Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

17
Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan Febrian Mulya Santausa 1 , Danny Surya, Eka Satya Nugraha, Leonita Ariesta Putri, Prissilia Prasetyo, Vionnie Violetta Tantri, Saleha Sungkar (Departemen Parasitologi) Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter [email protected] ABSTRAK Prevalensi enterobiasis tergolong tinggi pada murid SD. Melalui penyuluhan terhadap guru SD, informasi mengenai enterobiasis diharapkan lebih mudah disampaikan kepada murid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Penelitian dilakukan di Jakarta dengan mengundang perwakilan guru SD Jakarta ke acara penyuluhan. Desain penelitian adalah quasi-eksperimental dengan intervensi penyuluhan kesehatan mengenai enterobiasis. Semua guru yang hadir saat penyuluhan dijadikan subyek penelitian. Pengambilan data menggunakan kuesioner berisi pertanyaan mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, penularan, dan pencegahan enterobiasis yang dibagikan sebelum dan sesudah penyuluhan. Jumlah responden 67 orang, 31,3% laki-laki dan 68,7% perempuan. Sebelum penyuluhan responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan, responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang 3%. Dari uji marginal homogeneity didapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Jika ditinjau per nomor, uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada semua skor jawaban kecuali pertanyaan mengenai gejala enterobiasis (p=0,083). Hal tersebut disebabkan sebelum penyuluhan 95,5% responden telah menjawab pertanyaan tersebut dengan benar dan menjadi 100% setelah penyuluhan. Dapat disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis. The Knowledge Level of Enterobiasis Among Elementary School Teachers in Jakarta in 2011 Before and After Health Education ABSTRACT The prevalence of enterobiasis is high among elementary school students. Through providing health education to the teachers, information can be easily delivered to the students. Our study was aimed to assess the difference between knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers before and after health education. This quasi-experimental study was held in Jakarta by inviting representatives of elementary school teachers in Jakarta to follow health education about enterobiasis. The teachers (n=67), 31,3% male and 68,7% female, completed pre-test and post-test questionnaire consisting of questions about life cycle, pathogenesis, symptoms, transmission, and prevention of enterobiasis. Prior to health education, there were 16,4% respondents with good knowledge level, 35,8% average, and 47,8% poor. After health education, 83,6% respondents’ knowledge level was good, 13,4% average, and 3% poor. Based on marginal homogeneity test, the difference is significant (p<0,01). If we assess the score of each number before and after health education, Wilcoxon test shows significant difference in all numbers, except question about enterobiasis symptoms (p=0,083). It is because 95,5% respondents had already answered the question correctly before health education, and became 100% after health education. In conclusion, health education effectively improves knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers. Keywords: elementary school teachers; enterobiasis; health education; knowledge Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Transcript of Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Page 1: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Febrian Mulya Santausa1, Danny Surya, Eka Satya Nugraha, Leonita Ariesta Putri, Prissilia

Prasetyo, Vionnie Violetta Tantri, Saleha Sungkar (Departemen Parasitologi)

Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter

[email protected]

ABSTRAK

Prevalensi enterobiasis tergolong tinggi pada murid SD. Melalui penyuluhan terhadap guru SD, informasi mengenai enterobiasis diharapkan lebih mudah disampaikan kepada murid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Penelitian dilakukan di Jakarta dengan mengundang perwakilan guru SD Jakarta ke acara penyuluhan. Desain penelitian adalah quasi-eksperimental dengan intervensi penyuluhan kesehatan mengenai enterobiasis. Semua guru yang hadir saat penyuluhan dijadikan subyek penelitian. Pengambilan data menggunakan kuesioner berisi pertanyaan mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, penularan, dan pencegahan enterobiasis yang dibagikan sebelum dan sesudah penyuluhan. Jumlah responden 67 orang, 31,3% laki-laki dan 68,7% perempuan. Sebelum penyuluhan responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan, responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang 3%. Dari uji marginal homogeneity didapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Jika ditinjau per nomor, uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada semua skor jawaban kecuali pertanyaan mengenai gejala enterobiasis (p=0,083). Hal tersebut disebabkan sebelum penyuluhan 95,5% responden telah menjawab pertanyaan tersebut dengan benar dan menjadi 100% setelah penyuluhan. Dapat disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis. The Knowledge Level of Enterobiasis Among Elementary School Teachers in Jakarta in

2011 Before and After Health Education

ABSTRACT The prevalence of enterobiasis is high among elementary school students. Through providing health education to the teachers, information can be easily delivered to the students. Our study was aimed to assess the difference between knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers before and after health education. This quasi-experimental study was held in Jakarta by inviting representatives of elementary school teachers in Jakarta to follow health education about enterobiasis. The teachers (n=67), 31,3% male and 68,7% female, completed pre-test and post-test questionnaire consisting of questions about life cycle, pathogenesis, symptoms, transmission, and prevention of enterobiasis. Prior to health education, there were 16,4% respondents with good knowledge level, 35,8% average, and 47,8% poor. After health education, 83,6% respondents’ knowledge level was good, 13,4% average, and 3% poor. Based on marginal homogeneity test, the difference is significant (p<0,01). If we assess the score of each number before and after health education, Wilcoxon test shows significant difference in all numbers, except question about enterobiasis symptoms (p=0,083). It is because 95,5% respondents had already answered the question correctly before health education, and became 100% after health education. In conclusion, health education effectively improves knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers. Keywords: elementary school teachers; enterobiasis; health education; knowledge

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 2: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Pendahuluan

Enterobiasis merupakan penyakit infeksi cacing yang disebabkan oleh Enterobius

vermicularis (Oxyuris vermicularis) atau cacing kremi. Prevalensi enterobiasis di dunia masih

tergolong tinggi baik di negara berkembang maupun negara maju.1-3 Prevalensi enterobiasis

pada anak usia 5-14 tahun di Argentina adalah 23,8%.4 Di Turki, prevalensi enterobiasis pada

murid SD adalah 17%,5 sedangkan di Thailand prevalensinya di daerah rural sebesar 41,6%.6

Prevalensi enterobiasis pada murid SD di Korea Selatan tidak jauh berbeda dengan Turki,

yaitu sebesar 18,5%.7

Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis, kelembaban udara yang tinggi, dan

sanitasi kurang baik sehingga sesuai untuk perkembangan cacing kremi. Oleh karena itu,

prevalensi enterobiasis di Indonesia cukup tinggi, yaitu berkisar antara 13-60%.8 Di Malang,

prevalensi enterobiasis adalah 13%.9 Prevalensi enterobiasis pada anak berusia di bawah 6

tahun di Cikaret, Jawa Barat, sebesar 53,8%.10 Di Jakarta Timur, prevalensi enterobiasis

adalah 34,1% dan terbanyak pada kelompok usia 5 - 9 tahun, yaitu 54,1% dari 85 anak yang

diperiksa,8 sedangkan di Menteng, Jakarta Pusat, prevalensi enterobiasis berkisar 5-62,5%.11

Enterobiasis bersifat ringan dan jarang menyebabkan masalah kesehatan yang serius

dibanding infeksi cacing lain seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, atau cacing

tambang. Meskipun demikian, enterobiasis menyebabkan gatal yang hebat di daerah perianal

terutama pada malam hari. Penderita, khususnya anak-anak, menjadi terganggu tidurnya dan

mengantuk pada siang hari sehingga sulit berkonsentrasi di sekolah.12-13

Penularan infeksi cacing kremi sangat mudah terjadi pada kelompok orang yang hidup

dalam satu lingkungan yang sama seperti asrama, panti asuhan, atau sekolah. Telur cacing

dapat diisolasi dari debu ruangan sekolah atau kafetaria dan menjadi sumber infeksi bagi

anak-anak sekolah. Selain itu, reinfeksi mudah sekali terjadi jika tidak dilakukan pencegahan

yang tepat.2

Infeksi cacing kremi dapat terjadi pada seluruwh golongan usia, namun lebih sering

ditemukan pada anak usia sekolah dasar. Mengingat rentannya murid SD terhadap infeksi E.

vermicularis, perlu dilakukan upaya pencegahan. Guru yang sehari-hari mengajar murid SD

merupakan salah satu pihak yang paling dekat dengan murid dan dapat diandalkan untuk

menyampaikan upaya pencegahan enterobiasis. Dengan demikian, guru SD perlu diberikan

informasi mengenai infeksi E.vermicularis.

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 3: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu cara penyampaian informasi yang mudah

dilakukan, namun belum banyak penelitian yang membahas mengenai sejauh apa efektivitas

metode ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan survei tingkat pengetahuan guru

SD mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.

Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan tingkat

pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.

Hipotesis penelitian adalah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta

mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.

Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini

adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai

enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah

diketahuinya karakteristik guru SD di Jakarta dan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta

mengenai enterobiasis sebelum dan setelah penyuluhan.

Tinjauan Teoritis

Enterobiasis

E. vermicularis (Oxyuris vermicularis) atau cacing kremi (human pinworm)

merupakan cacing parasit pada manusia dari filum Nematoda kelas Secernentea. Cacing

tersebut pertama kali ditemukan pertama kali oleh Karl Linnaeus pada tahun 1758.

Ditemukan spesies lain yang dianggap serupa dengan E. vermicularis, yaitu E. gregorii,

namun masih banyak peneliti yang meragukan validitas spesies ini. Telur dan cacing betina

E. gregorii tidak bisa dibedakan dengan E. vermicularis, sedangkan cacing jantan memiliki

spikula yang lebih pendek dan sederhana.1-3

E. vermicularis merupakan nematoda kecil, silindris, tanpa buccal capsule. Cacing

betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Di ujung anterior, terdapat pelebaran kutikulum seperti

sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus terlihat jelas terutama bagian posteriornya yang

menjadi ciri khas ordo Oxyurida. Panjang ekornya mencapai 1/3 panjang keseluruhan tubuh

dan bentuknya runcing. Uterus cacing gravid melebar biasanya penuh berisi telur. Cacing

jantan berukuran 2-5 mm x 0.2 mm, juga memiliki sayap dan ekornya melingkar sehingga

bentuknya seperti tanda tanya. Spikulum kopulatori panjangnya 100-140 µm namun jarang

ditemukan. Biasanya cacing jantan mati setelah kopulasi dan dapat ditemukan di feses

manusia.1-2

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 4: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Cacing dewasa biasanya hidup di dalam sekum dan apendiks. Makanannya adalah isi

usus. Pada infeksi berat cacing dewasa bisa juga ditemukan pada ileum atau kolon

ascendens. Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, namun telur

tersebut jarang dikeluarkan dalam usus, oleh karena itu telur E. vermicularis sulit ditemukan

pada feses.1-3

Telur berbentuk lonjong dan salah satu sisinya lebih datar (asimetrik). Dinding telur

bening dan sedikit lebih tebal jika dibandingkan dengan cacing tambang. Dinding telur

mulai dari bagian luar ke dalam tersusun atas satu lapisan albuminosa, dua lapisan berkitin,

dan satu lapisan lipoidal. Ukuran telur sekitar 50-60 (rata-rata 54) µm x 20-30 µm. Biasanya

telur akan dikeluarkan dalam keadaan semi-embrio. Telur menjadi lebih matang dalam

waktu 6 jam (kisaran 4-7 jam) setelah dikeluarkan dan mengandung larva rhabditiform pada

suhu 35oC (larva tidak tumbuh di bawah suhu 22oC).

Telur membutuhkan oksigen untuk berkembang sehingga biasanya ditemukan di

daerah perianal. Lapisan albuminosa dinding telur sangat lengket sehingga dapat melekat

pada daerah perianal hospes. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Kopulasi

cacing jantan dan betina kemungkinan besar terjadi di sekum. Cacing jantan umumnya mati

setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur. E. vermicularis memiliki keunikan

yang tidak dimiliki cacing nematoda lainnya, yaitu sifatnya yang haplodiploid. Cacing

betina bersifat diploid, sedangkan cacing jantan bersifat haploid karena berasal dari telur

yang tidak dibuahi.1-3

Manusia adalah satu-satunya hospes bagi E. vermicularis sehingga daur hidupnya

sebagian besar terjadi dalam tubuh manusia. Ketika uterus penuh dengan telur, cacing betina

akan bermigrasi sepanjang kolon hingga sampai ke daerah perianal. Di daerah ini cacing

betina akan mengeluarkan seluruh telurnya (11.000-15.000 butir) dengan cara kontraksi

uterus dan vagina, kemudian setelah itu cacing betina akan mati. Sekitar 6 jam kemudian,

telur akan menjadi infektif dan tetap bertahan di sana (telur dapat hidup hingga 13 hari pada

kondisi udara yang lembap).

Cacing betina dan telur-telur yang berada pada daerah perianal tersebut akan

mensensitisasi kulit dan menyebabkan rasa gatal. Akibatnya, hospes (umumnya anak-anak)

biasanya berusaha menggaruk dan akhirnya telur terbawa bersama kuku hospes. Infeksi

cacing kremi dapat terjadi dengan cara hospes menelan telur fase infektif karena autoinfeksi

(dari kuku yang membawa telur akibat menggaruk daerah perianal) atau dari debu yang

membawa terbang telur, misalnya karena mengibaskan alas tidur. Cara lainnya adalah larva

telur yang menetas di perianal kembali ke usus besar (retroinfeksi).1-3

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 5: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Bila telur matang tertelan, telur akan menetas menjadi larva (ukuran 145 µm x 10

µm) di duodenum dan larva rhabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di

jejunum dan bagian atas ileum. Cacing dewasa muda akan bermigrasi ke kolon, melekat ke

mukosa, dan berkembang sekitar 15-43 hari hingga menjadi sepenuhnya dewasa dan dapat

melanjutkan siklus. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya

telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal,

berlangsung 2 minggu hingga 2 bulan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri. Bila tidak

ada reinfeksi, infeksi dapat berakhir tanpa pengobatan.1-3

Enterobiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh E. vermicularis. Penyakit ini

relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang paling

menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid dan

telurnya sehingga penderita mengeluhkan gatal di daerah tersebut. Erosi dan ekskoriasi dapat

ditemui di daerah tersebut akibat garukan penderita. Umumnya rasa gatal sering terjadi pada

malam hari sehingga penderita sering merasa terganggu tidurnya dan menjadi lemah.1-3

Cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal, saluran urin,

lambung, esofagus, dan hidung sehingga dapat menyebabkan gangguan iritasi atau radang di

daerah tersebut. Pada wanita, cacing betina dapat mengembara hingga tuba fallopi sehingga

menyebabkan radang di saluran telur. Meskipun cacing ini sering ditemukan di apendiks,

tetapi E. vermicularis jarang menyebabkan apendisitis. Beberapa gejala infeksi lain adalah

kurangnya nafsu makan, berat badan turun, cepat marah, enuresis, gigi menggertak, mual,

diare, insomnia, tetapi terkadang sukar untuk menemukan hubungan sebab-akibat dengan

infeksi cacing kremi.1-3

Enterobiasis dapat dicurigai pada pasien yang mengeluhkan rasa gatal di sekitar anus

pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa.

Cacing betina dewasa dapat terlihat pada feses maupun di sekitar anus, namun telur sulit

sekali ditemukan pada feses. Dengan anal swab, telur dapat ditemukan dengan mudah di

sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum penderita buang air besar dan mencuci bokong.

Anal swab merupakan alat dari spatel lidah atau batang gelas yang pada ujungnya dilekatkan

scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan di anus maka telur cacing akan

menempel pada perekatnya. Selanjutnya, adhesive tape diratakan pada kaca benda, dibubuhi

sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopis. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga sampai

tujuh hari berturut-turut.1-3

Enterobiasis merupakan salah satu penyakit cacingan yang mudah untuk diobati

karena berbagai variasi obat efektif untuk membunuh parasit. Obat sebaiknya diberikan

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 6: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

kepada seluruh anggota keluarga penderita untuk mencegah reinfeksi. Pemberian obat dapat

diulang satu bulan setelah konsumsi terakhir untuk memastikan penderita bebas dari E.

vermicularis.8,11

Obat yang dapat diberikan adalah pirantel pamoat, mebendazol dan albendazol.

Pirantel pamoat diberikan dengan dosis tunggal 10 mg per kilogram berat badan atau diulang

satu kali pemberian satu minggu setelah konsumsi pertama. Pirantel pamoat tidak efektif

terhadap stadium telur. Mebendazol efektif terhadap seluruh stadium perkembangan cacing

kremi diberikan dengan dosis tunggal 500 mg, sedangkan albendazol diberikan dengan dosis

tunggal 400 mg atau dengan dosis 200 mg diberikan dua kali dalam sehari. Keberhasilan

pengobatan mendekati 100% pada anak usia di atas 2 tahun dan orang dewasa.8,10

Pencegahan berperan penting khususnya untuk mencegah reinfeksi berulang

enterobiasis pada penderita atau orang-orang terdekatnya. Higienitas pribadi dan lingkungan

merupakan faktor paling penting untuk mencegah infeksi E. vermicularis. Kuku harus selalu

dipotong pendek, cuci tangan sebelum makan, pakaian tidur dan alas kasur dicuci dan

disetrika setiap hari. Daerah perianal harus dicuci bersih saat mandi. Anak yang sudah

terinfeksi cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang saat tidur sehingga alas kasur tidak

terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Makanan hendaknya

dihindarkan dari debu dan dari tangan yang diduga mengandung telur. Meskipun demikian,

pada kenyataannya terkadang sulit untuk mencegah reinfeksi pada anak yang sudah terinfeksi

cacing kremi, oleh karena itu perlu dibantu dengan pengobatan yang sesuai.8-11

Pemerintah sendiri telah berusaha menyusun program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

(PHBS) untuk mencegah penyakit-penyakit infeksi. Menurut Pedoman PHBS Kementrian

Kesehatan RI tahun 2011, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar

kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau

masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif

dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.19

Cakupan PHBS tergolong luas hingga ke bidang gizi dan farmasi. PHBS secara umum

dapat dikelompokkan dalam lima tatanan, yaitu PHBS dalam tatanan rumah tangga, institusi

pendidikan, tempat kerja, tempat umum, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan

pertemuan terakhir yaitu Rapat Koordinasi Promosi Kesehatan Tingkat Nasional pada tahun

2007, PHBS rumah tangga memiliki sepuluh indikator, yaitu persalinan ditolong oleh tenaga

kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air

bersih, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik

nyamuk, mengonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas fisik setiap hari dan

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 7: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

tidak merokok di dalam rumah. Program PHBS merupakan upaya promosi kesehatan yang

penting sebagai lini pertama pencegahan penyakit, terutama kelainan tumbuh-kembang dan

penyakit infeksi.19

Pengetahuan

Menurut KBBI,20 pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian.

Menurut Notoatmodjo, pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan

penginderaan terhadap objek tertentu. Proses penginderaan hingga terbentuknya pengetahuan

dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi manusia itu sendiri terhadap objek. Secara garis

besar, pengetahuan dapat dibagi menjadi enam tingkat, yaitu tahu, memahami, aplikasi,

analisis, sintesis, dan evaluasi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin besar

pemahamannya terhadap objek tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat memahami, seseorang

hanya dapat mengidentifikasi objek secara benar, namun pada tingkat evaluasi, seseorang

dapat melakukan penilaian terhadap objek tersebut berdasarkan faktor-faktor lain.21

Penyuluhan

Menurut KBBI, penyuluhan memiliki arti penerangan.22 Penyuluhan kesehatan adalah

proses pembelajaran untuk mencapai suatu keadaan di mana individu, keluarga, dan

kelompok masyarakat secara keseluruhan memiliki keinginan untuk hidup secara sehat, serta

mengetahui bagaimana cara untuk mencapai hidup sehat tersebut. Menurut WHO,23 tujuan

penyuluhan kesehatan adalah perubahan perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam

bidang kesehatan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberian penyuluhan

kesehatan antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, adat istiadat, kepercayaan

masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat.

Materi yang disampaikan diharapkan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti,

sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat menggunakan media atau alat bantu untuk

mempermudah penyampaian pesan. Metode pemberian penyuluhan dapat bersifat searah atau

dua arah. Contoh metode penyuluhan searah adalah metode didaktik, yaitu memberikan

penerangan biasa tanpa melibatkan pendengar secara aktif. Metode penyuluhan dua arah

dapat dilakukan dengan diskusi atau praktik langsung. Masing-masing metode memiliki

kelebihan dan kekurangan.23 Pada intinya, faktor-faktor di atas harus disesuaikan dengan

sasaran penyuluhan kesehatan agar informasi yang hendak disampaikan dapat diterima

dengan baik oleh masyarakat.

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 8: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Metode Penelitian

Desain penelitian ini adalah quasi-eksperimental dengan metode pre-post study untuk

menilai perbedaan tingkat pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah

penyuluhan. Tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan diukur dengan

menggunakan kuesioner yang telah divalidasi kemudian dianalisis.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 - November 2012. Pengambilan data

dilakukan di Jakarta tanggal 12 Oktober 2011. Populasi target penelitian adalah guru SD,

populasi terjangkau penelitian adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir di acara

penyuluhan, dan sampel penelitian adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir di

acara penyuluhan serta memenuhi kriteri inklusi dan tidak tercakup dalam kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi adalah guru SD di Jakarta yang hadir dan mengikuti penyuluhan

cacingan, serta mengerjakan pre-test dan post-test. Kriteria eksklusi adalah guru tidak

bersedia menjadi subyek penelitian. Terdapat dua kriteria drop out, yaitu guru SD di Jakarta

yang hadir pada penyuluhan cacingan, namun tidak mengerjakan pre-test dan atau post-test,

serta guru SD di Jakarta yang tidak mengisi kuisioner secara lengkap.

Semua guru SD yang hadir saat penyuluhan (populasi terjangkau) dijadikan subyek

penelitian sehingga pengambilan sampel menggunakan total populasi. Guru yang hadir adalah

perwakilan SD di Jakarta yang dipilih oleh sekolah masing-masing. Variabel dependen pada

penelitian ini adalah tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis. Variabel

independen penelitian ini adalah penyuluhan. Variabel perancu adalah usia, jenis kelamin, dan

tingkat pendidikan, sumber informasi, dan pengalaman cacingan.

Penelitian diawali dengan pembuatan proposal penelitian yang kemudian diserahkan

dan disetujui oleh pembimbing dan pengurus modul riset Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia. Setelah itu, peneliti bekerja sama dengan PT Johnson & Johnson untuk

mengadakan acara penyuluhan cacingan di Jakarta yang mengundang guru-guru perwakilan

SD di seluruh Jakarta. Setiap SD yang mendapatkan undangan berhak memilih sendiri guru

SD yang dikirim sebagai perwakilan untuk mengikuti acara penyuluhan cacingan. Peneliti

melakukan pengambilan data di tempat penelitian, yakni di acara penyuluhan tersebut.

Sebelum pengambilan data dilakukan, terlebih dahulu dijelaskan tujuan penelitian

kepada subjek secara lisan sebagai bentuk informed consent. Setelah itu, peneliti membagikan

kuesioner pre-test yang telah divalidasi. Peneliti meminta subjek mengisi data diri dan

menjawab semua soal yang terdapat di dalam kuesioner tersebut. Setelah semua subjek

mengisi kuesioner dengan lengkap, peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali. Apabila

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 9: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

terdapat nomor pertanyaan yang kosong, peneliti akan meminta subjek tersebut untuk

melengkapinya.

Setelah pengisian kuesioner selesai, subjek akan mengikuti penyuluhan yang

diberikan oleh tiga narasumber, yaitu dokter spesialis anak, ahli kesehatan masyarakat, dan

guru besar parasitologi. Subjek berhak memberikan pertanyaan setelah pembicara selesai

melakukan presentasi. Setelah seminar selesai, peneliti membagikan kuesioner post-test

yang berisi soal yang sama dengan kuesioner sebelumnya. Subjek kembali diminta

kesediaannya untuk mengisi seluruh soal yang terdapat di dalam kuesioner tersebut. Setelah

semua subjek mengisi kuesioner dengan lengkap, peneliti mengumpulkan dan memeriksa

kembali seluruh pertanyaan. Setelah semua kuesioner diisi, peneliti kembali mengumpulkan

kuesioner post-test dan mengolahnya.

Data yang telah dicatat kemudian akan dimasukkan dan diolah menggunakan SPSS for

Windows versi 11.5 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Data dianalisis dengan uji

marginal homogeneity karena data yang digunakan bersifat berpasangan dan uji hipotesis

yang dilakukan merupakan uji hipotesis komparatif kategorik berpasangan dengan kategori

lebih dari dua (baik, cukup, kurang). Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi

frekuensi dari variabel dependen dan independen, sedangkan analisis bivariat digunakan untuk

menilai hubungan antara variabel dependen dan independen. Hasil analisis data tersebut akan

ditulis dan disusun dalam laporan penelitian.

Penelitian ini menggunakan istilah yang dapat menimbulkan keracuan (ambiguitas)

bagi pembaca. Oleh karena itu, istilah yang menimbulkan ambiguitas perlu diterangkan secara

eksplisit untuk menghindari kesalahan persepsi. Responden adalah guru SD di Jakarta pada

tahun 2011 yang hadir pada saat penelitian dilaksanakan. Pengetahuan adalah segala sesuatu

yang diketahui oleh responden mengenai enterobiasis. Tingkat pengetahuan terhadap

enterobiasis diukur menggunakan kuisioner yang telah divalidasi sebelumnya. Di dalam

kuesioner terdapat 30 pertanyaan, lima di antaranya, yaitu nomor 26-30 (dalam laporan ditulis

nomor 1-5), mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, transmisi, dan pencegahan

enterobiasis. Masing-masing pertanyaan memiliki kisaran skor maksimal 5 dan poin (yang

berkisar antara 0-5) didistribusikan ke setiap pilihan jawaban sesuai dengan tingkat kebenaran

jawaban tersebut. Responden diperbolehkan memilih lebih dari satu pilihan jawaban. Skor

total yang diperoleh setelah penjumlahan digolongkan tingkat pengetahuannya. Pengetahuan

tergolong baik apabila nilai ≥80%, cukup jika nilai 60% - 79%, dan kurang jika nilai<60%.

Penyuluhan pada penelitian ini merupakan pemberian informasi mengenai siklus hidup

E. vermicularis, patogenesis, gejala, transmisi, dan pencegahan enterobiasis. Penyuluhan

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 10: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

dilakukan menggunakan slide powerpoint dengan penjelasan secara lisan oleh narasumber

(dokter). Jenis kelamin subyek digolongkan menjadi laki-laki dan perempuan, sedangkan

tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang telah dijalani sampai tamat oleh subyek

pada saat pengambilan data.

Pengalaman cacingan merupakan pengalaman subyek menderita cacingan atau

mengetahui anggota keluarga/orang lain yang menderita cacingan, dan sumber informasi

merupakan media pemberian informasi mengenai penyakit cacingan kepada subyek.

Agar penelitian ini tidak melanggar kode etik, peneliti memberikan informed consent

kepada calon subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam penelitian. Sebelumnya peneliti

memberikan gambaran dan penjelasan penelitian serta manfaat yang akan diperoleh bagi

subyek jika bersedia berpartisipasi, kemudian informed consent diberikan berupa pernyataan

secara lisan bahwa subyek bersedia secara sukarela terlibat dalam penelitian. Data dijaga

kerahasiaannya dan subyek berhak menolak untuk ikut dalam penelitian.

Hasil Penelitian

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah SD

di Jakarta tahun ajaran 2011/2012 adalah 3006 sekolah; sebanyak 2224 sekolah merupakan

SD negeri dan 782 merupakan SD swasta. Jumlah murid SD di Jakarta adalah 869 000 siswa,

terdiri atas 672 674 murid SD negri dan 196 326 murid SD swasta.

Jumlah guru SD di Jakarta adalah 42 413 orang, terdiri atas 29 147 guru SD negri dan

13 266 guru SD swasta. Berdasarkan jenjang pendidikannya, sebagian besar guru SD di

Jakarta memiliki tingkat pendidikan Sarjana/S-1 (72,48%), diikuti PGSLA/D-2 (12,45%).

Penyebaran guru SD di Jakarta paling padat di Jakarta Timur (21,72%) dan paling sedikit di

Kepulauan Seribu (0,005%). Demikian juga halnya dengan penyebaran SD dan murid SD

Jakarta.

Pada penelitian ini, diundang guru perwakilan SD di Jakarta untuk diberikan

penyuluhan mengenai enterobiasis. Dari 90 guru SD yang hadir, 67 responden mengisi

kuesioner pre-test dan post-test secara lengkap. Sebanyak 23 orang datang setelah

pelaksanaan pre-test atau pulang sebelum mengerjakan kuesioner post-test sehingga tidak

diikutsertakan dalam analisis data. Tabel 1 menunjukkan distribusi subjek penelitian

berdasarkan karakteristik demografi.

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 11: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi

Variabel Kategori Jumlah Persentase

Jenis kelamin Laki-laki 21 31,3% Perempuan 46 68,7%

Pendidikan

SMA 3 4,5% D3 15 22,4% S1 S2

46 3

68,7% 4,5%

Pengalaman

Cacingan

Tidak ada

Diri sendiri Anggota keluarga

Orang lain Diri sendiri dan keluarga

33 3

16 10 5

49,3% 4,5%

23,9% 14,9% 7,5%

Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan

Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Uji

Baik Cukup Kurang

Sebelum 11 (16,4%) 24 (35,8%) 32 (47,8%) Marginal homogeneity

(p<0,01) Sesudah 56 (83,6%) 9 (13,4%) 2 (3,0%)

Tabel 2 menunjukkan peningkatan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan

baik dari 16,4% menjadi 83,6%. Responden dengan tingkat pengetahuan kurang menurun

dari 47,8% menjadi 3,0%. Analisis perbandingan tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah

penyuluhan mendapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara

tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan.

Tabel 3. Skor Jawaban Responden Tiap Nomor Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah

Penyuluhan

Penyuluhan Median

(Minimum - Maksimum) No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5

Sebelum 5 (0-5) 0 (0-5) 5 (0-5) 1 (0-5) 3 (0-5)

Sesudah 5 (0-5) 5 (0-5) 5 (5-5) 5 (1-5) 5 (2-5) Nilai p 0,016 <0,01 0,083 <0,01 <0,01

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 12: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Berdasarkan Tabel 3, hasil uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada skor

responden sebelum dan sesudah penyuluhan pada setiap nomor kuesioner yang berkaitan

dengan E. vermicularis. Pada nomor 1, 2, 4, dan 5 didapatkan nilai p<0,05 yang berarti

terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden sebelum dan sesudah

penyuluhan pada setiap nomor tersebut. Nomor 1 berisi pertanyaan mengenai tempat bertelur

cacing kremi, nomor 2 mengenai penyebab seseorang dapat mengandung cacing kremi, nomor

4 mengenai cara penularan infeksi cacing kremi, dan nomor 5 mengenai pencegahan cacing

kremi. Berbeda dengan nomor lain, hasil analisis pada nomor 3 menunjukkan nilai p = 0,083

yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden mengenai

gejala cacing kremi sebelum dan sesudah penyuluhan.

Pembahasan

Pada penelitian ini didapatkan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik

sebelum penyuluhan sebesar 16,4% dan yang tergolong kurang sebesar 47,8%. Rendahnya

tingkat pengetahuan responden terhadap enterobiasis kemungkinan disebabkan oleh

kurangnya sosialisasi enterobiasis pada masyarakat termasuk guru SD. Penyakit cacingan

yang menjadi perhatian pemerintah adalah soil-transmitted helminths yaitu askariasis,

trikuriasis dan infeksi cacing tambang karena komplikasinya berupa gangguan pertumbuhan

dan perkembangan anak akibat kurang gizi, anemia, dan diare. Enterobiasis umumnya

menyebabkan gejala gatal di daerah perianal dan jarang menimbulkan komplikasi sehingga

kurang diperhatikan. Hal tersebut kemungkinan membuat responden menyamakan informasi

mengenai soil-transmitted helminths dengan enterobiasis sehingga memilih pilihan yang tidak

tepat saat mengisi kuesioner.

Pada soal nomor 1 mengenai tempat bertelur cacing kremi, sebanyak 35,8% responden

memilih jawaban yang tidak tepat sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah anus.

Pilihan jawaban yang tidak tepat antara lain lambung, usus halus, dan usus besar. Lima

responden memilih lambung sebagai jawaban pertanyaan nomor 1, sisanya memilih usus

halus dan atau usus besar. Usus halus dan usus besar merupakan tempat bertelur Ascaris

lumbricoides dan Trichuris trichiura. Besar kemungkinan responden kurang mengetahui

tentang enterobiasis sebelum penyuluhan sehingga menyamakan siklus hidup E. vermicularis

dengan A. lumbricoides atau T. trichiura.

Soal nomor 2 adalah mengenai penyebab seseorang mengandung cacing kremi

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 13: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

(patogenesis). Hanya 47,8% responden yang memilih jawaban tepat sebelum penyuluhan.

Jawaban yang tepat adalah tertelan telur cacing. Pilihan yang salah adalah makan kelapa

parut, makan sayuran mentah, dan tidak tahu. Alasan responden memilih jawaban makan

kelapa parut kemungkinan karena terdapat mitos di masyarakat bahwa penyakit cacing kremi

disebabkan makan kelapa parut karena bentuk cacing kremi menyerupai parutan kelapa.

Makan sayuran mentah merupakan patogenesis cacing lain seperti A. lumbricoides sehingga

penyebab responden memilih jawaban tersebut kemungkinan karena tertukar dengan

patogenesis A. lumbricoides.

Pada soal nomor 3 mengenai gejala infeksi cacing kremi, 95,5% responden mendapat

poin maksimal sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah gatal di sekitar anus. Pilihan

lain adalah anemia, kurang gizi, dan tidak tahu. Hal tersebut berarti sebelum penyuluhan

sebagian besar responden telah memiliki pemahaman yang baik mengenai gejala enterobiasis.

Soal nomor 4 dan 5 membahas penularan dan pencegahan enterobiasis. Jumlah

responden yang memilih jawaban yang benar sebelum penyuluhan untuk nomor 4 dan 5

berturut-turut adalah 4,5% dan 37,3%. Pada kedua nomor tersebut responden harus memilih

lebih dari satu jawaban untuk mendapatkan nilai maksimal. Apabila responden hanya memilih

salah satu jawaban yang tepat maka nilainya tidak maksimal. Sebagian besar responden hanya

mengetahui sebagian dari seluruh pilihan yang tepat sehingga skor tidak maksimal. Hanya

sebagian kecil responden yang memilih jawaban tidak tahu.

Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan bermakna (p<0,01) yang berarti penyuluhan

efektif dalam meningkatkan tingkat pengetahuan responden mengenai enterobiasis.

Peningkatan pengetahuan yang bermakna tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal.

Responden yang berprofesi sebagai guru SD seharusnya memiliki kemampuan pemahaman

yang baik, didukung latar belakang pendidikan responden yang sebagian besar adalah S-1.

Selain itu, guru SD sehari-hari di sekolah terbiasa untuk belajar dan mengajar sehingga

seharusnya tidak kesulitan memahami kuliah/ceramah.

Pembicara pada penelitian ini merupakan dokter ahli kesehatan masyarakat, dokter

anak, dan dokter spesialis parasitologi yang berpengalaman dalam memberikan penyuluhan

sehingga materi penyuluhan dapat disampaikan secara jelas. Selain itu, media presentasi

menggunakan slide powerpoint dengan teks, gambar dan bagan yang dijelaskan secara lugas

dan perlahan sehingga dapat mempermudah responden untuk memahami materi penyuluhan.

Responden juga diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai materi yang belum

dimengerti untuk menghindari kesalahan persepsi.

Penelitian oleh Radhitya14 juga menunjukkan hasil serupa, yaitu penyuluhan efektif

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 14: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

dalam meningkatkan pengetahuan responden mengenai askariasis (p<0,01). Metode

pemberian penyuluhan pada penelitian tersebut adalah ceramah tanya-jawab menggunakan

powerpoint. Pembicara dalam penelitian tersebut juga merupakan dokter yang telah

berpengalaman dalam memberikan penyuluhan. Perbedaannya, responden dalam penelitian

Radhitya adalah santri dan materi yang diberikan mengenai A. lumbricoides.

Penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang sehingga selanjutnya

diharapkan mampu melakukan pencegahan penyakit dan menurunkan prevalensi penyakit.

Amri15 melaporkan bahwa terdapat hubungan antara penyuluhan dengan prevalensi penyakit

cacingan. Pada penelitian Amri,15 penyuluhan terbukti meningkatkan pengetahuan responden

sehingga mereka dapat melakukan upaya pencegahan infeksi cacing usus seperti menjaga

kebersihan kuku dan buang air besar di jamban. Perubahan perilaku kemudian dibuktikan

berpengaruh terhadap prevalensi penyakit cacingan pada subyek penelitian tersebut.

Meskipun penyuluhan terbukti meningkatkan tingkat pengetahuan guru SD, sesudah

penyuluhan masih ada subjek dengan tingkat pengetahuan cukup atau kurang. Tingkat

pengetahuan ini juga belum tentu bertahan lama hingga beberapa tahun ke depan. Oleh karena

itu, penyuluhan secara berkala penting untuk dilakukan agar tingkat pengetahuan yang baik

dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, dengan melakukan

penyuluhan secara berkala kita juga dapat mengetahui seberapa besar perubahan tingkat

pengetahuan subjek setelah jangka waktu tertentu dan menentukan frekuensi penyuluhan yang

efektif untuk mempertahankan tingkat pengetahuan subjek.

Analisis perbandingan skor nomor 1 mengenai tempat bertelur E. vermicularis

sebelum dan sesudah penyuluhan mendapatkan nilai p=0,016 sehingga dapat dikatakan

berbeda bermakna. Jumlah responden yang mendapatkan nilai maksimal meningkat sebanyak

16,4%. Hal yang mendukung hasil tersebut antara lain bagan siklus hidup E. vermicularis

yang mudah dipahami disertai penjelasan oleh narasumber, baik secara tertulis maupun lisan.

Pada slide juga ditampilkan gambar anus penderita enterobiasis sehingga mempermudah

responden mengingat lokasi bertelurnya.

Pada nomor 2, terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden

mengenai patogenesis enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Median skor responden

meningkat dari 0 menjadi 5 (poin maksimal) dengan nilai p<0,01. Jumlah responden dengan

nilai maksimal meningkat sebanyak 35,8%. Beberapa hal yang mendukung hasil tersebut

antara lain bagan siklus hidup E. vermicularis yang ditampilkan di slide menarik dan mudah

dimengerti. Selain itu, narasumber juga memberi penjelasan secara perlahan mengenai

patogenesis enterobiasis dari bagan yang ditampilkan.

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 15: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

Skor responden pada nomor 3 mengenai gejala enterobiasis tidak meningkat karena

sebelum penyuluhan jumlah responden yang mendapatkan skor 5 (poin maksimal) sudah

sangat tinggi, yaitu 95,5% dan meningkat menjadi 100% sesudah penyuluhan. Dengan kata

lain, tanpa diberikan penyuluhan pun pengetahuan responden mengenai gejala cacing kremi

sudah baik. Gejala infeksi cacing kremi, yaitu gatal di sekitar anus, memang sudah menjadi

pengetahuan umum bagi masyarakat, apalagi bagi guru SD yang latar belakang pendidikannya

sebagian besar sarjana.

Median skor responden nomor 4 dan 5 mengenai penularan dan pencegahan

enterobiasis meningkat sesudah penyuluhan dengan nilai p<0,01 untuk kedua nomor. Dapat

dikatakan penyuluhan berpengaruh terhadap skor pengetahuan responden mengenai penularan

dan pencegahan enterobiasis Peningkatan jumlah responden yang mendapat nilai maksimal

pada nomor 4 dan 5 merupakan peningkatan tertinggi dibanding nomor lain, yaitu berturut-

turut sebanyak 53,7% dan 52,3%. Beberapa hal yang mendukung hasil ini antara lain

penjelasan dari narasumber yang lugas dan sederhana, serta materi cara penularan enterobiasis

yang ditulis bukan dalam bentuk narasi, melainkan poin-poin dalam slide presentasi sehingga

lebih mudah diingat oleh responden.

Kekurangan penelitian ini adalah jumlah drop out yang cukup besar. Dari 90 guru SD

yang hadir, sebanyak 23 orang datang setelah pelaksanaan pre-test atau pulang sebelum

mengerjakan kuesioner post-test sehingga termasuk ke dalam kategori drop out. Waktu

penyuluhan yang melewati jam makan siang kemungkinan menyebabkan beberapa subjek

memilih untuk keluar mencari makan dan tidak kembali lagi untuk mengerjakan post test. Hal

ini dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya agar memilih waktu penyuluhan

yang tepat dan kondusif untuk subjek penelitian.

Kesimpulan Dari hasil penelitian didapatkan karakteristik responden perempuan 21 orang (68,7%)

dan laki-laki 46 orang (31,3%) berpendidikan SMA 4,5%, vokasi 22,4%, S1 68,7%, dan S2

4,5%. Sebanyak 49,3% tidak memiliki pengalaman cacingan dan 31,3% mendapat informasi

mengenai cacingan dari satu sumber. Sebelum penyuluhan jumlah responden dengan tingkat

pengetahuan baik adalah 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan

jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang

3,0%. Dari hasil analisis dengan uji marginal homogeneity, perbedaan tersebut bermakna

(p<0,01). Dapat disimpulkan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 16: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.

Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlunya pemberian penyuluhan

secara berkala terhadap guru SD dengan jumlah peserta yang lebih banyak agar tingkat

pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis semakin baik, khususnya di Jakarta. Penelitian

lebih lanjut dapat dilakukan dengan analisis multivariat untuk mengetahui hubungan antara

tingkat pengetahuan, sikap, perilaku, dan penyuluhan terhadap prevalensi penyakit agar dapat

diketahui interaksi antara komponen tersebut.

Daftar Referensi 1. Muller, R. (2002). Worms and human disease. New York: CAB International.

2. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., & Sungkar, S. (2008). Buku Ajar Parasitologi

Kedokteran (4th ed). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Gillespie, S. & Pearson, R.D. (2001). Principles and practice in clinical parasitology.

England: John Wiley & Sons Ltd.

4. Pezzani, B.C., Minvielle, M.C., Luca, M.M.D., Cordoba, M., Apeztugia, M.C., &

Basualdo, J.A. (2004). Enterobius vermicularis infection among population of General

Mansilla, Argentina. World J Gastroenterol, 10(17), 2535-9.

5. Celiksoz, A., Acioz, M., Degerli, S., Oztop, A., & Alim, A. (2010). Effects of

enterobiasis in primary school children. African Journal of Microbiology Research, 4(8),

634-9.

6. Chaisalee, T., Tuakew, A., Wiwanitkit, V., Suyaphan, A., Thiamtip, S., Suwansaksri, J.

(2004). Very high prevalence of enterobiasis among the Hilltribal children in rural district

“Mae Suk”, Thailand. Med Gen Med, 6(2), 5.

7. Lee, S.E., Lee, J.H., Ju, J.W., Lee, W.J., & Cho, S.H. (2011). Prevalence of Enterobius

vermicularis among preschool children in Gimhae-si, Gyeongsangnam-do, Korea.

Korean J Parasitol, 49(2), 183–5.

8. Rachmiawati, A. (1993). Beberapa aspek epidemiologis enterobiasis pada keluarga di

RT001/RW01, Condet Balekambang, Jakarta Timur. Maj Kedokt Fak Kedokt UKI, 17,

26–31.

9. Soebaktiningsih & Nurtjahjono. (1989). Enterobius vermicularis pada anak yang di-rawat

tinggal di UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Saiful Anwar/FK Unibraw Malang.

Maj Kedokt Tropis Indon, 2(1-2), 21-6.

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012

Page 17: Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...

10. Yuliati & Omposungsu, S. (1994). Enterobiasis pada anak usia di bawah 6 tahun di desa

Cikaret. Cermin Dunia Kedokteran, 97, 16-8.

11. Handoyo, I. & Kartanegara, D. (1981). Penyelidikan pengobatan pada oxyuriasis

dengan piperazine hydrate dan pyrantel pamoate, dan dengan alat usap anus modifikasi

"Graham swab". Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional Ke-II. Jakarta:

Grafiti Medika Pers.

12. Behrman, R.E., Kliegman, R.M., & Arvin, A.M. (2000). Nelson: Ilmu Kesehatan Anak

(2nd ed). Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC.

13. Natadisastra, D., Agoes, R. (2005). Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh

Yang Diserang. Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC.

14. Radhitya, R. (2011). Efektivitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan santri

mengenai A. lumbricoides di Pesanten X, Jakarta Timur. Skripsi, Program Sarjana

Universitas Indonesia, Jakarta.

15. Amri, Z. & Rivai, A. (2005). Efek penyuluhan terhadap infeksi penyakit cacing usus dan

pencapaian target pemetik teh di Perkebunan Teh X, Jawa Barat. Tesis, Program

Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012