Thaharah.docx

11
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat. Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka. artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik yang fardhu maupun yang sunnah, tidak sah. Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka setiap muslim yang akan melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan terampil melaksanakannya sehingga thaharahnya itu sendiri terhitung sah menurut ajaran ibadah syar’iah. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian thaharah ? 2. Tujuan thaharah ? 3. Pembagian thaharah? 4. Alat-alat yang digunakan untuk berthaharah? 5. Klafikasi air dan penggunaanya dalam bersuci ? C. Tujuan 1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peribadatan Islam 2. Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai thaharah 3. Untuk memahami cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh syari’at islam dan mempraktekkannya dalam menjalani ibadah sehari-hari. 1 | Page

Transcript of Thaharah.docx

Page 1: Thaharah.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Thaharah merupakan miftah (alat pembuka) pintu untuk memasuki ibadah shalat.

Tanpa thaharah pintu tersebut tidak akan terbuka. artinya tanpa thaharah, ibadah shalat, baik

yang fardhu maupun yang sunnah, tidak sah.

Karena fungsinya sebagai alat pembuka pintu shalat, maka setiap muslim yang akan

melakukan shalat tidak saja harus mengerti thaharah melainkan juga harus mengetahui dan

terampil melaksanakannya sehingga thaharahnya itu sendiri terhitung sah menurut ajaran

ibadah syar’iah.

B.     Rumusan Masalah

1. Apa pengertian thaharah ?

2. Tujuan thaharah ?

3. Pembagian thaharah?

4. Alat-alat yang digunakan untuk berthaharah?

5. Klafikasi air dan penggunaanya dalam bersuci ?

C.     Tujuan

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Peribadatan Islam

2. Menambah wawasan penulis dan pembacanya mengenai thaharah

3. Untuk memahami cara-cara bersuci yang dikehendaki oleh syari’at islam dan

mempraktekkannya dalam menjalani ibadah sehari-hari.       

1 | P a g e

Page 2: Thaharah.docx

BAB II

PEMBAHASAN

A.     PENGERTIAN THAHARAH

Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’ thaharah

adalah bersih dari hadas  dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan

pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan

najis.[1]                                     

Atau thaharah juga dapat diartikan melaksanakan pekerjaan dimana tidak sah

melaksanakan shalat kecuali dengannya yaitu menghilangkan atau mensucikan diri dari hadas

dan najis dengan air.[2]

Bersuci dari najis berlaku pada badan, pakaian dan tempat. Cara menghilangkannya

harus  dicuci dengan airsuci dan mensucikan.

B.     TUJUAN THAHARAH

Ada beberapa hal yang menjadi tujuan disyariatkannya thaharah, diantaranya:

1.      Guna menyucikan diri dari kotoran berupa hadats dan najis.

2.      Sebagai syarat sahnya shalat dan ibadah seorang hamba.

Nabi Saw bersabda:

 “Allah tidak  menerima shalat seorang diantara kalian jika ia berhadas, sampai ia

wudhu”, karena termasuk yang disukari Allah, bahwasanya Allah SWT memuji orang-orang

yang bersuci : firman-Nya, yang  artinya : “sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

bertaubat dan mensucikan dirinya”.(Al-Baqarah:222)

Thaharah memiliki hikmah tersendiri, yakni sebagai pemelihara serta pembersih diri

dari berbagai kotoran maupun hal-hal yang mengganggu dalam aktifitas ibadah seorang

hamba.

Seorang hamba yang seanantiasa gemar bersuci ia akan memiliki keutamaan-

keutamaan yang dianugerahkan oleh Allah di akhirat nanti. Thaharah juga membantu seorang

hamba untuk mempersiapakan diri sebelum melakukan ibadah-ibadah kepada Alloh.

[1] H. Moch. Anwar, Fiqih Islam  Tarjamah Matan Taqrib, (Bandung: PT Alma’arif, 1987) Hal 9[2]Al Ust. H Muqarrabin, Fiqih awam, (Demak: Cv. Media Ilmu, 1997), Hal 9

2 | P a g e

Page 3: Thaharah.docx

Sebagai contoh seorang yang shalat sesungguhnya ia sedang menghadap kepada

Alloh, karenanya wudhu membuat agar fikiran hamba bisa siap untuk beribadah dan bisa

terlepas dari kesibukan-kesibukan duniawi, maka diwajibkanlah wudhu sebelum sholat

karena wudhu adalah sarana untuk menenangkan dan meredakan fikiran dari kesibukan-

kesibukan duniawi untuk siap melaksanakan sholat.

C.     PEMBAGIAN THAHARAH

Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar

yaitu: Taharah Hakiki dan Taharah Hukmi.

1.      Thaharah Hakiki

Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan

badan,  pakaian dan tempat shalat dari najis. Boleh  dikatakan bahwa thaharah secara hakiki

adalah terbebasnya seseorang dari najis. Seseorang yang shalat yang memakai pakaian yang

ada noda darah atau air kencing tidak sah shalatnya. Karena ia tidak terbebas dari ketidak

sucian secara hakiki.

Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel baik

pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibaadah ritual, caranya bermacam-macam

tergantuk level kenajisannya.bila najis itu ringan cukup dengan memercikan air saja, maka

najis itu dianggap sudah lenyap, bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah

satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara, mencusikanya

dengan air biasa hingga hilang warna najisnya, dan juga hilang bau najisnya dan hilang  rasa

najisnya.

2.      Thaharah Hukmi.

Thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara fisik memang tidak

ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ibadah

ritual. Thaharah secara hukmi dilakukan dengan cara wudhu atau mandi janabah.

Contoh: seseorang yang tidak batal wudhunya, boleh jadi secara fisik tidak ada kotoran

yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu, bila ia ingin

melakukan ibadah tertentu seperti shalat, thawaf dan lain-lainnya.

Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah membersihkannya

dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari

hadas besar hingga selesai dari mandi janabah.

3 | P a g e

Page 4: Thaharah.docx

D.  ALAT-ALAT YANG DIGUNAKAN UNTUK BERTHAHARAH

Alat-alat untuk bersuci ada bermacam-macam tergantung pada situasi dan kondisi

tertentu, diantaranya dengan menggunakan : air, debu atau tanah, dan batu. Tetapi alat

bersuci yang paling utama adalah air karena memiliki daya untuk membersihkan dan

mensucikan dalam semua keadaan.

E.     KLASIFIKASI AIR DAN PENGGUNAANYA DALAM BERSUCI

           

1.      Air mutlak (air yang suci lagi mensucikan)

Yakni air yang keberadaanya suci dan dapat dipakai untuk bersuci serta dapat

mensucikan benda-benda lainnya.

Tidak boleh dan tidak sah mengangkat hadas dan menghilangkan najis melainkan

dengan air mutlak.

Air mutlak itu ada 7 jenis, yaitu:

1.      Air hujan

2.      Air laut

3.      Air sungai

4.      Air sumur

5.      Air yang bersumber (dari mata air)

6.      Air es

7.      Air embun.

Ketahuilah tidak sah berwudu dengan fardhu, mandi wajib, mandi sunnat,

menghilangkan najis dengan benda cair seperti cuka atau benda beku lainnya seperti tanah

dalam bertayamum ..

Air mutlak mempunyai tiga sifat , yaitu :

1)      Tha’mun (Rasa)

2)      Launun (Warna)

3)      Rihun (Bau)

Dan kalau dikatakan air itu berubah maka yang dimaksudkan ialah berubah sifatnya, air

mutlak itu terkadang berubah rasanya, warnanya, atau baunya sebab dimasuki oleh sesuatu

benda dan benda yang masuk kedalam air itu kadang-kadang mukhlath dan kadang-kadang

4 | P a g e

Page 5: Thaharah.docx

mujawir, Menurut istilah, para ulama berbeda pendapat sebagian mereka mengatakan “ Al-

mukhtalat itu ada yang tidak dapat diceraikan dari air”.

Dan sebagian lagi mengatakan “Al-Mukhtalat itu barang yang tidak dapat dibedakan 

air menurut pandangan mata”.

Kalau air berubah dengan sesuatu benda yang mujawir yang, cendana, minyak bunga-

bungaan, kapur barus yang keras, maka air itu masih dianggap suci yang dapat dipakai untuk

ber bercuci, sekalipun banyak perubahannya. Karena perubahan yang sesuatu mujawir itu, ia

akan menguap jua. Karena itu air yang seperti ini dinamakan air yang mutlak, ban  dingannya

air yang berubah karena diasapkan dengan dupa atau berubaah baunya karena berdekatan

dengan  bangkai. Maka air yang seperti ini masih dianggap air yang suci dan dapt

dipergunakan untuk bersuci, baik berubah sifatnya.[5]

2.      Air suci tidak mensucikan

Yakni air suci yang tidak bias dipakai untuk bersuci dan tidak pula mensucikan, yang

termasuk dalam bagian ini ada 3 macam air yaitu :

Air musta’mal adalah air yang bekas dipakai (dipakai berwudhu atau  mencuci

najis) atau air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadas atau najis,

kalau memang tidak berubah dan tidak bertambah timbangannya. Jadi airnya

suci.

Air yang berubah salah satu sifatnya sebab bercampur dengan benda-benda suci

lainnya (seperti teh, kopi, dan sirup)[6]. Misalnya juga dengan sabun, tepung, dan

lain-lain yang biasanya terpisah dengan air. Hukumnya tetap menyucikan

selama kemutlakan nya masih terpelihara, jika sudah tidak, hingga tidak dapat

lagi dikatakan mutlak maka hukumnya ialah suci pada dirinya sendiri, tidak

menyucikan bagi lainnya.[7]

Air pohon-pohonan atau air buah-buahan seperti air yang keluar dari tekukan

pohon kayu (air nira), air kelapa dan sebagainya.[8]

[5] Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Ibid. 21[6] H. Moch . Anwar, Op Cit, hal 10[7] Said Sabiq, fiqh Sunnah 1, (Bandung: PT Alma’arif, 1973) juz 1[8] Sulaiman Rasjid. Fiqh islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012) Hal 15

5 | P a g e

Page 6: Thaharah.docx

3.      Air yang makruh

Yakni air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana perak atau emas.

Air ini makruh untuk badan tetapi tidak makruh untuk pakaian;kecuali air yang terjemur

ditanah, seperti air sawah, air kolam, dan tempat-tempat yang bukan bejana yang mungkin

berkarat. Seperti sabda Rasulullah Saw : Dari Aisyah. Sesungguhnya ia telah memanaskan

air pada cahaya matahari, maka Rasulullah Saw. Berkata kepadanya, “ Janganlah engkau

berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan

penyakit sopak.” (Riwayat Baihaqi).[9]

Air yang makruh memakainya menurut hukum syara’ atau juga dinamakan

kahariyatut tanzih.

4.      Air  yang terkena najis

Air najis adalah air yang kemasukan benda najis dan air itu kurang dua kolah, atau air

itu ada dua kolah (216 Liter) tetapi berubah.[10] Maksudnya air yang kemasukan benda najis

didalamnya, andai kata air tersebut hanya tertulari bau busuk dari najis yang dibuang

dipinggirnya maka air yang demikian ini tidak najis, sebab tidak bertemu langsung dengan

najisnya. Dan yang dimaksud dengan berubah andai kata air yang banyak tersebut tidak

berubah dengan adanya najis atau najisnya hanya sedikit dan hancur dalam air maka air yang

demikian ini juga tidak najis. Dan seluruh air itu boleh digunakan menurut mazhab yang

shahih.[11]

[9] Sulaiman Rasjid. Fiqh islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012) Hal 16[10] Imam Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Alhusaini , Kifayatul Akhyar, (Surabaya:

Bina Imam, 2003) Juz 1,Hal  19[11] Imam Taqiyuddin  Abu bakar Bin Muhammad Alhusaini, ibid, Hal 21.

6 | P a g e

Page 7: Thaharah.docx

BAB III

KESIMPULAN

Thaharah merupakan salah satu ibadah yang disyariatkan oleh Allah kepada hambanya

sebelum melakukan ibadah. Thaharah hanya dilakukan dengan sesuatu yang suci dan dapat

menyucikan. Thaharah juga menunjukan bahwa sesungguhnya islam sangat menghargai

kesucian dan kebersihan sehingga diwajibkan kepada setiap muslim untuk senantiasa

menjaga kesucian dirinya, pakaian, serta lingkungannya. Fungsi thaharah adalah untuk

mensucikan diri dari najis dan hadast.

Hal ini karena thaharah merupakan syarat untuk sahnya sholat yang dilakukan lima

kali sehari. Sedangkan alat yang dapat digunakan untuk bersuci ada bermacam-macam tetapi

yang paling utama adalah air dan air dikelompokkan menjadi beberapa macam. Seperti, air

suci yang mensucikan, air yang makruh, air suci yang tidak mensucikan , dan air najis.

7 | P a g e

Page 8: Thaharah.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Anwar Moch, Fiqih Islam  Tarjamah Matan Taqrib, Bandung: PT Alma’arif, 1987

2. H. Muqarrabin, Fiqih awam, Demak: Cv. Media Ilmu, 1997,

3. Mushtafa, Abid Bishri, Tarjamah Shahih Muslim, Semarang: CV Asy-Syifa, 1993

4. Al-Gazzi Ibnu Qosim, Hasiyah Asy-Syekh Ibrahim Al-Baijuuri, Baerut: Dar Al-Fikr,

2005

5. Abu Bakar Imam Taqiyuddin, Bin Muhammad Alhusaini , Kifayatul Akhyar, Surabaya:

Bina Imam, 2003

6. Muhammad Arsyad Al-Banjari Syekh, Sabilal Muhtadin, (Surabaya: PT Bina Ilmu)

7. Rasjid, Sulaiman. 2012. fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algesindo.

                                                                              

8 | P a g e