TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN...

71
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Dalam Hukum Pidana Islam Pada Fakultas Syari’ah Oleh : YASIR ARAFAT NIM. SHP.612208 HUKUM PIDANA ISLAM FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI 1441 H / 2020

Transcript of TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN...

  • TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN

    JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA

    Skripsi

    Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat

    Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)

    Dalam Hukum Pidana Islam

    Pada Fakultas Syari’ah

    Oleh :

    YASIR ARAFAT

    NIM. SHP.612208

    HUKUM PIDANA ISLAM

    FAKULTAS SYARIAH

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

    SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI

    1441 H / 2020

  • MOTTO

    ۚ ۚ َوََل تَِزُر َواِزَرةٌ ِوْزَر أُْخَرٰى َوََل تَْكِسُب ُكلُّ نَْفٍس إَِلا َعلَْيَها

    Artinya: ‘’Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya

    kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan

    memikul dosa orang lain.’’ (Al-An’am (6):164).

  • PERSEMBAHAN

    Skripsi ini saya persembahkan kepada:

    Ayah dan Ibu

    Husnussapawi (alm) dan Darusiah

    Yang slalu menjadi penyemangat hidupku. Semoga ketulusan Ayah dan

    Ibu

    Diridhoi oleh Allah SWT. Dengan balasan Surga-Nya

    Bapak dan Ibu Guru (Ustadz dan Ustadzah)

    Ust. H. Abu Mansyur AL-Maturidi, Ust. A. Farid Wajdi sebagai

    orangtua dan guruku

    Yang selalu menjadi inspirasi ku

    Seluruh ustadz dan ustadzah Ma’had al-Jami’ah dan dosen UIN

    tercinta

    Jazakumullahu khairan katsiron

    Kakak dan Adikku beserta keluarga besarku

    Ayuk mun, Uni Min (alm) abang Affan, Ayuk Zahratul Hayat, uda Zul

    fikar, abang angkatku M. Abbas, Adik Putri Novrianti Jannah, Adik

    Umar Ibnu Khattab, Adik Ali Murtado, serta keluarga besar Bawah

    Bukit

    Sahabat-Sahabat Ku

    Akhy dan Ukhty

    Lembaga Pengurus Asrama Ma’had al-Jami’ah (La_PASMA)

    Sahabat seperjuangan Demisioner 07 La_PASMA

    Al-Akh2 (Yunus, Miftah, Yani, Rusly, Nov, Fahri, Halim, Naza,

    Arnindio,Faisal, Andri, Seh, Hendri, Asnan, Ikhwal, Asep, Andrio dll)

    Akhy Habibi, saudara Rendi Pratama (Tulen)

    Sahabat seperjuangan Jurusan Hukum Pidana Islam ‘’16

    Kanti-kanti dari Batang Asai

    Sahabat KKN gelombang III posko 09 , serta yang terlibat dalam masa

    perkuliahan

    Semoga kalian diberikan kebahagian Dunia dan Akhirat

    Amin Ya Rabbal ‘Alamin

  • I

    ABSTRAK

    Skripsi ini membahas pembunuhan oleh pelaku dengan gangguan jiwa alias gila

    sering terjadi namun tidak semua orang mengetahui sanksinya baik dalam hukum

    Islam maupun hukum pidana. Maka skripsi ini akan membahas permasalahan

    tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk gangguan jiwa, bentuk

    pertanggungjawaban pidana serta pandangan hukum terhadap tindak pidana yang

    dilakukan oleh penderita gangguan jiwa, menurut hukum Islam dan hukum

    pidana. Berdasarkan penelitian tentang hukum pembunuhan oleh pelaku dengan

    gangguan jiwa ditinjau dari hukum islam, maka pelaku pembunuhan dengan

    gangguan jiwatidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena

    akalnya tidak sehat danbebas dari hukum menurut Madzhab Hanafiyah dan

    Malikiyah. Sedangkan menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, gila yang

    muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik sebelum atau setelah proses

    pengadilan, gila yang semacam ini tetap wajib dihukum. Dalam hukum pidana

    maka pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa terbebas dari hukuman sebab

    kegilaaannya.Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab

    Undang-Undang Hukum Pidana). Dari hasil penelitian tersebut demi

    terlaksananya asas-asas hukum pidana maka diperlukan satu pemahaman yang

    mendalam bagi penegak hukum dalam menjalankan satu konsep

    pertanggungjawaban pidana berkenaan dapat tidaknya dipidana seseorang yang

    melanggar.

    Key Word: Gangguan Jiwa, Pertanggungjawaban, Tindak Pidana

  • II

    KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah tuhan sekalian alam, karena berkat rahmat-Nya

    penulis mendapat kekuatan dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini.

    Sholawat serta salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad

    SAW beserta keluarga, sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman..

    Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat

    menyelesaikan skpripsi ini. Adapun maksud penulisan skripsi ini untuk memenuhi

    syarat guna mencapai gelar kesarjanaan Fakultas Syari’ah Jurusan Hukum Pidana

    Islam UIN STS Jambi. Sebagai perwujudan dan ketetapan tersebut penulis

    menyusun skripsi ini dengan judul. ”Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

    Gangguan Jiwa dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana”.

    Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa dengan adanya

    bantuan, bimbingan, dorongan dan petunjuk dari semua pihak, maka penulisan

    skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

    tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya terutama kepada yang

    terhormat:

    1. Bapak Prof. Dr. H. Suaidi Asyari, Ph. D. Rektor UIN STS Jambi.

    2. Bapak Dr. Sayuti Una, S.Ag.,MH Dekan Fakultas Syari’ah

    3. Bapak Agus Salim, S.TH,I.,MA.,M.IR.,Ph.D. Selaku Wakil Dekan I

    4. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH. Selaku Wakil Dekan II

    5. Bapak Dr. H. Ishaq, SH.,M.Hum. Selaku Wakil Dekan III

    6. Ibu Dr. Robiatul Adawiyah SHI.,MHI Ketua jurusan dan bapak Devrian Ali

    Putra, MA.Hk sekretaris Jurusan Hukum Pidana Islam

  • III

    7. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH Pembimbing I dan Ibu Nuraida

    Fitrihabi, S.Ag.,M.Ag Pembimbing II

    8. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan/karyawati

    Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.

    9. Mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam dan mahasiswa Bidik Misi.

    10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung

    maupun tidak langsung.

    11. Kedua orangtua dan keluarga penulis yang selalu memberikan semangat dan

    do’a terbaik kepada penulis

    Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis

    mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT

    membalasnya. Akhirnya penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi

    kita semua.

    Jambi, 25 Januari 2020

    Penulis,

    YASIR ARAFAT

    NIM. SHP 162208

  • IV

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL

    LEMBAR PERNYATAAN

    PERSETUJUAN PEMBIMBING

    PENGESAHAN PANITIA UJIAN

    MOTTO

    PERSEMBAHAN

    ABSTRAK...............................................................................................................I

    KATA PENGANTAR……………………………………………..……….........II

    DAFTAR ISI…………………………………………………………………….IV

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....1

    B. Rumusan Masalah…………………………………………..….........5

    C. Batasan Masalah……………………………………...……………..5

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................5

    E. Kerangka Teori……………………………………………………...6

    F. Tinjauan Pustaka… .................................................................. …..9

    BAB II : METODE PENELITIAN

    A. Pendekatan Penelitian.......................................................................11

    B. Jenis Penelitian..................................................................................11

    C. Jenis dan Sumber Data......................................................................11

    D. Metode Pengumpulan Data............... ………………………….…..12

    E. Metode Analisis Data........................................................................13

    F. Sistematika Penulisan........................................................................14

    BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA

    PEMBUNUHAN DAN GANGGUAN JIWA

    A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan .................................... ….16

    1. Tindak Pidana………………………………………………….16

    2. Pembunuhan……………………………………………………18

  • V

    B. Pengertian Gangguan Jiwa…………………………………………..24

    BAB IV:ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN

    GANGGUAN JIWA MENURUT HUKUM ISLAM DAN

    HUKUM PIDANA

    A. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam dan

    hukum pidana……...…………. ... ………………….…………..….32

    1. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam.....................33

    2. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum pidana…..…….... 34

    B. Pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak

    pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa……..............38

    1. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembunuhan dengan

    Gangguan Jiwa……………………………………………..….….39

    2. Pandangan Hukum Pidana Terhadap Pembunuhan Dengan

    Gangguan Jiwa…………………………………….………..........42

    C. Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

    pidana pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum

    Islam dan hukum pidana………………………………………..……44

    1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana…….……………...........44

    2. Hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidan………....45

    3. hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana………..….46

    4. Bentuk pertanggungjawaban pidana dalam Hukum Islam ..…….47

    5. Bentuk pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana…..….48

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan………………………………………………………...52

    B. Saran……………………………………………………………….54

    C. Penutup…………………………………………………………….55

    DAFTAR PUSTAKA

    CURRICULUM VITAE

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pembunuhan oleh orang gila merupakan penomena yang lumrah

    terjadi di masyarakat dengan bermacam kasus dan karateristik. Pemberitaan

    tentang hal tersebut kemungkinan membangkitkan emosi yang kuat dan

    menimbulkan pertanyaan apakah disanksi ataukah tidak. Sebagai contoh kasus

    yang terjadi pada awal 2018 yakni komandan Persatuan Islam (Persis) ustadz

    Prawoto dianiaya Asep Maftuh yang tak lain tetangganya sendiri. Prawoto

    meninggal dunia akibat insident tersebut.

    Seiring dengan perkembangan zaman, kejahatan yang semakin

    meningkat dan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat tentu hal ini menjadi

    permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, sehingga pemerintah (negara)

    sebagai pelindung dan pelayanmasyarakat menindaklanjuti kejahatan tersebut,

    kemudian oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk ditindak.

    Dalam Islam ada dikenal istilah Syari’at (aturan Allah) yaitu

    hukumyang abadi dan berlaku sepanjang masa. Dalam kurun waktu yang panjang,

    sejak dimulai diturunkannya agama Islam sampai akhir masa pemerintahan Turki

    Usmani, syari’at Islam bagaikan cahaya yang menyinari dan menerangi jalannya

    kaum muslimin, dan menunjukkan kepada mereka jalan kebenaran dan

    keadilan.Pada saat itu syari’at Islam dipelajari dengan antusias, dan ditetapkan

    oleh

  • 2

    pemerintah, sehingga tidak ada satu pun perundang-undangan didunia ini yang

    mengunggulinya.1

    Dalam hukum Islam, kejahatan didefinisikan sebagai larangan-larangan

    hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang

    ditentukan-Nya. Larangan hukum berarti melakukan suatu perbuatan yang

    dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan

    demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat.

    Dengan kata lain, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang

    membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.2Jadi

    kejahatan ataupun tindakan kriminal sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam

    maupun hukum pidana, seperti pencurian, perampokan, perkosaan, penipuan,

    pemalsuan, pembunuhan dan lain sebagainya yang dapat merugikan oranglain.

    Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam

    penanggulangan kejahatan. Penanggulangan segala bentuk tindakan kriminal

    dapat dilakukan dengan cara pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).

    Cara preventif adalah cara penanggulangan dengan pola mencegah, seperti

    himbauan atau penyuluhan. Cara represif adalah cara penaggulangan dengan pola

    keras, seperti penagkapan dan pemenjaraan samapai dengan penembakan atau

    pembunuhan.3

    Jenis-jenis sanksi yang diterapkan kepada pelaku tindak pidana dapat

    dilihat dalam hukum pidana positif di Indonesia, dalam Pasal 10 KUHP yaitu:

    1Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta Timur:

    Diadit Media, 2007), hlm. 1. 2Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press,

    2003), hlm. 20. 3Kun Maryati, Jujun Suryawati, Sosiologi Jilid3 ( ESIS, tanpa tahun ), hlm. 22

  • 3

    1). Pidana pokok, yang terdiri dari: Pidana mati, pidana kurungan, pidana penjara,

    pidana dendadan pidana tutupan. 2). Pidana tambahan, yang terdiri dari :

    pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan

    pengumuman keputusan hakim.4

    Berkaitan dengan hukuman, dalam hukum pidana Indonesia

    pembunuhan diatur dalam KUHP Pasal 338-350. Pada Pasal 338 KUHP

    menyatakan bahwa : Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

    karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.5

    Adapun berkaitan dengan hukum pidana, dalam hukum pidana Islam dikenal

    dengan nama jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu

    larangan-larangan syara‘ yang diancam oleh Allah dengan hukum hadd atau

    ta‘zir.6 Dengan demikian, jarimah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hukum

    had, dan hukum ta’zir. Sebagai suatu dasar hukum, didalam hukum pidana Islam

    mengenai pembunuhan diatur dalam Al- Qur’an ditegaskan bahwa:

    ُ إَِلَّ بِاْلَحق ِ َم َّللاَّ َوََل تَْقتُلُوا النَّْفَس الَّتِي َحرَّArtinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

    (membunuh) nya, melainkan dengan suatu alasan yang haq”.7

    Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dalam melakukan

    pembunuhan, tindak pidana dalam syari’at islam dapat di klarisifikasi atau

    dikelompokkan menjadi : Amd (disengaja) khata’ (tidak di sengaja), dan syibhu

    4Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 5 5Ibid , hlm. 6 7Al-Isra’ (17) : 33

  • 4

    amd (semi sengaja).8 Pembunuhan disengaja, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh

    seseorang dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan alat,

    yaitu benda atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh. Perbuatan yang

    disengaja dilakukan seseorang dengan tujuan mendidik misalnya guru

    memukulkan penggaris ke kaki seorang muridnya, tiba-tiba muridnya yang

    dipukul itu meninggal, perbuatan guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan

    sybhu amdi (semi disengaja). Seseorang menebang pohon tiba-tiba pohon yang

    ditebangnya tumbang menjatuhi orang yang lewat dengan tiba-tiba lalu

    meninggalm perbuatan orang tersebut dikatakan sebagai pembunuhan yang tidak

    disengaja.9

    Dengan demikian tentang jarimah ini, ada suatu fenomena yang

    menarik untuk dipelajari yaitu tindak pidana pembunuhan dalam keadaan

    gangguan jiwa (gila). Sebenarnya bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum

    pidana terhadap tindak kriminal, seperti pembunuhan, yang dilakukan oleh orang

    gila. Apakah hukum Islam dan hukum pidana juga akan berlaku bagi orang gila

    yang terbukti melakukan tindakan kriminal.

    Dari uraian diatas terkait mengenai sanksi hukum pembunuhan yang

    disebabkan oleh orang dengan gangguan jiwa perlu pemahaman yang mendalam,

    apakah dikenakan sanksi atau tidak, maka penulis merasa tertarik untuk

    melakukan penelitan ini dengan judul: ‘’Tindak Pidana Pembunuhan Dengan

    Gangguan Jiwa Dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana’’.

    8Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,

    2006), hlm. 125 9Ibid., hlm. 126

  • 5

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan dari latar belakang di masalah yang telah diuraikan

    sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum

    pidana?

    2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak

    pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa?

    3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana

    pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum pidana?

    C. Batasan Masalah

    Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan

    mendalam maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat

    perlu dibatasi variabelnya. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan

    dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila dalam

    pandangan hukum Islam dan hukum pidana saja.

    D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya,

    maka dalam penelitian ini ditetapkan beberapa tujuan penelitian, yaitu:

    1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukumIslam dan

    hukum pidana.

    2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak

    pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa.

  • 6

    3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak

    pidana pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum

    pidana.

    Sedangakan kegunaan atau manfaat dari penelitian ini secara umum

    adalah untuk memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait dalam

    penyelesaian kasus pembunuhan dengan gangguan jiwa.

    E. Kerangka Teori

    Untuk menganalisis permasalahan yang ada dalam skripsi ini, maka

    teori yang di pakai adalah teori pertanggungjawaban, teori unsur

    pertanggungjawaban dan teori penyelidikan. Berikut penjelasannya dari masing-

    masing ketiga teori tersebut.

    1. Teori Pertanggungjawaban

    Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus

    hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas

    yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang

    bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara

    aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang

    menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal

    yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,

    keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab

    atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,

    istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat

  • 7

    akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

    menunjuk pada pertanggungjawaban politik.10

    Dalam hukum pidana terhadap seseoraang yang melakukan pelanggaran

    atau suatu perbuatan tindak pidana maka dalam pertanggungjawaban diperlukan asas-

    asas hukum pidana. Salah satu asas hukum pidana adalah asas hukum nullum

    delictum nulla poena sine pravia lege atau yang sering disebut dengan asas legalitass,

    asas ini menjadi dasar pokok yang tidak tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang

    yang telah melakukan perbuatan pidana “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.

    Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan

    yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta

    pertanggunngjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau

    melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Maksud

    dari hal tersebut adalah seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban

    apabila perbuatan itu memang telah diatur, tidak dapat seseorang dihukum atau

    dimintakan pertanggungjawabannya apabila peraturan tersebut muncul setelah

    adanya perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak

    boleh menggunakan kata kias, serta aturan-aturan hukum pidana tersebut tidak

    berlaku surut.

    2. Teori Unsur Pertanggungjawaban

    a) Mampu bertanggung jawab. Pertanggungjawaban (pidana) menjurus

    kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana

    10 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),

    hlm. 335-337

  • 8

    dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-

    undang.

    b) Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian

    telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang

    dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung

    jawab.

    c) Tidak ada alasan pemaaf. Hubungan petindak dengan tindakannya

    ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia

    menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat

    mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan

    dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Tiada terdapat “alasan

    pemaaf”, yaitu kemampuan bertang gungjawab, bentuk kehendak dengan

    sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan

    pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan.11

    3. Teori Penyelidikan

    Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP bahwa

    penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan

    menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan

    dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam

    undang-undang.12

    11 http://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-

    pidana.html. Akses 6 Maret 2020 12 Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 230

    http://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-pidana.htmlhttp://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-pidana.html

  • 9

    F. Tinjauan Pustaka

    Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penulisan terdahulu

    (penulisan-penulisan lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fokus/tema

    yang diteliti. Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa

    penulisan mengenai tindak pidana pembunuhan dalam keadaan gangguan jiwa

    yang sebelumnya pernah diteliti. Diantaranya ialah sebagai berikut:

    Pertama ialah Idham Suryansyah, yang berjudul ‘’Tinjauan Yuridis

    Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang Mempunyai Gangguan Kejiwaan’’. Dalam

    tulisannya tersebut ia memaparkan tentang langkah-langkah yang dilakukan

    penyidik untuk mengetahui pelaku kejahatan mempunyai gangguan kejiwaan dan

    proses hukum setelah ditetapkan mempunyai gangguan kejiwaan13 saja. Dalam

    tulisannya tidak disebutkan tentang sanksi hukumnya menurut hukum Islam dan

    hukum positifnya.

    Kedua, ialah Adriesti Herdaethayang berjudul ‘’Pertanggungjawaban

    Criminal Orang dengan Gangguan Jiwa.’’Dalam tulisannya tersebut ia

    memaparkan tentang hubungan antara gangguan jiwa dan perilaku kriminal serta

    meninjau kelapangan tentang seseorang yang gangguan jiwa.14Namun dia tidak

    membahas tentang sanksinya dalam hukum Islam dan hukum positif.

    Ketiga, ialah Nike Rosdiyanti yang berjudul ‘’Status

    Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita Gangguan Mental Kategori

    Keprebadian Antisosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam,’’ tulisannya

    13Idham Suryansyah, ’Tijauan Yuridis Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang Mempunyai

    Gangguan Kejiwaan,’’ UIN Alauddin Makassar, (2017), hlm.67-68 14Adriesti Herdaetha,’’ Pertanggungjawaban Criminal Orang Dengan Gangguan Jiwa’’,

    Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2014), hlm.7

  • 10

    yaitu tentang pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana

    bagi penderita gangguan mental kategori keprebadian antisosial serta perbedaan

    dan persamaan status pertanggungjawabannya dalam hukum positif dan

    islam.15Dia hanya mengkaji gangguan mental anti social namun tidak secara

    umum.

    Keempat, ialah tulisan Rofi Irson yang berjudul ‘’Tindak Pidana

    Pembunuhan Dalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif Menurut Hukum Islam

    dan Hukum Pidana’’dalam tulisannya tersebut, ia memaparkan tentang

    pembunuhan oleh orang mabuk dalam hukum Islam dan hukum pidana16, yang

    mana kajian ini sama-sama pembunuhan oleh orang yang hilang akalnya, namun

    berbeda antara sebabnya yakni mabuk dan gila.

    Perbedaan penelitian saya dengan penelitian di atas diantaranya

    adalah, bahwa penelitian sebelumnya hanya membahas tentang langkah penyidik

    mengetahui pelaku mempunyai gangguan jiwa, hubungan gangguan jiwa dengan

    kriminal, pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana bagi

    penderita gannguan mental kategori keprebadian antisosial serta membunuh

    dalam keadaan mabuk (orang yang hilangakalnya), namun saya akan membahas

    tindakan hukum Islam dan hukum pidana terhadap pembunuhan dengan gangguan

    jiwa, serta bentuk-bentuk pertanggungggjawaban pidana dan gangguan jiwa yang

    seperti yang dikenakan sanksi dalam hukum Islam dan hukum positif.

    15Nike Rosdiyanti‘’ Status Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita

    Gangguan Mental Kategori Keprebadian Anti Social Perspektif Hukum Positif Dan Hukum

    Islam’’, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, (2017), hlm. 96-97 16Rofi Irson,’’Tindak PidanaPembunuhanDalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif

    MenurutHukum Islam Dan Hukum Pidana’’, UIN STS, Jambi, (2017), hlm.74

  • 11

    BAB II

    METODE PENELITIAN

    Penelitian hukum pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan

    ilmiah dalam rangka pemecahan suatu masalah.17Setiap penulisan karya ilmiah

    harus memakai suatu metode, karena metode merupakan suatu instrumen yang

    penting agar suatu penelitian dapat terlaksana dan terarah sehingga tercapai hasil

    maksimal.

    A. Pendekatan Penelitian

    Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan normatif yuridis , karena

    yang akan di teliti adalah aturan hukum bagi pelaku pembunuhan dengan

    gangguan jiwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan aturan hukum

    yang tercantum dalam kitab fiqh jinayah. Pendekatan perundang-undangan

    (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan

    regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang di tangani.18

    B. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library

    research), yaitu penelitian yang menekankan sumber informasi dari buku-buku

    hukuk, jurnal, dan menelaah dari berbagai macam literatur-literatur dan pendapat

    yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang di teliti.

    C. Jenis Dan Sumber Data

    Dalam menyelesaiakan skiripsi ini, penulis melakukan penelitian

    kepustakaan (library research), maka sumber data atau informasi yang menjadi

    17 Saifuddin Azwar, Metode Penulisan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 1. 18Ishaq, Metode Penelitian Hukum, (Bandung:Alfabeta, 2017) ,hlm. 250

  • 12

    data baku penulis, untuk diolah merupakan data yang berbentuk data primer, data

    sekunder, dan data tersier.

    1) Data primer

    Data primer adalah data pokok yang diperlukan dalam penelitian,

    yang yang diperoleh langsung dari sumbernya atau keseluruhan data hasil

    penelitian yang diperoleh dilapangan.19 Sumber utama adalah al-Qur’an dan

    undang undang atau hukum pidana yang berkaitan dengan kaitannya dengan judul

    penelitian.

    2) Data sekunder

    Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung

    yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.20 Data inilah yang

    nantinya akan menjadi sumber utama penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

    3) Data tersier

    Data tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan lebih

    lanjut terhadap bahan-bahan primer dan bahan sekunder yaitu berupa kamus

    hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab, kamus bahasa Inggris dan

    kamus-kamus yang lain.

    D. Metode Pengumpulan Data

    Ada beberapa jenis alat pengumpulan data, salah satunya yaitu studi

    kepustakaan/studi dokumen. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data

    yang berguna bagi penulisan penelitian (skripsi/tesis/disertasi) berupa teori-teori

    19Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi (Jambi:Syariah Press,2012),

    hlm. 45. 20Ibid., hlm. 46

  • 13

    hukum, asas-asas, doktrin dan kaidah hukum yang di dapat dari bahan hukum

    sekunder, dan bahan hukum tersier.

    Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan melakukan

    serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan membaca, mengutip buku-buku,

    serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen, dan informasi yang ada

    hubungannya dengan penelitian yang di lakukan.21

    E. Metode Analisis Data

    Analisis data menurut Sugiono adalah proses mencari dan menyusun

    secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan

    dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori,

    menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,

    memilih mana yang penting dan yang akan dielajari, dan membuat kesimpulan

    sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun oranglain.22

    Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data-data tersebut

    dianalisis. Untuk mengadakan penarikan kesimpulan dari suatu penelitian, harus

    berdasar pada hasil pengolahan dan harus selaras dengan jenis data-data yang ada.

    Dalam metode analisa data ini penulis menggunakan cara yaitu

    analisa data kualitatif, oleh karenanya penelitian yang dilakukan adalah penulisan

    kualitatif.23

    21Ishaq..,hlm. 115 22Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung; Alfabeta,

    2009), Cetakan ke 7, hlm. 244 23Soejono, Metode Penelitan Hukum, (Jakarta: P.T Rineka Cipta, 1997), hlm. 23.

  • 14

    F. Sistematika Penulisan

    Penyusun skripsi ini terbagi kepada lima bab, antar babnya ada yang

    terdiri dari sub-sub bab. Masing- masing bab membahas permasalahan tersendiri,

    tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Untuk

    memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan jelas mengenai

    pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan sistematika dengan membagi

    pembahasan sebagai berikut:

    Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang

    masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori,

    tinjauan pustaka.

    Bab dua, berisikan tentang metode penelitian, yakni mengenai

    penedekatan penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode

    analisis data, sistematika penulisan.

    Bab ketiga,menguraikan tentang gambaran umum yang berisi tindak

    pidana pembunuhan, pengertian tindak pidana pembunuhan, dasar hukum tindak

    pidana pembunuhan menurut hukum islam, jenis-jenis tindak pidana

    pembunuhan, pengertian gangguan jiwa menurut hukum Islam, pengertian

    gangguan jiwa menurut hukum Pidana ( KUHP), ketentuan hukum bagi orang

    yang gangguan njiwa.

    Bab keempat, menguraikan analisis tindak pidana pembunuhan dengan

    gangguan jiwa menurut hukum Islam yang berisikan, bentuk-bentuk mabuk yang

    tidak dikenakan sanksi dalam hukum Islam dan hukum pidana, bentuk

    pertanggungjawaban terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan

  • 15

    gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum pidana, dan analisis

    perbandingan.

    Bab kelima penutup, pada bab ini diuraikan kesimpulan, saran, dan

    penutup.

  • 16

    BAB III

    TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

    DENGAN GANGGUAN JIWA

    A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

    1. Tindak Pidana

    Tindak pidana banyak sekali pengertiannya menurut beberapa ahli

    hukum pidana, sebab mereka memandang dari sisi yang berbeda-beda sehingga

    menimbulkan banyak pendapat. Salah satu buku yang mengemukakan pendapat

    ahli hukum tentang tindak pidana adalah buku karangan Agus Rusianto yang

    berjudul Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana. Ia mengutip beberapa

    pendapat ahli hukum. Diantaranya pendapat ahli hukum tersebut adalah menurut

    Ultrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada

    seseorang pembuat yang bertanggung jawab atas kelakuannya. Kemudian

    menurut Simon bahwa tindak pidana mempunyai unsur unsur: Diancam oleh

    pidana dengan hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang

    bersalah, dan orang itu dipandang bertangggungjawab atas perbuatannya.24

    Kemudian menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana

    merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah

    suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian

    terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan

    definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana

    dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,

    24Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana,Cet. Kesatu (Jakarta:

    Kencana, 2016), hlm. 3

  • 17

    sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan

    pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.25

    Kemudian Teguh Prasetyo mennjelaskan secara rinci lagi bahwa

    Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-

    gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak

    berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak

    pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang didalam

    undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini

    mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila

    akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melapor, maka dia dapat dikenakan

    sanksi. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana adalah perbuatan

    yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana

    pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif ( melakukan

    sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif

    ( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).26Berkaitan

    dengan tindak pidana (Jarimah dalam Islam diartikan sebagai suatu larangan

    syara‘ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada

    nash nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).27

    25Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta :Bina Aksara,1987), hlm. 37 26Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015),

    hlm. 50. 27A. Hanafi, Asaz-Asaz Hukum Pidana Islam, Cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),

    hlm. 1

  • 18

    2. Pembunuhan

    Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang

    dan/ atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang

    meninggal dunia. Jarimah pembunuhan juga dapat diartikan sebagai suatu tindak

    pidana yang melanggar syara’ karena pelanggaran hukum hadatau ta‘zir baik

    didahului dengan unsur-unsur pembunuhan sengaja dengan suatu perencanaan

    ataupun tidak didahuluisuatu perencanaan.28Selain itu, pengertian jarimah

    pembunuhan dapat pula diartikan sebagai tindak pidana pelanggaran terhadap

    syara’ karena baikpelanggaran hukum had atau ta‘zir yang diberikan sanksi bagi

    pembunuhan sengaja yaitu pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash.29

    Berkaitan dengan jarimah pembunuhan, maka dapat ditegaskan

    bahwa pengertian jarimah pembunuhan dapat diartikan sebagai suatu larangan

    syara’yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada

    nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya) baik didahului dengan

    unsur-unsur pembunuhan dengan suatu perencanaan ataupun tidak didahului

    suatu perencanaan dimana bagi pembunuhan sengaja pelakunya wajib dijatuhi

    hukuman qishash. Tak ada agama di dunia ini yang memandang hidup manusia

    sedemikian kudusnya sehingga membunuh satu orang dianggap membunuh

    semua orang, dan siapapun yang menyelamatkan hidup seseorang seolah-olah

    telah menyelamatkan hidup semua umat manusia.30

    28Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, (Jakarta: Rineka Cipta.

    2004), hlm. 83. 29Muhammad Rodhi, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Pidana Islam dan

    HukumPidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 123. 30Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: R.Cipta,1992), hlm. 18.

  • 19

    Tindak pidana membunuh seorang muslim merupakan hal yang

    sangat mengerikan, sehingga bahkan setelah dihukum had pun, si pelaku masih

    akan disiksa dalam neraka, dimurkai dan dilaknat oleh Allah SWT.31

    Sebagai mana yang telah dijelaskan didalam al Qur’an sebagai berikut:

    ُ َعلَْيِه َولَعَنَهُ دًا فََجَزاُؤهُ َجَهنَُّم َخاِلدًا فِيَها َوَغِضَب َّللاَّ َوَمْن يَْقتُْل ُمْؤِمنًا ُمتَعَم ِ

    َوأََعدَّ لَهُ َعذَابًا َعِظيًماArtinya:’’Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja

    maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah

    murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang

    besar baginya.32

    Dapat kita lihat bahwa al-quran sangat melarang dan mengancam

    pelaku pembunuhan dengan ancaman neraka jahannam dan mereka kekal

    didalamnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.

    a). Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Islam

    Pembunuhan dalam Islam didasarkan pada beberapa keterangan nash

    Al-Qur’an dan hadis di bawah ini :

    1) Al-quran surah Al-Baqarah ayat 178

    ۖ اْلُحرُّ بِاْلُحر ِ يَا أَيَُّها الَِّذيَن آَمنُوا ُكتَِب َعلَْيُكُم اْلِقَصاُص فِي اْلقَتْلَى

    ۖ فََمْن ُعِفَي لَهُ ِمْن أَِخيِه َشْيٌء فَات ِبَاعٌ َواْلعَْبدُ بِاْلعَْبِد َواْْلُْنثَٰى بِاْْلُْنثَٰى

    ۖ ِلَك تَْخِفيٌف ِمْن َرب ُِكْم َوَرْحَمةٌ ۖ ذَٰ بِاْلَمْعُروِف َوأَدَاٌء إِلَْيِه بِإِْحَساٍن

    ِلَك فَلَ هُ َعذَاٌب أَِليمٌ فََمِن اْعتَدَٰى بَْعدَ ذَٰArtinya:’’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu

    qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang

    31Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam..., hlm. 20. 32An-Nisa’ (4) : 93

  • 20

    merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan

    wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat

    suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang

    memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah

    (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi

    maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah

    suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.

    Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka

    baginya siksa yang sangat pedih’’.33

    2). Al-quran Surah An-Nisaa’ ayat 93

    ُ َعلَْيِه دًا فََجَزاُؤهُ َجَهنَُّم َخاِلدًا فِيَها َوَغِضَب َّللاَّ َوَمْن يَْقتُْل ُمْؤِمنًا ُمتَعَم ِ

    َولَعَنَهُ َوأََعدَّ لَهُ َعذَابًا َعِظيًماArtinya:’’Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan

    sengaja maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya

    dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta

    menyediakan azab yang besar baginya.’’34

    3). Al-quran Surah Al-Maidah ayat 45

    َوَكتَْبنَا َعلَْيِهْم فِيَها أَنَّ النَّْفَس بِالنَّْفِس َواْلعَْيَن بِاْلعَْيِن َواْْلَْنَف بِاْْلَْنِف

    ۖ فََمْن تََصدََّق بِِه فَُهَو ن ِ َواْلُجُروَح قَِصاصٌ نَّ بِالس ِ َواْْلُذَُن بِاْْلُذُِن َوالس ِ

    ئَِك ُهُم الظَّاِلُمونَ ُ فَأُولَٰ ۖ َوَمْن لَْم يَْحُكْم بَِما أَْنَزَل َّللاَّ َكفَّاَرةٌ لَهُ Artinya:’’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At

    Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan

    mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi

    33Al-Baqarah (2) :178 34An-Nisaa’(4) : 93

  • 21

    dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa

    yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu

    (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak

    memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka

    mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’’ 35

    4). Hadits riwayat Muslim

    انِي، َوالنَّْفُس َلَ يَِحلُّ دَمُّ اْمِرٍئ ُمْسِلٍم إَِلَّ بِإِْحدَى ثاَلٍَث: الثَّيِ ُب الزَّ

    بِالنَّْفِس، َوالتَّاِرُك ِلِدْينِِه الُمفَاِرُق ِلْلَجَماَعةِ Artinya: ‘’Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu

    dari tiga hal: janda yang zina, jiwa yang membunuh jiwa. Dan

    orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan terhadap

    jama’ah.36

    Berdasarkan ayat-ayat dan hadits yang melarang menghilangkan

    nyawa orang lain yang disebutkan di atas, membunuh tanpa alasan yang hak atau

    membunuh dengan sengaja ulama sepakat menyatakan bahwa perbuatan

    menghilangkan nyawa orang lain tersebut hukumnya haram.

    b). Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan

    Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang

    dan/ atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/ atau beberapa

    35Al-Maidah (5) : 45

    36Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 120

  • 22

    orang meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang

    dalam melakukan pembunuhan, tindak pidana dalam syari’at Islam dapat

    diklafikasikan atau dikelompokkan menjadi tiga macam: Amdi (disengaja), khata’

    (tidak sengaja), dan qathlu syibhu amdi (semi disengaja).37

    1). Pembunuhan sengaja

    Pembunuhan sengaja yaitu perbuatan yang dilakukan oleh

    seseorang dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan

    alat, yaitu benda atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh.

    2). Pembunuhan tidak disengaja

    Pembunuhan tidak disengaja (khata’) adalah perbuatan yang

    dilakukan seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang

    mengakibatkan oranglain meninggal dunia. Sebagai contoh Seseorang

    menebang pohon tiba-tiba pohon yang ditebangnya tumbang menjatuhi

    orang yang lewat dengan tiba-tiba lalu meninggal dunia.

    3). Pembunuhan semi sengaja

    Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan yang sengaja

    dilakukan oleh seseorang kepada oranglain dengan tujuan mendidik.

    Sebagai contoh seorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang

    muridnya, tiba-tiba muridnya yang dipukul itu meninggal dunia, perbuatan

    guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan sybhu amdi (semi

    disengaja).38

    37Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

    Sinar Grafika Offset, 2013), hlm. 125. 38Ibid

  • 23

    Menurut Syafi’iyah, yang di kutip oleh Abdul Qadir Audah

    pembunuhan menyerupai sengaja adalah suatu pembunuhan di mana pelaku

    sengaja dalam perbuatan, tetapi keliru dalam pembunuhan. Adapun menurut

    Hanbaliah pembunuhan menyerupai sengaja adalah sengaja dalam melakukan

    perbuatan yang dilarang, dengan alat yang pada gholibnya tidak akan mematikan,

    namun kenyataannya korban mati karenanya.39

    Pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syara’ adalah yang

    diharamkan oleh Allah dan Rasullul-Nya. Allah SWT berfirman:

    ِ َوَمْن قُتَِل َمْظلُوًما فَقَْد َجعَْلنَا ُ إَِلَّ بِاْلَحق َم َّللاَّ َوََل تَْقتُلُوا النَّْفَس الَّتِي َحرَّ

    ِلَوِلي ِِهُسْلَطانًا فاََل يُْسِرْف فِي اْلقَتِْل إِنَّهُ َكاَن َمْنُصورً Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah

    (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benarkan, dan

    barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah

    memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris

    itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang

    yang mendapat pertolongan.”40

    Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar bahwa diri yang diharamkan

    oleh Allah yaitu diri yang diberi hak asasi untuk dipelihara dan dijaga kehormatan

    hidupnya oleh Allah. Jelas disini bahwa jaminan hidup atau hak asasi yang

    diberikan oleh Allah, atas diri manusia sudah ada lebih dari 13 abad yang lalu.

    Namun dalam ayat ini terdapat kata “Kecuali dengan alasan yang benar”.Yaitu

    misalnya terjadi peperangan yang tidak dapat dielakkan lagi, niscaya terjadi

    39Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam)..., hlm. 142. 40 Al-Isra’ (17) : 33.

  • 24

    bunuh membunuh sesama manusia, maka berlakulah hukum qisas, yaitu nyawa

    dibayar dengan nyawa, atau dihukum dengan suatu hukum yang telah dijatuhkan

    oleh hakim menurut undang-undang yang ada.41

    B. Pengertian Gangguan Jiwa

    Menurut Longhort dalam buku Supratiknya, stigma terhadap gangguan

    jiwa adalah istilah yang sebenarnya sukar didefenisikan secara khusus karena

    istilah meliputi aspek yang luas, akan tetapi disepakati mengangdung konotasi

    kemanusiaan yang kurang. Istilah ini berarti suatu sikap jiwa yang muncul dalam

    masyarakat, yang mengucilkan anggota masyarakat yang memiliki kelainan

    jiwa.42 Ganguan jiwa atau bisa disebut Psikopatologi dalam islam dapat di bagi

    dalam dua kategori; yaitu beresifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam

    psikopatologi yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala

    atau penyakit kejiwaan sebagamaimana disebutkan dalam psikologi kontemporer.

    Sedangkan psikopatelogi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan

    terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan agama.43

    Salah satu perspektif spiritual dan religius adalah sebagaimana yang

    dikemukakan oleh al-Ghozali. Psikopatologi yang merusak sistem kehidupan

    spiritualitas dan keagamaan seseorang oleh al-Ghozali disebut dengan al-akhlaq

    al-khabisah, yaitu akhlak yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.

    41Hamka, Tafsir al-Azhar, cetakan kedua(Surabaya: Yayasan Latimojong, 1982 ),

    juzu’ XV, hlm. 60 42 Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal,Kanisus,Yogyakarta, 2006, hlm.15 43 Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, (Malang: UIN

    Malang Press, 2009).h1m. 36-137

  • 25

    Senada dengan pernyataan di atas, al-Razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah,

    menyatakan bahwa salah satu bentuk psikopatologi adalah prilaku (akhlak)

    tercela, sedangkan akhlak (yang mahmudah) merupakan pengobatan ruhani.44

    Al-Ghozali menyebutkan delapan kategori yang termasuk prilaku

    merusak (al-muhlikat) yang mengakibatkan psikopatologi, yaitu;

    a) bahaya syahwat perut dan kelamin (seperti memakan makanan syubhat

    atau haram, atau hubungan seks yang dilarang);

    b) bahaya mulut (seperti mengolok-olok, debat yang tidak berarti, dusta, adu

    domba, dan menceritakan kejelekan orang lain);

    c) bahaya marah, iri dan dengki;

    d) bahaya cinta dunia;

    e) bahaya cinta harta dan pelit;

    f) bahaya angkuh dan pamer;

    g) bahaya sombong dan membanggakan diri; dan;

    h) bahaya penipu.45

    Hasan Muhammad al-Syarkawi mengemukakan Sembilan akhlak

    buruk yang menjadi psikopatologi manusia, yaitu: al-riya, al-ghadab, al-ghaflah

    wa al-nisyan, ak-wasawis, al-yais wa al-qunut, al-tama, al-ujub, al haqd wa al-

    hasud.

    Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan lima macam yang

    menyebabkan psikopatologi yaitu:

    44 Ibid. 45 Ibid,.hlm 137

  • 26

    a) banyak campur tangan dengan urusan orang lain, sehingga menyebabkan

    perselisihan dan perpecahan (QS. al-Zukhruf: 67);

    b) berarangan-angan pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sehingga

    menimbulkan kemalasan dan bisikan jahat;

    c) bergantung kepada selain Allah, sehingga dirinya tidak memiliki

    kebebasan dan kemerdekaan;

    d) makan yang berlebihan, berlebihan terlebih lagi makanan haram, yang

    dapat menimbulkan kemaslahatan beribadah; dan

    e) banyak tidur, sehingga mengurangi tafakkur dan tadakkur, hanya

    menggemukkan badan, dan menyianyiakan waktu.46

    Abhidamma dari Psikologi Timur mengemukakan bahwa faktor

    psikolopatologis sentral, yakni delusi, adalah perseptual. Delusi adalah kegelapan

    jiwa yang menyebabkan persepsi mengalami kesalahan dalam menagkap obyek

    kesadaran. Delusi merupakan ketidak tahuan dasar, pandangan yang salah, dan

    pemahaman yang tidak tepat menjadi sumber utama penderitaan manusia.

    Kesamaan konsep Abhidamma dengan para psikolog muslim ini disebabkan oleh

    kesamaan pendekatan yang digunakan, yaitu dari pendekatan psikospiritual yang

    didasarkan atas nilai agama jiwa dan penderitaan manusia.47

    Akhlak tercela dianggap sebagai psikopatologi, sebab hal itu

    mengakibatkan dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun dosa horizontal atau

    sosial. Dosa adalah kondisi emosi seseorang yang dirasa tidak tenang setelah ia

    melakukan suatu perbuatan (baik perbuatan lahiriah maupun batiniah) dan merasa

    46 Ibid., hlm 138 47 Ibid.,hlm 139-140

  • 27

    tidak enak jika perbuatan itu diketahui oleh orang lain. Perbuatan dosa biasanya

    dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebab jika diketahui oleh orang lain maka

    dapat menurunkan harga dirinya. Karena itu tidak diherankan apabila pelaku dosa

    hidupnya selalu sedih, resah, bimbang gelisah dan dihantui oleh perbuatan

    dosanya. Emosi negatif ini apabila terus-menerus dialami oleh individu maka

    acapkali mendantangkan psikopatologi.48

    Baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi

    islami banyak sekali. Misalnya boros (al-israf), mengolok-olok (al-maan), pelit

    (al-bakhil), mengadu domba (al-namimah), apa yang ditampakkan berbeda

    dengan apa yang diyakini (al-nifaq), buruk sangka (su’ al-zhan), menyalahi janji

    (al-ghadar), menceritakan keburukan orang lain (al-kufr), menyekutukan Tuhan

    (al-syirk), dan sebagainya. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-

    tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang

    berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah), seperti

    syirik, kufur, zindiq, dan sebagainya; (2) psikopatologi yang berhubungan dengan

    hubungan kemanusiaan (insaniyah), seperti hasud, ujub, ghadab, su’ al-zhan, dan

    sebagainya; dan (3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan

    manusia, seperti riya, nifak, dan sebagainya.49

    Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa ganguan jiwa dalam Islam

    adalah semua prilaku batiniah yang tercela, yang tumbuh akibat menyimpang

    (inkhiraf) terhadap kode etik pergaulan, baik secara vertical (illahiyah) maupun

    horizontal (insaniyah). Penyimpangan perilaku batiniyah tersebut mengakibatkan

    48 Ibid 49 Ibid., hlm.141

  • 28

    penyakit dalam jiwa seseorang, yang apabila mencapai puncaknya mengakibatkan

    kematian.

    Dalam hukum pidana, gangguan jiwa atau dikenal juga dengan istilah

    skizofrenia. Menurut Julianto Simajuntak adalah penyakit dimana keprebadian

    mengalami keretakan, alam pikir, perasaan, dan perbuatan individu terganggu.

    Pada orang normal, alam pikiran, perasaan, dan perbuatan ada kaitannya atau

    searah, tetapi pada pasien skizofrenia ketiga alam itu terputus, baik satu atau

    semuanya.50Sedangakn menurut Dr. A. Supratiknya dalam bukunya yang berjudul

    Mengenal Perilaku Abnormal, skizofrenia adalah gangguan psikotik berat yang

    ditandai distorsi berat atas realitas, menarik diri dari interaksi sosial, disorganisai

    dan fragmentasi persepsi, pikiran dan emosi.51 Muhammad Vandestra dalam

    bukunya Terapi Kesehatan Jiwa & Mental Dalam Islam, menyebutkan bahwa

    penyakit jiwa adalah kelainan keprebadian yang ditandai oleh mental dalam

    (profound-mental) dan gangguan emonsional yang mengubah individu normal

    menjadi tidak mampu mengatur dirinya untuk menyesuaikan diri dalam

    masyarakat.52Namun, dalam pandangan masyarakat umum (awam) skizofrenia

    atau orang yang berpenyakit jiwa sudah di identikkan dengan gila atau orang gila.

    Gangguan jiwa juga dikenal dengan istilah abnormal, beberapa istilah

    tentang perilaku abnormal yaitu; perilaku maladatiptif, gangguan mental,

    psikopatologi, gangguan emonsional, penyakit jiwa, gangguan perilaku, penyakit

    mental, dan ketidakwarasan sering dipakai secara bergantian untuk, secara umum-

    50Julianto Simajuntak, Konseling Gangguan Jiwa (Jakarta: Percetakan PT Gramedia,

    2008), hlm. 7 51Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal,Kanisus,Yogyakarta, 1995, hlm.71 52Muhammad Vandestra, Terapi Kesehatan Jiwa &Mental Dalam Islam (Dragon

    Pomedia, 2017) hlm. 2

  • 29

    kasar, menunjuk gejala yang sama.53 Keabnormalan itu dapat dibagi atas dua

    golongan yaitu: Gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose). Gangguan

    jiwa (neurose) dan penyakit jiwa (psychose) adalah akibat dari tidak mampunya

    orang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar, atau tidak sanggup ia

    menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.54

    Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan

    jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang

    berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak

    disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun

    kadang-kadang gejala terlihat pada fisik.55

    Adapun bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam terbagi menjadi

    dua kategori, yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam psikopatologi

    yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala atau

    penyakit kejiwaan. Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit

    akibat penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan

    agama. Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis

    psikopatologi islami dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Psikopatologi yang

    berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah),

    psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah),

    psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia. Sedangkan

    bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana antara lain:

    53Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisus, 1995), hlm. 14 54Zakiah Daradjat..,hlm. 17 55Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2001), hlm, 26

  • 30

    1. Gangguan jiwa organik: gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik) yang

    diduga ada kaitannya dengan faktor organik spesifik (bisa penyakit/gangguna

    sistemik tubuh atau gangguan pada otak sendiri).56

    2. Skizofrenia : salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi

    pikiran, perasaan, perilaku individu.

    3. Gangguan skizotipal dan gangguan waham : Individu yang mengalami

    gangguan keprebadian skizotipal (schizotypal personality disorder) memiliki

    cirri-ciri khas skizofrenia jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang

    yang mengalami gangguan keprebadian skizoid, tetapi simtom-simtomnya

    tidak begitu berat untuk membenarkan diagnosis skizofrenia.

    4. Gangguan neurotic :sebagian besar dialami sebagai suatu gangguan fungsi

    intrafiskik, dan gejalanya adalah egodistonik, sementara patologi

    keprebadian sebagian besar dialami sebagai gangguan fungsi antarpribadi,

    dan pola perilaku maladaptif seringkali dialami sebagai ego-sintonik.

    5. Gangguan perilaku masa anak dan remaja:menunjukkan perilaku yang tidak

    sesuaidengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat.

    6. Gangguan Psikosomatik: komponen psikologik yang diikuti gangguan

    fungsi badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan

    sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang

    dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.

    7. Retardasi Mental: keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atautidak

    lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya rendahnya daya

    56Moch.Baharudin. Neurologi Klinis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2017),

    hlm. 377

  • 31

    keterampilanselama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat

    kecerdasan secara menyeluruh.

  • 32

    BAB IV

    ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN

    JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA

    A. Bentuk-Bentuk Gangguan Jiwa Menurut Hukum Islam dan Hukum

    Pidana

    Berdasarkan KUHP pasal 44 ayat (1) berbunyi: “Tiada dapat

    dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat

    dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit

    berubah akal.”57 Pasal ini menunjukkan bahwa orang yang gangguan jiwa atau

    gila terbebas dari pidana. Adapun menurut UU Nomor 18 Tahun 2014 pasal 1

    ayat 3 tentang Kesehatan Jiwa, bahwa yang di maksud dengan orang dengan

    gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,

    dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau

    perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan

    hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.58

    Pembahasan secara khusus tentang bentuk ataupun jenis gangguan

    jiwa atau gila yang ada dalam buku-buku hukum pidana Indonesia ataupun

    hukum pidana Islam sulit ditemukan, namun ada beberapa istilah-istilah yang

    sering dipakai oleh para ahli gangguan jiwa ataupun penulis-penulis buku

    gangguan jiwa dalam menyebutkan istilah gangguan jiwa.

    57 Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm.

    230 58 Undang-Undang N0. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa

  • 33

    1. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam

    Dalam pemahaman agama Islam qalbu atau jiwa merupakan pusat

    dari diri manusia. Segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia berpangkal pada

    qalbu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa nafsu negatif (iri,dengki,

    memaksakan kehendak, antisosial, dorongan berbuat kejehatan) dengan kata lain

    mempunyai hati yang sakit. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad

    SAW.Yang menyatakan bahwa dalam diri manusia ada ‘’segumpal daging’’

    (menunjuk aspek fisik dari qalbu), yang jika ‘’daging’’ itu baik atau sehat maka

    baiklah (sehatlah) seluruh diri manusia dan sebaliknya, ‘’daging itu adalah qalbu

    (aspek rohani manusia). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai

    bentuk gangguan mental berpangkal pada aspek qalbu sebagai pusat dari diri

    manusia.59

    Gangguan jiwa atau bisa disebut Psikopatologi dalam islam dapat di

    bagi dalam dua kategori; yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam

    psikopatologi yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala

    atau penyakit kejiwaan sebagamaimana disebutkan dalam psikologi kontemporer.

    Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan

    terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan agama.60

    Baik dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi

    islami banyak sekali. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-

    tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang

    59Perdana Akhmad, Ruqyah Syari’ah Vs Ruqyah Gadungan (Adamssein Media, 2005),

    hlm.13 60Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, (Malang: UIN

    Malang Press, 2009). Hal 136-137

  • 34

    berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah); (2)

    psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah); dan

    (3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.61

    Jadi, bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam terbagi menjadi dua

    kategori, yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam psikopatologi yang

    termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala atau penyakit

    kejiwaan. Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat

    penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan

    agama. Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis

    psikopatologi islami dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Psikopatologi yang

    berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah),

    psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah),

    psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.

    2. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum pidana

    Adapun bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana antara

    lain gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan

    waham, gangguan neurotik, gangguan perilaku masa anak dan remaja, gangguan

    psikosomatik dan retardasi mental.62Berikut penjelasan dari berbagai macam

    gangguan jiwa tersebut diatas.

    61Ibid.,hlm.134

    62MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,(Cet.II, Jakarta:PT

    Refika Aditama, 2007),hlm.63

  • 35

    1. Gangguan jiwa organik

    Gangguan jiwa organik atau gangguan mental oraganik adalah

    gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik) yang diduga ada kaitannya

    dengan faktor organik spesifik (bisa penyakit/gangguna sistemik tubuh atau

    gangguan pada otak sendiri).63

    2. Skizofrenia

    Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat

    mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku individu. Istilah Skizofrenia

    berasal dari bahasa yunani yaitu schizo (split/perpecahan) dan phren (jiwa).

    Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan terpecahnya atau

    terfragmentasinya pikiran individu dengan gangguan ini. Istilah skizofrenia

    tidak menunjukkan beragamnya keprebadian pada individu.64

    3. Gangguan skizotipal dan gangguan waham

    Individu yang mengalami gangguan keprebadian skizotipal

    (schizotypal personality disorder) memiliki cirri-ciri khas skizofrenia jauh

    lebih banyak dibandingkan dengan orang yang mengalami gangguan

    keprebadian skizoid, tetapi simtom-simtomnya tidak begitu berat untuk

    membenarkan diagnosis skizofrenia. Individu yang menderita gangguan

    keprebadian skizotipal memiliki pola-pola pembicaraan yang aneh, yakni

    opla-pola pembicaraan yang menyimpang dan tidak jelas, tetapi ia tidak

    menderita distorsi-distorsi yang berat (misalnya gado-gado kata/word

    salads) sepeti yang kelihatan pada orang yang menderita

    63Moch.Baharudin. Neurologi Klinis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2017),

    hlm. 377 64Surya Yudhantara, Synopsis Skizofrenia (Malang: UB Press, 2018), hlm 1

  • 36

    skizofrenia.65Sedangkan gangguan waham di definisikan sebagai gangguan

    psikiatrik dimana gejala yang utama adalah waham. Gangguan ini

    sebelumnya disebut ‘’paranoia’’ atau ‘’gangguan paranoid’’.Karena itu

    dalam pedoman pengolongan gangguan jiwa di Indonesia I disebur Psikosis

    Paranoid.66

    4. Gangguan neurotik

    Gangguan neurotik sebagian besar dialami sebagai suatu gangguan

    fungsi intrafiskik, dan gejalanya adalah egodistonik, sementara patologi

    keprebadian sebagian besar dialami sebagai gangguan fungsi antarpribadi,

    dan pola perilaku maladaptif seringkali dialami sebagai ego-sintonik.

    Contohya adalah seseorang dengan gangguan obsesif-komplusif akan

    ketidakmampuannya untuk mengendalikan pikiran atau perilakunya

    sendirinya, sementara keprebadian obsesif-kompulsif seringkali teriritasi

    terhadap dan intoleran akan ketidaksempurnaan atau disorganisasi dari

    orang lain.67

    5. Gangguan perilaku masa anak dan remaja

    Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang

    tidak sesuaidengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat.

    Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam

    asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau

    mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling

    65Yustinus Semiun, Kesehatan Mental (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm 21 66Inu Wicaksana, Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm 172

    67Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,

    1997), hlm.319

  • 37

    mempengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat

    kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.

    Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat

    mengakibatkan perubahan kepribadian. Faktor lingkungan jugadapat

    mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena

    lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu

    dapat dipengaruhi atau dicegah.68

    6. Gangguan Psikosomatik

    Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi

    badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan

    sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh

    yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat

    disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena

    biasanya hanya fungsi faliah yang terganggu, maka sering disebut juga

    gangguan psikofisiologik.

    7. Retardasi Mental

    Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang

    terhenti atautidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya

    rendahnya daya keterampilanselama masa perkembangan, sehingga

    berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya

    kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.69

    68MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,(Cet.II, Jakarta: PT

    Refika Aditama, 2007), hlm.114 69Ibid.,hlm. 114

  • 38

    Dari uraian tersebut diatas dapat di pahami bahwa ganguan jiwa

    dalam hukum pidana dapat disimpulkan secara umum bahwa semua keadaan

    seseorang yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun

    mental. Sedangkan bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana sangat

    banyak sekali antara lain: Gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan

    skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik,

    gangguan somatoform, gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa,

    retardasi mental, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan

    remaja.

    B. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana

    yang Dilakukan Oleh Orang yang Gangguan Jiwa

    Sebagai perbuatan terlarang, pembunuhan merupakan tindakan

    menghilangkan nyawa seseorang oleh seseorang atau sekelompok orang.

    Berkenaan dengan masalah menghilangkan nyawa sebagai balasan bagi

    pembunuh atau masalah hukuman karena meluasnya kebejatan di muka bumi,

    maka hanya pengadilan dan hakim yang berwenang memutuskannya. Dalam

    keadaan bagaimanapun, tidak seorangpun manusia berhak menghabisi hidup

    orang lain sebagai pembalasan atau kerusakan. Oleh karena itu, kewajiban bagi

    setiap manusia adalah saling menjaga dan melindungi hak hidup orang lain.

    Kriminalitas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, baik

    dari segi norma hukum, sosial, terlebih lagi agama. Namun, hari ini (terutama di

    Indonesia) tak sedikit orang yang menutup mata akan hal tersebut, hal ini

    dibuktikan dengan tingginya angka tindak kriminal yang terjadi di negara ini.

  • 39

    Namun terlepas berapa angka kriminal yang terjadi, dari deretan kasus, ada satu

    kasus yang cukup menghebohkan publik Indonesia, yaitu kasus kejahatan dengan

    dugaan penegak hukum pelakunya adalah orang gila.

    1. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa

    Dalam hukum Islam pidana sering di istilahkan

    jarimah dan jinayah. Hanya saja dalam Islam lebih di perjelas bahwa

    hukumannya atau pertanggung jawaban dari tindak pidana

    berupa qishas dan hudud ataupun ta’zir. Gila dalam hal pembunuhan secara

    umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah melakukan tindak pidana

    pembunuhan. Gila yang muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik

    sebelum atau setelah proses pengadilan. Adapun pertaggungjawaban orang gila

    berkaitan dengan pidana ini berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan dua aspek,

    apakah gilanya menyertai jarimah atau terjadi sesudahnya. Adapun rinciannya

    adalah sebagai berikut:

    a). Gila yang menyertai jarimah (tindak pidana)

    Apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam

    kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana,

    karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan idrak

    (berfikir).70 Para ulama sepakat bahwa gila termasuk dari awaridhul

    ahliyah (hal yang menghalangi jatuhnya beban hukum terhadap seseorang).

    70https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-

    islam/, akses 14 November 2019

    https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/

  • 40

    Dalam hal ini yang menjadi landasannya adalah hadits Rasulullah SAW

    yang berbunyi:71

    ِ َحتَّى يَبْ بِي يَْستَْيِقَظ ، َحتَّى ِن النَّائِمِ ، َوعَ لُغَ ُرفَِع اْلقَلَُم َعْن ثاَلٍث : َعِن الصَّ

    َوَعِن اْلَمْجنُوِن َحتَّى يُِفيقَ Artinya:“Pena diangkat dari tiga kelompok manusia: dari anak kecil

    hingga dia baligh, dari orang tidur hingga dia bangun, dari orang

    gila hingga dia sadar.” (HR Ahmad).72

    Dari sini dapat disimpulkan bahwa apabila seorang yang mengidap

    penyakit gila melakukan tindakan jarimah al-hudud atau tindak pidana yang

    berkonsekunsi pada penegakan had, seperti berzina, mabuk, mencuri dan

    sebagainya maka ia tidak terkena hukuman had alias gugur.

    Adapun dalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat.

    Maka orang gila tidaklah diqishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah

    Maliyah, yaitu dengan membayar diyat. Hal tersebut dikarenakan kejahatan yang

    berkaitan dengan hak hamba itu tidak bisa digugurkan seperti halnya hak Allah.

    Sedang pembunuhan yang ia lakukan itu disamakan dengan al-qathl al-

    khata’. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’i mengatakan

    “(perbuatan) yang disengaja oleh orang gila itu (dianggap) khata”73

    Jadi, apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam

    kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana,

    karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan, namun

    71 Al-Hafidz Abu Daud bin Sulaiman bi al-Asy’ats al-Sinjistani, Sunan Abi Daud (Bierut:

    ;Dar al-Fikr) 4/194 72Ibid 73https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-

    islam/, akses 14 November 2019

    https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/

  • 41

    jikadalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang

    gila tidaklah di qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah,

    yaitu dengan membayar diyat.

    b). Gila yang datang kemudian

    Muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik

    sebelum atau setelah proses pengadilan. Dalam masalah ini para ulama

    berbeda pendapat: Menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, tidak

    menghalangi dan menghentikan proses hukuman, artinya mereka tetap

    diqishas dan dikenai had meskipun mereka dalam kondisi gila. Hal ini

    dikarenakan menurut mereka dasar dari dilaksanakanya hukuman adalah

    terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindakan pidana, Madzhab

    Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa seorang pelaku tindak pidana

    yang kemudian mengalami kegilaan tidak dikenai had dalam jarimah

    hudud hingga tersadar, dikarenakan penegakan had masuk juga dalam

    perkara taklif yang dibebankan pada orang gila, sedangkan mereka bukan

    lagi mukhatab ketika masa pengadilan ataupun masa eksekusi karena

    kegilaannya. Serta karena syarat legal penegakan had menurut Hanafiyah

    bukan hanya terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindak pidana

    saja, namun juga saat masa pengadilan dan eksekusi hukuman.74

    Maka menurut hukum Islam, gila dalam hal pembunuhan secara

    umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah melakukan tindak pidana

    pembunuhan. Jadi, apabila gila menyertai tindak pidana (saat melakukan dalam

    74Ibid.,

  • 42

    kondisi gila) ataupun disebut gila sebelum, maka pelakunya dibebaskan dari

    pertanggungjawaban pidana. Namun jikadalam tindak pidana yang

    berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang gila tidaklah di

    qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah, yaitu dengan

    membayar diyat. Sedangkan gila sesudah melakukan tindak pidana atau datang

    kemudian baik sebelum atau setelah proses pengadilan, menurut pendapat

    Syafi’iyah dan Hanabilah tetap diqishas dan dikenai had meskipun mereka dalam

    kondisi gila. Sedangkan Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak

    dikenai had dalam jarimah hudud hingga tersadar.

    2. Pandangan Hukum Pidana Terhadap Pembunuhan dengan Gangguan

    Jiwa

    Pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila jika dipandang dari

    hukum pidana, maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya

    tersebut. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-

    Undang Hukum Pidana) yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang

    tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam

    pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

    Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

    Pidana) yang berbunyi: Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat

    dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat

    atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang

    https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29

  • 43

    itu dimasukkan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu

    percobaan.75

    Kemudian dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus

    pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang

    Hukum Pidana (KUHP): Alasan penghapus pidana dapat terjadi karena

    perbuatannya tidak dapat dipidana atau perbuatannya yang tidak dapat dipidana.

    Dalam hubungan ini, maka alasan penghapus pidana, dapat dibedakan menjadi:

    alasan pembenar&alasan pemaaf tidak mampu bertanggungjawab terdapat dalam

    pasal 44 KUHP.

    Disamping alasan penghapus pidana yang diatur dalam undang-

    undang seperti diatas tersebut, schaffmeister, keijer dan sutorius mengatakan,

    masih ada alasan penghapus pidana diluar undang-undang yaitu: a). izin dan

    norma-norma jabatan yang sudah diterima (alasan pembenar); b). sesat (fakta dan

    hukum), dan ketidakmampuan yang dapt dimaafkan (alasan pemaaf).76

    Maka jelaslah bahwa jika dihukumi lewat kacamata hukum pidana,

    maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya tersebut.

    Sebagaimana yang tertera dalam alasan pemaaaf point pertama yakni, tidak

    mampu bertanggungjawab yang terdapat dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP

    (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

    75Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: Rineka C ipta,2015), hlm. 23 76Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm.114

    https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29

  • 44

    C. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana

    Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa Menurut Hukum Islam dan

    Hukum Pidana

    Pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana menyangkut

    pembahasan-pembahasan tentang arti dan dasar pertanggungjawaban pidana;

    hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidana; hal-hal yang

    mempengaruhi pertanggungjawaban pidana.

    1. Arti dan dasar pertanggungjawaban pidana

    Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam ialah

    pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak adanya

    perbuatan) yang dikerjakannya dengan kamauan sendiri, di mana ia mengetahui

    maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.77 Sementara dalam

    hukum pidana pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya

    celaaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang

    ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya

    perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya

    pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana

    hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan

    pidana tersebut. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah

    pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.78

    77 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1968), hlm. 154 78Mahrus ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta:sinar grafika, 2012). Hlm.157

  • 45

    Dalam syari’at Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga

    hal berikut:

    a. ) Adanya perbuatan yang dilarang

    b. ) Perbuatan itu dikerjakan dengan perbuatan sendiri

    c.) Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.

    Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula

    pertanggungjawaban, dan kalau tidak terdapat maka tidak ada pula

    pertanggungjawaban pidana. 79 Maka dengan adanya tiga syarat yang disebutkan

    diatas maka kita dapat mengetahui bahwa orang yang bisa dikenakan beban

    pertanggungjawaban pidana hanyalah manusia yang berakal, dewasa dan

    berkemauan sendiri.Kalau tidak terdapat syarat demikian maka tidak dapat pula

    dikenakan pertanggungjawaban atasnya, sebab orang yang tidak berakal fikiran

    tidak termasuk orang yang mengetahui dan dan bukan orang yang mempunyai

    pilihan, demikian juga orang yang belum dewasa.Oleh karena itu, tidak ada

    pertanggungjawaban bagi orang gila, kanak-kanak, orang yang sudah hilang

    kemauannya dan orang yang dipksa atau terpaksa.

    2. Hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidana

    Faktor yang mengakibatkan pertanggungjawaban pidana adalah

    perbuatan maksiat yakni, perbuatan melawan hukum, yaitu mengerjakan

    perbuatan (larangan) yang dianggap oleh syara’ atau sikap tidak berbuat yang

    diharuskan oleh syari’at. Meskipun perbuatan melawan hukum menjadi sebab

    adanya pertanggungjawaban pidana, namun diperlukan dua syarat bersama-sama

    790pcit., hlm 154

  • 46

    yaitu, mengetahui dan pilihan. Kalau salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada

    pertanggungjawaban pidana.80

    3. Hal-hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana

    Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban

    pidana dalam hukum islam yaitu: Tidak tahu, lupa dan keliru. Berikut

    penjelasannya masing-masing dari faktor tersebut.

    1. Tidak tahu, salah satu aturan pokok dalam syariat islam ialah bahwa

    pembuat tidak dihukum karena sesuatu perbuatan yang dilarang kecuali

    kalau ia mengetahui (benar-benar) dengan kesempurnaan tentang

    dilarangnya perbuatn tersebut. Kalau ia tidak tahu tentang dilarangnya

    tersebut maka pertanggungjawaban pidana terhapus dari padanya.

    2. Lupa, menurut Aam Imaduddin lupa adalah kondisi dimana kita terlepas

    dari ingatan terhadap sebuah peristiwa , dan biasanya ini bersifat alami,

    sesuai dengan sunnatullah bahwa ada ingat ada lupa.81sedangkan

    menurut Ahmad Hanafi lupa ialah tidak tersiapnya sesuatu pada waktu

    dibutuhkan (diperlukan), dalam syariat islam di gandengakan dengan

    keliru. 82

    3. Keliru, ialah apabila terjadi bukan atas kehendak si pembuat. Dari segi

    pertanggungjawaban pidana orang yang keliru dipersamakan dengan

    orang yang sengaja berbuat, selama perbuatan yang terjadi daripadnya

    diharamkan oleh syara’. Akan tetapi sebab adanya pertanggungjawaban

    tersebut pada masing-masingnya berbeda-beda. Pada perbuatan sengaja

    80Ibid., hlm. 159 81Aam Imaduddin, memahami arti perubahan, (tasikmalaya: edu publisher, 2018), hlm. 54 82Opcit., hlm. 184

  • 47

    sebabnya ialah sengaja menyalahi (melawan) perintah syara’, dan pada

    perbuatan karena keliru sebabnya ialah menyalhi syara’ bukan karena

    sengaja, melainkan karena kelalaina dan tidak adanya hati-hati dan

    ketelitian. 83

    4. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam

    Adapun yang menjadi faktor pertanggungjawaban dalam hukum

    Islam yaitu: Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan itu dikerjakan dengan

    perbuatan sendiri dan pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu. Jadi apabila

    terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban, dan kalau tidak

    terdapat maka tidak ada pula pertanggungjawaban pidana.84