TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN...
Transcript of TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN...
-
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN
JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S.1)
Dalam Hukum Pidana Islam
Pada Fakultas Syari’ah
Oleh :
YASIR ARAFAT
NIM. SHP.612208
HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
1441 H / 2020
-
MOTTO
ۚ ۚ َوََل تَِزُر َواِزَرةٌ ِوْزَر أُْخَرٰى َوََل تَْكِسُب ُكلُّ نَْفٍس إَِلا َعلَْيَها
Artinya: ‘’Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya
kembali kepada dirinya sendiri, dan seorang yang berdosa tidak akan
memikul dosa orang lain.’’ (Al-An’am (6):164).
-
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ayah dan Ibu
Husnussapawi (alm) dan Darusiah
Yang slalu menjadi penyemangat hidupku. Semoga ketulusan Ayah dan
Ibu
Diridhoi oleh Allah SWT. Dengan balasan Surga-Nya
Bapak dan Ibu Guru (Ustadz dan Ustadzah)
Ust. H. Abu Mansyur AL-Maturidi, Ust. A. Farid Wajdi sebagai
orangtua dan guruku
Yang selalu menjadi inspirasi ku
Seluruh ustadz dan ustadzah Ma’had al-Jami’ah dan dosen UIN
tercinta
Jazakumullahu khairan katsiron
Kakak dan Adikku beserta keluarga besarku
Ayuk mun, Uni Min (alm) abang Affan, Ayuk Zahratul Hayat, uda Zul
fikar, abang angkatku M. Abbas, Adik Putri Novrianti Jannah, Adik
Umar Ibnu Khattab, Adik Ali Murtado, serta keluarga besar Bawah
Bukit
Sahabat-Sahabat Ku
Akhy dan Ukhty
Lembaga Pengurus Asrama Ma’had al-Jami’ah (La_PASMA)
Sahabat seperjuangan Demisioner 07 La_PASMA
Al-Akh2 (Yunus, Miftah, Yani, Rusly, Nov, Fahri, Halim, Naza,
Arnindio,Faisal, Andri, Seh, Hendri, Asnan, Ikhwal, Asep, Andrio dll)
Akhy Habibi, saudara Rendi Pratama (Tulen)
Sahabat seperjuangan Jurusan Hukum Pidana Islam ‘’16
Kanti-kanti dari Batang Asai
Sahabat KKN gelombang III posko 09 , serta yang terlibat dalam masa
perkuliahan
Semoga kalian diberikan kebahagian Dunia dan Akhirat
Amin Ya Rabbal ‘Alamin
-
I
ABSTRAK
Skripsi ini membahas pembunuhan oleh pelaku dengan gangguan jiwa alias gila
sering terjadi namun tidak semua orang mengetahui sanksinya baik dalam hukum
Islam maupun hukum pidana. Maka skripsi ini akan membahas permasalahan
tersebut, dengan tujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk gangguan jiwa, bentuk
pertanggungjawaban pidana serta pandangan hukum terhadap tindak pidana yang
dilakukan oleh penderita gangguan jiwa, menurut hukum Islam dan hukum
pidana. Berdasarkan penelitian tentang hukum pembunuhan oleh pelaku dengan
gangguan jiwa ditinjau dari hukum islam, maka pelaku pembunuhan dengan
gangguan jiwatidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena
akalnya tidak sehat danbebas dari hukum menurut Madzhab Hanafiyah dan
Malikiyah. Sedangkan menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, gila yang
muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik sebelum atau setelah proses
pengadilan, gila yang semacam ini tetap wajib dihukum. Dalam hukum pidana
maka pelaku pembunuhan dengan gangguan jiwa terbebas dari hukuman sebab
kegilaaannya.Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Dari hasil penelitian tersebut demi
terlaksananya asas-asas hukum pidana maka diperlukan satu pemahaman yang
mendalam bagi penegak hukum dalam menjalankan satu konsep
pertanggungjawaban pidana berkenaan dapat tidaknya dipidana seseorang yang
melanggar.
Key Word: Gangguan Jiwa, Pertanggungjawaban, Tindak Pidana
-
II
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah tuhan sekalian alam, karena berkat rahmat-Nya
penulis mendapat kekuatan dan kesempatan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman..
Alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya hingga penulis dapat
menyelesaikan skpripsi ini. Adapun maksud penulisan skripsi ini untuk memenuhi
syarat guna mencapai gelar kesarjanaan Fakultas Syari’ah Jurusan Hukum Pidana
Islam UIN STS Jambi. Sebagai perwujudan dan ketetapan tersebut penulis
menyusun skripsi ini dengan judul. ”Tindak Pidana Pembunuhan Dengan
Gangguan Jiwa dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana”.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa dengan adanya
bantuan, bimbingan, dorongan dan petunjuk dari semua pihak, maka penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
tidak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya terutama kepada yang
terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. H. Suaidi Asyari, Ph. D. Rektor UIN STS Jambi.
2. Bapak Dr. Sayuti Una, S.Ag.,MH Dekan Fakultas Syari’ah
3. Bapak Agus Salim, S.TH,I.,MA.,M.IR.,Ph.D. Selaku Wakil Dekan I
4. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH. Selaku Wakil Dekan II
5. Bapak Dr. H. Ishaq, SH.,M.Hum. Selaku Wakil Dekan III
6. Ibu Dr. Robiatul Adawiyah SHI.,MHI Ketua jurusan dan bapak Devrian Ali
Putra, MA.Hk sekretaris Jurusan Hukum Pidana Islam
-
III
7. Bapak Dr. Ruslan Abdul Gani, SH.,MH Pembimbing I dan Ibu Nuraida
Fitrihabi, S.Ag.,M.Ag Pembimbing II
8. Bapak dan Ibu dosen, asisten dosen, dan seluruh karyawan/karyawati
Fakultas Syari’ah UIN STS Jambi.
9. Mahasiswa jurusan Hukum Pidana Islam dan mahasiswa Bidik Misi.
10. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
11. Kedua orangtua dan keluarga penulis yang selalu memberikan semangat dan
do’a terbaik kepada penulis
Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan, penulis
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga, semoga Allah SWT
membalasnya. Akhirnya penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.
Jambi, 25 Januari 2020
Penulis,
YASIR ARAFAT
NIM. SHP 162208
-
IV
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERNYATAAN
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
MOTTO
PERSEMBAHAN
ABSTRAK...............................................................................................................I
KATA PENGANTAR……………………………………………..……….........II
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….IV
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………….....1
B. Rumusan Masalah…………………………………………..….........5
C. Batasan Masalah……………………………………...……………..5
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian........................................................5
E. Kerangka Teori……………………………………………………...6
F. Tinjauan Pustaka… .................................................................. …..9
BAB II : METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian.......................................................................11
B. Jenis Penelitian..................................................................................11
C. Jenis dan Sumber Data......................................................................11
D. Metode Pengumpulan Data............... ………………………….…..12
E. Metode Analisis Data........................................................................13
F. Sistematika Penulisan........................................................................14
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN DAN GANGGUAN JIWA
A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan .................................... ….16
1. Tindak Pidana………………………………………………….16
2. Pembunuhan……………………………………………………18
-
V
B. Pengertian Gangguan Jiwa…………………………………………..24
BAB IV:ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN
GANGGUAN JIWA MENURUT HUKUM ISLAM DAN
HUKUM PIDANA
A. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam dan
hukum pidana……...…………. ... ………………….…………..….32
1. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam.....................33
2. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum pidana…..…….... 34
B. Pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa……..............38
1. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembunuhan dengan
Gangguan Jiwa……………………………………………..….….39
2. Pandangan Hukum Pidana Terhadap Pembunuhan Dengan
Gangguan Jiwa…………………………………….………..........42
C. Bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum
Islam dan hukum pidana………………………………………..……44
1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana…….……………...........44
2. Hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidan………....45
3. hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana………..….46
4. Bentuk pertanggungjawaban pidana dalam Hukum Islam ..…….47
5. Bentuk pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana…..….48
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………...52
B. Saran……………………………………………………………….54
C. Penutup…………………………………………………………….55
DAFTAR PUSTAKA
CURRICULUM VITAE
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembunuhan oleh orang gila merupakan penomena yang lumrah
terjadi di masyarakat dengan bermacam kasus dan karateristik. Pemberitaan
tentang hal tersebut kemungkinan membangkitkan emosi yang kuat dan
menimbulkan pertanyaan apakah disanksi ataukah tidak. Sebagai contoh kasus
yang terjadi pada awal 2018 yakni komandan Persatuan Islam (Persis) ustadz
Prawoto dianiaya Asep Maftuh yang tak lain tetangganya sendiri. Prawoto
meninggal dunia akibat insident tersebut.
Seiring dengan perkembangan zaman, kejahatan yang semakin
meningkat dan sering terjadi dalam kehidupan masyarakat tentu hal ini menjadi
permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, sehingga pemerintah (negara)
sebagai pelindung dan pelayanmasyarakat menindaklanjuti kejahatan tersebut,
kemudian oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk ditindak.
Dalam Islam ada dikenal istilah Syari’at (aturan Allah) yaitu
hukumyang abadi dan berlaku sepanjang masa. Dalam kurun waktu yang panjang,
sejak dimulai diturunkannya agama Islam sampai akhir masa pemerintahan Turki
Usmani, syari’at Islam bagaikan cahaya yang menyinari dan menerangi jalannya
kaum muslimin, dan menunjukkan kepada mereka jalan kebenaran dan
keadilan.Pada saat itu syari’at Islam dipelajari dengan antusias, dan ditetapkan
oleh
-
2
pemerintah, sehingga tidak ada satu pun perundang-undangan didunia ini yang
mengunggulinya.1
Dalam hukum Islam, kejahatan didefinisikan sebagai larangan-larangan
hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang
ditentukan-Nya. Larangan hukum berarti melakukan suatu perbuatan yang
dilarang atau tidak melakukan perbuatan yang tidak diperintahkan. Dengan
demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat.
Dengan kata lain, melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan yang
membawa kepada hukuman yang ditentukan oleh syari’at adalah kejahatan.2Jadi
kejahatan ataupun tindakan kriminal sama sekali tidak dibenarkan dalam Islam
maupun hukum pidana, seperti pencurian, perampokan, perkosaan, penipuan,
pemalsuan, pembunuhan dan lain sebagainya yang dapat merugikan oranglain.
Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam
penanggulangan kejahatan. Penanggulangan segala bentuk tindakan kriminal
dapat dilakukan dengan cara pencegahan (preventif) dan penindakan (represif).
Cara preventif adalah cara penanggulangan dengan pola mencegah, seperti
himbauan atau penyuluhan. Cara represif adalah cara penaggulangan dengan pola
keras, seperti penagkapan dan pemenjaraan samapai dengan penembakan atau
pembunuhan.3
Jenis-jenis sanksi yang diterapkan kepada pelaku tindak pidana dapat
dilihat dalam hukum pidana positif di Indonesia, dalam Pasal 10 KUHP yaitu:
1Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Menurut Al-Qur’an, Cet. 1, (Jakarta Timur:
Diadit Media, 2007), hlm. 1. 2Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), hlm. 20. 3Kun Maryati, Jujun Suryawati, Sosiologi Jilid3 ( ESIS, tanpa tahun ), hlm. 22
-
3
1). Pidana pokok, yang terdiri dari: Pidana mati, pidana kurungan, pidana penjara,
pidana dendadan pidana tutupan. 2). Pidana tambahan, yang terdiri dari :
pencabutan beberapa hak tertentu, perampasan barang yang tertentu, dan
pengumuman keputusan hakim.4
Berkaitan dengan hukuman, dalam hukum pidana Indonesia
pembunuhan diatur dalam KUHP Pasal 338-350. Pada Pasal 338 KUHP
menyatakan bahwa : Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam
karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.5
Adapun berkaitan dengan hukum pidana, dalam hukum pidana Islam dikenal
dengan nama jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu
larangan-larangan syara‘ yang diancam oleh Allah dengan hukum hadd atau
ta‘zir.6 Dengan demikian, jarimah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu hukum
had, dan hukum ta’zir. Sebagai suatu dasar hukum, didalam hukum pidana Islam
mengenai pembunuhan diatur dalam Al- Qur’an ditegaskan bahwa:
ُ إَِلَّ بِاْلَحق ِ َم َّللاَّ َوََل تَْقتُلُوا النَّْفَس الَّتِي َحرَّArtinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuh) nya, melainkan dengan suatu alasan yang haq”.7
Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang dalam melakukan
pembunuhan, tindak pidana dalam syari’at islam dapat di klarisifikasi atau
dikelompokkan menjadi : Amd (disengaja) khata’ (tidak di sengaja), dan syibhu
4Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 5 5Ibid , hlm. 6 7Al-Isra’ (17) : 33
-
4
amd (semi sengaja).8 Pembunuhan disengaja, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan alat,
yaitu benda atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh. Perbuatan yang
disengaja dilakukan seseorang dengan tujuan mendidik misalnya guru
memukulkan penggaris ke kaki seorang muridnya, tiba-tiba muridnya yang
dipukul itu meninggal, perbuatan guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan
sybhu amdi (semi disengaja). Seseorang menebang pohon tiba-tiba pohon yang
ditebangnya tumbang menjatuhi orang yang lewat dengan tiba-tiba lalu
meninggalm perbuatan orang tersebut dikatakan sebagai pembunuhan yang tidak
disengaja.9
Dengan demikian tentang jarimah ini, ada suatu fenomena yang
menarik untuk dipelajari yaitu tindak pidana pembunuhan dalam keadaan
gangguan jiwa (gila). Sebenarnya bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum
pidana terhadap tindak kriminal, seperti pembunuhan, yang dilakukan oleh orang
gila. Apakah hukum Islam dan hukum pidana juga akan berlaku bagi orang gila
yang terbukti melakukan tindakan kriminal.
Dari uraian diatas terkait mengenai sanksi hukum pembunuhan yang
disebabkan oleh orang dengan gangguan jiwa perlu pemahaman yang mendalam,
apakah dikenakan sanksi atau tidak, maka penulis merasa tertarik untuk
melakukan penelitan ini dengan judul: ‘’Tindak Pidana Pembunuhan Dengan
Gangguan Jiwa Dalam Hukum Islam dan Hukum Pidana’’.
8Zainuddin Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), hlm. 125 9Ibid., hlm. 126
-
5
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di masalah yang telah diuraikan
sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum
pidana?
2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa?
3. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana
pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum pidana?
C. Batasan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna, dan
mendalam maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat
perlu dibatasi variabelnya. Oleh sebab itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan
dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila dalam
pandangan hukum Islam dan hukum pidana saja.
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya,
maka dalam penelitian ini ditetapkan beberapa tujuan penelitian, yaitu:
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukumIslam dan
hukum pidana.
2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum pidana terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh orang yang gangguan jiwa.
-
6
3. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan dengan gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum
pidana.
Sedangakan kegunaan atau manfaat dari penelitian ini secara umum
adalah untuk memberikan kontribusi kepada pihak-pihak terkait dalam
penyelesaian kasus pembunuhan dengan gangguan jiwa.
E. Kerangka Teori
Untuk menganalisis permasalahan yang ada dalam skripsi ini, maka
teori yang di pakai adalah teori pertanggungjawaban, teori unsur
pertanggungjawaban dan teori penyelidikan. Berikut penjelasannya dari masing-
masing ketiga teori tersebut.
1. Teori Pertanggungjawaban
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang luas
yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang
bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara
aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang
menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Responsibility berarti hal
yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,
keterampilan, kemampuan dan kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab
atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis,
istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat
-
7
akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility
menunjuk pada pertanggungjawaban politik.10
Dalam hukum pidana terhadap seseoraang yang melakukan pelanggaran
atau suatu perbuatan tindak pidana maka dalam pertanggungjawaban diperlukan asas-
asas hukum pidana. Salah satu asas hukum pidana adalah asas hukum nullum
delictum nulla poena sine pravia lege atau yang sering disebut dengan asas legalitass,
asas ini menjadi dasar pokok yang tidak tertulis dalam menjatuhi pidana pada orang
yang telah melakukan perbuatan pidana “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”.
Dasar ini adalah mengenai dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan
yang telah dilakukannya. Artinya seseorang baru dapat diminta
pertanggunngjawabannya apabila seseorang tersebut melakukan kesalahan atau
melakukan perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan. Maksud
dari hal tersebut adalah seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban
apabila perbuatan itu memang telah diatur, tidak dapat seseorang dihukum atau
dimintakan pertanggungjawabannya apabila peraturan tersebut muncul setelah
adanya perbuatan pidana. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak
boleh menggunakan kata kias, serta aturan-aturan hukum pidana tersebut tidak
berlaku surut.
2. Teori Unsur Pertanggungjawaban
a) Mampu bertanggung jawab. Pertanggungjawaban (pidana) menjurus
kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana
10 Ridwan H.R., Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006),
hlm. 335-337
-
8
dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-
undang.
b) Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian
telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang
dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggung
jawab.
c) Tidak ada alasan pemaaf. Hubungan petindak dengan tindakannya
ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari petindak. Ia
menginsyafi hakekat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat
mengetahui ketercelaan dari tindakan dan dapat menentukan apakah akan
dilakukannya tindakan tersebut atau tidak. Tiada terdapat “alasan
pemaaf”, yaitu kemampuan bertang gungjawab, bentuk kehendak dengan
sengaja atau alpa, tiada terhapus keselahannya atau tiada terdapat alasan
pemaaf, adalah termasuk dalam pengertian kesalahan.11
3. Teori Penyelidikan
Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 angka 5 KUHAP bahwa
penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.12
11 http://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-
pidana.html. Akses 6 Maret 2020 12 Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm. 230
http://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-pidana.htmlhttp://seputarpengertian.blogspot.com/2016/09/pengertian-dan-unsur-pertanggungjawaban-pidana.html
-
9
F. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka adalah uraian hasil-hasil penulisan terdahulu
(penulisan-penulisan lain) yang terkait dengan penelitian ini pada aspek fokus/tema
yang diteliti. Dalam kajian pustaka ini, penulis akan memaparkan tentang beberapa
penulisan mengenai tindak pidana pembunuhan dalam keadaan gangguan jiwa
yang sebelumnya pernah diteliti. Diantaranya ialah sebagai berikut:
Pertama ialah Idham Suryansyah, yang berjudul ‘’Tinjauan Yuridis
Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang Mempunyai Gangguan Kejiwaan’’. Dalam
tulisannya tersebut ia memaparkan tentang langkah-langkah yang dilakukan
penyidik untuk mengetahui pelaku kejahatan mempunyai gangguan kejiwaan dan
proses hukum setelah ditetapkan mempunyai gangguan kejiwaan13 saja. Dalam
tulisannya tidak disebutkan tentang sanksi hukumnya menurut hukum Islam dan
hukum positifnya.
Kedua, ialah Adriesti Herdaethayang berjudul ‘’Pertanggungjawaban
Criminal Orang dengan Gangguan Jiwa.’’Dalam tulisannya tersebut ia
memaparkan tentang hubungan antara gangguan jiwa dan perilaku kriminal serta
meninjau kelapangan tentang seseorang yang gangguan jiwa.14Namun dia tidak
membahas tentang sanksinya dalam hukum Islam dan hukum positif.
Ketiga, ialah Nike Rosdiyanti yang berjudul ‘’Status
Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita Gangguan Mental Kategori
Keprebadian Antisosial Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam,’’ tulisannya
13Idham Suryansyah, ’Tijauan Yuridis Terhadapa Pelaku Kejahatan Yang Mempunyai
Gangguan Kejiwaan,’’ UIN Alauddin Makassar, (2017), hlm.67-68 14Adriesti Herdaetha,’’ Pertanggungjawaban Criminal Orang Dengan Gangguan Jiwa’’,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, (2014), hlm.7
-
10
yaitu tentang pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana
bagi penderita gangguan mental kategori keprebadian antisosial serta perbedaan
dan persamaan status pertanggungjawabannya dalam hukum positif dan
islam.15Dia hanya mengkaji gangguan mental anti social namun tidak secara
umum.
Keempat, ialah tulisan Rofi Irson yang berjudul ‘’Tindak Pidana
Pembunuhan Dalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif Menurut Hukum Islam
dan Hukum Pidana’’dalam tulisannya tersebut, ia memaparkan tentang
pembunuhan oleh orang mabuk dalam hukum Islam dan hukum pidana16, yang
mana kajian ini sama-sama pembunuhan oleh orang yang hilang akalnya, namun
berbeda antara sebabnya yakni mabuk dan gila.
Perbedaan penelitian saya dengan penelitian di atas diantaranya
adalah, bahwa penelitian sebelumnya hanya membahas tentang langkah penyidik
mengetahui pelaku mempunyai gangguan jiwa, hubungan gangguan jiwa dengan
kriminal, pandangan hukum positif dan hukum Islam terhadap tindak pidana bagi
penderita gannguan mental kategori keprebadian antisosial serta membunuh
dalam keadaan mabuk (orang yang hilangakalnya), namun saya akan membahas
tindakan hukum Islam dan hukum pidana terhadap pembunuhan dengan gangguan
jiwa, serta bentuk-bentuk pertanggungggjawaban pidana dan gangguan jiwa yang
seperti yang dikenakan sanksi dalam hukum Islam dan hukum positif.
15Nike Rosdiyanti‘’ Status Pertanggungjawaban Pelaku Pidana Bagi Penderita
Gangguan Mental Kategori Keprebadian Anti Social Perspektif Hukum Positif Dan Hukum
Islam’’, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, (2017), hlm. 96-97 16Rofi Irson,’’Tindak PidanaPembunuhanDalam Keadaan Mabuk Studi Komparatif
MenurutHukum Islam Dan Hukum Pidana’’, UIN STS, Jambi, (2017), hlm.74
-
11
BAB II
METODE PENELITIAN
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan rangkaian kegiatan
ilmiah dalam rangka pemecahan suatu masalah.17Setiap penulisan karya ilmiah
harus memakai suatu metode, karena metode merupakan suatu instrumen yang
penting agar suatu penelitian dapat terlaksana dan terarah sehingga tercapai hasil
maksimal.
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan normatif yuridis , karena
yang akan di teliti adalah aturan hukum bagi pelaku pembunuhan dengan
gangguan jiwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan aturan hukum
yang tercantum dalam kitab fiqh jinayah. Pendekatan perundang-undangan
(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang di tangani.18
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library
research), yaitu penelitian yang menekankan sumber informasi dari buku-buku
hukuk, jurnal, dan menelaah dari berbagai macam literatur-literatur dan pendapat
yang mempunyai hubungan relevan dengan permasalahan yang di teliti.
C. Jenis Dan Sumber Data
Dalam menyelesaiakan skiripsi ini, penulis melakukan penelitian
kepustakaan (library research), maka sumber data atau informasi yang menjadi
17 Saifuddin Azwar, Metode Penulisan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 1. 18Ishaq, Metode Penelitian Hukum, (Bandung:Alfabeta, 2017) ,hlm. 250
-
12
data baku penulis, untuk diolah merupakan data yang berbentuk data primer, data
sekunder, dan data tersier.
1) Data primer
Data primer adalah data pokok yang diperlukan dalam penelitian,
yang yang diperoleh langsung dari sumbernya atau keseluruhan data hasil
penelitian yang diperoleh dilapangan.19 Sumber utama adalah al-Qur’an dan
undang undang atau hukum pidana yang berkaitan dengan kaitannya dengan judul
penelitian.
2) Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber tidak langsung
yang biasanya berupa data dokumentasi dan arsip-arsip resmi.20 Data inilah yang
nantinya akan menjadi sumber utama penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
3) Data tersier
Data tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan lebih
lanjut terhadap bahan-bahan primer dan bahan sekunder yaitu berupa kamus
hukum, kamus bahasa Indonesia, kamus bahasa Arab, kamus bahasa Inggris dan
kamus-kamus yang lain.
D. Metode Pengumpulan Data
Ada beberapa jenis alat pengumpulan data, salah satunya yaitu studi
kepustakaan/studi dokumen. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data
yang berguna bagi penulisan penelitian (skripsi/tesis/disertasi) berupa teori-teori
19Tim Penyusun, Pedoman Penulisan Skripsi Edisi Revisi (Jambi:Syariah Press,2012),
hlm. 45. 20Ibid., hlm. 46
-
13
hukum, asas-asas, doktrin dan kaidah hukum yang di dapat dari bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.
Untuk memperoleh data sekunder adalah dengan melakukan
serangkaian kegiatan studi kepustakaan dengan membaca, mengutip buku-buku,
serta menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen, dan informasi yang ada
hubungannya dengan penelitian yang di lakukan.21
E. Metode Analisis Data
Analisis data menurut Sugiono adalah proses mencari dan menyusun
secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori,
menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola,
memilih mana yang penting dan yang akan dielajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun oranglain.22
Setelah semua data terkumpul, selanjutnya data-data tersebut
dianalisis. Untuk mengadakan penarikan kesimpulan dari suatu penelitian, harus
berdasar pada hasil pengolahan dan harus selaras dengan jenis data-data yang ada.
Dalam metode analisa data ini penulis menggunakan cara yaitu
analisa data kualitatif, oleh karenanya penelitian yang dilakukan adalah penulisan
kualitatif.23
21Ishaq..,hlm. 115 22Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung; Alfabeta,
2009), Cetakan ke 7, hlm. 244 23Soejono, Metode Penelitan Hukum, (Jakarta: P.T Rineka Cipta, 1997), hlm. 23.
-
14
F. Sistematika Penulisan
Penyusun skripsi ini terbagi kepada lima bab, antar babnya ada yang
terdiri dari sub-sub bab. Masing- masing bab membahas permasalahan tersendiri,
tetapi tetap saling berkaitan antara sub bab dengan bab yang berikutnya. Untuk
memberikan gambaran secara mudah agar lebih terarah dan jelas mengenai
pembahasan skripsi ini penyusun menggunakan sistematika dengan membagi
pembahasan sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang menguraikan latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori,
tinjauan pustaka.
Bab dua, berisikan tentang metode penelitian, yakni mengenai
penedekatan penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, metode
analisis data, sistematika penulisan.
Bab ketiga,menguraikan tentang gambaran umum yang berisi tindak
pidana pembunuhan, pengertian tindak pidana pembunuhan, dasar hukum tindak
pidana pembunuhan menurut hukum islam, jenis-jenis tindak pidana
pembunuhan, pengertian gangguan jiwa menurut hukum Islam, pengertian
gangguan jiwa menurut hukum Pidana ( KUHP), ketentuan hukum bagi orang
yang gangguan njiwa.
Bab keempat, menguraikan analisis tindak pidana pembunuhan dengan
gangguan jiwa menurut hukum Islam yang berisikan, bentuk-bentuk mabuk yang
tidak dikenakan sanksi dalam hukum Islam dan hukum pidana, bentuk
pertanggungjawaban terhadap tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan
-
15
gangguan jiwa menurut hukum Islam dan hukum pidana, dan analisis
perbandingan.
Bab kelima penutup, pada bab ini diuraikan kesimpulan, saran, dan
penutup.
-
16
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
DENGAN GANGGUAN JIWA
A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
1. Tindak Pidana
Tindak pidana banyak sekali pengertiannya menurut beberapa ahli
hukum pidana, sebab mereka memandang dari sisi yang berbeda-beda sehingga
menimbulkan banyak pendapat. Salah satu buku yang mengemukakan pendapat
ahli hukum tentang tindak pidana adalah buku karangan Agus Rusianto yang
berjudul Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana. Ia mengutip beberapa
pendapat ahli hukum. Diantaranya pendapat ahli hukum tersebut adalah menurut
Ultrecht, tindak pidana adalah adanya kelakuan yang melawan hukum, ada
seseorang pembuat yang bertanggung jawab atas kelakuannya. Kemudian
menurut Simon bahwa tindak pidana mempunyai unsur unsur: Diancam oleh
pidana dengan hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang
bersalah, dan orang itu dipandang bertangggungjawab atas perbuatannya.24
Kemudian menurut Moeljatno, pada dasarnya tindak pidana
merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah
suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian
terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan
definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana
dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik,
24Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana,Cet. Kesatu (Jakarta:
Kencana, 2016), hlm. 3
-
17
sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan
pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.25
Kemudian Teguh Prasetyo mennjelaskan secara rinci lagi bahwa
Istilah tindak pidana menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan gerak-
gerik jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak
berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak
pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang didalam
undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini
mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila
akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melapor, maka dia dapat dikenakan
sanksi. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa tindak pidana adalah perbuatan
yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana
pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif ( melakukan
sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif
( tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).26Berkaitan
dengan tindak pidana (Jarimah dalam Islam diartikan sebagai suatu larangan
syara‘ yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada
nash nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya).27
25Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta :Bina Aksara,1987), hlm. 37 26Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015),
hlm. 50. 27A. Hanafi, Asaz-Asaz Hukum Pidana Islam, Cet. 5, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
hlm. 1
-
18
2. Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang
dan/ atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang
meninggal dunia. Jarimah pembunuhan juga dapat diartikan sebagai suatu tindak
pidana yang melanggar syara’ karena pelanggaran hukum hadatau ta‘zir baik
didahului dengan unsur-unsur pembunuhan sengaja dengan suatu perencanaan
ataupun tidak didahuluisuatu perencanaan.28Selain itu, pengertian jarimah
pembunuhan dapat pula diartikan sebagai tindak pidana pelanggaran terhadap
syara’ karena baikpelanggaran hukum had atau ta‘zir yang diberikan sanksi bagi
pembunuhan sengaja yaitu pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash.29
Berkaitan dengan jarimah pembunuhan, maka dapat ditegaskan
bahwa pengertian jarimah pembunuhan dapat diartikan sebagai suatu larangan
syara’yang diancam oleh Allah dengan hukum had (hukuman yang sudah ada
nash-nya) atau ta‘zir (hukuman yang tidak ada nashnya) baik didahului dengan
unsur-unsur pembunuhan dengan suatu perencanaan ataupun tidak didahului
suatu perencanaan dimana bagi pembunuhan sengaja pelakunya wajib dijatuhi
hukuman qishash. Tak ada agama di dunia ini yang memandang hidup manusia
sedemikian kudusnya sehingga membunuh satu orang dianggap membunuh
semua orang, dan siapapun yang menyelamatkan hidup seseorang seolah-olah
telah menyelamatkan hidup semua umat manusia.30
28Sofyan Maulana, Hukum Pidana Islam dan Pelaksanaan, (Jakarta: Rineka Cipta.
2004), hlm. 83. 29Muhammad Rodhi, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Pidana Islam dan
HukumPidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 123. 30Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam, (Jakarta: R.Cipta,1992), hlm. 18.
-
19
Tindak pidana membunuh seorang muslim merupakan hal yang
sangat mengerikan, sehingga bahkan setelah dihukum had pun, si pelaku masih
akan disiksa dalam neraka, dimurkai dan dilaknat oleh Allah SWT.31
Sebagai mana yang telah dijelaskan didalam al Qur’an sebagai berikut:
ُ َعلَْيِه َولَعَنَهُ دًا فََجَزاُؤهُ َجَهنَُّم َخاِلدًا فِيَها َوَغِضَب َّللاَّ َوَمْن يَْقتُْل ُمْؤِمنًا ُمتَعَم ِ
َوأََعدَّ لَهُ َعذَابًا َعِظيًماArtinya:’’Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah
murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang
besar baginya.32
Dapat kita lihat bahwa al-quran sangat melarang dan mengancam
pelaku pembunuhan dengan ancaman neraka jahannam dan mereka kekal
didalamnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.
a). Dasar Hukum Tindak Pidana Pembunuhan Dalam Islam
Pembunuhan dalam Islam didasarkan pada beberapa keterangan nash
Al-Qur’an dan hadis di bawah ini :
1) Al-quran surah Al-Baqarah ayat 178
ۖ اْلُحرُّ بِاْلُحر ِ يَا أَيَُّها الَِّذيَن آَمنُوا ُكتَِب َعلَْيُكُم اْلِقَصاُص فِي اْلقَتْلَى
ۖ فََمْن ُعِفَي لَهُ ِمْن أَِخيِه َشْيٌء فَات ِبَاعٌ َواْلعَْبدُ بِاْلعَْبِد َواْْلُْنثَٰى بِاْْلُْنثَٰى
ۖ ِلَك تَْخِفيٌف ِمْن َرب ُِكْم َوَرْحَمةٌ ۖ ذَٰ بِاْلَمْعُروِف َوأَدَاٌء إِلَْيِه بِإِْحَساٍن
ِلَك فَلَ هُ َعذَاٌب أَِليمٌ فََمِن اْعتَدَٰى بَْعدَ ذَٰArtinya:’’Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
31Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syari’at Islam..., hlm. 20. 32An-Nisa’ (4) : 93
-
20
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat
suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah
suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih’’.33
2). Al-quran Surah An-Nisaa’ ayat 93
ُ َعلَْيِه دًا فََجَزاُؤهُ َجَهنَُّم َخاِلدًا فِيَها َوَغِضَب َّللاَّ َوَمْن يَْقتُْل ُمْؤِمنًا ُمتَعَم ِ
َولَعَنَهُ َوأََعدَّ لَهُ َعذَابًا َعِظيًماArtinya:’’Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan
sengaja maka balasannya ialah jahanam, kekal ia di dalamnya
dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta
menyediakan azab yang besar baginya.’’34
3). Al-quran Surah Al-Maidah ayat 45
َوَكتَْبنَا َعلَْيِهْم فِيَها أَنَّ النَّْفَس بِالنَّْفِس َواْلعَْيَن بِاْلعَْيِن َواْْلَْنَف بِاْْلَْنِف
ۖ فََمْن تََصدََّق بِِه فَُهَو ن ِ َواْلُجُروَح قَِصاصٌ نَّ بِالس ِ َواْْلُذَُن بِاْْلُذُِن َوالس ِ
ئَِك ُهُم الظَّاِلُمونَ ُ فَأُولَٰ ۖ َوَمْن لَْم يَْحُكْم بَِما أَْنَزَل َّللاَّ َكفَّاَرةٌ لَهُ Artinya:’’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi
33Al-Baqarah (2) :178 34An-Nisaa’(4) : 93
-
21
dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa
yang melepaskan (hak qishaash)nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’’ 35
4). Hadits riwayat Muslim
انِي، َوالنَّْفُس َلَ يَِحلُّ دَمُّ اْمِرٍئ ُمْسِلٍم إَِلَّ بِإِْحدَى ثاَلٍَث: الثَّيِ ُب الزَّ
بِالنَّْفِس، َوالتَّاِرُك ِلِدْينِِه الُمفَاِرُق ِلْلَجَماَعةِ Artinya: ‘’Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu
dari tiga hal: janda yang zina, jiwa yang membunuh jiwa. Dan
orang yang meninggalkan agamanya yang memisahkan terhadap
jama’ah.36
Berdasarkan ayat-ayat dan hadits yang melarang menghilangkan
nyawa orang lain yang disebutkan di atas, membunuh tanpa alasan yang hak atau
membunuh dengan sengaja ulama sepakat menyatakan bahwa perbuatan
menghilangkan nyawa orang lain tersebut hukumnya haram.
b). Jenis-Jenis Tindak Pidana Pembunuhan
Pembunuhan adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang
dan/ atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/ atau beberapa
35Al-Maidah (5) : 45
36Rokhmadi, Hukum Pidana Islam, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 120
-
22
orang meninggal dunia. Apabila diperhatikan dari sifat perbuatan seseorang
dalam melakukan pembunuhan, tindak pidana dalam syari’at Islam dapat
diklafikasikan atau dikelompokkan menjadi tiga macam: Amdi (disengaja), khata’
(tidak sengaja), dan qathlu syibhu amdi (semi disengaja).37
1). Pembunuhan sengaja
Pembunuhan sengaja yaitu perbuatan yang dilakukan oleh
seseorang dengan tujuan untuk membunuh seseorang dengan menggunakan
alat, yaitu benda atau situasi, yang dipandang layak untuk membunuh.
2). Pembunuhan tidak disengaja
Pembunuhan tidak disengaja (khata’) adalah perbuatan yang
dilakukan seseorang dengan tidak ada unsur kesengajaan yang
mengakibatkan oranglain meninggal dunia. Sebagai contoh Seseorang
menebang pohon tiba-tiba pohon yang ditebangnya tumbang menjatuhi
orang yang lewat dengan tiba-tiba lalu meninggal dunia.
3). Pembunuhan semi sengaja
Pembunuhan semi sengaja adalah perbuatan yang sengaja
dilakukan oleh seseorang kepada oranglain dengan tujuan mendidik.
Sebagai contoh seorang guru memukulkan penggaris kepada kaki seorang
muridnya, tiba-tiba muridnya yang dipukul itu meninggal dunia, perbuatan
guru tersebut dinyatakan sebagai pembunuhan sybhu amdi (semi
disengaja).38
37Zainuddin Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2013), hlm. 125. 38Ibid
-
23
Menurut Syafi’iyah, yang di kutip oleh Abdul Qadir Audah
pembunuhan menyerupai sengaja adalah suatu pembunuhan di mana pelaku
sengaja dalam perbuatan, tetapi keliru dalam pembunuhan. Adapun menurut
Hanbaliah pembunuhan menyerupai sengaja adalah sengaja dalam melakukan
perbuatan yang dilarang, dengan alat yang pada gholibnya tidak akan mematikan,
namun kenyataannya korban mati karenanya.39
Pembunuhan yang tidak dibenarkan oleh syara’ adalah yang
diharamkan oleh Allah dan Rasullul-Nya. Allah SWT berfirman:
ِ َوَمْن قُتَِل َمْظلُوًما فَقَْد َجعَْلنَا ُ إَِلَّ بِاْلَحق َم َّللاَّ َوََل تَْقتُلُوا النَّْفَس الَّتِي َحرَّ
ِلَوِلي ِِهُسْلَطانًا فاََل يُْسِرْف فِي اْلقَتِْل إِنَّهُ َكاَن َمْنُصورً Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benarkan, dan
barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris
itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang
yang mendapat pertolongan.”40
Menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar bahwa diri yang diharamkan
oleh Allah yaitu diri yang diberi hak asasi untuk dipelihara dan dijaga kehormatan
hidupnya oleh Allah. Jelas disini bahwa jaminan hidup atau hak asasi yang
diberikan oleh Allah, atas diri manusia sudah ada lebih dari 13 abad yang lalu.
Namun dalam ayat ini terdapat kata “Kecuali dengan alasan yang benar”.Yaitu
misalnya terjadi peperangan yang tidak dapat dielakkan lagi, niscaya terjadi
39Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam)..., hlm. 142. 40 Al-Isra’ (17) : 33.
-
24
bunuh membunuh sesama manusia, maka berlakulah hukum qisas, yaitu nyawa
dibayar dengan nyawa, atau dihukum dengan suatu hukum yang telah dijatuhkan
oleh hakim menurut undang-undang yang ada.41
B. Pengertian Gangguan Jiwa
Menurut Longhort dalam buku Supratiknya, stigma terhadap gangguan
jiwa adalah istilah yang sebenarnya sukar didefenisikan secara khusus karena
istilah meliputi aspek yang luas, akan tetapi disepakati mengangdung konotasi
kemanusiaan yang kurang. Istilah ini berarti suatu sikap jiwa yang muncul dalam
masyarakat, yang mengucilkan anggota masyarakat yang memiliki kelainan
jiwa.42 Ganguan jiwa atau bisa disebut Psikopatologi dalam islam dapat di bagi
dalam dua kategori; yaitu beresifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam
psikopatologi yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala
atau penyakit kejiwaan sebagamaimana disebutkan dalam psikologi kontemporer.
Sedangkan psikopatelogi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan
terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan agama.43
Salah satu perspektif spiritual dan religius adalah sebagaimana yang
dikemukakan oleh al-Ghozali. Psikopatologi yang merusak sistem kehidupan
spiritualitas dan keagamaan seseorang oleh al-Ghozali disebut dengan al-akhlaq
al-khabisah, yaitu akhlak yang buruk merupakan penyakit hati dan penyakit jiwa.
41Hamka, Tafsir al-Azhar, cetakan kedua(Surabaya: Yayasan Latimojong, 1982 ),
juzu’ XV, hlm. 60 42 Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal,Kanisus,Yogyakarta, 2006, hlm.15 43 Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, (Malang: UIN
Malang Press, 2009).h1m. 36-137
-
25
Senada dengan pernyataan di atas, al-Razi dalam al-Thibb al-Ruhaniyah,
menyatakan bahwa salah satu bentuk psikopatologi adalah prilaku (akhlak)
tercela, sedangkan akhlak (yang mahmudah) merupakan pengobatan ruhani.44
Al-Ghozali menyebutkan delapan kategori yang termasuk prilaku
merusak (al-muhlikat) yang mengakibatkan psikopatologi, yaitu;
a) bahaya syahwat perut dan kelamin (seperti memakan makanan syubhat
atau haram, atau hubungan seks yang dilarang);
b) bahaya mulut (seperti mengolok-olok, debat yang tidak berarti, dusta, adu
domba, dan menceritakan kejelekan orang lain);
c) bahaya marah, iri dan dengki;
d) bahaya cinta dunia;
e) bahaya cinta harta dan pelit;
f) bahaya angkuh dan pamer;
g) bahaya sombong dan membanggakan diri; dan;
h) bahaya penipu.45
Hasan Muhammad al-Syarkawi mengemukakan Sembilan akhlak
buruk yang menjadi psikopatologi manusia, yaitu: al-riya, al-ghadab, al-ghaflah
wa al-nisyan, ak-wasawis, al-yais wa al-qunut, al-tama, al-ujub, al haqd wa al-
hasud.
Ibnu Qayyim al-Jauziyah mengemukakan lima macam yang
menyebabkan psikopatologi yaitu:
44 Ibid. 45 Ibid,.hlm 137
-
26
a) banyak campur tangan dengan urusan orang lain, sehingga menyebabkan
perselisihan dan perpecahan (QS. al-Zukhruf: 67);
b) berarangan-angan pada sesuatu yang tidak mungkin terjadi, sehingga
menimbulkan kemalasan dan bisikan jahat;
c) bergantung kepada selain Allah, sehingga dirinya tidak memiliki
kebebasan dan kemerdekaan;
d) makan yang berlebihan, berlebihan terlebih lagi makanan haram, yang
dapat menimbulkan kemaslahatan beribadah; dan
e) banyak tidur, sehingga mengurangi tafakkur dan tadakkur, hanya
menggemukkan badan, dan menyianyiakan waktu.46
Abhidamma dari Psikologi Timur mengemukakan bahwa faktor
psikolopatologis sentral, yakni delusi, adalah perseptual. Delusi adalah kegelapan
jiwa yang menyebabkan persepsi mengalami kesalahan dalam menagkap obyek
kesadaran. Delusi merupakan ketidak tahuan dasar, pandangan yang salah, dan
pemahaman yang tidak tepat menjadi sumber utama penderitaan manusia.
Kesamaan konsep Abhidamma dengan para psikolog muslim ini disebabkan oleh
kesamaan pendekatan yang digunakan, yaitu dari pendekatan psikospiritual yang
didasarkan atas nilai agama jiwa dan penderitaan manusia.47
Akhlak tercela dianggap sebagai psikopatologi, sebab hal itu
mengakibatkan dosa (al-itsm), baik dosa vertikal maupun dosa horizontal atau
sosial. Dosa adalah kondisi emosi seseorang yang dirasa tidak tenang setelah ia
melakukan suatu perbuatan (baik perbuatan lahiriah maupun batiniah) dan merasa
46 Ibid., hlm 138 47 Ibid.,hlm 139-140
-
27
tidak enak jika perbuatan itu diketahui oleh orang lain. Perbuatan dosa biasanya
dilakukan secara sembunyi-sembunyi, sebab jika diketahui oleh orang lain maka
dapat menurunkan harga dirinya. Karena itu tidak diherankan apabila pelaku dosa
hidupnya selalu sedih, resah, bimbang gelisah dan dihantui oleh perbuatan
dosanya. Emosi negatif ini apabila terus-menerus dialami oleh individu maka
acapkali mendantangkan psikopatologi.48
Baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi
islami banyak sekali. Misalnya boros (al-israf), mengolok-olok (al-maan), pelit
(al-bakhil), mengadu domba (al-namimah), apa yang ditampakkan berbeda
dengan apa yang diyakini (al-nifaq), buruk sangka (su’ al-zhan), menyalahi janji
(al-ghadar), menceritakan keburukan orang lain (al-kufr), menyekutukan Tuhan
(al-syirk), dan sebagainya. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-
tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang
berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah), seperti
syirik, kufur, zindiq, dan sebagainya; (2) psikopatologi yang berhubungan dengan
hubungan kemanusiaan (insaniyah), seperti hasud, ujub, ghadab, su’ al-zhan, dan
sebagainya; dan (3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan
manusia, seperti riya, nifak, dan sebagainya.49
Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa ganguan jiwa dalam Islam
adalah semua prilaku batiniah yang tercela, yang tumbuh akibat menyimpang
(inkhiraf) terhadap kode etik pergaulan, baik secara vertical (illahiyah) maupun
horizontal (insaniyah). Penyimpangan perilaku batiniyah tersebut mengakibatkan
48 Ibid 49 Ibid., hlm.141
-
28
penyakit dalam jiwa seseorang, yang apabila mencapai puncaknya mengakibatkan
kematian.
Dalam hukum pidana, gangguan jiwa atau dikenal juga dengan istilah
skizofrenia. Menurut Julianto Simajuntak adalah penyakit dimana keprebadian
mengalami keretakan, alam pikir, perasaan, dan perbuatan individu terganggu.
Pada orang normal, alam pikiran, perasaan, dan perbuatan ada kaitannya atau
searah, tetapi pada pasien skizofrenia ketiga alam itu terputus, baik satu atau
semuanya.50Sedangakn menurut Dr. A. Supratiknya dalam bukunya yang berjudul
Mengenal Perilaku Abnormal, skizofrenia adalah gangguan psikotik berat yang
ditandai distorsi berat atas realitas, menarik diri dari interaksi sosial, disorganisai
dan fragmentasi persepsi, pikiran dan emosi.51 Muhammad Vandestra dalam
bukunya Terapi Kesehatan Jiwa & Mental Dalam Islam, menyebutkan bahwa
penyakit jiwa adalah kelainan keprebadian yang ditandai oleh mental dalam
(profound-mental) dan gangguan emonsional yang mengubah individu normal
menjadi tidak mampu mengatur dirinya untuk menyesuaikan diri dalam
masyarakat.52Namun, dalam pandangan masyarakat umum (awam) skizofrenia
atau orang yang berpenyakit jiwa sudah di identikkan dengan gila atau orang gila.
Gangguan jiwa juga dikenal dengan istilah abnormal, beberapa istilah
tentang perilaku abnormal yaitu; perilaku maladatiptif, gangguan mental,
psikopatologi, gangguan emonsional, penyakit jiwa, gangguan perilaku, penyakit
mental, dan ketidakwarasan sering dipakai secara bergantian untuk, secara umum-
50Julianto Simajuntak, Konseling Gangguan Jiwa (Jakarta: Percetakan PT Gramedia,
2008), hlm. 7 51Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal,Kanisus,Yogyakarta, 1995, hlm.71 52Muhammad Vandestra, Terapi Kesehatan Jiwa &Mental Dalam Islam (Dragon
Pomedia, 2017) hlm. 2
-
29
kasar, menunjuk gejala yang sama.53 Keabnormalan itu dapat dibagi atas dua
golongan yaitu: Gangguan jiwa (neurose) dan sakit jiwa (psychose). Gangguan
jiwa (neurose) dan penyakit jiwa (psychose) adalah akibat dari tidak mampunya
orang menghadapi kesukaran-kesukarannya dengan wajar, atau tidak sanggup ia
menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapinya.54
Dari hasil berbagai penyelidikan dapat dikatakan bahwa gangguan
jiwa adalah kumpulan dari keadaan-keadaan yang tidak normal, baik yang
berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan tersebut tidak
disebabkan oleh sakit atau rusaknya bagian-bagian anggota badan, meskipun
kadang-kadang gejala terlihat pada fisik.55
Adapun bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam terbagi menjadi
dua kategori, yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam psikopatologi
yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala atau
penyakit kejiwaan. Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit
akibat penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan
agama. Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis
psikopatologi islami dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Psikopatologi yang
berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah),
psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah),
psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia. Sedangkan
bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana antara lain:
53Supratiknya, Mengenal Perilaku Abnormal, (Yogyakarta: Kanisus, 1995), hlm. 14 54Zakiah Daradjat..,hlm. 17 55Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental (Jakarta: Toko Gunung Agung, 2001), hlm, 26
-
30
1. Gangguan jiwa organik: gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik) yang
diduga ada kaitannya dengan faktor organik spesifik (bisa penyakit/gangguna
sistemik tubuh atau gangguan pada otak sendiri).56
2. Skizofrenia : salah satu gangguan jiwa berat yang dapat mempengaruhi
pikiran, perasaan, perilaku individu.
3. Gangguan skizotipal dan gangguan waham : Individu yang mengalami
gangguan keprebadian skizotipal (schizotypal personality disorder) memiliki
cirri-ciri khas skizofrenia jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang
yang mengalami gangguan keprebadian skizoid, tetapi simtom-simtomnya
tidak begitu berat untuk membenarkan diagnosis skizofrenia.
4. Gangguan neurotic :sebagian besar dialami sebagai suatu gangguan fungsi
intrafiskik, dan gejalanya adalah egodistonik, sementara patologi
keprebadian sebagian besar dialami sebagai gangguan fungsi antarpribadi,
dan pola perilaku maladaptif seringkali dialami sebagai ego-sintonik.
5. Gangguan perilaku masa anak dan remaja:menunjukkan perilaku yang tidak
sesuaidengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat.
6. Gangguan Psikosomatik: komponen psikologik yang diikuti gangguan
fungsi badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh yang
dikuasai oleh susunan saraf vegetatif.
7. Retardasi Mental: keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atautidak
lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya rendahnya daya
56Moch.Baharudin. Neurologi Klinis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2017),
hlm. 377
-
31
keterampilanselama masa perkembangan, sehingga berpengaruh pada tingkat
kecerdasan secara menyeluruh.
-
32
BAB IV
ANALISIS TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN GANGGUAN
JIWA DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM PIDANA
A. Bentuk-Bentuk Gangguan Jiwa Menurut Hukum Islam dan Hukum
Pidana
Berdasarkan KUHP pasal 44 ayat (1) berbunyi: “Tiada dapat
dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit
berubah akal.”57 Pasal ini menunjukkan bahwa orang yang gangguan jiwa atau
gila terbebas dari pidana. Adapun menurut UU Nomor 18 Tahun 2014 pasal 1
ayat 3 tentang Kesehatan Jiwa, bahwa yang di maksud dengan orang dengan
gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku,
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau
perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.58
Pembahasan secara khusus tentang bentuk ataupun jenis gangguan
jiwa atau gila yang ada dalam buku-buku hukum pidana Indonesia ataupun
hukum pidana Islam sulit ditemukan, namun ada beberapa istilah-istilah yang
sering dipakai oleh para ahli gangguan jiwa ataupun penulis-penulis buku
gangguan jiwa dalam menyebutkan istilah gangguan jiwa.
57 Andi Hamzah, KUHAP Dan KUHP, Cet. Ke 19 (Jakarta: Rineka Cipta, 2015), hlm.
230 58 Undang-Undang N0. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa
-
33
1. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum Islam
Dalam pemahaman agama Islam qalbu atau jiwa merupakan pusat
dari diri manusia. Segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia berpangkal pada
qalbu. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa nafsu negatif (iri,dengki,
memaksakan kehendak, antisosial, dorongan berbuat kejehatan) dengan kata lain
mempunyai hati yang sakit. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad
SAW.Yang menyatakan bahwa dalam diri manusia ada ‘’segumpal daging’’
(menunjuk aspek fisik dari qalbu), yang jika ‘’daging’’ itu baik atau sehat maka
baiklah (sehatlah) seluruh diri manusia dan sebaliknya, ‘’daging itu adalah qalbu
(aspek rohani manusia). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa berbagai
bentuk gangguan mental berpangkal pada aspek qalbu sebagai pusat dari diri
manusia.59
Gangguan jiwa atau bisa disebut Psikopatologi dalam islam dapat di
bagi dalam dua kategori; yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam
psikopatologi yang termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala
atau penyakit kejiwaan sebagamaimana disebutkan dalam psikologi kontemporer.
Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat penyimpangan
terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan agama.60
Baik dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis psikopatologi
islami banyak sekali. Meskipun tidak terhingga banyaknya, namun setidak-
tidaknya dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) psikopatologi yang
59Perdana Akhmad, Ruqyah Syari’ah Vs Ruqyah Gadungan (Adamssein Media, 2005),
hlm.13 60Iin Tri Rahayu, psikoterapi perspektif islam dan psikologi kontemporer, (Malang: UIN
Malang Press, 2009). Hal 136-137
-
34
berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah); (2)
psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah); dan
(3) psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.61
Jadi, bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam Islam terbagi menjadi dua
kategori, yaitu bersifat duniawi dan ukhrawi. Macam-macam psikopatologi yang
termasuk dalam kategori bersifat duniawi berupa gejala-gejala atau penyakit
kejiwaan. Sedangkan psikopatologi bersifat ukhrawi, berupa penyakit akibat
penyimpangan terhadap norma-norma atau nilai-nilai moral, spiritual, dan
agama. Sedangkan dalam Al-Qur’an maupun al-Sunnah, jenis-jenis
psikopatologi islami dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Psikopatologi yang
berhubungan dengan akidah atau berhubungan dengan Tuhan (illahiyah),
psikopatologi yang berhubungan dengan hubungan kemanusiaan (insaniyah),
psikopatologi yang berkaitan dengan akidah dan hubungan manusia.
2. Bentuk-bentuk gangguan jiwa menurut hukum pidana
Adapun bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana antara
lain gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan skizotipal dan gangguan
waham, gangguan neurotik, gangguan perilaku masa anak dan remaja, gangguan
psikosomatik dan retardasi mental.62Berikut penjelasan dari berbagai macam
gangguan jiwa tersebut diatas.
61Ibid.,hlm.134
62MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,(Cet.II, Jakarta:PT
Refika Aditama, 2007),hlm.63
-
35
1. Gangguan jiwa organik
Gangguan jiwa organik atau gangguan mental oraganik adalah
gangguan jiwa (psikotik maupun non-psikotik) yang diduga ada kaitannya
dengan faktor organik spesifik (bisa penyakit/gangguna sistemik tubuh atau
gangguan pada otak sendiri).63
2. Skizofrenia
Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang dapat
mempengaruhi pikiran, perasaan, perilaku individu. Istilah Skizofrenia
berasal dari bahasa yunani yaitu schizo (split/perpecahan) dan phren (jiwa).
Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan terpecahnya atau
terfragmentasinya pikiran individu dengan gangguan ini. Istilah skizofrenia
tidak menunjukkan beragamnya keprebadian pada individu.64
3. Gangguan skizotipal dan gangguan waham
Individu yang mengalami gangguan keprebadian skizotipal
(schizotypal personality disorder) memiliki cirri-ciri khas skizofrenia jauh
lebih banyak dibandingkan dengan orang yang mengalami gangguan
keprebadian skizoid, tetapi simtom-simtomnya tidak begitu berat untuk
membenarkan diagnosis skizofrenia. Individu yang menderita gangguan
keprebadian skizotipal memiliki pola-pola pembicaraan yang aneh, yakni
opla-pola pembicaraan yang menyimpang dan tidak jelas, tetapi ia tidak
menderita distorsi-distorsi yang berat (misalnya gado-gado kata/word
salads) sepeti yang kelihatan pada orang yang menderita
63Moch.Baharudin. Neurologi Klinis (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. 2017),
hlm. 377 64Surya Yudhantara, Synopsis Skizofrenia (Malang: UB Press, 2018), hlm 1
-
36
skizofrenia.65Sedangkan gangguan waham di definisikan sebagai gangguan
psikiatrik dimana gejala yang utama adalah waham. Gangguan ini
sebelumnya disebut ‘’paranoia’’ atau ‘’gangguan paranoid’’.Karena itu
dalam pedoman pengolongan gangguan jiwa di Indonesia I disebur Psikosis
Paranoid.66
4. Gangguan neurotik
Gangguan neurotik sebagian besar dialami sebagai suatu gangguan
fungsi intrafiskik, dan gejalanya adalah egodistonik, sementara patologi
keprebadian sebagian besar dialami sebagai gangguan fungsi antarpribadi,
dan pola perilaku maladaptif seringkali dialami sebagai ego-sintonik.
Contohya adalah seseorang dengan gangguan obsesif-komplusif akan
ketidakmampuannya untuk mengendalikan pikiran atau perilakunya
sendirinya, sementara keprebadian obsesif-kompulsif seringkali teriritasi
terhadap dan intoleran akan ketidaksempurnaan atau disorganisasi dari
orang lain.67
5. Gangguan perilaku masa anak dan remaja
Anak dengan gangguan perilaku menunjukkan perilaku yang
tidak sesuaidengan permintaan, kebiasaan atau norma-norma masyarakat.
Anak dengan gangguan perilaku dapat menimbulkan kesukaran dalam
asuhan dan pendidikan. Gangguan perilaku mungkin berasal dari anak atau
mungkin dari lingkungannya, akan tetapi akhirnya kedua faktor ini saling
65Yustinus Semiun, Kesehatan Mental (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm 21 66Inu Wicaksana, Mereka Bilang Aku Sakit Jiwa (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm 172
67Residen Bagian Psikiatri UCLA, Buku Saku Psikiatri (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran,
1997), hlm.319
-
37
mempengaruhi. Diketahui bahwa ciri dan bentuk anggota tubuh serta sifat
kepribadian yang umum dapat diturunkan dari orang tua kepada anaknya.
Pada gangguan otak seperti trauma kepala, ensepalitis, neoplasma dapat
mengakibatkan perubahan kepribadian. Faktor lingkungan jugadapat
mempengaruhi perilaku anak, dan sering lebih menentukan oleh karena
lingkungan itu dapat diubah, maka dengan demikian gangguan perilaku itu
dapat dipengaruhi atau dicegah.68
6. Gangguan Psikosomatik
Merupakan komponen psikologik yang diikuti gangguan fungsi
badaniah. Sering terjadi perkembangan neurotik yang memperlihatkan
sebagian besar atau semata-mata karena gangguan fungsi alat-alat tubuh
yang dikuasai oleh susunan saraf vegetatif. Gangguan psikosomatik dapat
disamakan dengan apa yang dinamakan dahulu neurosa organ. Karena
biasanya hanya fungsi faliah yang terganggu, maka sering disebut juga
gangguan psikofisiologik.
7. Retardasi Mental
Retardasi mental merupakan keadaan perkembangan jiwa yang
terhenti atautidak lengkap, yang terutama ditandai oleh terjadinya
rendahnya daya keterampilanselama masa perkembangan, sehingga
berpengaruh pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, misalnya
kemampuan kognitif, bahasa, motorik dan sosial.69
68MIF Baihaqi, dkk, Psikiatri Konsep Dasar dan Gangguan-gangguan,(Cet.II, Jakarta: PT
Refika Aditama, 2007), hlm.114 69Ibid.,hlm. 114
-
38
Dari uraian tersebut diatas dapat di pahami bahwa ganguan jiwa
dalam hukum pidana dapat disimpulkan secara umum bahwa semua keadaan
seseorang yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik maupun
mental. Sedangkan bentuk-bentuk gangguan jiwa dalam hukum pidana sangat
banyak sekali antara lain: Gangguan jiwa organik, skizofrenia, gangguan
skizotipal dan gangguan waham, gangguan suasana perasaan, gangguan neurotik,
gangguan somatoform, gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa,
retardasi mental, gangguan perilaku dan emosional dengan onset masa kanak dan
remaja.
B. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana
yang Dilakukan Oleh Orang yang Gangguan Jiwa
Sebagai perbuatan terlarang, pembunuhan merupakan tindakan
menghilangkan nyawa seseorang oleh seseorang atau sekelompok orang.
Berkenaan dengan masalah menghilangkan nyawa sebagai balasan bagi
pembunuh atau masalah hukuman karena meluasnya kebejatan di muka bumi,
maka hanya pengadilan dan hakim yang berwenang memutuskannya. Dalam
keadaan bagaimanapun, tidak seorangpun manusia berhak menghabisi hidup
orang lain sebagai pembalasan atau kerusakan. Oleh karena itu, kewajiban bagi
setiap manusia adalah saling menjaga dan melindungi hak hidup orang lain.
Kriminalitas merupakan tindakan yang tidak bisa dibenarkan, baik
dari segi norma hukum, sosial, terlebih lagi agama. Namun, hari ini (terutama di
Indonesia) tak sedikit orang yang menutup mata akan hal tersebut, hal ini
dibuktikan dengan tingginya angka tindak kriminal yang terjadi di negara ini.
-
39
Namun terlepas berapa angka kriminal yang terjadi, dari deretan kasus, ada satu
kasus yang cukup menghebohkan publik Indonesia, yaitu kasus kejahatan dengan
dugaan penegak hukum pelakunya adalah orang gila.
1. Pandangan Hukum Islam Terhadap Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa
Dalam hukum Islam pidana sering di istilahkan
jarimah dan jinayah. Hanya saja dalam Islam lebih di perjelas bahwa
hukumannya atau pertanggung jawaban dari tindak pidana
berupa qishas dan hudud ataupun ta’zir. Gila dalam hal pembunuhan secara
umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah melakukan tindak pidana
pembunuhan. Gila yang muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik
sebelum atau setelah proses pengadilan. Adapun pertaggungjawaban orang gila
berkaitan dengan pidana ini berbeda-beda, perbedaan ini disebabkan dua aspek,
apakah gilanya menyertai jarimah atau terjadi sesudahnya. Adapun rinciannya
adalah sebagai berikut:
a). Gila yang menyertai jarimah (tindak pidana)
Apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam
kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana,
karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan idrak
(berfikir).70 Para ulama sepakat bahwa gila termasuk dari awaridhul
ahliyah (hal yang menghalangi jatuhnya beban hukum terhadap seseorang).
70https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-
islam/, akses 14 November 2019
https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/
-
40
Dalam hal ini yang menjadi landasannya adalah hadits Rasulullah SAW
yang berbunyi:71
ِ َحتَّى يَبْ بِي يَْستَْيِقَظ ، َحتَّى ِن النَّائِمِ ، َوعَ لُغَ ُرفَِع اْلقَلَُم َعْن ثاَلٍث : َعِن الصَّ
َوَعِن اْلَمْجنُوِن َحتَّى يُِفيقَ Artinya:“Pena diangkat dari tiga kelompok manusia: dari anak kecil
hingga dia baligh, dari orang tidur hingga dia bangun, dari orang
gila hingga dia sadar.” (HR Ahmad).72
Dari sini dapat disimpulkan bahwa apabila seorang yang mengidap
penyakit gila melakukan tindakan jarimah al-hudud atau tindak pidana yang
berkonsekunsi pada penegakan had, seperti berzina, mabuk, mencuri dan
sebagainya maka ia tidak terkena hukuman had alias gugur.
Adapun dalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat.
Maka orang gila tidaklah diqishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah
Maliyah, yaitu dengan membayar diyat. Hal tersebut dikarenakan kejahatan yang
berkaitan dengan hak hamba itu tidak bisa digugurkan seperti halnya hak Allah.
Sedang pembunuhan yang ia lakukan itu disamakan dengan al-qathl al-
khata’. Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’i mengatakan
“(perbuatan) yang disengaja oleh orang gila itu (dianggap) khata”73
Jadi, apabila gila menyertai tindakan pidana (saat melakukan dalam
kondisi gila), maka pelakunya dibebaskan dari pertanggung jawaban pidana,
karena saat melakukan hal tersebut ia tidak mempunyai kemamuan, namun
71 Al-Hafidz Abu Daud bin Sulaiman bi al-Asy’ats al-Sinjistani, Sunan Abi Daud (Bierut:
;Dar al-Fikr) 4/194 72Ibid 73https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-
islam/, akses 14 November 2019
https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/https://www.annursolo.com/pertanggunjawaban-orang-gila-dalam-kasus-pidana-menurut-islam/
-
41
jikadalam tindak pidana yang berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang
gila tidaklah di qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah,
yaitu dengan membayar diyat.
b). Gila yang datang kemudian
Muncul setelah seseorang melakukan jarimah, baik
sebelum atau setelah proses pengadilan. Dalam masalah ini para ulama
berbeda pendapat: Menurut pendapat Syafi’iyah dan Hanabilah, tidak
menghalangi dan menghentikan proses hukuman, artinya mereka tetap
diqishas dan dikenai had meskipun mereka dalam kondisi gila. Hal ini
dikarenakan menurut mereka dasar dari dilaksanakanya hukuman adalah
terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindakan pidana, Madzhab
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa seorang pelaku tindak pidana
yang kemudian mengalami kegilaan tidak dikenai had dalam jarimah
hudud hingga tersadar, dikarenakan penegakan had masuk juga dalam
perkara taklif yang dibebankan pada orang gila, sedangkan mereka bukan
lagi mukhatab ketika masa pengadilan ataupun masa eksekusi karena
kegilaannya. Serta karena syarat legal penegakan had menurut Hanafiyah
bukan hanya terpenuhinya syarat taklif ketika melakukan tindak pidana
saja, namun juga saat masa pengadilan dan eksekusi hukuman.74
Maka menurut hukum Islam, gila dalam hal pembunuhan secara
umum terbagi dua, yaitu sebelum dan sesudah melakukan tindak pidana
pembunuhan. Jadi, apabila gila menyertai tindak pidana (saat melakukan dalam
74Ibid.,
-
42
kondisi gila) ataupun disebut gila sebelum, maka pelakunya dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana. Namun jikadalam tindak pidana yang
berkonsekuensi qishash dan diyat. Maka orang gila tidaklah di
qishash. Melainkan hukuman diganti dengan uqubah Maliyah, yaitu dengan
membayar diyat. Sedangkan gila sesudah melakukan tindak pidana atau datang
kemudian baik sebelum atau setelah proses pengadilan, menurut pendapat
Syafi’iyah dan Hanabilah tetap diqishas dan dikenai had meskipun mereka dalam
kondisi gila. Sedangkan Madzhab Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat tidak
dikenai had dalam jarimah hudud hingga tersadar.
2. Pandangan Hukum Pidana Terhadap Pembunuhan dengan Gangguan
Jiwa
Pembunuhan yang dilakukan oleh orang gila jika dipandang dari
hukum pidana, maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya
tersebut. Sebagaimana yang tertera dalam pasal 44 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana) yang berbunyi: Barangsiapa melakukan perbuatan yang
tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Kemudian, Pasal 44 ayat (2) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) yang berbunyi: Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat
atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29
-
43
itu dimasukkan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu
percobaan.75
Kemudian dalam ilmu hukum pidana dikenal alasan penghapus
pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP): Alasan penghapus pidana dapat terjadi karena
perbuatannya tidak dapat dipidana atau perbuatannya yang tidak dapat dipidana.
Dalam hubungan ini, maka alasan penghapus pidana, dapat dibedakan menjadi:
alasan pembenar&alasan pemaaf tidak mampu bertanggungjawab terdapat dalam
pasal 44 KUHP.
Disamping alasan penghapus pidana yang diatur dalam undang-
undang seperti diatas tersebut, schaffmeister, keijer dan sutorius mengatakan,
masih ada alasan penghapus pidana diluar undang-undang yaitu: a). izin dan
norma-norma jabatan yang sudah diterima (alasan pembenar); b). sesat (fakta dan
hukum), dan ketidakmampuan yang dapt dimaafkan (alasan pemaaf).76
Maka jelaslah bahwa jika dihukumi lewat kacamata hukum pidana,
maka pelaku akan terbebas dari jerat hukum sebab kegilaannya tersebut.
Sebagaimana yang tertera dalam alasan pemaaaf point pertama yakni, tidak
mampu bertanggungjawab yang terdapat dalam pasal 44 ayat 1 dan 2 KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
75Andi Hamzah, KUHP DAN KUHAP, (Jakarta: Rineka C ipta,2015), hlm. 23 76Suyanto, Pengantar Hukum Pidana, (Yogyakarta: Deepublish, 2018), hlm.114
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c7b7fd88a8c3/node/38/wetboek-van-strafrecht-%28wvs%29-kitab-undang-undang-hukum-pidana-%28kuhp%29
-
44
C. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana
Pembunuhan dengan Gangguan Jiwa Menurut Hukum Islam dan
Hukum Pidana
Pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana menyangkut
pembahasan-pembahasan tentang arti dan dasar pertanggungjawaban pidana;
hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidana; hal-hal yang
mempengaruhi pertanggungjawaban pidana.
1. Arti dan dasar pertanggungjawaban pidana
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syari’at Islam ialah
pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak adanya
perbuatan) yang dikerjakannya dengan kamauan sendiri, di mana ia mengetahui
maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbuatannya itu.77 Sementara dalam
hukum pidana pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya
celaaan yang objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang
ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya
perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya
pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana
hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan
pidana tersebut. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah
pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.78
77 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1968), hlm. 154 78Mahrus ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta:sinar grafika, 2012). Hlm.157
-
45
Dalam syari’at Islam pertanggungjawaban itu didasarkan kepada tiga
hal berikut:
a. ) Adanya perbuatan yang dilarang
b. ) Perbuatan itu dikerjakan dengan perbuatan sendiri
c.) Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.
Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula
pertanggungjawaban, dan kalau tidak terdapat maka tidak ada pula
pertanggungjawaban pidana. 79 Maka dengan adanya tiga syarat yang disebutkan
diatas maka kita dapat mengetahui bahwa orang yang bisa dikenakan beban
pertanggungjawaban pidana hanyalah manusia yang berakal, dewasa dan
berkemauan sendiri.Kalau tidak terdapat syarat demikian maka tidak dapat pula
dikenakan pertanggungjawaban atasnya, sebab orang yang tidak berakal fikiran
tidak termasuk orang yang mengetahui dan dan bukan orang yang mempunyai
pilihan, demikian juga orang yang belum dewasa.Oleh karena itu, tidak ada
pertanggungjawaban bagi orang gila, kanak-kanak, orang yang sudah hilang
kemauannya dan orang yang dipksa atau terpaksa.
2. Hal-hal yang menimbulkan pertanggungjawaban pidana
Faktor yang mengakibatkan pertanggungjawaban pidana adalah
perbuatan maksiat yakni, perbuatan melawan hukum, yaitu mengerjakan
perbuatan (larangan) yang dianggap oleh syara’ atau sikap tidak berbuat yang
diharuskan oleh syari’at. Meskipun perbuatan melawan hukum menjadi sebab
adanya pertanggungjawaban pidana, namun diperlukan dua syarat bersama-sama
790pcit., hlm 154
-
46
yaitu, mengetahui dan pilihan. Kalau salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada
pertanggungjawaban pidana.80
3. Hal-hal yang mempengaruhi pertanggungjawaban pidana
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pertanggungjawaban
pidana dalam hukum islam yaitu: Tidak tahu, lupa dan keliru. Berikut
penjelasannya masing-masing dari faktor tersebut.
1. Tidak tahu, salah satu aturan pokok dalam syariat islam ialah bahwa
pembuat tidak dihukum karena sesuatu perbuatan yang dilarang kecuali
kalau ia mengetahui (benar-benar) dengan kesempurnaan tentang
dilarangnya perbuatn tersebut. Kalau ia tidak tahu tentang dilarangnya
tersebut maka pertanggungjawaban pidana terhapus dari padanya.
2. Lupa, menurut Aam Imaduddin lupa adalah kondisi dimana kita terlepas
dari ingatan terhadap sebuah peristiwa , dan biasanya ini bersifat alami,
sesuai dengan sunnatullah bahwa ada ingat ada lupa.81sedangkan
menurut Ahmad Hanafi lupa ialah tidak tersiapnya sesuatu pada waktu
dibutuhkan (diperlukan), dalam syariat islam di gandengakan dengan
keliru. 82
3. Keliru, ialah apabila terjadi bukan atas kehendak si pembuat. Dari segi
pertanggungjawaban pidana orang yang keliru dipersamakan dengan
orang yang sengaja berbuat, selama perbuatan yang terjadi daripadnya
diharamkan oleh syara’. Akan tetapi sebab adanya pertanggungjawaban
tersebut pada masing-masingnya berbeda-beda. Pada perbuatan sengaja
80Ibid., hlm. 159 81Aam Imaduddin, memahami arti perubahan, (tasikmalaya: edu publisher, 2018), hlm. 54 82Opcit., hlm. 184
-
47
sebabnya ialah sengaja menyalahi (melawan) perintah syara’, dan pada
perbuatan karena keliru sebabnya ialah menyalhi syara’ bukan karena
sengaja, melainkan karena kelalaina dan tidak adanya hati-hati dan
ketelitian. 83
4. Bentuk Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Islam
Adapun yang menjadi faktor pertanggungjawaban dalam hukum
Islam yaitu: Adanya perbuatan yang dilarang, perbuatan itu dikerjakan dengan
perbuatan sendiri dan pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu. Jadi apabila
terdapat tiga hal tersebut maka terdapat pula pertanggungjawaban, dan kalau tidak
terdapat maka tidak ada pula pertanggungjawaban pidana.84