Tinea Corporis

33
BAB I PENDAHULUAN Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. (1,2,3) Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. (1,4) Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis. (1) Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada iklim yang panas (tropis dan subtropis). (5,6) Ada beberapa macam variasi klinis dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur. (5)

Transcript of Tinea Corporis

Page 1: Tinea Corporis

BAB I

PENDAHULUAN

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit

kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3)

Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan

tidak berkembang pada jaringan yang hidup.(1,4) Metabolisme dari jamur dipercaya

menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar

pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis. (1)

Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada

iklim yang panas (tropis dan subtropis).(5,6) Ada beberapa macam variasi klinis

dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya.

Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.(5)

Page 2: Tinea Corporis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan

dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan

dan tungkai.(1)

2.2. Sinonim

Tinea sirsinata

Tinea glabrosa

Scherende flechte

Kurap

Herpes sircine trichophytique

2.3. Epidemiologi

Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai

didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum

diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton

tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan

orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea

korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan

Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar

14 % menyebabkan tinea korporis.(7)

Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi

manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi

T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti

M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan

dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi. (2)

Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi

mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis

Page 3: Tinea Corporis

prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang

dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea

korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.(7,8) Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.(8)

Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik

(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik

paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di

identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.(9)

2.4. Etiologi

Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti

Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat

ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.(1,6) Namun

demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum,

T.mentagrophytes, dan M.canis.(1)

2.5. Patogenesis

Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit

kemanusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal.

Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya

menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.(3)

Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission

Category Mode of transmission Typical clinical features

Antropofilik

Zoofilik

Geofilik

Manusia ke manusia

Hewan ke manusia

Tanah ke manusia atau hewan

Ringan, tanpa inflamasi,

kronik

Inflamasi hebat (mungkin

pustula dan vesikel), akut.

Inflamasi sedang

Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam

perkembangan klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi

langsung spora atau hifa pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan

umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan

Page 4: Tinea Corporis

kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi

juga berpengaruh.(4,7,10)

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan

keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat

ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi,

benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. (7,10)

Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang

luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya

artrospora atau konidia. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau

cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim

keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak

keratinosit. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum

korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi

pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari

tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di bagian tubuh.

Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas

berupa central healing.3

Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon

jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm,

yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian

aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan

skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan

bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan

tubuh (imunitas) seluler.(7,10)

Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-

kadang disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang

normal dapat diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur.(10)

Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena

stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan

untuk pertumbuhan miselia jamur.4 Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap:

adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.4,5

1. Adhesi pada keratinosit

Page 5: Tinea Corporis

Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia

sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme

ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan

kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh

keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat

fungistatik.

2. Penetrasi

Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi

pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,

dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.

Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor

yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada

dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.

Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,

termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat

menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.

3. Perkembangan respon host

Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun

penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel

yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.

Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan

juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur

alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari

komplemen.

Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi

dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi

dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat

namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi

hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan

dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ

yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan

paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan

Page 6: Tinea Corporis

inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang

negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai

hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan

hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel

Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.

Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk

melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier

epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai

akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.

Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan

penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.4

Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat

menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).3 Mekanisme imun

yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih

jauh lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon

imun berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat

(tipe IV) terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita

menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas

tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam

prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan

sel mast kemudian menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat

menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin

serta mediator proinflamasi lainnya.6

2.6. Gambaran Klinik

Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih

sering terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya

terdapat di daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.(6)

Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla

yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian

tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola

gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema

sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada

Page 7: Tinea Corporis

penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan

imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.(6)

Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai

sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,

selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan

mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular.(1,5,7,10,11) berupa skuama,

krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya.

Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya

merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya.(10)

Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak

terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama

dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.(12)

Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton

concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul

berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian

tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu

mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama

yang konsentris. (7)

Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan

respon inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya,

pasien HIV-positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam

dan meluas. (7)

Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal

ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau

papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas,

skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis

lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan

bahu.(13)

2.7. Pemeriksaan Penunjang

Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada

Page 8: Tinea Corporis

kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis.

Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga

diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat. (14)

Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan

merupakan pemeriksaan yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk

mendiagnosis infeksi jamur. (6)

Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting

untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop

dimana terlihat hifa diantara material keratin.(5)

Gambaran effloresensinya sebagai berikut (6)

Penyakit jamur Floresensi

Tinea kapitis

Pitiriasis versikolor

Hijau, biru kehijauan

Kuning keemasan

Bukan Penyakit jamur Effloresensi

Eritasma

Obat tetrasiklin

Merah bata

Kuning

2.8. Diagnosis

Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau

pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk

melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi

spesies jamur penyebab yang lebih akurat.(10)

Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan

mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui

infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini

diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (14)

2.9. Diagnosis Banding

Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan

dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak,

dermatitis numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea,(6,12) dan psoriasis.(6,7,12)

Untuk alasan ini, tes laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi

Page 9: Tinea Corporis

kulit yang tidak jelas penyebabnya. (6)

Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea

korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit

kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan

sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi,

yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut

juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat

pula menolong untuk menentukan diagnosis. (12)

Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas,

tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea

korporis tanpa heral patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea

korporis. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. (12)

2.10. Penatalaksanaan

Tinea korporis dengan lesi yang tidak luas dapat digunakan terapi

topikal, untuk lesi yang luas dan dengan inflamasi yang berat diindikasikan

terapi oral. Obat topikal harus bisa penetrasi ke dalam kulit dan bertahan di

dalamnya untuk menekan jamur. Pemilihan terapi didasarkan pada tempat

dan luasnya infeksi, juga efikasi dan keamanan obat.

Agen antifungi oral untuk pengobatan dermatofitosis:11

Golongan Obat Dosis 4

Miscellaneous Griseofulvin Dewasa:Azoles Ketoconazole Fluconazole, 150

mg/mggTriazoles Itraconazole

Fluconazole Voriconazole

Itraconazole, 100 mg/hariTerbinafine, 250 mg/hariGriseofulvin, 500 mg/hari

Allylamines Terbinafine Anak-anak:Griseofulvin, 10-20 mg/kg/hariItraconazole, 5 mg/kg/hariTerbinafine, 3-6 mg/kg/hari

Agen antifungi topikal untuk pengobatan dermatofitosis: 11

Golongan Obat Morpholine derivatives Amorolfine

Page 10: Tinea Corporis

Allylamines and benzylamine derivatives

Naftifine, Terbinafine, Butenafine

Azole derivatives Bifonazole, butoconazole, clotrimazole, croconazole, eberconazole, econazole, fenticonazole, flutrimazole, isoconazole, ketoconazole, miconazole, omoconazole, oxiconazole, sertaconazole, sulconazole,terconazole, tioconazole.

Miscellaneous compounds Ciclopiroxolamine, griseofulvin, haloprogin, tolnaftate, Whitfield´s ointment, undecilenic acid.

A. Terapi topikal

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit

biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan

alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan

keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari

selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan

allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.(7)

Berikut obat yang sering digunakan :

1. Topical azol terdiri atas :

a. Econazol 1 %

b. Ketoconazol 2 %

c. Clotrinazol 1%

d. Miconazol 2% dll.

Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-

alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur. (7,15)

2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen

2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses

pembentukan ergosterol membran sel jamur.(10) yaitu aftifine 1 %,

butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang

mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari

berturut-turut.(7,15)

3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja

Page 11: Tinea Corporis

menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi

tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang

bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta

berspektrum luas.(7)

4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa

ditambahkan pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan

gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama

dari terapi. (5,7)

B. Terapi sistemik

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of

Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat

digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan

kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien

tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal. (15)

1. Griseofulvin (7,15)

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap

baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,

Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat

mitosis pada stadium metafase.

2. Ketokonazol (15)

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,

termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

3. Flukonazol (15)

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun

absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

4) Itrakonazol (15)

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,

bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik

maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat

diminum bersama dengan makanan.

5. Amfosterin B (15)

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh

Page 12: Tinea Corporis

Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah

akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan

sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang

membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.

C. KIE

Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan

daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.

2.11. Prognosis

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan

tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau

allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik. (7)

2.12. Kesimpulan

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit

kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3)

Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan

tidak berkembang pada jaringan yang hidup.(4) Metabolisme dari jamur dipercaya

menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar

pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak pada didaerah tropis. (1)

Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal

ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau

papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas,

skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis

lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan

bahu.(13). Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan

tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau

allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik (7)

DAFTAR PUSTAKA

1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and

dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical

dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.

Page 13: Tinea Corporis

2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus

involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,

Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine.

6th ed. New York: Mc graw hill, 2004.p:1908-2001.

3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL,

Raiini RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-

83.

4. Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL,

Ebling FJG, editors. Text book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell

scientific publication,1992. p.1148-9.

5. Habif TP. Clinacal dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004

6. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja

U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.

Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4

7. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2006 June 29; available

from; http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page

type=Article.htm

8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and

synopsis of clinical dermatology. Athed New York: Mc graw hill.1999.

9. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common

tinea infections. 1998 July 1, available from:

<http://www.afp.org/journal/asp/.htm>

10. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.

11. Allen Hb, Rippon JW. Superficial and deep mycoses. In : Moschella SL,

Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company,

1992. p.739-75

12. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors.

Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI,

2002.p.92-3.

13. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential

of diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.

14. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis

Page 14: Tinea Corporis

superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,

Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta:

Balai penerbit FKUI, 2004.p.99-106.

15. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji,

Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.

Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-

16.

LAPORAN KASUS

A. Anamnesis

1. Identitas

Nama : Ny.S

Umur : 42 tahun

Page 15: Tinea Corporis

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Gedong, Karanganyar

Pekerjaan : Pegawai swasta

Tanggal Periksa : 19 Maret 2013

No. RM : 01086602

2. Keluhan Utama

Gatal di tubuhnya

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan gatal dirasakan pertama kali di daerah perut sejak ±1

tahun yang lalu. Pasien mengatakan terdapat bercak merah yang gatal.

Pasien sudah memeriksakan diri ke dokter kemudian diberi obat

minum. Obat yang diberikan oleh dokter tersebut adalah siproheptadin,

dexametason dan CTM. Selama ini pasien meminum obat-obat

tersebut, keluhan gatal berkurang namun bercak merah tidak

menghilang.

Kemudian keluhan juga dirasakan semakin meluas dan sejak 1

bulan yang lalu gatal juga dirasakan di daerah tangan kanan berupa

bercak kemerahan berbentuk lingkaran. Pasien juga mengeluh gatalnya

bertambah parah saat berkeringat. Berobat ke dokter umum dan diberi

obat yang sama. Pasien tidak mengeluhkan adanya demam sebelum

timbulnya penyakit gatal ini. Lalu pasien berobat ke RSDM.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

R. penyakit serupa : disangkal

R. alergi obat dan makanan : disangkal

R. sakit gula : disangkal

R. darah tinggi : disangkal

R. atopik : disangkal

Page 16: Tinea Corporis

5. Riwayat Keluarga

R. sakit serupa : disangkal

R. Alergi obat dan makanan : disangkal

R. sakit gula : disangkal

R. darah tinggi : disangkal

R. atopik : disangkal

6. Riwayat Pengobatan

Siproheptadin, dexametason, dan CTM

7. Riwayat Kebiasaan

Penderita mandi dua kali sehari dengan sabun padat, handuk

sendiri dan dengan air sumur. Penderita biasa ganti pakaian dua kali

sehari.

B. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

a. Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup

b. Vital Sign : tidak dilakukan

c. Kepala : Mesocephal

d. Mata : Dalam batas normal

e. Hidung : Dalam batas normal

f. Mulut : Dalam batas normal

g. Wajah : Dalam batas normal

h. Leher : Dalam batas normal

i. Punggung : Lihat status dermatologis

j. Dada : Dalam batas normal

k. Gluteus dan anogenital : Dalam batas normal

l. Abdomen : Lihat status dermatologis

m. Ekstremitas atas : Lihat status dermatologis

n. Ekstremitas bawah : Dalam batas normal

2. Status Dermatologis

Page 17: Tinea Corporis

Regio antebrachii dextra :

terdapat patch eritem, batas tegas, central healing dan tepi

aktif

Regio mediana cubiti dextra et sinistra :

terdapat patch hiperpigmentasi, batas tegas, central healing

dan tepi aktif dengan skuama halus

Regio abdominalis :

tampak patch eritem, terdapat central healing dengan skuama

di atasnya

Regio thorax posterior :

terdapat patch eritema dengan skuama halus di atasnya

C. Diagnosis Banding

Tinea korporis

Psoriasis

D. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan pengambilan specimen dari lesi dan dilakukan pemeriksaan

KOH pada kerokan daerah pergelangan tangan dan perutnya. Dari hasil

pemeriksaan ditemukan adanya hifa.

E. Diagnosis Kerja

Tinea korporis

F. Terapi

a) Terapi Kasus

1. Medikamentosa

a. Sistemik : Cetirizine 1x10 mg

Griseofulvin 1x500 mg

b. Topikal : Miconazole cream, dioles 2 kali sehari

2. Non medikamentosa

a. Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan

b. Mandi minimal 2x/hari dengan air bersih

c. Menjaga daerah lesi dari keringat atau keadaan yang lembab,

misalnya memakai pakaian dari bahan yang dapat menyerap

keringat dan longgar.

Page 18: Tinea Corporis

d. Pakaian yang basah karena keringat, segera diganti dengan

yang bersih dan kering.

e. Meminum dan menggunakan obat dengan teratur dan sesuai

petunjuk, jika keluhan hilang tetap kontrol ke dokter hingga

dinyatakan sembuh.

f. Mengganti pakaian dalam dengan teratur minimal 2 kali

sehari.

g. Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama.

h. Menjaga agar kuku tetap pendek.

b) Resep

R/ Betarhin tab mg 10 No. XIV

S 1 dd tab I

R/ Fulcin tab mg 500 No. XIV

S 1 dd tab I p.c

R/ Moladerm krim g 10 No. I

S u.e mane et vespere

Pro : Ny. S (42 th)

c) Prinsip Terapi

Pemilihan terapi didasarkan pada tempat dan luasnya infeksi, juga

efikasi dan keamanan obat.

Tinea korporis dengan lesi yang tidak luas dapat digunakan terapi

topikal.

Tinea korporis dengan lesi yang luas dan dengan inflamasi yang

berat diindikasikan terapi oral.

Terapi simtomatis dapat diberikan sesuai keluhan pasien.

Menghilangkan faktor predisposisi penting.

d) Pembahasan Obat

Griseofulvin

Mekanisme kerja

Page 19: Tinea Corporis

Griseofulvin merupakan anti jamur yang berssifat fungistatik,

berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat

mitosis sel jamur.

Aktifitas spectrum

Griseofulvin mempunyai aktifitas spectrum yang terbatas

hanya untuk spesies Epidermophyton floccosum, Microsporum

spesies, dan Trichophyton spesies, yang merupakan penyebab

infeksi jamur pada kulit, rambut, dan kuku. Griseofulvin tidak

efektif terhadap kandidiosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.

Farmakokinetik

Pemberian Griseofulvin secara oral denga dosis 0,5-1 gram,

akan menghasilkan konsentrasi puncak plasma sebanyak 1

mikrogram/ml dalam waktu 4 jam dan level dalam darah yang

bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam

plasma lebih kurang 1 hari, dak 50% dari dosis oral dapat

dideteksi dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan

dalam bentuk metabolit.

Griseofulvin sangat sedikit diabsorbsi dalam keadaan perut

kosong. Mengkonsumsi Griseofulvin bersama dengan

makanan berkadar lemak tinggi, dapat meningkatkan absorbs

mengakibatkan level Griseofulvin dalam serum akan lebih

tinggi. Ketika diabsorbsi, Griseofulvin pertama kali akan

berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan

ditentukan dengan plasma free concentration. Selanjutnya

menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan

dideposit di sel precursor keratin kulit (stratum korneum) dan

terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang

terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang

lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian

Griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum

setelah 4-8 jam.

Page 20: Tinea Corporis

Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-desmethyl

Griseofulvin, dan akan diekskresikan melalui urin. Eliminasi

waktu paruh 9-21 jam dan kiurang dari 1% dari dosis akan

dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.

Dosis

Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk, yaitu mikrosize

(mikrokristallin) dan ultramikrosize (ultramikrokristallin),

penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan

dengan bentuk mikrosize.

Dosis Griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu 500-1000

mg/hari (mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375

mg/hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Anak-anak

>12 tahun 10-15 mg/kgBB/hari mikrosize, dosis tunggal atau

terbagi dan 5,5-7,3 mg/kgBB/hari (ultramikrosize) dosis

tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis

dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling

sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8

minggu, dan untuk tinea unguinum selama 3-6 bulan.

Efek Samping

Efek samping Griseofulvin biasanya ringan berupa sakit

kepala, mual, muntah, dan sakit pada abdomen. Timbulnya

reaksi urtikaria dan erupsi dapat terjadi pada sebagian pasien.

Interaksi obat

Absorbsi Griseofulvin menurun jika diberikan dengan

fenobarbital, tetapi efek tersebut daoat dikurangi dengan cara

mengkonsumsi Griseofulvin bersama makanan. Griseofulvin

juga dapat menurunkan efektifitas warfarin yang merupakan

antikoagulan.

Mikonazol

Page 21: Tinea Corporis

Mikonazol merupakan obat golongan azol-imidazol yang

bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintetis

ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada

membrane sel jamur. Golongan ini memiliki kemampuan untuk

mengganggu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-

demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah

lanosterol menjadi ergosterol.

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,

pitiriasis versikolor, dan kandidiasis oral, kutaneus dan genital.

Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol

krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi

pasien, biasanya 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Cetrizine

Cetirizine adalah antihistamin selektif, antagonis reseptor-

H1 perifer yang memiliki efek sedative yang rendah pada dosis

aktif dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi. Cetrizine

bekerja dengan menghambat pelepasan histamine pada fase awal

dan mengurangi migrasi sel inflamasi. Dosis cetrizine pada dewasa

dan anak > 12 tahun adalah 10 mg/hari.

G. Prognosis

Ad vitam : baik

Ad sanam : baik

Ad fungsionam : baik

Ad kosmetikam : baik