Tinea Corporis
-
Upload
aralerawon -
Category
Documents
-
view
110 -
download
10
Transcript of Tinea Corporis
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3)
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup.(1,4) Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis. (1)
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada
iklim yang panas (tropis dan subtropis).(5,6) Ada beberapa macam variasi klinis
dengan lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya.
Variasi ini akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.(5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur superfisial golongan
dermatofita, menyerang daerah kulit tak berambut pada wajah, badan, lengan
dan tungkai.(1)
2.2. Sinonim
Tinea sirsinata
Tinea glabrosa
Scherende flechte
Kurap
Herpes sircine trichophytique
2.3. Epidemiologi
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai
didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton
tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan
orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea
korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan
Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar
14 % menyebabkan tinea korporis.(7)
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi
manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi
T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti
M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan
dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi. (2)
Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi
mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis
prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang
dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea
korporis yang berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.(7,8) Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.(8)
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik
(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik
paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di
identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.(9)
2.4. Etiologi
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat
ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.(1,6) Namun
demikian yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum,
T.mentagrophytes, dan M.canis.(1)
2.5. Patogenesis
Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit
kemanusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal.
Karena dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya
menginvasi bagian luar stratum korneum dari kulit.(3)
Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission
Category Mode of transmission Typical clinical features
Antropofilik
Zoofilik
Geofilik
Manusia ke manusia
Hewan ke manusia
Tanah ke manusia atau hewan
Ringan, tanpa inflamasi,
kronik
Inflamasi hebat (mungkin
pustula dan vesikel), akut.
Inflamasi sedang
Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam
perkembangan klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi
langsung spora atau hifa pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan
umumnya tinggal di stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan
kondisi lain yang mendukung seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi
juga berpengaruh.(4,7,10)
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan
keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat
ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi,
benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. (7,10)
Jalan masuk yang mungkin pada infeksi dermatofita adalah kulit yang
luka, jaringan parut, dan adanya luka bakar. Infeksi ini disebabkan oleh masuknya
artrospora atau konidia. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau
cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim
keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak
keratinosit. Patogen menginvasi lapisan kulit yang paling atas, yaitu pada stratum
korneum, lalu menghasilkan enzim keratinase dan menginduksi reaksi inflamasi
pada tempat yang terinfeksi. Inflamasi ini dapat menghilangkan patogen dari
tempat infeksi sehingga patogen akan mecari tempat yang baru di bagian tubuh.
Perpindahan organisme inilah yang menyebabkan gambaran klinis yang khas
berupa central healing.3
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon
jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm,
yang menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian
aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan
skuama. Kondisi ini akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan
bagian pusat akan bersih. Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan
tubuh (imunitas) seluler.(7,10)
Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-
kadang disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang
normal dapat diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur.(10)
Dermatofita dapat bertahan pada stratum korneum kulit manusia karena
stratum korneum merupakan sumber nutrisi untuk pertumbuhan dermatofita dan
untuk pertumbuhan miselia jamur.4 Infeksi dermatofita terjadi melalui tiga tahap:
adhesi pada keratinosit, penetrasi, dan perkembangan respon host.4,5
1. Adhesi pada keratinosit
Adhesi dapat terjadi jika fungi dapat melalui barier agar artrokonidia
sebagai elemen yang infeksius dapat menempel pada keratin. Organisme
ini harus dapat bertahan dari efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, kompetisi dengan flora normal, dan zat yang dihasilkan oleh
keratinosit. Asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah adhesi, spora harus berkembang biak dan melakukan penetrasi
pada stratum korneum. Penetrasi didukung oleh sekresi proteinase, lipase,
dan enzim musinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk fungi ini.
Trauma dan maserasi juga memfasilitasi penetrasi dan merupakan faktor
yang penting juga pada patogenesis tinea. Mannan yang terdapat pada
dinding sel jamur menyebabkan penurunan proliferasi keratinosit.
Pertahanan yang baru timbul pada lapisan kulit yang lebih dalam,
termasuk kompetisi besi oleh transferin yang belum tersaturasi dan dapat
menghambat pertumbuhan jamur yang didukung oleh progesteron.
3. Perkembangan respon host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh dua faktor yaitu status imun
penderita dan organisme itu sendiri. Deteksi imun dan kemotaksis pada sel
yang mengalami inflamasi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
Beberapa jamur menghasilkan kemotaktik faktor seperti yang dihasilkan
juga oleh bakteri. Jamur juga bisa mengaktivasi komplemen melalui jalur
alternatif, yang kemudian menghasilkan faktor kemotaktik berasal dari
komplemen.
Pembentukan antibodi tidak memberikan perlindungan pada infeksi
dermatofita, seperti yang terlihat pada penderita yang mengalami infeksi
dermatofita yang luas juga menunjukkan titer antibodi yang meningkat
namun tidak berperan untuk mengeliminasi jamur ini. Akan tetapi, reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) berperan dalam melawan
dermatofita. Respon dari imunitas seluler diperankan oleh interferon-γ
yang diatur oleh sel Th1. Pada pasien yang belum pernah mendapatkan
paparan dermatofita sebelumnya, infeksi primer akan menghasilkan
inflamasi yang ringan dan tes trikopitin biasanya menunjukkan hasil yang
negatif. Infeksi akan tampak sebagai eritema dan skuama ringan, sebagai
hasil dari percepatan tumbuhnya keratinosit. Ada yang mengungkapkan
hipothesis bahwa antigen dari dermatofita lalu diproses oleh sel
Langerhans dan dipresentasikan di nodus limfatikus kepada sel limfosit T.
Sel limfosit T berproliferasi klonal dan bermigrasi ke tempat infeksi untuk
melawan jamur. Saat itu lesi kulit menunjukkan reaksi inflamasi dan barier
epidermal menjadi permeable untuk migrasi dan perindahan sel. Sebagai
akibat dari reaksi ini jamur dieliminasi dan lesi menjadi sembuh spontan.
Dalam hal ini tes trikopitin menunjukkan hasil yang positif dan
penyembuhan terhadap infeksi yang kedua kalinya menjadi lebih cepat.4
Selain reaksi hipersensitivitas tipe lambat, infeksi jamur juga dapat
menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe 1).3 Mekanisme imun
yang terlibat di dalam patogenesis infeksi jamur masih perlu diteliti lebih
jauh lagi. Penelitian yang baru menunjukkan bahwa munculnya respon
imun berupa reaksi hipersensitivitas tipe cepat (tipe I) atau tipe lambat
(tipe IV) terjadi pada individu yang berbeda. Antigen dari dermatofita
menstimulasi produksi IgE, yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas
tipe cepat, terutama pada penderita dermatofitosis kronik. Dalam
prosesnya, antigen dermatofita melekat pada antibodi IgE pada permukaan
sel mast kemudian menyebabkan cross-linking dari IgE. Hal ini dapat
menyebabkan terpicunya degranulasi sel mast dan melepaskan histamin
serta mediator proinflamasi lainnya.6
2.6. Gambaran Klinik
Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih
sering terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya
terdapat di daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.(6)
Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla
yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian
tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola
gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema
sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada
penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan
imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.(6)
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai
sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,
selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan
mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular.(1,5,7,10,11) berupa skuama,
krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya.
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya
merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya.(10)
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.(12)
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris. (7)
Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan
respon inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya,
pasien HIV-positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam
dan meluas. (7)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal
ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau
papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas,
skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis
lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan
bahu.(13)
2.7. Pemeriksaan Penunjang
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada
kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis.
Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat. (14)
Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan
merupakan pemeriksaan yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk
mendiagnosis infeksi jamur. (6)
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting
untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop
dimana terlihat hifa diantara material keratin.(5)
Gambaran effloresensinya sebagai berikut (6)
Penyakit jamur Floresensi
Tinea kapitis
Pitiriasis versikolor
Hijau, biru kehijauan
Kuning keemasan
Bukan Penyakit jamur Effloresensi
Eritasma
Obat tetrasiklin
Merah bata
Kuning
2.8. Diagnosis
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk
melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi
spesies jamur penyebab yang lebih akurat.(10)
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui
infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini
diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (14)
2.9. Diagnosis Banding
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan
dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea,(6,12) dan psoriasis.(6,7,12)
Untuk alasan ini, tes laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi
kulit yang tidak jelas penyebabnya. (6)
Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea
korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit
kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan
sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi,
yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut
juga sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat
pula menolong untuk menentukan diagnosis. (12)
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas,
tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea
korporis tanpa heral patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea
korporis. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. (12)
2.10. Penatalaksanaan
Tinea korporis dengan lesi yang tidak luas dapat digunakan terapi
topikal, untuk lesi yang luas dan dengan inflamasi yang berat diindikasikan
terapi oral. Obat topikal harus bisa penetrasi ke dalam kulit dan bertahan di
dalamnya untuk menekan jamur. Pemilihan terapi didasarkan pada tempat
dan luasnya infeksi, juga efikasi dan keamanan obat.
Agen antifungi oral untuk pengobatan dermatofitosis:11
Golongan Obat Dosis 4
Miscellaneous Griseofulvin Dewasa:Azoles Ketoconazole Fluconazole, 150
mg/mggTriazoles Itraconazole
Fluconazole Voriconazole
Itraconazole, 100 mg/hariTerbinafine, 250 mg/hariGriseofulvin, 500 mg/hari
Allylamines Terbinafine Anak-anak:Griseofulvin, 10-20 mg/kg/hariItraconazole, 5 mg/kg/hariTerbinafine, 3-6 mg/kg/hari
Agen antifungi topikal untuk pengobatan dermatofitosis: 11
Golongan Obat Morpholine derivatives Amorolfine
Allylamines and benzylamine derivatives
Naftifine, Terbinafine, Butenafine
Azole derivatives Bifonazole, butoconazole, clotrimazole, croconazole, eberconazole, econazole, fenticonazole, flutrimazole, isoconazole, ketoconazole, miconazole, omoconazole, oxiconazole, sertaconazole, sulconazole,terconazole, tioconazole.
Miscellaneous compounds Ciclopiroxolamine, griseofulvin, haloprogin, tolnaftate, Whitfield´s ointment, undecilenic acid.
A. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.(7)
Berikut obat yang sering digunakan :
1. Topical azol terdiri atas :
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-
alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur. (7,15)
2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen
2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses
pembentukan ergosterol membran sel jamur.(10) yaitu aftifine 1 %,
butenafin 1% Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang
mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari
berturut-turut.(7,15)
3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja
menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi
tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang
bersifat fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta
berspektrum luas.(7)
4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa
ditambahkan pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan
gejala. Tetapi steroid hanya diberikan pada beberapa hari pertama
dari terapi. (5,7)
B. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of
Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat
digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan
kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien
tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal. (15)
1. Griseofulvin (7,15)
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap
baku emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat
mitosis pada stadium metafase.
2. Ketokonazol (15)
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol (15)
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4) Itrakonazol (15)
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,
bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik
maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat
diminum bersama dengan makanan.
5. Amfosterin B (15)
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh
Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah
akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan
sebagai obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang
membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol.
C. KIE
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan
daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.
2.11. Prognosis
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau
allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik. (7)
2.12. Kesimpulan
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3)
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan
tidak berkembang pada jaringan yang hidup.(4) Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar
pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak pada didaerah tropis. (1)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal
ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau
papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas,
skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis
lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan
bahu.(13). Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau
allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik (7)
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and
dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.
2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus
involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine.
6th ed. New York: Mc graw hill, 2004.p:1908-2001.
3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL,
Raiini RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-
83.
4. Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL,
Ebling FJG, editors. Text book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell
scientific publication,1992. p.1148-9.
5. Habif TP. Clinacal dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004
6. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja
U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4
7. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2006 June 29; available
from; http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page
type=Article.htm
8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and
synopsis of clinical dermatology. Athed New York: Mc graw hill.1999.
9. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common
tinea infections. 1998 July 1, available from:
<http://www.afp.org/journal/asp/.htm>
10. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.
11. Allen Hb, Rippon JW. Superficial and deep mycoses. In : Moschella SL,
Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company,
1992. p.739-75
12. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI,
2002.p.92-3.
13. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential
of diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.
14. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis
superfisialis. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL,
Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta:
Balai penerbit FKUI, 2004.p.99-106.
15. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-
16.
LAPORAN KASUS
A. Anamnesis
1. Identitas
Nama : Ny.S
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Gedong, Karanganyar
Pekerjaan : Pegawai swasta
Tanggal Periksa : 19 Maret 2013
No. RM : 01086602
2. Keluhan Utama
Gatal di tubuhnya
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan gatal dirasakan pertama kali di daerah perut sejak ±1
tahun yang lalu. Pasien mengatakan terdapat bercak merah yang gatal.
Pasien sudah memeriksakan diri ke dokter kemudian diberi obat
minum. Obat yang diberikan oleh dokter tersebut adalah siproheptadin,
dexametason dan CTM. Selama ini pasien meminum obat-obat
tersebut, keluhan gatal berkurang namun bercak merah tidak
menghilang.
Kemudian keluhan juga dirasakan semakin meluas dan sejak 1
bulan yang lalu gatal juga dirasakan di daerah tangan kanan berupa
bercak kemerahan berbentuk lingkaran. Pasien juga mengeluh gatalnya
bertambah parah saat berkeringat. Berobat ke dokter umum dan diberi
obat yang sama. Pasien tidak mengeluhkan adanya demam sebelum
timbulnya penyakit gatal ini. Lalu pasien berobat ke RSDM.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
R. penyakit serupa : disangkal
R. alergi obat dan makanan : disangkal
R. sakit gula : disangkal
R. darah tinggi : disangkal
R. atopik : disangkal
5. Riwayat Keluarga
R. sakit serupa : disangkal
R. Alergi obat dan makanan : disangkal
R. sakit gula : disangkal
R. darah tinggi : disangkal
R. atopik : disangkal
6. Riwayat Pengobatan
Siproheptadin, dexametason, dan CTM
7. Riwayat Kebiasaan
Penderita mandi dua kali sehari dengan sabun padat, handuk
sendiri dan dengan air sumur. Penderita biasa ganti pakaian dua kali
sehari.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum : baik, compos mentis, gizi kesan cukup
b. Vital Sign : tidak dilakukan
c. Kepala : Mesocephal
d. Mata : Dalam batas normal
e. Hidung : Dalam batas normal
f. Mulut : Dalam batas normal
g. Wajah : Dalam batas normal
h. Leher : Dalam batas normal
i. Punggung : Lihat status dermatologis
j. Dada : Dalam batas normal
k. Gluteus dan anogenital : Dalam batas normal
l. Abdomen : Lihat status dermatologis
m. Ekstremitas atas : Lihat status dermatologis
n. Ekstremitas bawah : Dalam batas normal
2. Status Dermatologis
Regio antebrachii dextra :
terdapat patch eritem, batas tegas, central healing dan tepi
aktif
Regio mediana cubiti dextra et sinistra :
terdapat patch hiperpigmentasi, batas tegas, central healing
dan tepi aktif dengan skuama halus
Regio abdominalis :
tampak patch eritem, terdapat central healing dengan skuama
di atasnya
Regio thorax posterior :
terdapat patch eritema dengan skuama halus di atasnya
C. Diagnosis Banding
Tinea korporis
Psoriasis
D. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan pengambilan specimen dari lesi dan dilakukan pemeriksaan
KOH pada kerokan daerah pergelangan tangan dan perutnya. Dari hasil
pemeriksaan ditemukan adanya hifa.
E. Diagnosis Kerja
Tinea korporis
F. Terapi
a) Terapi Kasus
1. Medikamentosa
a. Sistemik : Cetirizine 1x10 mg
Griseofulvin 1x500 mg
b. Topikal : Miconazole cream, dioles 2 kali sehari
2. Non medikamentosa
a. Menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan
b. Mandi minimal 2x/hari dengan air bersih
c. Menjaga daerah lesi dari keringat atau keadaan yang lembab,
misalnya memakai pakaian dari bahan yang dapat menyerap
keringat dan longgar.
d. Pakaian yang basah karena keringat, segera diganti dengan
yang bersih dan kering.
e. Meminum dan menggunakan obat dengan teratur dan sesuai
petunjuk, jika keluhan hilang tetap kontrol ke dokter hingga
dinyatakan sembuh.
f. Mengganti pakaian dalam dengan teratur minimal 2 kali
sehari.
g. Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama.
h. Menjaga agar kuku tetap pendek.
b) Resep
R/ Betarhin tab mg 10 No. XIV
S 1 dd tab I
R/ Fulcin tab mg 500 No. XIV
S 1 dd tab I p.c
R/ Moladerm krim g 10 No. I
S u.e mane et vespere
Pro : Ny. S (42 th)
c) Prinsip Terapi
Pemilihan terapi didasarkan pada tempat dan luasnya infeksi, juga
efikasi dan keamanan obat.
Tinea korporis dengan lesi yang tidak luas dapat digunakan terapi
topikal.
Tinea korporis dengan lesi yang luas dan dengan inflamasi yang
berat diindikasikan terapi oral.
Terapi simtomatis dapat diberikan sesuai keluhan pasien.
Menghilangkan faktor predisposisi penting.
d) Pembahasan Obat
Griseofulvin
Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan anti jamur yang berssifat fungistatik,
berikatan dengan protein mikrotubular dan menghambat
mitosis sel jamur.
Aktifitas spectrum
Griseofulvin mempunyai aktifitas spectrum yang terbatas
hanya untuk spesies Epidermophyton floccosum, Microsporum
spesies, dan Trichophyton spesies, yang merupakan penyebab
infeksi jamur pada kulit, rambut, dan kuku. Griseofulvin tidak
efektif terhadap kandidiosis kutaneus dan pitiriasis versikolor.
Farmakokinetik
Pemberian Griseofulvin secara oral denga dosis 0,5-1 gram,
akan menghasilkan konsentrasi puncak plasma sebanyak 1
mikrogram/ml dalam waktu 4 jam dan level dalam darah yang
bervariasi. Griseofulvin mempunyai waktu paruh di dalam
plasma lebih kurang 1 hari, dak 50% dari dosis oral dapat
dideteksi dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan
dalam bentuk metabolit.
Griseofulvin sangat sedikit diabsorbsi dalam keadaan perut
kosong. Mengkonsumsi Griseofulvin bersama dengan
makanan berkadar lemak tinggi, dapat meningkatkan absorbs
mengakibatkan level Griseofulvin dalam serum akan lebih
tinggi. Ketika diabsorbsi, Griseofulvin pertama kali akan
berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan
ditentukan dengan plasma free concentration. Selanjutnya
menyebar melalui cairan transepidermal dan keringat dan akan
dideposit di sel precursor keratin kulit (stratum korneum) dan
terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang
terinfeksi, akan digantikan dengan lapisan keratin baru yang
lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian
Griseofulvin secara oral akan mencapai stratum korneum
setelah 4-8 jam.
Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-desmethyl
Griseofulvin, dan akan diekskresikan melalui urin. Eliminasi
waktu paruh 9-21 jam dan kiurang dari 1% dari dosis akan
dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.
Dosis
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk, yaitu mikrosize
(mikrokristallin) dan ultramikrosize (ultramikrokristallin),
penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali dibandingkan
dengan bentuk mikrosize.
Dosis Griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu 500-1000
mg/hari (mikrosize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375
mg/hari (ultramikrosize) dosis tunggal atau terbagi. Anak-anak
>12 tahun 10-15 mg/kgBB/hari mikrosize, dosis tunggal atau
terbagi dan 5,5-7,3 mg/kgBB/hari (ultramikrosize) dosis
tunggal atau terbagi. Lama pengobatan untuk tinea korporis
dan kruris selama 2-4 minggu, untuk tinea kapitis paling
sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8
minggu, dan untuk tinea unguinum selama 3-6 bulan.
Efek Samping
Efek samping Griseofulvin biasanya ringan berupa sakit
kepala, mual, muntah, dan sakit pada abdomen. Timbulnya
reaksi urtikaria dan erupsi dapat terjadi pada sebagian pasien.
Interaksi obat
Absorbsi Griseofulvin menurun jika diberikan dengan
fenobarbital, tetapi efek tersebut daoat dikurangi dengan cara
mengkonsumsi Griseofulvin bersama makanan. Griseofulvin
juga dapat menurunkan efektifitas warfarin yang merupakan
antikoagulan.
Mikonazol
Mikonazol merupakan obat golongan azol-imidazol yang
bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat sintetis
ergosterol jamur yang mengakibatkan timbulnya defek pada
membrane sel jamur. Golongan ini memiliki kemampuan untuk
mengganggu kerja enzim sitokrom P-450 lanosterol 14-
demethylase yang berfungsi sebagai katalisator untuk mengubah
lanosterol menjadi ergosterol.
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,
pitiriasis versikolor, dan kandidiasis oral, kutaneus dan genital.
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan mikonazol
krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi
pasien, biasanya 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.
Cetrizine
Cetirizine adalah antihistamin selektif, antagonis reseptor-
H1 perifer yang memiliki efek sedative yang rendah pada dosis
aktif dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti alergi. Cetrizine
bekerja dengan menghambat pelepasan histamine pada fase awal
dan mengurangi migrasi sel inflamasi. Dosis cetrizine pada dewasa
dan anak > 12 tahun adalah 10 mg/hari.
G. Prognosis
Ad vitam : baik
Ad sanam : baik
Ad fungsionam : baik
Ad kosmetikam : baik