TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

21
STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 122-142 TINJAUAN BUKU Memberitakan Injil di Tengah Masyarakat Majemuk: Tiga Dokumen Kontemporer Gerejawi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 204 hlm. Buku ini adalah sesuatu yang special di Indonesia karena menggabungkan dua pemikiran misi kalangan antara evangelikal dan ekumenikal. Di Dalam buku ini disatukan adalah dua dokumen terakhir mengenai keputusan keputusan mengenai misi sedunia dari gereja gereja protestan yang selama terpolarisasi secara teologis. Bukan hanya itu, di dalam masing masing dokumen, secara terpisah terlihat adanya keseimbanganan tekanan misi dalam motif dan maksud dan konten antara evangelism dan social concern. Khususnya dalam menuguhkan pesan Injil bagi dunia di tengah masyarakat majemuk, khususnya lapangan agama agama. Ini terlihat di bagian terakhir dimasukan juga secara khusus dokumen khsus mengenai misi agama agama yang dihadiri oleh kalangan gereja gereja yang lebih luas lagi seperti, Katholik dan Ortodoks. Dari sub judulnya, buku ini terdiri dari tiga bagian besar ”dokumen gerejawi” tentang misi kekinian, mungkin maksudnya abad ke 21 atau pasca modern dari kaum ekumenikal (oikumene) dan evangelikal (injili), lalu ditambah satu lagi satu dokumen yang digumuli bersama dan bahkan meluas pada kelompok kelompok gerejawi lainnya, seperti gereja Ortodoks dan gereja Katholik dalam menggeluti lapangan agama agama yang dirasakan masih terus menyisakan isu konflik dan persengketaan. Memang ini real dan faktual Dari “pendahuluan” tersirat dokumen dokumen itu diterjemahkan untuk diterbitkan tanpa editor yang dapat mengarahkan pembaca pada maksud dan motif penerbitanya. Namun dengan “kata pengantar” yang ditulis pejabat sekum PGI dapat diduga penggagas nya adalah berlambang gerakan oikoumene Indonesia. Mungkin saja bagian pertama buku ini dianggap sebagai pandangan resmi gerakan ekumenis itu, yang ingin menekankan lagi keseimbangan misi gereja gereja protestan, dibawah lembaga itu. Namun, karena ada dokumen njili yang dimasukanm alangkah indahnya kalau penerbit memberi ruang kata pengantar dari gerakan injili,

Transcript of TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

Page 1: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 122-142

TINJAUAN BUKU

Memberitakan Injil di Tengah Masyarakat Majemuk: Tiga Dokumen

Kontemporer Gerejawi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 204 hlm.

Buku ini adalah sesuatu yang special di Indonesia karena

menggabungkan dua pemikiran misi kalangan antara evangelikal dan

ekumenikal. Di Dalam buku ini disatukan adalah dua dokumen terakhir

mengenai keputusan keputusan mengenai misi sedunia dari gereja gereja

protestan yang selama terpolarisasi secara teologis. Bukan hanya itu, di

dalam masing masing dokumen, secara terpisah terlihat adanya

keseimbanganan tekanan misi dalam motif dan maksud dan konten antara

evangelism dan social concern. Khususnya dalam menuguhkan pesan Injil

bagi dunia di tengah masyarakat majemuk, khususnya lapangan agama

agama. Ini terlihat di bagian terakhir dimasukan juga secara khusus

dokumen khsus mengenai misi agama agama yang dihadiri oleh kalangan

gereja gereja yang lebih luas lagi seperti, Katholik dan Ortodoks.

Dari sub judulnya, buku ini terdiri dari tiga bagian besar ”dokumen

gerejawi” tentang misi kekinian, mungkin maksudnya abad ke 21 atau pasca

modern dari kaum ekumenikal (oikumene) dan evangelikal (injili), lalu

ditambah satu lagi satu dokumen yang digumuli bersama dan bahkan meluas

pada kelompok kelompok gerejawi lainnya, seperti gereja Ortodoks dan

gereja Katholik dalam menggeluti lapangan agama agama yang dirasakan

masih terus menyisakan isu konflik dan persengketaan. Memang ini real dan

faktual

Dari “pendahuluan” tersirat dokumen dokumen itu diterjemahkan

untuk diterbitkan tanpa editor yang dapat mengarahkan pembaca pada

maksud dan motif penerbitanya. Namun dengan “kata pengantar” yang

ditulis pejabat sekum PGI dapat diduga penggagas nya adalah berlambang

gerakan oikoumene Indonesia. Mungkin saja bagian pertama buku ini

dianggap sebagai pandangan resmi gerakan ekumenis itu, yang ingin

menekankan lagi keseimbangan misi gereja gereja protestan, dibawah

lembaga itu. Namun, karena ada dokumen njili yang dimasukanm alangkah

indahnya kalau penerbit memberi ruang kata pengantar dari gerakan injili,

Page 2: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 123

agar kita mendapat pandangan yang seimbang. Namun karena ini sepertinya

adalah merupakan proyek PGI sendiri dengan dengan sarana BPK Gunung

Mulia --atau justru sebaliknya, proyek penerbit BPK dengan menggandeng

PGI—maka kita dapat melihat itu sebagai sesuatu yang bisa diterima.

Sedangkan penerbitan terjemahan ini dimaksudkan untuk memampukan

gereja gereja ekumenis untuk melakukan refleksi pembelajaran, dan

pelaksanaan misi yang baru.

Dokumen misi yang dipersiapkan di pulau Kreta Yunani tanggal 5

september 2012, disepakati oleh Commission on World Mission and

Evangelism (CWME) lalu ditindaklanjuti dalam pertemuan CWME 2013

Di Kochi India untuk menterjemahkan sebagai karya agar dapat masuk ke

dalam jemaat jemaat lokal, lembaga misi serta studi misiologis. Dari

“Pendahuluan” dokumen yang ditulis oleh Joosep Koom, penulis dari badan

yang diterjemahkan dalam bahsa Indonesia Komisi Misi Dunia dan

Pemberitaan Injil dan menyepakati secara bulat semoboyan baru misi

gerakan ekumeni ini telah sisepakati buat sebagai masa kini dari gerakan

misi kaum ekumeni yang berjudul “Bersama-sama Menuju Misi dan

Pemberitaan Injil dalam Perubahan Wajah Dunia”. yang terbagi menjadi sub

sub bagian besar: (i) pendahuluan; (ii) semangat karya misi: sebuah nafas

Kehidupan; (iii) semboyan baru dalam isi dan pemberitaan Injil yang

berjumlah 112 butir keputusan yang berkesinambungan. Selanjutnya diberi

“suatu panduan praktis” pada bagian kedua dokumen ini, yang terdiri dari

sub sub bagian besar: (i) pendahuluan; (ii) semangat pembebasan: misi dari

(pada) mereka yang terpinggirkan; (iii) semangat pentakosta: kabar baik

bagi semua; (iv) kesimpulan: terimalah Roh Kudus. Semuanya mengisi 103

hlm. dari total 2004 halaman buku ini.

Dokumen ni dijadikan sebagai bahan inspirasi dengan ketetapan hati

bersama dalam karya misi Roh Kudus. Frasa-frasa yang digunakan memang

sangat menakjubkan sebagai seorang Protestan ekumenis dengan butir-butir

semboyan bernuansa doktrinal, yang selama ini terasa “dijauhi” oleh kaum

ekumenis, seperti: Allah Tritunggal, Roh Kudus, Gereja, Anugerah

penciptaan. Ini semua terlihat dari 11 butir penekanan teologis yang

diringkas sendiri menjadi Missio dei untuk meletakan empat pokok: (a)

semangat misi: nafas kehidupan; (b) semangat pembebasan: misi (dari)

Page 3: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

124 TINJAUAN BUKU

mereka yang terpinggirkan; (c) semangat persekutuan: gereja yang bergerak;

(d) semangat pentakosta: kabar sukacita bagi semua (lih. hlm. 11). Walau

tentu kaum ekumenis punya pengertian sendiri tentang Pentakosta dan misi

adalah nafas kehidupan adalah gaya kaum injili, pada khususnya. Tentunya

Semua semboyan baru ini akan sangat menakjbkan bagi seorang injili,

seperti kami sebagai peninjau buku ini. Sampai di sini kita melihat tujuan

umumnya sangat patut sangat disyukuri adanya pengakuan pentingnya

bidang evangelism, yang sayangnya kembali diterjemahkan sebagai

“pekabaran Injil” yang bersifat umum yang selama ini sudah dikenal dengan

frasa mission dei dan bukan lah penginjilan secara khusus sebagai

penyelamatan jiwa-jiwa demi pertumbuhan gereja, seperti dimaksudkan

kaum injili dengan kata yang sama itu.

Dokumen injili diwakili oleh keputusan gerakan Lausanne yang

divetiuskan LCWE ke tiga di Capetown, Afrika Selatan tahun 2000 yang

diberi judul sebagai “Komitmen Capetown: suatu pengakuan iman dan

panggilan untuk bertindak”. Di dalamnya termaktub maksud injili dalam

misi pekabaran injil dunia yang lebih luasa dan spesifik pada isu isu global

dunia, yang sudah biasa dihadapi isunya oleh kaum eukumenis. Seperti

terlihat dalam bagian bagian i) pendahuluan; ii) mukadimah; iii) untuk

Tuhan yang kami kasihi: pengakuan cape town; iv) bagi dunia yang kami

layani: panggilan Capetown untuk bertindak, yang isinya terdiri dari sub

bagian besar: mengeban saksi bagi kebenaran Kristus dalam dunia yang

pluralistis; membangun damai Kristus di tengah-tengah dunia yang terbagi-

bagi dan rusak; mengamalkan kasih Kristus di tengah-tengah dunia yang

berkeyakinan lain; memahami kehendak Kristus bagi penginjilan dinia;

memanggil gereja Kristus kembali kepada kerendahan hati integritas dan

kesederhanaan. Bermitra dalam Tubuh Kritus demi kesatuan misi.

Kesimpulan masih ditambah lagi dengan semacam ajakan jadikan mereka

murid-Ku; “hendaklah kau saling mengasihi, dapat dianggap sebagai

apendiks karena sudah ada kesimpulan. Semuanya menampilkan 88 halaman

dari buku ini, dengan butir-butir kecil sebagai fokus pembicaraan dan

maksud serta pengakuan iman.

Bagian ketiga adalah dokumen dari PCID WCC, WEA yang berjudul

‘Kesaksian Kristen dalam dunia beragam agama” bagian ini terdiri dari (i)

Page 4: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 125

pembukaan; (ii) dasar kesaksian Kristen (7 butir); (iii) prinsip-prinsip (13

butir) rekomendasi (6 butir) dan appendiks 9 sebagai latar belakang

dokumen (5 butir). Bagian pengakuan misi khusus dalam konteks antar

agama ini menempati 8 halaman. Namun cukup berarti untuk melihat fokus

dan maksud akhir dan utama dari buku ini, khususnya di Indonesia yang

syarat akan konflik antar agama.

Walaupun tentu banyak pihak injili, yang tidak paham benar gerakan

injili bahkan juga banyak yang tidak tahu menahu mengenai komitmen Cape

Town 2000 ini, sebagai konfesi fundamental gerakan misi injili. Dalam studi

seminari ada pelajaran misi kontemporerpun tidak mendapat perhatian

serius dari para dosen karena memang terbiasa dengan pola lama misi abad

19 M, lintas budaya dan interbudaya. Namun syukurlah dalam pelajaran

studi ekumenika sebagai pelajaran kesatuan dan persatuan orang Kristen

diinformasikan ada dua gerakan umum dalam gerakan gereja Protestan

sampai sekarang, yaitu: ekumenisme dan evangelikalisme. Dalam kondisi

inilah dokumen LCWE sampai yang ketiga ditelusuri secara detail.

Ada satu hal yang patut dicatat dari penterjemahan yang boleh

dijadikan catatan, misalnya kata dan pengertian evangelism dalam kaum

ekumenis diterjemahkan ‘pekabaran injil’. Ini sangat menarik karena

biasanya kaum ekumenis memakai kata evangelization untuk sebagai

pekabaran injili, secara umum dan kurang perhatian pada penginjilan

perorangan. Artinya disini penerjemah pun kemungkinan memakai

pengertian umum itu untuk evangelism sebagai misi gereja secara umum,

yang didalamnya bercampur langsung dengan mandat budaya, sosial,

ekonomi dan lain-lain. Singkatnya bagi kaum ekumenis, pengertian

evangelism dalam kekhususan menantang orang untuk menerima Kristus

secara personal adalah agak ‘haram’ dilakukan dalam dunia agama yang

majemuk apalagi harus dilakukan dalam gereja gereja tradisional, seperti

kaum injili yang gencar dengan kebangunan rohani di dalam gereja gereja.

Dokumen kedua adalah dokumen misi injili dari pertemuan Lausanne

ke-3 di Cape Town, tahun 2000, yang memakai semboyan, “…dan

panggilan untuk bertindak” dalam dokumen ini jelas kelihatan gerakan misi

injili dalam kerangka Lausannne tidak meninggalkan isu-isu praktis dalam

pergumulan manusia dan peradabannya untuk misi injili sedunia. Ada hal

Page 5: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

126 TINJAUAN BUKU

tetap yang merupakan ciri khas gerakan injili yaitu selalu dilandasi oleh

pernyatan iman secara doktrinal. Ini adalah gerekan teologis doktrinal lalu

meluaskan komitmennya dalam aksi-aksi praktis dan implemantaif yang

segar nyata dan fokus dalam isu-isu seperti, HAM, LGBT, penindasan,

kelaparan, penyakit, dan lain-lain. Namun sayangnya banyak dosen dan

pemimpin injili yang tidak tahu dan tidak memahaminya dan hanya

menekankan tantangan keselamatan sorgawi saja. Yang patut dicatat dari isi

dikumen injili ini adalah gerakan misi yang terbuka bagi pergumulan

manusia di dunia juga, sehingga dapat dibedakan dari kaum fundamentalis.

Namun di dalamnya juga ada ajakan semacam gerakan kesatuan

Kristen di dalam misi dan penginjilan dalam masyarakat yang super modern

ini. Secara keseluruhan ini adalah modal awal gerakan penyatuan dan

persatuan gereja-gereja sedunia melalui pelaksanaan misi di tengah

masyarakat majemuk, khususnya secara keagamaan, politik, sosial ekonomi

dan lain-lain. Ini memang dokumen kekinian bagi gereja masa kini,

khususnya dari dua gerakan kesatuan Kristen. Ini adalah protestanisme masa

kini yang semangatnya inklusif walaupun tetap tersirat ada komitmen,

khususnya dalam arena antar agama.

Namun yang khusus adalah kata evangelism selalu diterjemahkan

sebagai penginjilan tidak diartikan sebagai “pekabaran injil” dalam arti

umum dan luas layaknya world mission. Dalam jalan pemikiran LCWE

world evangelization diterjemahkan sebagai pekabaran Injil sedunia. Dalam

pengertian pekabaran injil sedunia, yang secara popular dikenal sebagai

‘misi’ ke ujung dunia. Penggunaan kata itu berbeda dari evangelism yang

tema populer dan diterjemahkan sebagai ‘penginjilan’ saja, yang secara

konseptual sebagai berita injil untuk menantang orang berdosa menerima

Yesus secara pribadi demi keselamatan di dalam pertobatan iman atau lahir

baru. Artinya sejak pertama di dalam gerakan Lausanne, secara tidak

langsung sudah terbedakan dengan sendirinya. Pendapat itu diperkuat

dengan referensi teks Injil yang berbeda dasarnya juga antar kedua kata itu, -

-evangelism dan evangelization-- (lih. poin ke-3 dan 4 dari Perjanjian

Lausanne). Jadi secara keseluruhan, penginjilan (evangelism) adalah bagian

dari pekabaran injil (world evangelization), yang di dalamnya juga termasuk

keprihatinan sosial (poin 5 Perjanjian Lausanne 1974).

Page 6: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 127

Dalam persiapan untuk pertemuan misi geraakan Lausanne ketiga

Komitmen Cape Town ini akan dibuat semacam “peta jalan” ke depan dan

bersifat “panggilan profetik” bagi semua aras dalam gerakan misi injili

yang “lebih jauh lagi dengan menghubungan kepercayaan dengan praktis”

(lih. 108). Bahkan hal ini disertai dengan sikap inklusif dalam gerakan injili

yang disampaikan dalam “pendahuluan” bahwa “meskipun kami berbicara

dan menulis dari tradisi injili pada Gerakan Lausanne, kami menegaskan

kesatuan dari tubuh Kristus dan dengan sukacita bahwa ada banyak pengikut

Tuhan Yesus Kristus di dalam tradisi-tradisi lain” (hlm. 109). Ini pernyataan

inklusif gerakan injili bahwa akomodatif serta kooperatif di dalam misi injil.

Ini yang mengindikasikan evangelikal berbeda dengan fundamantalis, yang

tertutup dan tidak berkerjasama dengan tradisi Kristen yang berbeda.

Terakhir, buku ini menyatukan keputusan-keputusan misi masa kini,

khususnya di tengah-tengah masyarakat majemuk sebagai konteks kekinian

kedua gerakan itu. Ini memang sebagai konteks pemberitaan injil masa kini

yang global dan lokal, khususnya fokus pada situasi dan kondisi keagamaan

plural dan global. Hal ini dilihat dari dokumen terakhir mengenai “kesaksian

kristiani dalam dunia yang beragam agama”. Paparan dokumen ini tanpa

tafsiran apapun dianggap sebagai informasi awal untuk memikirkan

kesatuan atau persatuan kedua golongan yang terpolarisasi besar di

Indonesia. Konon di barat tentu ekumenisme sudah menjadi isu mati dan

diganti dengan istilah sebutan dengan main line gereja atau mainstream

Christian, sedangkan topik evangelikaisme masih terus berjalan sampai

sekarang, disertai isu yang hangat dan dinamis.

Akhirnya, ternyata selama ini kedua pemikiran dari kedua kubu

gerakan gerejawi ini saling berseberangan bahkan bertentangan, bukan

hanya berbeda dalam pengertian dam praktik misi penginjilan secara umum.

Kedua gerakan ini saling menafikan khususnya dalam misi penginjilan

global. Namun ketika membaca kedua dokumen ini di tempat terpisah,

ternyata tidak berseberangan sama sekali. Kegiatan evangelism yang ini

sering ditolak oleh kaum ekumenis sebagai sesuatu yang merusak pergaulan

antara masyarakat yang berbeda agama. Namun masih tetap memakai

evangelization sebagai suatu pekabaran injil yang bersifat global dan luas

konsepnya, yaitu misi holistik, bukan hanya sekedar tantangan injil. Kaum

Page 7: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

128 TINJAUAN BUKU

injili sangat sadar pentingnya evangelism di dalam inti evangelization

sebagai tantangan injil bagi orang orang untuk menerima keselamatan

melaui iman partikular dalam Kristus. Di lain pihak ekumenis lebih

menekankan misi holistik dan masyarakat dalam pergaulan dan

pembaharuan Injil dan peran masyarakat oleh Injil, bahkan memunculkan

injil sosial, tidak memperbolehan lagi tantangan injil keselamatan sorgawi

kepada dunia apalagi di dalam gereja lokal.

Dari semua ini kita meihat bahwa kedua gerakan misi Kristen ini

dapat juga menlihat acuan yang disatukan ini sebagai sesuatu dengan

terbuka dan adil.

Togardo Siburian

Where is God In A Coronavirus. Oleh John C. Lennox. Surabaya, Perkantas

Jatim, 2020. (81 halaman). Dan Coronavirus and Christ. Oleh John Pipper.

Surabaya, Perkantas Jatim, 2020. (98 Hlm).

Pendahuluan

John Lennox adalah seorang matematikus, filosofer, dan juga seorang

apologis Kristen. Meskipun seorang ilmuan, Lennox juga menulis banyak

buku teologi, terutama dalam genre apolegetika. Buku ini juga dapat

digolongkan sebagai buku apologetika, terutama dalam menghadapi

tantangan ateisme. Akan tetapi, buku ini juga dapat digolongkan sebagai

buku pastoral bagi setiap jiwa yang sedang menderita.

Dengan persoalan konteks yang sama, Piper juga menulis buku

dengan judul coronavirus and Christ. John Piper adalah seorang pendeta

senior dan juga seorang dosen teologi. Selain itu, Piper juga merupakan

seorang penulis yang sangat produktif. Ada banyak buku-buku nya yang

sudah diterbitkan dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Sebagai

seorang pendeta dan juga seorang dosen, Piper terbiasa menulis dengan

cukup akademis, namun juga sekaligus praktis yang berguna untuk pastoral

kepada jemaat. Jika Lennox menulis dengan perspektif apologetika, maka

Pipper menggunakan kristologi dan eskatologi dalam memandang persoalan

Covid-19 ini.

Page 8: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 129

Kedua buku ini ditulis dalam jangka waktu yang relatif singkat.

Pasalnya, sifat mendesak dari konteks yang membuat mereka menulis secara

“kilat.” Akan tetapi, masih ada hal-hal yang dapat dipelajari dari kedua buku

tipis ini.

Gambaran Besar Buku John Lennox

Secara umum, Lennox menantang ateisme. Oleh karena bersifat ideologis,

saya menyimpulkan buku ini sebagai buku apologetika. Tentunya, bukan

apologetika yang sebatas polemika sebagai ilmu berdebat. Namun,

apologetika dalam ranah worldview.

Dilihat dari daftar isi dari buku ini, maka kita akan melihat bahwa

Lennox berusaha membagi bab-bab tersebut dalam tiga bagian besar. Dalam

rangka pastoral menghadapi ateisme, Lennox memulai dengan sebuah

identifikasi bahwa Ateisme tidak terverifikasi dalam kehidupan riil. Dia

memulai dengan dua bab awal yang diberi judul “merasakan kerapuhan diri;

dan berbagai katedral dan cara pandang kehidupan.”

Dalam pertama, Lennox menjabarkan secara panjang lebar mengenai

berbagai virus yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia (hlm. 13

dst). Dengan penjabaran tersebut, dia ingin mengidentifkasi bahwa ateisme

yang menghasilkan superiorisme tidak berdaya. Pasalnya, manusia pada

dasarnya begitu rapuh dan terbatas. Oleh karena itulah, maka Allah menjadi

pegangan yang kokoh dalam menghadapi persoalan krisis ini.

Bab kedua, Lennox mengajak pembaca untuk melihat berbagai

perspektif mengenai penderitaan. Baginya, agama tidak dapat dilepaskan

dari penderitaan manusia. Pasalnya, agama memberikan harapan,

kesembuhan spiritual dan penawar kesepian (hal 17). Kemudian, dalam bab

ini, Lennox menjabarkan mengenai dua macam jenis kejahatan, yakni

kejahatan moral dan kejahatan alamiah. Bagi Lennox, kejahatan moral

adalah sepenuhnya salah manusia, dan kejahatan alamiah kadang-kadang

disebabkan oleh manusia, namun juga terkadang bukan oleh manusia.

Namun, terlepas dari itu, Lennox menganggap bahwa rasa sakit memberikan

manfaat kepada manusia. Setidaknya ada 3 manfaat rasa sakit, yakni untuk

mengingat akan adanya bahaya, peroses pertumbuhan fisik dan

Page 9: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

130 TINJAUAN BUKU

pembentukan karakter. Semua itu mempunyai satu tujuan, yakni untuk

mengajarkan manusia mengenai kefanaan dan kerapuhan manusia (23-24).

Bagian yang kedua, Lennox melakukan attacking secara langsung

terhadap ateisme. Dalam judul “dapatkah ateisme menolong?, “ secara

langsung, Lennox ingin mengatakan bahwa ateisme sama sekali tidak dapat

menolong (hal 34 dst). Pertanyaan ateisme mengenai eksistensi Allah tidak

dapat menolong apa-apa karena ateisme tidak menawarkan apapun selain

skeptisisme semata. Tidak ada perwujudukan pemikiran yang lebih konkret

dari ateisme ketika mengalami situasi seperti ini. Selain itu, ateisme yang

tidak mempunyai moral yang objektif, tidak dapat menjadi landasan moral

apapun.

Bagian ketiga, Lennox memberikan verfikasi Teisme Kristen terhadap

persoalan pandemik Covid-19. Bagian ini terdapat dalam tiga bab yang

diberi judul “bagaimana mungkin ada virus corona jika ada Allah yang

mengasihi?; bukti kasih; dan perbedaan yang Allah kerjakan.”

Khusus untuk bab 4 yang berjudul “bagaimana mungkin ada virus

corona jika ada Allah yang mengasihi? Lennox mengajak pembaca untuk

melihat 3 hal, yakni natur virus secara umum, natur kemanusiaan dan ajaran

Alkitab mengenai mengapa segala sesuatu terjadi. Virus pada dasarnya

adalah suatu hal yang baik. Manusia membutuhkan virus untuk

keberlangsungan hidup. Bahkan ada 100 juta tipe virus yang membantu

kehidupan manusia, dan hanya ada 21 tipe yang bersifat merusak (hlm. 42).

Dengan begitu banyak virus yang baik, bagaimana mungkin kita

mengatakan bahwa Allah tidak mengasihi?

Kemudiaan natur kemanusiaan. Manusia pada dasarnya berdosa dan

keinginan hatinya bersifat jahat. Bahkan virus membunuh lebih sedikit orang

daripada yang dilakukan oleh sesame manusia. Dan yang ketiga adalah

ajaran Alkitabiah mengena mengapa sesuatu terjadi. Bagi Lennox, pilihan

manusia lah yang menyebabkan banyak hal buruk terjadi.

Kemudian bab 5 dan 6 adalah bagian yang praktis dari buku ini.

Saran-saran uintuk mengikuti saran medis, melakukan kebaikan social, dll

ada dalam bab ini. Prinsipnya adalah waktu krisis seperti ini adalah waktu

dimana kita membuktikan kasih kepada sesama.

Page 10: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 131

Kristologi dan Eskatologi Piper Menghadapi Pandemi Covid-19

John Piper sedikit berbeda dengan Lennox. Dia menulis dengan lebih

bersifat doktrinal. Selain itu, Lennox berusaha membela Allah dari “citra

buruk.” Sehingga, semua hal yang terjadi adalah akibat ulah manusia itu

sendiri. Dia tidak menuliskan secara eksplisit tentang keberadaan Allah di

tengah persoalan Covid-19. Sedangkan Piper adalah sebaliknya. Baginya,

semua hal yang terjadi adalah dalam kedaulatan Allah, dan bahkan bisa

disimpulkan bahwa pandemic covid terjadi karena ketetapatan Allah.

Secara garis besar, Pipper membagi buku ini dalam dua bagian.

Bagian pertama adalah bangunan kristologi yang dia beri judul “Allah yang

memerintah atas virus corona.” Empat bab dalam bagian ini menjabarkan

tentang Yesus sebagai batu karang yang teguh. Dalam bagian ini, Pipper

cukup kontroversial. Pasalnya, dia hendak mengatakan bahwa pandemi ini

disebabkan oleh Allah sendiri. Namun, meskipun Allah yang menyebabkan

pandemi ini, Allah tetap tidak dapat disalahkan. Pasalnya, Dia adalah Allah

yang kudus, yang tidak memerlukan pengakuan eksternal (hlm. 32). Bahkan

memang manusia layak dihukum dengan pandemi ini (hlm. 33), dan Piper

menyebut ini sebagai providensia yang pahit (35). Dalam hal ini, Pipper

berbeda dengan Lennox yang menganggap bahwa kejahatan alamiah

(pandemi Covid-19), disebabkan oleh andil manusia. Akan tetapi, Piper

memberikan argumentasinya. Meskipun Allah berdaulat dan menetapkan

pandemi ini terjadi, namun kedaulatan Allah atas virus corona disebutnya

sebagai sesuatu yang manis didengar (hlm. 43). Pasalnya, Allah adalah

Mahakasih, di dalam diri-Nya terdapat kebaikan dan kebenaran yang tidak

saling bertentangan. Oleh karena itu, sekalipun bersifat providensia yang

pahit, pasti ada kebaikan dalam krisis ini.

Dalam bagian dua, Pipper membangun eskatologi. Namun, tentu tidak

dengan eskatologi ala teori konspirasi. Eskatologi yang dibangun Piper

dalam bagian-bagian ini bersifat umum. Bahwa, memang kita sedang berada

dalam zaman akhir. Dan pandemi ini adalah salah satu bentuk

konfirmasinya.

Bagian ini diberi judul “apa yang sedang dilakukan Allah melalui

virus corona?.” Kemudian, ada 5 bab untuk menjabarkan pertanyaan dalam

bagian dua ini. Baginya, pandemi ini memang adalah “penghakiman khusus

Page 11: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

132 TINJAUAN BUKU

dari Allah” (bab 7). Berbeda dengan Lennox yang menganggap bahwa

tragedi tidak selalu disebabkan oleh karena penghakiman Allah. Ada tragedi

yang memang untuk ujian iman. Dalam hlm. ini, Piper tidak melihat bahwa

Allah tidak selalu menghakimi dengan cara demikian.

Kemudian pada bab 6, Piper menjelaskan bahwa Allah bertujuan

untuk menggambarkan kengerian moral manusia melalui virus corona ini.

Bab 8 “membangunkan kita untuk menyambut kedatangan Kristus yang

kedua; Bab 9 “menyelaraskan hidup kita dengan nilai Kristus yang tak

terhingga; bab 10 “menciptakan perbuatan baik di tengah bahaya; Bab 11

“melonggarkan akar untuk menjangkau suku-suku bangsa.”

Pemaparan Piper memang mungkin dapat menggugah manusia. Akan

tetapi, Allah digambarkan sebagai penanggungjawab atas semua kejahatan

yang terjadi. Jika demikian, maka konsekuensi logisnya adalah dosa pun

disebabkan oleh ketetapan Allah.

Cara Kerja Teologi Kontekstual

Meskipun kedua buku ini berbeda dalam pemahaman teologis, namun kedua

buku memberikan contoh mengenai tugas teologi dalam konteks. Artinya,

teologi tidak boleh hanya sekedar konsep yang mengawang-ngawang,

melainkan harus menjawab persoalan konteks.

Selain itu, kedua buku ini juga memperlihatkan kepada kita mengenai

cara kerja teologi. Kedua penulis ini tidak berusaha menjadi orang lain.

Mereka adalah teolog dan hasil tulisan yang dihasilkan pun adalah hasil

tuliusan teologi. Meskipun Lennox adalah seorang ilmuan, namun ketika dia

menulis teologi, ilmu-ilmu lain yang dia kuasai hanya sebatas pelengkap

dalam risetnya. Dia tidak berusaha menjadi ilmuan, melainkan hanya

menuliskan perspektif teologi dalam bidang kesehatan.

Tugas teologi kerapkali menjadi kabur. Pasalnya, kita cenderung

dengan mudah menggunakan kata integrasi. Akhirnya, teologi menjadi

“harus serba tahu/harus serba bisa.” Padahlm. teologi memiliki keterbatasan

dalam hlm. teknis. Teologi adalah ilmu perspektival yang memberikan

prinsip-prinsip dalam setiap lapangan kehidipupan.

Apalagi, tugas gereja dan teolog berkaitan dengan jiwa rohani

manusia. Jadi dia tidak bersifat teknis semata. Dari kedua tulisan ini,

Page 12: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 133

meskipun dalam teologi yang berbeda, prinsip-prinsip yang mereka

sampaikan tetap ada titik temunya. Terutama ketika membahas mengenai

manusia yang terbatas dan membutuhkan Allah, kebaikan Allah dan

pemeliharan Allah, dll.

Ketidakcukupan Ateisme

Kedua buku ini memang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Namun,

ada satu kesamaan yang mendasar, yakni satu tantangan terhadap

ketidakcukupan ateisme. Lennox mengambarkan manusia yang begitu

rapuh, bahkan manusia yang tidak ada standar moral menyebabkan

kejahatan moral dan kejahatan alamiah terjadi.

Meskipun Pipper berbeda dalam memandang kejahatan alamiah,

namun titik temu nya sama saja, yakni dalam hlm. ketergantungan kepada

Allah. Persoalan apakah kejahatan alamiah disebabkan oleh manusia atau

Allah tetap mengharuskan manusia menggantungkan diri kepada Allah.

Ateisme menjadi worldview utama yang ditantang pada tulisan ini.

Ateisme dengan berbagai pertanyaan skeptis, tidak menghasilkan apapun

untuk kehidupan peradaban manusia. Sebagai worldview dalam lapisan

ontologis, ateisme memunculkan beberapa worldview yang saling terkait,

yakni humanisme, superiorisme dan skpetisisme.

Humanisme mungkin menjadi worldview dalam lapisan epistemologis.

Humanisme memang tampak baik sebagai sebuah worldview yang

terverifikasi dalam kehidupan riil. Akan tetapi, ada beberapa presuposisinya

yang tidak konsisten dalam sistem worldview nya. Humanisme melakukan

kebaikan moral, tetapi karena turunan dari ateisme, maka moral yang

dihasilkanpun bersifat relatif. Oleh Karena itu, jika mengikuti doktrin

humanisme tentang moral, maka membunuh pun dapat dikatakan sebagai

sebuah kebenaran. Pasalnya, tidak ada kebenaran yang objektif.

Selain itu, humanisme yang percaya bahwa manusia adalah pusat alam

semesta menghasilkan superiorisme. Akan tetapi, superiorisme juga tampak

inferior hari ini. Kemudian, skeptisisme yang mengajak orang untuk sinis

terhadap segala sesuatu juga tidak menghasilkan apapun selain rasa frustasi,

kebencian, dan perasaan tidak berpengharapan.

Page 13: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

134 TINJAUAN BUKU

Afirmasi Keunggulan Teisme Kristen

Teisme Kristen menawarkan hlm. yang berbeda. Dalam konteks penderitaan

manusia, Teisme Kristen menawarkan satu konsep yang lebih holistic,

komprehensif dan terverifikasi.

Misalnya, dalam menghadapi humanisme. Teisme Kristen percaya

bahwa manusia bukan pusat segala sesuatu. Meski demikian, manusia

berharga karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Akan tetapi,

manusia berdosa, sehingga membuat segala sesuatu tidak berjalan

sebagaimana mestinya, sehingga manusia membutuhkan Allah.

Kemudian skeptisisme yang menghasilkan kehidupan sinistik juga

tidak memberikan sumbangsih apapun kepada manusia dalam menghadapi

penderitaan. Sedangkan teisme Kristen menawarkan sebuah penyerahan diri

total kepada Allah yang berdaulat, baik dan memelihara kehidupan umat-

Nya. Dengan dalil seperti ini, niscaya manusia akan lebih berpengharapan

dalam menjalani kehidupans yang sulit.

Worldview teisme Kristen yang komprehensif dapat diuji dalam setiap

presuposisinya dan diverifikasi dalam kehidupan nyata. Allah Tritunggal

sebagai dasar ontologis meniscayakan adanya pemeliharaan yang sempurna

terhadap manusia; wahyu Allah dalam Alkitab sebagai epistemologi yang

menyediakan jawaban atas ketidaktahuan, pengharapan di tengah

ketidakpastian, penghiburan di tengah kedukaan, pengajaran yang sempurna,

dll. Terakhir, aksiologis dalam bentuk kasih, keadilan, sukacita,

pengorbanan, kebaikan, dll. Semua ini membentuk sebuah worldview yang

kokoh dan layak dihidupi.

Yogi Mandagi

Page 14: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 135

Seeing Jesus From The East. Oleh : Ravi Zakharias dan Abdu Murray.

Grand Rapids, Michigan: Zondervan Reflective, 2020 (148 hlm.)

Ravi Zakharias merupakan seorang apologis Kristen berkebangsaan Kanada-

Amerika Serikat kelahiran India. Ia adalah seorang pembela evangelikalisme

tradisional. sementara Abdu Murray merupakan Senior Vice President dari

Ravi Zacharias International Ministries. Dalam buku Seeing Jesus From The

East, keduanya berusaha menyampaikan pentingnya cerita dalam

kebudayaan timur dalam menyampaikan kebenaran terutama tentang Injil

Yesus Kristus yang meskipun itu sebuah cerita, namun mengundang ujian

untuk kebenaran. (hlm. 10). Secara keseluruhan buku ini mampu

menyajikan Yesus dalam keseluruhan cara pandang orang Timur dalam

menyoroti Yesus, asal-usul dan gagasan revolusionernya.

Zacharias dan Murray membagi buku ini dalam 9 bab. Pada Bab I

yang berjudul “Cerita, Keluarga dan Seorang Putera”, Zacharian

memaparkan pentingnya peran cerita dalam kehidupan Timur. Kemudian

pada Bab II, Zacharias memaparkan tentang “Pesan dan Pemberi Pesan”

yang menegaskan bahwa dalam Injil Kristen, pesan utamanya adalah

pengorbanan tertinggi dari Juruselamat (hlm. 35).

Pada bab III, Zacharias memaparkan tentang apa yang “Hilang dan

Ditemukan untuk Semua” dengan menggunakan 3 perumpamaan dalam Injil

Lukas 15 (hlm. 42). Pada Bab IV, Abdu Murray memaparkan tentang

”Kehormatan, Rasa Malu, dan Yesus.” Melalui bab ini Murray membuat

pembacanya memahami peran Rasa Malu dan Kehormatan dan kaitannya

dengan konsep kolektivitas. Pada Bab V, Abdu Murray kemudian

membahas mengenai “Hadiah Pengorbanan” dengan mengangkat konteks

surat Roma yang kemudian menggambarkan pemahaman di Timur dan

Timur Tengah, tentang tidak malu akan Injil Itu dapat berarti kehilangan

kebebasan dan bahkan kehilangan kehidupan. Tetapi itu juga berarti

mendapatkan berkah yang tidak bisa dicapai dengan cara lain.

Pada Bab VI, Abdu Murray kemudian membahas mengenai

penggunaan Parabel untuk mengajarkan kebenaran. Bab VII, Ravi

membahas mengenai peran Bait Allah dan konsep pernikahan dalam

pandangan masyarakat Timur. Pada Bab VIII, Ravi menangkat dua episode

Page 15: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

136 TINJAUAN BUKU

yang dipandang penting dalam kehidupan Yesus yakni Pencobaan di Padang

Gurun dan Transfigurasi. Melaluinya Yesus menunjukkan kepada kita apa

godaan nyata itu dan apa misi nyata kita dalam hidup. Bab IX, Abdu Murray

memberi penegasan pentingnya memperhitungkan cara orang Timur

memandang Yesus.

Ketika peninjau melihat keseluruhan buku ini, setidaknya ada empat

gagasan besar yang disampaikan oleh Zacharias dan Murray yakni pertama,

peran cerita dalam kebudayaan timur. Kedua, cara Injil Yesus Kristus

menyampaikan ide-idenya melalui cerita. Ketiga, cara mengajarkan

kebenaran melalui perumpamaan dalam kebudayaan timur. Serta keempat,

pentingnya cara pandang orang timur dalam melihat Yesus.

Peran Cerita Dalam Kebudayaan Timur

Segala sesuatu tentang cerita merupakan gaya khas Timur. Cerita-cerita

yang banyak dijumpai di Timur, kisah konflik dalam keluarga, tentang

kekuasaan dan kekuatan, tentang pembunuhan dan balas dendam, tentang

kerudung dan penyingkapan — dan, ya, nilai-nilai. Faktanya, ini adalah

kisah prototipe dari Timur Tengah hingga hari ini. Baik itu narasi Islam atau

kisah pertempuran agama yang panteistik, dengan sentral adalah perang

untuk membuktikan kebesaran dan dominasi. Seluruh epik Sansekerta yang

Mahabharata juga kisah menarik dari keluarga dan perang antara dua

bersaudara (hlm. 14).

Ada sisi lain dari penelaahan tentang cerita ini adalah memang banyak

dongeng-dongeng yang bersifat mitologis dan fantastis namun di dalamnya

terdapat pelajaran filosofis yang dimaksudkan untuk memberikan prinsip

serta pedoman bagi kehidupan budaya. Itulah alasan utama cerita itu

dibangun. Dalam budaya Timur yang panteistik, bukan kebenaran yang

menjadi fokus, tetapi “kebenaran” yang penting. Kebenaran datang dalam

peribahasa atau ucapan, jarang dalam kerangka pemikiran yang logis. Selalu,

penulis menceritakan kisah itu sebagai dongeng menimbulkan emosi tertentu

dari pembaca dan menanamkan prinsip abadi dalam hati nurani. Cerita

tersebut mungkin tidak benar, tetapi dimaksudkan sebagai media kebenaran

tertentu (hlm. 14).

Page 16: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 137

Injil Yesus Kristus juga sebuah cerita (hlm. 14). Melalui Kitab Roma

kemudian disimpulkan bahwa Surat Roma merupakan risalah terbesar di

dunia tentang Injil. Kisah kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan

Yesus adalah latar belakangnya, dan sewaktu membacanya akan terkesan

dengan pemikiran bahwa akhir itu bukan sekadar kejutan bagi pembaca,

tetapi juga merupakan kejutan bagi para penulis Injil itu sendiri yang mana

sangat berbeda dari mitos-mitos di Timur (hlm. 15).

Injil Yesus dan Ide dalam Cerita Timur

Yang menarik perhatian tentang kisah Yesus bukan hanya karena kisah itu

diklaim benar, tetapi juga bahwa kebenaran kisah tersebut telah dibuktikan

oleh kumpulan penulis. Terlebih lagi, klaim kebenarannya mencapai serta

melampaui karakter dalam cerita itu sendiri serta memasukkan kondisi

seluruh umat manusia. Kebanyakan teks suci Timur ditulis oleh perawi

tunggal. Sebaliknya, Alkitab menyatukan para perawi untuk berbicara

kepada seluruh kosmos. Pesannya bukanlah budaya mikro, atau, dalam hlm.

ini, narasi yang “hanya untuk saya”. Cerita ini bukan tentang keunggulan

budaya siapa pun. Sebaliknya, cerita itu transkultural, transetnis, dan

translinguistik. Cerita ini melampaui etika belaka teori atau kelompok

bahasa tunggal (hlm. 19). Singkatnya, kisah Yesus bukanlah kisah identitas

budaya. Dalam implikasi dan definisinya, cerita ini tentang apa artinya

menjadi manusia (hlm. 19). Kebenaran sekarang penting. Yesus adalah

Kebenaran dan Jalan. Ada makna hidup yang digenapi oleh Yesus.

Kebutuhan akan makna ini tetap menjadi pertempuran mendalam di Timur

hari ini, terutama dengan pandangan siklus hidup dan sejarahnya (hlm. 18).

Upaya untuk melihat Injil dan Alkitab dalam kacamata ketimuran

akan membantu memahami maksud Allah dan membawa pada penemuan

akan kebenaran. Dalam Kejadian 1 :1 dijelaskan bahwa dunia ini gelap

gulita dan kosong. Alkitab dimulai dengan pengakuan akan eksistensi Allah

yang kekal sebagai pencipta. Kemudian Ia berfirman dalam ayat kedua

“Jadilah terang.” Di Timur, kita sering menggunakan kata-kata seperti

iluminasi, pencerahan, dan sebagainya. Terang telah lama menjadi simbol

untuk mengetahui dan melihat. Bagi orang Ibrani juga demikian. Tidak ada

yang dapat melihat dalam kegelapan, tidak peduli seberapa keras upaya

Page 17: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

138 TINJAUAN BUKU

mencoba. Alih-alih merupakan upaya pencapaian akan pencerahan seperti

banyak paham di Timur, teks Kejadian 1:1-2 berupaya menyampaikan

bahwa kita memerlukan penerangan dan Firman Allah memainkan peran

sangat penting dalam iluminasi kita (hlm. 36). Penggunaan perumamaan dan

idiom memainkan peran sangat penting dalam kebudayaan Timur. Yesus

dalam upaya mengidentifikasi diri-Nya menggunakan idiom dan perumpaan

secara bergantian. Alih-alih mengidentifikasi diri-nya dengan asal-muasal,

garis keluarga, dan sebagainya, Dalam narasi “Aku adalah” pada Injil

Yohanes, Yesus menggunakan berbagai idiom untuk mengidentifikasi diri-

Nya serta menyampaikan peran yang Ia lakukan dalam karya keselamatan

(hlm. 37).

Mengajarkan Kebenaran Melalui Perumpamaan

Komunikasi Timur didandani dengan idiom dan perumpamaan (hlm. 79).

Sebelum kita menyelami kedalaman teologi Yesus secara serius yang

ditemukan dalam perumpamaan, mari kita berhenti sejenak untuk

menghormati logika dalam perumpaan. Perumpamaan atau ilustrasi

bukanlah pengganti argumen. Ini berlaku di semua budaya. Bagaimanapun,

perumpamaan hanya sebagai berguna sebagai logika di balik argumentasi.

Perumpamaan yang baik, bagaimanapun, memperkuat argumen dengan

membuatnya berhubungan dan lengket secara mental. Perumpamaan yang

didasarkan pada logika tidak hanya mengajari kita kebenaran yang

proposisional. Mereka menggunakan karakter dan tema yang membenamkan

kita ke dalam kebenaran yang diajarkan. Mereka memaksa kita bertanya

bagaimana kita akan bertindak dalam suatu situasi dan apakah kebenaran

benar-benar penting bagi kita (hlm. 80).

Karena itu, perumpamaan tidak hanya mengajari kita kebenaran;

mereka juga mengajari kita tentang hubungan kita dengan kebenaran.

Perumpamaan Yesus telah menyentuh orang Timur dan Barat, karena

melalui mereka, Dia mengundang kita ke dalam hubungan dengan

kebenaran itu sendiri (hlm. 80).

Page 18: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 139

Pentingnya Cara Pandang Orang Timur Dalam Melihat Yesus

Fakta bahwa Yesus adalah Timur Tengah dan mengajar serta bertindak di

dalam kerangka komunal kehormatan-malu menunjukkan bahwa Kristen

bukanlah agama Barat. Namun Yesus menentang diskriminasi etnis, ras, dan

gender yang biasa terjadi pada zamannya, sementara orang-orang di Barat

masih berjuang untuk menyelesaikan masalah itu. Ironisnya, Injil Kristen

menawarkan banyak hal dalam menangani masalah jusru sering disalah

artikan. Halaman-halaman ini adalah alasan yang cukup bagi orang-orang di

Barat untuk melihat Yesus dari Timur lagi (hlm. 114).

Jika masyarakat di Timur didasarkan pada kesesuaian komunal, maka

masyarakat di Barat didasarkan pada individualisme dan tandingan

ketidaksesuaian (hlm. 114). Sementara Yesus sepenuhnya Timur Tengah,

kemudian tindakanNya membentuk inti dari nilai-nilai Barat di kemudian

hari (hlm. 116). Melihat ketimuran Yesus tidak hanya membawa kesegaran

kejelasan; melihat Yesus sebagai jembatan Timur ke budaya Barat juga

membawa harapan saat kita berjuang di Barat untuk mengatasi masalah yang

sama dengan yang Dia tangani sejak lama (hlm. 116).

Ketika ibarat melihat kekuatan salmon yang berenang di aliran

pegunungan, kita terpesona melebihi deskripsi fenomena apa pun yang dapat

menginspirasi. Ketimuran-Nya mengacaukan narasi kita, namun

kemampuan-Nya dalam menangani isu-isu yang mengganggu budaya Barat

membuatNya abadi. Dia telah mempengaruhi orang kuno dan modern. Dia

telah mempengaruhi Timur dan Barat. Kita hanya harus memberinya

tampilan baru (hlm. 122).

Penutup

Catatan paling utama yang di temui melalui ulasan Ravi dan Murray adalah

bagaimana Kekristenan selama ini telah begitu terpengaruh dengan cara

berpikir Barat yang membuatnya menjadi kurang kena mengena dengan

konteks masyarakat di Timur. Padahlm. Yesus sendiri merupakan Orang

Timur yang hidup dengan dengan konteks budaya ketimuran. Mengubah

“kacamata” pembacaan Yesus dari barat ke timur membuat kita memiliki

horizon yang berbeda. Sedikit menggeser perspektif akan mendorong

kepada kesimpulan yang berbeda. Hlm. ini disebabkan karena lingkungan

Page 19: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

140 TINJAUAN BUKU

kebudayaan mempengaruhi dan mengkondisikan apa yang dilihat,

dikatakan, dan dilakukan.

Dengan kondisi demikian, kita dapat melihat Alkitab semakin

alkitabiah serta injil semakin Injili bagi gereja-gereja di timur. Tugas dari

gereja-gereja di Timur pada masa kini adalah memperkaya dan

mengembangkan pola pembacaan dan pemahaman yang berbeda dari Barat,

sehingga Injil menjadi relevan dan diterima dengan baik oleh masyarakat

dan olehnya gereja mampu menjawab masalah-masalah kontemporer yang

dihadapi masyarakat di Timur.

August Leonardo Kurniawan Adua

Competing Fundamentalism oleh Sathianathan Clarke. Louisville:

Westminster John Knox Press, 2018 (246 hlm.).

Fundamentalisme agama adalah gejala sosial lintas komunitas agama

yang terus berkembang terus saat ini. Agama apa-pun tidak imun terhadap

gejala ini. Lantas, apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristen

pada zaman ini untuk merespons gejala fundamentalisme agama ini,

terutama di dalam tubuh kekristenan sendiri? Sathianathan Clarke, profesor

bidang kebudayaan, teologi dan misi di Wesley Theological Seminary ingin

memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut.

Lewat bukunya, Competing Fundamentalism, Clarke ingin menjawab

pertanyaan “bagaimanakah peranan teologi di dalam memerangi gejala

fundamentalisme?” Di dalam konteks fundamentalisme yang terus

berkembang, pertanyaan Clarke ini patut untuk disingkapi secara serius.

Clarke menjawab pertanyaan ini dengan melihat dulu perspektif yang

berkembang di Amerika mengenai penyebab fundamentalisme agama.

Clarke mengamati bahwa seringkali para pakar melihat gejala

fundamentalisme agama dari perspektif sosial (hlm. 11-14), resistensi

terhadap kekuasaan dan politik (hlm. 14-20), akibat dari ketimpangan

ekonomi (hlm. 20-26), dan juga teori psikologi (hlm. 26-32). Clarke

mengklaim bahwa pendekatan sosial, politik, ekonomi, psikologi

memberikan perspektif yang penting di dalam melihat gejala ini. Hanya saja,

Page 20: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

STULOS: JURNAL TEOLOGI 141

Clarke melihat bahwa pendekatan ini belum menyentuh isu sebenarnya dari

gejala fundamentalisme agama. Bagi Clarke, gejala fundamentalisme agama

adalah fenomena teologis dan pemecahannya perlu dilakukan secara teologis

pula.

Sebelum Clarke menyatakan solusinya, dia mencoba melihat kasus-

kasus di mana fundamentalisme agama di beberapa negara seperti Amerika

(bab 2; Kristen), Mesir (bab 3; Islam), dan India (bab 4; Hindu). Walaupun

terdapat isu nasionalitas, historisitas, ataupun masalah ekonomi dan juga

sosial yang berkelindan di dalam pembahasannya, Clarke sekali lagi melihat

bahwa di dalam fundentalisme agama yang berkembang pada tiga negara

tersebut, peran teologi tidak dapat dipisahkan.

Clarke melanjutkan pembahasannya sekarang kepada arti dari kata

fundamentalisme agama. Bagi Clarke, fundamentalisme agama adalah cara

pikir komunal yang berdasarkan suatu visi tertulis ilahi (a revealed Word-

vision), yang dikolaborasikan dengan suatu sistem etika rigit mengenai tata

cara kehidupan dari umat manusia. Cara pikir komunal ini dikalibrasikan

dengan suatu gerakan agresif yang berupaya untuk menetapkan suatu

tatanan global yang akan mengatur kehidupan sosial, politik, ekonomi,

kultural, dan agama dari seluruh kehidupan manusia. (hlm. 154)

“a communal mind-set steeped in a revealed Word-vision, corroborated

by a definitive ethical system of world-ways for human living, and

calibrated by an aggresive movement that labors toward the goal that

such a global order will govern the social, political, economic, cultural,

andreligious lives of all human being.”

Lewat definisi dari Clarke, fundamentalisme dapat dikategorikan sebagai

suatu gerakan visioner, ekspansif, dan juga holistik. Gerakan ini visioner

karena didasarkan kepada suatu wahyu dan ada suatu tujuan yang ingin

dicapai di dalamnya. Gerakan ini juga bersifat ekspansif, karena terdapat sisi

kompetitif di dalamnya (lih juga. hal 154-162). Gerakan ini juga holistik

karena menyangkut dengan berbagai aspek dari kehidupan manusia. Lantas,

bagaimanakah cara “bersaing” (competing) dengan gerakan

fundamentalisme ini, terutama bagi kaum Kristiani sendiri?

Clarke mengusulkan agar kaum kristiani dapat melakukan pembacaan

secara konstruktif dengan tidak mengebiri makna Alkitab hanya pada bagian

Page 21: TINJAUAN BUKU - sttb.ac.id

142 TINJAUAN BUKU

tertentu saja (hal 167-177). Lantas, Clarke juga mengusulkan agar setiap

orang Kristen dapat menjadi pembawa kabar damai bagi dunia ini (hlm. 177-

184). Dengan melihat bahwa gerakan fundamentalisme adalah gerakan yang

berdasarkan pada visi tertulis ilahi yang dikomunikasikan kepada cara hidup

umatnya, Clarke ingin mengajak setiap orang Kristen untuk mereinterpretasi

teks dan juga cara hidup dari umat. Tafsir “beracun” fundamentalisme perlu

disembuhkan dengan tafsir yang sehat. Cara hidup yang penuh dengan

kekerasan perlu dilawan dengan cara hidup yang membawa damai. Inilah

arti dari bersaing dengan fundamentalisme ala Clarke.

Saya melihat bahwa buku ini dapat memberikan wawasan mengenai

fundamentalisme agama yang ada di Indonesia. Pertama, fundamentalisme

di Indonesia pun berkaitan erat dengan teologia. Gejala fundamentalisme

agama sendiri sudah merebak di dalam pemilihan presiden pada tahun 2019

dan diperkirakan bahwa isu fundamentalisme agama pun akan dimainkan

kembali pada pemilihan presiden berikutnya. Kedua, tulisan dari Clarke ini

dapat mengingatkan orang-orang di Indonesia bahwa sejatinya orang Kristen

pun dapat mengalami gejala fundamentalisme sebagai respons atas Gerakan

dari kelompok lain di Indonesia. Dengan demikian, saran dari Clarke dapat

diaplikasikan ke dalam situasi fundamentalisme di Indonesia.

Adrianus Yosia