pertanaman. Sementara Ignoffo et al. (1977) mengemukakan bahwa waktu paruh (half-life) sebagian besar spora cendawan yang terekspos cahaya buatan dengan panjang gelombang mendekati panjang gelombang sinar matahari (290-400 nm) hanya sekitar 1-4 jam, tetapi kenyataannya di lapang waktu paruh dapat mencapai lebih dari 4 jam.

Umumnya cendawan entomopatogen membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan ulat inang agar terjadi infeksi. Plate (1976) juga menyatakan bahwa epizootik cendawan yang terbentuk secara alami efektif mengendalikan populasi aphid, tempayak lalat yang menyerang perakaran tanaman, belalang, dan thrip, disamping juga potensial sebagai faktor mortalitas utama aphid yang menyerang kentang dan tanaman inang lainnya. Konidia merupakan unit B. bassiana yang paling infektif dan stabil untuk aplikasi di lapang dibandingkan dengan hifa maupun blastosporanya (Soper dan Ward, 1981; Feng et al., 1994). Konidia yang diaplikasikan dapat berupa suspensi (tidak diformulasi), formulasi butiran, dan bentuk pellet, dan ketiganya memperlihatkan hasil pengendalian yang cukup nyata. Stimac et al. (1993) menyatakan bahwa aplikasi konidia B. bassiana dengan cara sprinkle dan disemprotkan pada permukaan tanah sangat efektif menyebabkan mortalitas hama sasaran. Mortalitas hama semut api, Selenopsis invicta, yang dikendalikan dengan B. bassiana tertinggi mulai 3-8 hari setelah perlakuan. Sedangkan enkapsulasi (pellet) konidia B. bassiana dengan menggunakan kalsium alginat juga efektif meningkatkan mortalitas S. invicta (White, 1995), karena enkapsulasi menyebabkan konidia lebih stabil di dalam tanah.

Beberapa senyawa metabolit sekunder diproduksi oleh B. bassiana, seperti beauvericin, bassianin, bassiacridin, bassianolide, beauverolides, tenellin, dan oosporein (Strasser et al., 2000; Vey et al., 2001; Quesada-Moraga dan Vey, 2004). Senyawa metabolit sekunder ini dapat dihasilkan oleh B. bassiana pada epizootik di alam (tanah) maupun pada epizootik buatan (di laboratorium). Meskipun demikian, hingga saat ini belum ada laporan tentang tercemarnya rantai makanan oleh senyawa metabolit sekunder, atau terakumulasi di alam sebagai limbah epizootik B. bassiana (Vey et al., 2001).

Penggunaan B. bassiana dalam pengendalian hama telah diuji secara luas di berbagai negara. Hasil uji toksikologi terhadap salah satu produk B. bassiana, Botanigard, menunjukkan bahwa produk tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang berhubungan dengan patogenisitas dan toksisitasnya, sehingga produk tersebut digunakan secara aman selama lebih dari 10 tahun di Amerika Serikat dan juga di beberapa negara lain (US EPA, 2006).Cendawan B. bassiana memiliki kisaran inang sangat luas, sehingga kurang selektif terhadap inang sasaran. Hal ini memungkinkan B. bassiana dapat menginfeksi serangga bukan sasaran atau serangga berguna. Namun, Plate (1976) mengungkapkan bahwa tingkat kepekaan serangga bukan sasaran terhadap infeksi B. bassiana sangat ditentukan oleh virulensi dan patogenisitas cendawan, serta spesies serangga inang. Selain itu, perbedaan fisiologis dan ekologis inang juga mempengaruhi infeksi B. bassiana. Misalnya, serangga bukan sasaran yang mudah terinfeksi B. bassiana di laboratorium tidak akan serta merta terinfeksi pada kondisi lapang. Ludwig dan Oetting (2001) menegaskan bahwa beberapa serangga musuh alami yang peka terhadap infeksi B. bassiana di laboratorium ternyata mengalami infeksi sangat rendah pada uji di rumah kaca. Disamping itu, hasil uji ekotoksikologi terhadap produk Botanigard menunjukkan bahwa risiko secara ekologis yang diperlihatkan oleh serangga bukan sasaran yang diperlakukan dengan formulasi B. bassiana sangat rendah (US EPA, 2006).

Dihubungkan dengan keamanan secara hayati, cendawan entomopatogen dikelompokkan menjadi cendawan dengan kisaran inang spesifik dan yang kisaran inangnya luas (MacLeod, 1963). Cendawan yang memiliki kisaran inang spesifik umumnya menjadi parasit sejati (obligat) dan bersifat sangat virulen tarhadap inang. Sebaliknya yang kisaran inangnya luas sebagian besar merupakan patogen fakultatif, bersifat saprofit, dan cenderung kurang patogenik (Goettel et al., 1990), dan biasanya virulensinya tinggi hanya pada spesies inang dari mana cendawan tersebut pertama kali diisolasi. Contoh, B. bassiana yang diisolasi dari ulat H. armigera akan lebih patogenik pada inangnya tersebut dibanding dengan inang-inangnya yang lain. Selain itu, cendawan yang kisaran inangnya lebih luas justru menjadi lebih spesifik menginfeksi inang jika di lapang. Hal ini dapat terjadi kemungkinan karena dipengaruhi oleh interaksi antara faktor abiotik dan biotik di lapang, sehingga serangga yang mudah terinfeksi di laboratorium belum tentu mudah juga terinfeksi di lapang. Oleh karena itu, kemungkinan terinfeksinya serangga bukan sasaran oleh B. bassiana di lapang sangat kecil. Dengan demikian, aplikasi B. bassiana di lapang cenderung aman bagi musuh alami atau serangga berguna lainnya. Infeksi B. bassiana pada manusia sangat jarang terjadi. Meskipun demikian, dilaporkan ada dua kasus infeksi B. bassiana yang menyebabkan mikosis pada manusia (Henke et al., 2002; Tucker et al., 2004). Namun infeksi tersebut terjadi pada kondisi kesehatan manusia yang sangat buruk akibat penyakit leukimia akut.

Cukup banyak tersedia bahan untuk media alami perbanyakan B. bassiana, antara lain: beras, gandum, kedelai, jagung, padi-padian, sorghum, kentang, roti, dan kacang-kacangan. Bahan mana yang akan digunakan tergantung pada beberapa faktor, termasuk kemudahan memperoleh bahan tersebut, biaya, dan strain isolat yang akan diperbanyak. Dalam perbanyakan B. bassiana dengan bahan-bahan alami, untuk menghasilkan konidia dalam jumlah maksimal diperlukan media dengan partikel yang permukaannya lebih luas. Bahan media yang cenderung menggumpal akan memiliki luas permukaan yang sempit, sehingga produksi konidia juga sedikit. Media yang ideal adalah media yang tidak hanya mempunyai partikel dengan permukaan luas, tetapi juga yang dapat mempertahankan keutuhan partikel selama proses produksi (Maheva et al., 1984; Bradley et al., 1992).

Dalam perbanyakan, temperatur inkubasi dan cahaya sangat menentukan produktivitas konidia. Temperatur optimal setiap cendawan bervariasi tidak saja antar spesies, tetapi juga antar isolat (Thomas dan Jenkins, 1997; Alasoadura, 1963). Temperatur optimal untuk perkecambahan konidia adalah 25-30C, dengan temperatur minimum 10C dan maksimum 32C. Sedangkan pH optimal untuk pertumbuhan adalah 5,7-5,9, tapi idealnya pH 7-8 (Goral dan Lappa, 1972). Beberapa cendawan membutuhkan cahaya untuk proses sporulasi, sedangkan cendawan lainnya tidak terpengaruh oleh cahaya. Tetapi ada pula cendawan yang ssporulasinya terhambat pada tingkat intensitas cahaya tertentu (Vouk dan Klas, 1931). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa B. bassiana yang diproduksi di lingkungan tanpa cahaya (gelap) konidianya cenderung berukuran lebih besar dan lebih virulen dibanding yang diproduksi pada tempat terang (Humphreys et al., 1989; Williams, 1959). Hal ini penting sebagai bahan pertimbangan dalam memilih kemasan yang sesuai apabila biakan cendawan harus dibawa ke luar areal perbanyakan. Selain itu yang lebih penting dalam perbanyakan B. bassiana untuk skala komersial adalah kesesuaian produk dengan teknik formulasi dan aplikasinya.

Umumnya produk B. bassiana diformulasi dalam bentuk bubuk (powder) dan merupakan formulasi paling efektif memicu kontak dengan hama sasaran (Stimac et al., 1993). Formulasi B. bassiana berupa pellet hasil enkapsulasi miselium selain efektif untuk meningkatkan mortalitas hama juga untuk mengurangi kompetisi dengan mikroba lain, sehingga meningkatkan daya hidup B. bassiana (White, 1995).

2.3. Ulat JengkalUlat jengkal Plusia sp memiliki beberapa nama daerah seperti ulat lompat, ulat kilan, ulat jengkal semu dan ulat keket. Spesies ulat jengkal yang menyerang kacang panjang adalah Plusia chalcites esper atau Chrydeixis chalcites esper. Ciri-ciri tubuhnya ; berwarna hijau dan terdapat garis berwarna lebih muda pada sisi sampingnya. Panjang tubuhnya sekitar 2 cm. Ciri khasnya adalah berjalan dengan melompat atau melengkungkan tubuhnya. Lama masa ulat 2 minggu sebelum menjadi kepompong. Imagonya berupa ngengat yang mampu bertelur sampai 1000 butir. Telurnya berbentuk bulat putih. Telur-telur terdapat di permukaan bawah daun yang akan menetas setelah 3 hari. Ulat jengkal menyerang daun muda maupun tua. Ulat ini juga menyerang pucuk tanaman dan polong muda. Daun pada mulanya tampak berlubang-lubang tidak beraturan. Pada tahap selanjutnya, tinggal tersisa tulang-tulang daun saja. Pada tingkat berat, daun akan habis sehingga menimbulkan kerugian cukup besar. Klasifikasi ilmiah Ulat Jengkal ;

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Class : Insecta

Ordo : Lepidoptera

Family : Noctuidae

Genus : Plusia

Spesies : Plusia chalcites BAB III

METODE PRAKTIKUM

Metode Kegiatan Praktikum dilaksanakan pada Tanggal ; 29 November 2011, Lokasi ; Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Riau, Waktu ; 10.00 s/d 10.45 WIB.3.1. Bahan dan Alat

Bahan yang dipakai dalam kegiatan praktikum tersebut adalah Ulat Jengkal, Starter Beauveria bassiana (BB), Air. Peralatan yang di pakai adalah Nampan, Botol, Corong, Gelas Ukur, Sprayer, Pinset, Toples.

3.2. Prosedure Kerja Pisahkan ulat jengkal dengan daun.

Masukan Ulat tersebut kedalam nampan, pilih ulat yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil sebanyak 10 ekor

Masukan daun/pucuk trambesi kedalam toples dan dilanjutkan dengan memasukan ulat yang sudah di pilih tadi dan diamkan selama 10 menit.

Ambil larutan Beauveria bassiana (BB) yang sudah dilarutkan dalam 10 ml air, sebanyak 40 gr hingga 60 gr untuk lima kali perlakuan.

Semprotkan larutan tersebut dengan menggunakan sprayer ke toples yang sudah di isi ulat tadi sebanyak 15 kali semprotan.

Tutup toples tersebut dengan kain kasa.

Amati kematian (mortalitas) ulat jengkal tersebut per jam.

Pindahkan Ulat yang telah mati tadi kedalam Cawan Petri yang sudah di alasi dengan tissue yang sudah di senprot sebelumnya agar kelembaban terjaga serta memudahkan dalam pengamatan tanda-tanda yang di muculkan setelah kematian Ulat.

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Tabel 1. Hasil Pengamatan Angka Kematian Ulat Jengkal dengan Program SPSS

ANOVASum of SquaresdfMean SquareFSig.

UlanganBetween Groups5.95841.490..

Within Groups.00019.000

Total5.95823

PengamatanBetween Groups14.50443.6262.435.085

Within Groups26.800181.489

Total41.30422

PengamatanDuncan

PerlakuanNSubset for alpha = .05

12

p45.80

p242.002.00

p142.502.50

p342.502.50

p56 3.00

Sig. .070.275

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.478.

b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Tabel 2. Hasil Pengamatan Awal Kematian Ulat Jengkal Pada Ulangan ke 1PerlakuanJam KematianJumlah KematianHari Ke-

40 gram621

45 gram231

50 gram311

55 gram141

60 gram531

Grafik 1. Hasil Awal Kematian Ulat Jengkal pada tanaman Trembesi pada Ulangan I

Tabel 3. Hasil Pengamatan Awal Kematian Ulat Jengkal Pada Ulangan ke IIPerlakuanJam KematianJumlah

KematianHari Ke-

40 gram9274

45 gram5653

50 gram3022

55 gram421

60 gram281

Grafik 2. Hasil Awal Kematian Ulat Jengkal pada Ulangan ke II

Tabel 4. Persentase Mortalitas Pada Ulangan I , Perlakuan 40 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

1330%

2330%

3330%

4110%

Tabel 5. Persentase Mortalitas Pada Ulangan I , Perlakuan 45 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

1220%

2220%

3220%

4220%

Tabel 6. Persentase Mortalitas Pada Ulangan I , Perlakuan 50 gram

Hari ke-JumlahKematian% Mortalitas

1330%

2440%

3110%

4220%

Tabel 7. Persentase Mortalitas Pada Ulangan I , Perlakuan 55 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

1440%

1330%

3110%

4220%

Tabel 8. Persentase Mortalitas Pada Ulangan I , Perlakuan 60 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

1330%

2440%

3220%

4110%

Tabel 9. Persentase Mortalitas Pada Ulangan II , Perlakuan 40 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

4770%

5220%

6110%

Tabel 10. Persentase Mortalitas Pada Ulangan II , Perlakuan 45 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

3550%

4330%

5220%

Tabel 11. Persentase Mortalitas Pada Ulangan II , Perlakuan 50 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

2220%

3330%

4330%

5220%

Tabel 12. Persentase Mortalitas Pada Ulangan II , Perlakuan 55 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

1220%

2--

3550%

4330%

Tabel 13. Persentase Mortalitas Pada Ulangan II , Perlakuan 60 gram

Hari ke-Jumlah Kematian% Mortalitas

1880%

2220%

Rumus

4.2. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengamatan yang didapatkan dari kegiatan praktikum tersebut maka Pengendalian Ulat Jengkal pada tanaman Trembesi dengan menggunakan entomopatogen Beauveria bassiana dari hasil pengolahan data menggunakan SPSS adalah RAL dengan satu faktorial maka diperoleh bahwa dosis 55 gram dan 60 gram Beuvaria bassiana merupakan dosis yang paling efektif digunakan untuk mengendalikan hama ulat jengkal pada tanaman trembesi. Dapat dilihat dari data Tabel Anova yang menunjukkan Significant, karena F Hitung > F Tabel. Sehingga pengendalian hama ulat jengkal menggunakan Beuvaria bassiana dengan dosis 55 gram pada perlakuan ke IV Ulangan I, dan Perlakuan ke V Ulangan II dengan dosis 60 gram, yang paling tepat untuk direkomendasikan.Untuk awal angka kematian ulat jengkal pada tanaman trembesi pada ulangan I menunjukkan angka kematian 8 ekor yang paling cepat pada jam ke 1 hari ke 1, ulangan I pada perlakuan IV dosis 55 gram B.bassiana. Sedangkan pada awal kematian ulat jengkal ulangan II rekomendasi yang paling baik sesuai dengan pengolahan data SPSS adalah pada perlakuan ke V dosis 60 gram, dengan angka kematian 8 ekor, jam ke 2 hari ke 1.Jika di bandingkan dengan perlakuan yang lain memang terlihat nyata bahwa adanya pengaruh pemberian entomopatogen dari starter B.bassiana yang digunakan sebagai entomopatogen pengedalian ulat jengkal pada tanaman trembesi. Karena pada semprotan yang disemprot pada daun trembesi yang sudah di masukkan ulat jengkal menunjukkan dan menimbulkan adanya gejala-gejala (tanda-tanda) dari reaksi tubuh ulat jengkal itu sendiri. Seperti dengan adanya perubahan warna pada kulit badan ulat jengkal menjadi lebih pucat warna tubuhnya akibat adanya cairan hifa dari konidia cendawan B.bassiana yang menutupinya. Lalu terlihat pula adanya perubahan bentuk pada fisik tubuh ulat jengkal ini menjadi membengkak.

B. bassiana memproduksi toksin yang disebut beauvericin (Kuera dan Samikov, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus Ulat, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada ulat yang terinfeksi. Kematian serangga biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan secara menyeluruh, dan atau karena toksin yang diproduksi oleh cendawan. Menurut Cheung dan Grula (1982), penyakit white muscardine yang menyerang saluran pencernaan Heliothis zea mengakibatkan gangguan nutrisi hingga kematian. Ulat yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu ulat jengkal ditentukan oleh besar kecilnya ukuran ulat tersebut. Setiap ulat terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi ulat jengkal sehat di sekitarnya. Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Namun demikian, cendawan ini juga memiliki fase resisten yang dapat mempertahankan kemampuannya menginfeksi inang pada kondisi kering. Keberadaan epizootiknya di alam menyebabkan B. bassiana secara cepat menginfeksi populasi ulat hingga menyebabkan kematian. Selain itu, kemampuan penetrasinya yang tinggi pada tubuh Ulat menyebabkan cendawan ini juga dengan mudah menginfeksi ulat hama pengisap, seperti aphid (Aphis sp.) dan kutu putih Bemisia spp. yang tidak mudah terinfeksi oleh bakteri maupun virus.Umumnya cendawan entomopatogen seperti B.bassiana membutuhkan lingkungan yang lembab untuk dapat menginfeksi serangga, oleh karena itu epizootiknya di alam biasanya terbentuk pada saat kondisi lingkungan lembab atau basah. Keefektifan B. bassiana menginfeksi serangga hama tergantung pada spesies atau strain cendawan, dan kepekaan stadia serangga pada tingkat kelembaban lingkungan, struktur tanah (untuk serangga dalam tanah), dan temperatur yang tepat. Selain itu, harus terjadi kontak antara spora B. bassiana yang diterbangkan angin atau terbawa air dengan ulat inang agar terjadi infeksi.Cara cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.

Dalam infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh ulat jengkal terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh ulat yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih. Ulat Jengkal yang telah terinfeksi B.bassiana selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan seprti pada daun trembesi didalam nampan, baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Ulat sehat kemudian akan terinfeksi.Perlakuan terbaik untuk angka kematian ulat jengkal terlihat pada tabel 13. Hasil pengamatan persentase mortalitas yang paling cepat dan tinggi angka kematiannya ialah pada Ulangan II, perlakuan ke V dosis 60 gram. Disini terlihat bahwa angka kematian ulat jengkal mati 8 ekor dengan persentase mortalitasnya 80% di ulangan II tepatnya hari pertama. Sedangkan pada ulangan I, perlakuan terbaik yang diberikan ialah pada dosis 55 gram B.bassiana, hari pertama sebanyak 4 ekor dengan persentase mortalitasnya 40%.Dengan demikian jika dilihat dari setiap tabel pengamatan yang di tunjukkan maka, semakin tinggi angka kematian ulat jengkal pada tanaman trembesi pada berbagai perlakuan sebanyak lima perlakuan dan dua ulangan yang di lakukan berbanding lurus dengan Jam kematian yang lebih cepat, dengan artian kata lain bahwa pada jam kematian yang dilihat adalah jam kematian yang paling cepat membunuh ulat jengkal akibat toksik/racun berupa hifa dari entomopatogen B.bassiana pada perbandingan pengamatan untuk perlakuan dan ulangan satu dengan lainnya. Sehingga di dapatkan hasil kerja dari efek toksisitas/racun toksin yang disebut beauvericin (Kuera dan Samikov, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus ulat jengkal, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada ulat yang terinfeksi.Sedangkan jika dilihat pada Grafik1 dan grafik 2. Awal kematian ulat, yang di lihat sebagai perlakuan terbaik dan tercepat adalah dari garis yang terbawah/ paling bawah. Grafik tersebut memamg menunjukkan keterbalikkan, dimana semakin tinggi jumlah kematian ulat pada jam kematian yang paling awal dan yang paling cepat itu terlihat pada angka grafik yang di tunjukkan pada garis terbawah.BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan data yang di peroleh dari kegiatan praktikum maka diperoleh kesimpulan bahwa pengendalian ulat jengkal yang bersifat merugikan tanaman trembesi yang memiliki banyak manfaat salah satunya sebagai tanaman peneduh ini degna menggunakan entomopatogen B.bassiana mampu menginfeksi ulat jengkal dengan cara mengeluarkan cairan konidia berupa hifa dari cendawan tersebut hingga mengakibatkan ulat teracuni dan hingga mati. Gejala yang di tujukkan pada ulat adalah dengan warna tubuh yang berubah menjadi lebih pucat, bentuk tubuh ulat menjadi membengkak dan mengeras. Karena pada B.bassiana mengandung toksisitas/racun toksin yang disebut beauvericin (Kuera dan Samikov, 1968). Antibiotik ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi hemolimfa dan nukleus ulat jengkal, sehingga mengakibatkan pembengkakan yang disertai pengerasan pada ulat yang terinfeksi. Ulat yang terbunuh tubuhnya akan berwarna putih karena ditumbuhi konidia B. bassiana. Jumlah konidia yang dapat dihasilkan oleh satu ulat ditentukan oleh besar kecilnya ukuran ulat tersebut. Setiap ulat terinfeksi B. bassiana akan efektif menjadi sumber infeksi bagi ulat sehat di sekitarnya.Seperti cendawan lain, perrtumbuhan B. bassiana juga sangat ditentukan oleh kelembapan lingkungan. Pada awal kematian ulat di tunjukkan yang terbaik pada ulangan I, perlakuan IV dosis 55 gram pada jam kematian ke 1, hari pertama sebanyak 4 ekor, dan pada ulangan ke II yang terbaik untuk awal kematian ulat pada perlakuan V dosis 60 gram, hari pertama, jam ke 1 sebanyak 8 ekor.5.2. SaranSebaiknya di anjurkan suhu yang terjaga kelembabannya untuk menggunakan Beauveria bassiana sebagai Entomopatogen yang dapat dijadikan untuk mengendalikan Ulat Jengkal pada tanaman Trembesi. Beauveria bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Waktu aplikasinya adalah pada pagi hari. Pada suhu di atas 30C. DAFTAR PUSTAKASoetopo,Deciyanto dan Iga Indrayani. 2007. Status Teknologi dan Prospek Beauveria bassiana Untuk Pengendalian Serangga Hama Tanaman Perkebunan Yang Ramah Lingkungan. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Prospektif Volume 6 Nomor 1, Juni 2007 : 29 46http://worldkids.wordpress.com/trembesi-samane-saman-tanaman-pelindung-yang-terlupakan/

Sri-Sukamto dan Kelik yuliantoro. 2006. Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Viabilitas Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Dalam Beberapa Pembawa. Pelita Perkebunan 2006, 22(1), 4057.http://www.antaranews.com/berita/279464/trembesi-sepanjang-pantura-jateng-anti-gagalTrisawa dan Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana dan Spicaria sp. Terhadap Kepik Renda Lada Diconocoris hewetti (DIST.) (HEMIPTERA: TINGIDAE). Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Bul. Littro. Vol. XVII No. 2, 2006, 99 106.http://hamautama.blogspot.com/2007_09_01_archive.htmlhttp://saungsumberjambe.blogspot.com/2011/05/pestisida-nabati-4.htmlmencholeo.wordpress.com/2008/01/17/beauveria-bassiana-pengendaali-ulat jengkal/http://www.uoguelph.ca/~gbarron/MISCELLANEOUS/nov01.htmhttp://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/Perp vol-8 no-2 2009/perkebunan_perspektif 8 (2) 2009_1_deci.pdf25

_1385235607.unknown