The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan...

77
The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani.

Transcript of The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan...

Page 1: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

The Marriage Roller CoasterKarya: Nurilla Iryani.

Page 2: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 1 : Shopping is the Best Aspirin.

Aku tersenyum melihat bayangan diriku di kaca fitting room. Cantik. No, maksudku dressMarc Jacobs ini terlihat cantik di tubuhku, seperti memang dibuat khusus untukku.“Audi, gimana?” Sonya, sahabatku, mengintip dari balik tirai.“Bagus nggak” tanyaku sambil bergoyang-goyang centil.Sonya mengamatiku lekat-lekat, “Bagus sih. But don’t you think it’s too expensive?”“Ini investasi!” jawabku asal.“Investasi nenek moyang lo!” wajah Sonya kembali menghilang dari balik tirai.Aku hanya terkekeh. Fokusku kembali pada bayanganku di kaca. I really love this dress. Tapibenar kata Sonya, this dress is too expensive, harganya hampir sepertiga gajiku … dan inimasih awal bulan. Pasti masih akan ada puluhan sesi belanja setelah hari ini.Argh, kapan sih aku dipromosiin sebagai manajer di kantorku? Aku butuh dana lebih untukbelanja! Ah sudahlah, buat apa aku kerja kalau aku nggak boleh menikmati hasil jerihpayahku sendiri. Valid? Yes. Toh kalau sampai gajiku bulan ini habis, kan masih ada jatahbelanja dari Rafa, suamiku tercinta. Makin valid? Yes yes yes. Lagipula seperti yang akubilang tadi. Ini investasi. Yes, Ladies, say this to yourself, beli pakaian bagus itu investasi.Mungkin pakaian bagus memang nggak kayak emas yang kemungkinan besar bisa dijuallebih mahal setelah kamu simpan di lemari selama lima tahun. Tapi percayalah pakaianbagus bisa membuat kepercayaan diri meningkat berkali-kali lipat. Dan saat percaya dirisudah meningkat, dampaknya akan besar untuk kehidupan kamu. It will make you feel likeyou own the world! Kalau dalam kasusku, kepercayaan diri yang tinggi saat aku mengenakanpakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien.Kalau kata Syahrini, cetar membahana! Biasanya ini akan berujung dengan keberhasilankumenjadikan mereka klien baru untuk perusahaan market research tempatku bekerja. Ujung-ujungnya, aku dapat bonus besar tiap tahun di kantor. Masih mau bilang pakaian bagusbukan investasi? Jelas nggak ada alasan untuk nggak membeli dress cantik ini. Aku melepascalon dress baruku dan segera menuju kasir. Hello cute dress, you’ll have a new home!“Mau belanja apa lagi, Nyoya?” Sonya melirik kantong belanjaan di tanganku ketika akumeninggalkan toko.“Enough for today. Sisain buat besok-besok,” jawabku sambil tersenyum lebar,memamerkan deretan gigiku yang rapi.Sonya hanya menggelengkan kepalanya.Aku kadang heran, Sonya ini sahabatku sejak kuliah, artinya kita sudah hampir tujuh tahunsahabatan. Tapi kenapa dia masih belum kebal juga ya melihat kebiasaan belanjaku? Saatmasih kuliah dulu, dengan uang bulanan pas-pasan saja aku sudah hobi belanja sepatu, tas,dan pakaian. Meskipun kadang aku sampai harus puasa dan nabung berbulan-bulan duluuntuk membeli barang yang aku inginkan. Jadi, ketika sekarang – saat aku sudah punyapenghasilan sendiri – bakat belanjaku lebih terasah, dia sudah lebih maklum. Badak jawajuga nggak akan bisa menghalangiku berseliweran dari butik ke butik deh!“Rafa nggak pernah protes ya lihat belanjaan lo yang harganya selangit gini?”

Page 3: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

“Pertama, dia nggak tahu harga belanjaan gue. Kedua, kalau gue tambah oke, kan, dia jugayang bangga. Jadi dia nggak boleh protes dong!” Seriously, aku selalu berpendapat kalaukekecean istri adalah salah satu lambing kesuksesan pria. Penjelasannya sederhana saja.Sering kali kesuksesan seorang suami bisa dinilai dari harga tas, sepatu, dan pakaian mahalistrinya. Dan jangan lupa, hanya pria sukses yang mampu membiayai perawatan tubuhistrinya agar kinclong selalu di klinik kecantikan yang sekali datang biayanya sama denganharga BlackBerry entry level. Shallow, I know. But that’s the truth, my dear. Sayangnya,kadang pria-pria itu justru nggak punya waktu melihat istri-istri mereka yang tampil semakinmenawan karena terlalu sibuk mengejar uang dan kekuasaan. Mereka nggak bisa lihat hasilkesuksesan mereka. Ironis.“Lagipula, ini salah satu car ague nyenengin diri sendiri, Sonya. Lo tahu sendiri, suami guesibuknya kayak apa. Kalau gue nggak bisa cari pelarian buat senang-senang, gue bisa stress!”lanjutku.Sonya melirikku sekilas, “Mulai deh curhat colongan. Cari makan yuk!”Sudahlah, aku nggak mau bahas kesibukan suamiku yang mengalahkan presiden negeri inisekarang. I’m in the middle of shopping, kegiatan paling menyenangkan sedunia!“Sushi Tei?” ceplosku saat tiba-tiba menemukan lambang restoran favoritku ada tepat didepan mata.“Yuk!” jawab Sonya cepat. Nggak susah untuk menemukan meja kosong di Sushi Tei padahari kerja seperti ini. Mungkin semua orang memilih untuk langsung pulang dan makanmalam bersama keluarga tercinta setelah lelah bekerja seharian. Sedangkan aku? Suamikupasti masih lembur di kantor, jadi lebih baik aku menghabiskan waktuku dengan sahabatkudaripada harus makan sendirian di rumah. Tuh kan, curhat lagi deh aku, sebentar lagimungkin aku bisa bikin lagu baru buat Kangen Band! Duh!“Itu cowok kayaknya gue kenal deh,” kata Sonya dengan pandangan lurus ke mejabelakangku tepat setelah kita duduk.“Lo selalu ngomong gitu tiap lihat cowok ganteng,” sahutku cuek. “Itu radar cewek single,Nyet!” kata Sonya sambil terkekeh.“Tapi kayaknya ini gue beneran kenal. Itu Yoga bukan sih” lanjutnya.“Yoga siapa?” tanyaku.“Ada berapa Yoga sih yang kita kenal, Di? Yoga Indrajati! Mantan lo zaman kuliah dulu! Diasama cewek!”What? Refleks pandanganku menuju ke meja di belakangku. Benar itu Yoga, mantankusebelum menikah dengan Rafa. Ini pertama kalinya aku melihatnya setelah putus sekitar tigatahun lalu. Dia ambil S2 di Prancis saat kita putus dan sejak saat itu pula aku memutuskankomunikasi dengannya. Ternyata dia sudah kembali ke Jakarta, toh?“It’s his mom, Sonya!” kataku setelah buru-buru kembali menghadap Sonya sebelum Yogaataupun Ibunya melihatku.“Oya? Masih muda gitu. Cantik banget,” kata Sonya.Aku hanya mengangguk mengamini kata-kata Sonya. Wajah ibunya Yoga memang seolahnggak termakan waktu. Mungkin dia salah satu wanita yang menggunakan jasa klinik

Page 4: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

kecantikan dengan biaya sama dengan harga BlackBerry untuk sekali kedatangan sepertiyang aku bilang tadi.“He’s coming!” kata Sonya. Matanya melotot kepadaku. “What?” entah kenapa tiba-tibajantungku berdebar kencang. “Kayaknya mau pulang. Dia mendekat.” Sonya segeramengalihkan pandangannya.Oh no! I don’t wanna meet him. Not now! No, I don’t wanna meet him forever! Oke,sebetulnya aku putus baik-baik dengannya tiga tahun lalu. Putus via e-mail masih lebih baik-baik kan daripada aku menghilang begitu saja? Well, setidaknya aku menganggap putuskubaik-baik karena setelah email itu, aku nggak menerima email ngamuk-ngamuk dari Yoga.Lebih tepatnya, aku nggak pernah menerima email apa pun darinya lagi. Alasanku saat itusangat cliché. Aku bilang setelah tiga bulan mencoba pacaran jarak jauh dengan Yoga – akudi Jakarta, dia di Prancis – aku nggak sanggup.masalahnya, bukan itu alasan sebenarnya.Alasan sebenarnya adalah … aku bertemu Rafa dan jatuh cinta. Dan sekarang, melihat wajahitu, tiba-tiba saja aku merasa bersalah. Bagaimana kalau dia ternyata tahu alasanku yangsebenarnya? Bagaimana kalau dia marah-marah kepadaku sekarang setelah semua berlalutiga tahun? Tenang, Audi. Tenang. Ah, nggak mungkin dia tahu. Aku bahkan langsung me-nonaktifkan Facebook-ku setelah putus dengannya supaya dia nggak lagi tahuperkembangan hidupku. Semoga dia nggak lihat aku! Argh, aku ingin ditelan bumi sekarangjugaaa!

Page 5: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 2 : Loneliness

“Sonya?”That’s it. Yoga melihat Sonya!“Audi!”And of course, now he sees me!Nada suaranya saat menyebut namaku barusan lebih mirip suara orang kaget ketemu hantudaripada ketemu mantan pacar. Yoga benar-benar nyaris berteriak. Mungkin dia pikir dianggak akan pernah bertemu denganku lagi seumur hidupnya. Aku memaksa bibirku untuktersenyum. Yoga membalasnya dengan senyuman yang membuat ekspresi mukanya tampakaneh. You know, ekpresi muka gado-gado antara kaget, senang, bingung, marah, semuanya.Waktu seperti berhenti sesaat. Canggung.“Apa kabar?” Tanya Sonya berusaha mencairkan suasana. “Baik.” Jawab Yoga. “Kalian apakabar?” Tanya balik.“Great,” jawab Sonya.Aku hanya tersenyum, masih terlalu kaget dengan pertemuan ini. Dan yang pasti, masihlebih memilih ditelan bumi!“Ma, ini Audi. Masing ingat? Dan ini temannya. Sonya?” Yoga merangkul mamanya yangsejak tadi sudah tersenyum ramah.“Iya, Mama ingat kok,” jawab ibunya.Nggak mungkin dia nggak ingat. Selama jadi pacar Yoga, aku sering banget ke rumahnya.Rumah Yoga nggak jauh dari kampus, jadi kalau ada jarak break kuliah yang agak lama, diasuka mengajakku pulang ke rumahnya dulu. Nggak banyak sebetulnya yang bisa di lakukandi rumah Yoga. Paling-paling Cuma nonton TV atau main board game bareng. Tapi ada satuhal yang selalu jadi favoritku: acara makan siang. Pertama, karena masakan ibunya Yoga inipaling enak sedunia. Kedua, karena aku yang saat itu masih berstatus anak kost pasti merasadapat rezeki nomplok karena boleh makan gratis.“Apa kabar, Tante?” aku terpaksa berdiri dan menyalami tangan ibunya Yoga.“Baik. Kok nggak pernah main ke rumah lagi sih?” tanyanya.Aku harus jawab apa? Aku sudah putus dengan anak Tante, jadi buat apa main ke rumahTante? Numpang makan lagi? Aduh, basa-basinya susah banget dijawab sih!“Hmm. Sudah kerja, Tante. Sering lembur, jadi jarang main,” jawabku akhirnya.“Kapan-kapan mampir dong. Ngobrol-ngobrol. Nanti Tante bikini taoge goreng kesukaankamu.”Astaga, dia bahkan masih ingat menu makan siang yang dulu selalu aku habiskan dengannggak tahu dirinya.“Iya, Tante.”“Ya udah, kita duluan ya,” kata sang ibu sambil melambaikan tangannya dengan anggun.Aku hanya mengangguk sopan, sedangkan Yoga kembali memaksakan sebuah senyumananeh sebelum akhirnya mengikuti langkah ibunya meninggalkan aku dan Sonya.“Awkwaaaard!” kata Sonya sambil tertawa kencang ketika Yoga dan ibunya sudah keluar

Page 6: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

dari Sushi Tei.“Sialan lo!” aku melempar tisu ke arah Sonya.“Lo nggak pernah ketemu dia sejak putus ya?” Tanya Sonya. “Nggak pernah. Ini pertamakalinya setelah putus.”“Tambah ganteng aja si Yoga,” kata Sonya sambil tersenyum nakal. “Badannya lebih berisi.Nggak kurus kerempeng kayak dulu. Memang dia bahagia sama pacarnya yang sekarang,”lanjutnya.“Maksud lo, dia tersiksa waktu pacaran sama gue, jadi kurus kerempeng?!”Sonya tergelak.Apa iya Yoga sudah mendapatkan penggantiku? Siapa kira-kira wanita itu ya? Apa temannyasaat kuliah di Prancis? Apa wanita itu lebih cantik dariku? Ah, sudahlah. Buat apa akumemikirkan ini? Aku juga sudah mendapatkan penggantinya. Aku bahkan sudah menikah.Nggak pantas bagiku memikirkan pria lain. Ya, kan? Aku membuka pintu apartemenku.Gelap. Artinya Rafa pasti masih lembur di kantor padahal jam tanganku sudah menunjukkantepat pukul 11 malam. Semakin hari Rafa memang semakin sibuk dengan pekerjaannya.Kadang aku sampai curiga Rafa bukan hanya bekerja sebagai IT Consultant, tapi jugamerangkap jadi satpam kantor. Seriously, hampir nggak pernah dia pulang sebelum tengahmalam. Pekerjaanku sebagai marketing researcher sangat memungkinkanku untuk pulangtepat jam lima sore. Bayangkan berapa jam yang aku habiskan dengan duduk sendirikesepian di apartemen sambil menunggu Rafa pulang. Aku tetap nggak mengerti kesibukanRafa meskipun dia berkali-kali menjelaskan tentang pekerjaannya, tapi aku mencoba untukmenjadi istri yang mendukung suaminya. I was trying hard to not complain. I won’t say it’seasy. Sering banget aku pengin protes. Tapi aku tahu. Semua nggak ada gunanya. Yang akubisa lakukan hanya bersabar. Dan untuk mewujudkan rencanaku menjadi istri yang nggakbanyak complain itu, aku butuh menyibukkan diriku juga. Apalagi kalau bukan denganmenggiring Sonya dari mal ke mal setiap pulang kantor. Rafa membayar mahalkesibukkannya dengan tagihan credit card yang kadang bikin nangis gara-gara ulahku.Untung dia nggak pernah protes. Sekarang, setelah lebih dari satu tahun menikah, aku mulaiterbiasa dengan semua ini. But it doesn’t mean that I’m not sad. Ingin sekali rasanyamemeluk Rafa setelah lelah bekerja seharian. Ingin sekali menceritakan semua hal yangterjadi pada diriku setiap harinya. Aku mengambil BlackBerry-ku, menghubungi Rafa.“Hallo,” terdengar suara Rafa di seberang sana.“Pulang malem lagi?” “Iya, Sayang. Kamu tidur duluan aja.”Percakapan yang sama setiap hari. Entah kenapa aku masih saja meneleponnya setiapmalam. “Oke. Cepat pulang ya, Sayang.” “Iya,”Klik. Aku menarik napas dalam, membanting tubuh lelahku di sofa empuk depan TV.Sendirian lagi malam ini. Entah untuk yang ke berapa kalinya. Normalkah pernikahanku?Buat apa kita menikah kalau bertemu saja susah begini? Buat apa kita menikah kalau tetapmerasa sendirian dan kesepian? Ah ternyata, pernikahan jauh sekali dari bayangankusebelumnya.

Page 7: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 3 : Having a Child

Untuk sebagian besar orang Jakarta, weekend boleh jadi adalah hari yang sangat ditunggu-tunggu. Beberapa orang menganggap Sabtu – Minggu adalah waktu yang sangat berhargakarena Cuma di dua hari itu, seluruh anggota keluarga bisa berkumpul setelah lima harisebelumnya sibuk dengan urusan masing-masing. Ada juga yang menanti weekend karenahanya di akhir pecan mereka punya waktu untuk melakukan hobinya, jadi fotograferamatiran yang hobi hunting foto misalnya. Bahkan ada yang menunggu weekend hanyasupaya bisa tidur seharian tanpa gangguan apa pun, Tanya jombloers. Buatku, weekendseharusnya jadi hari di mana aku dan Rafa bisa punya quality time untuk berduaan. Tapikenyataannya, sepertinya hampir setiap weekend, ada saja acara-acara yang harus kitahadiri untuk kepentingan social. Minggu lalu, weekend kita padat dengan kondanganteman-teman yang menikah. Minggu sebelumnya lagi, kita harus pergi ke ulang tahunpernikahan tanteku di Bandung. Dan weekend ini, aku dan Rafa justru harus menghadiriacara arisan keluarga besarnya Rafa.Huh! Yup, sejak tadi pagi aku sudah ada di rumah mertua dengan senyuman yang nggakpudar sama sekali. No, aku tersenyum bukan karena senang, tapi karena memang aku wajibpasang muka manis di depan semua tamu. Lagipula, bagaimana aku bisa senang kalausemua tantenya Rafa menceramahiku habis-habisan untuk segera punya anak, sama persisseperti arisan keluarga bulan-bulan sebelumnya. Apa hak mereka menyuruhku untuk segerapunya anak? Memangnya mereka mau kasih makan dan membayar semua biaya pendidikananakku nanti? Aku benar-benar bernapas lega saat mereka mulai pulang satu persatu.Sekarang tinggal aku dan ibu mertuaku di teras belakang rumah. Kami sedang menikmatiteh hangat sambil mengistirahatkan badan setelah lelah beres-beres.“Bulan depan arisan di rumah Tante Dewi. Kamu dateng lagi ya, Audi,” kata Ibu mertuakusambil tersenyum.Aku tersenyum kecut. Bulan depan aku harus bertemu dengan para tante itu lagi? Merekapasti akan menceramahiku dengan hal yang sama lagi. Kapan ya mereka akan bosan? Akuyang jawab saja sudah bosan setengah mati. Oh God, please help me!“Oia, kamu dan Rafa nggak nunda punya momongan, kan?” kata ibu mertuaku.Hampir saja aku menyemburkan teh dalam mulutku. Apa-apaan ini? Kenapa sekarang ibumertuaku ikut-ikutan menanyakan tentang anak? Dia sama sekali nggak pernahmenanyakan hal ini sebelumnya.“Nggak kok, Bu. Cuma belum dikasih aja,” jawabku. Oke, aku terpaksa bohong.“Ibu sudah nggak sabar pengin gendong cucu!” Matanya menatap lurus ke halamanbelakang.Aku yakin dia sedang membayangkan bermain bersama cucunya di halaman belakangnyayang luas ini.Rafa adalah anak tunggalnya, hanya dari Rafa dia bisa mengharapkan seorang cucu. Akudiam, nggak tahu harus berkata apa. Aku nggak mau menjanjikan apa pun kepadanya.Bagaimanapun juga sekarang ini dia adalah ibuku, aku nggak mau membuatnya kecewa.

Page 8: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Rafa, where the hell are you? I need you now. “Kalian kan sudah satu tahun menikah tapibelum juga dikasih keturunan. Apa nggak lebih baik periksa ke dokter?” sekarang Ibumertuaku memandangku serius. What? Periksa ke dokter?“Audi!” Rafa tiba-tiba muncul dari balik pintu, “Aku cari ke mana-mana, ternyata ada disini!”Here you are, Rafa! Kenapa baru datang sekarang?“Aku lagi ngobrol sama Ibu,” jawabku sambil tersenyum.“Lagi seru ya, Bu? Aku mau ajak Audi pulang,” kata Rafa sambil tersenyum ke ibunya.Oh my lovely husband, kamu seperti dewa penyelamat bagiku. Yes, this is a perfect time togo home sebelum kepalaku benar-benar pecah karena topic anak hari ini.“Kok buru-buru sih, Raf?” kata Ibu. Dia pasti masih merindukan anaknya. Sejak tadi pagimereka belum sempat mengobrol.“Kita udah di sini dari pagi, Bu. Aku agak ngantuk,” kata Rafa memberi alasan.“Kan bisa tidur di kamar tamu,” kata Ibu.“Nggak deh, Bu. Aku pulang aja,” Rafa tersenyum sopan ke Ibunya, “Yuk, Di!”“Ya udah, hati-hati ya!” ada kekecewaan di wajah Ibu, tapi dia tampak berusahamenutupinya. Dia pasti kesepian tinggal di rumah besar ini hanya dengan seorangpembantu. Suaminya, ayah Rafa, sudah meninggal beberapa tahun lalu. Seketika akumerasa bersalah, mungkin memang nggak seharusnya aku dan Rafa buru-buru pulang.Bahkan mungkin lebih baik kita sesekali menginap di sini, menemani Ibu supaya nggakkesepian. Aku saja bosan setengah mati setiap menunggu Rafa pulang, padahal aku sudah diluar rumah seharian. Apalagi Ibu yang setiap hari menghabiskan sebagian besar waktunya didalam rumah. Atau mungkin sekarang sebetulnya memang saat yang tepat untuk aku danRafa mulai memikirkan punya anak? Dengan punya anak, aku nggak sendirian saatmenunggu Rafa pulang. Dengan punya anak, aka nada keramaian baru di halaman belakangrumah Ibu. “Tadi Ibu nanyain tentang anak,” kataku setelah Rafa melajukan mobilmeninggalkan rumah Ibu. “Terus kamu bilang apa?” Tanya Rafa. Wajahnya tetap datarmemandang jalan.“Aku bohong. Aku bilang memang belum dikasih aja.”“Oh.”Oh? Hanya itu reaksinya? Aku kebingungan setengah mati saat Ibu mengangkat topic ini danRafa hanya berkomentar ‘oh’.“Ibu kayaknya udah pengin punya cucu,” kataku mencoba memancing reaksi Rafa lebih jauhlagi.Rafa menguap, “Iya, tapi aku belum siap, kita kan sudah bahas ini sejak sebelum nikah.”Wajah Rafa jelas sekali menunjukkan ketidaktertarikan terhadap topik ini.Aku dan Rafa memang sudah sepakat akan menunda memiliki anak sampai entah kapan.Oke, sebetulnya ini adalah permintaan Rafa, aku nggak keberatan karena toh usiaku baru 25tahun. Usia produktifku masih berjalan beberapa tahun lagi. Rafa selalu bilang, dia belumsiap. Menurutnya, tanggung jawab menjadi ayah terlalu besar. I don’t get it actually.Umurnya sudah 30, memangnya dia mau menunggu sampai kapan? Teman-temannya juga

Page 9: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

hampir semuanya sudah punya anak. Sebagian bahkan anaknya sudah dua.“Tapi aku bingung kalau ditanyain tentang anak, Raf. Tadi tante-tante kamu juga nanyainkapan kita punya anak.”“Ya kamu senyum aja. Lama-lama juga mereka capek sendiri,” kata Rafa.Kapan capeknya? Sudah setahunan dan mereka belum juga lelah menanyakannya.“Ibu minta kita periksa ke dokter,” Rafa memandangku sekilas lalu kembali menatap jalanandi depannya. Dahinya tiba-tiba berkerut, wajahnya yang sebelumnya tampak tak pedulisekarang berubah serius, pertanda dia sedang berpikir keras.Ah, akhirnya dia ikut mikir. Enak saja aku harus pusing sendirian! “Ya udah. Kita juju rajadeh, kita bilang kita nunda,” kata Rafa akhirnya.Hah? Mengumumkan pada dunia kalau kita menunda punya anak jelas bukan solusi yangakan mengubah keadaan menjadi lebih tenang. Para Tante pasti akan semakin bawel. Ibumertuaku juga pasti akan sedih kalau tahu aku dan Rafa menunda untuk punya anak.“Nggak semudah itu, Raf!” kataku. “Terus maunya gimana, Audi?” nada suara Rafa sedikitmeninggi, “Kalau kita nggak jujur ya kamu akan terus-terusan ditanya tentang anak.”“Kalau kita jujur, ceramah tante-tante kamu itu nggak akan berhenti, justru tambahpanjang!” balasku.“Ya udah, kita nggak usah dateng lagi ke arisan keluarga. Selesai masalah!”“Kan Ibu yang minta kita dateng. Gimana nolaknya? Nggak enak dong, Raf.”“Terus aku harus selalu denger kamu ngeluh tiap habis ketemu keluargaku?” suara Rafasemakin meninggi.Oh my gosh! Aku nggak bermaksud buat mengeluh. Aku Cuma mau cerita. Bukankah halseperti ini harusnya dihadapi bersama?“Capek tahu denger kamu ngeluh tapi nggak mau dikasih solusi!” lanjut Rafa dengan nadatajam. Rafa selalu saja mencari solusi dari semua masalah yang aku utarakan. Padahal,kadang yang aku butuhkan bukan solusi. Yang aku butuhkan hanya dia duduk di sampingku,mendengarkanku dengan sabar lalu bilang kalau semua akan baik-baik saja. Sesimpel itu.Aku diam. Nggak ada gunanya melanjutkan pembicaraan ini. Aku membuang mukaku kearah sisi jalan dan menahan diri supaya nggak menangis di depan Rafa.He hates to see me cry. Sabar, Audi. Sabar. Tarik napas, buang. Tiba-tiba saja BlackBerry-kubordering. Sebuah nama yang muncul di layar sukses membuatku kaget. Yoga Indrajati,sodara-sodara! Argh, apa lagi ini? Aku sedang di mobil, rebut dengan Rafa, dan sekarangYoga meneleponku setelah tiga tahun namanya tidak pernah muncul di HP-ku. Kalau Rafasampai tahu yang meneleponku sekarang adalah mantan pacarku, dia pasti semakin marah.Dia pencemburu akut. Bagaimana ini? Angkat. Nggak. Angkat. Nggak. Angkat. Nggak. Astaga,alam semesta sepertinya berkonspirasi membuatku sebal.

Page 10: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 4: Perdebatan

“Kok nggak diangkat?” Tanya Rafa sambil melirik BlackBerry-ku yang masih terus bordering.Wajahnya masih jutek. Kalau aku terus-terusan membiarkan BlackBerry-ku ini berderingtanpa kuangkat, Rafa pasti curiga.Baiklah, lebih baik aku terima saja telepon dari Yoga. Lagipula, aku juga sebetulnyapenasaran setengah mati kenapa dia tiba-tiba saja menghubungiku. Ingat Audi, jangan sebutnama. Rafa nggak boleh dengar nama Yoga sama sekali.“Hallo.”“Hai, Audi. It’s me, Yoga.”Yes, I know it’s you. I wonder why you still keep my number. And I also wonder why I stillkeep yours. Selama bertahun-tahun ini aku pikir aku sudah nggak menyimpan nomornya.“Oh,” jawabku seolah nggak tahu sebelumnya, “Ada apa?”“Belum ganti nomor ya?” tanyanya basa-basi.Kalau aku sudah ganti nomor, ya nggak nyambung ke aku teleponnya.Pintar! Basi banget deh basa-basinya. Yoga ini dari dulu nggak pernah berubah, paling nggakbakat cari ide basa-basi sama orang. Dasar orang IT!“Belum. Ada apa?” tanyaku to the point. Seriously, keberadaan suami paling pencemburu didunia duduk di sampingku sekarang sama sekali bukan kondisi yang bagus untuk basa-basilama-lama dengan mantan di telepon. Bahkan aku yakin, Rafa yang sedang menyetir dengangaya sok cool itu pasti sebetulnya sedang memasang telinga tajam-tajam untukmendengarkan pembicaraan di telepon.Yoga hanya bergumam nggak jelas. Astaga, kebiasaannya belum hilang juga, bicaranya pastiberubah kayak kumur-kumur saat gugup. Satu dari sedikit kebiasaan buruk Yoga yang seringbanget bikin aku geregetan dulu. So not manly!“Apa? Nggak kedengaran!” Volume suaraku mengencang.Please Yoga, jangan nggak jelas sekarang. Aku nggak mau Rafa curiga. Lihat tuh wajahnyasudah mulai penasaran. Berani taruhan, dia pasti langsung menanyakan siapa yang telepontepat setelah aku menutup telepon ini.“Kamu ada acara malem ini?” Tanya Yoga.“Sorry ya, nggak bisa.” Jawabku cepat.Apa? Apa kataku barusan? Memangnya dia mau mengajakku pergi? Kenapa aku tiba-tibabilang nggak bisa?! Bodoh bodoh bodoh! Improvisasi mulutku memang suka dungu kalausedang panic begini. Kalau Sonya mendengar percakapan ini, dia pasti langsung meneriakikusebagai mantan GR-an.“Ya udah lain kali aja. Tadinya mau ngajak ngopi,” kata Yoga dengan suara yang nyaris nggakbisa didengar oleh telinga normal. Fuuuiiihhh…. Untung benar dia mau mengajakkuketemuan! Kalau ternyata salah, aku pasti sudah malu setengah mati.Wait? Buat apa dia mengajakku ketemu? Is it a date?“Iya, lain kali aja ya,” kataku menguatkan statementnya. Entah kenapa lain kali itu datang.“Oke. I’ll see you later.”

Page 11: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Aku buru-buru menutup telepon tanpa menjawab kata-kata terakhirnya. I know it’s rude.“Sonya?” Tanya Rafa saat aku memasukkan kembali BB-ku ke dalam tas.Benar kan dia pasti langsung bertanya saat aku menutup telepon? Sebesar apa punkemarahan Rafa, pasti lebih besar rasa penasarannya. Atau mungkin rasa curiga lebihtepatnya.“Iya…” aku bohong.Lebih baik aku bohong, kan, daripada ributnya makin parah? Please, say yes!“Ngajak jalan?”“Iya.”“Kenapa nggak mau?”“Emang kamu mau?”“Aku mau tidur di apartemen, ngantuk banget. Kalau kamu mau pergi sama Sonya ya pergiaja. Nggak apa-apa kok.”“Rafa…” aku mencoba membuat suaraku selembut mungkin, membuang jauh-jauh rasakesal yang masih tersisa,“Waktu kita bareng-bareng itu sedikit banget, makanya aku pengin manfaatin semaksimalmungkin tiap weekend begini. Aku pengin punya quality time sama kamu karena setiapweekdays kamu sibuk banget.”“Loh, kenapa tiba-tiba kamu protes aku sibuk?” Tanya Rafa masih dengan suara datar danmuka judesnya. Aku bukan protes! Aku hanya mengemukakan alasanku. Ih, Rafa ini kadanglebih sensi dari cewek PMS deh.“Aku kan udah jelasin pekerjaan aku sekarang. Loadnya tambah banyak, tanggung jawabkumakin besar. Tolong dong kamu pengertian sedikit aja,” lanjut Rafa. Hellooo? Hanya karenaaku bilang aku ingin punya quality time dengannya lantas dia bilang aku nggak pengertian?“Seriously, Raf?” aku memandangnya tajam. Aku tersinggung. Jadi selama ini dia nggaksadar betapa aku sudah mengalah dan bersabar menghadapi dia yang sibuk setengah mati.Mungkin Rafa pikir kewajiban dia sebagai seorang suami memang hanya mencari uangsegunung. Dia sepertinya lupa kalau dia juga punya keharusan untuk menjagaku,memberiku perhatian, dan membuatku merasa berharga. And I know exactly that he forgetsto love me.Rafa melirikku. “What?” suaranya datar seolah tak ada yang salah dengan kata-katanya.“Aku kurang pengertian apa, Raf? Kamu selalu pulang malem sampai aku harus tidursendirian, makan sendirian, nggak bisa ngobrol sama suamiku sendiri. Apa aku protes? Apaaku marah? Susah ya untuk menghargai itu semua?” aku meledak. Kata-kataku meluncurbegitu saja. Cepat dan tajam. Dadaku sesak saking kesalnya.“Ini apa namanya kalau bukan protes? Ini apa namanya kalau bukan marah?” kata Rafa sinissambil melirikku tajam dari ujung matanya.Aku menarik napas dalam, “Aku capek, Raf.” Kataku pelan.Rafa, I wish you could drink your words and realize how bitter they taste! Kali ini aku nggaksanggup lagi membendung air mataku. Sakit banget rasanya mendengar semua kata-kataRafa.

Page 12: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

“Nangis lagi,” kata Rafa, “Kapan dewasanya sih kamu? Dikit-dikit nangis!” Rafamenggelengkan kepalanya, matanya tetap lurus ke jalan.Sekeras itukah hati kamu, Raf? Bahkan air mataku pun nggak mampu membuatmu sedikitmelunak. Ah, jangankan melunak, kamu bahkan selalu mengeluarkan kata-kata yangsemakin menyakitkan setiap kali melihatku menangis.

What are you, raf? Monster?

Fine. Kalau Rafa nggak mau menghargaiku, buat apa aku menghargai dia? Aku mengambilBB-ku dari dalam tas, mengetik SMS.

Hari ini gak bisa. Kalau besok gimana?SMS SentTo: Yoga.

Page 13: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 5: About Yoga It starter seven years ago.

Aku yang masih mahasiswa baru di Ilmu Komputer UI mendapatkan tugas untukmengumpulkan tanda tangan senior oleh panitia Orientasi Mahasiswa Baru. Mereka bilang,tugas ini berguna supaya kita bisa kenalan dengan para senior. Aku bilang, para senior Cumapengin jadi artis dadakan yang dimintai tanda tangan sana-sini. Cih. Pagi itu, saat melihatseorang senior duduk sendirian di depan lab, aku langsung menyapanya basa-basi danmengeluarkan buku orientasiku untuk meminta tanda tangan. Kalau bukan karena seharisebelumnya aku dimarahi habis-habisan karena belum mengumpulkan tanda tangan samasekali, pasti aku nggak akan melakukannya. Mendingan naik ke ruang kuliah danmelanjutkan tidur sampai dosen datang. Siapa sangka, sapaan basa-basiku ke senior itujustru membuat kami membicarakan banyak hal.Mulai dari mata kuliah yang bikin ubanan sampai dosen yang menyebalkan. Dia juga yangmembuatku percaya kalau kegiatan minta tanda tangan senior sebetulnya nggaksemenyebalkan itu. Sebetulnya nggak ada yang terlalu istimewa dari sosok senior saat itu.Well, dia Cuma baik dan informative. Oh, dan sedikit lebih ganteng dibandingkan seniorkukebanyakan. Oia, dia juga orang pertama yang membuatku nyaman ada di kampus ini.Pembawaannya yang positif membuatku yakin kalau aku akan baik-baik saja di kampusmeskipun harus tinggal jauh dari orangtua. Ini berarti sekali untukku, mahasiswi perantaudari Jogja, yang merasa super kesepian saat itu. Senior itu adalah Yoga. Sejak hari itu, diaselalu ada di dekatku, menjadi senior yang baik untukku. Terlalu baik malah. Diamengajariku mata kuliah yang nggak terlalu kumengerti. Dia membantuku mengerjakantugas. Dia mengantarku pulang sampai depan pagar kosan saat aku harus pulang malammengejar deadline. Nggak heran, kalau beberapa bulan setelah hari itu, aku langsung bilangiya saat Yoga memintaku jadi pacarnya. Dan setelah menjadi senior yang baik, dia jadi sosokpacar yang nyaris sempurna. I was so lucky. Yoga selalu membawaku makanan saat akuharus mengejar deadline tugas sampai larut malam di lab. Sebetulnya makanannyasederhana banget, Cuma nasi putih dan telur dadar warteg. Mungkin hanya itu yang diamampu beli saat dia masih jadi mahasiswa dulu. Tapi perhatiannya itu yang membuatkuselalu bisa tersenyum meskipun aku sedang stress berat mengerjakan tugas-tugas kuliahku.Yoga juga pernah langsung pulang mengejar pesawat paling malam setelah mengikuti lombaprogramming di Bali demi bisa memberiku surprise dengan datang ke kosanku tepat jam 12malam saat aku ulang tahun. Padahal semua teman-temannya masih di Bali untuk lanjutliburan gratis setelah lomba. Aku ingat jelas, aku menangis tersedu-sedu karena sangatterharu. Pernah juga Yoga menemaniku di rumah sakit saat aku dinyatakan kena tifus olehdokter. Dia membawa berbagai macam buah yang aku yakin dia ambil dari kulkas ibunya.Dia baru mau pulang saat orangtuaku datang dari Jogja dan tahu kalau aku nggak akansendirian di rumah sakit. Sejak saat itu, orangtuaku memperlakukan Yoga seperti keluargasendiri. Nggak Cuma orangtuaku yang terpesona, adikku, Ken, yang saat itu masih duduk dibangku SMA juga ng-fans banget sama dia. Setiap kali aku mau mudik, pasti adikku nanyaYoga ikut atau nggak. Ini gara-gara Yoga sering ikut liburan ke Jogja dan mampir ke rumah.

Page 14: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Sejak pertama bertemu, mereka langsung nyambung banget membahas game-gameterbaru. Benar-benar seperti teman lama yang lagi reunian. Aku ingat, aku sampai dicuekin.Kadang aku merasa terlalu banyak hal baik yang dilakukan Yoga untukku. After all, dia nggakCuma jadi pacar untukku. Dia juga jadi sosok kakak, sahabat, bahkan kadang ayah. Kalaunggak ada Yoga, mungkin aku sudah minta pulang ke Jogja saja saat baru kuliah dulu. Kalaudiminta menyebutkan satu kata yang berhubungan dengan masa aku kuliah, jawabannyapasti Yoga. Aku menghabiskan sebagian besar waktuku bersamanya. Bahkan waktu yang akuhabiskan dengan Yoga lebih banyak dibanding dengan Sonya dulu. Sampai kadang akujenuh. People are complicated sometimes. Justru dia yang selalu ada, dia yang selalu baik,dia yang selalu positif, membuatku akhirnya nyaris mati bosan. Relationship kita terlaludatar tanpa percikan. I was young, I needed more color in my relationship. Saat dia akhirnyapergi ke Prancis untuk mengambil master, aku kehilangan semua rasa yang pernah akurasakan terhadap Yoga dulu. Aku berpaling begitu saja. Dan sekarang, Yoga kembali.Kehadirannya mengingatkanku kalau suatu relationship bisa tenang tanpa percikan. Sesuatuyang justru aku inginkan sekarang, saat aku sudah menikah. Andaikan saja aku masih bisamencari ketenangan dan kenyamanan dari dirinya. OMG, what the hell am I thinking? Begininih kalau keseringan berantem sama suami. Argh!

Page 15: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 6: Say it with Flower

Ada satu tradisi di kantor yang aku suka banget. Namanya happy hour. Jadi, seminggu sekalidi hari yang random, beberapa menit sebelum jam pulang kantor, semua pegawai dikantorku tiba-tiba dapat cemilan sore gratis yang disiapkan oleh HRD. Sebetulnyacemilannya sederhana saja sih, kadang Cuma aneka gorengan, paling mewah juga Cumapizza. Tapi tetap saja, setelah pusing bekerja seharian, kejutan kecil seperti ini selalumenyenangkan dan selalu ludes diserbu perut-perut kelaparan. Seperti happy hour di soreini. Semua orang sedang rebutan siomay seperti habis puasa seminggu. Semua orang,kecuali aku. Aku justru masih sibuk mengecek report yang harus segera aku kirim untukklienku. Sebetulnya klienku ini kasih deadline ke aku sampai jam Sembilan malam karena diajuga masih mau lembur di kantor. Tapi sore ini aku ada janji sama Yoga, jadi report ini harusada di inbox email dia sebelum aku pergi. Sesuka-sukanya aku bekerja di market researchcompany yang selalu bisa memberiku data-data fantastis, tetap saja mengejar deadline iturasanya nggak jauh beda sama dikejar banteng marah. Menyebalkan.“Heh, tumben banget lo nggak ikut rebutan makanan?” Sonya tiba-tiba sudah berdiri disampingku dan meletakkan sebuah piring penuh siomay di hadapanku.Aku belum cerita ya, Sonya ini selain sahabatku sejak kuliah, dia juga satu tim denganku dikantor. Kebetulan kita masuk kantor yang sama sejak lulus kuliah dua tahun lalu. Tentu sajaini jadi kesenangan tersendiri bagiku. Paling nggak, ada satu orang yang bisa aku percaya ditengah persaingan kantorku yang sengit ini.“Lagi deadline,” jawabku sambil mencomot siomay di hadapanku. “Santai aja kerjanya. Guetemenin lemburnya. Gue juga ada deadline nih,” kata Sonya.“Gue nggak lembur.”“Ngapain pulang buru-buru? Rafa juga paling lembur, kan?”“Bukan. Gue mau ketemu Yoga!” “APA?” Bagus, Sonya! Berteriaklah seperti aku baru sajamengabarkan besok kiamat. Semua orang yang sebelumnya heboh rebutan siomay sekarangmelihat ke arah kita dengan wajah penasaran. Sonya melihat ke sekeliling, baru menyadarikalau semua orang di ruangan ini sedang menatapnya. Tanpa muka berdosa, dia langsungcengengesan ke semua orang. Dasar sableng!“Heh, lo gila ya!” kata Sonya dengan suara lebih pelan saat perhatian semua orang sudahkembali ke kesibukannya masing-masing, “Ngapain lo ketemu Yoga? Rafa tahu?” lanjutnya.Aku menggeleng, “Ya enggaklah. Bisa ngamuk dia kalau sampai tahu!”“Terus lo ngapain ketemu Yoga?” Iya ya, buat apa aku ketemu Yoga? Aku sendiri bingung.“Audi, lo udah nikah. Ngapain sih ketemu lagi sama mantan? Cari perkara aja deh. Udahtahu suami lo cemburuan parah.”Honestly, aku juga sebetulnya nggak tertarik untuk ketemu Yoga. Ya, aku memang sudahlama nggak mendengar kabarnya. But actually, I don’t really care and I don’t really wannaknow any updates about him. Belum lagi ada risiko dia akan mengungkit masa lalu, saat akuminta putus dengan alasan yang terlalu cliché dulu. Aduh, bodoh banget sih aku. Kenapakemarin nggak kepikiran ya? Sekarang tindakan emosionalku kemarin sudah terlanjur

Page 16: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

terjadi. Aku sudah terlanjur menghubunginya dan dia sudah mengiyakan. Bahkan mungkinsekarang dia sedang siap-siap untuk menjemputku ke kantor.“Audi, jangan bengong aja. Lo lagi mau main api nih, Nyet. Ati-ati kebakar!” kata Sonya lagi.Aku menarik napas dalam, menguatkan hati untuk menceritakan hal yang kemarin terjadi,“Gue berantem sama Rafa. Dia minta gue lebih pengertian. Emang gue kurang perhatianapa, sih? Gue nggak pernah marah dia pulang malem terus. Istri mana yang nggak marahkalau suaminya pulang malem tiap hari?”Aku menarik napas lagi. Menceritakan kejadian kemarin benar-benar menyulutkan kembalirasa marahku.“Selama ini gue udah sabar dia nggak pernah ada buat gue. Tapi dia bahkan nggak pernahmenghargai itu. Gue kecewa. Jadi gue hubungin Yoga dan ngajak ketemu hari ini,” lanjutku.Sonya menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakin nggak gatel, “I don’t get it. Apahubungannya lo berantem sama Rafa dan lo janjian sama Yoga?” “Aduh Sonya, lo lemotbanget sih. Dia nggak menghargai gue jadi buat apa gue menghargai dia!” Sonyamengerutkan dahinya, “Sekarang lo jujur ya, lo beneran pengin ketemu Yoga? Pengin catchup?”No “Yes!” This is what you call lain – di – mulut – lain – di – hati. “Really? Lo mau bales sakithati lo aja, kan? Meskipun Rafa nggak tahu, tapi ini ngasih kepuasan batin buat lo karena lojuga bisa nggak menghargai Rafa. Ya, kan?” Hah? Well, sometimes your best friend knowsyou better than your own self.“Mungkin,” jawabku pelan.“Lo sinting ya! Sejak kapan lo jadi pendendam gini?”Aku hanya mengangkat bahuku. I seriously don’t know.“Audi, Rafa itu suami lo. Kalau ada masalah, ya bicarain baik-baik. Jangan ngelakuin halkayak gini. Umur lo udah 25, kenapa kelakuan lo kayak umur 15 tahun sih?”“Eh, kok lo jadi belain Rafa?” She’s my best friend. Bukankah dia seharusnya ada di pihakku?“Gue nggak belain Rafa! Tapi kalau gara-gara berantem aja, terus lo ngehubungin mantan …itu namanya nggak dewasa! Lo harus belajar menghadapi masalah dengan dewasa!”Apa aku benar-benar punya masalah dengan kedewasaan? Kemarin Rafa bilang gitu,sekarang Sonya. Huff!“Tapi gue sakit hati!” belaku. “Terus harus begini solusinya? You’re smart, Audi. Tapi kenapasuka bodoh ya kalau udah urusan cinta-cintaan gini?”Excuse me? Seorang single bilang aku bodoh untuk urusan cinta? Mau aku sentil mulutnya!Sonya ini kalau galaknya kumat memang mulutnya bisa lebih pedes dari cabai rawit!“Sekarang gini deh. Gimana kalau Rafa berantem sama lo terus dia ngehubunginmantannya?”Aku diam. Aku tahu persis, kalau hal itu sampai terjadi, aku pasti marah besar.“Nggak mau kan lo? Kalau lo nggak mau digituin, jangan begitu ke Rafa! Pasti zaman SDnggak pernah dengerin pelajaran PPKn deh lo!”Jleb. She’s right!“Oke. Gue salah. Kemarin gue emosi,” kataku mengakui kesalahanku, “Tapi sekarang gue

Page 17: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

udah terlanjur janjian sama dia. Gue nggak bisa apa-apa lagi.” “Bukan berarti nggak bisadibatalin, kan?”“Gue nggak enak!”“Nggak enak tuh sama suami lo, Nyet!”Aku membanting badanku ke sandaran kursi. Clueless. Aku harus bilang apa sama Yoga?Dan kalau sampai Rafa tahu, bagaimana aku menjelaskan ini semua?“Mbak Audi, ada kiriman bunga,” tiba-tiba seorang office boy sudah berdiri di sampingkusambil memegang sebuket mawar putih. Aku melirik Sonya. Wajahnya penasaran.“Makasih ya, Mas.” Aku menerima buket itu dan langsung menarik kartunya.I’m sorry, Love. Dinner tonight? I’ll pick you up at 6.Rafa.Rafa banget. Singkat jelas dan padat. Dan seperti sebuah keajaiban, rasa kesalku tiba-tibamenguap begitu saja. Hatiku meleleh melihat bunga-bunga cantik itu. Yang tersisa sekarangjustru rasa bersalah karena berniat membalas rasa sakit hatiku. Oh, why am I so childish?“Masih mau pergi sama Yoga?” kata Sonya setelah melirik kartu itu.“Kalau aja suami lo tahu lo udah bikin janji sama mantan….”“Shut up!” potongku. “Gue harus gimana?”Sonya memandangku aneh. Sedetik kemudian dia mengambil BB-ku yang tergeletak di atasmeja, “Batalin janji lo sama Yoga!” Kriiing…..“Panjang umur,” kata Sonya sambil menyodorkan BB-ku yang masih juga di tangannya.Nama Yoga terpampang di layar. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Dear brain, I need you towork faster. Come on! Aku mengambil BB-ku dan menjawab ragu, “Hallo,”“Hai, nanti jadi, kan? Aku udah di jalan menuju kantor kamu,” suara Yoga terdengar begituceria.Sial! Sejuta sial! Apa aku pura-pura nggak denger suaranya saja ya? Atau aku matikan sajaBB-ku dan nanti malem baru aku hubungi dan bilang kalau BB-ku habis baterai? Argh,someone please just kill me right now!! “Sorry. Aku ngak bisa.” Kataku akhirnya.“Kenapa?” suara itu melemah.Aku bisa mendengar kekecewaan. Kenapa? Kenapa? Kenapa? Karena aku nggak mau.Karena aku memang nggak seharusnya ketemu kamu.“Aku tiba-tiba banyak kerjaan. Kayaknya bakal lembur sampai malam.”“Oh.”“Maaf ya.”“Ya udah, nggak apa-apa. Lain kali aja ya!”“Iya.” Jawabku singkat.Nggak, Yoga. Nggak aka nada lain kali. Menghubungi kamu adalah kesalahan dan aku nggakakan mengulanginya lagi.Yoga menutup telepon duluan. Mungkin dia marah. Ya, dia pantas marah padaku.“Gampang, kan?” kata Sonya sambil tersenyum.“Gampang dari Hongkong! Sana balik ke meja lo!” kataku sambil mendorong Sonya.“You know I’m your best friend,” kata Sonya sambil terkekeh kembali ke mejanya.

Page 18: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Aku nggak menjawab kata-kata Sonya. But yes, she’s my best friend. Anywaaaay, kalau Rafamenjemputku jam enam, berarti hari ini dia nggak lembur demi aku. Lebih baik aku dandancantik juga demi dia. Aku mencari-cari tas make up dan segera melesat ke toilet,menyempurnakan kembali dandananku yang sudah agak luntur. Kira-kira Rafa akanmengajakku ke mana ya? Bayangan candle light dinner tiba-tiba terlintas di otakku. Entahkenapa terakhir kali aku romantic dinner dengannya. Padahal zaman pacaran dulu, itukegiatan wajib kita tiap bulan. Aku yakin pasti Rafa pasti sudah reserve tempat untuk kitaromantic dinner malam ini. Aku tersenyum sendiri membayangkannya. Jam enam soreserasa seabad. Ini membuatku sadar betapa aku memang sangat merindukan Rafa. Finally,quality time yang sangat aku harapkan akan segera datang. Yippie!“Gelisah banget sih. Kayak baru pdkt aja lo!” Sonya tersenyum jail. “Dandanan gue belumluntur, kan?” tanyaku.Sonya tertawa kencang. “Norak lo, ah!”“Kok lo ketawa sih!”“Audi, saking sibuknya si Rafa, selama ini dia itu ngeliat lo Cuma saat lo tidur. Saat lo lagiheboh ngiler. Jadi ngeliat lo nggak ngiler aja udah bagus.”“Sialan lo! Gue nggak ngiler tahu!” Beep. Satu BBM masuk ke BB-ku. Rafa memberi kabarmobilnya sudah memasuki lobby kantorku. Yeay, I’m so ready to have a romantic dinnerwith you, Rafa! “Gue baliiik!” kataku sambil berlari meninggalkan ruangan. Oh God, berlaridengan stiletto 10 senti dan rok yang super sempit ini ternyata sungguh menyiksa ya?!Sonya tak menjawab, hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Aku memencet tombolelevator berkali-kali, berharap pintunya segera terbuka. Aku tak ingin Rafa menunggu terlalulama. And I miss him sooo much!! Keluar dari elevator, aku langsung menemukan mobilRafa yang terparkir tepat depan lobi. Aku kembali berlari dengan semangat seperti anakkecil mengejar permen gratisan sekarung. BRUUUKKK….Oh My God! Apa yang baru saja terjadi? I’m on the floor. What am I doing? Aku jatuh? Akujatuh! Aku jatuh tepat di depan lobi. Sebagian orang memandangku aneh. Sebagian lagiterlihat menahan tawa. Crap! Sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu loh. Aku menutupiwajahku dengan rambut sebisa mungkin. Lagipula, kenapa sih aku bisa tiba-tiba jatuh? Rafaterlihat panik, dia keluar dari mobil dengan sedikit berlari. Dia menghampiriku danmembantuku berdiri. Ouch, pergelangan kakiku sakit sekali. Oh great, ternyata hak stiletto-ku patah. Stiletto Guess kesayanganku! Oh nooo…. Rasanya ingin menangis sekencang-kencangnya!“Sakit ya? Pelan-pelan aja!” kata Rafa membantuku berjalan.Aku hanya meringis.Seorang satpam membantu membawakan tasku yang ikut terjatuh. Rafa membukakan pintumobil. Aku mengambil tasku yang dibawakan satpam yang berdiri tepat di sebelah kananku.Tanpa sengaja mataku melihat ke mobil yang berhenti tepat di belakang mobil Rafa.Sepertinya aku kenal. Honda city type Z warna silver keluaran 2003. Aku melihat nomorpolisi mobil itu. Yup, aku yakin aku kenal mobil itu. Mobil yang beberapa tahun lalu seringmengantarku ke mana-mana. Itu mobilnya Yoga. Aku mengamati orang yang duduk di

Page 19: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

kemudi. Agak gelap. Aku memicingkan mataku. Itu Yoga. Ya, aku yakin itu Yoga. Dan diasedang melihat ke arahku juga. Sedang apa dia? Bukankah aku sudah membatalkan janjikudengannya? This is not good! Yes, I know this is not good.“Yuk, Sayang! Kita ke dokter terus dinner di rumah aja. Nggak mungkin kita pergi kalaukakimu sakit begini,” kata Rafa. Perhatianku ke Yoga buyar seketika. Apa kata Rafa barusan?Dinner di rumah? No romantic dinner? Help me! Aku mau pingsan!

Page 20: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 7: Kejutan Terburuk

Presentasi untuk menggaet klien baru selalu menjadi hal yang menegangkan buatku (danmungkin juga semua executive di kantorku). Keringat dingin dan mulas pasti datang tanpadiundang. Seperti sekarang. But, hey, I love and enjoy it so much! Yeah, call me freak. Tapientah kenapa, sejak dulu, aku selalu suka berhadapan dengan tantangan. Tantanganlahyang membuat hidup jadi lebih hidup. Jadi, jangan heran, saat semua pegawai kantorkubilang kalau presentasi di hadapan perusahaan besar (dan berusaha meyakinkan merekauntuk menggunakan servis kantorku) itu berjuta-juta kali lebih menyeramkan daripadasidang akhir kuliah, aku justru menunggu-nunggu hari seperti ini. Serius deh, ini jauh lebihmenyenangkan daripada duduk manis di meja sambil bikin report. Aku mengecekpenampilanku di kaca besar toilet kantor sebelum berangkat ke kantor calon klien baruku.Kukenakan pakaian terbaikku. Rambut lurusku jatuh sempurna. Dandananku juga tanpacela. Demi presentasi ini, aku memang sengaja bangun lebih pagi agar punya waktu untukdandan lebih lama dari biasanya. Bagiku tampil prima selalu mampu mendongkrak rasapercaya diri. Tapi ada yang kurang. Aku harus pakai flat shoes, sodara-sodara! Oh My God,this is disaster! Yap, kejadian jatuh di depan lobi tempo hari ternyata berbuntut panjang.Rafa memaksaku ke dokter dan dokter melarangku memakai high heels selama satu bulanpenuh supaya kakiku benar-benar sembuh. Bayangkan, satu bulan! Tega banget sih! Padahalstiletto-stiletto itu adalah penyempurna penampilanku. Look at me now! Kaki jenjangkutampak nggak seseksi biasanya. Argh! Well, sebetulnya kecelakaan kecil tempo hari nggaksepenuhnya buruk sih. Karena kejadian itu juga Rafa justru berjanji mengantarku setiap pagike kantor selama satu bulan ini supaya aku nggak perlu berdiri lama-lama nunggu taksi. Akunggak menuntutnya untuk menjemputku juga karena aku tahu dengan mengantarku tiappagi saja dia sudah cukup repot harus berputar lumayan jauh untuk sampai di kantornya.Lagipula, aku malas menunggunya sampai malam di kantor untuk menjemputku. Mendingaku ke mal bareng Sonya. I’m quite happy with this condition. Meskipun dia masih selalupulang malam, at least selama satu bulan ini aku bisa mengobrol dengannya setiap pagi diperjalanan ke kantor. Trust me, mengobrol dengan seseorang saat energinya masih penuhdan pikirannya masih fresh sesungguhnya sangat menyenangkan. Sesuatu yang langkabanget sebelumnya. “Santai aja, Di. Nggak usah terlalu dipikirin!” kata Sonya yang sedaritadi bersamaku di toilet.“Apa yang nggak dipikirin? Sepatu gue? Lihat dong gue udah kece gini, tapi bawahnya pakaiflat shoes!”Sonya mengerutkan dahi,” Bukan itu!”“Apa?”“Presentasi ke Prima Food. Santai aja.”“Oh,” aku hanya mengangguk.Aku mengerti betul maksud Sonya. Prima Food, perusahaan biscuit yang cukup besar diIndonesia ini adalah calon klien yang akan aku datangi. Sebetulnya perusahaan ini telahmenolak servis market research dari kantorku selama 4 kali berturut-turut. Artinya, tiap

Page 21: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

tahun ada saja rekan kerjaku yang presentasi di sana untuk mencoba merayu perusahaansatu ini dengan memaparkan data-data powerful yang kita punya, tapi selalu gagal. Dansekarang giliranku. Kalau hari ini aku juga gagal, pasti semua orang maklum. Atau mungkinmereka akan kaget kalau aku sampai berhasil? Well, I’ll try to do my best. Aku kurang tidurbeberapa hari belakangan ini demi menyiapkan presentasi ini. Bagaimanapun juga, aku inginmendapatkan hasil terbaik. I always set my target high. Persetan dengan kepesimisan semuaorang. Aku nggak akan menyerah sebelum perang.“Gue berangkat ya! Wish me luck!” kataku ke Sonya. “Good luck!” Sonya tersenyum ketikaaku melangkah keluar toilet. Aku menuju lobi, sopir kantor sudah menungguku di sana dansiap membawaku ke Prima Food. Jantungku berdegup semakin kencang. Jalanan pagi inicukup bersahabat. Aku sampai di kantor Prima Food 15 menit lebih cepat dari yangdijadwalkan dan langsung menemui seorang wanita dari bagian marketing bernama Kristi.Dengan dialah selama ini aku berkomunikasi. “Sebentar ya, Mbak. Kita masih nunggu brandmanager biscuit Yumm-O dan marketing director kita,” kata Kristi setelah mengantarku kesebuah ruang meeting yang besar.Beberapa orang sudah menungguku di sana, mungkin mereka adalah beberapa brandmanager lain, atau mungkin tim marketing lainnya. Entahlah. Mereka semua tampak sibukdengan laptop masing-masing. Sepertinya, lebih baik aku tunda dulu berkenalan denganmereka. “Ok” jawabku sambil mengeluarkan laptop dan menyiapkan presentasiku. Kristisendiri bergabung dengan orang-orang yang sedang serius itu. Seseorang terdengarmembuka pintu yang ada di belakangku. Refleks aku membalikkan badan. Yoga?! Ya, ituYoga! Astagaaa. Manusia satu ini benar-benar seperti jin. Suka tiba-tiba nongol. Tapi kali iniwaktunya benar-benar nggak tepat! Sedang apa dia di sini? Aku nggak pernah lagi ketemudia setelah kejadian sore itu ketika aku melihat mobilnya di lobi, dia pun nggak pernahmenghubungiku. Kenapa aku harus ketemu dia di sini di saat aku akan presentasi penting?Rasanya jantungku berdegup dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Yoga seakan membekudi tempat setelah melihatku. Aku salah tingkah. Bagaimana dia? “Hallooo,” seorang wanitatiba-tiba memasuki ruangan, memecah keheningan.“Eh, hallo,” jawabku kikuk.“Saya Sinta,” katanya menyalamiku sambil tersenyum ramah. Aku bisa lihat sisa-sisakecantikan masa mudanya. Karena Bu Sinta ini tampak sudah agak tua, asumsiku dia adalahmarketing director di sini. Artinya brand manager Yumm-O yang kita tunggu adalah Yoga?Aku nggak pernah tahu Yoga kerja di Prima Food. Ah, tentu saja. Memang aku bisa tahu darimana? Tapi, background pendidikan Yoga kan IT, sedang apa dia di dunia marketing sepertiini? Dia geek berat dulu, bukan seperti aku yang memang sudah niat cabut dari dunia ITsetelah lulus kuliah. “Saya Audi, Bu.” Aku berusaha tersenyum seramah mungkin,mengimbanginya.Yoga mendekat, “Saya Yoga,” katanya kemudian.Heh? Jadi dia mau pura-pura nggak kenal denganku?“Audi,” fine, aku ikuti permainannya.“Langsung dimulai saja Ibu Audi!” kata Bu Sinta sambil menuju tempat duduk.

Page 22: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Yoga mengikutinya.Keberadaan Yoga di sini benar-benar tidak menguntungkan bagiku. Aku jadi tambahnervous. Tapi aku sudah mati-matian menyiapkan ini semua. Aku nggak boleh merusaksemuanya sekarang. Tarik napas, Audi. Embuskan. Hilangkan Yoga dari pandangan. Atauanggap dia patung. Atau monyet. Apa saja. Baiklah, break a leg, Audi! Presentasi berjalanlancar. Ibu Sinta mengajukan sejuta pertanyaan yang bisa aku jawab dengan baik. Yang lainjuga berusaha mencecarku habis-habisan. Untungnya aku jauh lebih cerdas, jadi aku bisamementahkan semua cercaan mereka. Nggak sia-sia aku kurang tidur untuk menyiapkanpresentasi ini. Yang membuatku kesal adalah Yoga juga ikut-ikutan mencecarku. Bahkanlebih parah dari yang lain. I know, maybe he’s just trying to be professional. Tapi diamemojokkanku seperti seorang musuh. Aku yakin ini bukan hanya perasaanku saja. What’syour problem, Dude? Huh! Mereka akan mengadakan internal meeting dulu untukmengambil keputusan. Perasaanku nggak enak. Dengan adanya Yoga sebagai salah satupengambil keputusan, seharusnya ini bisa jadi sesuatu yang menguntungkan bagiku. Tapimelihat sikap Yoga sejak tadi, aku sama sekali nggak yakin dia akan membantuku. I have todo something. Kalau aku bisa mendapatkan perusahaan yang satu ini, pasti bisa jadi batuloncatan buatku untuk segera promosi jadi manajer. Yoga, you have to help me!“Bapak Yoga, bisa bicara sebentar,” kataku saat semua orang sedang membereskan barang-barangnya, bersiap meninggalkan ruang meeting. Yoga diam sesaat, lalu mengangguk.Let’s play my game now.

Page 23: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 8: To Lie or Not To Lie

Aku menyalami semua peserta meeting satu per satu saat mereka hendak meninggalkanruangan. Nggak lupa sebuah senyuman manis terpasang di wajahku sambil berharapsenyumanku kali ini punya pelet mujarab agar mereka tertarik menjadi klienku. Hanya Yogayang masih ada di ruang meeting. Dia duduk di bangku paling pojok. Laptopnya tertutup.Tangannya memainkan pulpen. Matanya lurus menatap dinding di hadapannya. Ekspresinyadingin. This isn’t a good sign. Putus bertahun-tahun dengan Yoga nggak berarti aku lupa artisetiap ekspresi mukanya. Dan ekspresi mukanya kali ini menandakan he’s not in a goodmood. Tapi kenapa aku yang harus jadi korban bad moodnya? Kenapa dia harusmemojokkanku seperti musuh tadi? Seingatku, dulu Yoga bukan tipe orang yang sukameluapkan kekesalannya ke orang lain. Eh, jangan-jangan ini artinya dia memang sedangmarah denganku? Apa ini ada hubungannya dengan aku membatalkan janji tempo hari? Akumenarik napas dalam, mengumpulkan semua keberanianku untuk menghadapinya. Kakikumelangkah menuju kursi yang ada persis dihadapan Yoga. Semua demi keberhasilankumendapatkan perusahaan satu ini sebagai klien baruku.“Apa kabar?” tanyaku setelah duduk.Aku benar-benar nggak tahu harus mulai dari mana.“Baik,” jawabnya singkat.Sudah? Itu saja? Dia bahkan nggak bertanya balik.“Aku baru tahu kamu kerja di sini,” kataku mencoba memancing percakapan yang lebihdalam. “Aku kerja di sini sejak pulang dari Prancis,” jawabnya.“Oh, Sudah lama juga ya?” kataku. Padahal aku bahkan nggak tahu kapan dia pulang dariPrancis. Dan dia diam. Duh, kenapa sih sebetulnya orang ini?“Maaf ya tempo hari aku batalin janji,” aku nggak punya pilihan lain selain segeramengangkat topik ini.Bisa jadi ini memang alasannya marah.Yoga hanya mengangguk.Argh… give me 5 toddlers now! Sepertinya lebih gampang komunikasi dengan merekadaripada dengan Yoga saat ini! “Tapi harusnya kamu nggak perlu bohong!” kata Yogakemudian. “Bohong?” tanyaku.“Iya. Kamu janjian sama orang lain, kan?”Aku buru-buru menggelengkan kepalaku.“Audi, aku lihat sendiri,” kata Yoga. Nadanya tetap tenang. Tapi dari wajahnya aku tahu diatambah kesal. Oh, jadi benar penglihatanku tempo hari. Itu mobilnya Yoga dan dia melihatsemua kejadian di lobi saat itu. Well, actually, aku berusaha untuk tidak ambil pusing karenatadinya aku pikir aku nggak akan pernah bertemu lagi dengan Yoga. Tapi sekarang, saat akutahu kalau Yoga adalah calon klienku, sepertinya aku harus mencari penjelasan yang bagus.Aku nggak bisa membiarkannya tetap marah padaku. Think, Audi! Find a smart reason!“Waktu itu aku tiba-tiba sakit. Jadi aku batal lembur. Aku bahkan sampai jatuh di depan lobi.Kebetulan waktu itu ada temanku lihat, jadi dia antar aku pulang,” kata-kata itu mengalir

Page 24: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

begitu saja. Don’t judge me, please! Aku nggak punya pilihan lain selain berbohongsekarang. Lagipula, aku nggak sepenuhnya bohong. Rafa kan temanku. Teman hidupmaksudku. I just didn’t make it clear to Yoga.“Jadi waktu itu kamu pingsan? Bukan kesandung?” Tanya Yoga. Wajah Yoga tampak sedikitmelunak. Ada rasa bersalah di situ.“Nggak pingsan, Cuma ambruk sesaat karena pusing banget.” “Aku pikir kamu batalin janjikarena mau ketemu laki-laki itu.” Wajah tegang Yoga kini benar-benar mengendur. Akutertawa senatural mungkin, mencoba membuat suasana semakin cair. “Jadi, Karena itukamu jutek banget sama aku?”“Aku nggak jutek,” kata Yoga sambil tertawa ringan.Yap, aku berhasil! Eh, wait! Ada yang salah di sini. Dia marah karena aku ada janji denganpria lain. Memang kenapa kalau aku ada janji dengan pria lain? Dia kan bukan siapa-siapaaku? Jangan-jangan dia punya niat untuk mendekatiku lagi? Oh crap, dia pasti belum tahuaku sudah menikah! Ah, tentu saja. Dari mana dia bisa tahu aku sudah menikah. Pertama,kita sudah nggak komunikasi cukup lama. Aku saja nggak pernah tahu perkembanganhidupnya. Wajar saja Yoga juga nggak pernah tahu perkembangan hidupku. Meskipun kitasempat pacaran, tapi aku dan dia punya lingkungan pergaulan yang berbeda saat kuliahdulu. Mungkin karena ini, kita sama-sama nggak update dengan berita masing-masingsetelah putus. Kedua, dan yang paling penting, aku nggak pernah mengenakan cincinkawinku, termasuk detik ini. Jariku memang nggak bersahabat dengan segala jenis cincin.Untungnya untuk hal satu ini, Rafa cukup pengertian. Dia rela membiarkan aku nggak pakaicincin kawin daripada jariku harus gatal terus menerus. Jadi aku harus bagaimana sekarang?Bilang kalau aku sudah menikah? Insting-ku mengatakan this isn’t a good time untuk diatahu kalau mantan pacarnya ini sudah menikah. Aku janji, I’ll tell him. One day. Tapi bukansekarang. Mungkin nanti, setelah perusahaan ini resmi jadi klienku. Jangan bilang aku jahat.Aku sudah janji aku akan mengatakannya. Hanya masalah waktu. Lagipula, aku melakukanini untuk kepentingan pekerjaan. Untuk kepentingan perusahaan tempatku bekerja. Nggakada niat lain. Kalau saja saat ini Yoga nggak ada hubungannya dengan pekerjaanku, aku akandengan senang hati mengatakan kalau aku sudah menikah.“Kamu sendiri sore itu ngapain ada di lobi kantorku?” tanyaku kemudian.“Aku mau anter makanan buat kamu.”“Anter makanan?” tanyaku bingung.“Iya. Seingatku dulu, kamu suka lupa makan kalau ngerjain tugas. Aku pikir mungkin kamumasih begitu sekarang. Jadi aku mau anter makanan biar kamu nggak lupa makan.”Deg.Dia masih ingat kebiasaanku lupa makan. Dan dia benar, kebiasaan itu masih sampaisekarang. Aku nggak bisa bohong, aku terharu dengan apa yang dilakukannya. Suamikusendiri nggak pernah seperhatian itu terhadapku. Yeah sure, dari mana Rafa bisa tahu kalauaku sampai lupa makan, menanyakannya saja dia nggak ada waktu. Dia, kan, sibuk setengahmati mengurus pekerjaannya! Ingat?“Anyway, gimana menurut kamu presentasi barusan?” lebih baik aku segera mengalihkan

Page 25: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

pembicaraan.“Great. Agak kaget juga tahu fakta sales perusahaan kami berkurang karena dimakancompetitor yang satu itu. Mungkin sudah saatnya kita pakai servis market researchperusahaan kamu.”Aku hanya tersenyum.“Nanti kami akan meeting buat bahas ini. I’ll let you know the result ya!”“Oke, aku tunggu ya.”Aku tersenyum sambil melirik jam tanganku, sudah hampir jam dua belas. Aku harus segerakembali ke kantor.“Aku nggak nyangka kita ketemu di sini.”Nggak ada tanda-tanda Yoga mau mengakhiri percakapan ini.“Iya. Aku pikir kamu akan kerja di perusahaan IT, bukan di perusahaan biscuit begini,”kataku.“Kamu lupa ya, aku punya tanggung jawab besar untuk nerusin perusahaan papaku nanti,makanya setelah sekolah bisnis di Prancis, yang paling pas ya kerja diperusahaan seperti ini.Aku jadi lebih bisa belajar banyak.”Aku menganggukkan kepala. Ingatanku kembali ke saat aku baru pacaran dengan Yoga. Duludia bilang orangtuanya sudah memaksanya sekolah bisnis sejak lulus SMA, tapi dia menolak.Akhirnya dia dikasih kesempatan kuliah apa pun yang dia mau, tapi harus tetap berjanjiuntuk sekolah bisnis setelah lulus, karena bagaimanapun juga, dia harus meneruskanperusahaan keluarganya. Ternyata dia benar-benar memenuhi janjinya. “Anyway, aku harusbalik ke kantor nih,” kataku kemudian.“Lunch bareng dulu aja yuk, baru balik ke kantor. Ada restoran enak deket sini,” kata Yoga.Lunch bareng? Aduh, rasa malas langsung datang begitu saja. Kalau aku tolak diatersinggung nggak ya?“Lain kali deh, Yog. Aku ada meeting jam satu di kantor, takut telat kalau lunch di sini.”“Oke. Toh kalau aku jadi klien kamu nanti, kita bisa sering-sering lunch meeting atau dinnermeeting.”“Iya. Semoga. Aku berharap banget kalian mau pakai servis ini.”“Aku akan bantu bujuk mereka. Kamu tahu kan betapa persuasifnya aku?”Yes, I know. Aku pernah sekali ikut Yoga meeting dengan timnya saat mau ikut salah satudari sekian banyak lomba pemrograman. Ternyata, di balik pembawaannya yang tenangbanget, dia selalu bisa memengaruhi temannya untuk menuruti idenya. Yoga ini salah satumanusia paling persuasive yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Kemampuannyameyakinkan orang nggak perlu diragukan lagi. Dan aku tahu, ini akan sangatmenguntungkan bagiku.“Thanks, Yog,” kataku.Yoga mengangguk sambil tersenyum manis. Oh, aku lupa dia punya senyuman semanis itu.Senyuman yang selalu membuatku meleleh. Senyuman yang selalu membuatku merasadunia ini sangat damai. Dulu. Oh well, lebih baik aku segera mengambil tas laptopku,

Page 26: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

berpamitan, dan kembali ke kantor. I have a good feeling that I’ll get a good news soon!Yippie!

Page 27: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 9: Let The Past Be The Past

Pintu apartemen terbuka saat aku hampir saja tertidur di sofa dengan televisi. Rafa’s home!Aku melirik jam dinding. Jangan-jangan aku sudah tertidur berjam-jam dengan mata terbukatanpa aku sadar. Baru jam setengah sebelas malam, artinya aku memang belum tertidursama sekali. Nggak biasanya Rafa pulang saat aku masih terjaga. Ada apa ya? “Hei, Sayang,”sapanya sambil melepas sepatu Pedronya. Wajahnya tampak letih. Seperti itukah wajahnyasetiap pulang kantor? “Tumben jam segini udah pulang?” “Ya udah, aku balik lagi ke kantor,”jawabnya sambil pasang muka cemberut. Aku terkekeh. That cute face. Sudah lama akunggak lihat muka cemberut sok manja itu. Ekspresi yang dulu sering aku lihat di awalpernikahan kami, saat kami sedang berebut channel TV, saat aku melarangnya makantengah malam, saat aku memaksanya membersihkan kamar mandi. Ya, masa-masa diabelum sesibuk sekarang, masa-masa di mana waktuku dengannya masih berlimpah. Rafamenghampiriku, mencium dahiku, “Kangen sama kamu, Sayang.” Kangen? Tunggu, akuingat-ingat dulu kapan terakhir Rafa bilang kangen. Setahun lalu? Aku memandangnya aneh,“Kamu sakit ya?” “Ih, kamu tuh ya. Kalau aku nggak romantis protes, kalau aku romantismalah dikira sakit,” katanya sambil duduk di sampingku dan meletakkan tas laptopnya dimeja depan sofa. Aku tertawa keras. Rafa ini adalah manusia paling nggak romantis yangaku kenal. Jelas saja aku heran kalau dia tiba-tiba pulang cepat dari kantor hanya denganalasan kangen istri. “Aku laper,” kata Rafa sambil melonggarkan dasinya. “Nggak adamakanan, Raf.” Stok makanan di apartemen memang sangat terbatas mengingat aku danRafa sama-sama pergi ke kantor dari pagi dan pulang malam. Aku sendiri biasa makanmalam diluar sebelum pulang. Rafa biasanya baru pulang tengah malam entah jam berapa,dia pasti sudah makan di kantor. “Kok jam segini belum makan sih?” tanyaku. “Tadi diajakmeeting sama bos besar sampai laperku ilang. Sekarang baru terasa lagi.” “Delivery aja ya.Kamu mau apa?” kataku sambil mengambil BlackBerry-ku. “Aku mau dimasakin istriku,”Rafa tersenyum memamerkan deretan giginya yang rapi. Ini orang lagi kesambet apa sih?Tiba-tiba pulang cepat dan sekarang minta aku masak! Dia, kan, tahu aku nggak bisa masak.“Mi instan pakai telur ceplok?” tawarku. Memangnya ada pilihan lain? Hanya itu yang bisaaku masak. Masakanku yang lain bisa membuatnya terancam keracunan. “Boleh!” Rafamengangguk semangat,” Aku udah lama nggak makan Mi instan!” Belum sempat akuberanjak, tiba-tiba BlackBerry-ku berdering. Siapa yang meneleponku malam-malam begini?Aku melirik layar BlackBerry-ku Yoga! Akhirnya manusia satu ini meneleponku juga. Sudahbeberapa hari ini aku menunggu teleponnya, menunggu kabar hasil meeting tim marketingPrima Food mengenai presentasiku tentang servis yang kantorku tawarku. SetiapBlackBerry-ku berdering, jantungku langsung berdegup lebih cepat, berharap nama Yogayang muncul di layar. Bahkan menunggu hasil sidang akhir zaman kuliah dulu rasanya nggaksemenegangkan ini. Thank’s God akhirnya dia telepon juga. “Hallo.” “Audi, sorry aku teleponmelem-malem,” kata suara di seberang sana. “It’s ok. Ada apa?” I know, harusnya aku nggaknanya: ada apa. Teleponnya kali ini sudah pasti tentang hasil meeting tim marketing-nya.“Tadi pagi aku sudah meeting sama tim marketing. Sudah ada keputusan. Sebetulnya tadi

Page 28: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

aku mau langsung kabari kamu, tapi kerjaanku lagi banyak banget. Ini baru sempet.” “Iya,nggak apa-apa kok. Gimana hasilnya?” aku mengontrol suaraku sesantai mungkin. Padahalaku sudah penasaran setengah mati. “Mereka tertarik pakai servis market research kantorkamu.” “Really? Yeaaay!” aku bersorak kegirangan. Nggak sia-sia ternyata semuapersiapanku. “Ini aku kabarin kamu as a friend ya, bukan sebagai calon klien. Besok si Kristinyang akan hubungin kamu.” “Ok. I’ll wait. Thank’s ya.” “Sama-sama. Ya udah, udah malem.Aku pasti ganggu istirahat kamu. Sampai ketemu di meeting-meeting yang akan datang.”Aku terkekeh, “Ok. Once again, thank’s ya, Yoga.” Ini memang bukan kali pertama akuberhasil menggaet klien baru. Tapi seperti yang kubilang tadi, perusahaan satu ini sudahempat tahun berturut-turut menolak servis kantorku. Jelas ini sebuah prestasi! Kursimanajer sudah terbayang olehku. Well, at least kemungkinan aku dapat award dari kantorakan lebih besar, lumayan bisa buat beli sepatu baru. “Yoga siapa?” Tanya Rafa tiba-tiba.Astaga, aku lupa dia masih di sebelahku sejak tadi. “Klien.” “Klien?” Rafa mengerutkan dahiseolah nggak percaya. “Calon klien tepatnya, kasih kabar mereka jadi pakai servis yang akutawarkan.” “Baru jadi calon klien udah nelepon kamu jam segini. Apalagi kalau jadi kliennanti, pasti demanding.” Kata Rafa sinis. Aku hanya mengangkat bahu. Peduli amat denganyang akan terjadi nanti, detik ini aku hanya ingin menikmati keberhasilanku. “Aku bikinin midulu,” kataku sambil menuju dapur. Rafa nggak menjawab apa pun. Dia hanya mengambilremote TV dan mengganti-ganti channel. Aku segera membuatkan mi goreng plus telurceplok. Pikiranku masih ke telepon barusan. Tomorrow is gonna be a great day. Pasti semuaorang akan kagum dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa mendapatkan klien satu ini. Pastibosku akan mulai mempertimbangkan untuk memberiku promosi. Aku tersenyum sendirimembayangkannya. “Mi gorengnya sudah jadi, Sayang,” kataku sambil menyodorkan piring.Aku duduk di samping Rafa yang kini sudah menghadap laptopnya. “Yang tadi telepon ituYoga Indrajati?” Rafa menatapku tanpa menyentuh piring yang aku sodorkan. Aku melirikBlackBerry-ku. Sudah berubah posisi. Pasti Rafa melihat nama lengkap Yoga barusan.Suamiku ini sepertinya nggak tahu namanya privacy. “Iya,” jawabku. “Dia mantan kamu?”“Hah? Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Raf?” “Jawab aja. Dia mantan kamu?” Aku melirik sekilaske layar laptop Rafa. “You google him?” tanyaku ketika menemukan nama Yoga di layarlaptop Rafa. Rafa mengangguk. OMG. Such a geek you are, Raf! “Raf, nggak penting bangetdeh sampai kamu googled dia.” “Kamu tinggal jawab. Dia mantan kamu atau bukan?” Akumenghela napas. “Iya, dia mantanku.” “Dan dia calon klien kamu?” “Iya.” “Aku nggak suka.”Aduh…. Apa lagi ini, Rafa? Ini sudah malam, please jangan ajak aku berantem sekarang.“Come on, Rafa. Itu kan udah bertahun-tahun lalu,” “Itu nggak mengubah fakta kalau diamantan kamu!” “Rafa, please dong, jangan kayak ABG deh. Cemburu-cemburu nggak jelas.”“Aku bukan cemburu. Aku Cuma mau kamu menghindari masalah.” “Menghindari masalahgimana maksud kamu? Kamu takut aku selingkuh? Kamu nggak percaya sama aku? I’m donewith him, Raf.” “Maksudku, jangan kamu bawa-bawa masa lalu kamu ke masa sekarangkarena itu berpotensi menimbulkan masalah. Let the past be the past.” “Aku nggak bawa-bawa ke personal life aku. Ini Cuma urusan kerjaan, Raf!” “Tetep aja!” nada suara Rafasedikit meninggi, “Lagipula, kamu itu udah nikah. Pantes ya deket-deket mantan?” Rafa,

Page 29: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

kamu lebih baik nggak pulang cepet daripada sekalinya pulang cepet kita malah rebut gini.Serius deh! Aku menarik napas dalam, “Terus aku harus gimana, Raf?” Aku menatapnyaheran. Bilang Raf aku harus gimana? Membatalkan semuanya? Kamu pikir sesimpel itu? Akuseorang professional! “Biar temen kamu yang lain handle klien ini. Jangan kamu.” “Tapi…”“Itu pilihan pertama. Pilihan kedua, kamu resign dari kantor!” You must be kidding me, Raf!Rafa menutup laptopnya, menuju kamar, dan meninggalkanku bengong sendirian sambilmemangku sepiring mi goreng. I can’t believe this.

Page 30: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 10: Gloomy Morning.

Yes, you better shut your mouth up now, Rafa. Aku nggak butuh mengawali hari ini denganmendengarkanmu. Melanjutkan marah-marah perihal mantan pacar yang akan jadi klienbaruku. Lebih baik seperti sekarang, kamu diam, nggak bicara sepatah kata pun dankonsentrasi pada jalanan yang macetnya semakin parah dari hari ke hari. Lagipula, melihatwajahmu yang dilipat tujuh belas saja sudah cukup menyiksa bagiku. Ah, namanya aku tadiberangkat naik taksi saja. Nggak hanya itu. Alam semesta seolah berkonspirasi menyiksakupagi ini. Aku nggak tahu kenapa sejak bangun tidur tadi kepalaku pusing sekali. Apa ini efekkurang tidur demi menyiapkan presentasi untuk Prima Food tempo hari, ya? Atau simply iniefek kesal dengan suamiku yang cemburuan ini? Huh, rasanya mau marah. Harusnya pagi iniaku mengawali hariku dengan bahagia. Aku tahu aku akan mendapatkan berita baik daripihak Prima Food dan kemudian menyebarkan berita ini di kantor. Aku yakin ini akanmembuat semua orang memandangku kagum. Tapi, lihat kenyataannya sekarang. I’m in abad mood gara-gara suamiku ngambek dan kepalaku pusing tujuh keliling. “Thank’s, Raf,”kataku sambil keluar dari mobil ketika sampai di depan lobi gedung kantorku. Biasanya akumencium pipinya sebelum turun, tapi pagi ini, aku bahkan menghindari melihat wajahnya.Aku segera naik ke kantorku dan menuju meja kerja. Sonya sudah ada di mejanya, membacamajalah dengan santai ditemani secangkir kopi hangat. Begitulah kebiasaannya sebelummulai bekerja. Katanya, pagi hari harus diawali dengan membaca hal-hal menyenangkansebelum suntuk baca email kantor. Untung saja nggak pernah ada atasanku yang protesmelihat kebiasaan paginya itu. “Hey, pagi-pagi kok udah jutek?” Tanya Sonya ketika akumembanting tasku di atas meja. “Kepala gue pusing,” kataku sambil memijat keningku.“Kenapa nggak cuti sakit aja?” Aku menunggu berita penting hari ini, mana mungkin aku cutisakit? Tapi sebelum ada kabar resmi dari Prima Food, aku nggak akan menceritakan inikepada siapa pun, termasuk Sonya. “Cuma pusing dikit kok,” kataku menyalakan komputer.Aku mencoba memaksakan sebuah senyuman ke sahabatku itu. One fake smile. Oh well, Ineed a coffee. Mungkin kafein bisa sedikit membuatku merasa damai. Aku segera menujucoffee maker, meninggalkan Sonya yang masih bengong melihatku. Aku tahu, dia pastimencium sesuatu yang nggak beres. She’s my best friend. She knows me very well. Tapi akuterlalu malas untuk cerita ke dia sekarang, apalagi dengan kondisi kepala seperti ini.Komputerku belum juga selesai loading saat aku kembali ke meja. Ah, bahkan komputerkuini ikut-ikutan membuatku kesal. Aku menyeruput kopiku sambil memejamkan keduamataku, berharap bisa menikmati lebih maksimal kopi hangat ini. Dan yang pasti, berharapmood-ku bisa segera membaik saat aku membuka mata. Hari masih panjang, aku nggak bisakesal terus-terusan begini. “Nyet, beneran pusing doang?” Tanya Sonya di tengah protesmeditasiku. Kursinya tiba-tiba sudah ada persis di sampingku. “Iya, beneran kok,” katakumasih dengan senyuman terpaksa. Sonya menganggukkan kepalanya dan kembali kemejanya. “Just let me know ya kalau butuh ngobrol. Gue lagi santai kok. Mau kabursebentar jajan kue lopis juga ayo!” lanjutnya sambil cengengesan. “Kalau tiap pagi guenurutin lo buat jajan lopis favorit lo itu, bisa melar badan gue!” jawabku sambil terkekeh.

Page 31: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Sonya hanya tertawa sambil kembali membolak-balik majalahnya. Hey, here you are! Sudahada email dari Kristin. Aku nggak mengira dia akan kirim email sepagi ini. Aku membukaemail itu buru-buru. Benar kata Yoga, mereka setuju untuk membeli servis yang akutawarkan. Aku segera membalas email Kristin dan mengabarkan hal ini ke para atasan viaemail. Aku melirik ke dalam ruang kaca Pak Guntur, direkturku. Dia sudah datang, sudahduduk manis di depan laptopnya. Sebentar lagi dia pasti membaca email yang aku kirim.Mari kita tunggu reaksinya. Jreng! Wajahnya tiba-tiba berubah. Sebuah senyuman lebarmengembang di sana. Dia langsung beranjak dari tempat duduk menuju pintu ruangannyadan berteriak ke arahku , “Audi, kamu berhasil dapetin si Prima Food?” Semua orangmemandangku sekarang, aku tersenyum. “Ke ruangan saya sebentar sini,” lanjutnya. Akumenuju ke ruangannya diiringi dengan tatapan mata semua orang di ruangan. Yup, tatapankagum seperti yang sudah aku perkirakan. “Selamat ya,” Pak Guntur menyalamiku. “So,bagaimana ceritanya?” Aku menceritakan proses presentasiku beberapa hari lalu sertasemua pertanyaan yang diajukan kepadaku. Aku juga menceritakan kondisi sales Prima Foodyang memburuk belakangan ini. Semuanya aku ceritakan, kecuali bagian Yoga. Aku nggakmau direkturku ini mengira aku berhasil mendapatkan perusahaan satu ini karena campurtangan orang dalam. “Good job, Audi. Saya pikir perusahaan sombong itu nggak akanpernah mau pakai servis kita.” Aku tersenyum puas. “Tapi ada yang perlu saya bicarakan,Pak,” kataku “Ada apa?” “Sepertinya saya nggak bisa handle Prima Food.” Pak Gunturtampak kaget, raut mukanya berubah seketika. “Why? Jangan bilang kamu mau resign!”“No,” jawabku cepat, “This company is too big, saya sudah handle Grand Asia. That hugecompany sudah menyita hampir seluruh konsentrasi saya, jadi lebih baik Prima Food di-handle orang lain.” I said that. I said that, Rafa!! Akhirnya kata-kata yang sudah aku siapkansemalaman keluar juga pagi ini. Ya, setelah berpikir semalaman, aku memutuskan untukmenuruti suamiku. Pak Guntur diam sambil memandangku lekat-lekat. Entah apa yang adadi pikiran atasanku itu sekarang. Mungkin aku terlihat seperti anak manja yang nggak bisahandle pekerjaan agak banyak. Mungkin aku terlihat seperti seseorang yang mudahmenyerah sebelum perang. Yang aku tahu, pandangannya itu sama sekali nggak memilikiarti yang bagus. Yeah, selamat tinggal kursi manajer. Thanks to you, my dear husband!“baiklah. Nanti saya bicarakan dengan manajer kamu. Dia yang tahu kondisi tim kamu, jadidia yang bisa mutusin mau dilempar ke siapa. Tapi sementara, tolong kamu handle dulu ya,at least sampai semua kontraknya beres.” Aku mengangguk dan segera berpamitan untukkembali ke meja. Pusing di kepalaku terasa semakin hebat setelah pembicaraan barusan.Aku baru saja mempertaruhkan karierku demi mengikuti keinginan Rafa. Keinginan Rafaagar aku menghindari potensi masalah. So this is it, aku menghindari potensi masalah versiRafa. But why do I feel like shit now? And by doing this, apa aku bisa disebut sebagai istriyang baik sekarang? Atau justru perempuan kuno bodoh yang menelan mentah-mentahperintah suami? “Gila! Hebat banget looo!” Sonya memelukku setelah kembali ke meja.Satu per satu rekan kerjaku datang ke mejaku dan memberikan selamat. Merekamemaksaku menceritakan apa yang aku lakukan saat presentasi sampai aku berhasilpadahal sudah empat tahun berturut-turut semua teman-temanku selalu gagal. Aku mau,

Page 32: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

tapi nggak sekarang. Nggak di saat kepalaku terasa semakin berat dan semakin berat.Bruuuuukk! “Are you ok?” Tanya Sonya ketika aku membuka mataku. Aku memegangkepalaku yang masih pusing teramat sangat. Aku mencoba melihat sekeliling. Sepertinya akuada di salah satu ruang meeting kantor. Tubuhku terbaring di salah satu sofa yang nyaman.“Tadi lo tiba-tiba pingsan,” kata Sonya. Tangannya tampak memegang minyak kayu putih.“Udah berapa lama gue pingsan?” “Hampir sepuluh menit. Lo pingsan atau tidur sih? Guehampir aja mau panggil ambulance, untung belum jadi. Tapi lumayan deh, gue bisa kaburdari kerjaan karena suruh nemenin lo,” kata Sonya sambil tertawa. Aku diam saja. Kalauboleh jujur, aku juga mau sahabatku satu ini diam. Mendengarkan repetannya yang panjangmembuat pusingku semakin menjadi-jadi. “Sakit dari kapan?” Tanya Sonya. “Baru tadi pagi.”“Hamil kali,” kata Sonya sambil cengengesan. Bisa-bisanya dia meledekku saat aku sedanglemas tak berdaya. “Sembarangan lo!” jawabku jutek. “Hamil juga nggak apa-apa. Lo kanudah nikah, udah punya suami.” Sahabatku satu ini kadang memang nggak bisa menentukanwaktu buat bercanda ya? Pengin aku jitak rasanya. “Lo mending nanti beli test pack deh.Jangan-jangan lo hamil beneran.” OMG! She’s not done yet! Jelas-jelas dia tahu kalau akumenunda kehamilanku. Aku mengangkat badanku ke posisi duduk, “Apaan sih lo! Gue Cumakecapean kok. Kemarin nyiapin presentasi Prima Food sampai begadang berhari-hari. GueCuma butuh istirahat.” Sonya mengembuskan napas kencang. “Ya udah, lo izin pulang ajadeh ya,” kata Sonya mengakhiri pembicaraan. Thank God. Aku mengangguk. Aku memanglebih baik pulang daripada terus mendengarkan ocehan Sonya. Bisa makin parah sakitku.Sonya menuntunku kembali ke dalam kantor, mungkin dia takut aku pingsan lagi. Nggaksusah untuk izin sakit setelah kabar besar yang aku berikan ke kantor ini pagi tadi. Akubergegas mematikan komputerku, mengambil tas, dan turun menuju lobi. I really need mybed now. Oia, sepertinya stok obat pusing di apartemen sudah habis. Lebih baik aku mampirdulu ke Guardian yang ada di pojokan lobi itu. Oh crap! Tebak produk apa yangmenyambutku saat aku memasuki Guardian? Deretan test pack dengan berbagai merek.Kenapaaa? Omongan ngaco Sonya tiba-tiba terngiang kembali di telingaku. Mungkinkah akuhamil? Ah, sial si Sonya, aku jadi was-was begini. Baiklah, nggak ada salahnya aku coba belitest pack. Aku nggak mungkin hamil. Aku dan Rafa hati-hati sekali kok. Iya, pernah sih nakal-nakal sedikit, tapi buktinya selama satu tahun ini aku nggak hamil. Ya kan? Aku segeramembayar sebuah test pack dan obat pusing. Test pack ini harus kucoba kapan ya? Uhm,lebih baik sekarang saja biar bisa langsung kubuang. Aku nggak mau Rafa tahu akumenggunakan barang satu ini. Aku segera menuju toilet lobi, membaca sekilas aturanpakainya dan segera mencobanya. Satu detik. Dua detik. Aku masih menunggu hasilnya.Sial… kok aku deg-degan ya??

Page 33: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 11: Telling Him

Dua hari sudah aku terbaring lemas di tempat tidur ditemani pusing yang nggak juga pergi.Dua hari sudah aku nggak ke kantor dan membiarkan pekerjaanku menumpuk begitu saja.Dua hari sudah aku nyaris nggak berkomunikasi dengan Rafa karena dia tetap pulang malammeskipun kondisiku seperti ini. Dan dua hari sudah sejak aku menggunakan test pack itu.You wanna know the result? It’s positive. Yes. I’m pregnant. Dan sekarang aku bingung. Akubahkan nggak tahu ini berita baik atau berita buruk. Aku belum menyampaikan beritakehamilan ini ke siapa pun. Belum ke ibuku, mertuaku, juga Sonya. Bagiku, Rafa berhak jadiorang yang paling pertama tahu hal ini. Masalahnya, sampai detik ini aku masih belumberani menyampaikan berita ini ke Rafa karena aku tahu dia nggak menginginkan kehamilanini. Dia selalu bilang kalau dia belum siap jadi ayah. Ya, dia belum siap untuk punya anak.Aku sama sekali nggak bisa menebak bagaimana reaksinya saat dia tahu tentang hal ini.Kemungkinan dia akan senang mendengar berita ini sepertinya sangat kecil. Tapi kalaupundia tidak senang, memang dia mau apa. Aku sudah terlanjur hamil. Berbagai skenarioberputar di kepalaku tentang apa yang kira-kira akan dilakukan Rafa. Mungkin saja diaternyata gembira luar biasa setelah menerima kabar ini, lalu dia akan memanjakanku habis-habisan karena aku sedang mengandung anaknya, buah hati kami. Lebih baik lagi kalausetelah ini dia nggak pulang malam lagi karena ingin menjagaku. Tapi, bagaimana kalau diamemintaku menggugurkan kandunganku ini? Rafa adalah orang yang well organized. Diabisa melakukan apa saja agar semua kembali sesuai rencananya. But no, kalau diamemintaku melakukan hal itu, aku nggak akan menurutinya. Janin ini sudah ada di rahimku.Aku tahu dia sedang tumbuh sekarang. Aku nggak akan menjadi pembunuh anakku sendiri!Dan kalau dia sampai nggak bisa menghargai keputusanku untuk mempertahankankandunganku, aku lebih baik pisah dengannya. Ya, keputusanku sudah bulat. Titik. Ah, mikirapa aku ini! Rafa nggak mungkin sejahat itu. Terdengar suara kunci pintu depan apartemendibuka. Akhirnya Rafa pulang juga. Aku melirik jam dinding, sudah pukul satu malam. Jadi,dia selalu pulang jam segini sedangkan setiap pagi dia berangkat sama paginya denganku?Dari mana dia bisa mendapatkan energy sebanyak itu? “Kamu belum tidur?” Tanya Rafaketika masuk kamar dan menemukanku masih memegang majalah di tempat tidur. “Belum,”jawabku singkat. Aku menatapnya. Dari raut mukanya, aku tahu dia masih malas bicaradenganku. Atau mungkin dengan semua orang. Wajahnya begitu lelah. Kasihan. Ini bukanwaktu yang tepat untuk menyampaikan berita kehamilanku. Ya, I know. Tapi kapan lagi?Pagi-pagi di tengah kemacetan ibu kota bukan ide yang bagus juga, kan? Cepat atau lambatRafa harus tahu. Dan aku nggak mungkin menundanya sampai perutku membesar, kan?Baiklah, aku harus mengatakannya sekarang. Detik ini juga. “Ada yang perlu aku bicarakan,”kataku sambil mengumpulkan semua keberanianku. “Harus sekarang? Aku capek banget,”kata Rafa sambil membuka kancing kemejanya. Aku mengangguk. Rafa duduk di pinggirtempat tidur, “Ada apa? Mau ngebahas tentang calon klien kamu yang notabene mantanpacar kamu itu?” katanya sinis. Astaga, Rafa. Bahkan di saat kelelahan pun kamu masih bisasinis ya sama aku? Aku menggelengkan kepalaku, “Ini jauh lebih penting daripada cemburu

Page 34: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

nggak jelasmu itu!” “Aku nggak cemburu!” “Ok, Cuma posesif!” “Audi, aku capek banget.Kalau kamu Cuma mau ngajak ribut, ditunda besok-besok aja ya,” Rafa bangkit dari tempattidur. “Sorry,” aku segera menarik tangan Rafa, “Tentang mantan aku itu, aku udah minta keatasanku supaya proyek baruku di-handle orang lain. Jadi masalah itu udah selesai ya.”Ternyata sudah separah ini ya komunikasiku dengan Rafa? Bahkan satu hal yang sudahkuselesaikan tiga hari lalu baru bisa aku sampaikan sekarang. “Oh,” jawab Rafa singkat. Oh?Cuma itu? Aku mempertaruhkan karierku dan dia Cuma bilang oh? Apa dia nggak bisamenemukan kata-kata lain untuk menghargaiku yang sudah menuruti keinginan egoisnyaitu? “Jadi apa yang mau dibicarakan?” Tanya Rafa. Aku menarik napas dalam lalumembuangnya sekuat tenaga, berharap kekesalanku akan kelakuan Rafa barusan ikutterbuang. Ada hal yang lebih penting yang harus kusampaikan sekarang, aku nggak bolehmempermasalahkan hal remeh-temeh itu. “Aku hamil,” kataku. “What?” mata Rafa yangsebelumnya sayu seketika terbuka lebar. “Kok bisa?” Pertanyaan macam apa itu, Raf? Rafamematung. Sedetik, dua detik. Semenit, dua menit. Entah apa yang sedang dipikirkannyabut it’s killing me. Say something, Raf. Please. “Anakku?” tanyanya pelan. “What?” akurefleks menampar wajahnya. I was wondering Rafa akan bereaksi seperti apa saat akumenyampaikan hal ini, tapi aku sama sekali nggak pernah menyangka mendapatkan reaksiseperti ini. “Iyalah anak kamu! Kamu pikir aku perempuan macam apa?” teriakku. Aku selalusetia meskipun dia selalu sibuk dengan pekerjaannya. Aku selalu setia meskipun dia jarangsekali memberikan perhatian kepadaku. Aku selalu setia meskipun dia sering bersikapmenyebalkan kepadaku. Aku selalu setia karena aku cinta dia. Kalau memang aku mauselingkuh, gampang banget kok melakukannya. Dengan Rafa yang nggak pernah peduli akusedang apa dan dimana, dia nggak akan pernah tahu kalau aku sampai selingkuh. Tapinggak, aku nggak melakukannya. Dan sekarang, saat aku hamil, dia menanyakan apa inianaknya. Brengsek kamu, Rafa! Brengsek! “Kita nunda, Audi. Kita selalu hati-hati,” kata Rafadengan nada tinggi. “Hampir selalu, bukan selalu.” Kataku mengoreksi kata-kata Rafa, “Tapiyang pasti ini anak kamu!” kataku masih dengan penuh emosi. Air mata mulai mengalir dipipiku. Kata-kata Rafa terasa begitu menyakitkan. Bagaimana mungkin dia bisa berpikir akumengandung anak orang lain? Keterlaluan. “Aku perlu menenangkan diri,” Rafa berdiri.“Kamu mau ke mana, Raf? Kita belum selesai.” Aku menggapai tangannya, menahannyaagar tidak pergi. “Aku udah bilang, aku perlu menenangkan diri, Audi. Kamu ngerti nggaksih?” Rafa membentakku sambil menepis tanganku dengan kasar. Dia keluar, membantingpintu depan, meninggalkanku menangis sendirian.

Page 35: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 12: Kembali

Pagi ini aku dibangunkan oleh rasa pusing seperti baru saja naik roller coaster sepuluh kali.Nggak Cuma itu, rasa mual juga datang begitu hebat. Inikah yang disebut orang-orangdengan morning sick?Aku mengumpulkan seluruh energiku untuk beranjak dari tempat tidur, tangankumenjangkau apa pun yang bisa aku pegang agar aku nggak terjatuh. Seingatku, aku belumpernah sepusing ini seumur hidupku. Oh God, jangan sampai aku harus mengalami hal inisetiap pagi selama aku hamil, bisa-bisa aku minta cuti selama Sembilan bulan penuh. Itu punkalau aku nggak keburu dipecat.Seperti kurang sempurna penderitaanku pagi ini, Rafa nggak ada di sampingku saat akuterbangun. Saat membuka pintu kamar, aku berharap menemukan Rafa tertidur di sofadepan televisi. Tapi nihil. Rafa nggak ada. Rafa nggak pulang setelah pergi meninggalkankusemalam.Where are you, Raf?Aku benci banget kebiasaan Rafa yang satu ini. Dia selalu pergi meninggalkan apartemensetiap kali ribut denganku.Alasannya selalu sama: ingin menenangkan pikirannya. Yeah right, pikirannya tenang,pikiranku makin kalut. Memangnya dia pikir aku nggak khawatir memikirkan dia ada dimana? Heartless! Aku segera menuju kamar mandi. Nggak ada waktu untukmengkhawatirkan Rafa sekarang. Badanku sendiri sudah hampir tumbang ketika memasukikamar mandi dan sukses muntah-muntah. Aku berpegangan erat pada dinding kamarmandi. Aku nggak boleh pingsan sekarang nggak ada orang satu pun yang menolongku. Akuharus kuat demi anak dalam kandunganku ini. Entah dari mana datangnya, Rafa tiba-tibasudah berdiri di ambang pintu ketika aku merasa sudah nggak ada lagi yang bisadimuntahkan. Hanya tinggal cairan pahit yang keluar dari perutku. Rafa memandangiku. Diamemandangku iba. Pandangannya teduh, beda sekali dengan semalam. Tapi aku justrusemakin mual melihat wajahnya. Rasanya pengin aku tending ke kolam buaya. Akumembersihkan mulutku dan berlalu begitu saja saat keluar dari kamar mandi. Aku nggakbisa melihat mukanya sekarang. Hatiku masih terlalu sakit dengan kata-katanya semalam.Lebih baik sekarang aku tidur lagi, berharap pusing ini bisa hilang setelah dibawa tidur.Lagipula, aku baru tidur subuh tadi karena menangis semalaman. “Sakit ya?” Rafamengikutiku ke kamar dan duduk di pinggir tempat tidur. “Iya,” jawabku sambil menggantiposisi tidur. Membelakanginya. “Mau ke dokter?” Tanya Rafa sambil membelai lembutrambutku. “Nggak usah!” aku menepis tangannya dengan kasar. “Tapi kamu hamil. Apanggak lebih baik cek ke dokter? Aku antar, yu.” What do you want, Raf? Semalam kamumeninggalkan aku begitu saja! Menuduhku hamil dengan pria lain! Sekarang kamu sok baikmau antar aku ke dokter! Dasar aneh! “Kenapa baru sekarang kamu ada niat anter aku kedokter?” kataku pelan tapi tajam. Mati-matian aku menahan diri supaya nggak menangissekarang. “Maafin aku,” Rafa mencium rambutku. “Buat apa kamu minta maaf kalau besok-besok kamu ulangin lagi? Kamu selalu begitu, Raf! Kamu selalu pergi setiap kali kita

Page 36: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

menghadapi masalah. Mau sampai kapan kamu begitu?” Tiba-tiba aku menyadari satu hal.Rafa benar, dia memang belum siap jadi ayah, belum siap punya anak. Dia bahkan belumbisa menghadapi masalahnya sendiri. Umurnya memang sudah 30 tahun, tapi dia samasekali belum dewasa. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin dia bisa membesarkandan mendidik anaknya nanti? “Aku semalem terlalu kaget. I can’t think clearly.” Basi, Raf!Basi! Aku bahkan terlalu malas untuk merespon statement egoisnya itu. “Audi, maaf ya. Akujanji nggak akan pergi lagi kalau kita ribut, aku janji akan selalu jaga kamu selama kamuhamil. Trust me, Audi!” “Kenapa? Kamu bahkan nggak yakin ini anak kamu, kan?” air matamulai menetes di pipiku, I hate this! I hate crying in the morning! “Maaf, Sayang. Aku bener-bener minta maaf. Aku percaya kok itu anakku. Semalem aku kalut, Sayang. Maafin aku.”Dadaku sesak. Sangat sesak sampai aku nggak sanggup menjawab kata-katanya. “Please saysomething,” Rafa kembali membelai rambutku, “Jangan nangis terus dong!” Akumembalikkan badanku dan duduk menghadapnya dengan mata menatap tajam ke arahnya.“I hate you, Raf. I hate you! I do everything for you dan bisa-bisanya kamu kira aku hamilbukan sama kamu!” kata-kataku kuatur setegas mungkin meskipun masih terbata-bata disela tangisanku. “Iya, aku salah, Sayang. Maafin aku,” Rafa memelukku. Lama. Akumemukulnya sekuat tenaga, menyalurkan semua kebencianku terhadapnya. Tapi dia tetapmemelukku erat tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia tahu persis, pelukannya adalahkelemahanku. It’s always warming and calming. It’s like a magical thing, perlahan tapi pasti…pelukannya selalu berhasil membuatku berpikir setelah ini semua akan baik-baik saja. “Kitake dokter ya, Sayang,” kata Rafa setelah tangisku benar-benar berhenti. Dia menghapussisa-sisa air mata yang masih membasahi pipiku. Aku diam. Ingin sekali aku menolaknya, tapihati kecilku nggak mampu. “Kamu mandi dulu ya. Aku mau telepon kantor, mau bilang akucuti hari ini. Aku temenin kamu aja, kamu juga nggak usah ngantor dulu ya. Istirahat ajadulu.” Seperti biasa, seperti kuda yang dicambuk, aku kembali menuruti semua kata-katanya. Well, at least this one is for a good thing.

Page 37: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 13: Sejuta Pantangan

“Jadi apa yang mau lo ceritain?” Tanya Sonya sambil menikmati latte-nya. Sore ini StarbucksPacific Place tampak lengang. Hampir ada beberapa orang yang tampak sedang sibukdengan laptopnya masing-masing. Juga aku dan Sonya yang seperti biasa, memilihkelayapan ke mal setelah pulang kantor. “Mahu tahu aja atau mau tahu banget?” godaku.“Nyet, nggak usah norak gitu deh,” kata Sonya jutek. Aku terkekeh, “Gue hamil!” katakuakhirnya. “WHAT?” teriak Sonya. Astaga. Anak satu ini sepertinya perlu belajar menghadapirasa kagetnya deh. Setiap dapet berita heboh dikit, pasti langsung teriak dan memancingperhatian semua orang. Harusnya dengan bakat seperti ini, dia jadi artis sinetron saja. Bukanjadi market researcher yang justru harus kalem dan tenang menganalisis data-data yangkadang bikin kaget jungkir balik. “Serius?” tanyanya. “Ya masa gue bohong masalah ginian?”“Udah berapa bulan?” “Kata dokter baru enam minggu,” jawabku sambil tersenyum. “Eh,bukannya lo nunda ya? Rafa gimana?” “Long story. Males bahasnya. Intinya dia senang kok.”“Oh, My God, selamat Audi! You’re gonna be a mom.” Kata Sonya sambil memelukku erat.“Makasih, Nya.” Sonya perlahan melepaskan pelukannya, menatapku lekat-lekat, dansecepat kilat mengambil mocca frapuccino di hadapanku. “Lo nggak boleh minum kopi.Bumil nggak boleh ngopi.” What? Kenapa tiba-tiba dia jadi posesif begini? “Boleh. Sedikit.”Kataku sambil berusaha mengambil kembali frapuccino-ku. “Sedikit itu sesendok, bukansegelas gede bagini.” “Tega!” “Demi bayi dalam kandungan lo!” Aku menyandarkan badankuke sofa sambil cemberut. Bisa stress aku kalau nggak boleh ngopi sama sekali. Masalahnyaaku yakin, Sonya pasti akan bersikap seperti ini di kantor, tempat di mana hidupkubergantung banget sama kopi supaya nggak ketiduran. Argh, tahu begini, mendingan akunggak kasih tahu dia tadi. “Shopping aja yuk. Gue mau belanja kebutuhan bayi,” katakusambil mengambil tasku dan berlalu. Sonya buru-buru mengambil tasnya dan mengejarkusambil membawa dua gelas Starbucks yang aku yakin akan bikin dia kembung kalau diabenar-benar menghabiskan semuanya sendiri. Aku terus melangkah menuju Mothercareyang selama ini hanya sering aku lihat dari depan jendelanya, tapi belum pernah sekalipunaku masuk. Sebetulnya selama ini aku penasaran, dari jendela kaca toko itu, aku tahu baju-baju kecil kayak baju boneka iyu benar-benar menggemaskan. Anak kecil mana pun kalaumemakai baju-baju itu pasti akan terlihat sangat adorable. Sebuah stroller warna pink yangselalu terpajang di situ juga selalu menarik perhatianku. Dalam stroller itu, anakku pastiakan terlihat seperti putri kecil yang sedang duduk di kereta kuda kencana. Tunggu dulu, akukan belum tahu jenis kelamin anakku ya? Nggak mungkin aku beli stroller pink sekarang.“Nyet, bukannya nggak boleh belanja kebutuhan bayi sebelum tujuh bulan, ya?” kata Sonya.“Aduh, kalau tujuh bulan pasti perut gue udah berat. Udah susah belanja. Mending sekarangaja.” “Tapi kata orang tua pamali.” Aku memandang Sonya nggak percaya. Manusia palingngasal ini percaya pamali? What it she? Manusia purba? Gosh, aku mau ngakak. “Manusiaudah sampai bulan lo masih aja percaya gituan, Nyet.” “Tapi….” “Ya udah, gue nggak belanjaperalatan bayi. Gue belanja kebutuhan hamil aja. Kayaknya gue butuh baju baru.” Yes, dear,there’s always many reasons to shop. You just have to find a good one. “Alesan! Badan lo

Page 38: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

belum gendut kok!” kata Sonya. Aku menghentikan langkahku dan melotot menatap Sonyasetelah mendengar kata-katanya barusan. Ini anak mulutnya minta dicabein ya! “Belumgendut?” Sonya tampak gelagapan, “Sorry, I mean, bumil kan pasti menggemuk perutnya.Dan lo belum kelihatan.” “Jadi gue pasti gendut?” “Lo pernah lihat bumil nggak gendutperutnya? Hamil anak semut kali kalau perutnya nggak gendut!” Aku menatap Sonya sebal.Dia benar. Tapi aku benar-benar malas memikirkan kondisi badanku yang akan melar sepertibalon beberapa bulan lagi. Pipiku juga pasti ikut menggelembung, menghilangkan wajahtirus yang selama ini selalu aku banggakan. “OMG, gue pasti nanti jelek banget!” katakulirih. “Nggak, Audi. Meskipun tambah gemuk, tapi bumil itu selalu glowing. Ada kecantikanterpancar natural dari dirinya,” Sonya mencoba menenangkanku. “Emang iya?” “Iya,perhatiin deh kalau kita papasan sama bumil nanti.” Aku mengangguk. Baiklah, mulaisekarang aku harus memperhatikan semua wanita hamil. Bukan supaya aku bisa lihatbetapa glowing-nya mereka, tapi supaya aku bisa mengira-ngira akan segemuk apa akunanti. “Satu lagi,” kata Sonya, “Gue tahu bumil itu sensian. Tapi please, lo jangan. Bisa-bisague nggak ngomong apa pun kalau lagi sama lo.” “Mood gue selalu bagus kalo dikasihmakanan enak kok. Sediain aja di meja gue.” “Punya temen satu aja kok nyusahin bangetsih.” Aku hanya tersenyum simpul dan mengubah arah langkahku ke M. mudah-mudahan disana ada baju-baju hamil bagus yang bisa aku borong. “Wait, wait,” kataku saat melewatisebuah toko sepatu. Aku mengambil sebuah sepatu merah darah dengan heels sekitarSembilan senti. This thing is so damn sexy. I have to buy this. Wajib! “Put it down!” kataSonya yang masih tampak repot dengan tas dan gelas-gelas Starbucks-nya. “Kenapa? It’scute, isn’t it?” tanyaku. “Bumil nggak boleh pakai high heels. Bahaya!” “Tapi…” “Put it down,Audi! Demi bayi dalam kandungan lo.” Oh God, whyyy?!

Page 39: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 14: The Confession

I’ll tell you one of my secrets. Aku harus selalu menahan diri sekuat jiwa raga untuk nggakloncat-loncat di tempat setiap kali sedang dalam proses penandatanganan kontrak denganklien baru. Bagiku, senangnya nggak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pertama, karenabaying-bayang bonus tambahan di akhir tahun. Kedua, pedeku di depan atasan dan jugateman-teman akan naik berkali-kali lipat. Ketiga dan ini yang paling penting, akumendapatkan kepuasan batin setiap kali berhasil mendapatkan klien baru. And this is it,akhirnya penandatanganan kontrak dengan Prima Food selesai juga. Sekarang tinggalmenunggu manajerku mengalihkan klien satu ini ke rekan kerjaku yang lain. Jadi, aku nggakperlu lagi ketemu Yoga sesuai permintaan suamiku, si pencemburu akut itu. “Lunch dulu yuksebelum balik ke kantor.” Yoga tiba-tiba menghampiriku ketika aku hendak meninggalkankantor Prima Food. Aduh, bagaimana ini? Sudah terlalu sering aku menolak ajakannya. Kalausekarang aku tolak lagi, Yoga pasti akan merasa aku menghindarinya. Baiklah, kali ini akuterima saja ajakannya. Anggap saja ini sebagai ungkapan terima kasihku karena dia telahmembantu mendapatkan perusahaan satu ini. Lagipula, setelah ini aku mungkin nggak akanpernah bertemu dengannya lagi. Aku mengangguk. “Di mana?” tanyaku. “Di gedung sebelahada restoran enak, tinggal jalan kaki. Nggak apa-apa kan panas-panasan dikit?” “Noproblem!” padahal panas sinar matahari yang masuk dari sela-sela jendela saja sudahmembuatku malas melangkah keluar. Sebentar lagi pasti parfumku menguap dan badankuganti jadi bau matahari. “Yuk,” Yoga memegang punggungku dan member dorongan pelanagar aku mulai berjalan. It’s casual. Very casual. Tapi entah kenapa aku risih sekali. Akumenggerakkan bahuku agar Yoga melepaskan tangannya dari blazerku. You don’t need totouch me, Yoga! Angin dingin menyambutku dan Yoga ketika memasuki sebuah restoranjepang yang terletak di lobi gedung. Tempat yang nyaman dan teduh. Benar-benar bertolakbelakang dengan keadaan di luar gedung yang sedang panas terik. Pilihan tempat makanYoga memang nggak pernah salah dari dulu. “Di sini sushi-nya jempolan dan bisa all you caneat. Kamu masih suka sushi, kan?” Tanya Yoga ketika aku duduk. Dia masih ingat makanankesukaanku rupanya. Aku jadi ingat saat aku pacaran dengannya dulu. Aku sering sekalimengajaknya wisata kuliner ke semua restoran sushi yang baru buka. Yoga yang awalnyaentipati makan ikan mentah, akhirnya malah ikut ketagihan. Dan nggak seperti kebanyakanwarga Jakarta yang menyembah-nyembah Sushi Tei, restoran sushi favorit kita justru PokeSushi. Selain sushinya enak, tempatnya juga cenderung lebih sepi. Males banget deh maumakan aja harus nunggu berjam-jam. Dulu, buat aku dan Yoga makan sushi itu sesuatu yangspecial banget karena kita hanya bisa lakuin sebulan sekali. Setelah sama-sama dapat jatahbulanan dari orangtua. Maklum, mahasiswa. But sometimes something is more valuablewhen it’s limited. Eh, tapi bukankah wanita hamil nggak boleh makan ikan mentah? Duh!Kalau ada Sonya, pasti dia langsung menarikku keluar dari restoran ini. “Aku pesen ramenaja deh,” kataku setelah melihat sekilas menu dihadapanku. Yoga tampak heran, “Udahnggak suka sushi?” “Lagi pengen yang laen aja,” jawabku. “Dulu kalau ada sushi, kamu pastinggak mau yang lain. Sekarang udah nggak segitu fanatiknya ya sama sushi?” Aku hanya

Page 40: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

tersenyum simpul. Bisa jantungan dia kalau aku bilang aku nggak makan sushi karenasedang hamil, lah wong dia tahunya aku belum nikah. “Tapi ramen di sini juga juara kok, Di,”kata Yoga. “Apa lagi yang berubah dari kamu setelah kita nggak ketemu tiga tahun?” I lovesomeone else now! Eh, bukan itu ya maksud pertanyaannya? “Pesen yuk!” kataku tanpamenjawab pertanyaan Yoga. Yoga memanggil seorang pramusaji kemudian menyebutkansederetan pesanannya. Masih seperti dulu, dia selalu kalap kalau makan sushi, seperti seisimakhluk di lautan bisa dimakannya semua. Aku menelan ludah mendengar semua pesananYoga. Aku mau semuanya juga! Kali ini bahkan sepertinya aku bisa sanggup menghabiskandua kali lipat lebih banyak dari pesenan Yoga. Hey, inikah yang namanya ngidam? Hmm …atau aku pesen sushi juga ya? Kata orang zaman dulu, kalau ngidam nggak dipenuhi, nantibayinya ileran. “Kamu mau pesen ramen apa?” Tanya Yoga. Aku berpikir sejenak. Ramenatau sushi ya? “Ramen andalan kita … dori tempura ramen, Bu?” kata Pramusaji dihadapanku. “Boleh deh,” kataku akhirnya. Beginikah rasanya menjadi seorang wanita hamil?Rela menahan keinginan yang teramat sangat demi janin kecil di dalam rahim. Aku jadi ingattempo hari saat periksa ke dokter dan di-USG untuk pertama kalinya. Janin di perutkuternyata masih sangat kecil. Bentuknya mirip kacang mede. Tapi, janin kecil seperti kacangmede itu mampu membuat mata Rafa berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya aku melihatekpresi itu di wajah Rafa. Ekpresi yang membuatku yakin dia menginginkan kehadiranseorang anak sekarang. “So, how’s your life, Di?” Yoga membuyarkan lamunanku. “Good!”kataku sambil mengangguk. Seperti dugaanku, pembicaraan di lunch ini pasti hanyamenyangkut hal-hal personal. “Kamu apa kabar?” tanyaku balik. Just for the sake of beingpolite. “Baik,” jawab Yoga sambil tersenyum lebar. I don’t wanna talk about personal thingshere. Aku mau hubunganku dan Yoga hanya sebatas hubungan professional. Tapi sepertinyabukan itu yang diinginkan Yoga. Aku harus cari akal. Aku harus mencari topic pembicaraanyang umum. “Pemilihan presiden nanti pilih siapa, Yog?” tanyaku setelah melihat sebuahbaliho besar di pinggir jalan bergambar lambang partai tertentu dan seorang berjenggotsedang tersenyum lebar. You’re stupid, Audi!!! Topik macam apa iniii? Dear brain, kenapakamu nggak mau kerja sama sih? “Hah?” wajah Yoga tampak kaget mendengarpertanyaanku. “Iya, kan nama calon-calonnya udah bermunculan. Kamu pilih siapa?” sudahkepalang basah, lebih baik aku lanjutkan. Yoga mengangkat bahu dan memberi ekspresi I-don’t- fucking-care, “Belum tahu, masih lama juga.” “Iya sih,” jawabku mati gaya. See, Audi!Kok nggak kreatif banget sih cari topik. Baru sebentar sudah garing kayak emping dehpembicaraannya. “Sejak kapan kamu suka politik?” Tanya Yoga. “Baru-baru ini aja kok,”jawabku. Nope!! Aku nggak pernah tertarik dengan dunia politik. Siapa saja calon presidenmendatang pun aku sebetulnya nggak tahu. Aku Cuma pernah dengar sekali saat teman-teman priaku di kantor membahas tentang sebuah media yang mengeluarkan prediksicalon-calon presiden 2014. “Kamu berubah banyak ya? Nggak Cuma makanan, interestkamu pun berubah,” kata Yoga. Aku hanya tersenyum. Nggak ada yang berubah dari diriaku, Yoga. Kecuali status aku yang sekarang sudah jadi istri orang. “Well, dari dulu kamumemang selalu menarik. Unpredictable!” lanjut Yoga. Wait! Dia flirting ya? Seorangpramusaji tiba-tiba datang mengantarkan pesanan kami. Thank God. Aku bisa menghindari

Page 41: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

pembicaraan ini sesaat. At least, Yoga bisa menunda gombalannya sesaat karena seingatkudia nggak pernah mau membuat makanan menunggu, pasti langsung disikat habis. Yogamelahap sushinya seperti belum makan seminggu. Cara makannya itu masih juga belumberubah. Dia masih juga belum bisa menggunakan sumpit dengan baik dan benar, tapiekspresinya tetap cuek. Lucu sekali. Aku nggak bisa menahan senyumku melihat caramakannya itu. Dia seperti punya dunia sendiri saat makan. Sama sekali nggakmemperhatikan sekitar. Aku rasa kalau tiba-tiba ada bom pun dia nggak akan sadar.“Kenapa?” Tanya Yoga ketika sadar aku sedang memperhatikannya. “Cara makan kamubelum berubah ya!” Yoga hanya tersenyum lalu melanjutkan makannya dengan lahap. Heh,dia lupa ya kalau dia baru saja flirting norak? “Sudah kenyang?” kataku setelah makanankami habis. Yoga menyandarkan badannya di sandaran kursi sambil mengelus-elusperutnya. Bahkan kebiasaannya kalau sudah kekenyangan pun nggak berubah. Persis sepertiom-om perut buncit. Sungguh tidak elegan! Tapi kebiasaannya ini dulu selalu berhasilmembuatku tertawa geli. Yoga mengangguk, “Ada restoran Jepang lain deket sini. Sushinyalebih dahsyat. Kamu harus coba kapan-kapan.” Aku hanya tersenyum. “Atau mau nantimalem. Aku jemput ke kantor kamu?” lanjut Yoga. Aduh, orang ini ya, sekali diiyain kok jadiminta tambah terus. Mungkin aku harus bilang bahwa aku sudah menikah sekarang, tohkontrak sudah ditandatangani. Kondisi sudah aman. Ya kan? Aku menarik napas, “I can’t”“Ya udah lain kali aja,” katanya ringan. “Mungkin lain kali pun aku nggak bisa.” Yogamenatapku. Aku tahu dia kaget mendengar kata-kataku barusan, “Kenapa?” tanyanya.Bilang. Enggak. Bilang. Enggak. Bilang. Enggak. Duh! “I’m married, Yog.” “What?”

Page 42: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 15: Pembalasan

Don’t get mad, get even! Mungkin itu prinsip yang dianut Yoga sekarang. Atau jangan-jangan dari dulu tapi aku nggak pernah tahu? Sejak aku memberitahukannya bahwa akutelah menikah, dia memang ngak menunjukkan kalau dia marah. Yes, he was shocked, butnot angry. Mungkin dia sadar dia nggak punya hak apa-apa untuk marah. Lagipula, dia nggakbisa menyalahkanku juga karena aku jelas nggak pernah mengeluarkan statement kalau akusingle. Bahkan, menurutku, salah dia dong berasumsi aku masing single dan available. Ya,kan? Tapi sepertinya dia sakit hati. Gawatnya, tampaknya dia punya cara yang cukup pintaruntuk menyalurkan sakit hatinya. Dia menjadi klien yang teramat sangat demanding,menuntut waktuku 24 jam, kadang juga menuntut waktuku di kala weekend, mengirimkuberbagai kerjaan terus menerus, mempermasalahkan kesalahan kecil, dan mengajakkumeeting sampai larut malam. Pokoknya, dia sekarang menduduki peringkat nomor satuorang paling menyebalkan dalam hidupku. Yap, Yoga sekarang nggak ada bedanya dengankompeni zaman perang dulu. Hobinya menyiksa dan membuatku kerja rodi! Dia pikir Cumadia klien yang harus aku urus? Saking kerasnya dia menyiksaku, aku sempat nggak pernahlagi merasakan mual dan pusing karena kehamilanku. Seluruh konsentrasiku sepenuhnyakusalurkan kepada kerjaan-kerjaan yang setinggi gunung itu. Well, mungkin ini satu-satunyahal yang bagus dari siksaan yang diberikan Yoga kepadaku. Unfortunately, manajerkusedang cuti liburan dan belum sempat memindahkan account Prima Food ke rekan kerjakuyang lain. Mau nggak mau aku harus menghadapi Yoga yang dari hari ke hari bertingkahmakin menyebalkan. Termasuk malam ini. Sudah pukul sebelas malam dan aku baru sampaiapartemen setelah meeting entag berapa jam dengan Yoga. Melihat wajah Yoga yangditekuk dua belas selama meeting membuat penderitaanku terasa semakin berat. Yogamemainkan permainannya dengan sangat sempurna. Semua pembicaraan dalam meetingadalah urusan kerjaan. Andai sekali saja dia membicarakan urusan pribadi, sedikit saja, tentuaku bisa menggunakannya untuk menyerang dan memprotes kelakuannya. Sayangnya,semua omongannya sangat professional sehingga aku juga harus bersikap professional. Maunggak mau. “kok baru pulang?” Jantungku hampir saja copot mendengar suara Rafa saat akubaru memasuki apartemen. Eh, ada keajaiban apa dia bisa sampai rumah lebih dulu dariaku? Tumben. “Abis meeting,” jawabku sambil melepas sepatuku. “Sampai jam segini?” Akuhanya mengangguk, “Kamu tumben sudah pulang?” tanyaku sambil menghampirinya, lalududuk persis di sebelahnya. “Aku pengin sesekali pulang cepat nemenin istriku yang lagihamil, tapi yang mau ditemenin malah belum pulang.” Dia pulang cepat untukmenemaniku? I can’t believe this. Really. This is new. Selama ini dia selalu bersikap sepertilupa punya istri. But look at him now! Mungkinkah kehamilan ini memang akan mampumengubah Rafa menjadi sosok suami baik dan perhatian? Baby is a glue in marriage. Well, atleast, in my marriage. Aku tersenyum lalu mencium pipinya, “Maaf ya, Sayang!” “Kamujangan terlalu sibuklah. Inget, kamu lagi hamil. Jaga kesehatan kamu. Demi anak kita.” Soyou really want this baby now? Oh Rafa, I love you even more! “Iya,” jawabku sambiltersenyum lebar. Rafa diam sejenak. “Kamu sering pulang malem begini?” Kebiasaan deh

Page 43: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

suamiku ini. Pasti curigaannya kambuh. “Nggak kok,” jawabku. Padahal belakangan ini agaksering karena Yoga sering sekali mengajakku meeting malam. “Beneran?” “Beneran, Raf.Kok nggak percaya sih sama istri sendiri?” “Aku kan selalu pulang lebih malem. Aku nggakpernah tahu kamu pulang jam berapa.” “Makanya jangan pulang malem lagi dong.” “Tapi,kan , aku harus kerja, Di.” “Ini bisa pulang lebih cepet? Berarti hari-hari lain harusnya bisajuga dong.” “Aku bilang aku sakit kepala ke orang-orang kantor. Masa aku mau sakit kepalatiap hari?” Sudahlah, nggak ada gunanya juga berdebat dengan Rafa. Yang penting sekarangdia ada di sini. Bisa aku cium-cium. Bisa aku peluk-peluk. Perfect way to end my bad day.Ting. Feeling-ku nggak enak mendengar bunyi email masuk malam-malam. Aku mengambilBB-ku dari dalam tas. Dan tebak siapa yang baru saja kirim email? Tepat sekali! Yoga! Mauapa lagi manusia satu itu? Belum puas menyiksaku sampai malam begini? Otakku memaksamataku membaca baris demi baris isi email itu. Dia memintaku merevisi laporan hasilanalisisku tentang sales Yumm-O yang terbaru. Menurut hasil analisiku, berdasarkan datayang ada, selain dihajar competitor, distribusi brand Yumm-O ternyata juga mengalamipenurunan sehingga menyebabkan sales menurun. Tapi menurut Yoga, hal ini nggakmungkin. Dia punya argument sendiri. Jadilah dia memintaku memberi analisis lain.Parahnya, dia minta hasil revisi dikirim besok pagi. Sinting kali orang ini. Dia kira aku robotyang nggak butuh istirahat? Lagipula, mataku bisa jereng kalau harus menyelesaikan laporanseperti ini hanya dalam satu malam. Ah, malasnya! Aku kerjakan besok pagi saja di kantor.Sudah cukup dia menyiksaku hari ini. Terserah kalau Yoga mau marah-marah. I don’t fuckingcare! Aku punya kehidupan lain selain urusan kantor. Dia juga harusnya punya kegiatan lainselain menyiksaku! “kenapa, Di? Kok muka kamu bete gitu?” Tanya Rafa. “Ada email kerjaanmalem-malem gini.” “Kamu mau lanjut kerja sekarang?” Aku menggelengkan kepalaku,“Jarang-jarang suamiku pulang cepat, masa aku tinggal kerja,” kataku sambil tersenyum.Rafa tersenyum balik lalu mengambil remote dan mengganti-ganti channel TV tanpamenjawab kata-kataku. Dasar nggak romantic! Aku memasukkan kembali BB-ku ke dalamtas. Yang aku butuhkan sekarang adalah mandi air hangat agar badan dan pikiranku rileks.“Aku mandi dulu ya, Raf,” kataku. Rafa hanya mengangguk, tampaknya dia sudah larut kefilm yang sedang ada di TV. Dengan mengumpulkan semua energy yang tersisa, akumenggeret badanku ke pintu kamar mandi, berharap energiku akan kembali setelah keluardari pintu ini. Setelah itu, aku bisa menyusul Rafa nonton TV. Just like a normal couple.Sesuatu yang sudah lama sekali aku rindukan. Gosh! What the hell is this? Bilang aku salahlihat! Bilang mataku sudah lelah karena meeting sampai jam segini! Bilang aku hanyaberhalusinasi! Kenapa ada darah di celanaku? Kenapaaa? Jangan-jangan… Berbagai pikirannegative langsung bergelantungan di kepalaku. Tuhan, jangan ambil bayiku. Rasa sayangkupda janin ini sudah semakin tumbuh. Rafa pun pelan-pelan sudah bersikap semakin baik danmemberiku perhatian karena kehamilan ini. Anak ini bagai sumber kebahagiaan bagiku. Jagadia, Tuhan. Jangan ambil dia! “Nggak jadi mandi?” Tanya Rafa ketika aku keluar kamarmandi. “Kita ke rumah sakit sekarang ya,” kataku pelan sambil menahan air mata yangsudah di pelupuk mataku. “Kenapa, Di? Everything ok?” wajah Rafa tiba-tiba ikut panik.“Ada flek.” “Flek itu apa?” “Aku jelasin di jalan.” Nggak ada waktu untuk menjelaskan ke

Page 44: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Rafa. Lagipula, aku juga nggak sepenuhnya mengerti apa yang sebenarnya terjadi sekarang.Aku segera menggeret Rafa dan mulai menangis sepanjang jalan.

Page 45: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 16: (Tidak) Sendiri

Yoga berdiri di ambang pintu kamar VIP3. Kamar rumah sakit di mana aku harus dirawatuntuk sementara waktu. Mau apa dia ke sini? “Hai,” sapanya sambil memaksakan sebuahsenyuman di bibirnya. Aku hanya memandangnya penuh kebencian. He’s the last person Iwanna see now and forever. Bagiku, dialah penyebab utama aku hampir kehilangan bayidalam rahimku. Semalam, dengan penuh air mata, aku ke rumah sakit ini karena ada darahdi celanaku. Menurut dokter, aku stress dan kelelahan. Ini memberikan dampak buruk padaperkembangan janinku. Bahkan sekarang perkembangan janinku harus dipantau terusmenerus dan aku wajib istirahat total. So here I am, di salah satu kamar rumah sakit yangpucat, dingin, dan bau obat. I hate this. Nggak ada yang bikin aku stress dan kelelahanbelakangan ini selain monster Yoga yang sekarang sudah berdiri di sisi tempat tidurku. Hey,seingatku aku belum mempersilahkannya masuk. “Tadi aku telepon kamu ke kantor, Sonyayang angkat. Dia bilang kamu dirawat,” Yoga membuka pembicaraan. Aku diam. Matakumasih menatapnya dengan level kejudesan paling tinggi. Jangan bilang dia ke sini untukmenagih revisi laporan yang harusnya aku kirim tadi pagi. “Kenapa kamu nggak pernahcerita kamu lagi hamil?” Why should I tell you? Who do you think you are? Kamu pikir kamupenting? “Maafin aku ya, Audi. Sonya bilang kamu begini karena kamu kecapean ngerjainkerjaan dari aku dan sering aku ajak meeting sampai malem. Maaf ya.” Aku memutarmataku. Jadi kalau Sonya nggak bilang, dia nggak akan sadar sudah menyiksaku siangmalam? “Aku nggak akan maafin diriku kalau sampai ada apa-apa dengan kandungankamu,” Yoga memegang tanganku. Ih, berani-beraninya dia memegang tanganku. Akumenariknya, “Aku juga nggak akan maafin kamu kalau bayiku kenapa-napa,” kataku sinis.Aku tahu aku seharusnya nggak bicara seketus ini ke seseorang yang statusnya adalahklienku, tapi aku sudah nggak peduli. Yang aku tahu sekarang hanya aku benci Yoga sampaike ubun-ubun. “Aku harus gimana biar kamu maafin aku?” Ya, jangan suruh aku kerja rodi,Bodoh! “Aku yang tanggung biaya rumah sakit ya,” tawar Yoga. “Nggak perlu. Aku punyaasuransi dari kantor. Kalaupun nggak punya, aku masih mampu bayar sendiri. Simpan sajauang kamu. Aku nggak butuh.” Sial! Dia pikir aku gembel? “Aku kirim complimentary emailke bos kamu atas kerja kamu yang outstanding buat Prima Food, gimana?” Aku menariknapas panjang. “Yoga, nggak ada yang lebih penting buatku sekarang daripada kesehatanjanin dalam kandunganku.” “Terus aku harus gimana, Audi?” Tanya Yoga dengan nada putusasa. Wajahnya tampak merasa bersalah. Aku tahu dia tulus meminta maaf, tapi rasanya sulitsekali memaafkannya. “Jangan ganggu hidupku lagi, Yoga,” kataku pelan. “I’m married,please accept that. Sekeras apa pun kamu nyiksa aku, kenyataan itu nggak akan berubah.”Yoga tampak kaget mendengar kata-kataku. Dia menatapku dalam dan lama sampai akurisih. Dia sedang mikir apa sih? “Kalau gitu aku janji nggak akan ganggu hidup kamu lagi. Akujanji, Audi. Aku baru dapet tawaran kerja di perusahaan lain. Tadinya masih akupertimbangkan, tapi mungkin lebih baik aku ambil saja.” Dan sekarang aku yang kaget. Akunggak mengira dia akan ambil langkah se-ekstrem itu. But that’s a win-win solution! Akumengangguk tanda setuju. “Maaf ya!” kata Yoga dengan wajah iba. Aku memaksa bibirku

Page 46: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

tersenyum. Mungkin aku memang harus memaafkannya, toh dia sudah bersedia mengambillangkah ekstrem untuk memenuhi permintaanku. “Boleh aku jujur?” Tanya Yoga. “Ya.” “Akusudah berkali-kali cari pengganti kamu setelah kita putus. Berkali-kali juga aku gagal. Sampaiakhirnya aku ketemu kamu lagi. Aku pikir itu pertanda that you’re the one karena samaorang lain aku nggak pernah ngerasa secocok sama kamu.” Aku terpaku. What should I saynow? “Tapi ternyata kamu salah?” kataku akhirnya. Crap! Kenapa aku nggak bisamenemukan kata-kata yang lebih manis ya? Yoga diam sejenak. “No. bisa jadi memangbenar kamu orang yang tepat buat aku. Tapi sayangnya, aku bukan orang yang tepat bagikamu.” “Kamu akan ketemu orang lain yang lebih cocok.” Lanjutku. Yoga hanya mengangkatbahunya. Wajahnya tampak lesu. Kasihan. “Anyway, suami kamu mana?” Duh! Kenapa diaharus menanyakan ini? Tentu saja Rafa menemaniku semalam di rumah sakit ini. Dia bahkanbaru berangkat ke kantor setelah jam makan siang tadi karena aku terlalu takut ditinggalsendiri. Tapi gara-gara ini semua, tadi dia meneleponku dan bilang dia harus ekstra lemburhari ini. Dia janji bakal datang, tapi nggak tahu jam berapa. Lembur biasa saja bisa sampaipukul 12 malam, apalagi pakai embel-embel ekstra? Dalam keadaan normal, pasti aku akanberusaha untuk mengerti pekerjaan Rafa. Tapi dengan kondisi terbaring di rumah sakitseperti ini, aku ingin dia selalu ada di sampingku. Menemani dan membantuku menguatkanmental. Ini adalah momen di mana aku sangat ingin diprioritaskan dibandingkanpekerjaannya. Bukankah masalah hidup mati anaknya seharusnya jauh lebih pentingdaripada pekerjaannya itu? Argh, aku jadi merasa sedih banget sekarang. “Lagi lembur,”jawabku, berharap Yoga nggak bertanya lebih lanjut. “Kamu lagi begini dan suami kamumalah lembur?” “Ya, namanya juga kerjaan. Kadang nggak bisa ditinggal.” “Ya udah akutemenin kamu ya sampai suami kamu dateng.” Yoga ini belum berubah sama sekali. Akusudah pernah cerita kan kalau dia pernah menemaniku saat dulu aku dirawat di rumah sakitdan baru mau pulang setelah orangtuaku datang? Masalahnya, kali ini orangtuaku nggakakan datang. Mereka bahkan nggak tahu aku dirawat. Jadi, kalau begitu, kapan Yoga akanpulang? Saat Rafa datang? Bisa pecah perang dunia ketiga kalau Rafa lihat Yoga di sini.“Nggak usah! Nanti kamu capek, besok kan kamu harus kerja,” kataku. “Nggak apa-apa,Audi. Kamu lagi begini harusnya ada yang nemenin. Kalau kamu butuh apa-apa gimana?”“Nggak usah, Yoga! Ada suster kok.” “Apa nemenin kamu termasuk ganggu hidup kamu?”Aku diam sejenak, kemudian menjawab singkat, “Mungkin.” “Please, Audi. Kali ini aja. Demibayi kamu, harus ada yang stand by di sini. Gimana kalau pencetan panggil susternya jatuhsedangkan kamu tiba-tiba sakit nggak bisa bangun? Aku merasa bersalah banget, Di. Jadiaku harus tahu kamu baik-baik saja dan ada yang jagain.” Duh, suka berlebihan deh manusiasatu ini, meskipun aku tahu dia ada juga benarnya. Yoga memandangku, seolah sedangmembaca pikiranku. “Kamu nggak mau suami kamu tahu aku yang nemenin? Kamu takut diamikir macem-macem ya?” tanyanya penuh selidik. Aku diam. “Ya udah, kasih tahu aku diabiasa pulang jam berapa. Nanti aku pulang sebelum suami kamu dateng,” Aku harus jawabapa? Bilang kalau suamiku nggak jelas akan datang jam berapa? Duh, kenapa mataku panas?Ini gara-gara Yoga! Harusnya dia nggak perlu menanyakan Rafa. “Audi, kok diem?” “Akunggak tahu, Yog.” Aku bisa merasakan suaraku bergetar. “Nggak tahu?” “Iya, aku nggak

Page 47: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

tahu.” Dan air mata hangat mengalir di pipiku. Sial sial sial! Harusnya Yoga nggak boleh lihataku menangis karena kekecewaanku terhadap suamiku. Ini pasti hormone kehamilan yangmembuatku jadi semakin cengeng dari hari ke hari. “Cup cup. Jangan nangis dong, Audi.”Yoga terlihat panic karena aku tiba-tiba menangis. Cup cup? Come on, Yoga! “Nanti bayikamu ikut sedih,” Yoga tiba-tiba memelukku. Sebuah pelukan hangat yang harusnya akudapat dari suamiku. This is not right, tapi aku nggak cukup kuat untuk menolak pelukan ini. Isurely need a hug now. Aku begitu rapuh sekarang. Suamikulah yang aku butuhkansekarang. Kenapa dia masih sibuk dengan pekerjaannya? Bukankah keluarga seharusnyaselalu nomor satu? “Jangan sedih lagi ya. Aku di sini kok temenin kamu,” kata Yoga masihsambil memelukku. Bukan kamu yang aku mau, Yoga. Aku mau suamiku!

Page 48: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 17: Understanding

Cahaya matahari pagi mulai masuk melalui sela-sela jendela. Aku membuka mataku pelan-pelan dan menemukan diriku ada di tempat yang asing. Ini bukan kamarku di apartemen.Where am I? Ah, ternyata aku masih ada di kamar rumah sakit yang pucat, dingin, dan bauobat. Bagaimana bisa aku lupa? Jelas-jelas semalam aku mimpi dikejar-kejar suster judesyang berusaha menyuntikku dengan jarum yang sebesar krayon itu. Sinting. Hey, siapa iniyang tidur di sisi tempat tidurku? Kepalanya dijatuhkan ke tangannya yang terlipat di tempattidurku. Wajahnya menghadap bawah jadi aku nggak bisa lihat mukanya. Yang jelas,punggungnya pasti sakit saat bangun nanti. Rafa-kah itu? Jam berapa dia datang semalam?Obat yang diberikan dokter pasti memberi efek mengantuk luar biasa sampai aku nggaksadar Rafa datang. Pelan-pelan aku meraih BlackBerry di samping tempat tidurku. Kebiasaandeh, setiap bangun tidur, pasti yang dicari pertama kali adalah handphone. Dan pagi ini,yang pertama kali aku temukan saat membuka BB-ku adalah pesan dari Rafa yang bilang diakelelahan setelah lembur sampai jam dua pagi sehingga dia nggak jadi ke rumah sakit. Jadiini siapa yang kepalanya tertidur di tempat tidurku? Gosh, apa lebih baik aku memanggilsuster sekarang? Kepala itu mulai bergerak-gerak. Sepertinya dia sudah bangun. Pelan-pelankepalanya terangkat, diikuti dengan tangannya yang ikut terangkat, lalu badannya menegak.Ngulet. Astaga! Yoga? Jadi Yoga yang semalaman tidur di sini? Yoga celingukan memandangisekeliling kamar. Pasti dia sedang mengumpulkan kesadarannya. Pandangan bingungnyaberhenti setelah melihatku. “Pagi,” Yoga tersenyum lebar. “Ngapain kamu di sini?” tanyaku.Ok, aku terlalu kaget untuk berkata-kata manis. “Aku jagain kamu semalem.” “Kenapa nggakpulang setelah aku tidur?” “Semalem kamu tidur gelisah banget jadi aku mau tunggu sampaitidur kamu tenang. Ternyata aku malah ikut ketiduran.” “Astaga, Yoga,” aku benar-benarkehilangan kata-kata. Yoga yang dulu aku kenal seperti kembali. Yoga yang baik hati danselalu tulus. Kualitas yang selalu membuat para perempuan dulu begitu iri padaku. Sesaatsosok Yoga yang menyebalkan beberapa hari ini hilang dari ingatanku. Kenapa ya dulu akumemutuskan untuk meninggalkan Yoga demi Rafa? Apa jadinya kalau aku nggak pernahambil keputusan itu? Mungkinkah aku lebih bahagia kalau aku menikah dengannya? Gila!Mikir apa aku barusan? “Aku balik deh. Harus ngantor,” kata Yoga sambil mengurutpunggungnya. See, dia pasti sakit punggung. “Ok.” “Semoga cepat membaik ya, Audi.”Dengan sangat canggung dia menyalamiku. Andaikan ini di film, pasti adegan yang munculadalah dia mencium dahiku dengan romantis, bukan menyalamiku seperti bertemu PakLurah di kantor kelurahan seperti ini. “Yoga,” panggilku saat dia sudah mendekati pintu.“Thanks ya udah nemenin semalem.” Sebuah senyum tersungging di bibirnya. Senyumanyang hanya bisa aku nikmati beberapa detik karena Rafa tiba-tiba sudah berdiri di depanpintu kamar. Gawat. Si Rafa ini ajaib banget deh. Kalau ditunggu, pasti nggak dateng. Kalaunggak ditunggu, pasti tiba-tiba nongol. “Hai, Raf,” sapaku setelah berhasil mengatasikekagetanku. Rafa masih diam. Sepertinya otaknya sedang menyusun skenario tentang apayang baru terjadi di kamar ini. “Kenalin temenku. Yoga. Yoga, kenalin suamiku. Rafa.” Rafasudah pernah tahu ada sosok bernama Yoga yang notabene adalah mantan pacarku. Berani

Page 49: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

taruhan, setelah ini si pencemburu akut ini pasti marah besar. Yoga mengulurkan tangannyalebih dulu, “Yoga.” “Rafa. Pagi juga ya jenguknya?” wajah Rafa tersenyum. Tapi aku yakinsekali pertanyaannya adalah sindiran. “Sebetulnya gue jenguk semalem tapi terusketiduran,” kata Yoga dengan lugunya. “Well, I have to go now. Harus ngantor.” “Ok,” jawabRafa cepat. Aku menatap punggung Yoga ketika melangkah meninggalkan kamarku.Mungkin ini adalah kali terakhir aku bertemu dengan Yoga. Setelah dia nggak jadi klienku,setelah dia berjanji nggak akan ganggu hidupku lagi, setelah dia akhirnya betul-betulbertemu suamiku. Kenapa aku sedih sekarang? “What the hell was that?” Rafa tiba-tibamembuyarkan lamunanku. Here we go. Rafa berdiri di ujung tempat tidurku sambil melipatkedua tangannya di depan dadanya. Perang dunia ketiga akan segera pecah! “Apa?”tanyaku seolah nggak mengerti arah pertanyaan Rafa. “Dia semaleman di sini?” “Diaketiduran, Raf.” “Alesan. Jadi begini kelakuan kamu kalau aku lagi sibuk?” “Kamu ngomongapa sih, Raf?” “Kamu itu istriku. Emang pantes ada laki-laki lain nungguin kamu di kamarsemaleman?” Hellooo! Kalau mau membahas pantas nggak pantas, memangnya pantas diameninggalkan istrinya yang nyaris keguguran ini sendirian di rumah sakit selama seharisemalam? Pantas? Aku memang berusaha semandiri mungkin menjalani hidupku. Akuberusaha untuk nggak pernah merepotkan Rafa dalam segala hal. Tapi aku nggak bisaselamanya begitu. Ada kalanya aku butuh orang lain. Butuh Rafa. Kalau dia nggak bisamelakukan tugasnya sebagai suami dengan baik, jangan salahkan orang lain yangmengambil alih tugasnya itu dong. Ya, kan? “Iya, nggak pantes, Raf. Aku lebih pantessendirian aja ya,” jawabku sinis. “Dan sekarang kamu mau balik protes?” jawab Rafa nggakkalah sinis. “Aku nggak bisa temenin kamu karena aku kerja Audi! Dan sekarang, sepagi iniaku sempet-sempetin nengokin kamu, lihat keadaan kamu, tapi apa yang aku dapat?” Sabar.Audi, sabar. Suamiku satu ini memang paling pantang disalahkan. Baginya, dia selalu benar.Aku menarik napas panjang, mengumpulkan kesabaranku. “Ya udah, maaf ya. Lain kalinggak akan kejadian lagi. No. I’m not admitting that I’m wrong. Aku hanya nggak maumelanjutkan perdebatan ini. Aku kenal Rafa bukan baru kemarin sore. Kalau sekarang akumendebatnya. Hanya akan ada semakin banyak kata-kata menyakitkan keluar darimulutnya. Rafa mengusap mukanya, “Ya udah aku maafin,” katanya kemudian dengan nadasinis. Ada rasa sakit di dadaku mendengar jawabannya. Ingin rasanya menangis sejadi-jadinya sekarang. Oh well, semoga ini hanya pengaruh hormone yang kata orang mampumembuat ibu hamil mengalami mood swing. Sedikit-sedikit pengin nangis. Sebentar-sebentar pengin ketawa. Rafa meletakkan buah segar dan air mineral di meja, “Aku kekantor dulu ya,” kata Rafa kemudian. “Pulang kantor ke sini ya,” pintaku. Rafa diam sejenak.“Iya. Tapi agak malem ya. Aku harus lembur.” Again? Aku mengangguk lesu. Kapan sih akubisa jadi prioritas utama kamu, Raf? Sebisa mungkin aku mencoba untuk mengerti kamusekarang, Raf. Tapi tolong mengerti aku kalau nanti aku berhenti mencintai kamu.

Page 50: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 18: Intersection of Life

Hello, my lovely office. Setelah cuti sakit hampir dua minggu karena harus istirahat di rumahsakit dan lanjut istirahat di apartemen, it feels good to be back here. I never thought I couldmiss you. Tidur terus ternyata jauh lebih membosankan daripada menganalisis kondisimarket dengan menggunakan berjuta-juta data.Pagiku bertambah bahagia saat menemukan sekotak cheesecake ada di atas mejaku. Adatulisan ‘semoga sehat selalu dan selamat bekerja’ di atas cake-nya. Terlalu panjangmemang, tapi tetap saja membuatku tersenyum senang. Ibu mertuaku yang mengirimnya.Dia panik banget saat akhirnya tahu aku masuk rumah sakit. Bahkan setelah aku keluarrumah sakit, dia selalu mengirimkan makanan supaya aku nggak perlu repot keluar carimakan. Kata siapa mertua lebih kejam dari ibu tiri?Tapi sambutan dari bosku atas kehadiranku kembali ke kantor ini justru berbanding terbalikdengan ibu mertuaku. Direkturku tanpa basa-basi langsung mengajakku meeting tepat saataku datang. Nggak bisa ya Tanya kabarku dulu? Huh.So here I am, duduk manis di hadapan direkturku sambil berdoa dalam hati semoga di haripertama kerja lagi ini aku nggak ketiban tugas mahadahsyat. Tolong biarkan aku menghirupudara kantor dengan tenang dulu.Hey, kecurigaanku ini beralasan. Biasanya manajerku yang memberikan tugas kepadaku, inikok tumben direkturku langsung. Sudah pasti ini adalah sesuatu yang penting.“Bisa tebak kenapa saya panggil kamu ke sini?” Tanya direkturku.“Ada calon klien besar baru yang potensial?” tebakku. Dan yang aku maksud besar adalahsangat besar sampai-sampai direkturku sendiri yang perlu menyampaikan ini kepadaku.Direkturku tertawa. “Saya tahu kamu jagonya menggaet klien baru. Tapi kali ini bukantentang itu.” Bukan? Ok. Now I’m clueless. Jangan-jangan aku mau dipecat karena cuti sakitterlalu lama! “Ada apa ya, Pak?” “Kamu dipromosikan jadi manajer. Selamat ya!” “Hah?”Aku? Jadi manajer? Aku nggak salah denger, kan? Aku pikir setelah kejadian aku bilangnggak sanggup handle Prima Food dan lanjut cuti sakit cukup lama, kesempatanku jadimanajer semakin jauh. “You heard it right, Audi. Kamu di-promote jadi manajer.” “Beneran,Pak?” tanyaku ketika yakin pendengaranku nggak salah, “Alhamdulillah!” pekikkukegirangan. What a perfect news to start my day! Oh, My God, aku mau loncat-loncat. Akumau loncat-loncat di meja atasanku saking senangnya. Boss, would you mind keluar ruangandulu? I’m so happy, I wanna cry! I finally got it! Aku tahu pasti kalau performance kerjakumemang bagus. Aku yakin aku akan mendapat posisi ini. Aku hanya nggak menyangka akansecepat ini. Am I really that good? Haha. Ok. You can slap me now sebelum levelkesombonganku bertambah tinggi. Aku mengelus lembut perutku yang sama sekali belummenunjukkan tanda-tanda membuncit. Ini pasti rezeki anak! “Nama kamu emang sudahdipertimbangkan untuk jadi manajer, rencananya kamu promosi di next quarter. Tapi waktukamu cuti sakit, kita terima complimentary email dari klien yang sulit itu. You know who-lah.Si Bapak managing Director seneng banget tuh dan minta kamu di-promote lebih cepat.”Klien yang sulit itu? Prima Food? Jadi Yoga bener-bener mengirim email seperti itu? Even

Page 51: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

setelah aku memintanya pergi dari hidupku? Kamu baik banget, Yoga. Baik banget. “Janganshocked gitu, Audi. I know you really deserve it.” “Thank you.” “Now just go back to yourdesk dan siap-siap bangkrut karena kalau berita ini udah menyebar, temen-temen kamu itupasti minta traktir.” Aku tertawa sopan lalu kembali ke meja kerjaku. What should I do now?Menghubungi Yoga dan say thank’s? Uuh, apa kabar dia? Sejak kejadian di rumah sakit itu,dia benar-benar menghilang dari hidupku. Apalagi saat aku sakit akhirnya account PrimaFood benar-benar dialihkan ke rekan kerjaku yang lain. Aku jadi nggak tahu apa Yoga masihdi Prima Food atau sudah pindah, and I don’t even know dia mau pindah ke mana. Aku yangmemintanya pergi, apa nggak aneh kalau aku tiba-tiba menghubunginya? Tapi aku akanterlihat seperti orang nggak tahu terima kasih kalau nggak menghubunginya. Bukankahpromosi ini bisa terjadi lebih cepat karena bantuan Yoga? Argh! Bingung. Tiba-tiba BB-kuyang kuletakkan di atas meja bergetar heboh di tengah kekalutan otakku. It’s Rafa. Tumbenbanget dia telepon pagi-pagi ini. “Ya, Raf.” “Di, nanti malem dinner bareng, yuk. Akujemput.” Dinner? Kira-kira ada apa ya? Biasanya Rafa mengajakku dinner di luar kalau adamomen special atau kalau sedang mau minta maaf. Tapi ini? Nggak ada momen special apapun hari ini. Kenapa dia bisa tiba-tiba bersikap manis seperti ini? Aku juga nggak baru ributdengan Rafa semalam. Kemungkinan lain, ada hal penting yang ingin dibicarakan. Tapi apayang mau dibicarakan ya? Sudahlah, lebih baik aku berpikir positif. Mungkin Rafa Cumakangen sama aku. Ah, aku jadi nggak sabar mau cerita ke Rafa tentang berita bahagia ini.“Kamu nggak lembur?” tanyaku. “Nope. Aku jemput jam tujuh ya ke kantor kamu.” Heh?Nggak lembur aja dia baru bisa jemput jam tujuh. Dua jam lebih lama dari jam pulangkerjaku. But I love you too much, Raf. Apa sih yang nggak buat kamu? Nunggu lima jam punaku rela demi mendapatkan waktu kamu itu. Yeah, beginilah nasib punya suami yangsibuknya mengalahkan presiden! Baiklah, aku nggak akan menghubungi Yoga. Demimenghargai perasaan Rafa. “Sayang, aku udah beberapa hari ini mikirin sesuatu,” kata Rafasetelah menikmati sepiring mushroom fettucini. See! Pasti ada sesuatu dia mengajakkudinner bereng di luar. Apalagi di restoran fine dinding romantic super mahal seperti ini.“Apa, Raf?” tanyaku. “Gimana kalau kamu resign dari kerjaan kamu?” Hah? Jadi ini yangmau dibicarakan? Apalagi ini? Ini sudah kali kedua dia memintaku resign. Jangan bilang inijadi hobi barunya! Atau dia sekarang memang mendapat kepuasan batin setelah bikindrama denganku. “Kenapa, Raf? Kalau ini tentang Yoga, aku kan sudah bilang dia bukanklienku lagi. Aku jamin aku ngak akan ketemu dia lagi.” “No. it’s not about him,” jawab Rafacepat. “Lalu kenapa, Raf?” “Aku nggak tenang kalau kamu kerja. Aku takut kamu kecapean,Audi. Aku takut kamu stress. Aku nggak mau kejadian tempo hari terulang lagi. Kemarin jugaIbu telepon biar aku jagain kamu baik-baik.” Aku mulai curiga suamiku ini punya kepribadianganda. Kalau cueknya sedang kambuh, dia benar-benar seperti lupa kalau punya istri. Tapikalau care-nya muncul, dia bisa jadi seorang control freak yang ingin mengatur hidupkuhabis-habisan. “Aku janji aku nggak akan kecapean lagi,” kataku. “Gimana caranya? Kalauada kerjaan dari bos atau klien kamu, emang kamu bisa tolak? Tolong dong, Audi. Kali ini ajanurut sama suami kamu!” Excuse meee? Kali ini aja? Bukankah aku selalu menuruti semuakeinginannya? Tapi yang satu ini… “Kita kan sudah buat kesepakatan sebelum nikah, aku

Page 52: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

akan terus kerja.” “Tapi kondisinya sekarang beda. Kamu hamil. Nyaris keguguran. Dulu,skenario ini kan nggak ada, Audi. Lagipula, penghasilanku lebih dari cukup untuk menghidupikamu. Jadi, kamu nggak perlu capek-capek kerja.” “It’s not about the money, Raf. Inimasalah aktualisasi diri. Aku nggak pernah membayangkan diriku jadi ibu rumah tangga.”“Audi, apa salahnya sih jadi ibu rumah tangga? Ibuku seorang ibu rumah tangga dan bagikushe’s a great woman. Aku jadi seperti ini juga karena didikan ibuku.” Ya, I know. Nggak adayang salah dengan menjadi ibu rumah tangga. Tapi kalau aku jadi salah satunya? Gimananasib stiletto-stiletto yang berjejer rapi di lemariku? Mau dipakai di dapur? Oh well, no, it’snot about the stilettos. Being a housewife, it’s just not me. “Terus aku mau ngapain diapartemen seharian? Nungguin kamu pulang kantor setiap hari?” tanyaku sinis. “Banyak kokyang bisa kamu lakuin di apartemen. Belajar masak misalnya.” “becanda kamu, Raf!”Seriously, aku semakin nggak mengerti pola pikir Rafa. Dia tahu persis aku nggak bisa masakdan sama sekali nggak tertarik untuk bisa. It’s not my thing. Sama minyak goreng panas sajaaku selalu jaga jarak minimal satu meter. Dan sekarang dia justru memintaku melakukan itusemua saat memaksaku resign. Yang benar saja! “Kamu hamil, nggak sehat makan di luarterus. Belum lagi nanti kalau anak kita lahir, masa kamu mau beliin makanan di restoranyang pasti penuh MSG? harus masak sendiri, kan?” I have to admit that he’s right. And I hateit. Aku nggak mau melepaskan karierku. Nggak di saat aku baru mendapatkan apa yang akumau. “Tapi, Raf. Aku baru dapet promosi jadi manajer. Tadinya bahkan aku nggak sadar buatnyampein kabar ini ke kamu,” kataku akhirnya. Ini senjata terakhirku. Semoga dia bisamengerti. Rafa terdiam sejenak. He’s a professional. Dua harusnya tahu bagaimana posisikusekarang. Diminta resign saat aku baru saja dipromosi. Ini sama saja menolak rezeki. “Akuminta kamu resign demi anak kita, Audi.” Rafa terdiam sejenak, “Tapi sekarang terserahkamu. Mau mementingkan anak dalam kandungan kamu atau karier. You should choosebetween a good mom or a good worker. Nggak bisa dibagi setengah-setengah!” Jleb!Really?

Page 53: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 19: Hasil Sebuah Keputusan

Aku nggak pernah menyangka hari ini akan tiba secepat ini. Hari di mana aku dan hampirsemua rekan kerjaku berkumpul di sebuah restoran dalam rangka farewell-ku. Iya, bukanfarewell orang lain, tapi farewell-ku. Sudah menjadi tradisi kantorku untuk dinner bareng dihari terakhir pegawai yang akan resign. Sekarang giliranku. Aku mengajak makan teman-temanku di restoran Jepang sebelah kantor Yoga, tempat di mana aku memberitahu Yogakalau aku telah menikah. Ada beberapa pertimbangan kenapa aku mengajak teman-temanku ke sini. Pertama, makanan di sini super enak, setidaknya aku bisa membuat perutteman-temanku bahagia di hari terakhirku bekerja. Kedua, tempatnya yang nyaman dantidak terlalu ramai membuatku berharap aku bisa mengobrol lebih intim dengan teman-temanku ini untuk terakhir kalinya. Selain itu, I, somehow, miss this place. Ini adalahrestoran di mana aku sering meeting dengan Yoga saat dia masih rajin membuatku kerjarodi. You know, saat sesuatu sudah menjadi kebiasaan, rasanya aneh saat nggak dijalankanlagi, semenyebalkan apa pun hal itu. Aku bahkan curiga deep down inside aku merindukanmeeting dengan Yoga di tempat ini. Anyway…. If you’re wondering, ya, again and again …aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Rafa. Sinting! Kurang cinta apa aku kesuamiku itu? Well, I hope this is a right decision. Semoga setelah ini kehamilanku lancar danbayi dalam kandunganku lahir sehat. Jangan sampai pengorbananku ini sia-sia. To behonest, I’m not happy. Really. Aku masih nggak kebayang hari-hariku setelah ini. Tapi akusudah mengambil keputusan dan sekarang aku nggak punya pilihan lain selain mencobamenjalaninya. Dulu aku mungkin bukan murid terbaik di sekolah, bukan mahasiswi palingcemerlang di kampus, but I know I was great. Aku lulus dengan nilai gemilang yang akhirnyamembawaku ke sebuah perusahaan market research paling besar di dunia. Di kantor punkarierku menanjak lebih cepat dari normal. Tapi sekarang, semua prestasiku itu seolahnggak ada gunanya karena aku hanya akan ada di rumah, mengurus rumah dan tetek-bengeknya. Lalu buat apa dulu aku susah payah belajar? Masih ada rasa nggak relamenghadapi ini. Sesungguhnya aku belum ikhlas. Yang membuatku semakin nggak senangadalah orang-orang selalu mengerutkan dahi saat mendengar alasanku resign. Wajahmereka seolah mengatakan meninggalkan pekerjaan demi menjadi ibu rumah tangga adalahdosa besar. Aku merasa dipandang rendah and it hurts. Aku merasa nggak mendapatkandukungan dari siapa pun, kecuali Rafa tentunya. Bukankah menjadi ibu rumah tangga adalahpekerjaan mulia? Please say yes atau aku akan sangat menyesal! Ah, mungkin aku yangterlalu sensitive. Atau mungkin mereka hanya iri karena setelah ini aku bisa leha-lehasepanjang hari tanpa dikejar deadline apa pun. “Setelah ini kita bakal jarang shoppingbareng dong?” kata Sonya yang sedari tadi duduk di sebelahku. Matanya masih bengkak. Diamenangis heboh saat aku menyampaikan farewell speech-ku sebelum pulang kantor tadi.“Gue Cuma resign, bukan hilang dari muka bumi!” “Kalau laki lo sampai ngelarang lo kerja,artinya dia bakal ngelarang lo keluar rumah juga dong?” “Ya enggaklah. Gue cakar dia kalausampai ngelarang gue ke mal,” kataku sambil tertawa menutupi hatiku yang sebetulnyakalut. “Pokoknya anytime you wanna go shopping, just call me yah,” lanjutku. Masih dengan

Page 54: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

mata bengkaknya, Sonya tersenyum, “Pasti!” Aku sebetulnya nggak yakin dengan kata-kataku pada Sonya barusan. Rafa is a control freak dan apa yang ada di kepalanya benar-benar nggak bisa ditebak. Mungkin Sonya benar, bisa saja setelah melarangku bekerja, Rafaakan melarangku jalan-jalan juga dengan alasan yang sama. Argh, membayangkannya sajasudah membuatku lemas. Kalau benar kejadian, aku bisa mati bosan. Gawd, I need adistraction now. Pikiranku hanya diisi oleh hal-hal negative padahal aku seharusnyamemanfaatkan waktu untuk ngobrol sepuasnya dengan teman-teman kantorku. I hate this!Aku membuang pandanganku ke luar, memperhatikan orang yang lalu lalang di depanrestoran, berharap pemandangan di luar bisa sedikit mencuci otakku. Pandanganku berhentisaat seorang lelaki memasuki restoran ini dengan seorang wanita cantik di sebelahnya. Laki-laki itu mirip sekali dengan Yoga. Hmm. Apa kabar ya Yoga? Dia yang dulu begitu intensmengganggu hidupku sekarang benar-benar menghilang seperti ditelan bumi. Honestly,rasanya seperti ada yang hilang dari hidupku. Eh, tunggu, itu memang Yoga. Mungkin benarsecretly aku merindukan meeting dengan Yoga di tempat ini. Bukankah ada yang bilangkalau alam semesta selalu membantu kita mewujudkan keinginan kita? Well, sebetulnyanggak ada yang aneh kalau Yoga tiba-tiba muncul di restoran ini, jelas-jelas kantornya digedung sebelah dan dia sendiri yang dulu bilang kalau dia suka makan di restoran ini.Harusnya aku sadar probabilitas bertemu Yoga di tempat ini teramat sangat besar. Tapi yangmengganggu pikiranku sekarang bukanlah bertemu kembali dengan Yoga, melainkan sebuahpertanyaan besar: who’s that girl? Melihat Yoga datang ke sini dengan seorang wanitalainlah yang membuatku kaget. Jangan-jangan dia memang sering membawa wanita-wanitanya ke restoran ini dan aku hanya salah satunya. Duh! Aku negatif banget sih!Mungkin itu hanya rekan kerjanya yang sama-sama pengin makan di sini malam ini.Lagipula, memang kenapa kalau Yoga sering membawa wanita-wanitanya ke tempat ini?Nggak ada yang salah kan, Audi?! Tapi tetap saja otakku segera memerintahkan matakuuntuk melakukan pemeriksaan cepat ke sosok wanita itu. Dari atas sampai bawah. Darisepatu hingga potongan rambutnya. Dari pakaiannya sampai bahasa tubuhnya. Cantiksekali. Bahkan lebih cantik saat aku mengamatinya lebih detail. Wajahnya ayu sekali denganmake up super tipis. Badannya tinggi langsing. Pakaiannya sederhana, hanya sweater Zara-persis seperti punyaku dan jeans. Sungguh effortless beautiful. But there must be somethingwrong di balik penampilannya yang sempurna itu. Nobody’s perfect, right? Wait! Apa akuterdengar seperti orang jealous? No, I’m not! Aku Cuma penasaran, siapa wanita itu.Pandanganku nggak mau berpaling sedetik pun, bahkan ketika mereka sudah duduk di mejayang masih dalam jarak pandangku. Aku mau lihat setiap detail yang terjadi. Merekatertawa, lalu tertawa lagi. Lagi, lagi, dan lagi. Apa sih yang lucu? Mereka terlihat bahagia.Bahagia seperti pasangan baru. Atau memang iya? Yoga tampak beranjak dari tempatduduknya setelah memesan makanan, menuju toilet. Refleks aku beranjak dari tempatdudukku, menuju toilet. Langkahku pelan berharap saat aku tiba di depan toilet, Yogakeluar. Dan semua terlihat seperti kebetulan. Yeah, I’m so freak sometimes. “Audi!” wajahYoga tampak kaget saat keluar dari toilet. Berhasil! “Eh, Yoga,” aku pura-pura memasangwajah terkejut, “Sama siapa?” He? Kenapa aku langsung tembak gini? Bukankah dia

Page 55: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

seharusnya menanyakan kabarnya dulu. “Temen,” jawabnya singkat. “Ah, temen apatemen?” Duh, apa-apaan sih aku! Norak banget deh. Nggak bisa ya mincing dengan lebihclassy? “Temen,” kata Yoga. Listen, Audi, listen! Benar, kan, hanya teman sekantor! “Tapisekarang lagi deket. Nggak ada salahnya dicoba!” lanjut Yoga sambil tersenyum. Ada kilatanexcited di matanya. Entah kenapa ada rasa nggak enak saat mendengar kata-kata Yoga.Nope, bukan rasa sakit. Tapi nggak enak. Nggak suka. Maybe it’s just my ego. Nggak relasesuatu yang sebelumnya milikku diambil orang lain. “Oh!” aku memaksakan bibirku untuktersenyum. That information is enough. I don’t wanna know more. I don’t wanna hatesomeone I don’t even know. “Anyway, thank’s ya complimentary email-nya,” katakumengalihkan topik pembicaraan. “Itu Bu Sinta yang kirim. Aku Cuma cerita tentang serviskamu yang ok.” Aku tersenyum sambil mengangguk. “Ngomong-ngomong, kamu bukannyamau pindah kantor? Nggak jadi?” “Jadi. Lusa aku berangkat ke Jogja.” “Jogja?” Yogamengangguk mantap seperti nggak ada keraguan meninggalkan Jakarta Raya ini. We allknow, semua orang berbondong-bondong pindah ke ibu kota, tapi Yoga memilih untukmeninggalkannya. “Jadi kantor baru kamu di Jogja? Kamu yakin?”tanyaku lagi. “Yakin.Pertama, aku bisa lebih mengeksplorasi diriku karena ini perusahaan baru. Aku yakin akubisa dapet ilmu banyak untuk bekal ngembangin perusahaan papaku nanti. Kedua, semakinaku jauh dari kamu semakin kecil kemungkinan aku ganggu hidup kamu,” kata Yoga sambilterkekeh, membuat kesan kalau kalimat terakhirnya hanya bercanda. It didn’t sound funnyfor me. I don’t know why. “Di, kamu lupa ya, living there was our dream. Tapi sepertinya akuharus jalanin sendiri,” kata Yoga dengan nada tenang seolah dia hanya bilang, ‘I love sushi’.Aku tercekat. Aku ingat, Yoga. Aku ingat mimpi kita itu. Jogja is my hometown. I love thatcity sooo much! Aku lahir dan besar di sana. Orangtuaku juga masih tinggal di sana sampaidetik ini. Sejak awal aku meninggalkan Jogja untuk menimba ilmu di Jakarta, aku sudahbertekad akan kembali lagi ke kota itu. Mengabadikan hidupku untuk kota kelahiranku andspend the rest of my lofe there. Aku masih ingat betul saat pertama kali aku menyampaikanhal ini ke Yoga dulu, saat kami masih berpacaran. Dia menyambut dengan gembira. Akunggak tahu kenapa dan bagaimana Yoga yang selama ini besar di Jakarta bisa sangatmencintai Jogja. Bahkan kecintaannya sepertinya lebih besar dariku. Dia hanya pernahbilang kalau Jakarta itu melelahkan, dia ingin ritme hidup yang lebih tenang dan lebihsederhana. Tapi setelah pisah dengan Yoga dan menikah dengan Rafa, perlahan aku mulaimelupakan keinginanku itu. Mungkin karena aku yakin Rafa nggak akan mau pindah ke sana.Aku bahkan nggak pernah punya keberanian untuk menceritakan keinginanku ini pada Rafa.Entah kenapa. Mungkin karena aku takut mendapat penolakan. Mungin karena aku tahupersis respon yang akan aku dapat dari Rafa akan berbanding terbalik dengan respon Yogadulu. “Aku balik ke meja dulu ya, Di. Wish me luck, moga-moga yang ini cocok,” Yogatersenyum lebar. And from that smile, I know he likes that girl. Yoga berlalu meninggalkankumenuju wanita cantik itu yang menyambutnya dengan senyuman. Melihat punggung itumenjauh, kenapa tiba-tiba aku merasa begitu kehilangan? I know I should not feel this. Ishould not. What a day! Kehilangan pekerjaan dan kehilangan seorang Yoga secara

Page 56: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

bersamaan. Dua-duanya keputusanku sendiri, but why do I feel so sad right now? I don’t getit, somebody please explain!

Page 57: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 20: Kecewa

Siapa yang bilang jadi ibu rumah tangga itu mudah? Bawa sini, biar aku jitak! Aku kasih tahuya, ternyata jadi ibu ruma tangga itu sangat melelahkan. Sampai-sampai rasanya aku butuhdipijat setiap malam. Sepertinya sudah waktunya aku mencari Mbok Pijat pribadi. Serius.Selama ini aku hanya menyapu apartemen di pagi hari sebelum berangkat ke kantor dansepertinya semua sudah bersih. Paling-paling hanya seminggu sekali beres-beres yang agakmengeluarkan tenaga. Itu pun kalau aku nggak pergi seharian sama Rafa. Tapi sekarang, saataku hampir 24 jam di dalam apartemen, aku jadi menyadari semua kekotoranku yangselama ini kasat mata bagiku. Debu-debu yang menempel di meja, buku-buku yang seringpindah ke bawah tempat tidur, kulkas yang sudah harus dibersihkan kotoran-kotoran yangbegitu riangnya bergantungan di belakang pintu, dan lain-lain, dan lain-lain, dan lain-lain.Setiap hari ada saja yang harus dibereskan. Huh, kalau begini caranya, sepertinya jadi iburumah tangga bisa membuatku lebih lelah dan lebih stress daripada kerja kantoran. Ok.Enough. Aku mengeluh terlalu banyak ya? Nggak semuanya buruk kok. Aku memaksakandiriku untuk terus produktif meskipun sudah nggak bekerja. Sesuai permintaan Rafa, akubelajar masak! Akhirnya! Sebetulnya, aku belajar masak bukan karena aku mau, tapi karenaaku harus. Pertama, karena aku hamil. Ini membuatku nggak boleh makan sembarangan.Kedua, karena kata orang, hati laki-laki bisa disentuh dengan memberinya makanan enak.Dengan kata lain, aku berharap Rafa bisa makin cinta. Cheesy, huh? I don’t care. Ketiga,karena aku sekarang mulai sering Blog Walking ke Blog ibu-ibu dan ternyata bayi-bayi yangmulai makan itu paling bagus dikasih homemade food. Kalau ditanya sudah bisa masak apa,dengan bangga aku akan jawab beberapa makanan selain telur ceplok. Kemarin aku praktikmasak sayur asem, kemarinnya lagi tumis tauge … dan, oh, minggu lalu bahkan aku sempatmencoba membuat semur daging. Canggih banget, kan? Meskipun sebetulnya sebagianbesar hasil eksperimen memasakku gagal total, tapi aku tetep yakin ini adalah proses.Mungkin satu hari nanti aku akan lebih jago masak daripada Farah Quinn dan punya acaramasak seperti dia. Tinggal sedikit menghitamkan badan supaya terlihat eksotis di layartelevisi. Kalau kebetulan Rafa pulang sebelum aku tidur, biasanya dia kupaksa menghabiskansemua hasil eksperimen memasakku. Dan dia mau. Nggak Cuma itu, dia bahkanmeyakinkanku kalau selalu ada kemajuan dalam proses belajar masakku. Aku tahu dia hanyaingin membuatku senang. Tapi, ya, dia berhasil, aku senang dan merasa usahaku tidak sia-sia. Sebetulnya proses pemaksaan ke Rafa untuk makan masakanku ini jarang sekali terjadikarena Rafa tetap pulang malam meskipun dia tahu istrinya yang sedang hamil ini sendiriandi apartemen sepanjang hari. Entah apa yang bisa membuatnya mengurangi kebiasaanlemburnya itu. “Hai, Sayang,” sapa Rafa ketika memasuki kamar. Aku melirik jam dinding,tepat jam 12 malam dan dia baru pulang kantor, “Hai.” “Kok belum tidur?” “Nunggu kamu,”jawabku singkat. “Kan aku udah bilang nggak perlu nunggu aku. Nanti kamu kurangistirahat,” Rafa membelai lembut rambutku. “Kalau aku nggak pernah nunggu kamu, kitanggak akan pernah bisa ngobrol, Raf.” Aku berusaha membuat nada bicaraku sedatermungkin. Sedikit saja nada bicaraku lebih tinggi, pasti akan memancing kemarahan Rafa.

Page 58: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Rafa menarik napas dalam, “Di, aku nggak ada waktu untuk ribut sekarang. Ada Dimas diluar, masih ada kerjaan yang harus dilanjutin. Ini dia ikut aku pulang karena aku ngotot maulanjut kerja di rumah. Nggak enak sama kamu kalau pulang kemaleman.” Dimas adalahteman sekantor Rafa yang juga teman dekat Rafa sejak kuliah. Seperti aku punya Sonya.Rafa punya Dimas. Ok, the last sentence sounds weird ya? “Jadi kamu masih mau lanjutkerja?” tanyaku. Ini sudah jam 12 malam dan suamiku ini sudah bekerja seharian. Dia dapatenergy dari mana sih? “Iya, nggak apa-apa ya. Yang penting aku ada di sini,” kata Rafasambil tersenyum. Rafa keluar kamar. Aku mengikutinya keluar dan melemparkan sebuahsenyuman ke Dimas yang sudah duduk di meja makan. Laptopnya sudah terbuka. Nowonder mereka bisa sahabatan, sama-sama gila kerja. Aku curiga mereka kalau ngobrolharus lewat instant messenger biar bisa sambil kerja. “Hai, Dim,” sapaku. “Hai, Di. Makinsehat ya!” kata Dimas sambil tersenyum usil. Masih bisa ya dia jail di tengah kesibukannya?“Gendut maksud lo?” tanyaku sambil melotot. Dimas tertawa terbahak-bahak. Sialan. Wait,memangnya aku sudah mulai gendut ya? Padahal terakhir aku cek ke dokter, beratku Cumanaik setengah kilo. Dokternya sampai marah, dia kira aku diet karena takut gendut. Padahalmemang aku nggak nafsu makan. Rafa sibuk menyiapkan laptopnya seakan nggakmendengar sedikit pun percakapanku dengan Dimas. Huh, harusnya dia, kan, membelaistrinya ini! “Gue gorengin risol ya. Kebetulan tadi siang nyoba bikin,” kataku ke Dimas.“Nggak usah, Di. Kamu istirahat aja, udah melem,” kata Rafa. Oh, dia denger toh. “Cumasebentar kok, Raf. Tinggal digoreng aja,” aku tersenyum sambil menuju dapur. Akhirnya adaorang lain selain Rafa yang akan mencicipi masakanku. I am, somehow, so excited. Minggulalu aku sempat membuat makanan yang sama untuk Rafa dan dia bilang enak. Kalausekarang Dimas bilang enak juga, Rafa pasti ikut bangga. “Gue nggak pernah tahu Audi bisamasak. Gue pikir cewek kayak gitu Cuma bisa ngabisin duit lo,” sayup-sayup terdengar suaraDimas. Begini nasib tinggal di apartemen kecil, suara dari satu ruangan akan terdengar jelaske ruangan lain. Rafa hanya tertawa mendengar kata-kata Dimas. Mau aku pites si Dimas ini.Sembarangan saja dia mengira aku hanya bisa menghabiskan uang suamiku! And hey,“Cewek kayak gitu” itu maksudnya apa ya? “Pas banget nih gue lagi laper. Nggak sia-sia dehgue kerja di sini kalau istri lo jago masak,” lanjut Dimas. “Jangan berharap banyak,” kataRafa. Deg Apa maksudnya? “Dia masih belajar. Kalau depan dia sih gue bilang masakannyaenak dan makin jago masak,” Suara Rafa agak pelan, tapi aku masih bisa mendengarnyadengan jelas. “Padahal?” “Padahal abis itu gue akan minum banyak-banyak atau makanbuah sebakul buat meng-counter rasa masakan istri gue,” kata Rafa sambil tertawa pelan.Mataku tiba-tiba panas. Ya, aku sadar betul aku masih jauh dari jago masak. Aku tahu persisRafa makan masakanku hanya untuk membuatku senang. Tapi apa perlu menghina danmenertawakanku seperti itu di depan temannya? “Kurang ajar lo!” Dimas tertawa kencang.“Eh, yang penting kan gue bilang enak depan dia biar dia senang dan tetap usaha. Itu Cumalittle funny thingin marriage kok. Makanya lo buruan nikah biar ngerti.” Kata Rafa sambiltertawa. Rafa, kamu sadar nggak sih, yang kamu hina dan tertawakan itu istri kamu? Calonibu dari anak kamu? Sedikitpun aku nggak merasa ini lucu, Raf. Di mana lucunya? Yang akurasakan sekarang hanyalah kamu yang nggak menghargaiku. Nggak menghargai usahaku

Page 59: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

belajar masak dan nggak menghargaiku dengan mengatakan hal buruk tentangku ke oranglain. Aku melirik risol yang kubuat sore tadi, hanya tinggal goreng. Tiba-tiba kepercayaandiriku jatuh. Aku nggak siap mendengar lebih banyak celaan. Praaaank!! “Kenapa, Di?”terdengar langkah kaki Rafa menghampiriku ke dapur. Aku segera jongkok membersihkanrisol dan pecahan piring yang berceceran di lantai. Ya, aku sengaja menyenggilnya hinggajatuh. Buat apa aku sajikan? Aku nggak mau Rafa dan Dimas semakin menertawakanku.“Kenapa,Di?” Rafa mengulangi pertanyaannya lagi ketika sampai di pintu dapur. “Kesenggol.Sorry ya, nggak jadi ada risol,” aku masih membungkuk, nggak menatap Rafa sama sekali.Rafa nggak boleh lihat air mataku yang mulai jatuh. “Ya udah, nggak apa-apa kok. Hati-hatiya,” Rafa kemudian meninggalkanku. I feel like shit! Satu-satunya hal yang membuatkumasih merasa produktif setelah resign dari pekerjaanku dicela oleh suamiku sendiri. Tiba-tiba saja aku merasa sangat tidak berguna. Huff, being sad when you’re pregnant isdepressing. Hormone di dalam tubuh seolah bekerja sama membuatku merasa ingin mati.“Gitu ya, masakanku dibilang nggak enak,”kataku ketika Rafa sudah siap tidur. Jam 3 pagidan akhirnya pekerjaannya selesai juga. Rafa menatapku, “Apa sih kamu?” “Aku denger lohtadi,” aku memaksa bibirku tersenyum di hadapan Rafa, seolah aku nggakmempermasalahkan kata-katanya. “Kok kamu bohong selama ini?” “Aduh, Audi. Kamu mauaku jujur? Ya udah. Iya, masakan kamu nggak enak,” Rafa mengganti posisi tidurnyamembelakangiku. “Aku mau tidur.” Aku diam. Sakit. Aku sama sekali nggak menyangka diaakan mengatakan hal ini. I’m done, Raf. Aku nggak akan lagi masak untuk kamu. Buangwaktuku, buang waktu kamu. Sekuat tenaga aku menahan air mataku. Tapi aku gagal. Airmataku mengalir deras diikuti isakan tangisku. Rafa bangun dari tidurnya, “Kamu tuh ya,nggak bisa ngertiin banget sih suami capek, masih aja dibebani hal nggak penting kayakgini.” Rafa mengambil bantal lalu meninggalkan kamar. Sabar, Audi. Suami kamu sedanglelah. It’s 3 am dan dia baru selesai kerja. He didn’t mean it. Aku terus menguatkan dirikusambil mencoba berpikir positif. Aku nggak boleh sedih demi bayi dalam kandunganku. Akumengintip keluar pintu. Rafa sudah tertidur pulas di sofa depan TV. Aku beranjak daritempat tidur menuju sofa tempat Rafa tidur. Melihat wajah itu, I really want to slap him.Tapi apa yang aku lakukan sekarang? Aku justru menyelimutinya supaya dia nggakkedinginan. Mungkin memang seperti ini yang namanya cinta. Aku jadi begitu bodoh. Rafa,if I treated you the way you treat me, I promise you wouldn’t stick around the way I do.

Page 60: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 21: Walking Away

“Di, I have a good news!” teriak Rafa saat baru saja membuka pintu apartemen. Akumenatapnya heran. Langit di luar masih jingga dan Rafa tiba-tiba sudah ada di depan pintusambil berteriak kegirangan. Biasanya dia selalu pulang dengan muka kecapean dan yangpasti, sudah tengah malam. Is this just a dream? “I got a promotion, Di!” kini diamendekatiku lalu memelukku erat. “You got a promotion, so you can be home this early?”tanyaku. Fokusku masih pada pertanyaan kenapa dia bisa pulang secepat ini. Rafamelepaskan pelukannya, “Aku mau jemput kamu. Malem ini aku mau traktir temen-temenkantorku. Kamu ikut ya? Pasti bosen kan di rumah seharian.” Aku tersenyum lalumengangguk. Ternyata dia masih inget toh punya istri di apartemen. Setelah selama ini diaselalu meninggalkanku sendirian hingga larut malam, aku pikir dia lupa kalau dia punya istriyang menunggunya setiap malam. “Selamat ya, Raf. I’m pround of you.” Aku menciumpipinya. I’m smiling but honestly there’s some part of me yang nggak bisa ikut senangdengan apa yang baru saja didapat oleh Rafa. Karena permintaan Rafa, aku nggak bisamerasakan senangnya mendapatkan promosi beberapa waktu lalu. Not that I regret mydecision, tapi melihat Rafa mendapatkan promosi kok rasanya nggak adil ya? Kenapasepertinya hanya aku yang harus berkorban demi calon anak kita? Ah, ya tentu saja karenaaku yang hamil. Duh! “Kamu siap-siap ya. Aku mau mandi dulu,” kata Rafa masih denganwajah semringah. Nggak butuh waktu lama bagiku untuk bersiap-siap, aku bahkan sudahrapi saat Rafa belum selesai mandi. Baju hamilku masih sedikit sekali, jadi aku nggak perluberlama-lama untuk memilih. Yes, you read it right, baju hamilku sedikit karena dari hari kehari hasrat belanjaku terjun bebas. Sejak hamil pun aku nggak suka dandan heboh, cukupbedak dan lipgloss. Mungkin bawaan dari si jabang bayi yang sepertinya sih berjenis kelaminlaki-laki. Eh, sepertinya ada yang kurang hari ini. Apa ya? Oh, ibuku sama sekali belummenelepon. Biasanya, ibuku memang hanya sesekali meneleponku. Mungkin karena dia jugasibuk bekerja seharian jadi susah meluangkan waktu. Tapi semenjak aku hamil, ibuku jaditeramat sangat sering meneleponku dan menanyakan kabarku. Hampir setiap hari malah.Apalagi semenjak aku diam di rumah. Sepertinya dia tahu anaknya kesepian. Dan yang jelas,karena jabang bayi yang ada di kandunganku ini calon cucu pertamanya, ibuku jadi superduper perhatian padaku. Aku curiga kalau dia tinggal di Jakarta, mungkin dia akan datang keapartemenku setiap hari. Baiklah, aku saja yang telepon. Daripada bengong menunggu Rafaselesai mandi. “Hallo,” terdengar suara ibuku di seberang sana. “Bu, aku punya kabargembira.” Ada sunyu sejenak sebelum akhirnya ibuku menjawab, “Ada kabar apa, Nduk?”“Rafa dapet promosi,” kataku excited. “Wah, selamat ya.” Jawabnya datar. Sudah? Nggakada nada senang dalam ucapan selamat itu. There’s something wrong. Pasti ada yang nggakberes. Aku mengenal persis ibuku. Dia selalu ikut senang bila aku menyampaikan berita baik,sekecil apa pun itu. Ada apa ya? “Ibu lagi apa?” tanyaku. Ibu kembali diam sejenak, laluberkata, “Ibu di rumah sakit, Di. Ayah dirawat.” Hah? Told you! Aku mendadak panic,“Kenapa, Bu? Kok nggak ngabarin aku? Ken juga nggak bilang.” “Kadar gulanya naik. Ibunggak mau bikin kamu khawatir. Kamu lagi hamil, kamu harus selalu tenang. Ibu juga larang

Page 61: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Ken buat bilang.” Aduh, ibuku ini kebiasaan deh nggak mau cerita kepadaku kalau ada halburuk terjadi. Sepertinya aku masih dianggap anak kecil yang nggak bisa diajak bicara danmenerima berita dengan dewasa. “Bu, aku pulang ke Jogja malam ini.” “Nggak usah, Di.Sudah ditangani dokter kok. Besok mungkin sudah membaik.” “Nggak, Bu. Aku ke Jogjamalam ini.” Aku harus ke Jogja malam ini juga. Aku akan lebih nggak tenang kalau belumlihat langsung kondisi ayahku. Dan kenapa kadar gula Ayah sampai naik lagi? Pasti Ayahmulai nggak jaga makanan lagi. Kalau sudah begini, biasanya akulah satu-satunya orangyang bisa membuat Ayah nurut dan mengikuti anjuran dokter. Bukan ibu, bukan dokter.Mungkin karena aku putri tunggalnya, jadi semua omonganku selalu didengar baik-baik olehAyah. Yup, aku harus ke sana dan memastikan Ayah nggak akan bandel lagi. “Raf, Ayahmasuk rumah sakit,” kataku ketika Rafa keluar dari kamar mandi. “Hah? Kenapa?” “Guladarahnya naik lagi.” “Kondisinya gimana?” “Sudah ditangani dokter, tapi aku nggak tenang.Kita ke Jogja malem ini ya.” Harusnya nggak masalah untuk Rafa ikut ke Jogja denganku,besok kan, weekend. “Malam ini? Tapi aku sudah janji sama teman-teman. Mereka semuasudah nunggu di restoran. Besok pagi-pagi aja ya kita ke Jogja,” kata Rafa sambil dudukdisampingku. Aku menatapnya tajam, “Rafa, ayahku sakit dan kamu masih lebihmementingkan makan sama teman-teman kamu?!” Yang sakit memang Ayahku, bukanAyahnya. Tapi bukankah ayahku artinya ayahnya juga? “Kan sudah ditangani dokter, Audi.Kita nggak harus buru-buru. Besok aja pakai pesawat paling pagi ya, Sayang.” “Nggak, Raf.Aku nggak pernah ada untuk ayahku saat sehat. Jadi saat sakit begini, aku harusmenemaninya.” “Di, tolong ngerti dong,” Rafa meraih tanganku dan mencoba membujukku.“kamu yang tolong ngerti, Raf. Kamu harusnya ngerti mana yang harus diprioritaskan!” nadasuaraku mulai tinggi. Suamiku ini sebetulnya punya hati nggak sih? “Di, temenku sibuksemua dan sekarang mereka meluangkan waktunya untukku. Mereka sudah sampai. Nggakenak dong kalau aku nggak dateng padahal aku sudah janji mau traktir.” I’m shocked, I can’tspeak. Aku terlalu kecewa. Detik ini, untuk pertama kalinya, aku menyesal telah menikahipria heartless di hadapanku ini. Perlahan air mata menetes di pipiku. Duh, aku kok jadimakin cengeng ya? “Nangis lagi. Ya udah deh, kamu berangkat malam ini, aku nyusulbesok,” nada suara Rafa mulai terdengar kesal. “Aku hamil dan kamu nyuruh aku pergisendiri demi makan sama teman-teman kamu? Di mana tanggung jawab kamu?!” teriakku.Aku sudah nggak mampu mengontrol emosiku. Habis sudah kesabaranku menghadapi Rafayang dari hari ke hari selalu membuatku jengkel. Aku nggak bisa mengalah terus. Nggak disaat Ayahku sakit. My family is my everything dan aku nggak akan membiarkan keegoisanRafa menang kali ini. Seolah nggak mau kalah, Rafa berteriak lebih keras, “Kamu nanyatanggung jawab aku? Aku udah kasih kamu apartemen senyaman ini. Aku kasih kamu uangtiap bulan tanpa kamu perlu repot-repot kerja. Sekarang kamu Tanya tanggung jawab aku?”What the hell! Dia pikir aku hanya butuh tempat tinggal dan uang? Aku butuh dia! Butuhperhatiannya, butuh kasih sayangnya, butuh cintanya. Kalau tempat tinggal dan uang, sih,aku juga bisa cari sendiri! Rafa berdiri dengan kesal lalu meninju dinding di sampingnya.Baru kali ini aku lihat dia semarah ini. Mungkin karena selama ini aku nggak pernahberteriak kepadanya, nggak pernah menentangnya. “Kamu yang harusnya mikir, di mana

Page 62: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

tanggung jawab kamu. Kamu Cuma perlu masak di rumah aja nggak bisa-bisa,” lanjut Rafa.You better kill me now, Raf! Lebih baik aku mati daripada harus mendengar kata-katamenyakitkan seperti itu keluar dari mulut suami yang aku cintai. “Sana packing. Capek akulihat kamu nangis terus,” Rafa masih terus berteriak di mukaku. That’s it, Raf. I’m sick offeeling that I’m not good enough. Enough is enough. I’m leaving. I don’t need this.

Page 63: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 22: Titik Kritis

“Jadi lo mau cerai?” pertanyaan Sonya melalui telepon ini membuatku tersentak. “No!”jawabku cepat, “Gue Cuma mau menenangkan diri. I just wanna go out for a while. I’m tootired to put up a fight.” Sonya diam sejenak. Andaikan dia ada di depanku sekarang, akupasti tahu apa yang ada di pikirannya. “Rafa udah hubungin lo?” Tanya Sonya kemudian.“Jutaan kali. Tapi gue nggak angkat. Gue masih terlalu emosi buat ngomong sama dia.”“Take your time, Dear. Just call me kalau butuh tempat curhat.” “Will do.” “Eh, gue harusbalik kerja nih. Sejak lo resign, kerjaan gue jadi numpuk gini, sampai-sampai weekend giniharus kerja. Talk to you later.” Aku tertawa, “OK. Thank’s, Nya.” As always, Sonya selalu jaditempat sampahku setiap kali aku ada masalah dengan Rafa. Bahkan di saat aku sedang diJogja seperti sekarang ini, tetap saja dia yang aku telepon. Setelah pertengkaran hebatdengan Rafa, aku langsung menuju Jogja untuk melihat kondisi ayahku. Untunglah kondisiAyah sudah membaik dan sudah bisa pulang ke rumah sore ini. Tapi aku sama sekali nggakmenyesal meninggalkan apartemen dan berada di sini sekarang karena melihat langsungkondisi ayahku yang sudah membaik membuatku merasa jauh lebih tenang. So here I amnow, di teras rumah orangtuaku, duduk termenung seorang diri sambil menikmati udarasore Jogja. Pohon-pohon hijau menari-nari tertiup angin. Beberapa anak kecil tampaksedang bermain di depan pagar. Sesekali ada muda-mudi yang bersepeda bersebelahansambil mengobrol. Beberapa motor berlalu lalang dengan santai, sungguh berbeda dengandi Jakarta. Hidup mereka tampak tanpa beban. Begitu damaikah kota ini? Aku hampir lupa.Aku iri. Aku ingin damai. Tapi bagaimana caranya? Sekarang saja aku nggak tahu apa yangharus aku lakukan setelah ini. Aku benar-benar clueless. Yang pasti, aku nggak bisa berlama-lama di sini karena orangtuaku pasti curiga. Ya, mereka nggak tahu perihal pertengkarankudan Rafa. Bagiku, lebih baik aku menyimpan sakit hatiku sendiri daripada menceritakannyake orangtuaku dan membuat mereka merasakan sakit hati yang aku alami. Anyway, apakabar ya Rafa di Jakarta? Dia berkali-kali meneleponku sejak semalam. Tapi menjelang siang,sama sekali nggak ada telepon lagi darinya. Segitu aja usaha kamu, Raf? Mungkin dia sudahkembali ke kehidupan normalnya: sibuk bekerja dan melupakan masalahnya denganku. Eh,tapi ini kan weekend? Ah, mungkin dia memang sudah nggak peduli. Jangan-jangan diamalah sekarang sedang tidur dengan tenang karena nggak ada aku yang suka mengganggutidurnya? Oh well, if he does not care, why should I? Lebih baik aku menikmati waktuku disini sekarang. Bersenang-senang, melupakan masalahku dan membuat pikiranku tenang.Demi bayi dalam kandunganku. Demi aku. Sepertinya keliling kota sebentar menikmatiudara sore yang sejuk seperti ini adalah ide yang menarik. Tapi sama siapa? Kondisi Ayahbelum memungkinkan untuk aku ajak jalan-jalan. Ibu juga pasti lebih memilih untuk stay dirumah menemani Ayah. Sedangkan Ken, entah sudah keluyuran ke mana lagi anak itu. Yoga!Nama itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Bukankah Yoga sudah pindah ke kota ini? But is it okto call him? Apalagi di saat aku sedang ada masalah dengan suamiku. Lagipula, aku yangmemintanya pergi dan dia juga yang sudah memenuhi keinginanku. Gengsi dong kalausekarang aku menghubunginya. Hmm…. Ah, sudahlah. Persetan dengan segala gengsi. Toh

Page 64: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

aku butuh distraction sekarang. Jalan-jalan sendirian bisa membuatku depresi dan semakinmerasa nggak punya suami yang selalu ada buat aku. “Hallo,” terdengar suara Yoga diseberang sana setelah beberapa detik aku menghubungi nomor HP Yoga. “Hai. Apa kabar,Yog?” aku mencoba membuat nada sebiasa mungkin. “Baik. Ada apa, Di?” suara Yoga sedikittegang. Mungkin dia pikir aku memang nggak akan menghubunginya lagi. Dan kalau sampaiaku menghubunginya, pasti ada sesuatu yang super duper penting. “Aku di Jogja. Cara tocatch up?” Yoga diam sejenak. “Boleh. Ketemu di mana?” “Starbucks Ambarrukmosekarang?” Ya, sekarang. Ini weekend, kalau Yoga nggak pergi, seharusnya dia bisa. Lagipula,aku penasaran juga, apa dia mampu menolak ajakanku. “Ok. See you there!” jawabnya. Toldyou! Nggak butuh waktu lama untukku sampai ke Plaza Ambarrukmo. Hanya 15 menit naikbecak dari rumahku. Lima belas menit penuh dengan angin sepoi-sepoi yang hampir nggakpernah aku dapatkan di Jakarta. Bonus suara serak tukang becak yang menyanyi sepanjangjalan. Yoga sudah duduk di sebuah sofa deket kaca saat aku sampai. Di hadapannya sudahada segelas caramel frappuccino kesukaannya. Kesukaanku juga. Pesanan wajib kita setiapkali ke Starbucks saat masih pacaran dulu. Yeah, some memories never fade away. Akusegera memesan segelas caramel frappuccino juga lalu menghampirinya. “Apa kabar?”sapaku basa-basi sambil mengulurkan tanganku, hendak menyalaminya. Aku tahu aku sudahmenanyakan kabarnya di telepon tadi, tapi bukankah menanyakan kabar adalah cara basa-basi paling mudah. Yoga menyambut uluran tanganku, “Baik. Kamu apa kabar?” “Baik.” Akududuk di sofa persis di depan Yoga. “Dalam rangka apa ke Jogja?” Tanya Yoga. “Ayah sakit,Yog.” “Ayah sakit apa?” ekspresi muka Yoga menunjukkan kekhawatiran dan aku tahu dianggak pura-pura. Jogja ini adalah kota favorit Yoga. Waktu kuliah dulu, dia ketagihan ke kotaini sejak pertama kali aku ajak ke rumah. Bahkan hampir setiap liburan dia pergi ke kota ini.Aku yang memang pasti mudik saat libur tentu tentu saja selalu jadi tour guide dadakanuntuknya. Salah satu tempat yang wajib dituju olehnya adalah rumah orangtuaku. Nggakheran Yoga sudah kenal baik dengan keluargaku. “Gula darahnya naik lagi. Tapi sekarangudah membaik kok,” jawabku. “Syukurlah,” Yoga mengangguk lalu meminum kopinya. Akumemandang ke luar jendela saat Yoga menikmati minumannya, mengamati lalu-lalangorang di luar kafe. Tiba-tiba aku menyadari betapa aku sangat merindukan kota ini besertaseluruh isinya. Telat banget aku baru sadar sekarang! “Gimana rasanya tinggal di sini?”tanyaku mengalihkan topic pembicaraan. “Menyenangkan. Bebas macet,” Yoga tersenyumriang. Aku baru sadar Yoga tampak gemuk. Pipinya sedikit Chubby. Wajahnya tampak jauhlebih segar dan bersinar dibanding saat aku terakhir bertemu dengannya. Aku percaya diabenar-benar senang hidup di kota ini. “Tapi jadinya jarak jauh ya sama si perempuan direstoran itu?” godaku. Yoga tertawa kencang. “It didn’t work. Again.” Whaaattt? Rasanyaaku ingin ikut tertawa kencang dengan Yoga. Tahan. Audi. Tahan. “Oh,” jawabku dengannada datar seolah nggak peduli sedikit pun. “Suami kamu nggak ikut?” Tanya Yoga. Thatquestion! Kenapasih Yoga hobi banget menanyakan tentang suamiku? Benar-benar merusakkesenangan yang baru saja terjadi. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Sibuk kerja lagi?”Tanya Yoga penasaran. Aku tersenyum getir berharap Yoga segera menghentikanpertanyaannya tentang Rafa. “Mau cerita ke aku?” Aku menatapnya tajam. Maksudnya apa?

Page 65: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

“Cerita apa?” tanyaku. “Sebetulnya ada apa, Di?” He knew. Dia tahu aku ada masalahdengan suamiku. Dari mana dia tahu? Apa wajahku terlihat sangat tidak bahagia? Apa didahiku ada tulisan “kabur dari suami”. Atau simply karena Yoga begitu mengenalku sejakdulu? Apa pun alasannya, aku nggak suka Yoga atau siapa pun membahas tentang Rafasekarang. Aku sedang nggak mau mengingatnya sama sekali. Bolehkan aku merasa tenangsebentar saja? “Sorry. Aku nggak bisa cerita.” Kataku pelan sambil memaksa sebuahsenyuman di wajahku. Oh crap, kenapa mataku panas sekarang. Don’t cry, Audi. Not now!Nggak di tempat umum seperti ini. Nggak di depan Yoga. Hormon hamil benar-benar bisabikin wanita jadi berkali-kali lipat lebih cengeng ya? “Ya udah, nggak usah cerita kalaumemang belum bisa,” Yoga meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Tapi kamu perlutahu, if he doesn’t treat you right, someone else will. I will.” This isn’t appropriate. Akumenarik pelan tanganku. Dan aku berharap Yoga menarik kata-katanya barusan. “You don’tunderstand, Yog. Marriage is like roller coaster. Ada ups and downs. Sekarang lagi downaja,” kataku. “Tapi roller coaster kan juga bisa berhenti?” Pardon? Tell me that I heard itwrong! “Maksud kamu apa?” Roller coaster bisa berhenti? Aku menghentikan pernikahankumaksudnya? Aku bercerai dengan Rafa? “Don’t be scared, Audi. The future is scary, but youcan’t just run to the past just because you’re scared.” “Kamu ngomong apa sih, Yog?”bentakku. This is not good. This is definitely not good. “Forget it.” “Yes, forget it! Aku maupulang!” aku beranjak dari tempat dudukku dan secepatnya meninggalkan Starbucks.Sepertinya keputusanku untuk bertemu Yoga adalah sebuah kesalahan. Bukannya tenang,aku malah semakin pusing. Somehow aku merasa dia sedang memengaruhiku untukmeninggalkan Rafa. Aku tahu aku sudah nggak mampu meng-handle perlakuan buruk Rafa.Tapi di sisi lain, aku nggak bisa bohong. I still love him. Aku memang belum tahu mau akubawa ke mana pernikahan ini. Tapi bahkan aku memikirkannya sendiri. Aku nggak mau adapihak lain yang memengaruhiku. “Di, Maaf,” Yoga menarik tanganku setelah berhasilmengejarku. Beberapa mata memandang kami dengan antusias seolah bersiapmendapatkan drama gratisan di depan mata. Aku menarik tanganku. “Udahlah, Yog.”Kataku sambil pergi menjauh. “Di, jangan gitu dong. Malu ini dilihatin orang-orang. Tolongdengar aku dulu,” Yoga terus mengejarku memancing semakin banyak mata memandangkami. Aku menghentikan langkahku, “Apa lagi, Yog?” Aku menarik napasku, menenangkandiri. Sedetik, dua detik. Tenang. Audi. Be mature! “Ya udah lupain aja,” kataku akhirnya. “I’msorry, Di. You broke my heart dan aku nggak tahu bagaimana cara nyembuhinnya selaindengan balikan lagi sama kamu. Kamu tahu? Aku seneng banget saat terima telepon kamutadi.” Deg. Aku menatap Yoga tajam dan lama, nggak menyangka Yoga akan mengeluarkankata-kata seperti itu. Dia kan tahu aku sudah menikah. “Aku mau pulang, Yog,” katakuakhirnya. Isi kepalaku seperti benang kusut. Belum selesai masalah dengan Rafa, sekarangtambah lagi tingkah bodoh Yoga barusan. I wanna go home know. Pulang ke rumahorangtuaku yang nyaman, mandi, lalu tidur melupakan semua masalah ini. I wish I were 15.Di mana masalah seperti ini pasti justru akan jadi bahan tertawa seru-seruan dengan teman-teman ABG-ku, bukan membuatku nyaris gila seperti sekarang. “Aku anter pulang ya. Naikmotor nggak apa-apa?” Yoga menggandeng tanganku tanpa menunggu jawabanku dan

Page 66: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

entah kenapa rasanya aku bahkan sudah nggak punya cukup energi untuk menolak. Yeah, Iknow I should. I just can’t. aku hanya menurut seperti bocah penakut yang takut hilang dikeramaian. Langit jingga Jogja dan angin yang menggoda wajahku dicampur wangi parfumYoga nggak mampu membuang kekalutanku. What should I do now? What should I do?Pertanyaan ini terus terngiang di kepalaku. Seseorang dengan koper kecil sedang membukapagar rumah orangtuaku saat aku sampai di depan rumah. Dia menengok ke arahku ketikaYoga mematikan mesin motornya. Rafa. He’s here.

Page 67: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab23: Explosion

It’s funny that most of the time the person you love the most, is also the person you hatethe most. The person you wanna kiss, is also the person you wanna kill. The person youcannot live without, is also the person you wanna let go. For me, that person is Rafa.Jantungku berdebar lebih cepat saat melihat Rafa ada di depan pagar rumah orangtuakubeberapa menit lalu. Aku takut dia membuat keributan saat melihat Yoga mengantarkupulang. Tapi ternyata aku salah, dia hanya diam. Dia diam saat melihatku datang bersamaYoga. Dia diam saat Yoga berpamitan kepadanya. Dia diam saat memasuki rumahorangtuaku. Sampai detik ini, di mana dia sudah duduk di sisi tempat tidurku, dia masih jugadiam. Aku duduk di sampingnya, nggak tahu harus bicara apa. Matanya menatapku dinginseolah menunggu penjelasan dariku. “Mau apa kamu ke sini, Raf?” aku akhirnya buka suaraduluan. I know, wrong sentence to start a conversation. “Jemput kamu!” jawab Rafa tanpamengubah ekspresi wajahnya. “Aku mau di sini dulu.” “Supaya bisa ketemuan mantan pacarkamu lagi?” tatapan Rafa masih dingin. Sial! Aku menggeleng kepalaku, “Aku maumenenangkan diri, Raf.” Rafa memejamkan matanya, diikuti dengan mengembuskannapasnya sekuat tenaga. Jari-jarinya memijat pelipisnya kencang. Aku hanyamemandanginya, memaksa diriku agar tetap tenang tanpa apa pun reaksi Rafa nanti. “Audi,kamu pulang sama aku besok. Tolong, nurut sama suami kamu ya,” kata Rafa kemudian.Suaranya tegas dan bossy, as always. Not this time, Raf. “Selama ini aku nurut terus samakamu. Apa yang aku dapet?” kataku pelan tapi tajam. Aku nggak mau orangtuakumendengar pertengkaranku dan Rafa. “Aku udah kasih semuanya ke kamu. Kamu mau apalagi?” kata Rafa dengan nada nggak kalah tajam. “Semuanya?” tanyaku sinis, “Emang Cumauang yang kamu punya, Raf. Kamu nggak punya kemampuan untuk menghargaiku. Kamunggak punya cinta buat aku. Kamu bahkan nggak punya rasa empati sama keluargaku yangkena musibah. Aku capek hidup sama orang nggak punya hati kayak kamu. Kamu pikirsetelah kamu kasih uang ke aku, kamu jadi boleh bersikap seenaknya? Boleh nyakitin akuseenak udel kamu? Aku istri kamu, bukan perempuan bayaran!” kata-kata itu meluncurbegitu saja. Wajahku terasa panas karena emosi. Rafa diam. Lama. Matanya masihmenatapku, tapi aku sama sekali nggak bisa menebak apa yang ada di pikirannya. Mungkindia merasa bersalah. Atau mungkin dia tersinggung dengan semua kata-kataku. But I don’tcare. It feels good to tell the truth. Minta maaf sekarang, Raf! Minta maaf sebelum akusemakin benci sama kamu! “Di,” Rafa meraih tanganku, “Aku ngerti kamu lagi hamil. Akungerti hormon kamu lagi nggak stabil. Udah ya, jangan dibesar-besarkan masalah ini.”Whaaaattt?!! Jadi, dia nggak merasa bersalah sama sekali? Jadi dikira aku semarah inikarena hormon nggak stabil? Sinting! “Rafa! Aku nggak pernah marah kamu pulang tengahmalam setiap hari. Aku nggak pernah marah kita hampir nggak pernah ngobrol. Kamu masihmau bilang hormon aku nggak stabil? Apa aku bilang, kamu nggak bisa menghargaiku! Lihatsekarang, kamu nggak bisa menghargai aku yang sabar menghadapi kamu yang nggakpernah perhatian sama aku!” Rafa melepaskan genggaman tangannya dan mengacak-acakrambutnya dengan kesal, “Kamu mau aku gimana? Berhenti kerja? Di rumah terus biar bisa

Page 68: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

nemenin kamu? Aku kerja banting tulang kan buat kamu juga. Buat calon anak kita juga.”Aku membuang mukaku. Sudah kuduga dia akan menjawab seperti ini. Klise! Cari duit buatkeluarga tapi justru nggak ada waktu buat keluarga. Pointless! “Terserah kamu deh, Raf.”Aku beranjak dari tempat tidurku. Sepertinya membicarakan ini semua dengan Rafa samasekali nggak ada gunanya. Dia bahkan nggak merasa bersalah sedikit pun. Hatinya sudahmati barangkali. Rafa menarik tanganku sebelum aku meninggalkan kamar, “Jadi sekarangmau kamu gimana?” tanyanya. Aku mengangkat bahuku. “Aku gak tahu,” Rafa menariknapas panjang kemudian menepuk-nepuk bagian kasur yang sebelumnya kududuki,pertanda dia ingin aku duduk lagi di tempat semula. Aku menurutinya, badanku kubantingke kasur dengan kesal. Rafa mengalihkan pandangannya dari wajahku. Matanya kosong.Tapi aku tahu otaknya sedang bekerja ekstra keras saat ini. Aku duduk diam menunggunyamengeluarkan kata-kata. Nggak ada sedikit pun usahaku untuk berpikir saat ini. I’m tired.“Audi, please,” kata-kata Rafa menggantung saat dia akhirnya mengeluarkan suara, entahapa yang ingin diucapkannya. For the first time in my life, aku melihat wajah itu memelas.Mengiba. Rafa yang powerful seolah hilang ditelan bumi. “You hurt me constantly, Raf.Lama-lama numpuk juga. Aku juga punya batas kesabaran,” kataku masih dengan penuhkemarahan. “Kenapa kamu tumpuk? Kenapa kamu nggak bilang?” “Buat apa? Kalau akubilang, you’ll hurt me even more!” Rafa menundukkan kepalanya. Wajahnya tampakmenyesal. “Do you still love me?” tanyanya dengan suara pelan seperti orang putus asa. “Ilove you, Raf. I love you so much. I don’t even know why I’m still in love with you. But, Idon’t wanna live with someone who makes me feel like I’m the most insignificant person inthe world. Aku pengin ngerasa dicintai, aku pengin ngerasa dibutuhkan. I need it. I’mdesperate for it.” Saying this out loud hurts me even more. Tapi nggak ada setitik pun airmata menetes. Hanya ada kemarahan yang menyesakkan dadaku. Rafa menatapku.Wajahnya tampak terkejut mendengar semua kata-kataku. Aku yakin dia kehabisan kata-kata sekarang. “Mungkin sekarang aku masih cinta sama kamu, tapi bagaimana cintaku bisabertahan kalau kamu bahkan nggak pernah ada buatku? Kata orang, cinta bisa datangkarena terbiasa. Bagiku, cinta bisa hilang karena terbiasa nggak ada,” lanjutku. Dadakuterasa semakin sesak. Rafa tiba-tiba memelukku. Erat. Pelukan yang selama ini akurindukan. Kenapa baru sekarang kamu memelukku seperti ini, Raf? Kenapa aku harussemarah ini dulu? “I’m sorry for making your life fucked up,” Rafa berbisik di telingaku.Pelukannya semakin erat. Aku melepasnya pelan. Mata Rafa merah. He’s about to cry. Gosh.It breaks my heart seeing him sad. “Forgiving is easy. Forgetting is not. I can’t stand the painanymore,” kataku lirih. Rafa tampak shocked mendengar kata-kataku. Jangankan dia, akusendiri kaget mendengar kata-kataku. Dari mana datangnya kata-kataku barusan? Hatiku?“Sekarang kamu mau nyerah?” Tanya Rafa. “Buat apa dipertahankan? Do we give eachother happiness?” Tanyaku balik. Rafa nggak menjawab pertanyaanku. “You have your ownlife. I have mine. Maybe we’ll be happy separately.” Tanpa kuduga, tiba-tiba saja Rafaberlutut di hadapanku, menggenggam tanganku. Setetes air mata jatuh dari mata kananRafa, lalu dia berkata lirih. “Please don’t leave me.”

Page 69: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab24: About Rafa

You don’t know what you have until it’s gone. Begitu kira-kira kata pepatah. Aku pikir akuakan mengamini statement ini saat Yoga pindah ke Prancis. Aku pikir aku akan menangissetiap malam merindukan dia. Aku pikir aku akan menyadari kalau cintaku ke Yoga ternyataberkali-kali lipat lebih besar dibanding yang aku kira. Aku pikir aku akan berharap dia nggakpernah pergi. Tapi ternyata aku salah. Masih jelas di ingatanku, Yoga berangkat ke Prancissaat aku sedang di puncak kejenuhan hubungan kita. Kepergian Yoga yang aku pikir akanmembuatku menyadari seberapa pentingnya kehadiran Yoga dalam keseharianku, ternyatajustru membuatku semakin mudah melupakannya. Saat aku cerita ke Sonya dulu, dia Cumajawab, “Lo keseringan sih bareng Yoga, di jidat lo bahkan kayak ada tulisannya ‘Punya Yoga’.Jadi mungkin begitu dia pergi, lo justru jadi kayak budak yang merdeka. And you enjoy yournew life.” Si Sonya emang sialan dari dulu. Masa aku disamain sama budak! Tapi mungkinSonya ada benarnya. I was enjoying my life that time karena saat itu aku sedang punyakesibukan baru: kerja praktik. Kerja praktik selama tiga bulan penuh benar-benar menyitapikiran dan tenagaku saat itu. Aku harus berangkat pagi-pagi seperti orang kantoran padaumumnya, lalu sibuk di kantor seharian, dan setelah pulang ke kosan, aku harus mulaimencicil laporan kerja praktikku untuk aku kirim ke dosen pembimbingku setiap minggunya.Mungkin karena kesibukan yang sepadat ini aku nggak punya cukup waktu untukmemikirkan Yoga. Alhasil, aku mulai menunda-nunda membalas email Yoga. Aku sepertimelihat dunia baru saat aku kerja praktik dulu. Seperti kebanyakan anak kuliahan, akumemandang dunia kerja begitu memukau. Punya uang sendiri, bebas mengatur kehidupansendiri, dan yang pasti, bisa tampil gaya setiap hari. Semua orang di kantor selalu tampakrapid an lebih keren dibanding semua mahasiswa di kampusku yang ke mana-mana pakaikaus dan jeans. Apalagi Rafa! Ya, aku bertemu Rafa saat aku kerja praktik di kantornya.Mejanya yang tepat bersebalahan denganku membuatku banyak bertanya kepadanya setiapkali ada kendala. He was so helpful. Dan yang membuatku kagum, dia mampu menjelaskansegala sesuatu dengan sangat pintar tanpa terlihat nerd sama sekali. Sebetulnyahubunganku dan Rafa berjalan sangat wajar layaknya pegawai tetap dan pegawai magang.Nggak terlalu dekat, tapi juga masih sering ngobrol saat pekerjaan Rafa sedang agak santai.Nggak ada yang istimewa sampai dia akhirnya menghubungiku dan mengajakku nontonsetelah periode kerja praktikku selesai. Setelah acara nonton itu, Rafa sering mengirimikuSMS. Kedekatan dengan Rafa inilah yang akhirnya membuatku membulatkan tekad untukmenyudahi hubunganku dengan Yoga. Bagiku, nggak adil kalau aku jalan sama orang laintapi aku masih terikat hubungan dengan Yoga. Rafa nggak pernah menjelaskan apa puntentang hubungan kita. Yang aku tahu, kita sering menghabiskan weekend bareng-bareng.Kadang nonton di mal, kadang kuliner ke Bogor atau Bandung. Kadang Cuma leyeh-leyeh dikosanku. Bagiku semuanya cukup. Lagipula, entah kenapa rasanya nggak enak langsungmendeklarasikan hubungan baru saat aku baru putus. Meskipun, harus aku akui, kondisiseperti itu berhasil membuatku penasaran setengah mati sama Rafa. Tapi, rasa penasaranini justru membuatku merasa hubungan tanpa status ini lebih seru dan menantang. Sesuatu

Page 70: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

yang nggak pernah aku dapat dari Yoga yang memang selalu ada di sampingku. Tanpakepastian apa pun, kebersamaanku dan Rafa tetap berhasil membuatku jatuh hati padaRafa. Ada banyak alasan; kepribadiannya yang seru dan menyenangkan, kegilaannya yangkadang membuatku tertawa sampai nangis, kecerdasannya … semuanya. Semuamembuatku bahagia. Surprisingly, Rafa justru melamarku tepat setelah aku lulus kuliah.Tentu saja aku kaget luar biasa. Kita nggak pernah resmi pacaran, aku nggak kepikiran samasekali dia akan melamarku. Tapi yang lebih kaget tentu saja ayah ibuku. Mereka nggak tahuaku sudah punya pacar setelah pisah dengan Yoga. Bagaimana mungkin aku cerita tentangRafa kalau kejelasan hubunganku dan Rafa saja dipertanyakan. Aku ingat betul, akudiberondong pertanyaan selama satu jam lebih saat aku bilang aku mau menikah. Sekarangsudah satu tahun ini Rafa resmi menjadi suamiku. Dan waktu satu tahun ternyatamerupakan waktu yang cukup untuk mengubah seseorang. Nggak ada lagi Rafa yang serudan menyenangkan. Yang ada sekarang hanyalah Rafa yang menyebalkan dan menyakitkan.Dan aku adalah tipe orang yang hidup di masa sekarang. Bukan di masa lalu. Semuakebaikan Rafa sudah nggak ada artinya kalau hanya dilakukan di masa lalu. Kalau cinta yangkita punya sudah nggak membawa kebahagiaan, buat apa dipertahankan?

Page 71: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 25: Hope

The idea of getting separated is frustrating. It’s really hard when you still in love with yourpartner. It’s even harder when your partner still wants you badly. Aku menarik Rafa yangsedang berlutut di hadapanku ini ke dalam pelukanku. A warm hug is always what I wantwhenever I cry. Mungkin itu juga yang diinginkan Rafa saat ini. You’ll get it now, Raf,meskipun kamu nggak pernah kasih itu ke aku setiap kali aku menangis. “I’m sorry! I’m reallyreally sorry! Aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu, Sayang,” Rafa berbisik ditelingaku. Kedua tangannya masih memelukku erat. I know, Raf. You have no intention tohurt me, but I cry anyway. Aku membelai lembut punggung Rafa yang kini bergetar pelantanpa memberi jawaban apa pun atas semua kata-katanya. Semua hal yang mengganjalsudah aku luapkan. I’m done. Sekarang waktuku untuk diam dan melihat sejauh apa usahaRafa mempertahankan ini semua. Rafa melepaskan pelukanku, “Please Audi, I can’t affordlosing you!” Gosh! Those teary eyes! Seeing him crying really makes me feel like I’m an evil. Iwonder why he didn’t feel the same whenever he saw me crying. “Di, aku nggak akanmembela diri. Iya, aku salah. Aku akan berubah. Tapi jangan tinggalin aku,” lanjutnya. Akumenarik napas panjang, “Man doesn’t change, Raf.” Ini pengetahuan umum: women thinktheir man will change. Wrong! And men thing their woman won’t change, wrong! “But I will.I’ll show you. Bagaimana aku bisa buktiin ke kamu aku berubah kalau kamu mau pisah samaaku?” Aku menggenggam tangan Rafa, berharap ini membuatnya sedikit lebih tenang,“Kalaupun kita lanjutin pernikahan kita, everything will never be the same, everything’schanged.” “Some things don’t. my love. Your love. Semua masih sama, kan?” kata Rafamencoba meyakinkanku. Aku benar-benar nggak tahu harus ambil keputusan apa saat ini.I’m totally clueless. Please help me! Tangan Rafa mengarahkan kepalaku agar tepatmenghadapnya, matanya lurus menatap mataku, “Look! It’s different now. I’m different. I’llfix everything,” kata Rafa penuh kesungguhan. “Why don’t you just let me go, Raf? Tohselama ini kamu sibuk sendiri. Kamu nggak butuh aku.” Kenyataan Rafa justrumempertahankanku sebetulnya membuatku semakin bingung dengan kondisi ini. Selama inidia terlihat seperti tidak pernah memedulikanku sama sekali. Tapi kenapa dia masihmenginginkan aku dalam hidupnya? Bukankah hidupnya akan lebih mudah kalau nggak adaaku? At least, dia jadi bisa bekerja sepuasnya sampai jam berapa pun tanpa memikirkanistrinya yang menunggunya di rumah. “I need you. You just don’t know, kamu pikir akudapet kekuatan dari mana untuk kerja keras? You give me strength, Di. Aku nggak bohongsaat aku bilang aku kerja demi kamu. I wanna be a successful man for you. Supaya kamubangga. Dan ya, supaya kita bisa punya banyak uang dan kamu bisa beli apa pun yang kamumau.” Kata Rafa. “Money doesn’t erase loneliness, Raf.” Kataku pelan. “Itu yang aku nggaktahu. Aku pikir punya banyak uang bisa bikin kamu bahagia,” Rafa menundukkan kepalanya.Benarkah? Itukah alasannya bekerja begitu keras selama ini? Sejak menikah, Rafa memangselalu memenuhi kebutuhanku. Sebagian besar gajinya diserahkan kepadaku dan dia nggakpernah mempermasalahkan ke mana perginya uang itu. Kadang aku heran kenapa dia bisapercaya banget. Kalau aku mampu mengatur keuangan rumah tangga padahal dia sering

Page 72: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

sekali menemukan tumpukan belanjaanku di kamar. Masih rapi terbungkus plastik. Berhari-hari. “Maaf aku baru sadar kalau nggak selamanya kebahagiaan bisa diukur dengan materi,”lanjut Rafa. “Maaf dengan aku kasih kamu uang, aku jadi mikir aku udah kasih kamusegalanya.” Aku nggak bisa menolak, some part of me is melted. Kalau saja aku menikahiRafa hanya untuk mengejar uangnya, pasti sekarang aku sudah puas. Tapi sayangnya, bukanitu alasan aku menikahinya dulu. Rafa mengarahkan tanganku ke dadanya, “Di, my heartbeats for you.” Hah? Tiba-tiba saja aku tertawa kencang. Baru kali ini Rafa mengeluarkankata-kata gombal super norak seperti barusan. Sungguh merusak suasana kelabu ini. “Udahdeh, Raf, jangan ngegombal. Nggak cocok, tahu!” kataku masih sambil tertawa. “Janganketawa, Di. I know, it sounds cheesy, but that’s the truth.” Bagaimana aku nggak tertawa?It’s just too funny, Raf. Melihat muka Rafa yang masih kencang dan serius, aku berusahasekuat tenaga meredakan tawaku. But I guess, sebuah senyuman kecil sekarang tersisa diwajahku. “Di, kalau nggak demi aku, please pertahankan semuanya demi anak kita. Kamumau anak kita lahir dalam keadaan orangtuanya sudah pisah?” Jleb! Rafa benar. Bagaimanaperkembangan jiwa anakku kalau dia lahir tanpa seorang ayah? Aku mungkin bisa jadi singleparent, tapi semua akan beda kalau ada Rafa. Apalagi kalau benar anakku laki-laki, aku samasekali nggak tahu bagaimana cara membesarkan anak laki-laki. Semakin banyak yang harusdipertimbangkan, semakin kusut juga pikiranku. Senyum di wajahku kembali pudar. Mulutkukembali kelu. “Aku tahu kamu sudah terlanjur sakit hati. Aku minta maaf. I can’t live withoutyou, tolong ngertiin aku,” wajah Rafa memelas seolah memintaku segera mengakhiri siksaanbatin. Hah? Memang aku kurang pengertian apa selama ini? “It’s always about you, Raf. Akuselalu ngertiin kamu selama ini. Mungkin sekarang giliran kamu ngertiin aku kalau aku tiba-tiba nggak kuat hidup sama kamu,” kataku dengan sedikit emosi. “Maaf,” wajah Rafaterlihat sangat amat menyesal. Entah karena kata-katanya barusan atau karena sikapnyaselama ini kepadaku. Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, “ Rafa, kamusudah minta maaf berkali-kali. But honestly, sampai detik ini aku nggak tahu harus gimana.Please give me some time. Nggak ada gunanya kamu push aku sekarang. Cuma bikin akumakin bingung.” Sepertinya memang butuh kata-kata yang straight forward agar Rafaberhenti merengek-rengek. Di satu sisi ada kebahagiaan yang muncul karena tahu Rafamasih sangat menginginkanku dalam hidupnya, tapi di sisi lain aku lelah setengah matimendengar semua kata-katanya. “Aku balik ke Jakarta sekarang ya,” kata Rafa setelahmembisu cukup lama. Hah? Kenapa dia tiba-tiba malah mau pulang? “Kamu kan barusampai, Raf. Belum ganti baju. Belum ketemu Ibu dan Bapak. Bahkan cuci kaki aja belum.Mau lembur lagi?” sindirku. Oke, sepertinya otakku sudah terlalu keruh untuk menyaringsemua omongan sinisku. “Kamu butuh waktu untuk menenangkan diri, Audi. Selama aku disini, kamu nggak akan bisa menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Jadi, lebih baik akupulang sekarang daripada keberadaanku justru memberi kamu tekanan untuk mengambilkeputusan.” “Tapi…” “Ssstt,” Rafa meletakkan telunjuknya di bibirku, “Just take your time,Sayang. Aku tunggu di Jakarta ya.” Aku menunduk, kemudian berkata lirih, “Aku nggak bisajanji, Raf.” “I know. Tapi kalau kamu memang masih cinta sama aku, aku mohonpertahankan pernikahan kita and give me one more chance. Aku janji aku akan bikin kamu

Page 73: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

bahagia. I will never fail you again.” Sebuah senyuman tipis aku berikan kepadanya just tomake him know I got his words. Rafa mencium keningku dengan lembut, “I love you somuch!” dia beranjak menuju pintu, “Sekarang aku mau ketemu Bapak sama Ibu dulu.”“Tunggu! Kamu mau bilang apa sama mereka, Raf?” “Hmm, apa aku harus jelaskan ke kamujuga?” Rafa tersenyum. Sebuah air mata akhirnya menetes di pipiku saat melihat Rafameninggalkan kamarku. Nggak ada niat sedikit pun untuk mengantarnya pergi. This is like atest for me, aku ingin tahu apa aku kuat kalau dia benar-benar pergi dari hidupku. And no,aku nggak kuat. Oksigen di kamarku rasanya seperti hilang bersamaan dengan perginyaRafa. Dadaku sesak. I can’t breathe. Sometimes, without your permission, someonebecomes your oxygen. Rafa is my oxygen. What should I do? What should I do? Akumembanting tubuhku ke tempat tidur. Merenung. Mempertimbangkan semuanya.Mengesampingkan hatiku jauh-jauh dan mencoba berpikir logis terus, terus, sampai akunggak mampu lagi memaksakan otakku. Maybe I have to give him a chance to fix everything.Bukankah manusia mana pun berhak mendapatkan kesempatan kedua? Lagipula, aku nggakmau suatu hari nanti aku menyesal karena nggak pernah mencoba memperbaiki ini semua.Baiklah, bulat sudah keputusanku. Aku mengambil BlackBerry-ku, menulis sebuah BBMuntuk Rafa. ‘Aku pulang ke Jakarta besok pagi.’ Sent! Nggak sampai satu menit, sebuah BBMbalasan masuk. ‘Let me know jam berapa. Aku jemput ya.’ Aku tersenyum membaca balasandari Rafa. I know hes’s starting to be nice. Mungkin memang masih ada harapan untukpernikahanku ini. Semoga aja!

Page 74: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 26: Selamat Tinggal

Aku nggak tahu apakah keputusanku untuk melanjutkan pernikahanku dengan Rafa tepatatau tidak. Aku nggak tahu apakah Rafa benar-benar serius dengan ucapannya akanmengubah semua sifatnya. Aku bahkan nggak tahu apa aku mampu melupakan danmemaafkan semua hal menyakitkan yang dilakukan Rafa kepadaku dulu. Yang aku tahu, akunggak mau nantinya menyesal karena nggak pernah mencoba. Prinsipku, lebih baik gagalsetelah mencoba daripada gagal sebelum berusaha. Dan sekarang nggak ada yang lebih baikdaripada berpikir positif dan meninggalkan semua kenangan buruk di masa lalu. Aku nggakmau terlalu banyak mikir macem-macem. You know, too much thinking will makeeverything complicated. So here I am, duduk manis di depan TV supaya nggak sibuk mikiraneh-aneh, sambil menonton acara nggak jelas. But I enjoy it so much. Sudah lama bangetrasanya nggak nonton TV bareng ibuku dan Ken di rumah ini. Ayah tentu saja masihistirahat. Padahal kalau ada Ayah, pasti lebih seru. Dia paling hobi mengomentarin apa punyang ada di TV. “Apa Rafa kalau kerja emang gitu, Nduk?” ibu menatapku seolah mintapenjelasan, “Mosok malem Minggu katanya ada panggilan mendadak buat ketemu klien?”Aku mengendikkan bahu, “Dia memang workaholic, Bu. Apalagi sekarang baru dapatpromosi.” Sepertinya Ibu tahu kalau aku malas membahas topik ini. Dia pun kembali keacara TV. “Gara-gara ada Mbak Audi nih, Mas Yoga jadi nggak ke sini,” kata Ken sambilmemainkan HP-nya. Hah, maksudnya apa? “Mas Yoga kan sekarang tiap malam Minggumain ke sini,” lanjut Ken seolah membaca kebingunganku. “Ngapain?” tanyaku. “Ya main PSsama aku, atau main catur sama Ayah. Dia pindah kerja ke Jogja. Mbak Audi nggak tahu?” Yatentu saja aku tahu! Tapi aku nggak tahu sama sekali selama tinggal di Jogja dia justru seringmampir ke rumah orangtuaku. “Kok Ibu nggak pernah bilang?” tanyaku ke Ibuku yang dudukdisampingku. “Dia ke sini kan sebagai temannya Ken, buat apa ibu bilang kamu, Nduk?” kataibu tenang. Ibu benar. Lagipula, aku sudah punya kehidupan baru dengan Rafa. Pastimenurut ibu memang lebih baik untuknya nggak menyebut-nyebut nama Yoga lagi dihadapanku. Agak kurang pantas. “Aku senang kalau Mas Yoga ke sini. Dia sering bantu tugaskuliahku juga, Mbak. Ternyata pintar ya Mas Yoga itu. Terus kalau ngajarin sabar banget,nggak galak kayak Mbak Audi,” kata Ken. Aku hanya diam, nggak menanggapi omongan Ken.Aku yang semula pengin menenangkan pikiran, justru sekarang jadi memikirkan Yoga. Sial.Bagaimanapun juga aku salut dengan Yoga yang masih mau berhubungan baik dengankeluargaku meskipun aku dengan jutek justru meminta Yoga pergi. Sudah sepantasnya diamendapatkan perlakuan yang baik dariku. SMS-nya yang sejak tadi masuk bertubi-tubimungkin lebih baik aku balas. Tunggu, mungkin lebih baik aku meneleponnya, supayangomongnya juga lebih enak. Ok, I’ll call him now. Pasti dia sedang bengong sendirianseperti Ken. “Audi, are you ok?” serunya ketika mengangkat telepon. Aku tahu Yogamengkhawatirkanku sejak bertemu Rafa. Mungkin dia ingin memastikan tangisanku nggakbertambah kencang. “I’m ok, Yog. Semuanya baik-baik saja.” “Suami kamu ada di situ? Kamumau aku ke situ dan jelasin semuanya ke dia?” “No, dia udah pulang ke Jakarta tadi.” “Udahpulang?” tanyanya bingung. “Yog, kamu nggak perlu jelasin apa-apa. Aku dan suamiku baik-

Page 75: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

baik saja.” “Oh,” Nggak perlu melihat wajah Yoga, aku tahu dia kecewa. “Yog, kayaknya lebihbaik kita nggak usah ketemu-ketemu lagi. Aku istri orang, Yog. Nggak pantes ketemu-ketemu mantan kayak tadi. Aku salah banget tadi.” “Berarti, udah bener-bener nggak adaharapan buat aku ya?” “Yog, kalau sekarang aku ninggalin suamiku demi kamu, suatu saataku bisa ninggalin kamu buat pria lain.” “Nggak kalau aku bikin kamu bahagia. Dan aku janji,selama aku masih bernapas, aku akan bikin kamu bahagia. Aku nggak akan pernah bikinkamu nangis seperti yang dilakukan suami kamu.” Bukankah manusia nggak pernah adapuasnya? Aku harus belajar untuk bahagia dengan apa yang aku punya. Itu kan artinyabersyukur? “Dia memang bikin aku nangis, tapi dia juga yang bisa bikin aku bahagia, Yog.Sometimes the one who makes you cry is also the one who can make you smile all overagain.” Yoga diam. Lama. Entah apa yang sedang ada di pikirannya. “Fine,” jawabnyaakhirnya, “Tapi bukan berarti kita nggak bisa komunikasi sama sekali, kan?” “Nggak bisa,Yog.” “Why?” “I have to admit, aku nyaman ngobrol sama kamu. Dari dulu aku selalumenganggap kamu lebih dari pacar, kamu itu seperti kakak buatku, seperti sahabat. I wasaddicted to you. Dan aku sadar, kondisi ini nggak bagus untuk pernikahanku.” Kataku sambilberharap kata-kataku membuat dia merasa sedikit berarti meskipun nggak ada harapanuntuk relationship kita. “I’m still wishing that one day you will came back and we will haveour second chance.” “Stop wishing.” Kataku pelan. Yoga diam lagi, tapi semoga saja kata-kataku barusan cukup untuk membuat dia mau mengerti dan mundur. “I hope you’re happywith him,” kata Yoga lirih, “Take care, Di.” “You too.” This is the closure that we never hadbefore. Lega banget rasanya.

Page 76: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

Bab 27: Ending

The feeling after the fight is always weird. You know, perasaan ada jarak dengan pasangan.Jarak yang membuat kita menjadi lebih menjaga sikap supaya nggak terjadi pertengkaranyang sama. Jarak yang membuat semuanya kaku. Oh, how I hate this. Entah kenapa rasanyaaneh banget melihat Rafa asyik menyetir tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan sesekalitersenyum ke arahku. Kita sudah meninggalkan bandara sejak satu jam lalu. Tapi hampirnggak ada pembicaraan apa pun. Aku sendiri nggak tahu harus membicarakan apa. Startinga good nice conversation after a disappointment is hard sometimes. Tiba-tiba Rafamenghentikan mobilnya di sebuah apartemen di kawasan Sudirman. Entah apartemen siapaini. “Kita ngapain ke sini, Raf?” tanyaku. “Nanti juga tahu,” jawabnya singkat sambiltersenyum. Aku menatapnya bingun. Well, sebetulnya kondisi di mana Rafa mengajakkupergi tanpa aku tahu tujuannya ke mana memang sering banget dia lakukan saat kita belummenikah dulu. Tapi Rafa yang penuh kejutan sudah hilang setelah kita menikah. Dan akusama sekali nggak mengira hobinya ini masih tersimpan di dirinya. Aku mengikuti Rafabertemu dengan seorang bapak-bapak di lobi apartemen. Nggak lama kemudian, Bapak itumengantar kamu ke lantai 15 dan membuka salah satu unit apartemen. “Kamu suka?” TanyaRafa ketika aku mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. “Hah?” aku sama sekalinggak mengerti maksud pertanyaan Rafa. “Kamu suka tempat ini?” I have to say this place isamazingly beautiful. Kaca besar yang sekaligus berfungsi sebagai pintu menuju balkonmenyuguhkanku pemandangan gedung-gedung tinggi dengan langit jingga ibu kota.Matahari sudah hampir terbenam. Sebentar lagi pasti pemandangannya lebih indah lagidengan gemerlap lampu kota. Satu pemandangan kota yang selalu menjadi favoritku. “Iniapartemen siapa, Raf?” tanyaku. “Tadi sebelum jemput kamu, aku cari-cari apartemen deketkantor. Terus nemu tempat ini. Kalau kamu suka, aku mau ajak kamu pindah ke sini.”“Pindah? Kenapa?” “Pertama, kalau tinggal di sini, aku bisa jalan kaki ke kantor. Jadi, akubisa berangkat lebih siang, pulang lebih cepat, kalau perlu makan siang di rumah juga.Supaya waktu aku buat kamu bisa sedikit bertambah. Supaya aku bisa lebih perhatian kekamu.” “Raf, you don’t need to do this. Seriously.” “Nggak apa-apa. Aku mau tunjukin kalauaku serius dengan semua kata-kataku kemarin. Dan cara nunjukin itu ya dengan bukti nyata,bukan Cuma janji. Ya, kan?” Oh My God, aku sama sekali nggak mengira Rafa akanmelakukan hal sejauh ini demi menunjukkan bahwa dia memang akan berubah danmemberikan lebih banyak waktunya untukku. He’s so sweet. Sometimes. “Tapi, Raf,apartemen ini besarnya dua kali lipat apartemen lama kita. Apa nggak kegedean?” “Audi,kamu lupa ya, sebentar lagi kita punya anak. Perlu ada kamar buat anak kita.” Aku refleksmemegangi perutku yang belum buncit sama sekali. Mungkin karena semua masalah yangmenimpaku akhir-akhir ini membuatku kehilangan nafsu makan. Padahal aku sudah nggakpernah mengalami morning sick sama sekali. Kasihan anak dalam kandunganku ini. Masihdalam perut saja sudah harus ikut ibunya stress. “Sini,” Rafa menggandengku memasukisalah satu kamar, “Kamar ini rencananya mau aku jadikan kamar anak kita. Aku mau kasihwallpaper biru.” Hanya dengan sekilas melihat ke ruangan itu, aku sudah memvisualisasikan

Page 77: The Marriage Roller Coaster Karya: Nurilla Iryani. filepakaian bagus membuatku mampu memberikan presentasi yang memukau ke calon klien. ... harga BlackBerry entry level. Shallow, I

barang apa saja yang akan ada di dalamnya. Box bayi di sisi sini. Tumpukan mainan di sisisana. Ah, pasti menyenangkan sekali. “Kalau anak kita cewek dikasih wallpaper pink yasupaya lebih girly.” Kataku. “Kalau anak kita cewek… hmmm… aduh, aku pasti pusing kalauanak kita cewek. Pusing jagainnya, Di.” Aku tertawa mendengar kata-kata Rafa. “Di, adaalasan lain kenapa aku ajak kamu pindah.” “Apa, Raf?” “Aku mau kita mulai semuanya dariawal.” “Sebetulnya nggak harus sampai pindah apartemen segala kok, Raf.” “Untuk mulaisesuatu dari awal, aku nggak mau kita masih berada di tempat di mana kita punya banyakkenangan buruk.” “Tapi kita punya banyak kenangan indah juga di sana.” “Iya aku tahu. Butwe better have a fresh start. Lebih enak di hati, Sayang.” Aku tersenyum mendengar kata-kata Rafa. Kali ini, aku sama sekali nggak merasa terpaksa untuk menurutinya. Semogasetelah ini keadaan benar-benar membaik. “Di, I’m really sorry.” Aku memeluk Rafa erat dicalon kamar anak kita. Air mata menetes dari mataku. Kali ini bukan air mata kesedihan, tapiair mata kebahagiaan. No one can describe how happy I am now. “I love you,” bisik Rafa ditelingaku. I love you too, Raf.