Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...
Transcript of Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai ...
Tingkat Pengetahuan Guru SD di Jakarta Tahun 2011 Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Febrian Mulya Santausa1, Danny Surya, Eka Satya Nugraha, Leonita Ariesta Putri, Prissilia
Prasetyo, Vionnie Violetta Tantri, Saleha Sungkar (Departemen Parasitologi)
Fakultas Kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter
ABSTRAK
Prevalensi enterobiasis tergolong tinggi pada murid SD. Melalui penyuluhan terhadap guru SD, informasi mengenai enterobiasis diharapkan lebih mudah disampaikan kepada murid. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Penelitian dilakukan di Jakarta dengan mengundang perwakilan guru SD Jakarta ke acara penyuluhan. Desain penelitian adalah quasi-eksperimental dengan intervensi penyuluhan kesehatan mengenai enterobiasis. Semua guru yang hadir saat penyuluhan dijadikan subyek penelitian. Pengambilan data menggunakan kuesioner berisi pertanyaan mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, penularan, dan pencegahan enterobiasis yang dibagikan sebelum dan sesudah penyuluhan. Jumlah responden 67 orang, 31,3% laki-laki dan 68,7% perempuan. Sebelum penyuluhan responden dengan tingkat pengetahuan baik sebanyak 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan, responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang 3%. Dari uji marginal homogeneity didapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan. Jika ditinjau per nomor, uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada semua skor jawaban kecuali pertanyaan mengenai gejala enterobiasis (p=0,083). Hal tersebut disebabkan sebelum penyuluhan 95,5% responden telah menjawab pertanyaan tersebut dengan benar dan menjadi 100% setelah penyuluhan. Dapat disimpulkan penyuluhan efektif meningkatkan pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis. The Knowledge Level of Enterobiasis Among Elementary School Teachers in Jakarta in
2011 Before and After Health Education
ABSTRACT The prevalence of enterobiasis is high among elementary school students. Through providing health education to the teachers, information can be easily delivered to the students. Our study was aimed to assess the difference between knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers before and after health education. This quasi-experimental study was held in Jakarta by inviting representatives of elementary school teachers in Jakarta to follow health education about enterobiasis. The teachers (n=67), 31,3% male and 68,7% female, completed pre-test and post-test questionnaire consisting of questions about life cycle, pathogenesis, symptoms, transmission, and prevention of enterobiasis. Prior to health education, there were 16,4% respondents with good knowledge level, 35,8% average, and 47,8% poor. After health education, 83,6% respondents’ knowledge level was good, 13,4% average, and 3% poor. Based on marginal homogeneity test, the difference is significant (p<0,01). If we assess the score of each number before and after health education, Wilcoxon test shows significant difference in all numbers, except question about enterobiasis symptoms (p=0,083). It is because 95,5% respondents had already answered the question correctly before health education, and became 100% after health education. In conclusion, health education effectively improves knowledge level of enterobiasis among elementary school teachers. Keywords: elementary school teachers; enterobiasis; health education; knowledge
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Pendahuluan
Enterobiasis merupakan penyakit infeksi cacing yang disebabkan oleh Enterobius
vermicularis (Oxyuris vermicularis) atau cacing kremi. Prevalensi enterobiasis di dunia masih
tergolong tinggi baik di negara berkembang maupun negara maju.1-3 Prevalensi enterobiasis
pada anak usia 5-14 tahun di Argentina adalah 23,8%.4 Di Turki, prevalensi enterobiasis pada
murid SD adalah 17%,5 sedangkan di Thailand prevalensinya di daerah rural sebesar 41,6%.6
Prevalensi enterobiasis pada murid SD di Korea Selatan tidak jauh berbeda dengan Turki,
yaitu sebesar 18,5%.7
Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis, kelembaban udara yang tinggi, dan
sanitasi kurang baik sehingga sesuai untuk perkembangan cacing kremi. Oleh karena itu,
prevalensi enterobiasis di Indonesia cukup tinggi, yaitu berkisar antara 13-60%.8 Di Malang,
prevalensi enterobiasis adalah 13%.9 Prevalensi enterobiasis pada anak berusia di bawah 6
tahun di Cikaret, Jawa Barat, sebesar 53,8%.10 Di Jakarta Timur, prevalensi enterobiasis
adalah 34,1% dan terbanyak pada kelompok usia 5 - 9 tahun, yaitu 54,1% dari 85 anak yang
diperiksa,8 sedangkan di Menteng, Jakarta Pusat, prevalensi enterobiasis berkisar 5-62,5%.11
Enterobiasis bersifat ringan dan jarang menyebabkan masalah kesehatan yang serius
dibanding infeksi cacing lain seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, atau cacing
tambang. Meskipun demikian, enterobiasis menyebabkan gatal yang hebat di daerah perianal
terutama pada malam hari. Penderita, khususnya anak-anak, menjadi terganggu tidurnya dan
mengantuk pada siang hari sehingga sulit berkonsentrasi di sekolah.12-13
Penularan infeksi cacing kremi sangat mudah terjadi pada kelompok orang yang hidup
dalam satu lingkungan yang sama seperti asrama, panti asuhan, atau sekolah. Telur cacing
dapat diisolasi dari debu ruangan sekolah atau kafetaria dan menjadi sumber infeksi bagi
anak-anak sekolah. Selain itu, reinfeksi mudah sekali terjadi jika tidak dilakukan pencegahan
yang tepat.2
Infeksi cacing kremi dapat terjadi pada seluruwh golongan usia, namun lebih sering
ditemukan pada anak usia sekolah dasar. Mengingat rentannya murid SD terhadap infeksi E.
vermicularis, perlu dilakukan upaya pencegahan. Guru yang sehari-hari mengajar murid SD
merupakan salah satu pihak yang paling dekat dengan murid dan dapat diandalkan untuk
menyampaikan upaya pencegahan enterobiasis. Dengan demikian, guru SD perlu diberikan
informasi mengenai infeksi E.vermicularis.
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu cara penyampaian informasi yang mudah
dilakukan, namun belum banyak penelitian yang membahas mengenai sejauh apa efektivitas
metode ini. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan survei tingkat pengetahuan guru
SD mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.
Rumusan masalah penelitian ini adalah apakah terdapat perbedaan tingkat
pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.
Hipotesis penelitian adalah terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta
mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.
Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penelitian ini
adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai
enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah
diketahuinya karakteristik guru SD di Jakarta dan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta
mengenai enterobiasis sebelum dan setelah penyuluhan.
Tinjauan Teoritis
Enterobiasis
E. vermicularis (Oxyuris vermicularis) atau cacing kremi (human pinworm)
merupakan cacing parasit pada manusia dari filum Nematoda kelas Secernentea. Cacing
tersebut pertama kali ditemukan pertama kali oleh Karl Linnaeus pada tahun 1758.
Ditemukan spesies lain yang dianggap serupa dengan E. vermicularis, yaitu E. gregorii,
namun masih banyak peneliti yang meragukan validitas spesies ini. Telur dan cacing betina
E. gregorii tidak bisa dibedakan dengan E. vermicularis, sedangkan cacing jantan memiliki
spikula yang lebih pendek dan sederhana.1-3
E. vermicularis merupakan nematoda kecil, silindris, tanpa buccal capsule. Cacing
betina berukuran 8-13 mm x 0,4 mm. Di ujung anterior, terdapat pelebaran kutikulum seperti
sayap yang disebut alae. Bulbus esofagus terlihat jelas terutama bagian posteriornya yang
menjadi ciri khas ordo Oxyurida. Panjang ekornya mencapai 1/3 panjang keseluruhan tubuh
dan bentuknya runcing. Uterus cacing gravid melebar biasanya penuh berisi telur. Cacing
jantan berukuran 2-5 mm x 0.2 mm, juga memiliki sayap dan ekornya melingkar sehingga
bentuknya seperti tanda tanya. Spikulum kopulatori panjangnya 100-140 µm namun jarang
ditemukan. Biasanya cacing jantan mati setelah kopulasi dan dapat ditemukan di feses
manusia.1-2
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Cacing dewasa biasanya hidup di dalam sekum dan apendiks. Makanannya adalah isi
usus. Pada infeksi berat cacing dewasa bisa juga ditemukan pada ileum atau kolon
ascendens. Cacing betina yang gravid mengandung 11.000-15.000 butir telur, namun telur
tersebut jarang dikeluarkan dalam usus, oleh karena itu telur E. vermicularis sulit ditemukan
pada feses.1-3
Telur berbentuk lonjong dan salah satu sisinya lebih datar (asimetrik). Dinding telur
bening dan sedikit lebih tebal jika dibandingkan dengan cacing tambang. Dinding telur
mulai dari bagian luar ke dalam tersusun atas satu lapisan albuminosa, dua lapisan berkitin,
dan satu lapisan lipoidal. Ukuran telur sekitar 50-60 (rata-rata 54) µm x 20-30 µm. Biasanya
telur akan dikeluarkan dalam keadaan semi-embrio. Telur menjadi lebih matang dalam
waktu 6 jam (kisaran 4-7 jam) setelah dikeluarkan dan mengandung larva rhabditiform pada
suhu 35oC (larva tidak tumbuh di bawah suhu 22oC).
Telur membutuhkan oksigen untuk berkembang sehingga biasanya ditemukan di
daerah perianal. Lapisan albuminosa dinding telur sangat lengket sehingga dapat melekat
pada daerah perianal hospes. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Kopulasi
cacing jantan dan betina kemungkinan besar terjadi di sekum. Cacing jantan umumnya mati
setelah kopulasi dan cacing betina mati setelah bertelur. E. vermicularis memiliki keunikan
yang tidak dimiliki cacing nematoda lainnya, yaitu sifatnya yang haplodiploid. Cacing
betina bersifat diploid, sedangkan cacing jantan bersifat haploid karena berasal dari telur
yang tidak dibuahi.1-3
Manusia adalah satu-satunya hospes bagi E. vermicularis sehingga daur hidupnya
sebagian besar terjadi dalam tubuh manusia. Ketika uterus penuh dengan telur, cacing betina
akan bermigrasi sepanjang kolon hingga sampai ke daerah perianal. Di daerah ini cacing
betina akan mengeluarkan seluruh telurnya (11.000-15.000 butir) dengan cara kontraksi
uterus dan vagina, kemudian setelah itu cacing betina akan mati. Sekitar 6 jam kemudian,
telur akan menjadi infektif dan tetap bertahan di sana (telur dapat hidup hingga 13 hari pada
kondisi udara yang lembap).
Cacing betina dan telur-telur yang berada pada daerah perianal tersebut akan
mensensitisasi kulit dan menyebabkan rasa gatal. Akibatnya, hospes (umumnya anak-anak)
biasanya berusaha menggaruk dan akhirnya telur terbawa bersama kuku hospes. Infeksi
cacing kremi dapat terjadi dengan cara hospes menelan telur fase infektif karena autoinfeksi
(dari kuku yang membawa telur akibat menggaruk daerah perianal) atau dari debu yang
membawa terbang telur, misalnya karena mengibaskan alas tidur. Cara lainnya adalah larva
telur yang menetas di perianal kembali ke usus besar (retroinfeksi).1-3
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Bila telur matang tertelan, telur akan menetas menjadi larva (ukuran 145 µm x 10
µm) di duodenum dan larva rhabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di
jejunum dan bagian atas ileum. Cacing dewasa muda akan bermigrasi ke kolon, melekat ke
mukosa, dan berkembang sekitar 15-43 hari hingga menjadi sepenuhnya dewasa dan dapat
melanjutkan siklus. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelannya
telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke perianal,
berlangsung 2 minggu hingga 2 bulan. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri. Bila tidak
ada reinfeksi, infeksi dapat berakhir tanpa pengobatan.1-3
Enterobiasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh E. vermicularis. Penyakit ini
relatif tidak berbahaya, jarang menimbulkan lesi yang berarti. Gejala klinis yang paling
menonjol adalah iritasi di sekitar anus, perineum dan vagina oleh cacing betina gravid dan
telurnya sehingga penderita mengeluhkan gatal di daerah tersebut. Erosi dan ekskoriasi dapat
ditemui di daerah tersebut akibat garukan penderita. Umumnya rasa gatal sering terjadi pada
malam hari sehingga penderita sering merasa terganggu tidurnya dan menjadi lemah.1-3
Cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal, saluran urin,
lambung, esofagus, dan hidung sehingga dapat menyebabkan gangguan iritasi atau radang di
daerah tersebut. Pada wanita, cacing betina dapat mengembara hingga tuba fallopi sehingga
menyebabkan radang di saluran telur. Meskipun cacing ini sering ditemukan di apendiks,
tetapi E. vermicularis jarang menyebabkan apendisitis. Beberapa gejala infeksi lain adalah
kurangnya nafsu makan, berat badan turun, cepat marah, enuresis, gigi menggertak, mual,
diare, insomnia, tetapi terkadang sukar untuk menemukan hubungan sebab-akibat dengan
infeksi cacing kremi.1-3
Enterobiasis dapat dicurigai pada pasien yang mengeluhkan rasa gatal di sekitar anus
pada waktu malam hari. Diagnosis dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa.
Cacing betina dewasa dapat terlihat pada feses maupun di sekitar anus, namun telur sulit
sekali ditemukan pada feses. Dengan anal swab, telur dapat ditemukan dengan mudah di
sekitar anus pada waktu pagi hari sebelum penderita buang air besar dan mencuci bokong.
Anal swab merupakan alat dari spatel lidah atau batang gelas yang pada ujungnya dilekatkan
scotch adhesive tape. Bila adhesive tape ditempelkan di anus maka telur cacing akan
menempel pada perekatnya. Selanjutnya, adhesive tape diratakan pada kaca benda, dibubuhi
sedikit toluol untuk pemeriksaan mikroskopis. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tiga sampai
tujuh hari berturut-turut.1-3
Enterobiasis merupakan salah satu penyakit cacingan yang mudah untuk diobati
karena berbagai variasi obat efektif untuk membunuh parasit. Obat sebaiknya diberikan
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
kepada seluruh anggota keluarga penderita untuk mencegah reinfeksi. Pemberian obat dapat
diulang satu bulan setelah konsumsi terakhir untuk memastikan penderita bebas dari E.
vermicularis.8,11
Obat yang dapat diberikan adalah pirantel pamoat, mebendazol dan albendazol.
Pirantel pamoat diberikan dengan dosis tunggal 10 mg per kilogram berat badan atau diulang
satu kali pemberian satu minggu setelah konsumsi pertama. Pirantel pamoat tidak efektif
terhadap stadium telur. Mebendazol efektif terhadap seluruh stadium perkembangan cacing
kremi diberikan dengan dosis tunggal 500 mg, sedangkan albendazol diberikan dengan dosis
tunggal 400 mg atau dengan dosis 200 mg diberikan dua kali dalam sehari. Keberhasilan
pengobatan mendekati 100% pada anak usia di atas 2 tahun dan orang dewasa.8,10
Pencegahan berperan penting khususnya untuk mencegah reinfeksi berulang
enterobiasis pada penderita atau orang-orang terdekatnya. Higienitas pribadi dan lingkungan
merupakan faktor paling penting untuk mencegah infeksi E. vermicularis. Kuku harus selalu
dipotong pendek, cuci tangan sebelum makan, pakaian tidur dan alas kasur dicuci dan
disetrika setiap hari. Daerah perianal harus dicuci bersih saat mandi. Anak yang sudah
terinfeksi cacing kremi sebaiknya memakai celana panjang saat tidur sehingga alas kasur tidak
terkontaminasi dan tangan tidak dapat menggaruk daerah perianal. Makanan hendaknya
dihindarkan dari debu dan dari tangan yang diduga mengandung telur. Meskipun demikian,
pada kenyataannya terkadang sulit untuk mencegah reinfeksi pada anak yang sudah terinfeksi
cacing kremi, oleh karena itu perlu dibantu dengan pengobatan yang sesuai.8-11
Pemerintah sendiri telah berusaha menyusun program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
(PHBS) untuk mencegah penyakit-penyakit infeksi. Menurut Pedoman PHBS Kementrian
Kesehatan RI tahun 2011, PHBS adalah sekumpulan perilaku yang dipraktikkan atas dasar
kesadaran sebagai hasil pembelajaran, yang menjadikan seseorang, keluarga, kelompok atau
masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri) di bidang kesehatan dan berperan aktif
dalam mewujudkan kesehatan masyarakat.19
Cakupan PHBS tergolong luas hingga ke bidang gizi dan farmasi. PHBS secara umum
dapat dikelompokkan dalam lima tatanan, yaitu PHBS dalam tatanan rumah tangga, institusi
pendidikan, tempat kerja, tempat umum, dan fasilitas pelayanan kesehatan. Berdasarkan
pertemuan terakhir yaitu Rapat Koordinasi Promosi Kesehatan Tingkat Nasional pada tahun
2007, PHBS rumah tangga memiliki sepuluh indikator, yaitu persalinan ditolong oleh tenaga
kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air
bersih, mencuci tangan dengan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik
nyamuk, mengonsumsi buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas fisik setiap hari dan
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
tidak merokok di dalam rumah. Program PHBS merupakan upaya promosi kesehatan yang
penting sebagai lini pertama pencegahan penyakit, terutama kelainan tumbuh-kembang dan
penyakit infeksi.19
Pengetahuan
Menurut KBBI,20 pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, kepandaian.
Menurut Notoatmodjo, pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang setelah melakukan
penginderaan terhadap objek tertentu. Proses penginderaan hingga terbentuknya pengetahuan
dipengaruhi intensitas perhatian dan persepsi manusia itu sendiri terhadap objek. Secara garis
besar, pengetahuan dapat dibagi menjadi enam tingkat, yaitu tahu, memahami, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Semakin tinggi tingkat pengetahuan seseorang, semakin besar
pemahamannya terhadap objek tersebut. Sebagai contoh, pada tingkat memahami, seseorang
hanya dapat mengidentifikasi objek secara benar, namun pada tingkat evaluasi, seseorang
dapat melakukan penilaian terhadap objek tersebut berdasarkan faktor-faktor lain.21
Penyuluhan
Menurut KBBI, penyuluhan memiliki arti penerangan.22 Penyuluhan kesehatan adalah
proses pembelajaran untuk mencapai suatu keadaan di mana individu, keluarga, dan
kelompok masyarakat secara keseluruhan memiliki keinginan untuk hidup secara sehat, serta
mengetahui bagaimana cara untuk mencapai hidup sehat tersebut. Menurut WHO,23 tujuan
penyuluhan kesehatan adalah perubahan perilaku perseorangan dan atau masyarakat dalam
bidang kesehatan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pemberian penyuluhan
kesehatan antara lain tingkat pendidikan, tingkat sosial-ekonomi, adat istiadat, kepercayaan
masyarakat, dan ketersediaan waktu dari masyarakat.
Materi yang disampaikan diharapkan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti,
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta dapat menggunakan media atau alat bantu untuk
mempermudah penyampaian pesan. Metode pemberian penyuluhan dapat bersifat searah atau
dua arah. Contoh metode penyuluhan searah adalah metode didaktik, yaitu memberikan
penerangan biasa tanpa melibatkan pendengar secara aktif. Metode penyuluhan dua arah
dapat dilakukan dengan diskusi atau praktik langsung. Masing-masing metode memiliki
kelebihan dan kekurangan.23 Pada intinya, faktor-faktor di atas harus disesuaikan dengan
sasaran penyuluhan kesehatan agar informasi yang hendak disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat.
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Metode Penelitian
Desain penelitian ini adalah quasi-eksperimental dengan metode pre-post study untuk
menilai perbedaan tingkat pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah
penyuluhan. Tingkat pengetahuan guru SD sebelum dan sesudah penyuluhan diukur dengan
menggunakan kuesioner yang telah divalidasi kemudian dianalisis.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 - November 2012. Pengambilan data
dilakukan di Jakarta tanggal 12 Oktober 2011. Populasi target penelitian adalah guru SD,
populasi terjangkau penelitian adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir di acara
penyuluhan, dan sampel penelitian adalah guru SD di Jakarta pada tahun 2011 yang hadir di
acara penyuluhan serta memenuhi kriteri inklusi dan tidak tercakup dalam kriteria eksklusi.
Kriteria inklusi adalah guru SD di Jakarta yang hadir dan mengikuti penyuluhan
cacingan, serta mengerjakan pre-test dan post-test. Kriteria eksklusi adalah guru tidak
bersedia menjadi subyek penelitian. Terdapat dua kriteria drop out, yaitu guru SD di Jakarta
yang hadir pada penyuluhan cacingan, namun tidak mengerjakan pre-test dan atau post-test,
serta guru SD di Jakarta yang tidak mengisi kuisioner secara lengkap.
Semua guru SD yang hadir saat penyuluhan (populasi terjangkau) dijadikan subyek
penelitian sehingga pengambilan sampel menggunakan total populasi. Guru yang hadir adalah
perwakilan SD di Jakarta yang dipilih oleh sekolah masing-masing. Variabel dependen pada
penelitian ini adalah tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta mengenai enterobiasis. Variabel
independen penelitian ini adalah penyuluhan. Variabel perancu adalah usia, jenis kelamin, dan
tingkat pendidikan, sumber informasi, dan pengalaman cacingan.
Penelitian diawali dengan pembuatan proposal penelitian yang kemudian diserahkan
dan disetujui oleh pembimbing dan pengurus modul riset Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Setelah itu, peneliti bekerja sama dengan PT Johnson & Johnson untuk
mengadakan acara penyuluhan cacingan di Jakarta yang mengundang guru-guru perwakilan
SD di seluruh Jakarta. Setiap SD yang mendapatkan undangan berhak memilih sendiri guru
SD yang dikirim sebagai perwakilan untuk mengikuti acara penyuluhan cacingan. Peneliti
melakukan pengambilan data di tempat penelitian, yakni di acara penyuluhan tersebut.
Sebelum pengambilan data dilakukan, terlebih dahulu dijelaskan tujuan penelitian
kepada subjek secara lisan sebagai bentuk informed consent. Setelah itu, peneliti membagikan
kuesioner pre-test yang telah divalidasi. Peneliti meminta subjek mengisi data diri dan
menjawab semua soal yang terdapat di dalam kuesioner tersebut. Setelah semua subjek
mengisi kuesioner dengan lengkap, peneliti mengumpulkan dan memeriksa kembali. Apabila
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
terdapat nomor pertanyaan yang kosong, peneliti akan meminta subjek tersebut untuk
melengkapinya.
Setelah pengisian kuesioner selesai, subjek akan mengikuti penyuluhan yang
diberikan oleh tiga narasumber, yaitu dokter spesialis anak, ahli kesehatan masyarakat, dan
guru besar parasitologi. Subjek berhak memberikan pertanyaan setelah pembicara selesai
melakukan presentasi. Setelah seminar selesai, peneliti membagikan kuesioner post-test
yang berisi soal yang sama dengan kuesioner sebelumnya. Subjek kembali diminta
kesediaannya untuk mengisi seluruh soal yang terdapat di dalam kuesioner tersebut. Setelah
semua subjek mengisi kuesioner dengan lengkap, peneliti mengumpulkan dan memeriksa
kembali seluruh pertanyaan. Setelah semua kuesioner diisi, peneliti kembali mengumpulkan
kuesioner post-test dan mengolahnya.
Data yang telah dicatat kemudian akan dimasukkan dan diolah menggunakan SPSS for
Windows versi 11.5 melalui editing, coding, cleaning, dan entry. Data dianalisis dengan uji
marginal homogeneity karena data yang digunakan bersifat berpasangan dan uji hipotesis
yang dilakukan merupakan uji hipotesis komparatif kategorik berpasangan dengan kategori
lebih dari dua (baik, cukup, kurang). Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi
frekuensi dari variabel dependen dan independen, sedangkan analisis bivariat digunakan untuk
menilai hubungan antara variabel dependen dan independen. Hasil analisis data tersebut akan
ditulis dan disusun dalam laporan penelitian.
Penelitian ini menggunakan istilah yang dapat menimbulkan keracuan (ambiguitas)
bagi pembaca. Oleh karena itu, istilah yang menimbulkan ambiguitas perlu diterangkan secara
eksplisit untuk menghindari kesalahan persepsi. Responden adalah guru SD di Jakarta pada
tahun 2011 yang hadir pada saat penelitian dilaksanakan. Pengetahuan adalah segala sesuatu
yang diketahui oleh responden mengenai enterobiasis. Tingkat pengetahuan terhadap
enterobiasis diukur menggunakan kuisioner yang telah divalidasi sebelumnya. Di dalam
kuesioner terdapat 30 pertanyaan, lima di antaranya, yaitu nomor 26-30 (dalam laporan ditulis
nomor 1-5), mengenai siklus hidup, patogenesis, gejala, transmisi, dan pencegahan
enterobiasis. Masing-masing pertanyaan memiliki kisaran skor maksimal 5 dan poin (yang
berkisar antara 0-5) didistribusikan ke setiap pilihan jawaban sesuai dengan tingkat kebenaran
jawaban tersebut. Responden diperbolehkan memilih lebih dari satu pilihan jawaban. Skor
total yang diperoleh setelah penjumlahan digolongkan tingkat pengetahuannya. Pengetahuan
tergolong baik apabila nilai ≥80%, cukup jika nilai 60% - 79%, dan kurang jika nilai<60%.
Penyuluhan pada penelitian ini merupakan pemberian informasi mengenai siklus hidup
E. vermicularis, patogenesis, gejala, transmisi, dan pencegahan enterobiasis. Penyuluhan
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
dilakukan menggunakan slide powerpoint dengan penjelasan secara lisan oleh narasumber
(dokter). Jenis kelamin subyek digolongkan menjadi laki-laki dan perempuan, sedangkan
tingkat pendidikan adalah pendidikan terakhir yang telah dijalani sampai tamat oleh subyek
pada saat pengambilan data.
Pengalaman cacingan merupakan pengalaman subyek menderita cacingan atau
mengetahui anggota keluarga/orang lain yang menderita cacingan, dan sumber informasi
merupakan media pemberian informasi mengenai penyakit cacingan kepada subyek.
Agar penelitian ini tidak melanggar kode etik, peneliti memberikan informed consent
kepada calon subyek penelitian sebelum diikutsertakan dalam penelitian. Sebelumnya peneliti
memberikan gambaran dan penjelasan penelitian serta manfaat yang akan diperoleh bagi
subyek jika bersedia berpartisipasi, kemudian informed consent diberikan berupa pernyataan
secara lisan bahwa subyek bersedia secara sukarela terlibat dalam penelitian. Data dijaga
kerahasiaannya dan subyek berhak menolak untuk ikut dalam penelitian.
Hasil Penelitian
Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah SD
di Jakarta tahun ajaran 2011/2012 adalah 3006 sekolah; sebanyak 2224 sekolah merupakan
SD negeri dan 782 merupakan SD swasta. Jumlah murid SD di Jakarta adalah 869 000 siswa,
terdiri atas 672 674 murid SD negri dan 196 326 murid SD swasta.
Jumlah guru SD di Jakarta adalah 42 413 orang, terdiri atas 29 147 guru SD negri dan
13 266 guru SD swasta. Berdasarkan jenjang pendidikannya, sebagian besar guru SD di
Jakarta memiliki tingkat pendidikan Sarjana/S-1 (72,48%), diikuti PGSLA/D-2 (12,45%).
Penyebaran guru SD di Jakarta paling padat di Jakarta Timur (21,72%) dan paling sedikit di
Kepulauan Seribu (0,005%). Demikian juga halnya dengan penyebaran SD dan murid SD
Jakarta.
Pada penelitian ini, diundang guru perwakilan SD di Jakarta untuk diberikan
penyuluhan mengenai enterobiasis. Dari 90 guru SD yang hadir, 67 responden mengisi
kuesioner pre-test dan post-test secara lengkap. Sebanyak 23 orang datang setelah
pelaksanaan pre-test atau pulang sebelum mengerjakan kuesioner post-test sehingga tidak
diikutsertakan dalam analisis data. Tabel 1 menunjukkan distribusi subjek penelitian
berdasarkan karakteristik demografi.
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Tabel 1. Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi
Variabel Kategori Jumlah Persentase
Jenis kelamin Laki-laki 21 31,3% Perempuan 46 68,7%
Pendidikan
SMA 3 4,5% D3 15 22,4% S1 S2
46 3
68,7% 4,5%
Pengalaman
Cacingan
Tidak ada
Diri sendiri Anggota keluarga
Orang lain Diri sendiri dan keluarga
33 3
16 10 5
49,3% 4,5%
23,9% 14,9% 7,5%
Tabel 2. Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah Penyuluhan
Penyuluhan Tingkat Pengetahuan Uji
Baik Cukup Kurang
Sebelum 11 (16,4%) 24 (35,8%) 32 (47,8%) Marginal homogeneity
(p<0,01) Sesudah 56 (83,6%) 9 (13,4%) 2 (3,0%)
Tabel 2 menunjukkan peningkatan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan
baik dari 16,4% menjadi 83,6%. Responden dengan tingkat pengetahuan kurang menurun
dari 47,8% menjadi 3,0%. Analisis perbandingan tingkat pengetahuan sebelum dan sesudah
penyuluhan mendapatkan nilai p<0,01 yang berarti terdapat perbedaan bermakna antara
tingkat pengetahuan responden sebelum dan sesudah penyuluhan.
Tabel 3. Skor Jawaban Responden Tiap Nomor Mengenai Enterobiasis Sebelum dan Sesudah
Penyuluhan
Penyuluhan Median
(Minimum - Maksimum) No. 1 No. 2 No. 3 No. 4 No. 5
Sebelum 5 (0-5) 0 (0-5) 5 (0-5) 1 (0-5) 3 (0-5)
Sesudah 5 (0-5) 5 (0-5) 5 (5-5) 5 (1-5) 5 (2-5) Nilai p 0,016 <0,01 0,083 <0,01 <0,01
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Berdasarkan Tabel 3, hasil uji Wilcoxon menunjukkan perbedaan bermakna pada skor
responden sebelum dan sesudah penyuluhan pada setiap nomor kuesioner yang berkaitan
dengan E. vermicularis. Pada nomor 1, 2, 4, dan 5 didapatkan nilai p<0,05 yang berarti
terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden sebelum dan sesudah
penyuluhan pada setiap nomor tersebut. Nomor 1 berisi pertanyaan mengenai tempat bertelur
cacing kremi, nomor 2 mengenai penyebab seseorang dapat mengandung cacing kremi, nomor
4 mengenai cara penularan infeksi cacing kremi, dan nomor 5 mengenai pencegahan cacing
kremi. Berbeda dengan nomor lain, hasil analisis pada nomor 3 menunjukkan nilai p = 0,083
yang berarti tidak terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden mengenai
gejala cacing kremi sebelum dan sesudah penyuluhan.
Pembahasan
Pada penelitian ini didapatkan jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik
sebelum penyuluhan sebesar 16,4% dan yang tergolong kurang sebesar 47,8%. Rendahnya
tingkat pengetahuan responden terhadap enterobiasis kemungkinan disebabkan oleh
kurangnya sosialisasi enterobiasis pada masyarakat termasuk guru SD. Penyakit cacingan
yang menjadi perhatian pemerintah adalah soil-transmitted helminths yaitu askariasis,
trikuriasis dan infeksi cacing tambang karena komplikasinya berupa gangguan pertumbuhan
dan perkembangan anak akibat kurang gizi, anemia, dan diare. Enterobiasis umumnya
menyebabkan gejala gatal di daerah perianal dan jarang menimbulkan komplikasi sehingga
kurang diperhatikan. Hal tersebut kemungkinan membuat responden menyamakan informasi
mengenai soil-transmitted helminths dengan enterobiasis sehingga memilih pilihan yang tidak
tepat saat mengisi kuesioner.
Pada soal nomor 1 mengenai tempat bertelur cacing kremi, sebanyak 35,8% responden
memilih jawaban yang tidak tepat sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah anus.
Pilihan jawaban yang tidak tepat antara lain lambung, usus halus, dan usus besar. Lima
responden memilih lambung sebagai jawaban pertanyaan nomor 1, sisanya memilih usus
halus dan atau usus besar. Usus halus dan usus besar merupakan tempat bertelur Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura. Besar kemungkinan responden kurang mengetahui
tentang enterobiasis sebelum penyuluhan sehingga menyamakan siklus hidup E. vermicularis
dengan A. lumbricoides atau T. trichiura.
Soal nomor 2 adalah mengenai penyebab seseorang mengandung cacing kremi
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
(patogenesis). Hanya 47,8% responden yang memilih jawaban tepat sebelum penyuluhan.
Jawaban yang tepat adalah tertelan telur cacing. Pilihan yang salah adalah makan kelapa
parut, makan sayuran mentah, dan tidak tahu. Alasan responden memilih jawaban makan
kelapa parut kemungkinan karena terdapat mitos di masyarakat bahwa penyakit cacing kremi
disebabkan makan kelapa parut karena bentuk cacing kremi menyerupai parutan kelapa.
Makan sayuran mentah merupakan patogenesis cacing lain seperti A. lumbricoides sehingga
penyebab responden memilih jawaban tersebut kemungkinan karena tertukar dengan
patogenesis A. lumbricoides.
Pada soal nomor 3 mengenai gejala infeksi cacing kremi, 95,5% responden mendapat
poin maksimal sebelum penyuluhan. Jawaban yang tepat adalah gatal di sekitar anus. Pilihan
lain adalah anemia, kurang gizi, dan tidak tahu. Hal tersebut berarti sebelum penyuluhan
sebagian besar responden telah memiliki pemahaman yang baik mengenai gejala enterobiasis.
Soal nomor 4 dan 5 membahas penularan dan pencegahan enterobiasis. Jumlah
responden yang memilih jawaban yang benar sebelum penyuluhan untuk nomor 4 dan 5
berturut-turut adalah 4,5% dan 37,3%. Pada kedua nomor tersebut responden harus memilih
lebih dari satu jawaban untuk mendapatkan nilai maksimal. Apabila responden hanya memilih
salah satu jawaban yang tepat maka nilainya tidak maksimal. Sebagian besar responden hanya
mengetahui sebagian dari seluruh pilihan yang tepat sehingga skor tidak maksimal. Hanya
sebagian kecil responden yang memilih jawaban tidak tahu.
Pada penelitian ini, didapatkan perbedaan bermakna (p<0,01) yang berarti penyuluhan
efektif dalam meningkatkan tingkat pengetahuan responden mengenai enterobiasis.
Peningkatan pengetahuan yang bermakna tersebut dapat dipengaruhi oleh berbagai hal.
Responden yang berprofesi sebagai guru SD seharusnya memiliki kemampuan pemahaman
yang baik, didukung latar belakang pendidikan responden yang sebagian besar adalah S-1.
Selain itu, guru SD sehari-hari di sekolah terbiasa untuk belajar dan mengajar sehingga
seharusnya tidak kesulitan memahami kuliah/ceramah.
Pembicara pada penelitian ini merupakan dokter ahli kesehatan masyarakat, dokter
anak, dan dokter spesialis parasitologi yang berpengalaman dalam memberikan penyuluhan
sehingga materi penyuluhan dapat disampaikan secara jelas. Selain itu, media presentasi
menggunakan slide powerpoint dengan teks, gambar dan bagan yang dijelaskan secara lugas
dan perlahan sehingga dapat mempermudah responden untuk memahami materi penyuluhan.
Responden juga diberikan kesempatan untuk bertanya mengenai materi yang belum
dimengerti untuk menghindari kesalahan persepsi.
Penelitian oleh Radhitya14 juga menunjukkan hasil serupa, yaitu penyuluhan efektif
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
dalam meningkatkan pengetahuan responden mengenai askariasis (p<0,01). Metode
pemberian penyuluhan pada penelitian tersebut adalah ceramah tanya-jawab menggunakan
powerpoint. Pembicara dalam penelitian tersebut juga merupakan dokter yang telah
berpengalaman dalam memberikan penyuluhan. Perbedaannya, responden dalam penelitian
Radhitya adalah santri dan materi yang diberikan mengenai A. lumbricoides.
Penyuluhan dapat meningkatkan pengetahuan seseorang sehingga selanjutnya
diharapkan mampu melakukan pencegahan penyakit dan menurunkan prevalensi penyakit.
Amri15 melaporkan bahwa terdapat hubungan antara penyuluhan dengan prevalensi penyakit
cacingan. Pada penelitian Amri,15 penyuluhan terbukti meningkatkan pengetahuan responden
sehingga mereka dapat melakukan upaya pencegahan infeksi cacing usus seperti menjaga
kebersihan kuku dan buang air besar di jamban. Perubahan perilaku kemudian dibuktikan
berpengaruh terhadap prevalensi penyakit cacingan pada subyek penelitian tersebut.
Meskipun penyuluhan terbukti meningkatkan tingkat pengetahuan guru SD, sesudah
penyuluhan masih ada subjek dengan tingkat pengetahuan cukup atau kurang. Tingkat
pengetahuan ini juga belum tentu bertahan lama hingga beberapa tahun ke depan. Oleh karena
itu, penyuluhan secara berkala penting untuk dilakukan agar tingkat pengetahuan yang baik
dapat dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, dengan melakukan
penyuluhan secara berkala kita juga dapat mengetahui seberapa besar perubahan tingkat
pengetahuan subjek setelah jangka waktu tertentu dan menentukan frekuensi penyuluhan yang
efektif untuk mempertahankan tingkat pengetahuan subjek.
Analisis perbandingan skor nomor 1 mengenai tempat bertelur E. vermicularis
sebelum dan sesudah penyuluhan mendapatkan nilai p=0,016 sehingga dapat dikatakan
berbeda bermakna. Jumlah responden yang mendapatkan nilai maksimal meningkat sebanyak
16,4%. Hal yang mendukung hasil tersebut antara lain bagan siklus hidup E. vermicularis
yang mudah dipahami disertai penjelasan oleh narasumber, baik secara tertulis maupun lisan.
Pada slide juga ditampilkan gambar anus penderita enterobiasis sehingga mempermudah
responden mengingat lokasi bertelurnya.
Pada nomor 2, terdapat perbedaan bermakna antara skor pengetahuan responden
mengenai patogenesis enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan. Median skor responden
meningkat dari 0 menjadi 5 (poin maksimal) dengan nilai p<0,01. Jumlah responden dengan
nilai maksimal meningkat sebanyak 35,8%. Beberapa hal yang mendukung hasil tersebut
antara lain bagan siklus hidup E. vermicularis yang ditampilkan di slide menarik dan mudah
dimengerti. Selain itu, narasumber juga memberi penjelasan secara perlahan mengenai
patogenesis enterobiasis dari bagan yang ditampilkan.
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
Skor responden pada nomor 3 mengenai gejala enterobiasis tidak meningkat karena
sebelum penyuluhan jumlah responden yang mendapatkan skor 5 (poin maksimal) sudah
sangat tinggi, yaitu 95,5% dan meningkat menjadi 100% sesudah penyuluhan. Dengan kata
lain, tanpa diberikan penyuluhan pun pengetahuan responden mengenai gejala cacing kremi
sudah baik. Gejala infeksi cacing kremi, yaitu gatal di sekitar anus, memang sudah menjadi
pengetahuan umum bagi masyarakat, apalagi bagi guru SD yang latar belakang pendidikannya
sebagian besar sarjana.
Median skor responden nomor 4 dan 5 mengenai penularan dan pencegahan
enterobiasis meningkat sesudah penyuluhan dengan nilai p<0,01 untuk kedua nomor. Dapat
dikatakan penyuluhan berpengaruh terhadap skor pengetahuan responden mengenai penularan
dan pencegahan enterobiasis Peningkatan jumlah responden yang mendapat nilai maksimal
pada nomor 4 dan 5 merupakan peningkatan tertinggi dibanding nomor lain, yaitu berturut-
turut sebanyak 53,7% dan 52,3%. Beberapa hal yang mendukung hasil ini antara lain
penjelasan dari narasumber yang lugas dan sederhana, serta materi cara penularan enterobiasis
yang ditulis bukan dalam bentuk narasi, melainkan poin-poin dalam slide presentasi sehingga
lebih mudah diingat oleh responden.
Kekurangan penelitian ini adalah jumlah drop out yang cukup besar. Dari 90 guru SD
yang hadir, sebanyak 23 orang datang setelah pelaksanaan pre-test atau pulang sebelum
mengerjakan kuesioner post-test sehingga termasuk ke dalam kategori drop out. Waktu
penyuluhan yang melewati jam makan siang kemungkinan menyebabkan beberapa subjek
memilih untuk keluar mencari makan dan tidak kembali lagi untuk mengerjakan post test. Hal
ini dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian selanjutnya agar memilih waktu penyuluhan
yang tepat dan kondusif untuk subjek penelitian.
Kesimpulan Dari hasil penelitian didapatkan karakteristik responden perempuan 21 orang (68,7%)
dan laki-laki 46 orang (31,3%) berpendidikan SMA 4,5%, vokasi 22,4%, S1 68,7%, dan S2
4,5%. Sebanyak 49,3% tidak memiliki pengalaman cacingan dan 31,3% mendapat informasi
mengenai cacingan dari satu sumber. Sebelum penyuluhan jumlah responden dengan tingkat
pengetahuan baik adalah 16,4%, cukup 35,8%, dan kurang 47,8%. Sesudah penyuluhan
jumlah responden dengan tingkat pengetahuan baik menjadi 83,6%, cukup 13,4%, dan kurang
3,0%. Dari hasil analisis dengan uji marginal homogeneity, perbedaan tersebut bermakna
(p<0,01). Dapat disimpulkan terdapat perbedaan tingkat pengetahuan guru SD di Jakarta
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
mengenai enterobiasis sebelum dan sesudah penyuluhan.
Saran Saran yang dapat diberikan dari penelitian ini adalah perlunya pemberian penyuluhan
secara berkala terhadap guru SD dengan jumlah peserta yang lebih banyak agar tingkat
pengetahuan guru SD mengenai enterobiasis semakin baik, khususnya di Jakarta. Penelitian
lebih lanjut dapat dilakukan dengan analisis multivariat untuk mengetahui hubungan antara
tingkat pengetahuan, sikap, perilaku, dan penyuluhan terhadap prevalensi penyakit agar dapat
diketahui interaksi antara komponen tersebut.
Daftar Referensi 1. Muller, R. (2002). Worms and human disease. New York: CAB International.
2. Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin, P.K., & Sungkar, S. (2008). Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran (4th ed). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
3. Gillespie, S. & Pearson, R.D. (2001). Principles and practice in clinical parasitology.
England: John Wiley & Sons Ltd.
4. Pezzani, B.C., Minvielle, M.C., Luca, M.M.D., Cordoba, M., Apeztugia, M.C., &
Basualdo, J.A. (2004). Enterobius vermicularis infection among population of General
Mansilla, Argentina. World J Gastroenterol, 10(17), 2535-9.
5. Celiksoz, A., Acioz, M., Degerli, S., Oztop, A., & Alim, A. (2010). Effects of
enterobiasis in primary school children. African Journal of Microbiology Research, 4(8),
634-9.
6. Chaisalee, T., Tuakew, A., Wiwanitkit, V., Suyaphan, A., Thiamtip, S., Suwansaksri, J.
(2004). Very high prevalence of enterobiasis among the Hilltribal children in rural district
“Mae Suk”, Thailand. Med Gen Med, 6(2), 5.
7. Lee, S.E., Lee, J.H., Ju, J.W., Lee, W.J., & Cho, S.H. (2011). Prevalence of Enterobius
vermicularis among preschool children in Gimhae-si, Gyeongsangnam-do, Korea.
Korean J Parasitol, 49(2), 183–5.
8. Rachmiawati, A. (1993). Beberapa aspek epidemiologis enterobiasis pada keluarga di
RT001/RW01, Condet Balekambang, Jakarta Timur. Maj Kedokt Fak Kedokt UKI, 17,
26–31.
9. Soebaktiningsih & Nurtjahjono. (1989). Enterobius vermicularis pada anak yang di-rawat
tinggal di UPF/Lab. Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr. Saiful Anwar/FK Unibraw Malang.
Maj Kedokt Tropis Indon, 2(1-2), 21-6.
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012
10. Yuliati & Omposungsu, S. (1994). Enterobiasis pada anak usia di bawah 6 tahun di desa
Cikaret. Cermin Dunia Kedokteran, 97, 16-8.
11. Handoyo, I. & Kartanegara, D. (1981). Penyelidikan pengobatan pada oxyuriasis
dengan piperazine hydrate dan pyrantel pamoate, dan dengan alat usap anus modifikasi
"Graham swab". Kumpulan Makalah Seminar Parasitologi Nasional Ke-II. Jakarta:
Grafiti Medika Pers.
12. Behrman, R.E., Kliegman, R.M., & Arvin, A.M. (2000). Nelson: Ilmu Kesehatan Anak
(2nd ed). Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC.
13. Natadisastra, D., Agoes, R. (2005). Parasitologi Kedokteran: Ditinjau Dari Organ Tubuh
Yang Diserang. Jakarta: Buku Penerbit Kedokteran EGC.
14. Radhitya, R. (2011). Efektivitas penyuluhan terhadap peningkatan pengetahuan santri
mengenai A. lumbricoides di Pesanten X, Jakarta Timur. Skripsi, Program Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta.
15. Amri, Z. & Rivai, A. (2005). Efek penyuluhan terhadap infeksi penyakit cacing usus dan
pencapaian target pemetik teh di Perkebunan Teh X, Jawa Barat. Tesis, Program
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.
Tingkat pengetahuan…, Febrian Mulya Santausa, FK UI, 2012