TINJAUAN PUSTAKA

17
HIPERTENSI KRISIS PADA DIABETES MELITUS TIPE 2 1. Hipertensi krisis 1.1 Definisi The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of Blood Pressure (JNC VII) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih. 1 Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII 1 Kategori Sistol (mmHg) dan/atau Diastol (mmHg) Normal <120 dan <80 Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89 Hipertensi tahap I 140-159 Atau 90-99 Hipertensi tahap II ≥ 160 Atau ≥ 100 Istilah hipertensi krisis telah ditinggalkan oleh beberapa klinisi karena membingungkan. Beberapa klinis menginterpretasi hipertensi krisis sebagai hipertensi emergensi dan beberapa klinisi mengartikannya sebagai hipertensi urgensi. Sejumlah klinisi lebih menyukai istilah tekanan darah normal, prehipertensi, hipertensi stadium 1, dan hipertensi stadium 2. 1

Transcript of TINJAUAN PUSTAKA

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA

HIPERTENSI KRISIS PADA DIABETES MELITUS TIPE 2

1. Hipertensi krisis

1.1 Definisi

The Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation,

and Treatment of Blood Pressure (JNC VII) mendefinisikan hipertensi sebagai tekanan darah

sistolik 140 mmHg atau lebih atau tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih.1

Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi tekanan darah menurut JNC VII1

Kategori Sistol (mmHg) dan/atau Diastol (mmHg)

Normal <120 dan <80

Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89

Hipertensi tahap I 140-159 Atau 90-99

Hipertensi tahap II ≥ 160 Atau ≥ 100

Istilah hipertensi krisis telah ditinggalkan oleh beberapa klinisi karena

membingungkan. Beberapa klinis menginterpretasi hipertensi krisis sebagai hipertensi emergensi

dan beberapa klinisi mengartikannya sebagai hipertensi urgensi. Sejumlah klinisi lebih menyukai

istilah tekanan darah normal, prehipertensi, hipertensi stadium 1, dan hipertensi stadium 2.

Hipertensi stadium 2 dapat dibagi atas hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi. Tidak ada

tekanan darah yang absolut yang mengindikasikan hipertensi emergensi. Menurut JNC VII,

peningkatan tekanan darah >180/120 mmHg disebut peningkatan tekanan darah yang berat.2

Krisis hipertensi adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi

(tekanan darah sistolik  ≥180 mm Hg dan / atau diastolik ≥120 mm Hg) yang membutuhkan

penanganan segera.3 Hipertensi krisis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a) Hipertensi emergensi (darurat) ialah dimana selain tekanan darah yang sangat tinggi

disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih

penyakit/kondisi akut, yaitu pendarahan intrakranial, hipertensi ensefalopati, aorta diseksi

akut, edema paru akut, eklampsi, feokromositoma, funduskopi KW III atau IV,

1

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA

insufisiensi ginjal akut, infark miokard akut, antihipertensi withdrawl sindrom dan

ingesti dari prekursor katekolamin pada pasien yang mengonsumsi MAO inhibitors.

Tekanan darah harus diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam.

Penderita perlu dirawat di ruangan intensive care unit (ICU).

b) Hipertensi urgensi (mendesak) ialah dimana terdapattekanan darah yang sangat tinggi

tetapi tidak disertai kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. Tekanan darah

harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral.

Kerusakan Organ Target

Hipertensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Kerusakan organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi

adalah:4

1. Jantung

- Hipertrofi ventrikel kiri

- Angina atau infark miokardium

- Gagal jantung

2. Otak

- Stroke.

3. Penyakit ginjal kronis

4. Retinopati.

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat

diakibatkan langsung dari kenaikan tekanan darah, atau karena efek tidak langsung, antara lain

adanya autoantibodi terhadap reseptor AT1 angiotensin II, stress oksidatif, downregulation dari

ekspresi nitrit oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi

garam dan sensitifitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ target,

misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-β

(TGF-β).4

1.2 Epidemiologi

2

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA

Hipertensi terjadi pada sekitar 50 juta orang di USA dan sekitar 1 milyar orang di dunia.

Sebagian besar pasien memiliki hipertensi esensial dan sekitar 30% tidak terdiagnosis. Hanya

sekitar 14% - 29% orang Amerika dengan hipertensi mempunyai tekanan darah yang terkontrol.

Insidens hipertensi meningkat dengan meningkatnya usia. Studi Framingham, insiden hipertensi

meningkat pada laki-laki dari 3.3% pada usia 30-39 tahun menjadi 6.2% pada usia 70-79 tahun.

secara keseluruhan, prevalensi dan insidens hipertensi lebih besar pada laki-laki dibandingkan

pada wanita. Insiden hipertensi pada orang Afrika-Amerika dua kali lebih besar dari orang kulit

putih.5

Diperkirakan sekitar 1% pasien dengan hipertensi akan berkembang menjadi hipertensi

krisis selama hidupnya. Sebelum adanya terapi antihipertensi, komplikasi terjadi sampai 7%

pada populasi penderita hipertensi. Hipertensi krisis lebih sering terjadi pada orang Afrika-

Amerika dan orang usia lanjut. Laki-laki dua kali lebih sering daripada wanita. Sebagian besar

pasien dengan hipertensi krisis sebelumnya telah didiagnosis sebagai hipertensi dan

mendapatkan terapi antihipertensi dengan kontrol tekanan darah yang inadekuat.5

1.3 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan

organ target. Hipertensi krisis umumnya adalah gejala organ target yang terganggu, diantaranya

nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada edema

papilla mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran, lateralisasi pada gangguan otak; gagal

ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikan

tekanan darah pada umumnya.6

Selain pemeriksaan fisik, data laboratorium dapat membantu diagnosis dan perencanaan.

Urin dapat menunjukan proteinuria, hematuri, dan silinder. Hal ini terjadi karena tingginya

tekanan darah juga menandakan keterlibatan ginjal terutama jika ureum dan kreatinin meningkat.

Gangguan elektrolit dapat terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan aritmia.

Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) untuk melihat adanya hipertrofi

ventrikel kiri, ataupun gangguan koroner serta ultrasonografi (USG) untuk melihat struktur

ginjal.6

3

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA

1.4 Patofisiologi

Patofisiologi hipertensi krisis dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Skema patofisiologi hipertensi krisis

1.5 Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan hipertensi emergensi

Pasien sebaiknya dirawat di RS dengan fasilitas pemantauan yang memadai agar

dapat dimonitor secara kontinyu tekanan darahnya

Pengobatan tekanan darah dengan obat antihipertensi parenteral secara bolus atau

infus sesegera mungkin.

Tujuan terapi awal adalah untuk menurunkan tekanan darah arteri rata-rata 20-25%

(dalam 5-120 menit pertama)

Penurunan tekanan darah secara akut ke tekanan darah normal / subnormal pada awal

pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusi ke otak, jantung dan ginjal.

Apabila keadaan stabil, 160/100-110 mmHg selama 2-6 jam berikutnya.

4

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA

Apabila tekanan darah telah dapat ditoleransi dan secara klinis pasien dalam keadaan

stabil maka penurunan tekanan darah menuju normal dapat dilakukan pada 24-48 jam

berikutnya.

Obat-obatan yang digunakan:

1. Clonidin (catapres) IV (150 mcg/ampul)

a. Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan glucosa 5% 500cc dan diberikan dengan

mikrodrip 12 tetes/ menit, setiap 15 menit dapat dinaikkan 4 tetes sampai TD yang

diharapkan tercapai.

b. Bila TD target tercapai pasien diobservasi selama 4 jam kemudian diganti dg tablet

clonidin oral sesuai kebutuhan.

c. Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak, tetapi diturunkan perlahan-lahan oleh karena

bahaya rebound phenomen, dimana TD naik secara cepat bila obat dihentikan.

2. Diltiazem (Herbesser) IV (10 mg dan 50 mg/ampul)

a. Diltiazem 10 mg IV diberikan dalam 1-3 menit kemudian diteruskan dengan infus 50

mg/jam selama 20 menit.

b. Bila TD telah turun >20% dari awal, dosis diberikan 30 mg/jam sampai target tercapai.

c. Diteruskan dengan dosis maintenance 5-10 mg/jam dengan observasi 4 jam kemudian

diganti dengan tablet oral.

3. Nicardipin (Perdipin) IV (2 mg dan 10 mg/ampul)

a. Nicardipin diberikan 10-30 mcg/kgBB bolus.

b. Bila TD tetap stabil diteruskan dengan 0,5-6 mcg/kgBB/menit sampai target TD tercapai.

4. Labetalol (Normodyne) IV

Diberikan 20-80 mg IV bolus setiap 10 menit atau dapat diberikan dalam cairan infus

dengan dosis 2 mg menit.

5. Nitroprusside (Nitropress, Nipride) IV

Diberikan dalam cairan infus dengan dosis 0,25-10.00 mcg/kg/menit.

b). Penatalaksanaan hipertensi urgensi

Penatalaksanaan hipertensi urgensi cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga

menurunkan tekanan darah dalam beberapa jam.

5

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA

Tabel 2. Obat antihipertensi oral yang dipakai di Indonesia8,9

Obat Dosis Efek Lama Kerja Perhatian khusus

Captopril    12,5 - 25 mg

ulangi per 30 min  

15-30 min 6-8 jam Stenosis a.renalis

Clonidine 75 - 150 ug,

ulangi per jam 30-60 min 8-16 jam    mengantuk, mulut kering

Propanolol    10 - 40 mg PO

ulangi setiap 30 min   

15-30 min 3-6 jam    Bronkokonstriksi, blok jantung,

Nifedipine 5-10 mg

ulangi setiap 15 menit   

5 -15 min 4-6 jam    Gangguan koroner

2. Diabetes melitus

2.1 Definisi

Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis

termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat, yang ditandai

dengan tingginya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) puasa dan post prandial, aterosklerotik,

penyakit vaskuler mikroangiopati dan neuropati.10

Diabetes melitus disebut juga the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai

semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan, poliuria, rasa haus, rasa lapar,

badan kurus dan kelemahan

2.2 Epidemiologi

DM merupakan penyakit yang banyak dijumpai dengan prevalensi yang meningkat di

seluruh dunia selama 2 dekade. World Health Organization (WHO) memperkirakan pada tahun

2025 jumlah penderita DM di dunia akan mencapai 300 juta orang. Menurut data WHO, jumlah

penderita DM di Indonesia tahun 2000 5,6 juta orang dan diperkirakan tahun 2025 meningkat

menjadi 12,4 juta. Dengan demikian, Indonesia akan menempati urutan ke-5 di dunia.11

Saat ini diabetes melitus merupakan urutan ke-4 prioritas penelitian nasional untuk

penyakit degeneratif.12 Dari berbagai penelitian epidemiologis, seiring dengan perubahan pola

hidup didapatkan bahwa prevalensi DM meningkat terutama di kota besar. DM jika tidak

ditangani dengan baik akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh

seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf, dan lain-lain. Penderita DM dapat

mengalami beberapa komplikasi bersama-sama atau terdapat satu masalah yang mendominasi,

6

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA

yang meliputi kelainan vaskuler, retinopati, nefropati diabetik, neuropati diabetik dan ulkus

diabetik.13,14

2.3 Klasifikasi diabetes melitus

Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005,

yaitu:15

1. DM tipe I (DM yang tergantung pada insulin). DM ini disebabkan oleh defisiensi insulin

absolut yang terjadi akibat kerusakan dari sel beta pankreas yang sering terjadi melalui

proses imunologik. Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur hidup.

2. DM tipe II (DM yang tak tergantung pada insulin). Penyebab DM ini mulai dari predominan

resistensi insulin disertai defisiensi relatif insulin sampai predominan defek sekresi insulin

bersama resistensi insulin. 75% dari penderita DM type II ini dengan obesitas atau

kegemukan dan biasanya diketahui DM setelah usia 30 tahun.

3. Diabetes tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel beta

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksokrin pankreas

d. Endokrinopati

e. Diinduksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi

4. DM Gestasional

DM Gestasional terjadi sekitar 2–5% dari semua kehamilan. Komplikasi dapat berupa

makrosomia, cacat janin dan penyakit jantung bawaan.

2.4 Manifestasi klinis

Adapun manisfestasi klinis dari DM sebagai berikut:16

1. Poliuria

Hal ini disebabkan kadar glukosa darah melebihi ambang batas tubuli ginjal (170 mg/dl)

sehingga kelebihan ini tidak dapat diabsorbsi maka akan terjadi glukosuria. Kejadian ini akan

7

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA

meningkatkan osmolaritas di lumen tubuli dan jumlah urin akan bertambah banyak (3-4 liter

sehari).

2. Polidipsi

Hal ini akibat dari poliuria.

3. Penurunan berat badan

Pada awal perjalanan penyakit DM kebutuhan energi dapat dipenuhi dengan pemecahan

glikogen (glikogenolisis) dan lemak (lipolisis) yang ada di hati dan otot. Apabila terjadi dalam

waktu yang lama akan terjadi pemecahan protein dan berat badan penderita akan menurun.

4. Polifagia

Kalori dari makanan yang dimakan setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah

tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan oleh tubuh, sehingga penderita selalu merasa lapar.

5. Lemah/lesu

Hal ini disebabkan karena glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga sel

kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan energi.

6. Gangguan saraf tepi atau kesemutan

Hal ini akibat kenaikan glukosa darah yang abnormal akan merusak sel-sel saraf.

7. Gangguan penglihatan

Ini disebabkan glukosa darah yang tinggi merusak pembuluh darah retina.

2.5 Diagnosis

Langkah diagnosis DM dapat dilihat pada gambar 2.15

8

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2. Langkah diagnosis DM15

2.5 Komplikasi diabetes melitus

Komplikasi DM sebagai berikut:14

Akut

1. Ketoasidosis diabetik

2. Koma hiperosmolar hiperglikemik

3. Hipoglikemia

Kronik

1. Mikroangiopati

- Retinopati

- Nefropati

2. Makroangiopati

- Penyakit Jantung koroner

9

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA

- Penyakit pembuluh darah perifer

3. Neuropati

Penyakit pembuluh darah perifer dan neuropati merupakan faktor resiko terjadinya kaki

diabetes.

2.6 Hubungan hipertensi dengan diabetes melitus17

Pada diabetes melitus, selain keadaan hiperglikemia atau gangguan toleransi glukosa

sebagai faktor resiko, juga dapat ditemukan faktor resiko kardiovaskuler lain, seperti resistensi

insulin, hiperinsulinemia, dislipidemia, hipertensi, hiperkoagulasi, obesitas viseral, dan

mikroalbuminuria. Keadaan yang sangat multifaktorial ini menyebabkan insidensi penyakit

kardiovaskuler pada diabetes tinggi dan terus meningkat apabila pengelolaannya tidak

komprehensif. Dasar patofisologi dari kelainan tersebut adalah adanya gangguan pada

metabolisme (abnormality metabolism) yang sering dikemukakan akhir akhir ini sebagai

sindroma metabolik. Batasan Sindroma metabolik yang diajukan oleh National Cholesterol

Education Program, Adult Treatment Panel III tahun 2001 bahwa faktor resiko adanya sindroma

metabolik adalah obesitas abdominal (Lingkar panggul) pada laki laki >102 cm (40 inci) dan

wanita > 88 cm (35 inci), kadar trigleserida ≥ 150 mg/dl (1,7 mmol/L), kadar kolesterol HDL

pada laki laki < 40 mg/dl (1.4 mmol/L) dan wanita < 50 mg/dl (1,3 mmol/L), tekanan darah ≥

130/ ≥ 85 mmHg serta glukosa puasa ≥ 110 mg/dl (6,0 mmol/L). Hubungan sidroma metabolik

dengan faktor resiko penyakit kardiovaskuler adalah dengan terjadinya proses aterosklerosis

yang menggambarkan terjadinya disfungsi endotel.

Umumnya pada diabetes meiltus juga terdapat hipertensi. Hipertensi yang tidak dikelola

dengan baik akan mempercepat kerusakan pada ginjal dan kelainan kardiovaskuler. Sebaliknya

apabila tekanan darah dapat dikontrol disertai pengelolaan hiperglikemia yang terkontrol akan

memproteksi terhadap kompilkasi mikro dan makrovaskuler. Terjadinya peningkatan tekanan

darah seperti diganbarkan pada bagan dibawah ini:

10

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 3. Bagan fisiologi terjadinya peningkatan tekanan darah

Patogenesis hipertensi pada penderita DM tipe 2 sangat kompleks. Banyak faktor

berpengaruh pada peningkatan tekanan darah. Selain faktor pada sistem otoregulasi pengaturan

tekanan darah, faktor lainnya yang ikut berperan adalah resistensi insulin, kadar gula darah

plasma, dan obesitas,

2.7 Penatalaksanaan18

Indikasi pemberian antihipertensi pada diabetes bila tekanan darah sistolik >130 mmHg dan /

atau tekanan darah diastolik >80 mmHg. Sasaran (target penurunan) tekanan darah <130/80

mmHg. Bila disertai proteinuria ≥ 1gram / 24 jam, target tekanan darah <125/75 mmHg.

Pengelolaan:

Non-farmakologis:

Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik,

menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi konsumsi garam.

Farmakologis:

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi (OAH):

- Pengaruh OAH terhadap profil lipid

- Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa

- Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin

- Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia

11

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA

Obat anti hipertensi yang dapat digunakan:

- Penghambat ACE

- Penyekat reseptor angiotensin II

- Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

- Diuretik dosis rendah

- Penghambat reseptor alfa

- Antagonis kalsium

Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-139 mmHg atau tekanan diastolik

antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal

mencapai target dapat ditambahkan terapi farmakologis. Pasien dengan tekanan darah sistolik

>140 mmHg atau tekanan diastolik >90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara

langsung. Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan

monoterapi.

12