TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PETANI TERHADAP PROGRAM ...

128
TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PETANI TERHADAP PROGRAM PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH Kasus : Desa Lubuk Bayas Kec. Perbaungan Kab. Serdang Bedagai SKRIPSI OLEH: CANDRA DERMAWAN HAREFA 130304135 AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2019 Universitas Sumatera Utara

Transcript of TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PETANI TERHADAP PROGRAM ...

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PETANI TERHADAP PROGRAM
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH Kasus : Desa Lubuk Bayas Kec. Perbaungan Kab. Serdang Bedagai
SKRIPSI
OLEH:
TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI PETANI TERHADAP PROGRAM
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH Kasus : Desa Lubuk Bayas Kec. Perbaungan Kab. Serdang Bedagai
SKRIPSI
OLEH:
di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
Candra Dermawan Harefa (130304135) dengan judul Tingkat Adopsi Teknologi Petani
Terhadap Program Peningkatan Produktivitas Padi Sawah (Kasus : Desa Lubuk Bayas,
Kec. Perbaungan, Kab. Serdang Bedagai). Penelitian ini dibimbing oleh Ibu Ir. Lily
Fauzia, M.Si dan Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP.
Usaha peningkatan produksi pertanian salah satunya diwujudkan dengan pemberian
pengetahuan dan keterampilan penggunaan teknologi (inovasi) pertanian modern, dengan
harapan agar petani bersedia merubah pola dan struktur pertanian yang tradisional. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis sikap petani terhadap program teknologi
peningkatan produktivitas padi sawah dan untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap
program teknologi peningkatan produktivitas padi sawah dan bagaimana hubungan faktor
sosial ekonomi yang meliputi umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pengalaman bertani,
tingkat pendapatan, tanggungan dalam keluarga, kepemilikan lahan, dan frekuensi mengikuti
penyuluhan terhadap tingkat adopsi petani terhadap program teknologi peningkatan
produktivitas padi sawah di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang
Bedagai. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan teknik
pengskalaan likert dan analisis korelasi Chi–Square. Penentuan daerah penelitian dilakukan
secara purposive. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap petani terhadap program
teknologi peningkatan produktivitas padi sawah dikategorikan positif dan tingkat adopsi
petani terhadap program teknologi peningkatan produktivitas padi sawah dikategorikan
tinggi. Tingkat pendidikan, luas lahan, tingkat pendapatan, kepemilikan lahan dan frekuensi
kepemilikan lahan memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap
program teknologi peningkatan produktivitas padi sawah, sedangkan pengalaman bertani dan
jumlah tanggungan dalam keluarga tidak memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat
adopsi petani terhadap program teknologi peningkatan produktivitas padi sawah.
Kata Kunci: Sikap Petani, Tingkat Adopsi, Faktor Sosial Ekonomi
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRACT
One of the efforts to increase agricultural production is manifested by the provision of
knowledge and skills in the use of technology (innovation) in modern agriculture, with the
hope that farmers are willing to change traditional patterns and agricultural structures. The
purpose of this study was to analyze the attitude of farmers to the technology program to
increase the productivity of paddy rice and to analyze the level of farmer adoption of
technology programs to increase the productivity of paddy rice and how the socio-economic
factors related to age, education level, land area, farming experience, income level,
dependents in the family, land ownership, and frequency of counseling on the level of farmer
adoption of the technology program to increase productivity of paddy rice in Desa Lubuk
Bayas, Desa Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. The research method used was
descriptive analysis with likert scaling technique and Chi – Square correlation analysis.
Determination of the study area was done purposively. The results showed that the farmer's
attitude towards the technology program increased productivity of lowland rice was
categorized as positive and the level of farmer adoption of the technology program increased
the productivity of lowland rice was categorized as high. The level of education, land area,
income level, land ownership and frequency of land ownership have a significant relationship
to the level of farmer adoption of technology programs to increase the productivity of lowland
rice, while farming experience and the number of dependents in the family do not have a
significant relationship to the level of farmer adoption of the program technology for
increasing productivity of lowland rice.
Keywords: Attitudes of Farmers, Level of Adoption, Socio-Economic Factors.
Universitas Sumatera Utara
RIWAYAT HIDUP
Candra Dermawan Harefa lahir di Kota Gunungsitoli pada tanggal 21 Januari 1995 anak dari
Bapak Yasokhi Harefa dan Yalima Larosa. Penulis merupakan anak pertama dari lima
bersaudara.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh penulis adalah sebagai berikut:
1. Tahun 2001 masuk Sekolah Dasar di SDN 070979 Sifalaete Tabaloho dan tamat tahun
2007.
2. Tahun 2007 masuk Sekolah Menegah Pertama di SMP Negeri 1 Gunungsitoli dan tamat
tahun 2010.
3. Tahun 2010 masuk Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Gunungsitoli dan tamat
tahun 2013.
4. Tahun 2013 menempuh pendidikan di Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian,
Universitas Sumatera Utara, Medan melalui jalur SBMPTN.
Pengalaman Organisasi :
1. Selama menjadi mahasiswa penulis terlibat dalam organisasi IMASEP (Ikatan Mahasiswa
Sosial Ekonomi Pertanian) FP USU.
2. Bulan Juli - Agustus 2016 mengikuti Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Desa Pantai
Cermin Kanan, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupaten Serdang Bedagai.
3. Tahun 2018 penulis melaksanakan penelitian di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan
Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. yang telah
melimpahkan segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul skripsi ini adalah
“Tingkat Adopsi Teknologi Petani Terhadap Program Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah (Kasus : Desa Lubuk Bayas Kecamatan
Perbaungan Kabupaten Serdang Bedagai )” .
Penulis pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ir. Lily Fauzia M.Si sebagai ketua komisi pembimbing yang telah
membimbing penulis dalam menyelesaikan skipsi ini dengan baik.
2. Bapak Ir. Luhut Sihombing, MP sebagai Anggota Komisi yang telah
membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Bapak Dr. Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec selaku ketua Program Studi
Agribisnis FP-USU dan Bapak Ir. M. Jufri M.Si selaku Sekertaris Program
Studi Agribisnis FP-USU
Sumatera Utara yang selama ini telah membekali ilmu pengetahuan kepada
penulis selama masa perkuliahan.
5. Seluruh pegawai di FP-USU khususnya program studi Agribisnis yang
telah membantu seluruh proses administrasi.
6. Seluruh Perangkat Desa dan Masyarakat Desa Lubuk Bayas yang telah
bersedia mengijinkan penulis melakukan penelitian di desa tersebut dan
bersedia menjadi sample penelitian saya.
Universitas Sumatera Utara
v
7. Ayah tercinta Yasokhi Harefa dan Ibunda tercinta Yalima Larosa, yang tiada
henti memberikan kasih sayang, motivasi dan dukungan selama kehidupan ini
dan terkhususnya pada masa perkuliahan ini.
8. Saudara ku tersayang Agnes Harefa, Ridho Harefa, Ayu Harefa dan Anofuli
Harefa yang selalu memotivasi dan memberi dukungan moril selama masa
perkuliahan.
9. Kepada Keluarga dan Orangtua kedua ku (alm). Mamasa’a I. Eri Harefa dan
keluarga yang telah menerima aku menjadi bagian dari mereka sejak awal
perkuliahan.
10. T. Risha Sefilla Chairawani yang telah memberikan semangat, motivasi,
dan perhatian kepada penulis.
11. Teman-teman seperjuangan 2013 Agribisnis FP USU yang telah berjuang
bersama-sama baik dalam proses perkuliahan dan dalam proses manis
pahitnya kehidupan kampus. Terkhususnya buat Arbi, Sargio, Richardo, Roy,
Joseph, Polis, Albert, Koko, Kevin dan Irham dan teman-teman lain yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak, namun
demikian sangat disadari masih terdapat kekurangan karena keterbatasan dan
kendala yang dihadapi penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun kearah penyempurnaan pada skripsi ini.
Medan, Januari 2019
1.2. Identifikasi Masalah ................................................................. 5
1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 5
1.4. Kegunaan Penelitian ................................................................. 6
PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN
Padi Sawah ...................................................................... 15
3.2. Metode Pengambilan Sampel ................................................... 38
3.3. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 39
3.4. Metode Analisis Data ............................................................... 40
3.5. Definisi dan Batasan Operasional ............................................ 48
3.5.1 Definisi ............................................................................ 48
3.5.2 Batasan Operasional ........................................................ 49
BAB VI DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1. Deskripsi Desa Lubuk Bayas ................................................... 50
4.1.1 Kondisi Geografis ........................................................... 50
4.1.3 Kondisi Demografis ........................................................ 52
4.2. Karakteristik Petani Sample ..................................................... 54
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Sikap Petani Terhadap Program Teknologi Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah ......................................................... 60
Produktivitas Padi Sawah ......................................................... 62
Adopsi Petani Terhadap Program Teknologi Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah. ........................................................ 63
Terhadap Program Teknologi Peningkatan Produktivitas
Padi Sawah. ..................................................................... 64
Petani Terhadap Program Teknologi Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah ............................................... 65
Terhadap Program Teknologi Peningkatan Produktivitas
Padi Sawah ...................................................................... 67
Petani Terhadap Program Teknologi Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah ............................................... 68
Petani Terhadap Program Teknologi Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah ............................................... 70
Tingkat Adopsi Petani Terhadap Program Teknologi
Peningkatan Produktivitas Padi Sawah........................... 72
5.3.7 Hubungan Kepemilikan Lahan Terhadap Tingkat Adopsi
Petani Terhadap Program Teknologi Peningkatan
Produktivitas Padi Sawah ............................................... 73
Peningkatan Produktivitas Padi Sawah....................... 75
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ............................................................................... 77
6.2. Saran ......................................................................................... 77
1. Tingkat Penilaian Indikator Negatif dan Positif pada Petani 41
2. Pengukuran Paket Teknologi Budidaya Sesuai Anjuran 42
3. Bentuk Tabel Silang (Crosstab) Pada Uji Chi-Squere 46
4. Nilai Hubungan Korelasi 47
5. Luas Lahan Menurut Peruntukan di Desa Lubuk Bayas
Tahun 2016
Kelamin Tahun 2016
Bayas Tahun 2016
Bayas
53
10. Tingkat Pendidikan Petani Sample di Desa Lubuk Bayas 56
11. Luas Lahan Petani Sample di Desa Lubuk Bayas 56
12. Pengalaman Bertani Petani Sample di Desa Lubuk Bayas 57
13. Tingkat Pendapatan Petani Sample di Desa Lubuk Bayas 57
14. Tingkat Tanggungan dalam Keluarga Petani Sample di Desa
Lubuk Bayas
15. Kepemilikan Lahan Petani Sample di Desa Lubuk Bayas 58
16. Frekuensi Mengikuti Penyuluhan Petani Sample di Desa
Lubuk Bayas
Padi Sawah di Desa Lubuk Bayas
61
Produkdutivitas Padi Sawah
Petani
64
Tingkat Adopsi Petani
Adopsi Petani
Tingkat Adopsi Petani
Tingkat Adopsi Petani
Bertani Terhadap Tingkat Adopsi Petani
72
Adopsi Petani
Adopsi Petani
Universitas Sumatera Utara
Sawah (Pertanyaan Positif)
Sawah (Pertanyaan Negatif)
4 Nilai Skala T Jawaban Petani Sample terhadap Pertanyaan Positif dan
Negatif
Produktivitas Padi Sawah Petani Sample
6 Perhitungan SPSS Hubungan Umur dengan Tingkat Adopsi Teknologi
Budidaya Produktivitas Padi Sawah
Adopsi Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah
8 Perhitungan SPSS Hubungan Luas Lahan dengan Tingkat Adopsi
Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah
9 Perhitungan SPSS Hubungan Pengalaman Bertani dengan Tingkat
Adopsi Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah
10 Perhitungan SPSS Hubungan Pendapatan dengan Tingkat Adopsi
Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah.
11 Perhitungan SPSS Hubungan Jumlah Tanggungan dalam Keluarga
dengan Tingkat Adopsi Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah
12 Perhitungan SPSS Hubungan Kepemilikan Lahan dengan Tingkat
Adopsi Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah
13 Perhitungan SPSS Hubungan Frekuensi Mengikuti Penyuluhan dengan
Tingkat Adopsi Teknologi Budidaya Produktivitas Padi Sawah
Universitas Sumatera Utara
1.1. Latar Belakang
Tanaman padi merupakan salah satu tanaman budidaya yang penting bagi umat
manusia karena lebih dari setengah penduduk dunia tergantung pada tanaman ini
sebagai sumber bahan pangan. Hampir seluruh penduduk indonesia memenuhi
kebutuhan bahan pangannya dari tanaman padi. Dengan demikian, tanaman padi
merupakan tanaman yang mempunyai nilai spritual, budaya, ekonomi, politik,
yang penting bagi bangsa Indonesia karena mempengaruhi hajat hidup orang
banyak (Utama, 2015).
Jumlah penduduk Indonesia yang pada tahun 2020 diproyeksikan akan mencapai
271,1 juta jiwa, membutuhkan jumlah penyediaan pangan yang cukup besar
dengan kualitas yang lebih baik. Selain itu, meskipun peningkatan pendapatan
masyarakat menyebabkan konsumsi beras per kapita yang cenderung menurun,
jumlah konsumsi beras agregat nasional masih akan meningkat sebagai akibat dari
peningkatan jumlah penduduk tersebut. Di dalam kurun waktu lima tahun ke
depan (2015-2019), konsumsi beras per kapita diproyeksikan akan menurun rata-
rata 0,87 persen per tahun, namun jumlah konsumsi beras nasional masih akan
meningkat rata-rata 0,35 persen per tahun. Selanjutnya, jumlah permintaan pangan
selain beras yaitu buah-buahan dan sayuran segar, sumber protein hewani (daging,
telur, dan ikan), dan pangan olahan juga meningkat. Selain itu, pada sisi konsumsi
juga masih terjadi kerawanan pangan di masa-masa tertentu dan masih banyak
masyarakat yang menderita kekurangan gizi/nutrisi (Bappenas, 2015).
Universitas Sumatera Utara
Salah satu masalah pembangunan yang dihadapi oleh negara-negara yang sedang
berkembang termasuk Indonesia, adalah bagaimana negara-negara ini dapat
mencukupi kebutuhan pangan mereka yang semakin meningkat sesuai dengan
meningkatnya jumlah penduduk di negara-negara tersebut. Untuk mencapai tujuan
tadi berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah negara- negara yang sedang
berkembang untuk membangun sektor pertanian. Namun harus diakui bahwa
usaha-usaha pembangunan pertanian belum dapat dikatakan berhasil mencapai
tujuannya yakni mencukupi kebutuhan pangan dan yang tidak kalah pentingnya
adalah menaikkan pendapatan sekaligus kesejahteraan petani (Bunch, 1991).
Salah satu sasaran utama prioritas nasional di bidang pangan periode 2015-2019
untuk tetap meningkatkan dan memperkuat kedaulatan pangan adalah tercapainya
peningkatan ketersediaan pangan yang bersumber dari produksi di dalam negeri,
yaitu sebagai berikut: (1) Produksi padi diutamakan ditingkatkan dalam rangka
swasembada agar kemandirian dapat dijaga; (2) Produksi jagung ditargetkan
untuk memenuhi kebutuhan keragaman pangan dan pakan lokal; (3) Produksi
kedele diutamakan untuk mengamankan pasokan pengrajin dan kebutuhan
konsumsi tahu dan tempe; (4) Produksi gula dalam negeri ditargetkan untuk
memenuhi konsumsi gula rumah tangga; (5) Produksi daging sapi untuk
mengamankan konsumsi di tingkat rumah tangga; (6) Produksi ikan untuk
mendukung penyediaan sumber protein asal hewan yang ditargetkan sebesar 18,7
juta ton pada tahun 2019; dan (7) Produksi garam ditargetkan untuk memenuhi
konsumsi garam rumah tangga (Bappenas, 2015).
Universitas Sumatera Utara
Produksi pertanian pada umumnya belum ramah lingkungan dan belum mampu
mengantisipasi dan mengadaptasi dampak perubahan iklim. Praktek-praktek
pemeliharaan tanaman padi dan sayuran masih menggunakan bahan kimia
(pestisida) untuk mengendalikan hama/penyakit menimbulkan polusi terhadap air
dan lingkungan. Pembukaan lahan perkebunan di Sumatera dan Kalimantan masih
menggunakan cara pembakaran yang menimbulkan asap yang mengganggu
kesehatan dan bahkan kegiatan penerbangan, baik di wilayah pembakaran maupun
negara tetangga (Singapura dan Malaysia). Pola produksi padi juga belum mampu
mengantisipasi dan mengadaptasi dampak perubahan iklim sehingga di wilayah-
wilayah sentra produksi tertentu mengalami gagal panen karena kekeringan atau
kebanjiran. Upaya pemerintah untuk menghasilkan varietas-varietas padi yang
tahan kekeringan atau tahan genangan air dengan pola tanam tertentu sudah ada,
tetapi masyarakat petany masih belum sepenuhnya memahami dan
mempraktekkannya (Bappenas, 2015).
permukaan bumi seperti ditunjukkan oleh semakin meningkatnya intensitas
fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim merupakan salah satu ancaman
yang sangat serius terhadap sektor pertanian dan potensial mendatangkan masalah
baru bagi keberlanjutan produksi pangan dan sistem produksi pertanian pada
umumnya. Perubahan iklim mengakibatkan peningkatan curah hujan di wilayah
tertentu dan sekaligus kekeringan di tempat yang lain. Hal ini berdampak bagi
petani yang tidak lagi memprediksi musim tanam secara akurat. Tanaman
hortikultura umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap
cekaman (kelebihan dan kekurangan) air (Kusnanto, 2011).
Universitas Sumatera Utara
4
Selain perubahan iklim konversi lahan sawah beririgasi teknis, utamanya di Jawa,
dikonversi secara terus-menerus untuk penggunaan non pertanian dan pertanian
lain. Tekanan penduduk yang makin kuat menyebabkan kebutuhan akan lahan
untuk pemukiman/perumahan terus meningkat. Demikian pula pertumbuhan
industri menimbulkan permintaan akan lahan sawah dimana kondisi
infrastrukturnya sudah baik. Pembangunan jalan raya dan tol juga memerlukan
lahan pertanian yang sangat luas. Di wilayah-wilayah perkebunan kelapa sawit,
lahan sawah juga dikonversi menjadi kebun sawit yang dapat memberikan
pendapatan yang lebih baik bagi petani dibanding sawah (Bappenas 2015).
Usaha peningkatan produksi pertanian salah satunya diwujudkan dengan
pemberian pengetahuan dan keterampilan penggunaan teknologi (inovasi)
pertanian modern, dengan harapan agar petani bersedia merubah pola dan struktur
pertanian yang tradisional. Teknologi pertanian modern telah banyak diadopsi
oleh petani terutama sejak dilaksanakannya Pembangunan Lima Tahun (Pelita)
pertama mulai tahun 1969, yang dalam pelaksanaannya diantaranya berisikan
pembangunan pertanian melalui introduksi pertanian modern (sasrtatmadja, 1993).
Dewasa ini pertanian sudah tidak sepenuhnya diserahkan kepada alam, tetapi
memerlukan pengelolaan dan pengembangan yang lebih lanjut. Pengembangan
dan pengelolaan sumber daya alam untuk menjadi tulang punggung perekonomian
negara dapat dicapai melalui aplikasi teknologi dalam bidang pertanian dan
sektor-sektor pendukungnya. Pentingnya aplikasi teknologi yang dikuasai
dikarenakan keberadaan teknologi yang sudah sedemikian besar pengaruhnya
terhadap kesuksesan sebuah pertanian dilihat dari segi kualitas dan kuantitas
produksi yang dihasilkannya. Bahkan dengan turut berpengaruhnya sektor
Universitas Sumatera Utara
langsung teknologi juga berperan menambah kesempatan kerja kepada seluruh
komponen masyarakat. Besarnya kapasitas produksi berarti pula besarnya jumlah
kesempatan kerja (Hariyadi, 2000).
Usahatani dewasa ini harus dipadu dengan teknologi supaya tingkat produksi
dapat dicapai secara maksimal. Usahatani padi yang sebagaimana merupakan
salah satu usahatani yang sangat penting dan berperan sentral dalam memenuhi
penyedian bahan pangan sebagian besar masyarakat Indonesia harus dilakukan
secara efisien dengan menerapkan teknologi yang terbaik. Petani Indonesia
harus berani merubah teknologi sebelumnya yang sudah usang dan menerapkan
teknologi baru yang ditawarkan. Dalam mengubah persepsi petani tidak bisa kita
hindari faktor sosial ekonomi yang mempunyai pengaruh terhadap persepsi dan
pemikiran petani dalam mengubah kebiasaan bertani sesuai kemajuan teknologi.
1.2. Identifikasi Masalah
masalah sebagai berikut:
padi sawah di daerah penelitian ?
2) Bagaimana tingkat adopsi petani terhadap program teknologi peningkatan
produktivitas padi sawah di daerah penelitian?
3) Bagaimana hubungan hubungan faktor-faktor sosial ekonomi (umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, pengalaman bertani, tingkat pendapatan, tanggungan
dalam keluarga, kepemilikan lahan dan frekuensi mengikuti penyuluhan)
Universitas Sumatera Utara
produktivitas padi sawah ?
1.3. Tujuan Penelitian
1) Untuk menganalisis sikap petani terhadap program teknologi peningkatan
produktivitas padi sawah di daerah penelitian.
2) Untuk menganalisis tingkat adopsi petani terhadap program teknologi
peningkatan produktivitas padi sawah di daerah penelitian.
3) Untuk menganalisis hubungan faktor-faktor sosial ekonomi (umur, tingkat
pendidikan, luas lahan, pengalaman bertani, tingkat pendapatan, tanggungan
dalam keluarga, kepemilikan lahan dan frekuensi mengikuti penyuluhan)
terhadap tingkat adopsi petani terhadap program teknologi peningkatan
produktivitas padi sawah di daerah penelitian.
1.4. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan di kemudian hari dapat digunakan sebagai:
1) Sebagai bahan informasi dan masukan bagi petani dan penyuluh untuk
mengetahui sikap petani terhadap program teknologi peningkatan
produktivitas padi sawah di daerah penelitian.
2) Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait dalam
membuat kebijakan program teknologi peningkatan produktivitas padi sawah
(Pengelolaan Tanaman Terpadu).
3) Sebagai bahan informasi dan referensi bagi peneliti lainnya yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
HIPOTESIS PENELITIAN
Menurut Andoko (2002), bahwa tanaman padi merupakan tanaman pangan yang
tergolong dalam famili Gramineae. Secara lengkap, taksonomi tanaman padi
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Gramineae
Genus : Oryza
Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya terpenting
dalam peradaban juga tanaman yang paling penting di Indonesia karena
makanan pokok di Indonesia adalah nasi dari beras yang tentunya dihasilkan
oleh tanaman padi. Sebagai tanaman utama di dunia, padi diduga berasal dari
bagian timur India Utara, Banglades Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam,
dan Cina bagian selatan (Suparyono, 1993).
Padi (Oryza sativa) merupakan tanaman semusim yang sangat bermanfaat di
Indonesia karena menjadi bahan makanan pokok. Tanaman ini dapat tumbuh pada
daerah mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Bila didataran tinggi
kita mengenal padi gogo, maka didataran rendah kita mengenalnya dengan padi
sawah. Umumnya padi dapat dibudidayakan sampai pada ketinggian 1.200 m
dpl. (Nabilussalam, 2011).
Universitas Sumatera Utara
Padi adalah golongan tanaman semusim atau tanaman muda yaitu tanaman yang
biasanya berumur pendek, kurang dari satu tahun dan hanya satu kali berproduksi
dan setelah berproduksi akan mati atau dimatikan. Tanaman padi berakar serabut,
batang yang beruas-ruas dengan tinggi 1-1,5 m tergantung pada jenisnya. Ruas
batang padi berongga dan bulat, diantara ruas batang padi terdapat buku, pada
tiap-tiap buku terdapat sehelai daun. Bunga padi merupakan bunga telanjang dan
berkelamin dua, bentuk bulir padi panjang dan ramping (Natalia, 2011).
Agar dapat meningkatkan produktivitas usahatani khususnya padi sawah maka
tahapan-tahapan dalam penanaman padi harus dilakukan dengan baik. Tahapan-
tahapan tersebut antara lain :
a) Persiapan Lahan
Pengolahan bertujuan untuk mengubah sifat fisik tanah agar lapisan yang semula
keras menjadi datar dan melumpur. Dengan begitu gulma akan mati dan
membusuk menjadi humus, aerasi tanah menjadi lebih baik, lapisan bawah tanah
menjadi jenuh air sehingga dapat menghemat air. Pada pengolahan tanah sawah
ini, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan pematang sawah serta selokan.
Pematang sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan
irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman. Tahapan
pengolahan tanah sawah pada prinsipnya mencakup kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :
Pematang sawah dibersihkan dari rerumputan, diperbaiki, dan dibuat agak tinggi.
Fungsi utama pematang disaat awal untuk menahan air selama pengolahan tanah
Universitas Sumatera Utara
agar tidak mengalir keluar petakan. Fungsi selanjutnya berkaitan erat dengan
pengaturan kebutuhan air selama ada tanaman padi.Saluran atau parit diperbaiki
dan dibersihkan dari rerumputan. Kegiatan tersebut bertujuan agar dapat
memperlancar arus air serta menekan jumlah biji gulma yang terbawa masuk ke
dalam petakan. Sisa jerami dan sisa tanaman pada bidang olah dibersihkan
sebelum tanah diolah. Jerami tersebut dapat dibakar atau diangkut ke tempat lain
untuk pakan ternak, kompos, atau bahan bakar. Pembersihan sisa–sisa tanaman
dapat dikerjakan dengan tangan dan cangkul.
2. Pencangkulan
pencangkulan. Sudut–sudut petakan dicangkul untuk memperlancar pekerjaan
bajak atau traktor. Pekerjaan tersebut dilaksanakan bersamaan dengan saat
pengolahan tanah.
3. Pembajakan
tersebut bertujuan agar tanah sawah melumpur dan siap ditanami padi.
Pengolahan tanah dilakukan dengan dengan menggunakan mesin traktor. Sebelum
dibajak, tanah sawah digenangi air agar gembur. Lama penggenangan sawah
dipengaruhi oleh kondisi tanah dan persiapan tanam. Pembajakan biasanya
dilakukan dua kali. Dengan pembajakan ini diharapkan gumpalan–gumpalan
tanah terpecah menjadi kecil–kecil. Gumpalan tanah tersebut kemudian
dihancurkan dengan garu sehingga menjadi lumpur halus yang rata. Keuntungan
tanah yang telah diolah tersebut yaitu air irigasi dapat merata. Pada petakan sawah
yang lebar, perlu dibuatkan bedengan–bedengan. Antara bedengan satu dengan
Universitas Sumatera Utara
10
bedeng lainnya berupa saluran kecil. Ujung saluran bertemu dengan parit kecil di
tepi pematang yang berguna untuk memperlancar air irigasi.
b) Persipan Benih
benih yang bermutu tinggi akan dapat mengurangi resiko kegagalan usahatani.
Dalam memproduksi benih, perlu diperhatikan kualitas benih antara lain
kemurnian, daya kecambah, kotoran, bebas dari hama dan penyakit, serta kadar
air.
Penyemaian dilakukan setelah benih mengalami proses perendaman dan
pemeraman selama masing-masing 48 jam. Perendaman bertujuan untuk
mendapatkan benih yang baik dan gabah yang menyerap air yang cukup untuk
keperluan perkecambahan. Pemeraman bertujuan agar benih dapat berkecambah.
Benih yang sudah berkecambah kemudian disebar di atas lahan persemaian yang
sebelumnya telah dipupuk dengan pupuk kandang dan disemprot dengan
insektisida sebanyak 2 kali.
Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan cara dibajak atau dicangkul.
Pengolahan tanah dapat mematikan gulma yang kemudian akan membusuk
menjadi humus dan aerasi tanah menjadi lebih baik. Dalam pengolahan tanah,
dilakukan pemupukan dasar berupa pupuk Urea sebanyak 1/3 dosis/ha, sedangkan
pupuk TSP dan KCl diberikan seluruh dosis. Jadi bila dalam satu hektar sawah
Universitas Sumatera Utara
11
akan dipupuk dengan dosis 300 kg Urea, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl maka
pupuk dasar yang diberikan 100 kg Urea, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl.
e) Penanaman
Penanaman padi didahului dengan pencabutan bibit dipersemaian. Bibit yang siap
ditanam adalah bibit yang sudah berumur 25-40 hari dan berdaun 5-7 helai.
Penanaman bibit padi sawah dilakukan dengan cara bagian pangkal batang
dibenamkan kira-kira 3 atau 4 cm ke dalam lumpur. Penanaman padi yang baik
menggunakan jarak tanam 20 cm x 20 cm atau 30 cm x 15 cm.
f) Pemeliharaan
Setelah penanaman, tanaman padi perlu diperhatikan secara cermat dan rutin.
Pemeliharaan terhadap tanaman padi antara lain meliputi :
1. Pengairan
Air merupakan syarat mutlak bagi pertumbuhan tanaman padi sawah. Saat
pengairan tanaman padi di sawah dalamnya air harus diperhatikan dan disesuaikan
dengan umur tanaman.
Penyulaman bertujuan agar populasi tanaman per satuan luas tanam tidak
berkurang dengan mengganti rumpun-rumpun yang mati dan dilakukan 5-7 hari
setelah tanam. Penyiangan dilakukan agar tanaman utama bebas dari gulma.
Penyiangan biasanya dilakukan dua kali. Penyiangan pertama dilakukan setelah
padi berumur 3 minggu dan yang kedua dilakukan setelah padi berumur 6
minggu. Penyiangan tidak hanya dilakukan dengan mencabut gulma saja
Universitas Sumatera Utara
dengan baik.
3. Pemupukan
Pemupukan bermaksud untuk memperbaiki kesuburan tanah dengan menambah
zat-zat dan unsur hara makanan yang dibutuhkan tanaman di dalam tanah.
Pemupukan sebaiknya dilakukan dua kali. Pemupukan pertama pada umur 3-4
minggu setelah penyiangan. Pupuk yang digunakan adalah Urea dengan dosis 1/3
dari sisa 2/3 dosis yang diberikan sebelum tanam. Pemupukan kedua dilakukan
pada umur 6-8 minggu setelah penyiangan dengan dosis yang sama pada saat
pemupukan pertama.
Tanaman padi sering dirugikan karena adanya gangguan hama dan penyakit.
Hama yang sering menyerang tanaman padi adalah wereng, penggerek batang,
walang sangit, ulat grayak, kepik hijau, tikus sawah, dan burung. Penyakit yang
sering menyerang tanaman padi adalah penyakit yang umumnya disebabkan oleh
jamur, bakteri, virus, dan nematoda. Pengendalian hama dan penyakit dapat
dilakukan dengan menerapkan pengendalian hama dan penyakit secara terpadu.
Pengendalian ini dapat dilakukan dengan cara penggunaan varietas unggul yang
tahan terhadap hama dan penyakit, melakukan penanaman serempak, melakukan
pergiliran tanaman, dan penyemprotan dengan pestisida yang efektif dan
bijaksana.
Panen merupakan tahapan akhir penanaman padi sawah. Waktu panen
berpengaruh terhadap jumlah produksi, mutu gabah dan mutu beras yang akan
dihasilkan. Menurut AAK (2003), proses pemasakan butir padi ada empat stadia
yaitu stadia masak susu, stadia masak kuning, stadia masak penuh, stadia masak
mati. Panen dapat dilakukan pada stadia masak kuning yaitu pada saat butir padi
95% telah menguning atau sekitar 33-36 hari setelah berbunga dan bagian bawah
malai masih terdapat sedikit gabah hijau.
Panen dapat dilakukan dengan menggunakan sabit. Caranya dengan memotong
batang kira-kira 20 cm di atas permukaan tanah. Setelah panen, selanjutnya gabah
dirontokkan. Perontokan dapat dilakukan dengan cara manual maupun dengan
menggunakan alat. Cara manual, gabah dipukul atau dihempaskan pada bambu
atau kayu. Alat perontok yang dapat digunakan antara lain pedal dan power
thresher. Pembersihan dilakukan setelah gabah dirontokkan. Pembersihan
dimaksudkan untuk menghilangkan benda asing, butir hampa, dan kotoran
lainnya. Cara yang biasa digunakan adalah menggunakan ayak atau menampih
(AAK, 2003).
Pengeringan dilakukan untuk menurunkan kadar air gabah yang pada waktu panen
berkisar 23-27% menjadi 13-14% agar dalam penyimpanan gabah dapat tahan
lama serta meringankan pengangkutan (AAK, 2003).
2.1.3. Tinjauan Ekonomi Usahatani Padi Sawah
Padi merupakan komoditi pangan utama masyarakat Indonesia. Pangan pokok
adalah pangan yang muncul dalam menu sehari-hari, mengambil porsi terbesar
Universitas Sumatera Utara
dalam hidangan dan merupakan sumber energi terbesar. Sedangkan pangan utama
adalah pangan pokok yang dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk serta dalam
situasi normal tidak dapat diganti oleh jenis komoditas lain (Hessie, 2009).
Usahatani padi merupakan tanaman pangan utama negara Indonesia yang
mempunyai berbagai kendala antara lain : usahatani masih bersifat subsisten,
mutu produksi yang rendah, modal kecil dan akses terhadap perbankan sulit,
posisi tawar yang masih rendah, penggunaan teknologi yang masih sederhana
serta akses terhadap sarana produksi yang sulit. Selain itu berbagai kebijakan
pemerintah mengenai perberasan nasional kurang menguntungkan bagi petani
yang menyebabkan jumlah petani semakin kecil karena usahatani padi dianggap
kurang menjanjikan.
terjadi karena kebutuhan beras yang meningkat yang tidak disertai oleh
peningkatan produksi. Kebutuhan beras yang meningkat diakibatkan wilayah
konsumsi beras yang semakin luas dan jumlah penduduk yang bertambah setiap
tahun. Sedangkan produksi padi yang fluktuatif disebabkan berbagai masalah
antara lain konversi lahan, penurunan kualitas lahan dan lain-lain.
Lahan yang digunakan dalam usahatani juga menjadi permasalahan. Tanaman
padi dapat dibudidayakan dilahan kering atau lahan basah (sawah). Namun di
Indonesia budidaya padi lebih dominan dilakukan di lahan sawah. Data
Departemen Pertanian menunjukkan bahwa di Indonesia penggunaan ladang
sebagai tempat budidaya padi sekitar 9 persen dari total luas penanaman padi di
seluruh Indonesia.
Dalam upaya peningkatan produksi beras, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian melakukan uji coba Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
pada tahun 2002-2003 di 28 kabupaten. Hasil penelitian memberikan hasil yang
tidak mengecewakan dengan peningkatan pendapatan petani rata-rata sekitar 15
persen dan hasil panen rata-rata 19 persen bila dibandingkan dengan cara
tradisional. Selain masalah produksi dan produktivitas, usahatani padi juga
mengalami masalah dari sisi petani. Pada umumnya usahatani padi di Indonesia
masih bersifat subsisten artinya produksi yang dihasilkan dikonsumsi terlebih
dahulu baru kemudian sisanya akan dijual.
Petani yang subsisten disebabkan oleh kepemilikan lahan yang sempit yaitu
kurang dari 0,5 Ha. Selain itu usahatani yang dilakukan dianggap sebagai kegiatan
yang dilakukan secara turun temurun sehingga usahatani dilakukan atas dasar
faktor kebiasaan. Kedua hal tersebut membuat petani tidak memperhatikan
dengan teliti mengenai jumlah penggunaan faktor-faktor produksi dalam usahatani
agar usahatani yang dilakukan menguntungkan.
2.1.4. Kondisi Eksisting Pengembangan Teknologi Usahatani Padi Sawah
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras impor, pemerintah perlu
menjaga kestabilan produksi dan produktivitas padi domestik. Salah satu alternatif
yang dapat dilakukan untuk menjaga stabilitas produksi beras di Indonesia adalah
meningkatkan produksi secara keseluruhan melalui penerapan teknologi yang
dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Menurut Coelli (2005), terdapat tiga cara untuk meningkatkan produksi pertanian
yaitu dengan peningkatan efisiensi, perubahan teknologi, eksploitasi skala
Universitas Sumatera Utara
ekonomis, atau kombinasi dari ketiganya. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan
teknologi dalam usahatani dapat menjadi salah satu alternatif dalam usaha
meningkatkan produksi beras. Teknologi merupakan desain tindakan instrumental
yang dapat menurunkan ketidakpastian hubungan sebab-akibat dalam usaha
mencapai hasil yang diinginkan, artinya teknologi dapat mengurangi
risiko/ketidakpastian yang dihadapi oleh petani dalam mencapai hasil produksi
usahatani yang diinginkan. Teknologi memiliki peranan yang penting dalam
pertanian, khususnya berkaitan dengan produksi.
Menurut Doll dan Orazem (1984), perubahan teknologi dalam usahatani dapat
meningkatkan produksi, biaya, penerimaan, dan keuntungan usahatani. Hal ini
terjadi dalam kondisi dimana perubahan teknologi berupa penambahan input yang
baru, di mana input yang baru memiliki fungsi produksi dan biaya produksi/unit
tersendiri, sehingga dapat meningkatkan biaya produksi dalam hal ini adalah
biaya variabel. Namun diharapkan peningkatan hasil produksi yang diperoleh
lebih besar daripada peningkatan biaya yang digunakan untuk penambahan input,
sehingga dapat terjadi peningkatan penerimaan, sehingga pada akhirnya dapat
menghasilkan peningkatan keuntungan usahatani. Teknologi akan menghasilkan
peningkatan produksi dan pendapatan secara optimal jika penerapan teknologi
tersebut dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan. Penerapan teknologi
yang dilakukan secara menyeluruh dan sesuai anjuran dapat berpengaruh positif
terhadap pendapatan usahatani maupun kesejahteraan petani.
Berbagai program telah dilakukan pemerintah untuk menyalurkan teknologi
dalam rangka meningkatkan produksi dan produktivitas beras nasional, Teknologi
yang disalurkan dalam program P2BN adalah teknologi Pengelolaan Tanaman
Universitas Sumatera Utara
teknologi PTT untuk meningkatkan produktivitas, produksi, pendapatan, dan
kesejahteraan petani padi.
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) diartikan sebagai penerapan teknologi
secara terpadu yang tepat pada seluruh rangkaian usahatani mulai dari penyiapan
lahan, pembibitan sampai pada rangkaian pengelolaan hasil dan pemasaran yang
bertujuan untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman, meningkatkan daya
tahan tanaman dari gangguan organisme pengganggu tanaman serta
memanfaatkan sumberdaya alam dengan menerapkan teknologi yang disesuaikan
dengan kondisi daerah, kebutuhan petani dan ramah lingkungan. Dengan
demikian model PTT yang mengacu pada teknologi dan memanfaatkan
sumberdaya alam setempat secara optimal sehingga dapat menghasilkan efek
sinergis dan efisien tinggi.
ekonomi.Alternatif komponen teknologi dalam PTT padi adalah :
a) Varietas Unggul Baru
Varietas padi yang dipilih pada PTT adalah varietas unggul baru yang telah
dilepas oleh pemerintah, mempunyai data hasil tinggi, berumur genjah (pendek),
Universitas Sumatera Utara
18
tahan terhadap hama dan penyakit, serta sesuai keinginan pasar. Ciri khas varietas
padi unggul spesifikasi lokasi adalah dapat beradaptasi terhadap iklim dan tipe
tanah setempat cita rasanya disenangi dan memiliki harga jual yang tinggi di pasar
lokal, berdaya hasil tinggi, toleran terhadap hama dan penyakit dan tahan rebah.
b) Penggunaan Benih Bermutu
Benih yang akan ditanam hendaknya yang bermutu tinggi yakni kemurnian dan
daya kecambahnya lebih besar dari 90 % sebab benih bermutu akan menghasilkan
perkecambahan dan pertumbuhan yang seragam, bibit yang sehat dengan akar
yang banyak dapat tumbuh lebih cepat dan tegar serta memperoleh hasil yang
tinggi, untuk itu pilih benih yang bersifat atau berlabel biru, selain itu benih perlu
diseleksi, agar benih yang akan ditanam benar-benar memiliki daya tumbuh
tinggi.
c) Penanaman Bibit Muda dengan Penanaman Tunggal
Dalam model PTT, dianjurkan penanaman dengan bibit umur muda 10 – 15 hari
setelah sebar dan penanaman tunggal yaitu 1 – 2 bibit perumpun keuntungan
menggunakan bibit muda adalah bibit akan cepat kembali pulih (cepat beradaptasi
dengan lingkungan), akar akan lebih kuat dan dalam, tanaman akan lebih tahan
rebah, tanaman akan lebih tahan kekeringan, tanaman akan menghasilkan anakan
lebih banyak, tanaman menyerap pupuk lebih efisien.
d) Asupan Bahan Organik
dilakukan pelestarian lingkungan produksi termasuk mempertahankan kandungan
Universitas Sumatera Utara
organik ke dalam tanah, khususnya pada tanah-tanah dengan bahan organik
rendah adalah suatu usaha ameliorasi tanah agar pemberian unsur hara tanaman
lebih efektif pemberian bahan organik kedalam tanah akan memperbaiki sifat-sifat
fisika, kimia dan biologi tanah .Cara penggunaan bahan organik untuk lahan
sawah adalah bahan organik disebar merata di atas hamparan sawah dua minggu
sebelum pengolahan tanah. Kadang-kadang untuk jerami padi di biarkan melapuk
langsung di sawah selama satu musim.
e) Pengairan Berselang
Pengelolaan air pada PTT dilakukan dengan penerapan irigasi berselang yaitu
dengan cara mengatur waktu pemberian air dan waktu pengeringan. Air diberikan
1 hari basah dan 5 hari kering (dikeringkan), kecuali pada saat pembungaan dan
pemasakan biji. Irigasi berselang diutamakan pada musim kemarau, sedangkan
pada musim hujan hanya dapat dilakukan pada daerah irigasi yang manajemennya
baik.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengairan berselang antara lain jenis
tanah yang tidak dapat menahan air sebaiknya jangan menerapkan sistem
pengairan berselang, lahan sawah yang sulit dikeringkan karena drainase jelek,
kalau pengairan sudah ditetapkan berselang 3 hari maka pola ini saja yang
dijalankan.
dan ketersediaan unsur hara di tanah (spesifik lokasi). Untuk menentukan
Universitas Sumatera Utara
20
kebutuhan pupuk N bagi tanaman digunakan Bagan Warna Daun (BWD), yaitu
alat sederhana pengukur tingkat kehijauan warna daun padi yang dilengkapi
dengan empat skala warna. Kalau tingkat kehijauan daun tanaman padi kurang
dari empat pada skala BWD, berarti tanaman perlu di beri pupuk N (urea).
Sebaliknya, tanaman tidak perlu lagi diberi pupuk N (urea) jika tingkat kehijauan
daunnya berada pada skala empat.
Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD), memberikan manfaat antara lain
pemberian pupuk N dapat dihemat 20%, membantu petani dalam menentukan saat
yang tepat untuk memberi pupuk N (urea), mengurangi resiko serangan hama dan
penyakit, kerebahan tanaman, serta pencemaran lingkungan. Sedangkan
kebutuhan pupuk P dan K tanaman padi ditentukan berdasarkan hasil analisis
yanah.
Strategi pengendalian hama pada tanaman padi adalah :
1) Menanam tanaman yang sehat termasuk pengendaliam dari aspek
kultur teknis, seperti pola tanam tepat, sanitasi lapangan, pengairan tanaman,
waktu tanam dan pemupukan yang tepat, pengelolaan tanah dan irigasi, menanam
tanaman perangkap untuk pengendalian tikus.
2) Menggunakan varietas tahan terhadap hama.
3) Pengamatan berkala di lapangan.
4) Pemanfaatan musuh alami seperti predator, parasitoid dan pathogen
serangga.
Universitas Sumatera Utara
7) Eradikasi dan sanitasi untuk tanaman terserang berat/ puso,
penanaman berikut non padi atau beras.
8) Penggunaan insektisida secara bijaksana.
h) Panen dan Pasca Panen
Penanganan pasca panen hasil pertanian meliputi semua kegiatan perlakuan dan
pengelolaan langsung terhadap hasil pertanian yang karena sifatnya harus segera
ditangani untuk meningkatkan mutu hasil pertanian agar mempunyai daya simpan
dan daya guna lebih tinggi. Selain itu masalah panen dan pasca panen yang sering
terabaikan adalah berhubungan dengan pelestarian lingkungan seperti
pengembalian jerami untuk dijadikan pupuk organik dan menghindari
pembakaran jerami di lahan sawah.
2.2. Landasan Teori
Adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai proses
perubahan perilaku lain yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap (affective),
maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah menerima
“inovasi“ yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya. Penerimaan
disini mengandung arti tidak sekedar “tahu“, tetapi sampai benar-benar dapat
melaksanakan atau menerapkannya dengan benar serta menghayatinya dalam
kehidupan dalam usaha taninya. Penerimaan inovasi tersebut, bisaanya dapat
diamati secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain, sebagai
cerminan dari adanya perubahan: sikap, pengetahuan dan atau ketrampilannya
(Mardikanto, 1996).
Pengertian adopsi sering rancu dengan “adaptasi“ yang berarti penyesuaian. Di
dalam proses adopsi, dapat juga berlangsung proses penyesuaian, tetapi adaptasi
itu sendiri lebih merupakan proses yang berlangsung secara alami untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan, sedangkan adopsi, benar-
benar merupakan proses penerimaan sesuatu yang “baru“ (inovasi), yaitu
menerima sesuatu yang “baru“ yang ditawarkan dan diupayakan oleh pihak lain
(Penyuluh).
Inovasi dalah gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang.
Tidak menjadi soal, sejauh dihubungkan dengan tingkah laku manusia, apakah
ide itu betul-betul baru atau tidak jika diukur dengan selang waktu sejak
digunakannya atau diketemukannya pertama kali. Kebaruan inovasi itu diukur
secara subyektif, menurut pandangan individu yang menangkapnya. Jika sesuatu
ide dianggap baru oleh seseorang maka ia adalah inovasi (bagi orang itu).
“Baru“ dalam ide yang inovatif tidak harus berarti harus baru sama sekali.
Sesuatu inovasi mungkin telah lama diketahui oleh seseorang beberapa waktu
yang lalu (yaitu ketika ia“kenal”dengan ide itu) tetapi ia belum mengembangkan
sikap suka atau tidak suka terhadapnya, apakah ia menerima atau menolaknya
(Rogers dan Shoemaker,1987).
mau menerima/menerapkan dengan keyakinan sendiri, meskipun selang waktu
antar tahapan satu dengan yang lainnya itu tidak selalu sama (tergantung sifat
inovasi, karakteristik sasaran, keadaan lingkungan (fisik maupun sosial), dan
aktifitas atau kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh.
Universitas Sumatera Utara
Tahapan - tahapan adopsi adalah :
1) Awareness, atau kesadaran, yaitu sasaran mulai sadar tentang adanya inovasi
yang ditawarkan oleh penyuluh.
2) Interest, atau tumbuhnya minat yang seringkali ditandai oleh keinginannya
untuk bertanya atau untuk mengetahui lebih banyak/jauh tentang segala
sesuatu yang berkaitan dengan inovasi yang ditawarkan oleh penyuluh.
3) Evalution, atau penilaian terhadap baik/buruk atau manfaat inovasi yang telah
diketahui informasinya secara lebih lengkap. Pada penilaian ini, masyarakat
sasaran tidak hanya melakukan penilaian terhadap aspek teknisnya saja, tetapi
juga aspek ekonomi, maupun aspek-aspek sosial budaya, bahkan sering kali
ditinjau dari aspek politis atau kesesuainnya dengan kebijakan pembangunan
nasional dan regional.
4) Trail atau mencoba dalam skala kecil untuk lebih menyakinkan penilaiannya
sebelum menerapkan untuk skala yang lebih luas.
5) Adaption atau menerima/menerapkan dengan penuh keyakinan berdasarkan
penilaian dan uji coba yang telah dilakukan/diamati sendiri.
Tergantung pendekatan ilmu yang digunakan, adopsi inovasi dapat diukur dengan
beragam tolok ukur (indikator) dan ukuran. Jika menggunakan ilmu komunikasi,
adopsi inovasi dapat dilihat jika sasaran telah memberikan tanggapan (respons)
berupa perubahan perilaku atau pelaksanaan kegiatan seperti yang diharapkan.
Dilain pihak, jika menggunakan pendekatan ilmu pendidikan, adopsi inovasi
dapat dilihat dari terjadinya perilaku atau perubahan sikap, pengetahuan, dan
ketrampilan yang dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Dilain
pihak, mengukur tingkat adopsi dengan melihat jenjang partisipasi yang ditujukan
Universitas Sumatera Utara
dan spontan.
Di dalam praktek penyuluhan pertanian, penilaian tingkat adopsi inovasi bisaanya
dilakukan dengan menggunakan tolok ukur tingkat mutu intensifikasi, yaitu
dengan membandingkan antara “rekomendasi” yang ditetapkan dengan jumlah
dan kualitas penerapan yang dilakukan di lapangan. Sehubungan dengan itu,
mengukur tingkat adopsi dengan tiga tolok ukur, yaitu: kecepatan atau selang
waktu antara diterimanya informasi dan penerapan yang dilakukan,luas penerapan
inovasi atau proporsi luas lahan yang telah “diberi” inovasi baru, serta mutu
intensifikasi dengan membandingkan penerapan dengan rekomendasi yang
disampaikan oleh penyuluhnya (Mardikanto,1998).
Lamanya waktu yang dibutuhkan oleh seseorang untuk dapat menerima inovasi
tidaklah sama, hal ini dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pengalaman
pribadi, tekanan dalam kelompoknya serta sikap dan kondisi petani pada saat
inovasi tersebut diperkenalkan.
berlangsung melalui proses bujukan dan atau pendidikan bisaanya lebih sulit
berubah lagi, sedang adopsi yang terjadi melalui pemaksaan, bisaanya lebih
cepat berubah kembali, segera setelah unsur atau kegiatan pemaksaan tersebut
tidak dilanjutkan lagi.
pencapaian tahapan adopsi dapat berlangsung cepat ataupun lambat. Jika proses
tersebut melaui “pemaksaan” (coersion), bisaanya dapat berlangsung secara cepat,
Universitas Sumatera Utara
adopsi tersebut berlangsung lebih lambat (Mardikanto,1998).
Selanjutnya, menurut Lionberger (1962) terdapat lima atribut yang mendukung
penjelasan tingkat adopsi dari suatu inovasi, meliputi keuntungan relatif,
kecocokan, kompleksitas, triabilitas, dan observabilitas:
1) Keuntungan relatif, menjelaskan bahwa teknologi yang baru dapat
menciptakan sesuatu hal yang lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan
teknologi yang lama.
2) Kecocokan, menjelaskan tingkat suatu inovasi dirasa konsisten dengan nilai-
nilai yang ada, pengalaman masa lalu, dan potensi kebutuhan adopter.
3) Kompleksitas, merupakan tingkatan suatu inovasi dirasa relatif sulit untuk
dipahami dan digunakan dengan kata lain tingkat kesukaran suatu teknologi
untuk diterapkan.
4) Triabilitas, merupakan tingkatan suatu inovasi mungkin dicoba pada suatu
basis terbatas. Triabilitas belum tentu sama antara satu wilayah dengan wilayah
lainnya. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik alam, budaya, dan politik
setempat.
5) Observabilitas, adalah tingkat dimana hasil-hasil suatu inovasi dapat dilihat
oleh orang lain. Petani akan mengadopsi suatu teknologi jika teknologi itu
sudah pernah dicoba dan terbukti berhasil.
Menurut (Suhardiyono,1992) menurut kerangka waktu penerimaannya, maka
penerimaan inovasi dapat digolongkan menjadi 5 macam yaitu :
1) Inovator adalah orang yang berpikir menerapkan inovasi dalam berusaha
taninya.
26
2) Penerap Dini (early adopters) adalah sejumlah petani yang mengikuti inovator.
3) Penerap mayoritas awal (early majority) adalah petani lebih cepat menerima
inovasi.
4) Penerap mayoritas akhir (late majority) adalah petani yang lambat menerima
inovasi.
5) Kelompok Penentang (laggard) adalah sekelompok petani yang tidak mau
menerima inovasi/teknologi atau praktek-praktek yang baru.
Pada dasarnya perilaku petani sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, kecakapan
dan sikap mental itu sendiri. Hal ini pada umumnya karena tingkat kesejahteraan
hidupnya dan keadaan lingkungan dimana mereka tinggal, dapat dikatakan masih
menyedihkan sehingga menyebabkan pengetahuan dan kecakapannya tetap berada
dalam tingkatan rendah dan keadaan seperti ini tentu akan menekan sikap
mentalnya. Perubahan perilaku dapat dilakukan melalui penarikan minat, mudah
dan dapat dipercaya, peragaan disertai dengan sarana, serta saat dan tempatnya
harus tepat (Sastraadmadja, 1993).
Dilihat dari sifat inovasinya, dapat dibedakan dalam sifat intrinsik (yang melakat
pada inovasinya sendiri) maupun sifat ekstrinsik yang dipengaruhi oleh keadaan
lingkunganya (Mardikanto, 1998).
1) Informasi ilmiah yang melekat/dilekatkan pada inovasinya.
2) Nilai-nilai atau keunggulan-keunggulan (teknis, ekonomis, sosial budaya, dan
politis) yang melekat pada inovasinya.
3) tingkat kerumitan (kompleksitas) inovasi.
4) mudah/tidaknya dikomunikasikan (kekomunikatifan) inovasikan.
Universitas Sumatera Utara
Adapun sifat-sifat ekstrinsik inovasi meliputi:
1) Kesesuaian inovasi dengan lingkungan setempat (baik
lingkungan fisik, sosial budaya, politik, dan kemampuan
ekonomis masyarakatnya).
dengan teknologi yang sudah ada yang akan
diperbaharui/digantikannya, baik keunggulan teknis
produktivitasnya), ekonomis (besarnya biaya atau
keuntungannya), manfaat non ekonomi, maupun dampak
sosial budaya dan politis yang ditimbulkannya.
Pada umumnya petani kecil mengadopsi teknologi tidak secara utuh tetapi
disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya yang dimiliki, yaitu :
a). Keterbatasan modal dan tenaga kerja
b). Keterbatasan ketrampilan
Inovasi yang mahal dan komplek bagi petani untuk mengaplikasikannya tidak
akan diterima dengan baik oleh petani bahkan akan ditolak. Oleh karena itu, para
agen atau petugas pertanian harus memastikan bahwa inovasi-inovasi untuk petani
harus secara relatif terjangkau oleh petani. Inovasi tersebut seharusnya juga cukup
Universitas Sumatera Utara
28
sederhana untuk dimengerti oleh petani dan digunakan oleh mereka sendiri tanpa
perlu banyak bantuan serta inovasi yang diperkenalkan harus sesuai dengan
norma-norma dan kepercayaan di masyarakat (Rousan M, 2007).
Pengambilan keputusan adopsi inovasi adalah proses mental sejak seseorang
mulai mengenal suatu inovasi sampai memutuskan untuk menerima atau
menolaknya dan pengukuhan terhadap keputusan itu. Proses keputusan inovasi itu
memerlukan waktu (Rogers and Shoemaker 1987).
Proses keputusan inovasi adalah proses yang dijalani seseorang (atau unit
pengambil keputusan lainnya) mulai dari pertama tahu suatu inovasi, kemudian
menyikapinya, lalu mengambil keputusan untuk mengadopsi atau menolaknya,
melaksanakan keputusan, sampai dengan pengukuhan keputusan tersebut. Proses
itu terdiri dari serangkaian tindakan dan pemilihan yang dilakukan seseorang atau
organisasi untuk menilai gagasan baru dan memutuskan apakah memasukkan ide
baru itu ke dalam kegiatan yang sedang dan atau sudah berlangsung. Tindakan ini
berkenaan terutama dengan ketakpastian yang mau tak mau ada dalam pemutusan
suatu alternatif baru. Kebaruan yang terlihat pada inovasi ini dan ketakpastian
yang melekat pada kebaruan itu, merupakan aspek pembeda pembuatan keputusan
inivasi bila dibandingkan dengan tipe keputusan lainnya (Rogers, 1994).
Kegiatan penyuluhan merupakan kombinasi antara ilmu dan seni. Sebagai ilmu,
penyuluhan dapat dipelajari dan hampir semua orang dapat melakukannya, akan
tetapi sebagai seni sangat dipengaruhi oleh daya kreatifitas dan improvisasi dari
setiap individu penyuluh. Dengan demikian, dalam penyuluhan ilmu merupakan
necessary condition, sedangkan seni merupakan sufficient condition. Artinya
Universitas Sumatera Utara
menguasai ilmu memang diperlukan akan tetapi tidak cukup, sehingga harus
mempunyai seni. Penyuluh yang baik harus menguasai ilmu dan mempunyai seni.
Seni dalam penyuluhan dapat diartikan sebagai daya kreatifitas dan improvisasi
penyuluh dalam melaksanakan tugasnya, sehingga tercapai perubahan mental,
sikap dan perilaku petani untuk mengadopsi suatu inovasi yang diintroduksikan
(Musyafak dan Ibrahim, 2005).
Selain faktor-faktor yang dikemukakan di atas, kecepatan adopsi juga sangat
ditentukan oleh aktifitas yang dilakukan penyuluh, khususnya tentang upaya yang
dilakukan penyuluh untuk “mempromosikan” inovasinya.Semakin rajin
penyuluhnya menawarkan inovasi, proses adopsi akan semakin cepat pula.
Demikian juga, jika penyuluh mampu berkomunikasi secara efektif dan trampil
menggunakan saluran komunikasi secara efektif, proses adopsi pasti akan
berlangsung lebih cepat dibanding dengan yang lainnya. Berkaitan dengan
kemampuan penyuluh untuk berkomunikasi, perlu juga diperhatikan
kemampuannya berempati, atau kemampuan untuk merasakan keadaan yang
sedang dialami atau perasaan orang lain. Kegagalan penyuluh, seringkali
disebabkan karena penyuluh tidak mampu memahami apa yang sedang dirasakan
dan dibutuhkan oleh sasarannya (Mardikanto, 1996).
Hubungan Faktor Sosial Ekonomi terhadap Tingkat Adopsi Teknolologi
Dalam mengadopsi suatu inovasi tentunya akan dipengaruhi oleh faktor-faktor
tertentu antara lain oleh faktor-faktor intern atau faktor dari dalam diri seseorang
mencakup segi sosial dan ekonominya. Soekartawi (1988) Mengemukakan bahwa
proses pengambilan keputusan apakah seseorang menolak atau menerima suatu
inovasi banyak tergantung pada sikap mental dan perbuatan yang dilandasi oleh
Universitas Sumatera Utara
sebagainya.
Faktor intern yaitu yang terdapat dalam pribadi manusia itu sendiri. Faktor ini
berupa daya pilih seseorang untuk menerima dan mengolah pengaruh-pengaruh
yang dating dari luar. Sehubungan dengan golongan masyarakat yang ditinjau dari
kecepatan mengadopsi inovasi, beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan
seseorang untuk mengadopsi inovasi antara lain :
Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan merespon terhadap hal-
hal yang baru dalam menjalankan usahataninya. Biasanya orang berusaha untuk
lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman dalam hal adopsi inovasi tersebut. Umur petani adalah salah satu
faktor yang berkaitan erat dengan kemampuan kerja dalam melakukan usahatani,
umur dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam melihat aktvitas seseorang bekerja
bilamana kondisi umur masih prokduktif maka kemungkinan seseorang dapat
bekerja secara maksimal (Soekartawi, 1988).
Petani yang berusia lanjut sekitar 50 ke atas, biasanya fanatik terhadap tradisi dan
sulit untuk diberikan pengertian yang dapat mengubah cara berfikir, cara kerja,
dan cara hidupnya. Mereka ini bersikap apatis terhadap teknologi baru dan
inovasi, semakin mudah umur petani, maka semakin tinggi semangat mengetahui
hal baru sehingga dengan demikian mereka dengan cepat melakukan adopsi walau
mereka sebenanya belum bepengalaman soal adopsi tersebut. Petani yang
memiliki umur yang semakin tua (>50 tahun), biasanya makin lamban dalam
Universitas Sumatera Utara
sudah biasa diterapkan oleh masyarakat setempat.
Makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang
belum mereka ketahui, sehingga dengan demikian mereka berusaha untuk lebih
cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum
berpengalaman dalam hal adopsi inovasi tersebut.
Tingkat pendidikan petani baik formal maupun non formal akan mempengaruhi
cara berfikir yang diterapkan pada usahanya yaitu dalam rasionalitas usaha dan
kemampuan memanfaatkan setiap kesempatan ekonomi yang ada. Pendidikan
merupakan proses timbal balik dari setiap pribadi manusia dalam penyesuaian
dirinya dengan alam, teman dan alam semesta. Pendidikan dapat diperoleh
melalui pendidikan formal maupun non formal. Pendidikan formal merupakan
jenjang pendidikan dari terendah sampai tertinggi yang biasanya diberikan
sebagai penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir diluar sistem pendidikan
sekolah dengan isi pendidikan yang terprogram (Mardiakonto, 1993).
Mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan
adopsi inovasi. Begitu pula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah mereka
agak sulit melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat. Dalam proses adopsi
teknologi baru akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani dan
masyarakat pedesaan pada umumnya. Hal ini disebabkan karena adopsi teknologi
akan dapat berkembang dengan cepat bila petani mempunyai dasar pendidikan
dan ketrampilan yang memadai pendidikan formal petani dapat diperoleh melalui
sekolah-sekolah formal yang pernah dialami petani.
Universitas Sumatera Utara
32
Luas lahan akan berpengaruh pada skala usaha. Makin luas lahan yang dipakai
petani dalam usaha pertanian, maka semakin berkurang upaya melakukan
tindakan yang mengarah pada segi efisiensi. Sebaliknya pada lahan yang sempit
upaya pengawasan terhadap penggunan faktor produksi semakin baik, sehingga
usaha pertanian seperti ini lebih efektif. Meskipun demikian lahan yang terlalu
sempit cenderung menghasilkan usaha yang tidak efisien pula. Petani yang
mempunyai lahan yang lebih luas akan lebih susah menerapkan inovasi dibanding
petani berlahan sempit. Hal ini dikarenakan keefektifan dan efesiensi dalam
penggunaan sarana produksi (Soekartawi, 1988).
Pengalaman bertani juga sangat mempengaruhi pengambilan keputusan dalam
berinovasi. Petani yang sudah lebih lama berusahatani akan lebih mudah
menerapkan inovasi dibandingkan dengan mereka yang masih pemula dalam
berusahatani hal ini dikarenakan pengalaman lebih banyak sehingga dapat
membuat perbandingan dalam pengambilan keputusan untuk mengadopsi suatu
inovasi (Soekartawi,1999).
Lamanya berusahatani untuk setiap orang berbeda-beda, oleh karena itu lamanya
berusahatani dapat dijadikan pertimbangan agar tidak melakukan kesalahan yang
sama sehingga dapat melakukan hal-hal yang lebih baik di waktu mendatang
(Hasyim, 2006).
perekonomian keluarga. Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikasi sosial
ekonomi seseorang dimasyarakat disamping pekerjaan, kekayaan dan pendidikan.
Keputusan seseorang dalam memilih pekerjaan sangat dipengeruhi oleh sumber
Universitas Sumatera Utara
daya atau kemampuan dalam diri individu, jenis pekerjaan dan tingkat
pengeluaran seseorang yang juga menentukan tingkat kesejahteraan dalam
status sosial ekonomi seseorang. Petani dengan tingkat pendapatan semakin
tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi (Mardiankonto,1993).
Petani dengan jumlah tanggungan yang semakin tinggi akan makin lamban
dalam mengadopsi suatu inovasi, karena jumlah tanggungan yang besar akan
mengharuskan mereka untuk memikirkan bagaimana cara pemenuhan kebutuhan
hidup keluarganya sehari hari. Petani yang memiliki jumlah tanggungan yang
besar harus mampu dalam mengambil keputusan yang tepat, agar tidak
mengalami resiko yang fatal bila kelak inovasi yang diadopsi mengalami
kegagalan.
yang mutlak harus ada jika kita benar-benar menghendaki adanya peningkatan
produksi dari para petani kita. Dengan penyuluhan yang berhasil diterapkan
kepada para petani, akan berarti para petani mau dan mampu untuk selalu
menggunakkan teknologi yang menguntungkan dalam budidaya tanaman
termasuk mengatasi masalah-masalah yang timbul (hama dan penyakit tanaman,
konservasi tanah dan air dll) (Kartasapoetra,1997).
2.3. Penelitian Terdahulu
Berdasarkan penelitian Boiperiandi R (2016) yang berjudul Analisis Tingkat
Adopsi Petani terhadap Teknologi Budidaya Padi Sawah dan Hubungannya
dengan Faktor Sosial Ekonomi di Desa Pecut, Kecamatan Percut Sei Tuan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana tingakat adopsi
Universitas Sumatera Utara
Petani terhadap teknologi budidaya padi sawah di daerah penelitian dan
bagaimana faktor sosial ekonomi yang meliputi umur, tingkat pendidikan, lama
berusaha tani, luas lahan, dan jumlah tanggungan keluarga dengan tingkat
adopsi petani terhadap teknologi budidaya padi sawah dan hubungannya dengan
faktor sosial ekonomi di Desa Pecut, Kecamatan Percut Sei Tuan. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode Analisis Korelasi Chi – Squere.
Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive dan pengambilan data
dilakukan secara primer dan sekunder. Hasi penelitian menunjukan bahwa
tingkat adopsi petani terhadap teknologi budidaya padi sawah di daerah
penelitian dikatagorikan tinggi. Tingkat pendidikan dan luas lahan memiliki
hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi teknologi budidaya padi sawah,
sedangakan umur lama berusaha tani, dan jumlah tanggungan keluarga tidak
memiliki hubungan yang nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap teknologi
budidaya padi sawah.
dan Adopsi Petani Terhadap Penerapan System Of Rice Intensificatioan (SRI)
Di Desa Simarasok Sumatera Barat. Tujuan penelitan untuk mengidentifikasi
tingkat persepsi dan adopsi petani terhadap penerapan metode SRI dalam
budidaya padi serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi tingkat
adopsi petani terhadap penerapan metode SRI di daerah penelitian. Data
diperoleh dengan pengambilan sampel dengan metode purposive sampling
sebanyak 35 responden. Selanjutnya, data diolah dengan menggunakan analisis
regresi logistik. Data hasil penelitian menunjukkan 57.1 persen responden yang
memiliki persepsi baik terhadap penerapan SRI sisanya sebesar 42.9 persen
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan tingkat adopsi petani terdapat 51.4 persen responden yang telah
menerapkan metode SRI sesuai dengan pedoman SRI dan terdapat 48.6 persen
petani yang tidak menerapkan sesuai dengan pedoman penerapan budidaya
metode SRI. Berdasarkan analisis regresi logistik, terdapat tiga variabel terbukti
berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi petani terhadap penerapan metode
SRI yaitu lama usaha tani, usia, dan tingkat persepsi.
2.4. Kerangka Pemikiran
Usahatani Padi sawah adalah suatu organisasi produksi yang dilakukan oleh
petani padi untuk mengelola faktor-faktor produksi alam, tenaga kerja, dan modal
yang bertujuan untuk menghasilkan produksi dan pendapatan di sektor pertanian.
Petani melakukan usahatani dengan menerapkan paket Pengelolan Tanaman
Terpadu meliputi persiapan lahan, pembibitan, penanaman, pemupukan,
pemeliharaan dan pasca panen.
Pengelolaan Tanaman Terpadu diartikan sebagai penerapan teknologi secara
terpadu yang tepat pada seluruh rangkaian pengeleloaan hasil dan pemasaran yang
bertujuan untuk mengoptimalkan kegiatan usahatani padi sawah.
Penyuluh berperan aktif dalam mempengaruhi tingkat adopsi para pelaku
usahatani padi sawah terhadap penerapan pengelolaan tanaman terpadu tersebut.
Tingkat adopsi yang dimaksud adalah banyaknya komponen paket teknologi
yang diterapkan petani dan yang tidak diterapkan petani dari anjuran penyuluh.
Selain peran penyuluh tersebut tingkat adopsi terhadap penerapan teknologi
tersebut juga di pengaruhi oleh faktor-faktor sosial ekonomi yang berbeda pula
Universitas Sumatera Utara
pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan frekuesi mengikuti penyuluhan.
Tingkat adopsi ini dapat dikategorikan dalam tingkatan rendah, sedang, dan
tinggi.
: Menyatakan Hubungan
2.5. Hipotesis Penelitian
dirumuskan sebagai berikut:
Bedagai bersikap Positif.
produktivitas padi sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai tergolong tinggi.
3) hubungan faktor-faktor sosial ekonomi (umur, tingkat pendidikan, luas
lahan, pengalaman bertani, tingkat pendapatan, tanggungan dalam keluarga,
kepemilikan lahan dan frekuensi mengikuti penyuluhan) terhadap tingkat
adopsi petani terhadap program teknologi peningkatan produktivitas padi
sawah di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan Kabupaten Serdang
Bedagai.
Metode penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive (sampling dengan
maksud tertentu), yaitu pemilihan sampel bertitik tolak pada penilaian pribadi
peneliti yang menyatakan bahwa sampel yang dipilih benar-benar representatif
(Sugiarto, 2001).
Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Desa Lubuk Bayas dipilih karena
kemudahan akses terhadap lokasi dan merupakan salah satu sentra produksi padi
sawah di Kabupaten Serdang Bedagai dengan luas lahan mencapai 403 Ha.
3.2. Metode Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan di teliti dan yang di anggap dapat
menggambarkan populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah petani yang
mengusahakan padi di Desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten
Serdang Bedagai. Adapun penetapan sampel dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode Simple Random Sampling dimana cara pengambilan
sampel dari anggota populasi dengan menggunakan acak tanpa ada tingkatan
dalam anggota populasi tersebut
Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah petani padi sawah di Desa
Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai. Berdasarkan
hasil prasurvey yang dilakukan, didapat informasi dari Penyuluh Pertanian Desa
Lubuk Bayas jumlah populasi petani yang mengusahakan padi sawah di desa
Universitas Sumatera Utara
39
tersebut sebanyak 300 Petani. Besar sampel yang diteliti sebanyak 75 sampel yang
diperoleh dari metode Slovin, yaitu :
Keterangan :
n =
Dari hasil perhitungan menggunakan rumus Slovin, diperoleh jumlah sampel
untuk petani padi sawah di Desa Lubuk Bayas yang akan diteliti adalah 75 sampel
dengan taraf kesalahan yaitu (e) = 10% ( Supriana, 2015).
3.3. Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder. Data
primer yang dikumpulkan dengan melakukan pengamatan dan wawancara
langsung dengan petani responden dengan mengajukan pertanyaan yang dibuat
dalam bentuk kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Data sekunder yang dikumpulkan diperoleh dari berbagai instansi terkait, seperti
Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian, dan Pemerintah
Daerah di lokasi penelitian. Selain itu, data-data pendukung lainnya juga
diperoleh melalui internet, literatur dan jurnal yang relevan dengan penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
penelitian. dianalisis menggunakan metode dekriptif dengan teknik pensklaan
likert berdasarkan dua parameter. Parameter pertama adalah bersikap positif dan
parameter kedua adalah bersikap negatif. Petani akan di berikan beberapa
pertanyaan seputar teknologi peningkatan produktivitas padi sawah di daerah
penelitian. Sikap petani dikatakan positif apabila petani setuju dengan teknologi
peningkatan produktivitas padi sawah yang di lakukan di daerah penelitian
tersebut dan dikatakan negative jika tidak setuju dengan teknologi peningkatan
produktivitas padi sawah di daerah penelitian tersebut.
Menurut Azwar (2005), persentase di dapat dari metode skala likert yaitu dengan
pemberian skor pada setiap pilihan jawaban yaitu :
1) SS = Sangat Setuju, bernilai 5
2) S = Setuju, bernilai 4
3) R = Ragu-ragu, bernilai 3
4) TS = Tidak Setuju, bernilai 2
5) STS = Sangat Tidak Setuju, bernilai 1
Untuk memporoleh nilai positif dan negatif akan dijabarkan dengan tabel berikut :
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Tingkat Penilaian Indikator Negatif dan Positif pada petani
Tingkat Penilaian Positif Negatif
Sangat Setuju 5 1
Mengukur sikap petani digunakan dengan skala likert dengan rumus:
T = 50+10 [
S : Deviasi Standart Kelompok
menjelaskan teknologi apa saja yang diterapkan oleh para petani sesuai
dengan anjuran yang disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian menjumlahkan dan
menskor data yang telah diperoleh (scoring).
Universitas Sumatera Utara
No Uraian Komponen Anjuran Diterapkan Tidak
diterapkan
1
Teknologi
Persiapan
Lahan
pembajakan.
merata di atas hamparan sawah. Bahan
organik yang digunakan dapat berupa
pupuk kandang (2 ton/ha) atau kompos
jerami (5 ton/ha).
bibit Ciherang
setiap lahan yang diusahakan
setelah semai
3 Penanaman
Tiap lubang penanaman bibit ditanam
satu satu
4 Pemupukan
(Nitrogen ; dalam bentuk pupuk urea),
P (phospat ; dalam bentuk pupuk
TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam
bentuk pupuk KCL)
kg/ rante (±125kg/ha), SP-36 sebanyak
6kg (±150kg/ha), ZA sebanyak
Universitas Sumatera Utara
hari setelah tanam,penyiangan
selanjutnya berdasarkan kepadatan
dengan semaksimal mungkin
dengan menggunakan herbisida
setelah tanam secara manual dengan
menggunakan landak/gosrok
sehingga tidak mengeluarkan malai
pengendalian terhadap wereng
berisi air sehingga diharapkan wereng
terkumpul
adalah lebih, mengandalkan cara
terjamin, serta menggunakan pestisida
bergantian
pertanaman diaturpada kondisi
yang lainnya sehingga hal ini juga
perlu diperhatikan. Hitung sejak padi
berbunga biasanya panen dilakukan
berbunga. Jika malai telah menguning
95 % segera lakukan pemanenan
Panen dilakukan dengan cara
memotong padi menggunakan sabit
permukaan tanah atau dari pangkal
malai jika akan dirontok dengan power
thresser. Panen sebaiknya dilakukan
kehilangan hasil pada saat panen dapat
dikurangi
alas padi yang baru dipotong dan
ditumpuk sebelum dirontok. Sesegera
mungkin padi dirontokan, apabila
sebaiknya sore harinya segera
dirontokkan karena perontokkan yang
menyebabkan kerusakan beras
10 Pasca Panen
matahari sekitar 2-3 hari agar gabah
tahan lama disimpan
Wadah pengemas dapat menggunakan
melindungi gabah dari hama,
kerusakan fisik terhadap goncangan
disimpan tidak langsung menempel
pada dinding karena dapat
Jumlah komponen teknologi yang dianjurkan adalah sebanyak 30 komponen.
Setiap komponen Anjuran akan di beri skor 2 Jika diterapkan sesuai anjuran, dan
diberi skor 1 jika tidak diterapkan sesuai anjuran. Sehingga untuk setiap Uraian
akan diperoleh Kriteria sebagai berikut :
a) Sesuai Rekomendasi Skor antara 45-60 (Adopsi Tinggi)
b) Tidak sesuai rekomendasi skor antara 30-44 (Adopsi Rendah)
Adapun kriteria tingkat adopsinya adalah sebagai berikut :
a) < 50 % adalah kategori rendah (30-44)
b) ≥ 50 % adalah kategori tinggi (45-60)
Rumus % tingkat adopsi adalah :
faktor sosial ekonomi (umur, tingkat pendidikan, luas lahan, pengalaman
bertani, tingkat pendapatan, tanggungan dalam keluarga, kepemilikan lahan
dan frekuensi mengikuti penyuluhan) terhadap tingkat adopsi petani terhadap
program teknologi peningkatan produktivitas padi sawah di daerah penelitian
dengan menggunakan metode Chi-Square untuk masing-masing faktor sosial
ekonomi yang mempengaruhi petani dalam mengadopsi teknologi budidaya
padi. Uji ini merupakan data indepensi,yaitu menguji suatu variabel
berhubungan atau tidak dengan variabel lain. Uji Chi-Square bukanlah
merupakan ukuran derajat hubungan.Uji ini hanya digunakan untuk menduga
barangkali beberapa faktor, di samping faktor chance (sampling error),
Universitas Sumatera Utara
antara jumlah pengamatan suatu objek atau respon tertentu pada tiap
klasifikasinya terhadap nilai harapannya (expected value).
Syarat dalam melakukan uji Chi-Square adalah tidak ada nilai nol dalam
semua sel dan nilai expected value > 5. Jika ada nilai expected value yang >5
maka tidak boleh lebih dari 10%. Untuk menghitung nilai Chi-Squere, maka di
susun dalam suatu tabel silang (crosstab).
Tabel 3. Bentuk Tabel Silang (crosstab) pada Uji Chi- Squere
Kategori B Kategori K
Total K1 K2 … Kx
… … … … … Σ
Total Σ Σ Σ Σ Σ
Secara manual, langkah-langkah dalam menghitung nilai Chi-Square sebagai
berikut :
b∑ : Jumlah kategori yang diamati.
Hipotesis yang diajukan adalah :
H0 : Proporsi seluruh kategori bernilai sama atau tidak ada hubungan antara
faktor sosial ekonomi terhadap terhadap tingkat adopsi petani terhadap program
teknologi peningkatan produktivitas padi sawah.
Universitas Sumatera Utara
47
H1 : Proporsi seluruh kategori tidak bernilai sama atau ada hubungan antara faktor
sosial ekonomi terhadap terhadap tingkat adopsi petani terhadap program
teknologi peningkatan produktivitas padi sawah.
Uji Chi-Square dapat dihitung dengan menggunakan Software SPSS. Kriteria
pengambilan keputusannya adalah sebagai berikut :
a. H0 diterima jika nilai signifikansi ≥ α
b. H1 diterima jika nilai signifikansi < α (Supriana, 2010).
Untuk melihat besarnya nilai dari derajat keeratan dapat menggunakan klasifikasi
koefisien korelasi dua variabel berikut ini :

n = Jumlah Sample
Nilai Koefisien
Korelasi Keterangan
≤0,2 s/d 0,4 Hubungan kedua variabel lemah
≤0,4 s/d 0,7 Hubungan kedua variabel Sedang
≤0,7 s/d 0,9 Hubungan kedua variabel Kuat
> 0,9 Hubungan kedua variabel Sangat Kuat
3.5. Definisi dan Batasan Operasional
3.5.1. Definisi Operasional
Universitas Sumatera Utara
48
1) Padi Sawah adalah komoditi yang dikelola oleh petani yang melaksanakan
budidaya pada area tanam berupa lahan sawah.
2) Usaha tani padi sawah adalah kegiatan budidaya padi sawah dengan
mengalokasikan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien untuk
memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu.
3) Penyuluh adalah petugas penyuluh lapangan dari instansi pemerintah yang
bertugas menyampaikan informasi.
4) Adopsi dalam proses penyuluhan pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
proses perubahan perilaku lain yang berupa: pengetahuan (cognitive), sikap
(affective), maupun ketrampilan (psycho-motoric) pada diri seseorang setelah
menerima inovasi yang disampaikan penyuluh oleh masyarakat sasarannya.
5) Paket Teknologi budidaya padi sawah adalah sistem atau tahapan yang
diharapkan dalam bercocok tanam sesuai anjuran PPL.
6) Umur, yaitu usia petani saat dilakukan penelitian. Diukur dalam satuan tahun
dan dengan skala ordinal.
sekolah. Diukur dari jenjang pendidikan formal tertinggi dan dengan skala
ordinal.
8) Luas lahan merupakan jumlah luas lahan yang digunakan petani untuk
budidaya padi ladang atau padi sawah dari tahap awal menanam hingga tahap
akhir yaitu panen yang disertai dengan keterangan status kepemilikan lahan
(milik sendiri/ sewa/ bagi hasil), satuannya Hektar (Ha).
9) Pengalaman Bertani merupakan lamanya petani telah melakukan usaha tani
hingga saat penelitian dilaksanakan.
10) Tingkat pendapatan yaitu pendapatan petani yang diperoleh dari pekerjaannya
baik dari usaha tani maupun diluar usaha tani dalam waktu 1 bulan. Diukur
dalam satuan rupiah.
yang masih ditanggung oleh kepala rumah tangga.
12) Frekuensi mengikuti penyuluhan yaitu seberapa seringnya seorang mengikuti
program penyuluhan yang di lakukan oleh penyuluh melalui kelompok tani.
3.5.2. Batasan Operasional
Kabupaten Serdang Bedagai.
3) Penelitian dilakukan pada tahun 2017-2018.
Universitas Sumatera Utara
4.1.1. Kondisi Geografis
Desa Lubuk Bayas adalah salah satu desa di Kecamatan Perbaungan, Kabupaten
Serdang Bedagai. Desa ini terdiri dari 4 wilayah dusun, yaitu Dusun I, Dusun II,
Dusun III, dan Dusun IV. Dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :
Sebelah Utara : Desa Naga Kisar, Kecamatan Pantai Cermin
Sebelah Timur : Desa Sei Buluh, Kecamatan Teluk Mengkudu.
Sebelah Barat : Tanah Merah / Desa Lubuk Rotan, Kecamatan Perbaungan.
Sebelah Selatan : PT. Socfindo, Kecamatan Perbaungan.
Jarak orbitasi dari Desa Lubuk Bayas ke Ibu Kota Kecamatan adalah sejauh 13
km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaraan bermotor selama
30 menit sedangkan dengan berjalan kaki atau kendaraan non bermotor selama
90 menit. Jarak orbitasi dari Desa Lubuk Bayas ke Ibu Kota Kabupaten/Kota
adalah sejauh 14 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaraan
bermotor selama 30 menit sedangkan dengan berjalan kaki atau kendaraan non
bermotor selama 90 menit. Jarak orbitasi dari Desa Lubuk Bayas ke Ibu Kota
Provinsi adalah sejauh 52 km dengan lama jarak tempuh menggunakan kendaraan
bermotor selama 90 menit sedangkan dengan berjalan kaki atau kendaraan non
bermotor selama 5 jam.
4.1.2. Tata Guna Lahan
Desa Lubuk Bayas mempunyai luas lahan 546 Ha. Lahan dimanfaatkan oleh
penduduk untuk kegiatan pemukiman, persawahan padi, pemakaman, pekarangan,
taman, perkantoran, sekolah, dll dan pemukiman secara rinci pemanfaatan lahan
di Desa Lubuk Bayas dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Luas Lahan Menurut Peruntukan di Desa Lubuk Bayas Tahun 2016
No. Peruntukan Lahan Luas Areal
(Ha/m 2 )
Sumber: Kantor Kepala Desa Lubuk Bayas, 2018
Dari Tabel 4 dapat dilihat luas areal yang terbesar di Desa Lubuk Bayas adalah
persawahan sebesar 385 Ha/m 2
dengan persentase 70,51%, dan luas areal yang
yang paling sedikit di Desa Lubuk Bayas adalah pemakaman yaitu sebesar
1 Ha/m 2
dengan persentase 0,18%, dan perkantoran yaitu sebesar 1 Ha/m 2
dengan
Komposisi penduduk Desa Lubuk Bayas berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
dalam Tabel 6 sebagai berikut:
Tabel 6. Komposisi Penduduk Desa Lubuk Bayas Menurut Jenis Kelamin
Tahun 2016
1 I 954 472 482
2 II 1217 601 616
3 III 890 441 449
4 IV 982 483 499
Jumlah 4043 1.997 2.046
Sumber: Kantor Kepala Desa Lubuk Bayas, 2018
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa jumlah penduduk terbanyak adalah di
Dusun II. Berdasarkan jenis kelamin penduduk yang lebih banyak adalah
perempuan yaitu 2046 Jiwa, sedangkan laki-laki 1997 jiwa.
Komposisi penduduk Desa Lubuk Bayas berdasarkan umur dapat dilihat dalam
Tabel 7 sebagai berikut:
Tabel 7. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur di Desa Lubuk Bayas
Tahun 2016
Sumber: Kantor Kepala Desa Lubuk Bayas, 2018
Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jumlah penduduk menurut umur dengan
kelompok umur yang paling produktif adalah sebanyak 1379 jiwa dengan
persentase 34,11% dan 1004 jiwa dengan 24,83%, dan kelompok umur yang
paling kecil atau tidak produktif adalah sebanyak 335 jiwa dengan 8,29%.
Universitas Sumatera Utara
dilihat dalam Tabel 8 sebagai berikut:
Tabel 8. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian di Desa Lubuk
Bayas
(%)
Sumber: Kantor Kepala Desa Lubuk Bayas, 2018
Berdasarkan Tabel 7 dapat diketahui bahwa penduduk Desa Lubuk Bayas yang
paling banyak menurut mata pencaharian yang utama sebagai petani yaitu sebesar
1058 KK dengan persentase 59%,
wiraswasta sebesar 204 KK dengan persentase 11%, dan mata pencaharian yang
paling kecil adalah PNS sebesar 8 KK dengan persentase 1%.
4.1.4. Sejarah dan Dinamika Perkembangan Desa
Desa Lubuk Bayas berdiri berkisar tahun 1920 yang pada awalnya yaitu Kampung
Lubuk Bayas. Sebelum tahun 1920 Kampung Lubuk Bayas terdiri dari beberapa
Penghulu/Kampung yaitu; Kampung Lama, Kampung Tengah, Kampung
Pematang, Kampung Lipan dan Kampung Mandailing. Ini sangat kental dengan
kesukuan dan dipimpin oleh kepala kampung atau kepala suku yang dituakan di
lingkungan kampung tersebut. Dan tunduk pemerintahannya wedana yang ada
simpang tiga Perbaungan. Dan seiring dengan waktu dan tuntutan masyarakat
Universitas Sumatera Utara
digabung dari beberapa kampung tadi menjadi satu wilayah yang kemudian
menjadi Kampung/Kepenghuluan yang menjadi nama Lubuk Bayas.
Adapun asal usul nama Kampung Lubuk Bayas ini ada karena beberapa
penafsiran atau pendapat seperti dikalangan pemuka-pemuka masyarakat, tokoh-
tokoh adat maupun tokoh-tokoh agama. Sebelum menjatuhkan/menetapkan nama
kampung tersebut pemuka-pemuka masyarakat, tokoh-tokoh adat maupun tokoh-
tokoh agama melakukan musyawarah mufakat atau rapat kampung.
Alasan pertama diambil nama Kampung Lubuk Bayas yaitu kelima kampung tadi
merupakan daerah pertanian atau podo masa atau biasa disebut lumbung padi,
dimana disekeliling/disekitar Kampung Lubuk Bayas banyak terdapat lumbung
padi. Maka ide dari nama Lubuk Bayas yaitu dari pemuka-pemuka adat, yaitu
Lubuk merupakan rawa-rawa atau dataran rendah, karena dari zaman dahulu
Kampung Lubuk Bayas memiliki lahan dataran persawahan lebih luas dari
datarannya. Sementara Bayas berasal dari kata Baras yang merupakan hasil dari
daerah kampung ini yang sangat terkenal. Tokoh adat tersebut tidak dapat
menyebut huruf “R’ dengan fasih dan menyebutnya menjadi ”Y”, sehingga kata
yang seharusnya Baras menjadi Bayas.
4.2. Karakteristik Petani Sampel
Karakteristik petani sampel padi di Desa Lubuk Bayas Kecamatan Perbaungan
Kabupaten Serdang Bedagai meliputi :
Umur petani merupakan salah satu faktor penting dalam melakukan kegiatan
usahataninya. Umur berpengaruh terhadap kemampuan fisik petani dalam
mengelola usahataninya. Petani yang berusia produktif dianggap memiliki
kemampuan fisik yang baik dalam mengelola usahataninya dibanding dengan
petani usia tidak produktif karena dianggap kemampuan fisik sudah menurun
sehingga tidak maksimal dalam mengelola usahataninya.
Klasifikasi petani sample menurut kelompok umur terlihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Umur Petani Sample di Desa Lubuk Bayas
No Umur
Berdasarkan Karakteristik Umur Petani sample berada di range 21-68 tahun,
dengan rataan sebesar 49 tahun.
2) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan petani merupakan salah satu faktor penting dalam menerima
informasi dan inovasi teknologi khususnya yang berkaitan tingkat adopsi
teknologi petani. Pendidikan pada umumnya akan mempengaruhi pola berfikir
para petani. Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka semakin mudah
petani menerapkan inovasi teknologi.
56
Tingkat pendidikan petani padi sample di Desa Lubuk Bayas dapat dilihat pada
Tabel 10.
Tabel 10. Tingkat Pendidikan Petani Sample di Desa Lubuk Bayas
No Tingkat
3) Luas Lahan
Luas Lahan petani padi sample di Desa Lubuk Bayas dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Luas Lahan Petani Sample di Desa Lubuk Bayas
No Luas Lahan
4) Pengalaman Bertani
Pengalaman bertani mempengaruhi pengambilan keputusan dalam berinovasi.
Petani yang sudah lebih lama berusahatani akan lebih mudah menerapkan inovasi
dibandingkan dengan mereka yang masih pemula dalam berusahatani hal ini
dikarenakan pengalaman lebih banyak sehingga dapat membuat perbandingan