tinjauan pustaka

55
BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering seluruh dunia. Sinusitis merupakan penyakit dengan persentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Sinusitis adalah penyakit yang multifaktorial dan telah menjadi penyakit nomor satu di Amerika, dan jutaan dolar dihabiskan untuk mengobatan penyakit ini. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus sphenoid lebih jarang lagi. Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan 1

Transcript of tinjauan pustaka

Page 1: tinjauan pustaka

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek

dokter sehari-sehari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan

kesehatan tersering seluruh dunia. Sinusitis merupakan penyakit dengan

persentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas

jangka panjang. Sinusitis adalah penyakit yang multifaktorial dan telah menjadi

penyakit nomor satu di Amerika, dan jutaan dolar dihabiskan untuk mengobatan

penyakit ini. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan

infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi

bakteri.

Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila

mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis. Yang paling sering terkena

ialah sinus ethmoid dan maksila, sedangkan sinus frontal lebih jarang dan sinus

sphenoid lebih jarang lagi.

Sinus maksila disebut juga antrum highmore, letaknya dekat akar gigi

rahang atas, maka infeksi gigi mudah menyebar ke sinus, disebut sinusitis

dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya karena menyebabkan komplikasi

orbita dan intrakranial, serta menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit

diobati.

Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi

premolar dan molar atas dan sering terlihat pada pemeriksaan radiologi oral dan

fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis, seperti infeksi yang

berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan menimbulkan infeksi

sinus. Data dari sub bagian Rinologi THT FKUI RSUPN Dr. Cipto

Mangunkusumo menunjukkan angka kejadian sinusitis yang tinggi yaitu 248

pasien (50%) dari 496 pasien rawat jalan yang datang pada tahun 1996.

1

Page 2: tinjauan pustaka

BAB  II

ANATOMI, FISIOLOGI HIDUNG DAN SINUS PARANASAL

2.1. Anatomi Hidung

Hidung terdiri dari piramid hidung (nasus eksternus) dan rongga hidung

(cavitas nasi)

a. Hidung Luar (Nasus Eksternus)

Hidung luar tampak seperti piramid dan melekat pada tulang

wajah. Bagian atas sempit dan berhubungan dengan dahi disebut

radiks nasi. Dari sini ke bawah terbentang dorsum nasi dan berakhir

sebagai ujung yang disebut apeks nasi. Di bagian depan terdapat

lubang disebut nares. Nares di sebelah medial dibatasi oleh sekat

yang disebut collumella sedang di sebelah lateral dibatasi oleh alae

nasi. Tepi bebas alae nasi disebut margo nasi.

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan

yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang

berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Di

sebelah superior diperkuat oleh tulang-tulang: os. nasalis, prosesus

frontalis os. maksila dan prosesus nasalis os frontal.

Di bagian bawah terdapat kerangka tulang rawan yang disebut

cartilagines nasi yang terdiri dari :

- sepasang cartilago nasi lateralis superior

- sepasang cartilago alaris mayor

- sepasang cartilago alaris minores

- cartilago septi nasi.

2

Page 3: tinjauan pustaka

Gambar 1. Gambaran anterolateral tulang hidung

b. Rongga Hidung (Kavitas Nasi)

Struktur ini dimulai dari nares (lubang hidung) di sebelah

anterior sampai koana di sebelah posterior. Rongga hidung terbagi

dua, kanan dan kiri oleh septum nasi. Rongga hidung mempunyai

atap, lantai, dinding lateral dan dinding media.

Atap :

Dibentuk oleh cartilagines nasi dan tulang-tulang : os nasale, os

frontale lamina cribosa, os eithmoidale dan corpus os sphenoidale.

Dasar :

Dibentuk oleh processus palatinus os maxillae dan lamina

horizontalis os palatum

Dinding medial atau septum nasi :

Dari anterior ke posterior terdiri atas cartilage septi nasi, lamina

perpendicularis os eithmoidale dan vomer

Dinding lateral :

Dibentuk oleh os nasale, os maxilla, os lacrimale, os eithmoidale,

concha nasalis inferior dan os spheinoid. Dinding lateral ini tidak

rata, ditandai tonjolan-tonjolan conchae nasalis dan meatus nasi

yang terletak di bawah tiap conchae . Conchae nasales tersebut

adalah :

3

Page 4: tinjauan pustaka

- conchae nasalis suprema ( kadang ada kadang tidak)

- conchae nasalis superior

- conchae nasalis media

- conchae nasalis inferior

Dalam cavum nasi terdapat meatus nasi, yaitu :

- meatus nasi superior, di sini terdapat ostia cellulae

eithmoidales posterior

- meatus nasi medius, terdapat lubang-lubang muara dari

sinus maxilaris, sinus frontalis, cellulae ethmoidais

anterior.

- meatus nasi inferor, terdapat muara ductus nasolacrimalis.

-

Gambar 2. Gambaran potongan sagital cavum nasi 5

c. Vaskularisasi Hidung

a. A. sphenopalatina cabang A. maxillaris interna

b. A. eithmoidalis anterior cabang A. opthalmica mendarahi

sepertiga depan dinding lateral dan sepertiga depan septum nasi

c. A. eithmoidalis posterior, mendarahi bagian superior

4

Page 5: tinjauan pustaka

d. cabang-cabang A. facialis

e. A. Palatina descendens cabang A maxillaries interna.

Pada bagian anterior septum nasi terdapat anastomosis antara

R. septi nasi A. labialis superior cabang A. facialis dengan rami

septales posterior A. Sphenopalatina cabang A. maxillaris interna,

juga kadang-kadang diikuti R. septalis anterior A.eithmoidalis

anterior dan cabang dari A. palatina major. Anastomosis ini terletak

superfisial. Daerah tempat anastomosis ini disebut daerah

Kiesselbach.

Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke

V.opthalmica yang berhubungan dengan sinus kavernosus..Vena-vena

di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor

predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke

intrakranial.

d. Inervasi Hidung

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan

sensorik dari n.ethmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari

n.nasociliaris, yang berasal dari n.opthalmicus. Rongga hidung

lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensorik dari n.maxillaris

melalui ganglion sphenopalatina. Ganglion sphenopalatina, selain

mendapat persarafan sensorik, juga memberikan persarafan vasomotor

atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-

serabut sensorik dari n.maxillaris, serabut parasimpatis dari n.petrosus

superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus

profundus. Ganglion tersebut terletak di belakang dan sedikit di atas

ujung posterior concha media.

Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari

permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-

sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas

hidung.

5

Page 6: tinjauan pustaka

2.2. Fisiologi Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh yang secara secara histologik dan

funsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa

pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaanya

dilapisi oleh epitel torak berlapis semu bersilia dan diantaranya terdapat

sel-sel goblet. Pada bagian yang lebih terkea aliran udara, mukosanya lebih

kental dan kadang terjadi metaplasia menjadi epitel skuamosa. Dalam

keadaan normal, mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena

diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir

dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel goblet. Palut lendir di rongga

hidung akan didorong ke arah nasofaring oleh silia dengan gerakan teratur.

Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung

pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa

rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa rongga

hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Sel-sel

goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama ditemukan di dekat

ostium.

Sekresi mukosa nasal merupakan campuran dari komponen-

komponen : sekresi kelenjar mukosa dan sel goblet, transudasi dan eksudasi

dari kapiler di dalam mukosa dan debris dari leukosit dan sel epitel

Fungsi hidung adalah untuk :

1. Sebagai jalan nafas

2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)

Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk

mempersiapkan udara yang masuk ke alveolus dengan cara mengatur

kelembaban udara dan mengatur suhu.

3. Sebagai penyaring dan pelindung

Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan

bakteri dan dilakakukan oleh rambut, silia, palut lendir (mucous

blanket), dan lysozyme.

6

Page 7: tinjauan pustaka

4. Indra penghidu

5. Resonansi suara

Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.

6. Proses berbicara

Hidung membantu proses pembentukan kata-kata. Pada pembentukan

konsonan nasal (m,n,ng) rongga mulut tertutup dan hidung terbuka,

palatum mole turun untuk aliran udara.

7. Refleks nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan

saluran cerna, kardiovaskular dan pernafasan.

2.3 Sinus Paranasal

Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang

sulit dideskripsikan karena sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat

pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus

frontal, sinus ethmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal

merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk

rongga didalam tulang. Semua sinus mempunyai muara ke dalam rongga

hidung.

7

Page 8: tinjauan pustaka

Gambar 3. Gambaran sinus paranasal5

a. Sinus Maksilaris

Terbentuk pada usia fetus bulan IV yang terbentuk dari prosesus

maksilaris arcus I.

Bentuknya piramid, dasar piramid pada dinding lateral hidung,

sedang apexnya pada pars zygomaticus maxillae.

Merupakan sinus terbesar dengan volume kurang lebih 15 cc pada

orang dewasa.

Berhubungan dengan :

- Cavum orbita, dibatasi oleh dinding tipis (berisi n. infra

orbitalis) sehingga jika dindingnya rusak maka dapat

menjalar ke mata.

- Gigi, dibatasi dinding tipis atau mukosa pada daerah P2

Mo1ar.

- Ductus nasolakrimalis, terdapat di dinding cavum nasi.

b. Sinus Ethmoidalis

Terbentuk pada usia fetus bulan IV.

8

Page 9: tinjauan pustaka

Saat lahir, berupa 2-3 cellulae (ruang-ruang kecil), saat dewasa

terdiri dari 7-15 cellulae, dindingnya tipis.

Bentuknya berupa rongga tulang seperti sarang tawon, terletak

antara hidung dan mata

Berhubungan dengan :

- Fossa cranii anterior yang dibatasi oleh dinding tipis yaitu

lamina cribrosa. Jika terjadi infeksi pada daerah sinus mudah

menjalar ke daerah cranial (meningitis, encefalitis dsb).

- Orbita, dilapisi dinding tipis yakni lamina papiracea. Jika

melakukan operasi pada sinus ini kemudian dindingnya pecah

maka darah masuk ke daerah orbita sehingga terjadi Brill

Hematoma.

- Nervus Optikus.

- Nervus, arteri dan vena ethmoidalis anterior dan pasterior.

c. Sinus Frontalis

Sinus ini dapat terbentuk atau tidak.

Tidak simetri kanan dan kiri, terletak di os frontalis.

Volume pada orang dewasa ± 7cc.

Bermuara ke infundibulum (meatus nasi media).

Berhubungan dengan :

- Fossa cranii anterior, dibatasi oleh tulang compacta.

- Orbita, dibatasi oleh tulang compacta.

- Dibatasi oleh Periosteum, kulit, tulang diploic.

d. Sinus Sfenoidalis

Terbentuk pada fetus usia bulan III.

Terletak pada corpus, alas dan Processus os sfenoidalis.

Volume pada orang dewasa ± 7 cc.

Berhubungan dengan :

- Sinus cavernosus pada dasar cavum cranii.

- Glandula pituitari, chiasma n.opticum.

- Tranctus olfactorius.

- Arteri basillaris brain stem (batang otak).

9

Page 10: tinjauan pustaka

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. RINOSINUSITIS1

1. Definisi

Rinosinusitis didefinisikan sebagai :

Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua

atau lebih gejala, salah satunya harus termasuk sumbatan hidung/

obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior / posterior),

nyeri/ tekanan wajah, penurunan / hilangnya penghidu.

Inflamasi mukosa atau selaput lendir sinus paranasal ;pembentukan

cairan atau kerusakan tulang di bawahnya. Sinus paranasal adalah

rongga rongga yang terdapat pada tulang tulang di wajah.

Salah satu dari temuan endoskopi:

Polip dan / atau

Sekret mukopurulen dari meatus medius dan / atau

10

Page 11: tinjauan pustaka

Edema / obstruksi mukosa di meatus media

2. Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat

virus, bermacam rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada

wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau

hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil,

infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada sindrom

kartagener, dan di luar negri adalah penyakit fibrosis kistik.

3. Patofisiologi

Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan

lancarnya klirens mukosiliar didalam KOM. Mukus juga

mengandungsubstansi antimikroba dan zat-zat yang berfungsi sebagai

mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara

pernafasan. Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan

bila terjadi edema, mukosa yang berdekatan akan saling bertemu sehingga

silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan

negative di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi,

mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinositis non-

bakterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.

Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus

merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multipikasi bakteri.

Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rinosinusitis akut

bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. Jika terapi tidak berhasil

(misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi

hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak

dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya

perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau

pembengkakan polip dan kista.

4. Klasifikasi Sinusitis

11

Page 12: tinjauan pustaka

Berdasarkan lama perjalanan penyakit, sinusitis dibagi atas:

1. Sinusitis akut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlangsung

selama 4 minggu. Macam-macam sinusitis akut: sinusitis maksila akut,

sinusitis etmoidal akut, sinus frontal akut, dan sinus sphenoid akut.

2. Sinusitis subakut adalah proses infeksi di dalam sinus yang berlansung

selama 4 minggu sampai 3 bulan.

3. Sinusitis kronis adalah proses infeksi di dalam sinus yang

berlansung selama lebih dari 3 bulan bahkan dapat juga berlanjut

sampai bertahun-tahun.

Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi atas:

1. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), segala

sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan

sinusitis.

2. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering

menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan

molar).

5. Manifestasi Klinis

Maniferstasi klinis sinusitis adalah :

- Hidung tersumbat

- Nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, nyeri tekan pada daerah

sinus atau referred pain.

- Sekret ingus purulen, kadang turun ke tenggorokan

- Gejala sistemik berupa lesu dan demam

- Sakit kepala

6. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan fisik,

dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior

dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk

diagnosa yang tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus

12

Page 13: tinjauan pustaka

medius (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di

meatus superior (pada sinusitis etmoid posterior dan sphenoid).

Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak

sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.

Pemeriksaan pembentu yang pentng adalah foto polos atau CT scan. Foto

polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai

kondisi sinus – sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan

akan terlihat perselubungan, batas udara cairan ( air fluid level ) atau

penebalan mukosa.

CT Scan sinus merupakan gold standar diagnosis sinusitis karena

mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung

dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal

hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak

membaik dengan pengobatan atau pra operasi saat melakukan operasi

sinus.

Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi

suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunkan karena sangat

terbatas kegunaannya.

Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan

mengambil sekret dari meatus medius atau superior, untuk mendapatkan

antibiotic yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar

dari pungsi sinus maksila.

Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial

sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat

kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan

irigasi sinus untuk terapi.

7. Tatalaksana

Tujuan terapi sinusitis adalah :

a. Mempercepat penyembuhan

b. Mencegah komplikasi

c. Mencegah sinusitis menjadi kronik

13

Page 14: tinjauan pustaka

Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan KOM sehingga

drainase sinus-sinus pulih secara alami. Antibiotik dan dekongestan

merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk

menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka

sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih golongan penisilin seperti

amoksisislin. Jika terjadi resistensi atau bakteri memproduksi beta

laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin, plavulanat, atau jenis

sefalosporin generasi kedua. Pada sinusitis, antibiotik diberikan 10-14

hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik, diberikan

antibiotik yang sesuai dengan kuman gram negatif dan anaerob. Selain

dekongestan oral, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan seperti

analitik, mukolitik, steroid oral / topical, pencucian rongga hidung dengan

NaCl atau pemanasan (diatermi).

Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga

merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat

dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.

Tindakan operasi

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini

untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Indikasi :

- Sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat

- Sinusitis kronik disertai kista / kelainan irreversible

- Polip ekstensif

- Adanya komplikasi sinusitis

- Sinusitis jamur

8. Komplikasi

Komplikasi biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis

kronik dengan eksaserbasi akut, berupa :

a. Kelainan orbita

Disebabkan oleh sinus paranasal yang dekat dengan mata, paling

sering sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis maksila.

14

Page 15: tinjauan pustaka

Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Kelainan yang dapat timbul adalah udem palpebra, selulitis orbita, abses

subperiostal, abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi thrombosis sinus

kavernosus.

b. Kelainan intracranial

Komplikasi paling berbahaya dari sinusitis khususnya sinusitis frontal

dan sphenoid adalah penyebaran infeksi bakteri anaerob ke otak baik

melalui melalui tulang ataupun pembuluh darah. Dapat berupa meningitis,

abses ekstradural atau subdural, abses otak, dan thrombosis sinus

kavernosus.1

Komplikasi pada sinusitis kronis berupa :

a. Osteomyelitis dan abses subperiostal

Paling sering timbul akibat sinusitis frontal, sering ditemukan pada

anak-anak. Pada osteomyelitis sinus maksila, dapat timbul fistula

oroantral atau fistula pada pipi.

b. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkoektasis.

Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru disebut

sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma

bronchial yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan.

9. Prognosis

Prognosis sinusitis akut sangat baik, dengan sekitar 70% pasien

dapat sembuh tanpa pengobatan. Antibiotik oral dapat mengurangi gejala

sinusitis. Sinusitis kronik memiliki perjalanan penyakit yang bervariasi.

Prognosisnya baik, bila penyebab sinusitis adalah anatomis dan

ditatalaksana dengan tindakan pembedahan. Lebih dari 90% pasien

mengalami kemajuan dengan intervensi bedah. Namun, pasien ini

memiliki kemungkinan untuk relaps, sehingga dibutuhkan regimen

untuk mencegah kekambuhan.

2. POLIP NASI

15

Page 16: tinjauan pustaka

1. Defenisi

Polip nasi adalah masa yang tumbuh dalam rongga hidung, sering

kali multiple dan bilateral. Massa lunak, berwarna putih atau keabu-abuan

agak transparan, bentuk bulat atau lonjong, permukaan licin, mengkilat,

bertangkai, dan mudah digerakan.1

Sering kali berasal dari sinus dimana menonjol dari meatus ke

rongga hidung. Berdasarkan hasil pengamatan, polip nasi terletak di

dinding lateral cavum nasi terutama daerah meatus media. Paling banyak

di sel-sel eithmoidalis. Dapat juga berasal dari mukosa di daerah antrum,

yang keluar dari ostium sinus dan meluas ke belakang di daerah koana

posterior (polip antrokoanal).2

2. Epidemiologi

Insiden polip nasi sangat sulit ditentukan, ada yang melaporkan

insidenya 1-4% dan literatur lain melaporkan insiden polip nasi adalah 1-

20% per 1000 orang dewasa. Pada pria dan wanita dengan perbandingan

2,3: 1. Dapat mengenai seluruh ras dan biasanya timbul pada orang

dewasa yang berusia 20-40 tahun. Jarang ditemukan pada anak-anak,

insidenya adalah 0,1%.3

3. Etiologi

Etiologi polip nasi belum diketahui secara pasti. Terjadinya polip

nasi dapat dipengaruhi oleh beberapa hal : umur, alergi, infeksi dan

inflamasi dominasi eosinofil. Deviasi septum juga dicurigai sebagai salah

satu faktor yang mempermudah terjadinya polip nasi. Ada 3 faktor penting

dalam terjadinya poli nasi, yaitu adanya peradangan kronis yang berulang

pada hidung dan sinus, adanya ketidakseimbangan vasomotor dan terdapat

peningkatan tekanan cairan intertisial serta edema mukosa hidung.4

4. Patogenesis

Pada awalnya ditemukan edema mukosa yang timbul karena suatu

peradangan kronik yang berulang, kebanyakan terjadi di daerah meatus

medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga

16

Page 17: tinjauan pustaka

mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses ini berlanjut, mukosa

yang sembab makin membesar dan kemudian turun kedalam rongga

hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terjadilah polip.1

Dalam teori Bernstein, perubahan inflamasi pertama terjadi pada

dinding lateral mukosa hidung atau sinus sebagai akibat interaksi virus-

host bakteri atau sekunder untuk aliran turbulen. Dalam kebanyakan kasus,

polip berasal dari daerah meatus tengah kontak, terutama celah sempit di

kawasan ethmoid anterior yang menciptakan aliran turbulen, dan terutama

bila dipersempit oleh peradangan mukosa. Ulserasi atau prolaps dari

submucosa dapat terjadi, dengan reepithelialization dan pembentukan

kelenjar baru. Selama proses ini, polip dapat dibentuk dari mukosa akibat

proses inflamasi tinggi sel epitel, sel endotel pembuluh darah, dan

fibroblas mempengaruhi integritas bioelektric saluran natrium di

permukaan luminal sel epitel pernafasan dalam mukosa hidung. Respon

untuk meningkatkan penyerapan natrium, menyebabkan retensi air dan

pembentukan polip.

5. Histopatologi

Makroskopis1

Secara makroskopis polip merupakan massa bertangkai dengan

permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-

abuan,agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak sensitif

(bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut

disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah

ke polip.bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip

dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun

warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung

jaringan ikat.

Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks ostio-meatal

di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan

endoskop, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat.

17

Page 18: tinjauan pustaka

Ada polip yang tumbuh kearah belakang dan membesar

dinasofaring, disebut polip koana.polip koana kebanyakan berasal dari

dalam sinus maksila dan disebut juga polip antro-koana. Ada juga

sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.

Gambar4. Polip antrochoanal kiri yang menggantung pada orofaring5

Mikroskopis1

Secara mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan

mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan

submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limfosit, sel plasma,

eosinofil, neutrofil dan makrofag. Mukosa mengandung sel-sel goblet.

Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama

dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara,

menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi.

6. Klasifikasi

Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2 :

1. Polip eusinofilik

Sel eosinofil terdapat pada 80-90% polip. Polip jenis ini biasanya

disebabkan proses hipersensitivitas atau alergi.

2. Polip neutrofilik

Netrofil terdapat pada 7% kasus polip. Polip jenis ini biasanya

disebabkan oleh proses inflamasi non-alergi dan tidak berespons baik

terhadap kortikosteroid

18

Page 19: tinjauan pustaka

Pembagian stadium polip nasal menurut Mackay and Lund adalah :

a. Stadium 0 : tidak terlihat polip

b. Stadium 1: polip masih terbatas di meatus medius

c. Stadium 2 : polip telah keluar dari meatus media, tampak di rongga

hidung

d. Stadium 3: polip telah memenuhi rongga hidung

7. Gejala klinis

Timbulnya gejala biasanya pelan dan insidius, dapat juga tiba-tiba

dan cepat setelah infeksi akut. Sumbatan di hidung adalah gejala

utama.dimana dirasakan semakin hari semakin berat. Sering juga ada

keluhan pilek lama yang tidak sembuh-sembuh6 , sengau, sakit kepala.

Pada sumbatan yang hebat didapatkan gejala hiposmia atau anosmia, rasa

lendir di tenggorok.

8. Diagnosis

Anamnesis

Pada anamnesa kasus polip, keluhan utama biasanya ialah hidung

tersumbat. Sumbatan ini menetap, tidak hilang dan semakin lama semakin

berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan

sukar membuang ingus. Gejala lain adalah gangguan penciuman. Gejala

sekunder dapat terjadi bila sudah disertai kelainan organ didekatnya

berupa: adanyapost nasal drip, sakit kepala, nyeri muka, suara nasal

(bindeng), telinga terasa penuh, mendengkur, gangguan tidur dan

penurunan kualitas hidup. Selain itu juga harus di tanyakan riwayat rhinitis

alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat serta makanan.1

Pemeriksaan Fisik

- Inspeksi

19

Page 20: tinjauan pustaka

Polip yang masif sering sudah menyebabkan deformitas hidung luar.

Dapat dijumpai pelebaran kavum nasi terutama polip yang berasal dari

sel-sel etmoid.5

- Rinoskopi Anterior

Memperlihatkan massa translusen pada rongga hidung. Deformitas

septum membuat pemeriksaan menjadi lebih sulit. Tampak sekret

mukus dan polip multipel atau soliter.

- Rinoskopi Posterior

Kadang-kadang dapat dijumpai polip koanal. Sekret mukopurulen ada

kalanya berasal dari daerah etmoid atau rongga hidung bagian

superior, yang menandakan adanya rinosinusitis

Pemeriksaan penunjang

Dapat dilakukan pemeriksaan Endoskopi nasal dan sinus untuk

memastikan adanya polip nasal maupun sinus dan untuk menentukan letak

polip nasal tersebut. Dapat pula dilakukan pemeriksaan CT-scan, tes

alergi, kultur tetapi hal ini dilakukan atas indikasi.

Gambar.5 Gambaran

endoskopi anterior sinistra cavum nasi, tampak septum di sebelah kiri dan

tampak polip antralchoanal pada bagian tengah gambaran endoskopi.5

20

Page 21: tinjauan pustaka

9. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan polip hidung terdiri atas terapi medikamentosa

dan terapi bedah,atau kombinasi keduanya. Penatalaksanaan betujuan

untuk mengeliminasi polip dan gejala rinitis, memulihkan fungsi

pernafasan dan penciuman serta mencegah polip berulang.

Terapi medikamentosa dapat diberikan pengobatan kortikosteroid

topikalatau sistemik. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi

mendikamentosa atau polip yang sangat masif dipertimbangkan untuk

polipektomi.

10. Prognosis

Polip nasi dapat muncul kembali selama iritasi alergi masih tetap

berlanjut. Rekurensi dari polip umumnya terjadi bila adanya polip yang

multipel.  Polip tunggal yang besar seperti polip antral-koanal jarang

terjadi relaps.

Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu

pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi.

Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak

dengan alergen penyebab dan eliminasi.

Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau

tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung

kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang

berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan

cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila

pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.

3.3 DEVIASI SEPTUM1

Bentuk septum normal adalah lurus ditengah rongga hidung tetapi

pada orang dewasa biasanya septum nasi tidak lurus sempurna digaris

tengah. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, tetapi bila

cukup berat akan menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung.

21

Page 22: tinjauan pustaka

Dengan demikian dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan

komplikasi.

1. Etiologi

Penyebab paling sering adalah trauma. Taruma dapat terjadi

sesudah lahir, pada waktu partus atau bahkan pada masa janin intrauterin.

Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan

septum nasi terus bertumbuh, walaupun batas superior dan inferior

menetap. Dengan demikian terjadilah deviasi septum nasi tersebut.

2. Bentuk Deformitas

Bentuk deformitas septum ialah (1) deviasi, biasanya berbentuk

huruf C atau S ; (2) dislokasi, yaitu bagian bawah kartilago septum keluar

dari kista maksila dan masuk kedalam rongga hidung; (3) penonjolan

tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang

disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; (4) bila

deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konk

dihadapannya disebut sinekia. Bentuk ini akan menambah beratnya

obstruksi.

3. Gejala klinis

Keluhan yang paling sering pada deviasi septum ialah sumbatan hidun.

Sumbatan bisa unilateral, dapat pula bilateral, sebab pada sisi deviasi

terdapat konka hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka

yang hipertrofi, sebagai akibat mekanisme kompensasi.

Keluhan lainnya ialah rasa nyeri di kepala dan disekitar mata. Selain itu

penciumn bisa terganggu, apabila terdapat deviasi pada bagian atas

septum.

Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan

faktor predisposisi terjadinya sinusitis.

4. Terapi

22

Page 23: tinjauan pustaka

Bila tidak ada gejala atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan

tindakan koreksi septum. Ada 2 jenis tindakan operatif yang dapat

dilakukan pada pasien dengan keluhan nyata yaitu reseksi submukosa dan

septoplasti.

Reseksi submukosa (submucous septum resection SMR ). Pada operasi ini

mukoperikondrium dan mukoperiostium kedua sisi dilepaskan dari tulang

rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang rawan dari septum

kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan mukoperiostium

sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.

Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi seperti terjadinya

hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena

bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat.

Septoplasti atau reposisi septum. Pada operasi ini tulang rawan yang

bengkok direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan.

Dengan cara operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul

pada operasi reseksi submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan

hidung pelana.

23

Page 24: tinjauan pustaka

BAB IV

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Nn. M

No. MR :

Umur : 22 tahun

Jenis kelamin : perempuan

Pekerjaan : pelajar

Suku bangsa : Minang

Alamat : Gadut

ANAMNESIS

Seorang pasien perempuan berumur 22 tahun dirawat di bangsal THT RSUP Dr.

M Djamil Padang pada tanggal 24 April 2013 dengan :

Keluhan Utama :

Hidung kiri bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu.

Keluhan tambahan :

24

Page 25: tinjauan pustaka

Riwayat Penyakit Sekarang :

Hidung kiri bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu, awalnya hidung

kiri dirasakan tersumbat sejak + 1 tahun yang lalu semakin lama dirasakan

semakin tersumbat.

Pipi kiri dirasakan berat sejak + 6 bulan yang lalu.

Pada hidung kiri keluar ingus kental berwarna kekuningan, hilang timbul

sejak 1 tahun yang lalu.

Pasien sering mengeluhkan terlelan ingus.

Riwayat hidung kiri berdarah ada satu kali, berhenti sendiri.

Napas dirasakan berbau sejak + 6 bulan yang lalu.

Penciuman dirasakan berkurang sejak + 6 bulan yang lalu.

Riwayat nyeri kepala ada.

Demam tidak ada.

Riwayat telinga kiri dirasakan berdengung ada, saat ini tidak ada.

Riwayat sering bersin- bersin saat udara dingin atau kena debu tidak ada.

Riwayat gatal pada hidung dan mata sejak kecil tidak ada.

Riwayat trauma pada hidung disangkal.

Riwayat pernah menderita sakit gigi disangkal.

Sejak satu bulan yang lalu pasien telah berobat ke poliklinik RSUP Dr. M

Djamil dan didiagnosis dengan Rhinosinusitis Kronis dengan polip nasi

sinistra grade II dengan deviasi septum ke kanan. Pasien diberi obat

antibiotik, dekongestan, mukolitik dan kortikosteroid tappering off.

Kontrol teratur,dan tidak membaik.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengeluhkan penyakit seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini

sebelumnya.

Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit alergi.

Riwayat Pekerjaan, sosial, ekonomi, dan kebiasaan.

Pasien tamatan SMA, saat ini tidak bekerja.

25

Page 26: tinjauan pustaka

Pemeriksaan Fisik

Status Generalis

Keadaan Umum : sedang

Kesadaran : komposmentis kooperatif

Tekanan darah : 110/ 70

Nadi : 73 x per menit

Napas : 18 x per menit

Suhu ` : 36,8 oc

Pemeriksaan Sistemik

Kepala : tak ditemukan kelainan

Wajah : tak ditemukan kelainan

Mata : tak ditemukan kelainan

Paru : tak ditemukan kelainan

Jantung : tak ditemukan kelainan

Abdomen : tak ditemukan kelainan

Ekstremitas : teraba hangat, refilling kapiler baik.

STATUS LOKALIS THT

Telinga

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Daun telinga Kel. Kongenital Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada

Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada

Dinding liang

telinga

Cukup Lapang (N) Ya Ya

Sempit Tidak ada Tidak ada

Hiperemis Tidak ada Tidak ada

26

Page 27: tinjauan pustaka

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret/ serumen Bau Tidak ada Tidak ada

Warna Tidak ada Tidak ada

Jumlah Tidak ada Tidak ada

Jenis Tidak ada Tidak ada

Membran Timpani

Utuh Warna putih Putih

Refleks cahaya (+) arah jam 5 (+) arah jam 7

Bulging Tidak ada Tidak ada

Retraksi Tidak ada Tidak ada

Atrofi Tidak ada Tidak ada

Perforasi Jumlah perforasi Tidak ada Tidak ada

Jenis Tidak ada Tidak ada

Kuadran Tidak ada Tidak ada

Pinggir Tidak ada Tidak ada

Gambar

Mastoid Tanda radang Tidak ada Tidak ada

Fistel Tidak ada Tidak ada

Sikatrik Tidak ada Tidak ada

Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada

Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tes garputala

512 Hz

Rinne (+) (+)

Swabach Sama dengan

pemeriksa

Sama dengan

pemeriksa

Weber Tidak ada lateralisasi

Kesimpulan Normal

Audiometri Tidak dilakukan

27

Page 28: tinjauan pustaka

Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Hidung luar Deformitas Tidak ada Tidak ada

Kelainan

kongenital

Tidak ada Tidak ada

Trauma Tidak ada Tidak ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Sinus Paranasal

Inspeksi

Pemeriksaan Dekstra Sinistra

Nyeri tekan Tidak ada

Nyeri ketok Tidak ada Ada ( sinus maksilaris)

Rinoskopi Anterior

Vestibulum Vibrise Ada Ada

Radang Tidak ada Tidak ada

Kavum nasi Cukup lapang (N) - -

Sempit Ya Ya

Lapang - -

Sekret Lokasi

Jenis seromukous seromukous

Jumlah

Bau Tidak ada Tidak ada

Konka inferior Ukuran edema eutrofi

Warna Merah muda Merah muda

28

Page 29: tinjauan pustaka

Permukaan Licin rata

Edema Ya tidak

Konka media Ukuran Sulit dinilai Sulit dinilai

Warna - -

Permukaan - -

Edema - -

Septum Cukup lurus/

deviasi

Deviasi Cukup lurus

Permukaan Rata rata

Warna Merah Merah muda

Spina Spina -

Krista - -

Abses - -

Peforasi - -

Massa Lokasi Tidak ada Meatus media

Bentuk - polipoid

Ukuran Terbatas di

meatus media

Permukaan - Licin

Warna - Bening

Konsistensi - Lunak

Mudah digoyang - Ya

Pengaruh

vasokonstriktor

- -

Rinoskopi Posterior

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Koana Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang

Sempit

Lapang

Mukosa Warna Merah muda Merah muda

29

Page 30: tinjauan pustaka

Edema Tidak ada Tidak ada

Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada

Konka superior Ukuran Eutrofi Eutrofi

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Rata Rata

Edema - -

Adenoid Ada/ tidak Sulit dinilai Sulit dinilai

Muara tuba

eustachius

Tertutup sekret Sulit dinilai Sulit dinilai

Massa Lokasi Tidak ada Tidak ada

Ukuran - -

Bentuk - -

Permukaan - -

Post nasal drip Ada/ tidak Ada Ada

Jenis

Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Trismus Tidak ada

Uvula Edema Tidak ada Tidak ada

Bifida Tidak ada Tidak ada

Palatum mole

arkus faring

Simetris/ tidak Simetris Simetris

Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Bercak/ eksudat Tidak ada Tidak ada

Dinding faring Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Licin Licin

Tonsil Ukuran T2 T2

30

Page 31: tinjauan pustaka

Warna Merah muda Merah muda

Permukaan Rata Rata

Muara/kripti Melebar Melebar

Detritus Tidak ada Tidak ada

Eksudat Tidak ada Tidak ada

Perlengketan

dengan pilar

Tidak ada Tidak ada

Peritonsil Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Abses Tidak ada Tidak ada

Tumor Lokasi Tidak ada Tidak ada

Bentuk - -

Ukuran - -

Permukaan - -

Konsistensi - -

Gigi Karies/ radiks Tidak ada Tidak ada

Kesan Gigi geligi baik

Lidah Warna Merah muda Merah muda

Bentuk

Deviasi Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Laringoskopi indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra

Epiglotis Bentuk Tenang Tenang

Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Pinggir rata/ tidak rata Rata

Massa Tidak ada Tidak ada

Aritenoid Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

31

Page 32: tinjauan pustaka

Massa Tidak ada Tidak ada

Gerakan simetris Simetris

Ventrikular band Warna Merah muda Merah muda

Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada

Plika vokalis Warna putih Putih

Gerakan Simetris Simetris

Pinggir medial rata Rata

Massa Tidak ada Tidak ada

Subglotis/ trakea Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret ada / tidak Tidak ada Tidak ada

Sinus piriformis Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret Tidak ada Tidak ada

Valekulae Massa Tidak ada Tidak ada

Sekret (jenisnya) Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Tidak ditemukan pembesaran kelenjar getah bening.

Hasil Pemeriksaan CT Scan Sinus

Tampak deviasi septum nasi ke kanan

Tampak perselubungan pada sinus maksilaris sinistra, sinus etmoid, lamina

papyracea, chonca nasalis sinistra.

Osteomeatal complex kiri tertutup

Kesan : rhinosinusitis dengan deviasi septum nasi ke kanan

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Hb : 13,6 g/dL

Ht : 40%

Leukosit : 10.200/mm3

32

Page 33: tinjauan pustaka

Trombosit : 269.000/mm3

APTT : 38,1 detik

PT : 9,8 detik

INR : 0,8 INR

RESUME

Anamnesis

Hidung kiri bertambah bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu,

awalnya hidung kiri dirasakan tersumbat sejak + 1 tahun yang lalu

semakin lama dirasakan semakin tersumbat.

Pipi kiri dirasakan berat sejak + 6 bulan yang lalu.

Pada hidung kiri keluar ingus kental berwarna kekuningan, hilang timbul

sejak 1 tahun yang lalu.

Pasien sering mengeluhkan terlelan ingus, Napas dirasakan berbau, dan

Penciuman dirasakan berkurang sejak + 6 bulan yang lalu.

Riwayat nyeri kepala ada, Demam tidak ada.

Riwayat sakit gigi disangkal

Sejak satu bulan yang lalu pasien telah berobat ke poliklinik RSUP Dr. M

Djamil dan didiagnosis dengan ? obat? Tidak sembuh?

Pemeriksaan Fisik

Status Lokalis

Telinga

Aurikula Dekstra Sinistra

Liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflek cahaya (+)

33

Page 34: tinjauan pustaka

Rhinoskopi Anterior

Kavum nasi dekstra : Kavum nasi semput, konka inferior edem, konka media

sulit dinilai, septum spina (+)

Kavum nasi sinistra : Kavum nasi sempit, konka inferior eutrofi, konka media

sulit dinilai, massa (+) polipoid.

Tenggorokan

Arkus faring simetris, uvula ditengah , tonsil T2-T2, kripti melebar, dinding

posterior faring melebar.

Diagnosis Kerja

Rhinosinusitis kronis dengan polip nasi sinistra grade II dan deviasi septum

Tonsilitis kronis

Hasil Pemeriksaan CT Scan Sinus

Tampak deviasi septum nasi ke kanan

Tampak perselubungan pada sinus maksilaris sinistra, sinus etmoid, lamina

papyracea, chonca nasalis sinistra.

Osteomeatal complex kiri tertutup

Kesan : rhinosinusitis dengan deviasi septum nasi ke kanan

Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Hb : 13,6 g/dL

Ht : 40%

Leukosit : 10.200/mm3

Trombosit : 269.000/mm3

APTT : 38,1 detik

PT : 9,8 detik

INR : 0,8 INR

Diagnosis

34

Page 35: tinjauan pustaka

Rhinosinusitis Kronis + polip nasi sinistra Grade II+ septum deviasi kekanan

Tonsilitis kronis.

Terapi

FESS

Septoplasti

Prognosis

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad sanam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Follow Up pasien

Tanggal 25 April 2013

S/ Hidung kiri tersumbat (+), ingus (+)

Penciuman berkurang (+)

Demam (-)

Batuk (-)

O/ Status General

KU : sedang

Kesadaran : komposmentis kooperatif

TD : 110/70

Napas :18x/ menit

Suhu :36,8o C

Status Lokalis

Telinga

Aurikula Dekstra Sinistra

Liang telinga lapang, membran timpani utuh, reflek cahaya (+)

Rhinoskopi Anterior

Kavum nasi dekstra : Kavum nasi semput, konka inferior edem, konka

35

Page 36: tinjauan pustaka

media sulit dinilai, septum spina (+)

Kavum nasi sinistra : Kavum nasi sempit, konka inferior eutrofi, konka

media sulit dinilai, massa (+) polipoid.

Tenggorokan

Arkus faring simetris, uvula ditengah , tonsil T2-T2, kripti melebar,

dinding posterior faring melebar.

A/ Rhinosinusitis Kronis + Polip nasi sinistra Grade II + septum deviasi

P/ Pro FESS + Septoplasti

DISKUSI

Telah diperiksa pasien perempuan beusia 22 tahun dengan keluhan utama

pasien hidung bertambah tersumbat sejak 6 bulan yang lalu. Dari keluhan utama

pasien kita dapat memikirkan bahwa pasien memiliki riwayat sumbatan kronis,

yang mana diagnosa diferensial yang dapat dipikirkan dengan keluh utama pada

pasien ini adalah rhinosinusitis kronis, polip nasi, deviasi septum, ataupun rhinitis

alergi.

Dari anamnesis diperoleh keterangan tambahan pasien berupa pasien

merasakan berat di wajah, keluar ingus kental berwarna kekuningan, gangguan

pada penghidu, napas dirasakan berbau, dan nyeri kepala. Hal ini telah melebihi

kriteria mayor dan minor untuk menegakkan diagnosis rhinosinusitis kronis.

Diagnosis banding rhinitis aleri mungkin dapat disingkirkan dari anamnesis

dengan pasien menyangkal adanya riwayat alergi pada pasien. Diagnosis

diferensial deviasi septum dan polip nasi masih belum dapat disingkirkan pada

anamnesis karena gejala hidung tersumbat, hiposmia, dan nyeri kepala juga ada

pada pasien. Selain itu polip nasi dan deviasi septum juga dapat menjadi faktor

penyebab terjadinya rhinosinusitis akibat terhambatnya ventilasi pada kompleks

osteomeatal.

Pada pemeriksaan fisik palpasi ditemukan adanya nyeri tekan pada sinus

maksila dan pada rhinoskopi anterior ditemukan adanya deviasi septum kekanan,

36

Page 37: tinjauan pustaka

spina (+). Pada kavum nasi kiri juga ditemukan adanya masa polipoid pada

meatus media berwarna bening mengkilat konsistensi lunak. Pada rhinoskopi

posterior ditemukan adanya postnasal drip pada kedua kavum nasi. Temuan ini

sudah dapat mengarahkan kita ke diagnosis kerja rhinosistis kronis, polip nasi

sisnistra dan septum deviasi.

‘ Tatalaksana medikamentosa pada pasien rhinosinusitis dan deviasi

bertujuan untuk membuka sumbatan KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus

membaik. Pada pasien ini telah diberikan antibiotik dan dekongestan untuk

membuka aliran KOM. Tatalaksana polip nasi diberikan kortikosteroid tappering

off selama 12 hari. Keluhan yang dialami pasien tidak membaik dengan

pemberian medikamentosa sehingga pada pasien merupakan indikasi untuk

menjalani terapi operatif berupa bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/ FESS)

dan septoplasti.

BSEF merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronis yang memerlukan

operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus

terdahulu karen memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih

ringan dan tidak radikal. Septoplasti merupakan terapi pilihan untuk deviasi

septum dengan keluhan yang nyata. Pada operasi ini tulang rawan yang bengkok

direposisi. Hanya bagian yang berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara

operasi ini dapat dicegah komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi

submukosa, seperti terjadinya perforasi septum dan hidung pelana.

37

Page 38: tinjauan pustaka

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo,Endang, Retno S.Wardani.dalam:Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok edisi VI cetakan II. Balai Penerbit FK-UI, Jakarta

2008.hal 123-125

2. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.

Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21

3. Budiman, BJ, Ade Asyari. 2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan

Rinosinusitis dengan Polip Nasi. Diakses dari

http://repository.unand.ac.id/17218/1/Penatalaksanaan_rinosinusitis_dengan_p

olip_nasi.pdf pada tanggal 25 April 2013 pukul 16.30.

4. Drake Lee AB. Nasal polyps. In : Scott Brown`s Otolaryngology, Rrhinology.

5th ed. Vol 4 (Kerr A, Mackay IS, Bull TR edts). Butterworths. London. 1987 :

142-53.

5. http://www.google.co.id/imglanding?q=anatomi+hidung

6. Larsen, Tos. Origin and Structure of Nasal Polyps dalam Nasal Polyposis.

Copenhagen:Munksgaard,1997.17-21

38